DisusunOleh:
Arifi (030.10.039)
FyrnazKautharifa (030.10.111)
JeffrieIrtan (030.10.140)
1.3 Tujuan
1.3.1.Tujuan Umum
Untuk mengetahui, menganalisa dan mendeskripsikan hasil family folder pada salah satu
keluarga di Puskesmas Kelurahan Cilandak Timur.
1.3.2.Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam family folder ini adalah
i. Untuk mengetahui faktor resiko yang terdapat pada keluarga.
ii. Untuk mengetahui biologis, psikologis dan sosial keluarga.
iii. Untuk memberikan intervensi yang bisa diterapkan oleh keluarga.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Puskesmas
Manfaat bagi Puskesmas yaitu dapat membantu Puskesmas dalam memberikan alternatif
penyesaian terhadap masalah tersebut. dengan kegiatan ini dapat membantu Puskesmas dalam
meningkatkan pelayanan kesehatan dalam rangka meningkatkan upaya kesehatan perorangan.
2.1 Definisi
Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung yang terjadi
setelah paparan alergen melalui inflamasi yang diperantarai IgE pada mukosahidung.
2.2 Epidemiologi
Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi pada pasien dengan alergi. Rinitis
secara konsisten berada pada urutan enam penyakit kronis utama di Amerika Serikat. Morbiditas
dari rinitis menyebabkan kualitas hidup yang menurundi karenakan sakit kepala, mudah lelah,
gangguan kognisi, dan efek samping obatobatan. Rinitis alergi dapat menurunkan kualitas
hidup, antara lain fungsi fisik,problem bekerja, nyeri badan, vitalitas, fungsi sosial,
stabilitas emosi, bahkan kesehatan mental.
2.3 Prevalensi
Rinitis alergi telah menjadi masalah kesehatan global yang ditemukan diseluruh
dunia, sedikitnya terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang semakin meningkat
sehingga berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di sekolah serta produktivitas kerja.
Diperkirakan biaya yang dihabiskan baik secara langsung maupun tidak langsung akibat rinitis
alergi ini sekitar 5,3 miliar dolar amerika pertahun. Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40
juta orang menderita rinitis alergi atau sekitar 20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi
rinitis alergi sekitar 15%pada laki-laki dan 14% pada wanita, bervariasi pada tiap negara.
Ini mungkin diakibatkan karena perbedaan geografik, tipe dan potensi alergen.Rinitis alergi
dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda tergantung perbedaan genetik,
faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi. Dalam hubungannya dengan jenis kelamin,
jika rinitis alergi terjadi pada masa kanak kanak maka laki-laki lebih tinggi daripada wanita
namun pada masa dewasa prevalensinya sama antara laki-laki dan wanita. Dilihat dari segi
onset rinitis alergi umumnya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa muda.
Dilaporkan bahwa rinitis alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak. Pada laki-laki terjadi antara
onset 8-11 tahun, namun demikian rinitis alergi dapat terjadi pada semua umur.
2.4 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisigenetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangatberperan pada
ekspresi rinitis alergi.Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa
dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, sepertiurtikaria
dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi.
Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi
musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides
farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan
binatang pengerat.. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan factor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke
pegunungan membantu identifikasi untuk terpaparnya serbuk sari. Berbagai pemicu yang bisa
berperan dan memperberat adalah beberapa factor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi
udara, bau aroma yang kuat atau merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.
2.5 Klasifikasi
Rinitis alergi sebelumnya dibagi berdasarkan waktu pajanan menjadi rhinitis alergi
musiman (seasonal), sepanjang tahun (perenial) dan akibat kerja (occasional). Rinitis alergi
musiman hanya ada di negara yang memiliki empat musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepungsari dan spora jamur. Gejala ketiganya hamper sama, hanya sifat berlangsungnya yang
berbeda. Gejala rinitis alergi sepanjang tahun timbul terus menerus atau intermiten. Namun
sekarang klasifikasi rinitis alergi menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup, berdasarkan
lamanya dibagi menjadi intermiten dengan gejala 4 hariperminggu atau 4 minggu dan
persisten dengan gejala >4 hari perminggu dan >4minggu. Berdasarkan beratnya penyakit dibagi
dalam ringan dan sedang-berat tergantung dari gejala dan kualitas hidup. Dikatakan ringan yaitu
tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, olah raga, belajar, bekerja
dan lain-lain yang mengganggu. Dikatakan sedang-berat jika terdapat satu atau lebih gangguan
tersebut di atas.
Intermiten Persisten
Gejala Gejala
4 hari per minggu > 4 hari per minggu
atau 4 minggu dan > 4 minggu
Ringan Sedang-Berat
Satu atau lebih gejala
tidur normal tidur terganggu
aktivitas sehari-hari, saat olah raga dan santai aktivitas sehari-hari, saat olah raga dan santai
normal terganggu
bekerja dan sekolah normal masalah dalam sekolah dan bekerja
tidak ada keluhan yang mengganggu ada keluhan yang mengganggu
2.6 Patofisiologi
Awal terjadinya reaksi alergi dimulai dengan respon pengenalan alergen/antigen oleh
sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit dan atau sel dendrit. Sel-sel tersebut
berperan sebagai sel penyaji ( antigen presenting cell/sel APC), dan berada di mukosa
saluran pernafasan. Antigen yang menempel pada permukaan mukosa tersebut ditangkap
oleh sel-sel APC, kemudian dari antigen terbentuk fragmen peptida imunogenik. Fragmen
pendek peptida ini bergabung dengan MHC-II yang berada pada permukaan sel APC. Komplek
peptida-MHC-II ini akan dipresentasikan ke limfosit T yang diberi nama Helper-T cells (TH0).
Apabila sel TH0 memiliki reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptida-MHC-II tersebut,
maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tesebut. Sel APC akan melepas sitokin yang
salah satunya adalah IL-1. IL-1 akan mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2. Sel TH2
melepas sitokin antara lain IL-3, IL-4, 3IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan ditangkap
resptornya pada permukaan limfosit-B, akibatnya akan terjadi aktivasi limfosit-B. Limfosit-B
aktif ini memproduksi IgE. Molekul IgE beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki
jaringan dan ditangkap eleh reseptor IgE pada permukaan sel mastosit atau sel basofil. Maka
akan terjadi degranulasi sel mastosit dengan akibat terlepasnya mediator alergis.Mediator yang
terlepas terutama histamin. Histamin menyebabkan kelenjar mukosa dan goblet mengalami
hipersekresi, sehingga hidung beringus. Efek lainnya berupa gatal hidung, bersin-bersin,
vasodilatasi dan penurunan permeabilitas pembuluh darah dengan akibat pembengkakan
mukosa sehingga terjadi gejala sumbatan hidung. Reaksi alergi yang segera terjadi akibat
histamin tersebut dinamakan reaksi alergi fase cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada
15-20 menit pasca paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang
RAFC mastosit juga melepas molekul-molekul kemotaktik yang terdiri dari ECFA (eosinophil
chemotactic factor of anaphylatic) dan NCEA (neutrophil chemotactic factor of
anaphylatic). Kedua molekul tersebut menyebabkan penumpukkan sel eosinofil dan neutrofil di
organ sasaran. Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat
(RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas RAFL adalah terlihatnya
pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yangberakumulasi di jaringan sasaran
dengan puncak akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling konstan bertambah banyak
jumlahnya dalam mukosa hidung dan menunjukkan korelasi dengan tingkat beratnya gejala
pasca paparan adalah eosinofil.
b. Hidung
- Pada pemeriksaan hidung digunakan nasal speculum atau bagi spesialis dapat menggunakan
rhinolaringoskopi
- Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat, disertai adanya sekret
encer yang banyak.
- Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis alergi mukus encer dan tipis.
Jika kental dan purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis. Namun, mukus yang kental,
purulen dan berwarna dapat timbul pada rinitis alergi.
- Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi septum yang dapat disebabkan
oleh rinitis alergi kronis, penyakit granulomatus.
- Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip dan tumor. Polip berupa massa
yang berwarna abu-abu dengan tangkai. Dengan dekongestant topikal polip tidak akan menyusut.
Sedangkan mukosa hidung akan menyusut.
2.8 Ko-Morbiditas
Inflamasi alergi tidak terbatas hanya pada rongga hidung. Berbagai komorbiditas telah
diketahui berhubungan dengan rinitis.
2.8.1. Asma
-Mukosa nasal dan bronkus mempunyai banyak kesamaan
-Banyak penderita rinitis rinitis alergi mengalami peningkatan hipereaktivitas bronkus yang non-
spesifi
-Banyak penderita rinitis juga menderita asma
-Saluran nafas atas dan bawah diduga diepngaruhi oleh suatu proses inflamasi yang serupa yang
mungkin dapat menetap dan diperberat oleh mekanisme yang saling berhubungan ini.
-Penyakit alergi dapat bersifat sistemik.Provokasi bronchial menyebabkan inflamasi nasal dan
provokasi nasal menyebabkan inflamasi bronkial.
2.8.2. Sinusitis dan konjungtivitis
2.8.3. Hubungan antara rinitis alergi, polip nasal dan otitis media belum dipahami dengan baik.
2.9 Penatalaksanaan
Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :
a. Penghindaran alergen.
Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk mencegah
kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga degranulasi sel mastosit tidak
berlangsung dan gejalapun dapat dihindari. Namun, dalam praktek adalah sangat sulit mencegah
kontak dengan alergen tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk mengetahui
pentingnya peranan penghindaran alergen.
b. Pengobatan medikamentosa
Cara penngobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau menetralisasi kinerja
molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi alergis dan atau mencegah pecahnya
dinding sel dengan harapan gejala dapat dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis
pada umumnya diberikan intranasal atau oral. Antihistamin yang dipakai adalah antagonis
histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan
rhinitis alergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk
mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk
mengatasi obstruksi hidung pada fase lambat. Preparat simpatomimetik golongan agonis
adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topiukal hanya boleh untuk beberapa hari
saja untuk menghindari terjadinya rinitis alergi medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih
bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain.
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung,
mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit. Preparat
antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi di masa yang
akan datang adalah anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan. Obat-obat tidak memiliki efek
jangka panjang setelah dihentikan. Karenanya pada penyakit yang persisten, diperlukan terapi
pemeliharaan.
c. Imunoterapi spesifik
Imunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi subkutan masih
menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan keamanan. Oleh karena itu, dianjurkan
penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi label dalam unit biologis atau dalam ukuran masa
dari alergen utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai 20 g.
Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan penderita harus dipantau selama
20 menit setelah pemberian subkutan.
Indikasi imunoterapi spesifik subkutan
- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi konvensional
-Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan antihistamin H1 dan
farmakoterapi
- Prnderita yang tidak menginginkan farmakoterapi
- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan
- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka panjang.
- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali lebih besar dari pada yang
digunakan untuk imunoterapi subkutan.
- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak imunoterapi subkutan
- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan Pada anak-anak, imunoterapi spesifik
adalah efektif. Namun tidak direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah
umur 5 tahun.
d. Imunoterapi non-spesifik
Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama seperti
pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu samasama mampu menekan reaksi
inflamasi, namun ditinjau dari aspek biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat berbeda.
Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada di dalam sitoplasma
sel, kemudian menembus membran inti sel dan mempengaruhi DNA sehingga tidak membentuk
mRNA. Akibat selanjutnya menghambat produksi sitokin pro-inflammatory.
e. Edukasi
Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam
menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya terajadi pada peningkatan populasi
limfosit TH yang berguna pada penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme
imunopsikoneurologis.
f. Operatif
Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa penderita yang
sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau triklor asetat.
2.10 Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. Polip hidung biasanya
tumbuh di meatus medius dan merupakan manifestasi utama akibat proses inflamasi kronis yang
menimbulkan sumbatan sekitar ostia sinus di meatus medius. Polip memiliki tanda patognomonis
: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih
eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
Ditemukan juga mRNA untuk GM-CSF, TNF-alfa, IL-4 dan IL-5 yang berperan meningkatkan
reaksi alergis.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal
Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia
sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa ostia menyebabkan sumbatan ostia.
Penyumbatan tersebut akan menyebabkan penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan
oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri
terutama bakteri anaerob. Selain dari itu, proses alergi akan menyebabkan rusaknya fungsi barier
epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediatormediator protein basa yang dilepas sel
eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah. Pengobatan komplikasi rinits alergi
harus ditujukan untuk menghilangkan obstruksi ostia sinus dan tuba eustachius, serta
menetralisasi atau menghentikan reaksi humoral maupun seluler yang terjadi lebih meningkat.
Untuk tujuan ini maka pengobatan rasionalnya adalah pemberian antihistamin, dekongestan,
antiinflamasi, antibiotia adekuat, imunoterapi dan bila perlu operatif
BAB III
METODE
3.1 Desain
Desain family folder yang digunakan adalah wawancara, observasi dan konseling
3.2.2Waktu
Family folder dilakukan pada bulan Juli 2015