UNIVERSITAS PATTIMURA
PTERYGIUM
Disusun oleh:
NIM. 2012-83-045
Pembimbing:
AMBON
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan pembuatan Laporan Kasus pada bagian ilmu
Laporan kasus ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik pada bagian
ilmu kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura Ambon tahun 2017. Penulis
menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun selalu penulis harapkan, dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat untuk
kita semua.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih atas segala pihak yang telah membantu
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………... ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………... 1
B. Pterygium……………………………………………………...................................... 3
a. Definisi ……………………………………………………...………………............ 3
b. Epidemiologi …………………………………………….………………………… 3
c. Patogenesis ………………………………………………………………..……...... 4
f. Klasifikasi ........................………………………………………………………...... 6
h. Tatalaksana ...........…………………………………………………………............. 7
A. Identitas ...........……………………………………………………….......................... 8
B. Anamnesis ...........………………………………………………………...................... 8
E. Diagnosis ............………………………………………………………........................ 11
ii
G. Perencanaan ……………………………………………………….............................. 11
H. Prognosis… ......................…………………………………………………….............. 12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..................... 14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
dari arah konjungtiva menuju kornea pada area intrapalpebra. Pterygium tumbuh berbentuk
sayap pada konjungtiva bulbar.1 Pterygium tersebar di berbagai belahan dunia, namun lebih
banyak pada daerah yang dekat dengan ekuator yang beriklim panas, kering dan berdebu.
Indonesia merupakan salah satu negara yang berada di daerah ekuator. Insiden pterygium di
Prevalensi pterigium meningkat seiring bertambah usia, sering terjadi pada dekade 2-3
kehidupan. Insiden tertinggi terjadi pada usia 20-49 tahun. Jenis kelamin laki-laki lebih beresiko
daripada perempuan. Hal ini berhubungan dengan kebiasaan merokok dan riwayat paparan
lingkungan.2
Faktor paparan sinar matahari sangat berperan dalam proses munculnya pterygium. Hal
ini juga sering terjadi bersamaan dengan mata kering. Berbagai tindakan dapat dilakukan untuk
mengatasi pterygium, mulai dari tindakan pencegahan sampai tindakan operatif tergantung pada
derajat keparahannya.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Mata dewasa memiliki ukuran diameter sekitar 2,5 cm dan hanya seperenam bagian
permukaan anterior yang terlihat dari luar. Bagian lainya tertutupi dan dilindungi oleh
Alis mata adalah rambut pendek dan agak kasar yang terletak di margin supraorbital. Pada
bagian depan, mata dilindungi oleh kelopak mata (palpebra) yang dipisahkan oleh fisura
palpebral serta duihubungkan pada bagian medial dan lateral oleh komisura medialis dan
lateralis.4
2
Konjungtiva merupakan membran mukosa transparan yang terbgai atas 2 yaitu yang
menutupi kelopak mata.disebut konjungtiva palpebralis dan melipat ke arah anterior bola
mata yang disebut konjungtiva bulbar. Konjungtiva bulbar hanya menutupi bagian putih mata
(sklera), tidak termasuk kornea. Konjungtiva bulbar sangat tipis, pembuluh darah dapat
B. PTERYGIUM
a. Definisi
Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu pteron yang artinya sayap. Pterygium adalah
pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva
menuju kornea pada area intrapalpebra. Pterygium tumbuh berbentuk sayap pada
konjungtiva bulbar.1
b. Epidemiologi
Pterygium tersebar di berbagai belahan dunia, namun lebih banyak pada daerah yang
dekat dengan ekuator yang beriklim panas, kering dan berdebu. Indonesia merupakan
salah satu negara yang berada di daerah ekuator. Insiden pterygium di Indonesia yaitu
13,1%.2
Prevalensi pterigium meningkat seiring bertambah usia, sering terjadi pada dekade 2-3
kehidupan. Insiden tertinggi terjadi pada usia 20-49 tahun. Jenis kelamin laki-laki lebih
beresiko daripada perempuan. Hal ini berhubungan dengan kebiasaan merokok dan
3
c. Patogenesis
Etiologi pterygium belum diketahu dengan jelas, namun pengaruh lingkungan dengan
iklim panas menjadi penyebab utama. Selain itu, pterigium merupakan respon terhadap
paparan faktor lingkungan seperti sinar matahari (ultraviolet), daerah kering. Angin
kencang, debu dan faktor iritan lainnya. Teori menyebutkan pengeringan lokal pada
kornea dan konjungtiva yang disebabkan oleh adanya kelainan pada tear film
Ultraviolet merupakan mutagen supresor tumor gen p53 pada stem sel limbal basal.
Transforming growth factor β diproduksi dalam jumlah berlebihan tanpa apoptosis. Hal
ini menimbulkan peningkatan proses kolagenase. Sel-sel bermigrasi dan terjadi proses
Terjadi perubahan fenotip dimana pada fibroblast pterygium menunjukan proliferasi sel
ekstraselulernya bekerja pada jaringan yang rusak sebagai penyembuhan dan untuk
merubah bentuk. Hal ini menyebabkan pterygium yang cenderung terus tumbuh dan
d. Manifestasi klinis
Secara klinis, pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang
meluas ke kornea pada daerah fisura intrapalpebra. Sekitar 90% berasal dari bagian nasal,
namun dapat juga berasal dari bagian temporal. Dapat terjadi pada salah satu maupun
kedua mata, namun jarang simetris. Pada fase awal, pterygium muncul tanpa gejala, hanya
berupa keluhan kosmetik. Dapat timbul ketidaknyamanan pada mata karena terasa seperti
4
ada benda di dalam mata, kemerahan, rasa gatal dan fotofobia. Perluasan pterygium dapat
sampai ke limbus dan sampai menutup sumbu penglihatan, hal ini dapat menyebabkan
penglihatan kabur.5
e. Faktor Risiko
1. Radiasi ultraviolet
lamanya waktu berad di luar rumah, penggunaan kacamata dan pelindung lain seperti
2. Faktor genetik
3. Faktor lain
Iritasi kronik dan inflamasi yang terjadi di area limbus atau kornea perifer merupakan
faktor pendukung terjadinya keratitis dan defisiensi limbal. Hal ini menjadi salah satu
kelembaban yang rendah, trauma kecil, mata kering serta virus juga dapat menadi
penyebab pterygium.3
5
f. Klasifikasi
2. Derajat II : pterygium sudah melewati limbus kornea namun tidak lebih dari 2 mm
3. Derajat III : sudah lebih dari derajat II namun tidak melebihi pinggiran pupil mata
1. Progresif : pterygium tebal dan vaskuler dengan beberapa infiltrate di depan kepala
g. Diagnosis Diferensial
Secara klinis pterygium hampir sama dengan pingekuela dan pseudopterygium. Pada
pingekuela, bentuknya kecil, meninggi, merupakan massa kekuningan yang terbatas pada
limbus dan konjungtiva bulbar dan kadang-kadang mengalami inflamasi. Pada keadaan ini
tindakan eksisi tidak diindikasikan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor risiko penyebab
terjadinya pingekuela.7,8
A) B)
6
Pseudopterygium mempunyai pertumbuhan yang mirip dengan pterygium yang
fibrovaskular yang muncul pada konjungtiva bulbar dan menuju ke arah kornea.
yang terjadi sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma
bedah dan ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi pseudopterygium, cirinya yaitu
tidak melekat pada limbus kornea, sehingga bila menggunakan muscle hook dapat dengan
mudah melewati bagian bawah pseudopterygium pada area limbus, dimana hal ini tidak
h. Tatalaksana
Keluhan seperti fotofobia dan mata merah pada pterygium ringan dapat diatasi dengan
cara menghindari faktor penyebab yaitu asap dan debu. Obat-obatan topikal seperti
Tindakan eksisi dapat dilakukan denganindikasi yang bervariasi yaitu bila terdapat
yang progresif ke medial kornea atau mencapai sumbu penglihatan serta adanya gangguan
pergerakan bola mata. Eksisi bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan bola mata
yang licin. Teknik yang digunakan yaitu dengan diseksi pterigium kea rah limbus
menggunakan pisau datar. Dapat timbul perdarahan pada akibat trauma jaringan sekitar.
7
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Umur : 40 tahun
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama:
2. Anamnesis Terpimpin:
Keluhan di alami sejak ± 3 bulan yang lalu. Pasien merasa ada sesuatu seperti kotoran
mata pada mata kanan. Keluhan akan lebih terasa saat pasien berada di cuaca panas,
berangin, berdebu atau berasap. Pasien menyadari adanya selaput di mata kanan sejak ± 1
3. Keluhan Tambahan: -
4. Negatif Pendukung: -
8
6. Riwayat Kacamata: -
9. Riwayat Pengobatan: -
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Suhu : ± 36,5° C
2. Status Oftalmologi
a. Visus
OD : 6/6
OS : 6/6
ADD : S + 1,00 D
9
b. Segmen Anterior ODS
Hifema (-), ulkus (-) Bilik mata depan Hifema (-), ulkus (-)
Gambar Skematik
(OD) (OS)
10
c. Tekanan Intra okular : tidak dilakukan
D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
E. Diagnosis
OD Pterigium derajat II
F. Diagnosa Banding
OD Pingekuela
G. Perencanaan
a. Terapi
b. Monitoring
Keluhan utama
c. Edukasi
Penjelasan tentang pemakaian obat tetes dan pencegaha yang dapat dilakukan
11
H. Prognosis
OD Prognosis OS
12
BAB III
DISKUSI
Pasien perempuan 40 tahun datang dengan keluhan merasa tidak nyaman pada mata
kanan, seperti ada kotoran mata yang menggangu pasien. Keluhan di alami sejak ± 3 bulan yang
lalu. Keluhan akan lebih terasa saat pasien berada di cuaca panas, berangin, berdebu atau
berasap. Pasien menyadari adanya selaput di mata kanan sejak ± 1 tahun yang lalu. Pasien belum
Pemeriksaan visus pasien 6/6 pada kedua mata. Tambahan lensa baca sesuai dengan usia
pasien yaitu S +1,00 D. Pada pemeriksaan segemen anterior mata, ditemukan pertumbuhan
jaringan tipis dari arah konjungtiva dan agak menebal ke arah kornea. Pertumbuhan jaringan
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, diagnosa pasien yaitu
pterygium derajat II. Tatalaksana pada pasien ini berupa pemberian tetes mata Cendo lyteers 4
dd 1 gtt OD. Tatalaksana ini bertujuan untuk melumasi permukaan mata pasien yang kering dan
memberikan rasa sejuk pada mata. Tindakan eksisi belum diindikasikan. Mencegah paparan
sinar matahari dan polutan disarankan kepada pasien dengan menggunakan kacamata pelindung.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Stephen GW. Pterygium in Duane’s clinical ophthalmology. Volume 36. Lippincot Williams
Delhi. 2014
Singapore. 2013
4. Marieb EN, Koehn K. Human anatomy & physiology. 9th ed. Pearson. 2013
6. Riordani PE. Conjunctiva in Vaughan and Asbury’s general ophthalmology. 6th ed. McGraw
7. Gazard G, et al. Pterygium in Indonesia: prevalene, severity and risk factors. British Journal
of Ophthalmology. 2002
8. Edward JH, et al. Ocular surface disease. Medical Surgical Management. 2012
Ophthalmology. 2012
14