Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Tidur adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh semua spesies hewan, mulai dari
serangga hingga mamalia. Tidur merupakan sebuah kebiasaan manusia yang dilakukan
hampir sepertiga dari keseluruhan aktivitas manusia sepanjang hidupnya. Meskipun fungsi
sebenarnya dari tidur belum diketahui, tidur merupakan hal yang jelas penting untuk tetap
bertahan hidup, karena kekurangan tidur yang lebih panjang dapat menyebabkan penurunan
fisik dan kognitif yang berat yang pada akhirnya berujung pada kematian. Tidur secara
khusus memiliki hubungan dengan kejiwaan karena gangguan tidur terjadi hampir di semua
penyakit psikiatri dan sering menjadi bagian dari kriteria diagnosis untuk suatu kelainan
tertentu.
Biasanya, manusia tidur kurang lebih 7,5 jam perhari, tetapi ada beberapa orang yang
membutuhkan waktu lebih sedikit yang disebut nonsomnia. Sebuah penelitian
mengemukakan mengenai seorang pensiunan perawat yang tetap berfungsi maksimal seperti
manusia biasa dengan hanya tidur 1 jam sehari. Dalam empat hari, orang tersebut hanya tidur
rata-rata 67 menit sehari tanpa mengeluhkan capek atau butuh tidur yang lebih banyak.
Beberapa komunitas psikiater mendiagnosis pasien ini dengan gangguan bipolar meskipun
keadaan ini bisa saja hanya masalah kebutuhan tidur biasa. (Higgins, et al, 2007)
Masyarakat Yunani kuno menghubungkan kebutuhan tidur mereka seperti pemujaan
mereka terhadap Dewa Hypnos (tidur) dan anaknya, Morpheus, yang juga dipercaya sebagai
pencipta malam hari, yang memberikan mimpi kepada manusia. Mimpi sendiri juga memiliki
peranan penting untuk psikoanalisis. Freud mempercayai bahwa mimpi merupakan jalan
khusus ke alam bawah sadar. (Sadock, et al, 2007)

1
ISI

A. Definisi
Gangguan tidur primer adalah gangguan tidur yang murni, tidak disebabkan oleh
gangguan jiwa lainnya, merupakan kondisi fisik yang disebabkan oleh mekanisme
bangun-jaga abnormal dan terkadang juga disebabkan karena penyesuaian kondisi
(Higgins, 2007). Gangguan tidur non-organik terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Dyssomnia : kondisi psikogenik primer di mana gangguan utamanya adalah
jumlah, kualitas, atau waktu tidur yang disebabkan oleh hal-hal emosional,
misalnya: insomnia, hypersomnia, gangguan tidur-jaga, dan lain-lain
b. Parasomnia: peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama tidur. Pada kanak-
kanak hal ini terkait terutama dengan perkembangan anak, sedangkan pada
dewasa memiliki hubungan dengan psikogenik. Misalnya: somnambulisme (sleep
walking), teror tidur (night terror), dan mimpi buruk (nightmare) (Maslim, 2013)
Gangguan tidur non-organik yang tercantum pada PPDGJ III masing-masing
memiliki definisi sebagai berikut
1. Insomnia non-organik (F51.0)
Berupa tidur yang dirasa tidak berkualitas atau kesulitan memulai atau
mempertahankan tidur yang telah terjadi selama minimal satu bulan. (Sadock,
2007)
2. Hipersomnia non-organik (F51.1)
Berupa somnolen berlebihan yang telah terjadi minimal satu bulan tanpa
ditemukan penyebab. Biasanya, pasien memang merupakan long sleepers. Tidur
yang panjang biasanya merupakan kebiasaan seumur hidup yang dapat juga
dipengaruhi oleh genetik keluarga, tetapi bisa juga berubah dari normal sleepers
ke long sleepers seiring berjalannya waktu. (Sadock, 2007)
3. Gangguan jadwal tidur-jaga non-organik (F51.2)
4. Somnambulisme (sleep walking) (F51.3)
Biasanya terjadi di sepertiga tidur awal saat fase NREM (stadium 3 dan 4) dan
sering tidak disadari oleh penderita. Beberapa penderita terkadang membuka
matanya saat berjalan sambil tidur dan dapat menghindari barang-barang yang
menghalangi jalannya. Kesadaran biasanya berkabut. (Sadock, 2007)
5. Teror tidur (night terrors) (F51.4)

2
Dicirikan oleh terbangun tiba-tiba pada sepertiga tidur awal saat fase NREM
(stadium 3 dan 4), dengan disertai teriakan atau tangisan dan juga disertai ciri
anxietas atau bahkan kepanikan. Biasanya, individu terbangun dari tidurnya
dengan posisi duduk disertai ekspresi ketakutan, teriakan yang keras, dan
terbangun dengan kondisi disorientasi dan tidak mengingat kejadian tersebut.
Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa setelah insiden teriakan, biasanya
teror tidur diikuti dengan episode somnambulisme. (Sadock, 2007)
6. Mimpi buruk (nightmares) (F51.5)
Mimpi buruk adalah mimpi yang jelas (vivid) dan menimbulkan rasa cemas,
terkadang sampai membuat orang terbangun dari tidurnya. Mimpi buruk biasanya
terjadi saat akhir fase REM yang panjang. Beberapa orang mengalami mimpi
buruk seumur hidupnya tetapi ada juga yang mengalami mimpi buruk hanya saat
stres atau sakit. (Sadock, 2007)
7. Gangguan tidur non-organik lainnya (F51.6)
8. Gangguan tidur non-organik YTT (F51.7)

B. Epidemiologi
1. Insomnia non-organik (F51.0)
Kurang lebih 30% dari seluruh total populasi manusia mengeluhkan gejala
insomnia, baik itu kesulitan memulai tidur, kesulitan untuk tetap tidur, terlalu
cepat bangun, ataupun tidur yang tidak restoratif atau berkualitas buruk. Apabila
mengacu ke DSM-IV, yaitu gejala insomnia harus menetap selama minimal satu
bulan dengan tanpa gangguan tidur lainnya atau gangguan jiwa lainnya,
prevalensinya adalah 6% dari seluruh populasi. (Roth, 2007)
2. Hipersomnia non-organik (F51.1)
Biasanya terjadi lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan. Penderita
hipersomnia kurang lebih 5% dari seluruh populasi. (Herman, 2016)
3. Gangguan tidur-jaga non-organik (F51.2)
4. Somnambulisme (sleepwalking) (F51.3)
Kurang lebih 40% dari seluruh manusia menderita somnambulisme saat kanak-
kanak, meskipun dapat juga ditemukan pada orang dewasa. (Sadock, 2007)
5. Teror tidur (night terrors) (F51.4)

3
Biasanya terjadi pada anak-anak usia 4-7 tahun (1-6% anak-anak menderita teror
tidur). Anak laki-laki lebih sering menderita teror tidur dibandingkan anak
perempuan dan biasanya disertai faktor genetik. (Sadock, 2007)
6. Mimpi buruk (nightmares) (F51.5)
Kurang lebih 50% dari keseluruhan populasi orang dewasa mengalami mimpi
buruk. (Sadock, 2007)

C. Fisiologi Tidur
Tidur secara umum terdiri dari dua tahapan yang fisiologis yaitu non-rapid eye
movement (NREM) dan rapid eye movement (REM). Fase NREM terbagi lagi
menjadi 4 stadium. Stadium 1 disebut drowsy period, stadium 2 disebut light sleep,
stadium 3 disebut moderate sleep, dan stadium 4 disebut tidur dalam (deep sleep).
(Higgins, et al, 2007). Stadium 1 merupakan stadium tidur yang paling ringan
sehingga apabila orang tidur dan terbangun pada stadium ini, mereka akan merasa
seperti tidak tidur. Stadium 2 adalah fase di mana seseorang mulai masuk ke tidur,
ditunjukkan oleh munculnya sleep spindles pada EEG, yang secara umum
menunjukkan adanya interaksi antara thalamus dan korteks pada otak. Stadium 3 dan
4, yang disebut juga slow wave, merupakan fase terdalam dari tidur, ditunjukkan
dengan munculnya gelombang delta pada EEG. Kurang lebih 90 menit setelah tidur,
fase NREM akan berganti ke fase REM yang pertama. Fase REM ini berlangsung
selama 90 menit pada orang dewasa normal. Fase REM ini disebut REM latency,
yang biasanya terjadi lebih singkat pada orang dengan gangguan depresi atau
narkolepsi. EEG menunjukkan pergerakan mata yang signifikan pada fase REM dan
pada EMG ditemukan tonus otot yang menurun. Pada NREM, ditemukan sedikit atau
tidak ada sama sekali gerakan mata. (Sadock, 2007)
Pada fase NREM, sebagian besar fungsi fisiologis manusia seperti tekanan
darah menurun dibandingkan saat terjaga. Pada orang normal, NREM merupakan fase
yang mudah terbangun. Denyut nadi biasanya menurun lima sampai sepuluh kali
permenit di bawah nadi normal ketika orang tersebut terjaga dalam keadaan istirahat.
Pernafasan juga dapat berpengaruh dan tekanan darah biasanya lebih rendah. Gerakan
tubuh involunter biasanya juga terjadi pada fase NREM. Aliran darah ke sebagian
besar jaringan termasuk aliran darah ke otak secara umum menurun.
Biasanya, pada stadium terdalam NREM (stadium 3 dan 4), individu dapat
terbangun tiba-tiba. Ketika seseorang bangun pada 30 menit 1 jam setelah tertidur
4
(biasanya pada slow-wave) akan terjadi disorientasi dan pemikirannya akan menjadi
tidak beraturan (disorganized). Biasanya, orang tersebut juga tidak mengingat
kejadian yang terjadi sehingga ia terbangun. Keadaan terbangun tiba-tiba pada
stadium 3 dan 4 tersebut biasanya menyebabkan masalah tertentu seperti enuresis,
somnambulism, dan pada stadium 4 dapat terjadi mimpi buruk atau teror tidur.
Denyut nadi, respirasi, dan tekanan darah pada manusia meningkat pada fase
REM, jauh lebih tinggi dibandingkan pada fase NREM dan saat terjaga.
Termoregulasi pada fase REM juga berubah. Pada fase ini, tubuh berada dalam
kondisi poikilotermik (keadaan di mana temperatur berubah menyesuaikan dengan
perubahan suhu di luar tubuhnya). Pada laki-laki, fase REM ditandai dengan ereksi
sebagian atau seluruh bagian penis. Pada wanita juga terjadi ereksi klitoris. Hal ini
biasanya digunakan untuk mendiagnosis impotensi. Selain itu, biasanya otot-otot juga
mengalami paralisis yang hampir keseluruhan, kecuali otot-otot respiratorik, otot-otot
ocularis, dan otot-otot kecil dari telinga.
Secara umum diketahui bahwa mimpi hanya terjadi pada fase REM, tetapi
sebenarnya, mimpi terjadi pada semua fase tidur tetapi dengan karakteristik mimpi
yang berbeda. Pada fase NREM, mimpi terasa seperti orang tersebut sedang
menyelesaikan masalah. Sedangkan pada fase REM, mimpi lebih bersifat aneh
(bizzare), di luar logika, dan halusinasi. (Higgins, et al, 2007)
Fase REM merupakan fase yang jarang ditemukan. Fase REM biasanya terjadi
seteah 90-100 menit setelah tertidur. Periode pertama REM biasanya paling pendek
(kurang dari 10 menit). Periode selanjutnya biasanya 15-40 menit setiap periode.
Hampir seluruh fase REM terjadi pada sepertiga tidur terakhir, sedangkan NREM
stadium 4 hampir selalu terjadi pada sepertiga tidur awal. Siklus tidur ini berubah-
ubah pada setiap orang seiring berjalannya waktu. Pada masa neonatus, fase REM
terjadi lebih dari 50% dari keseluruhan waktu tidur dan EEG menunjukkan perubahan
langsung dari bangun ke fase REM tanpa melewati fase NREM. Bayi baru lahir tidur
16 jam sehari dengan sedikit waktu terjaga. Pada usia bayi 4 bulan, siklusnya berubah
menjadi fase REM kurang dari 40% dan proses tidur diawali oleh fase NREM terlebih
dahulu. Memasuki usia dewasa muda, persentase setiap fase dan stadium tidur adalah:
NREM (75 % total), yang terdiri dari:
Stadium 1: 5 %
Stadium 2: 45 %
Stadium 3: 12%
5
Stadium 4: 13%
REM (25% total)
Distribusi ini umumnya konstan hingga usia lanjut, meskipun biasanya terjadi
pengurangan di slow-wave dan fase REM pada orang-orang yang berusia lebih tua.
(Sadock, 2007)
Beberapa fungsi dari tidur secara umum dapat dikatakan sebagai proses
restorasi fungsi homeostatik tubuh dan berfungsi penting untuk termoregulasi dan
konservasi energi. Secara khusus NREM dapat dikatakan memiliki hubungan dengan
kebutuhan metabolik, dilihat dari meningkatnya fase ini setelah seseorang berolahraga
atau setelah kelaparan. Kurang tidur terkadang menyebabkan disorganisasi ego,
halusinasi, dan delusi. Apabila seseorang kekurangan fase REM saat tidur (misalnya
karena terbangun di tengah-tengah proses REM berlangsung) maka tubuh biasanya
akan melakukan mekanisme kompensasi dengan cara memperpanjang fase REM pada
tidur selanjutnya ketika orang tersebut dapat tidur bebas dari gangguan apapun.
Orang-orang yang kekurangan tidur fase REM dapat mengalami iritabel dan letargi.
Selain itu, terjadi juga peningkatan norepinefrin plasma dan penurunan tiroksin
plasma. (Higgins, et al, 2007)
Beberapa orang dapat tergolong sebagai short sleepers, yaitu orang-orang
yang dengan tidur dalam waktu 6 jam atau kurang sudah dapat berfungsi sebagaimana
normalnya. Sedangkan ada juga golongan yang disebut long sleepers yang
membutuhkan waktu tidur 9 jam atau lebih untuk dapat berfungsi dengan normal.
Orang ini memiliki periode REM yang lebih banyak dibandingkan short sleepers.
Short sleepers biasanya orang-orang yang secara umum ambisius, mudah
bersosialisasi, dan efisien fungsinya secara umum, sedangkan long sleepers
sebaliknya, biasanya merupakan orang-orang yang depresi ringan, cemas, dan jarang
bersosialisasi. Kebutuhan tidur manusia ditentukan oleh aktivitas dan kerja fisik,
penyakit, kehamilan, stres mental, dan peningkatan aktivitas mental. Periode REM
dapat meningkat setelah stimulus psikologi seperti keadaan stres atau situasi sulit,
serta setelah penggunaan bahan kimia atau obat-obatan yang menurunkan
katekolamin dalam otak. (Sadock, et al, 2007)
Secara umum, tubuh manusia memiliki siklus 25 jam. Faktor eksternal yang
menyebabkan hal ini misalnya waktu terang-gelap, rutinitas sehari-hari, waktu makan,
dan hal-hal lain yang menyebabkan manusia menyesuaikan diri dengan waktu satu
hari yang sebenarnya hanya 24 jam. Tidur juga dipengaruhi oleh hal-hal biologis
6
tubuh. Dalam waktu 24 jam, orang dewasa tidur satu kali atau dua kali. Ritme ini
biasanya terjadi dari usia 2 tahun. Beberapa wanita mengalami perubahan dalam ritme
tidurnya ketika menstruasi. Saat tidur siang, fase REM lebih sering terjadi
dibandingkan tidur pada sore hari. Siklus sirkadian tubuh secara tidak langsung
mempengaruhi kebutuhan seseorang akan fase REM. Tidur yang dilakukan pada
siang hari pada saat seharusnya seseorang beraktifitas sebenarnya tidak sama
kualitasnya dengan tidurnya sewaktu orang tersebut seharusnya tidur, meskipun pada
orang-orang yang hanya bekerja di malam hari. (Sadock, et al, 2007)

D. Etiologi Insomnia
Penyebab dari insomnia sendiri saat ini terbagi 2, penyebab kognitif dan
fisiologis. Secara kognitif, insomnia disebabkan karena rasa khawatir dan cemas
mengenai masalah-masalah dalam kehidupan yang dapat mengganggu tidur dan
menyebabkan insomnia akut, terutama kesulitan pada saat ingin memulai tidur dan
kembali tidur setelah terbangun. Setelah itu, ketika seseorang telah mengalami
kesulitas tidur, rasa cemas biasanya bertambah dari hanya memikirkan permasalahan
hidup ditambah lagi dengan kecemasan mengenai tidur yang tidak cukup. Hal ini
sering ditemukan apabila seseorang kurang tidur.
Secara fisiologi, insomnia dapat disebabkan oleh metabolisme tubuh, denyut
jantung, atau secara neurologi. Sebuah penelitian telah menjelaskan bahwa penderita
insomnia memiliki tingkat metabolisme yang lebih tinggi dibandingkan orang yang
tidurnya normal. Denyut jantung pada penderita insomnia sendiri secara umum
biasanya lebih tinggi dari orang normal dan akan menurun lebih rendah dari orang
normal ketika tidur. Selain itu, pada penderita insomnia didapatkan metabolisme
glukosa serebri yang lebih tinggi saat terjaga dan fase NREM, yang menunjukkan
bahwa adanya peran yang cukup besar dari segi neurologi pada kesulitan seseorang
untuk tidur, sehingga orang lebih mudah terbangun, lebih mudah emosi, dan memiliki
masalah kognitif apabila menderita insomnia. (Roth, 2007)

E. Diagnosis
Pada kebanyakan kasus, gangguan tidur adalah salah satu gejala dari gangguan
lainnya, baik mental atau fisik. Walaupun gangguan tidur yang spesifik terlihat secara
klinis berdiri sendiri, sejumlah faktor psikiatrik atau fisik yang terkait memberikan
kontribusi pada kejadiannya. Secara umum adalah lebih baik membuat diagnosis
7
gangguan tidur yang spesifik bersamaan dengan diagnosis lain yang relevan untuk
menjelaskan secara adekuat psikopatologi atau patofosiologinya.
1. Insomnia non-organik (F51.0)
Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:
a) Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau
kualitas tidur yang buruk;
b) Gangguan terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama minimal satu
bulan
c) Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan peduli yang
berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari;
d) Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan
pekerjaan
Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau obsesi tidak
menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan. Semua komorbiditas harus
dicantumkan karena membutuhkan terapi tersendiri.
Kriteria lama tidur tidak digunakan untuk menentukan adanya gangguan, oleh
karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi
kriteria di atas (seperti pada transient insomnia) tidak didiagnosis di sini, dapat
dimasukkan dalam Reaksi Stres Akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian
(F43.2)
2. Hipersomnia non-organik (F51.1)
Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti:
a) Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya serangan
tidur/sleep attacks (tidak disebabkan oleh jumlah tidur yang kurang) dan
atau transisi yang memanjang dari saat mulai bangun tidur sampai sadar
sepenuhnya (sleep drunkenness)
b) Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari 1 bulan atau berulang
dengan kurun waktu yang lebih pendek, menyebabkan penderitaan yang
cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
c) Tidak ada gejala tambahan narkolepsi (cataplexy, sleep paralysis,
hypnagogic hallucination) atau bukti klinis untuk sleep apnoe (nocturnal
breath cessation, typical intermittent snoring sounds, dll)

8
d) Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang menunjukkan gejala rasa
kantuk pada siang hari
Bila hipersomnia hanya merupakan salah satu gejala dari gangguan jiwa lain,
misalnya gangguan afektif, maka diagnosis harus sesuai dengan gangguan
yang mendasarinya. Diagnosis hipersomnia psikogenik harus ditambahkan
bila hipersomnia merupakan keluhan yang dminan dari penderita dengan
gangguan jiwa lainnya.
3. Gangguan jadwal tidur-jaga non-organik (F51.2)
Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti:
a) Pola tidur-jaga dari individu tidak seirama (out of synchrony) dengan pola
tidur-jaga yang normal bagi masyarakat setempat
b) Insomnia pada waktu orang-orang tidur dan hipersomnia pada waktu
kebanyakan orang jaga, yang dialami hampir setiap hari untuk sedikitnya 1
bulan atau berulang dengan kurun waktu yang lebih pendek
c) Ketidak-puasan dalam kuantitas, kualitas, dan waktu tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan
pekerjaan
Adanya gejala gangguan jiwa lain, seperti anxietas, depresi, hipersomnia,
tidak menutup kemungkinan gangguan jadwal tidur-jaga non-organik, yang
penting adanya dominasi gambaran klinis gangguan ini pada penderita.
Apabila gejala gangguan jiwa lain cukup jelas dan menetap harus dibuat
diagnosis gangguan jiwa yang spesifik secara terpisah.
4. Somnambulisme (sleepwalking) (F51.3)
Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti:
a) Gejala yang utama adalah salah satu atau lebih episode bangun dari tempat
tidur, biasanya pada sepertiga awal tidur malam, dan terus berjalan-jalan
(kesadaran berubah)
b) Selama satu episode, individu menunjukkan wajah bengong (blank, staring
face), relatif tak memberi respons terhadap upaya orang lain untuk
mempengaruhi keadaan atau untuk berkomunikasi dengan penderita, dan
hanya dapat disadarkan/dibangunkan dari tidurnya dengan susah payah.
c) Pada waktu sadar/bangun (setelah satu episode atau keesokan paginya),
individu tidak ingat apa yang terjadi

9
d) Dalam kurun waktu beberapa menit setelah bangun dari episode tersebut,
tidak ada gangguan aktivitas mental, walaupun dapat dimulai dengan
sedikit bingung ddan disorientasi dalam waktu singkat
e) Tidak ada bukti gangguan mental organik
Somnambulisme harus dibedakan dari serangan epilepsi psikomotor dan fugue
disosiatif (F44.1)
5. Teror tidur (Night terrors) (F51.4)
Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti:
a) Gejala utama adalah satu atau lebih episode bangun dari tidur, mulai
dengan berteriak karena panik, disertai anxietas yang hebat, seluruh tubuh
bergetar, dan hiperaktivitas otonomik seperti jantung berdebar-debar,
napas cepat, pupil melebar, dan berkeringat
b) Episode ini dapat berulang, setiap episode lamanya berkisar 1-10 menit,
dan biasanya terjadi pada sepertiga awal tidur malam
c) Secara relatif tidak bereaksi terhadap berbagai upaya orang lain untuk
mempengaruhi keadaan teror tidurnya dan kemudian dalam beberapa
menit setelah bangun biasanya terjadi disorientasi dan gerakan-gerakan
berulang
d) Ingatan terhadap kejadian, kalaupun ada, sangat minimal (biasanya
terbatas pada satu atau dua bayangan-bayangan yang terpilah-pilah)
e) Tidak ada bukti adanya gangguan mental organik
Teror tidur harus dibedakan dengan mimpi buruk (F51.5) yang biasanya
terjadi setiap saat dalam tidur, mudah dibangunkan, dan teringat dengan jelas
kejadiannya.
Teror tidur dan somnambulisme sangat berhubungan erat, keduanya
mempunyai karakteristik klinis dan patofisiologi yang sama.
6. Mimpi buruk (nightmares)
Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti:
a) Terbangun dari tidur malam atau tidur siang berkaitan dengan mimpi yang
menakutkan yang dapat diingat kembali dengan rinci dan jelas (vivid),
biasanya perihal ancaman kelangsungan hidup, keamanan, atau harga diri;
terbangunnya dapat terjadi kapan saja selama periode tidur, tetapi yang
khas adalah pada paruh kedua masa tidur

10
b) Setelah terbangun dari mimpi yang menakutkan, individu segera sadar
penuh dan mampu mengenali lingkungannya
c) Pengalaman mimpi itu, dan akibat dari tidur yang terganggu menyebabkan
penderitaan cukup berat dari individu.
Sangat penting untuk membedakan mimpi buruk dengan teror tidur, dengan
memperhatikan gambaran klinis yang khas untuk masing-masing gangguan.
7. Gangguan tidur non-organik lainnya (F51.8)

8. Gangguan tidur non-organik YTT (F51.9) (Maslim, 2013)

F. Manajemen Farmakologi dan Non-farmakologi


1. Manajemen Farmakologi
Ditinjau dari sifat gangguan tidur, pengobatan insomnia dapat digolongkan
menjadi:
a) Initial insomnia, merupakan gangguan tidur yang ditandai dengan sulitnya
masuk ke dalam proses tidur. Obat yang dibutuhkan adalah yang bersifat sleep
inducing anti-insomnia, yaitu golongan benzodiazepine (short acting).
Gangguan ini biasanya terjadi pada gangguan anxietas.
b) Delayed insomnia, merupakan gangguan tidur yang ditandai dengan proses
tidur yang cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke proses tidur selanjutnya.
Obat yang dibutuhkan adalah yang bersifat prolong latent phase anti-
insomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (trisiklik dan tetrasiklik).
Gangguan ini biasanya terjadi pada gangguan depresi.
c) Broken insomnia, merupakan gangguan tidur yang ditandai dengan proses
tidur yang tidak normal, tidak utuh, dan terpecah-pecah menjadi beberapa
bagian (multiple awakening). Obat yang dibutuhkan adalah yang bersifat sleep
maintaining anti-insomnia, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (long acting). Gangguan ini biasanya terjadi pada gangguan
stress psikososial.

Berikut adalah sediaan obat anti-insomnia dan dosis anjurannya yang beredar di
Indonesia menurut IIMS Vol. 30 - 2001
No. Nama Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran

11
Generik
1. Nitrazepam MAGADON Tab. 5mg Dewasa 2 tab
DUMOLID Tab. 5mg Lansia 1 tab
2. Triazolam HALCION Tab. 0,125mg Dewasa 2 tab
Lansia 1 tab
Tab. 0,230mg Dewasa 1 tab
Lansia tab
3. Estazolam ESILGAN Tab. 1mg 1-2 mg/malam
Tab. 2mg
4. Chloral CHRORALHYDRAT Soft cap 1-2 cap, 15-30
hydrate 500 500mg menit sebelum
tidur
Sumber: Maslim, 2007.

Penggolongan:
Benzodiazepine: Nitrazepam, Triazolam, Estazolam
Non-benzodiazepine: Chloral-Hydrate, Phenobarbital

Pemberian dosis tunggal anjuran 15-30 menit sebelum tidur. Dosis awal dapat
dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu,
kemudian secepatnya tapering-off agar tidak terjadi rebound dan toleransi obat.
Pada pasien usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan kemudian ditingkatkan
perlahan-lahan untuk menghindari sedasi berlebihan dan intoksikasi.

Pemakaian obat anti-insomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari
2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Kesulitan pemberhentian obat
seringkali oleh karena psychological dependence sebagai akiibat dari rasa nyaman
yang timbul setelah gangguan tidur dapat teratasi.
Kontraindikasi pemberian obat-obat di atas adalah:
- Sleep apnoe syndrome
- Congestive heart failure
- Chronic respiratory disease.

12
Penggunaan benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai resiko menimbulkan
teratogenic effect, khususnya pada trimester pertama. Benzodiazepine juga dapat
diekskresikan melalui ASI dan dapat menimbulkan penekanan fungsi SSP pada
bayi. (Maslim, 2007)

2. Manajemen Non-Farmakologi
Terapi kebiasaan kognitif dan kontrol stimulus biasanya merupakan terapi pilihan
pada insomnia karena sama efektifnya dengan terapi farmakologi dan tidak
memiliki efek samping. Oleh karena itu, sebaiknya terapi non-farmakologi
menjadi pilihan pertama untuk menangani keluhan insomnia terutama untuk
pasien yang berusia muda dan pertengahan. (Maslim, 2007) Apabila keadaan
untuk tidur sudah kondusif tetapi pasien tetap sulit tidur, dibutuhkan perubahan
kebiasaan. Biasanya pasien dilarang untuk melakukan hal-hal lain di tempat
tidurnya selain untuk tidur. Apabila selama 5 menit pasien tetap tidak bisa tidur,
dianjurkan untuk melakukan hal lain. Pemindahan ruangan atau penggantian
tempat tidur juga terkadang memiliki efek yang baik untuk insomnia. Apabila
keluhan disertai dengan ketegangan otot, biasanya digunakan plester khusus
relaksasi otot, meditasi, atau latihan relaksasi sebagai pilihan pertama penanganan.
Psikoterapi biasanya tidak terlalu berpengaruh untuk keluhan insomnia primer.
Pemuasan kebutuhan seksual juga dapat berpengaruh terutama pada laki-laki.
(Sadock, et al, 2007)

13
REFERENSI

Herman, Rachael. 2016. Hypersomnia. Medical Article: American Sleep


Association. https://www.sleepassociation.org/patients-general-
public/hypersomnia/. (diakses tanggal 1 Mei 2016)

Higgins, Edmund S., George, Mark S., 2007. Neuroscience of Clinical Psychiatry,
The: The Pathophysiology of Behavior and Mental Illness, 1st Edition. South
Carolina: Lippincott Williams & Wilkins.

Maslim, Rusdi, 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan
DSM-5. Jakarta: PT Nuh Jaya.

Maslim, Rusdi, 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik


(Psychotropic Medication) Edisi Ketiga. Jakarta: PT Nuh Jaya.

Roth, Thomas, 2007, Insomnia: Definition, Prevalence, Etiology, and


Consequences. Medical Article: American Academy of Sleep Medicine.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1978319/ (diakses tanggal 1 Mei
2016)

Sadock, Benjamin James, Sadock, Virginia Alcott, 2007. Kaplan & Sadock's
Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition.
New York: Lippincott Williams & Wilkins.

14

Anda mungkin juga menyukai