Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Atresia Esofagus

1.1. Definisi Atresia Esofagus

Esophageal Atresia atau Atresia esofagus adalah kelainan pada esofagus

yang ditandai dengan tidak menyambungnya esofagus bagian proksimal

dengan esofagus bagian distal, esophagus bagian proksimal mengalami

dilatasi yang kemudian berakhir sebagai kantung dengan dinding muskuler

yang mengalami hipertrofi yang khas memanjang sampai pada tingkat

vertebra torakal segmen 2-4. 1

Bagian distal esophagus merupakan bagian yang mengalami atresia

dengan dinding muskuler yang tipis dan berdiameter kecil. Keadaan ini

meluas sampai diatas diafragma. Atresia esophagus merupakan kelainan

kongenital yang harus dicurigai sebagai salah satu differential diagnosis bila

terdapat neonatus yang mengalami kesulitan makan dan bernapas dalam

beberapa hari pertama lahir. 2

1.2. Anatomi dan Embriologi Esofagus

Esofagus berkembang pertama kali dari postpharyngeal foregut dan

dapat dibedakan dari abdomen pada masa 4 minggu embrio berkembang. Dan

di saat yang bersamaan trakea mulai berkembang menonjol ke anterior dari


esofagus yang sedang berkembang; trakea terbentuk menjadi divertikulum

ventral dari pharynx primitive (bagian caudal dari foregut). Septum

trakeoesofagus terbentuk pada tempat dimana pembungkus trakeoesopagus

longitudinal bergabung ke arah garis tengah dan menyatu. Septum ini terbagi

menjadi bagian ventral (tuba laringotrakheal) dan bagian dorsal (esofagus),

septum bagian ventral ini yang akan berkembang menjadi paru paru.1

Adanya gangguan pada stadium ini dapat menyebabkan kelainan

congenital seperti atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus. Atresia

esofagus terjadi jika septum trakeoesofagus deviasi ke posterior. Deviasi ini

membuat pemisahan esofagus dari saluran laringotrakea tidak komplit

sehingga terjadi fistula trakeoesofagus. Panjang dari esofagus berkisar 8 10

cm setelah lahir, menjadi dua kali lipat saat berumur 2-3 tahun, dan menjadi

kurang lebih 25 cm saat dewasa.1

Esofagus merupakan organ memanjang seperti tabung yang

menghubungkan pharynx dan gaster. Sebagian besar esofagus terdapat di

dalam rongga thorax dan menembus diafragma untuk masuk ke dalam cavitas

abdominalis beberapa sentimeter, esofagus lalu mencapai gaster pada sisi

kanannya. Di tempat peralihan ini (dekat cardia), di sebelah kanan esofagus

terdapat lobus hepatis sinister dan di posteriornya terdapat crus sinistrum dari

diafragma. Nervus vagus terdapat di anterior dan posteriornya. Peralihan

esofagus ke gaster berfungsi sebagai sphincter esofagus bagian bawah.


Makanan yang masuk akan tertahan sementara di sini dan sphincter ini juga

berguna untuk mencegah kembalinya isi gaster ke dalam esofagus.3

Gambar 1.1. Anatomi Esofagus


Suplai darah arteria untuk esofagus bagian atas, tengah dan bawah

berturut-turut oleh cabang dari arteria thyroidea inferior, arteria oesophagica,

arteria bronchialis dan cabang dari arteria gastric sinistra. Darah vena

mengikuti arterinya kecuali bagian tengah yang menuju vena azygos dan vena

hemiazygos. Darah dari bagian akhir esofagus akan mengalir ke vena portae

hepatis melalui vena gastrica sinistra. Plexus esofagus merupakan tempat


penting untuk anastomosis antara sistem vena azygos dan vena gastrica.

Persarafan parasimpatis diurus oleh nervus vagus (plexus esofagus).

Persarafan simpatis oleh rami oesophagealis dari ganglia thoracica dan nervus

splanchnicus major. 3

1.3. Etiologi dan Patofisiologi Atresia Esofagus

Atresia esofagus adalah kelainan yang terjadi pada awal gestasi (22

sampai 36 hari). Esofagus dan trakea berasal dari foregut primitive. Selama 4

sampai 5 minggu perkembangan embriologi , trakea terbentuk menjadi

divertikulum ventral dari pharynx primitive (bagian caudal dari forgut).

Septum trakeoesofagus terbentuk pada tempat dimana pembungkus

trakeoesopagus longitudinal bergabung ke arah garis tengah dan menyatu.

Septum ini terbagi menjadi bagian ventral (tuba laringotrakheal) dan bagian

dorsal (esofagus). Atresia esofagus terjadi jika septum trakeoesofagus deviasi

ke posterior. Deviasi ini membuat pemisahan esofagus dari saluran

laringotrakea tidak komplit sehingga terjadi fistula trakeoesofagus.4

Gambar 1.2. Patofisiologi Atresia Esofagus


Atresia esofagus ditandai oleh pembentukan esofagus yang tidak

sempurna. Karena terdapat diskontinuitas esofagus , bayi dengan atresia

esofagus tidak dapat menelan makanan maupun minuman yang diberikan

padanya. Defek ini menimbulkan pengeluaran air liur yang menetap, aspirasi

atau regurgitasi makanan. Atresia esofagus sering dihubungkan dengan fistula

yang terletak antara trakea dan esofagus. Fistula ini menyebabkan komplikasi

tambahan sebagai akibat adanya hubungan antara esofagus dan trakea. Ketika

bayi dengan fistula trakeoesofagus tegang, batuk atau menangis, udara masuk

kedalam lambung melalui fistula. Akibatnya, perut dan usus kecil berdilatasi

yang akan mengangkat diafragma. Keadaan ini akan membuat bayi kesulitan

bernafas. Reflux makanan dan sekresi lambung melalui fistula menuju

trakeobronkus dan naik ke esofagus dapat juga terjadi. Reflux ini dapat

menyebabkan pneumonia dan atelektasis. Oleh karena itu, pneumonia dan

distress pernafasan merupakan komplikasi yang biasanya terjadi pada fistula

trakeoesofagus.2,4

Terdapat banyak klasifikasi atresia esofagus, yang sampai saat ini masih

digunakan adalah klasifikasi atresia esofagus berdasarkan Gross of Boston,

klasifikasi fistel trakeo-esofagus tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1.1. klasifikasi fistel trakeo-esofagus menurut klasifikasi Gross

of Boston5

Tipe Uraian
A Atresia esofagus tanpa fistel (atresia
esofagus murni) -10%
B Atresia Esofagus dengan fistel trakeo-
esofagus proksimal 1%
C Atresia esofagus dengan fistel trakeo-
esofagus distal 85%
D Atresia esofagus dengan fistel trakeo-
esofagus proksimal dan distal - < 1%
E Fistel trakeo-esofagus tanpa atresia
esofagus (fistel tipe H) 4%
F Stenosis esofagus kongenital - < 1%

Pada tipe A dan C terjadi refluks ludah dan minuman dari esofagus yang

buntu sehingga cairan masuk ke dalam jalan napas. Pada tipe B dan D, ludah

dan minuman langsung masuk melalui jalan napas melalui fistel proksimal.

Pada tipe C dan D, terjadi refluks cairan lambung ke jalan napas. Tipe E,

ludah, minuman dan cairan lambung masuk ke jalan napas melalui satu fistel

yang sama. 5

1.4. Gambaran Klinis

Atresia esofagus perlu dicurigai bila pada bayi baru lahir yang mulut

dan tenggorokkannya telah dibersihkan dengan baik, timbul nafas mengorok

atau terlihat gelembung udara bercampur lendir putih pada lubang hidung dan

mulut beberapa jam kemudian. Keadaan ini terjadi karena regurgitasi air ludah

atau minuman pertama. Pada keadaan ini, perlu dilakukan pemeriksaan

keutuhan lumen esofagus dengan memasukkan kateter kecil melalui hidung


ke dalam esofagus. Jika kateter tertahan setelah masuk 10-12 cm dari lubang

hidung, diagnosis atresia esofagus dapat ditegakkan. Diagnosis harus dibuat

sebelum bayi diberi minum karena bila telah diberi minum, apalagi minum

susu dapat timbul kegawatan akibat aspirasi susu kedalam paru. Bayi akan

batuk-batuk dan timbul sianosis. Penyulit paru ditambah prematuritas dan

anomali lain sangat mungkin menimbulkan kematian.5

Bayi dengan fistula pada bagian proksimal menghambat pernafasan,

distress, dan sianosis selama makan. Pada bayi dengan atresia dan fistula

distula, saliva yang banyak dan regurgitasi muncul bersamaan dengan sianosis

dan pneumonia sekunder yang terjadi akibat refluks dari isi lambung. Selain

itu, udara biasanya masuk keperut, sehingga perut menjadi timpani dan

mungkin menjadi begitu kembung sehingga mengganggu pernapasan. Jika

kedua fistula proksimal dan distal ada, biasanya fistula proksimal yang

memberikan gejala. Fistula trakeo-esofagus tanpa atresia menimbulkan gejala

batuk dan tersedak sewaktu makan, pneumonia berulang dan distensi

abdomen intermitten.1,2

1.5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan radiologi

dada dan perut untuk menentukan adanya fistel distal. Pemeriksaan ini

dilakukan dengan memasukkan kateter melalui hidung ke esofagus. Pada foto

akan terlihat kateter yang mungkin melengkung ke atas dan lambung berisi
udara.5 Penampakkan radiografi pada kasus atresia esofagus tergantung dari

tipe atresia esofagus itu sendiri :

A. Atresia Esofagus dengan Fistula Trakeoesofagus pada bagian distal

Foto akan memperlihatkan gambaran udara yang sedikit jika fistula

oklusi. Sejumlah udara akan terlihat pada esofagus, meskipun

biasanya udara dalam esofagus pada neonatus dan anak-anak

normal, selain itu tampak gas pada abdomen.

Gambar 1.3 Gambaran Atresia esofagus dengan fistula


trakeoesofagus di bagian distal. Tampak orogastric tube di bagian
proximal esofagus se rta terlihat gas pada usus di abdomen
Gambar 1.4.

Bayi diletakkan setengah duduk dan dimasukkan keteter melalui hidung

ke esofagus yang buntu. Setiap 10 menit, lendir dan ludah dihisap melalui

kateter untuk mencegah refluks dan aspirasi.


ATRESIA ANI

I. Definisi

Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus

tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan

atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai

sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal,

Limb).

II. Embriologi

Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon

desendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani. endodern usus

belakang ini juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra.

Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga

yang dilapisi endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm

permukaan. Daerah pertemuan antara endoderm dan ektoderm

membentuk membran kloaka.

Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu

septum urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat

ini tumbuh kearah kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian

depan, yaitu sinus uroginetalis primitif, dan bagian posterior, yaitu

kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur 7 minggu, septum

urorektal mencapai membran kloaka, dan di daeraah ini terbentuklah


korpus parienalis. Membran kloakalis kemudian terbagi menjadi

membran analis di belakang, dan membran urogenitalis di depan.

Sementara itu, membran analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol

mesenkim, yang dikenal sebagai celah anus atau proktodeum. Pada

minggu ke-9, membran analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum

dan dunia luar. Bagian atas kanalis analis berasal dari endoderm dan

diperdarahi oleh pembuluh nasi usus belakang, yaitu arteri mesentrika

inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah kanalis analis berasal dari

ektoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat

tepat di bawah kolumna analis. Pada garis ini, epitel berubah dari epitel

torak menjadi epitel berlapis gepeng.

Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut

dan hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian

bawah, esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier

serta pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum,

sekum, appendik, kolon asenden sampai pertengahan kolon

transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke membrana kloaka,

membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan ektoderm dari

protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut

sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari

septum urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra

levator. Sedangkan anomali letak rendah atau infra levator berasal dari
defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak

tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak normal Sedangkan otot

sfingter eksternus dan internus dapat tidak ada atau rudimenter.

III. Etiologi

Atresia ani dapat disebabkan karena :

1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur,

sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur

2. Gangguan organogenesis dalam kandungan

3. Berkaitan dengan sindrom down

Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya

adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko

malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan

kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan

populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga

menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan

trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa

mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan

atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik.

IV. Patofisiologi

Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal

pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya

obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi


abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila

urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi

sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir

kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan

ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ

sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina

(rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya

fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila

kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju ke

uretra (rektouretralis).

V. Klasifikasi

Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami,

atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis

kelamin. Pada laki laki golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu

kelainan fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan

pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada laki laki

dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis

anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit.
Gambar 1.1. Atresia ani pada laki-laki
Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan

yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia

rektum, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit.

Golongan II pada perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel

perineum, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara <

1 cm dari kulit.

Gambar 1.2. Atresia ani pada perempuan


VI. Manifestasi Klinis

Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24

48 jam. Gejala itu dapat berupa :


1. Perut kembung.

2. Muntah.

3. Tidak bisa buang air besar.

4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat

dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan.

Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah

dimana rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit

sehingga feses bayi tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal

intermedia dimana ujung dari rektum dekat ke uretra dan malformasi

anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali tidak ada.

Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih

abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara

50% - 60%. Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan

malformasi yang lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan

secara kebetulan, akan tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam

nyawa seperti kelainan kardiovaskuler.

Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan

malformasi anorektal adalah

1. Kelainan kardiovaskuler.

Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis

kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect


dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan

vebtrikular septal defect.

2. Kelainan gastrointestinal.

Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%),

obstruksi duodenum (1%-2%).

3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.

Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan

lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae,

dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering

ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma

intraspinal.

4. Kelainan traktus genitourinarius.

Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan

pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden

kelainan urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 %

sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%.

Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul

bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal,

Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL

(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal,

Renal and Limb abnormality)


VII. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang

teliti.

Pada anamnesis dapat ditemukan :

1. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.

2. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya

fistula.

3. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan

kemungkinan kelainan adalah letak rendah

Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa

menggunakan cara:

1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila:

a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau

anal membran berarti atresia letak rendah maka

dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti

(PSARP) tanpa kolostomi

b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan

dilakukan kolostomi terlebih dahulu, setelah 8 minggi

kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila

pemeriksaan diatas meragukan dilakukan

invertrogram. Bila akhiran rektum < 1 cm dari kulit

maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm


disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa

rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.

2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.

Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal

PSARP tanpa kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau

rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Bila

fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1

cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila

akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.

Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila

mekonium didadapatkan pada perineum, vestibulum atau

fistel perianal maka kelainan adalah letak rendah . Bila Pada

pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau

rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah

lahir agar usus terisis\ udara, dengan cara Wangenstein Reis

(kedua kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala

dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan bertujuan

agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat

fistula lakukan fistulografi.

Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan

gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan


pada pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah

perianal dan dengan memasukkan termometer melalui anus.

Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan

fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak

ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium

harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius.

Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi

struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan

kosong.

Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi tonus

otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama

16- 24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk

menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty.

Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum,

ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple

mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang

sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak tinggi

dan harus dilakukan colostomy.

Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani

letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket

handle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran

pada anus (tempat keluarnya mekonium).


VIII. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia

ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada

beberapa waktu lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur

abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan

inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi.

Pena dan Defries pada tahun 1982 yang dikutip oleh Faradillah

memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital

anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter

eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi

kantong rektum dan pemotongan fistel.

Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya

secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya,

bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara

tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat

ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik,

radiologis dan USG.

Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh

karena kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang

tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan

operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari
berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak

ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula.

Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan

pada :

a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid

kolostomi atau TCD dahulu, setelah 6 12 bulan baru dikerjakan

tindakan definitif (PSARP).

b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana

sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk

identifikasi batas otot sfingter ani ekternus.

c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.

d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan

Pena dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.

Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi

dan intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi

dan diversi. Operasi definitif setelah 4 8 minggu. Saat ini teknik yang

paling banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baik

minimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti Neonatus

perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya ditemukan vital

ke vetibulum atau vagina (80-90%). Golongan I Pada fistel vagina,

mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak

lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum,


muara fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama

penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita

mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila

penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada

pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna.

Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat

dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi

pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2

cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan

kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm

dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Lubang fistel

perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus

normal, tetapi tanda timah anus yang buntu ada di posteriornya.

Kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus,

lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit.

Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan

terapi definitif. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1 cm

dari kulit. Dapat segera dilakukan pembedahan definitif. Dalam hal ini

evakuasi tidak ada, sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Yang

harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk perineum

dan tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal tadi pada anak

laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel
perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar

dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra

maupun ke vesika urinaria.

Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang

kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak

uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin

mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi

feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia

rektum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi.

Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram,

maka perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Fistel perineum

sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus

normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di

bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi

definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan wanita,

tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan

udara < 1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera dilakukan

pertolongan bedah.

IX. Penatalaksanaan Post operasi

Pemberian antibiotik intravena selama 3 hari, salep antibiotik

diberikan selama 8 10 hari. 10 hari post operasi dilakukan anal


dilatasi dengan heger dilatation, 2x sehari dan tiap minggu

dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai

mencapai ukuran ynag sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan

bila busi nomor 13-14 mudah masuk. Dilatasi anus bisa dilakukan

oleh orang tua di rumah, mula-mula dengan jari kelingking

kemudian dengan jari telunjuk selama 23 bulan berikutnya.

Penutupan kolostomi dapat dilakukan 23 bulan setelah

pembedahan definitif.

Anda mungkin juga menyukai