Anda di halaman 1dari 54

BAB I

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. B

Tanggal lahir : 11 – 01- 1971

Umur : 47 tahun

Alamat : Desa Tonu Jaya

Agama : Islam

Pekerjaan : Petani

No. RM : 13-08-91

Tanggal Masuk Rumah Sakit : 06/05/2018

Jam Masuk Rumah Sakit : 13.40 WIT

Tanggal pemeriksaan : 19/05/2018

Ruang Perawatan :Ruang Interna Laki-laki RSUD Dr. M.

Haulussy Ambon

2. SUBJEKTIF

ANAMNESIS (Autoanamnesis):

a. Keluhan Utama :

Muntah bercampur darah sejak ± 2 minggu yang lalu SMRS

b. Keluhan Tambahan:

1
Nyeri perut, perut terasa kembung, mual, BAB berwarna hitam, benjolan

di perut (sejak ± 3 tahun yang lalu SMRS)

c. Anamnesis terpimpin :

Pasien datang dengan keluhan mntah bercampur darah sejak ± 2 minggu

yang lalu SMRS. Darah berwarna merah kehitaman bergumpal, volume

kira-kira setengah gelas aqua dan bercampur dengan makanan. Pasien juga

mengeluhkan nyeri perut (+), perut terasa kembung, disertai rasa mual

yag terus-meneru, pusing (+) tanpa rasa berputar, sakit kepala (+), demam

hilang timbul disertai menggigil. Pasien juga mengeluhkan terdapat

benjolan diperutnya yang sudah ada sejak ± 3 tahun yang lalu SMRS,

awalnya benjolan hanya berukuran kecil dan lama kelamaan menjadi

besar. Benjolan disertai nyeri yang hilang timbul, sebesar telur puyuh.

Nyeri pinggang (+), BAK banyak, BAB jarang, dalam seminggu hanya 4

kali BAB, BAB berwarna hitam encer.

d. Riwayat Penyakit Dahulu :

Hipertensi tidak terkontrol sudah sejak ± 3 tahun

e. Riwayat Pengobatan:

Pasien mengkonsumsi obat herbal (daun-daun yang direbus) selama ± 3

bulan.

f. Riwayat keluarga :

Riwayat sakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.

2
3. PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan Umum : Sakit sedang

b. Status Gizi : Baik (BB 60 kg, PB165 cm) IMT : 22,05

c. Kesadaran : Compos Mentis

d. Tanda Vital :

- Tekanan Darah : 150/90 mmHg

- Nadi : 83 x/menit, regular dan kuat angkat

- Pernapasan : 22 x/menit

- Suhu : 37,8° Celcius

e. Kepala:

- Bentuk kepala : Normocephali

- Wajah : Pucat

- Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah tercabut, distribusi

merata

f. Mata:

- Bola mata : eksoftalmus/endoftalmus (-/-)

- Gerakan : normal, nistagmus (-), strabismus (-)

- Kelopak mata : ptosis (-/-), edema (-/-)

- Konjungtiva : Anemis (+/+), ikterus (-/-)

- Kornea : Jernih, reflex kornea (+/+)

3
- Pupil : isokor (3 mm/3 mm), refleks cahaya langsung

(+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)

g. Telinga:

- Aurikula : tofus (-/-), sekret (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-)

- Pendengaran : kesan normal

- Prosesus mastoideus : nyeri tekan (-/-)

h. Hidung:

- Perdarahan (-/-), deformitas (-/-), sekret (-/-), deviasi septum nasi (-),

pernapasan cuping hidung (-)

i. Mulut:

- Bibir : sianosis (-), stomatitis (-), perdarahan (-)

- Tonsil : T1/T1 tenang, hiperemis (-)

- Gigi : intak

- Faring : dalam batas normal

- Gusi : perdarahan (-), bengkak (-)

- Lidah : kandidiasis oral (-), lidah kotor (-)

4
j. Leher:

- Kelenjar getah bening : pembesaran (-)

- Kelenjar tiroid :ukuran normal, permukaan licin,

konsistensi kenyal, nyeri tekan (-)

- Pembuluh darah : venektasi (-)

- JVP : dalam batasan normal

- Kaku kuduk : negatif

- Tumor : tidak ada

k. Dada:

- Inspeksi : simetris ki=ka, pembengkakan abnormal (-)

- Bentuk : normochest

- Pembuluh darah : venektasi (-), spider naevi (-),

- Buah dada : simetris ki = ka, tanda radang (-), massa (-)

- Sela iga : pelebaran (-), retraksi (-)

- Atrofi M. Pectoralis Mayor (-)

l. Paru:

- Inspeksi : Pengembangan dada kanan dan kiri simetris

- Palpasi : Tidak ada pergeseran trakea, nyeri tekan (-) Fremitus

raba simetris kiri-kanan, pelebaran iga (-)

5
- Perkusi : sonor pada paru kanan dan kiri

- Auskultasi : bunyi pernapasan vesikuler, bunyi nafas tambahan

ronki (-/-), Wheezing (-/-)

m. Jantung:

- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

- Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra

- Perkusi :redup, batas kanan jantung di ICS III-IV linea

parasternalis dextra, pinggang jantung di ICS III sinistra (2-3 cm dari

mid sternum), batas kiri jantung di ICS V linea midclavicularis

sinistra.

- Auskultasi : bunyi jantung I - II regular murni, murmur (-), gallop

(-)

n. Abdomen:

- Inspeksi : datar, distensi (-), massa (+)

- Auskultasi : bising usus (+), kesan normal

6
- Palpasi :

Hepar : tidak teraba

Limpa : tidak teraba

Ginjal : ballotemen (-)

Lain-lain : Massa (+) ukuran ± 5 cm, konsistensi kenyal, tidak

bergerak, nyeri tekan (+).

- Perkusi : timpani

o. Punggung:

- Inspeksi : Lordosis (-), skoliosis (-), kifosis (-), massa (-)

- Palpasi : Nyeri tekan (-), Nyeri ketok CVA (+/+)

- Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan

- Gerakan : simetris kiri dan kanan

p. Alat kelamin:

Tidak dilakukan pemeriksaan

q. Anus dan rectum:

Tidak dilakukan pemeriksaan

r. Ekstremitas:

7
−/−
- Akral hangat (+/+), edema +/+, CRT < 2 detik

RESUME

Seorang laki-laki usia 47 tahun datang dengan keluhan muntah bercampur darah sejak

± 2 minggu yang lalu SMRS. Muntah berwarna merah kehitaman, bergumpal. Mual

(+). Terdapat benjolan di perut yang dialami sejak ± 3 tahun yang lalu SMRS, dan

dirasakan semakin hari semakin membesar serta disertai nyeri. Pasien mengaku BAB

encer berwarna hitam sejak ± 2 minggu yang lalu SMRS. Nyeri ulu hati (-), sakit

kepala (+), demam (+).

Pada pemeriksaan fisik di dapatkan tekanan darah : 150/90 mmHg, wajah pucat.

Konjungtiva anemis (+/+). Pada pemeriksaan abdomen di dapatkan massa ukuran ± 5

cm, konsistensi kenyal, tidak mudah bergerak, nyeri (+). Pemeriksaan paru dan

jantung dalam batasan normal.

8
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

Darah Rutin Darah Kimia

Jumlah eritrosit : 2,57 ( 106/mm3) Glukosa

Hemoglobin : 6,8 g/dL Glukosa sewaktu : 102 mg/dL

Hematokrit : 19,8 % Fungsi Ginjal

MCV : 77 µm3 Ureum : 132 mg/dL

MCH : 26,4 pg Creatinin : 4.3 mg/dL

MCHC : 34,2 g/dL TKK : 18

Trombosit : 348 103/mm3 Fungsi Hati

MPV : 7,8 µm3 SGOT : 14 U/L

PCT : 0,272 % SGPT : 10 U/L

PDW : 12,3 %

Leukosit : 7.6 103/mm3

Hitung jenis :

 Neutrofil : 76,4 %

 Limfosit : 14,9 %

 Monosit : 5,1 %

 Eosinofil : 3,4 %

 Basofil : 0,2 %

9
Pemeriksaan EKG

Irama : Sinus Rhythm

Heart rate : 93 x/m

Axis : 30º

Gelombang P : 0,15

Interval PR : 0,18 detik

Kompleks QRS : 0,8 detik

Segmen ST : - 0,5 mm

Gelombang T : 1 mm

Kesan : left ventrikel atrofi

10
5. ASSESSMENT

A. Diagnosis :

 CKD stage V

 Hipertensi Grade II

 CHF FC II - III

 Hernia umbilikalis

 Anemia normositik normokrom

B. Diagnosis Banding

6. TATALAKSANA AWAL

- IVFD RL 20 tpm

- Inj furosemid 2 x 20 mg/iv

- Inj ranitidine 2 x 1 mg/ iv

- Amlodipin 1 x 10 mg tablet

- Spironolakton 2 x 25 mg

- Bisoprolol tablet 5 mg ( 0-1-0)

- Protransfusi PRC 1 bag/hari

- Kateter urine

7. PROGNOSIS

- Ad functionam : dubia ad bonam

- Ad sanationam : dubia ad bonam

- Ad vitam : dubia ad bonam

11
8. PEMERIKSAAN ANJURAN

USG ABDOMEN

Kesan :

Gambaran ren dekstra dan sinistra

dengan eko korteks meningkat

disertai batas sinus korteks yang

lebar. PVS dekstra dan sinistra

normal, tidak tampak gambaran

kista, nodul dan abses.

Kesimpulan : nefritis bilateral

12
LEMBARAN FOLLOW UP

Tanggal SOA Terapi dan rencana

pemeriksaan

07/ 5/ 2018 S : mual (+), nyeri perut seperti tertikam-tikam, batuk - IVFD NaCL 0,9% + meylon
berlendir berwarna hijau, belum BAB.
2 flacon 12 tpm
O:
- Omeprazole vial 40 mg/12
TD : 140/80 mmHg
N : 67 x/menit jam/IV
RR : 24 x/ menit
- Furosemid amp 1ml / 12
S : 37,2ºC
jam / iv
SPO2 : 95%
Kepala : wajah pucat, konjungtiva anemis (+/+) - Ondansentron amp / 8 jam/
Thorax : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
iv
COR : BJ1-2 reguler, murmur (-), gallop (-)
- Amlodipin 10 mg (0-0-1)
Abdomen : supel, Nyeri tekan region epigastrium (+),
bising usus (+) meningkat, benjolan ukuran 5 cm, - Transfuse PRC 3 kantong
konsistensi kenyal, tidak dapat digerakkan disertai nyeri.
sampai Hb ≥ 8
Ekstremitas : edema (-/-), akral hangat, CRT <2”
A:
- CKD grade V
- Hipertensi stage II
- Hernia umbilikalis
- Anemia
- Gastritis akut

13
8/5/2018 S : nyeri perut sedikit berkurang, sudah BAB berwarna - IVFD RL/ NaCL 0,9 % 12
hijau, konsistensi keras.
tpm
O:
- Omeprazone vial 1 gr/ 12
TD : 130/80 mmHg
N : 61 x/menit jam/ iv
RR : 24 x/ menit
- Furosemid 1 gr/ 12 jam/ iv
S : 36,5ºC
- Ranitidine 50mg/ 12 jam/ iv
SPO2 : 95%
Kepala : wajah pucat, konjungtiva anemis (+/+) - Amlodipin 10 mg (0-0-1)
Thorax : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Spironolakton 2 x 2 gr
COR : BJ1-2 reguler, murmur (-), gallop (-)
- Meylon 2 flacon drips / 12
Abdomen : supel, Nyeri tekan region epigastrium (+),
bising usus (+) meningkat, benjolan ukuran 5 cm, jam
konsistensi kenyal, tidak dapat digerakkan disertai nyeri.
- Ondansentron amp / 8 jam /
Ekstremitas : edema (-/-), akral hangat, CRT <2”
iv

Hasil Laboratorium (7/5/18) - Pro HD


GDP : 84 mg/dL
Asam urat : 13,4 mg/dL
Kolesterol total : 164 mg/dL
Albumin : 2,9 mg/dL
A:
- CKD grade V
- Hipertensi stage II
- Hernia umbilikalis

9/5/2018 S : benjolan di perut sakit seperti tertusuk-tusuk, batuk - IVFD RL : NaCL 0,9 % 12
kering sesekali, BAB warna hijau konsistensi keras.

14
TD : 140/90 mmHg tpm
N : 65 x/menit
- Drips meylon 2 flc/12 jam
RR : 20 x/ menit
dalam NaCL 0,9%
S : 36,5ºC
SPO2 : 97% - Omeprazole vial 40 mg/ 12
Kepala : wajah pucat, konjungtiva anemis (+/+)
jam/ IV
Thorax : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Furosemid amp 1 gr/ 12
COR : BJ1-2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : supel, Nyeri tekan region epigastrium (+), jam/iv
bising usus (+) meningkat, benjolan ukuran 5 cm,
- Ranitidine 50 mg/12 jam/iv
konsistensi kenyal, tidak dapat digerakkan disertai nyeri.
- Ondansentron amp / 8
Ekstremitas : edema (-/-), akral hangat, CRT <2”
A: jam/iv
- CKD grade V
- Spironolakton 2 x 2 gr
- Anemia
- Amlodipin 10 mg (0-0-1)
- Hipertensi stage II
- Hernia umbilikalis - Aminosal 3 x 1

11/5/2018 S : nyeri perut seperti tertikam-tikam, perut terasa - IVFD NaCL 0,9% 9 tpm
kembung, BAB berwarna kuning.
- Furosemid ampul/ 12 jam /
TD : 160/90 mmHg
iv
N : 72 x/menit
RR : 20 x/ menit - Amlodipin 10 mg (1 dd 1)
S : 36,5ºC
- Aminosal 3 x 1 tab
SPO2 : 98%
- Bicnat 3 x 1 tab
Kepala : wajah pucat, konjungtiva anemis (+/+)
Thorax : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

15
COR : BJ1-2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : supel, Nyeri tekan region epigastrium (+),
bising usus (+) meningkat, benjolan ukuran 5 cm,
konsistensi kenyal, tidak dapat digerakkan disertai nyeri.
Ekstremitas : edema (-/-), akral hangat, CRT <2”
Hasil lab post transfuse 2 kantong (10/5/2018)
Hb : 8,2 g/dL
Trombosit : 302.000
Leukosit : 6.400
Neutrofil : 68,9%
Limfosit : 14,2%
Monosit : 8,2 %
Eusinofil : 8,4 %
BAsofil : 0,3%
A:
- CKD grade V
- Hipertensi stage II
- Hernia umbilikalis

12/5/2018 S : nyeri perut berkurang, mual / muntah (-) - IVFD NaCL 0,9% + drip
TD : 160/90 mmHg
meylon 2 flc 9 tpm
N : 70 x/menit
- Furosemid ampul/ 12 jam /
RR : 19 x/ menit
S : 36,5ºC iv
SPO2 : 99%
- Amlodipin 10 mg (1 dd 1)
Kepala : wajah pucat, konjungtiva anemis (+/+)
- Aminosal 3 x 1 tab
Thorax : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
COR : BJ1-2 reguler, murmur (-), gallop (-) - Ketorolak 30 mg/ 8 jam/iv

16
Abdomen : supel, Nyeri tekan region epigastrium (+), - Konsul dokter bedah
bising usus (+) meningkat, benjolan ukuran 5 cm,
konsistensi kenyal, tidak dapat digerakkan disertai nyeri.
Ekstremitas : edema (-/-), akral hangat, CRT <2”
A:
- CKD grade V
- Hipertensi stage II
- Hernia umbilikalis

14/5/2018 S : nyeri perut di bagian benjolan seperti tertikam-tikam, - IVFD NaCL 0,9% + drip
mual (-), muntah (-), batuk (+)
bicnat 2 flc 9 tpm
TD : 180/90 mmHg
- Furosemid ampul/ 12 jam /
N : 72 x/menit
RR : 22 x/ menit iv
S : 36,5ºC
- Amlodipin 10 mg (1 dd 1)
SPO2 : 98%
- Aminosal 3 x 1 tab
Kepala : wajah pucat, konjungtiva anemis (+/+)
Thorax : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-) - Ketorolak 30 mg/12 jam/iv
COR : BJ1-2 reguler, murmur (-), gallop (-)
- Kapsul batuk 3 x 1 caps
Abdomen : supel, Nyeri tekan region epigastrium (+),
- Konsul dokter bedah
bising usus (+) meningkat, benjolan ukuran 5 cm,
konsistensi kenyal, tidak dapat digerakkan disertai nyeri. - Cek DR, ur cr ulang
Ekstremitas : edema (-/-), akral hangat, CRT <2”
A:
- CKD grade V
- Hipertensi stage II
- Hernia umbilikalis

17
15/5/2018 S : nyeri perut, batuk (+), lendir (-) makan minum - IVFD NaCL 0,9% 16 TPM
kurang
- Furosemid amp/ 12 jam/ iv
TD : 160/90 mmHg
- Amlodipin 1 x 10 mg
N : 72 x/menit
RR : 24 x/ menit - Candesartan 1 x 16 mg
S : 36,5ºC
- Aminosal 3 x 1 tablet
SPO2 : 98%
- Ketorolak 30 mg/ 24 jam/iv
Kepala : wajah pucat, konjungtiva anemis (+/+)
Thorax : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-) - Capsul batuk 3 x 1 caps
COR : BJ1-2 reguler, murmur (-), gallop (-)
- Usg abdomen
Abdomen : supel, Nyeri tekan region epigastrium (+),
- Cek ureum creatinin ulang
bising usus (+) meningkat, benjolan ukuran 5 cm,
konsistensi kenyal, tidak dapat digerakkan disertai nyeri.
Ekstremitas : edema (-/-), akral hangat, CRT <2”

Hasil Laboratorium tanggal 14/05/2018


Hb : 10,7 g/dL (post transfusi 3 kantong)
Ureum : 124 mg/dL
Creatinin : 4,3 mg/dL
A:
- CKD grade V
- Hipertensi stage II
- Hernia umbilikalis

16/5/2018 S : nyeri perut pada bagian benjolan seperti tertusuk- - IVFD NaCL 0,9% 16 TPM
tusuk, mual (-), muntah (-), belum BAB.
- Furosemid amp/ 12 jam/ iv
TD : 150/90 mmHg
- Amlodipin 1 x 10 mg
N : 71 x/menit

18
RR : 28 x/ menit - Candesartan 1 x 16 mg
S : 37,2ºC
- Aminosal 3 x 1 tablet
SPO2 : 94%
- Ketorolak 30 mg/ 24 jam/iv
Kepala : wajah pucat, konjungtiva anemis (+/+)
Thorax : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-) - Capsul batuk 3 x 1 caps
COR : BJ1-2 reguler, murmur (-), gallop (-)
- Sistenol caps 500 mg 3 x 1
Abdomen : supel, Nyeri tekan region epigastrium (+),
caps
bising usus (+) meningkat, benjolan ukuran 5 cm,
konsistensi kenyal, tidak dapat digerakkan disertai nyeri.
Ekstremitas : edema (-/-), akral hangat, CRT <2”

Jawaban konsul dr. Ahmad Tuahuns, SP.B


Diagnosis : hernia epigastrika
Saran : operasi tapi perbaiki ureum creatinin dulu
A:
- CKD grade V
- Hipertensi stage II
- Hernia umbilikalis

17/5/2018 S : nyeri perut (+), batuk (-), BAK banyak - IVFD NaCL 0,9% 16 TPM
TD : 150/90 mmHg
- Furosemid amp/ 12 jam/ iv
N : 71 x/menit
- Amlodipin 1 x 10 mg
RR : 24 x/ menit
S : 37,5ºC - Candesartan 1 x 16 mg
SPO2 : 95%
- Aminosal 3 x 1 tablet
Kepala : wajah pucat, konjungtiva anemis (+/+)
- Ketorolak 30 mg/ 24 jam/iv
Thorax : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
COR : BJ1-2 reguler, murmur (-), gallop (-) - Capsul batuk 3 x 1 caps

19
Abdomen : supel, Nyeri tekan region epigastrium (+), - Sistenol caps 500 mg 3 x 1
bising usus (+) meningkat, benjolan ukuran 5 cm,
konsistensi kenyal, tidak dapat digerakkan disertai nyeri.
Ekstremitas : edema (-/-), akral hangat, CRT <2”
A:
- CKD grade V
- Hipertensi stage II
- Hernia umbilikalis

19/5/2018 S : Demam, mual (+), nyeri perut disekitar umbilicus. PASIEN MINTA PULANG
TD : 150/70 mmHg
PAKSA
N : 97 x/menit
RR : 28 x/ menit
S : 38,8ºC
SPO2 : 92%
Kepala : wajah pucat, konjungtiva anemis (+/+)
Thorax : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
COR : BJ1-2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : supel, Nyeri tekan region epigastrium (+),
bising usus (+) meningkat, benjolan ukuran 5 cm,
konsistensi kenyal, tidak dapat digerakkan disertai nyeri.
Ekstremitas : edema (-/-), akral hangat, CRT <2”
A:
- CKD grade V
- Hipertensi stage II
- Hernia umbilikalis

20
Gambar 1. Benjolan pada perut pasien

21
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Ginjal Kronik

2.1.1. Definisi

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang

beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya

berakhir dengan gagal ginjal.1

Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan

fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang membutuhkan terapi pengganti

ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal. 1

2.1.2. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal

kronik diperikrakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat

sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan

terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Dinegara-negara berkembang

lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun. 1

Dari data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia diperkirakan insidensi dan

prevalensi penyakit ginjal kronik (PGK) masing-masing berkisar 100-150/ 1 juta

penduduk dan 200-250/ 1 juta penduduk. Data dari Third Health and Nutrition

Examination Survey (THANES III) tahun 2003 di Amerika Serikat menunjukkan

22
bahwa 11% penduduk berumur kurang dari 20 tahun yang di teliti mengidap penyakit

ginjal kronik.2

Menurut laporan tahunan dari Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) pada

tahun 2006, diperkirakan jumlah penderita penyakit ginjal kronik di Indonesia

sebanyak 150 ribu pasien. Dari jumlah total pasien tersebut 21% berusia 15-34 tahun,

49% berusia 35-55 tahun, dan 30% berusia diatas 56 tahun. 2

Prevalensi peningkatan jumlah penderita gagal ginjal di Indonesia sekitar 0,2%.

Prevalensi pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun

(0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%) dan tertinggi pada kelompok umur >75 tahun

(0,6%). Prevalensi gagal ginjal kronis tertinggi di tiga provinsi yaitu provinsi

Sulawesi Tengah yaitu 0,5% kemudian provinsi Aceh, Sulawesi Utara, Gorontalo

yaitu 0,4% dan kemudian provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, DIY, Jawa Timur,

Banten yaitu sebesar 0,3%.3

2.1.3. Kriteria

Kriteria penyakit ginjal kronik bedasarkan kriteria KDIGO 2012. 4

Kriteria Chronic Kidney Disease (salah satu kriteria terjadi > 3 bulan)

Marker/ penanda kerusakan ginjal  Albuminuria (AER > 30 mg/24 jam, ACR
> 30 mg/g)
(satu atau lebih )  Hasil sedimen urin abnormal
 Elektrolit abnormal dan kelainan yang
berhubungan dengan gangguan tubulus
 Ditemukan kelainan pada pemeriksaan
histologi
 Ditemukan kelainan pada pemeriksaan

23
pencitraan (imaging test)
 Riwayat transplantasi ginjal

Penurunan GFR GFR < 60 ml/ menit/ 1,73 m2 (kategori GFR


G3a- G5)
Keterangan : AER = albumin excretion rate; ACR = albumin to creatinin ratio; GFR

= glomerular filtration rate. 4

2.1.4. Klasifikasi

Klasifikasi penyakit ginjal kronik disusun berdasarkan rekomendasi KDIGO,

yaitu klasifikasi berdasarkan penyebab, kategori GFR dan albuminuria. 4

Kategori GFR GFR (ml/menit/1,73 m2) Keterangan

G1 ≥ 90 Kerusakan ginjal dengan

GFR normal atau

meningkat

G2 60 – 89 Kerusakan ginjal derajat

ringan

G3a 45 – 59 Kerusakan ginjal derajat

ringan hingga sedang

G3b 30 – 44 Kerusakan ginjal derajat

sedang

G4 15 – 29 Kerusakan ginjal derajat

berat

G5 < 15 Gagal ginjal

24
Klasifikasi atas dasar GFR, yang dihitung dengan mempergunakan rumus

Kockcroft-Gault sebagai berikut : 1,4

(140−𝑢𝑚𝑢𝑟 )𝑋 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛


LFG (ml/menit/1,73 m2) = 72 𝑋 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 (𝑚𝑔/𝑑𝐿)

* pada perempuan dikalikan 0,85

Kriteria Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Tingkat Albuminuria 1,4

Kategori AER ACR Keterangan

(mg/24 jam) (mg/mmol) (mg/g)

A1 < 30 <3 < 30 Normal atau derajat

ringan

A2 30 – 300 3 – 30 30 – 300 Derajat sedang*

A3 >300 >30 >300 Derajat berat **

Keterangan : AER = albumin excretion rate; ACR = albumin to creatinin ratio;

* relatif pada usia dewasa muda; ** termasuk sindroma nefrotik (biasanya AER >

2200 mg/24 jam, ACR > 220 mg/mmol atau ACR > 2220 mg/g. 1,4

Klasifikasi atas dasar albuminuria, yang dihitung adalah AER dan ACR dengan

rumus sebagai berikut. 1,4

AER (mg/24 jam) = albumin (mg/dl) x volume urin 24 jam

ACR (mg/mmol) = albumin (mg/dl) x 10

ACR (mg/g) = (albumin (mg/dl) x 1000) : creatinin (mg/dl)

25
Kriteria penyakit ginjal kronik berdasarkan penyakit sistemik dan penemuan

PA ginjal. 1,4

Penyakit sistemik yang Penyakit ginjal primer

mempengaruhi ginjal tanpa penyakit sistemik

Penyakit glomerulus  Diabetes  Glomerulonefritis difus,

 Autoimun fokal, atau proliverative

 Infeksi sistemik kresentik

 Obat-obatan  Glomerulosklerosis

 Keganasan fokal dan segmental

 Nefropati membranosa

 Minimal change disease

Penyakit tubulointerstisial  Infeksi sistemik  Infeksi saluran kemih

 Autoimun  Batu saluran kemih

 Sarkoidosis  Obstruksi saluran kemih

 Obat-obatan

 Racun alam (asam

aristolohik)

 Myeloma

Penyakit vaskular  Atherosklorosis  ANCA vasculitis

 Hipertensi  Displasia fibromuskular

 Iskemia

26
 Kolesterol

 Emboli

 Vaskulitis sistemik

 Mikroangiopati

trombotik

 Sklerosis sistemik

Penyakit kistik dan  Penyakit polikistik  Displasia ginjal

kongenital ginjal  Penyakit kistik medular

 Sindroma alport  Posositopati

 Penyakit fabry

2.1.5. Etiologi

Dua penyebab utama dari penyakit ginjal kronik adalah diabetes dan tekanan

darah tinggi, yang terjadi pada dua dari tiga kasus. Diabetes terjadi ketika gula darah

terlalu tinggi, menyebabkan kerusakan banyak organ dalam tubuh, termasuk ginjal

dan jantung, serta pembuluh darah, saraf dan mata. 1

Tekanan darah tinggi atau hipertensi, terjadi ketika tekanan darah terhadap

dinding pembuluh darah meningkat. Jika tidak terkendali, atau tidak terkontrol,

tekanan darah tinggi dapat menjadi penyebab utama serangan jantung, stroke dan

penyakit ginjal kronik. Penyakit ginjal kronik juga meyebabkan tekanan darah tinggi.

27
Beberapa kondisi yang juga dapat menyebabkan PGK dengan prevalensi yang

lebih kecil, antara lain : 1

a. Glomerulonefritis (radang ginjal)

b. Pielonefritis (infeksi pada ginjal)

c. Penyakit ginjal polikistik

d. Kegagalan pembentukan ginjal normal pada bayi yang belum lahir ketika

berkembang di rahim.

e. Lupus eritematosus sistemik (kondisi dari system kekebalan tubuh dimana

tubuh menyerang ginjal yang dianggap sebagai benda asing)

f. Jangka panjang penggunaan rutin obat-obatan seperti : obat litium dan NSAID,

termasuk aspirin dan ibuprofen

g. Penyumbatan, misalnya karena batu ginjal atau penyakit prostat.

Menurut data PERNEFRI (perkumpulan Nefrologi Indonesia) tahun 2011,

penyebab PGK pada pasien hemodialisis didapatkan sebagai berikut : glomerulopati

primer 14%, nefropati diabetika 27%, nefropati lupus 1%, penyakit ginjal hipertensi

34%, ginjal polikistik 1%, nefropati asam urat 2%, nefropati obstruksi 8%,

pielonefritis kronik 6%, lain-lain 6%, tidak diketahui 1%. 1

2.1.6. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya bergantung pada penyakit

yang mendasari, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses proses yang terjadi

28
kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktural dan

fungsional nefron yang masih tersisa (survivving nefrons) sebagai upaya kompensasi,

yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini

menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan

aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti

oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini

akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif , walaupun penyakit

dasarnya yang sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aksis renin-angiotensin-

aldosteron internal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,

sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang renin-angiotensin-

aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth

factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya

progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,

dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan

fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial. 1,5,6

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang

ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah

meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi

nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin

serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan

(asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.

Sampai pada LFG sebesar 30% mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia,

29
badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada

LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan tanda dan gejala uremia yang nyata

seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan

kalsium, pruritus, mual, muntah, dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena

infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran

cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia,

gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah

15% akan terjadi gejala dan koomplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah

memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis

atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium

gagal ginjal. 1,5,6

Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : 1,5,6

A. Anemia

Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan

produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit

menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar

Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu CKD dapat

menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang sering

menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada CKD akan

mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan

normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek

inhibisi eritropoiesis. 1,5,6

30
B. Dispneu dan hipertensi

Adanya kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan penurunan

perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya

pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah

angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I

diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat

sehingga meningkatkan tekanan darah dan merangsang pelepasan aldosteron dan

ADH sehingga menyebabkan retensi NaCl dan air  volume ekstrasel meningkat

(hipervolemia)  volume cairan berlebihan  ventrikel kiri gagal memompa darah

ke perifer  LVH  peningkatan tekanan atrium kiri  peningkatan tekanan vena

pulmonalis  peningkatan tekanan di kapiler paru  edema paru  sesak nafas. 1,5,6

C. Hiperlipidemia

Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh

ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia. 5

D. Hiperuricemia

Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam

darah. Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan pengendapan kristal urat

dalam sendi  artritis gout. 5

E. Hiponatremia

Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon

peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus ginjal.

31
Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah nefron,

natriuresis akan meningkat. 5

F. Hiperfosfatemia

Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga

fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui, fosfat

akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar larut.

Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit yang

bermanifestasi menjadi artritis dan pruritus. 5

G. Hipokalsemia

Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan

hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga

memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi tulang

(osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam plasma

tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun terjadi

mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak berlebihan dan

konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal, eksresinya

melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di plasma

meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di

plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH tetap

berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terusmenerus ini, kelenjar paratiroid

mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. 5

32
H. Hiperkalemia

Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma meningkat,

maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal sehingga

mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan konsentrasi ion H+

dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi

kalium di ginjal akan berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia. 5

2.1.7. Alur penegakkan Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaran histopatologis.1,5

a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)

d. Menentukan strategi terapi rasional

e. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan

pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik

diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus. 1,5

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Pada awalnya, gagal ginjal mungkin tanpa gejala (tidak menghasilkan gejala

apapun). Seperti penurunan fungsi ginjal, gejala terkait dengan ketidakmampuan

untuk mengatur air dan elektrolit saldo, untuk membersihkan produk sisa dari tubuh,

dan untuk mempromosikan produksi sel darah merah. Kelesuan, kelemahan , sesak

33
napas, pembengkakan dan umum dapat terjadi. Belum diakui atau tidak diobati,

keadaan yang mengancam jiwa dapat berkembang. 1,5

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang

berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,

perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal

(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan

laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan

tergantung dari derajat penurunan faal ginjal. 1,5

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi : 1) Sesuai dengan

penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus (polidipsi, polifagia, polyuria,

pruritus, polyneuritis, berat badan menurun), infeksi / batu traktus urinarius,

hipertensi, SLE dan lainnya. 2) Sindroma uremia yaitu lemah, lethargi, anoreksia,

mual muntah, nokturia, volume overload, neuropati perifer, pruritus, uremic frost,

pericarditis, kejang maupun koma. 3) Gejala komplikasi yang mungkin sudah terjadi

seperti anemia, hipertensi, CHF, asidosis dan gangguan elektrolit. 1,5

b. Pemeriksaan Laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit

yang mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin

serum, dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung

mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya,

seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia,

34
hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, dan

silinder. 1,5

c. Gambaran Radiologis 1,5

Pemeriksaan radiologis pada penyakit ginjal kronis meliputi :

1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak

2. Pielogravi intravena, jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa

melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik

oleh kontras terhdap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

3. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi

4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks

yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi

5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi

2.1.8. Tatalaksana

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi : 1,5

 Terapi spesifik terhdap penyakit dasarnya

 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

 Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal

 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

 Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

 Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

35
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya,

dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya

Derajat LFG (ml mnt/1,73 m2) Rencana tatalaksana

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi

komorbid, evaluasi perburukana

(progression) fungsi ginjal,

memperkecil risiko kardiovaskular

2 60 – 89 Menghambat perburukan

(progressionI) fungsi ginjal

3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti

ginjal

5 < 15 Terapi pengganti ginjal

Terapi Konservatif

Tatalaksana konservatif pada GGK adalah suatu tatalaksana yang bertujuan

untuk memperlambat perburukan progresifitas gangguan fungsi ginjal, dimulai

ketika pasien mengalami azotemia, dengan cara memperbaiki penyebab utama dan

36
faktor –faktor yang masih reversible, seperti penurunan volume ekstrasel karena

pemakaian diuretic berlebihan atau pembatasan garam yang terlalu ketat, obstruksi

saluran kemih, infeksi, obat-obatan yang memperberat penyakit ginjal. 7,8

Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi dua tahap. Tahap

pertama terdiri dari tindakan konservatif yang ditujukan untuk meredakan atau

memperlambat perburukan progresif gangguan fungsi ginjal. Tindakan konservatif

dimulai ketika penderita mengalami azotemia. Berusaha menentukan penyebab utama

gagal ginjal dan menyelidiki setiap factor yang masih reversible, seperti;penurunan

volume cairan ekstrasel yang disebabkan oleh penggunaan diuretic berlebihan atau

pembatasan garam terlalu ketat,Obstruksi saluran kemih akibat batu, pembesaran

prostat, atau fibrosis retroperitoneal;Infeksi, terutam infeksi saluran kemih;Obat-

obatan yang memeperberat penyakit ginjal: maminoglikosida, obat antitumor,

OAINS, bahan radiokontras, dan Hipertensi berat atau maligna.9,10

Tatalaksana konservatif gagal ginjal kronik meliputi :

A. Terapi spesifik terhadap penyakit dasar

Dilakukan sebelum nilai LFG menurun. Pada ukuran ginjal yang normal,

dilakukan pemeriksaan USG, biopsy, dan pemeriksaan histopatologi ginjal untuk

menentukan indikasi tetap terhadap terapi spesifik. 9,10

1. Tatalaksana Dislipidemia

Dislipidemia pada penderita PGK membutuhkan skrining dan pendekatan

tatalaksana yang berbeda dengan penderita lain karena metabolisme dan eliminasi

lipid lowering drugs pada penderita PGK dapat terganggu, yang dapat mengubah

37
profil keamanannya. Tatalaksana dyslipidemia berupa perbaikan pola hidup, seperti

pengaturan diet, latihan fisik dan menghentikan kebiasaan yang tidak sehat, serta

terapi farmakologis. 9,10

a) Perbaikan pola hidup

Mencakup diet rendah lemak, penurunan berat badan, olah raga, menghindari

asupan alkoho berlebih dan berhenti merokok sangat penting dan sering merupakan

lini pertama tatalaksana penderita dengan abnormalitas kadar lipid. Rekomendasi

diet harus diberikan secara hati-hati mengingat prevalensi malnutrisi pada PGK

stadium lanjut yang tinggi. Diet yang diberikan sebaiknya mengandung kurang dari

7% kalori lemak jenuh/satured fat (SAFA), polyunsatured fat (PUFA) hingga 10%,

monounsatured fat (MUFA) hingga 20% dan total lemak 25-35% dari kalori total.

Diet juga harus mengandung karbohidrat kompleks(50-60% dari kalori total) dan

serat (20-30 g/hari). Kolesterol diet harus kurang dari 200 mg/hari. 9,10

b) Terapi farmakologis

 Statin

Berfungsi sebagai kompetitif inhibitor terhadap enzim HMG Ko-A reduktase,

enzim yang mempengaruhi kecepatan sintesis kolesterol (lstvan 2001). Pada

metaanalisis terhadap 6 penelitian yang menggunakan statin pada penderita PGK

stadium lanjut menunjukkan rata-rata penurunan kolesterol sebesar 50-55 mg.dl dan

penurunan TG hingga 34 mg/dl. Penggunaan statin pada pasien dengan hemodialysis

38
juga terbukti dapat meningkatkan HDL hingga 4,84 mg/dl. Efek samping yang dapat

timbul adalah miopati. 9,10

 Fibrat

Bekerja pada peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR)-α, suatu

reseptor yang diaktivasi oleh asam lemak bebas dan eicosanoid. Aktivasi PPAR-α

berakibat peningkatan oksidasi asam lemak di hepar, jantung, ginjal, dan otot

bergaris. Aktvasi dari reseptor ini juga mengakibatkan peningkatan ekspresi

lipoprotein lipase. Sebagai hasilnya fibrat menurunkan TG dan VLDL serta

meningkatkan HDL. FIbrat juga mempengaruhi ukuran LDL menjadi lebih besar dan

kurang aterogenik. 9,10

 Bile Acid sequestrants

Yang sudah tersedia adalah kolestiramin, kolestipol dan kolesevelam. Obat-

obatan ini berkaitan dengan asam empedu di usus dan menurunkan sirkulasi

enterohepatikanya. Sebagai hasilnyam konversi kolesterol menjadi asam empedu

diaktivasi di hepar melalui jalur feedback. Hal ini mengakibatkan overekspirasi

reseptor LDL di hepar dan meningkatkan klirens LDL dari plasma. Obat golongan

ini telah dibuktikan menurunkan LDL hingga 10-20 % pada populasi umum.

Pemakaiannya dapat dikombinasikan dengan statin dan asam nikotinat pada

hiperkolestrolemia berat. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam nikotinat dan

ezetimibe. 9,10

39
2. Menghambat perburukan ginjal

Terdiri dari 2 cara :

1. Pembatasan diet protein

Dimulai ketika LFG ≤60 ml/menit. Jumlah asupan protein yang dianjurkan 0,6-

0,8 gr/kgBB/hari,yang 0,35-0,5 gr di antaranya merupakan protein dengan

nilai biologi tinggi. Status nutrisi pasien juga harus dipantau teratur untuk

mencegah protein-kalori malnutrisi. Asupan protein dibatasi, juga karena

kelebihan protein terutama diekskresikan melalui ginjal dan bisa terjadi uremia.

Ketika konsumsi protein menigkat, terjadi peningkatan aliran darah dan tekanan

darah intraglomerular yang menyebabkan progresifitas fungsi ginjal. Fosfat dan

protein berasal dari sumber yang sama sehingga harus dibatasi asupan proteinnya. 15

Berdasarkan penelitian, pembatasan diet protein dapat

menghambat perburukan penyakit ginjal pada stadium awal, namun tidak pada

stadium lanjut. Pada pasien yang sudah mendekati stadium akhir, asupan protein

ditingkatkan menjadi 0,9 g/kgBB/hari yang terdiri dari protein dengan nilai biologi

tinggi. 15

2. Terapi Farmakologis

Terapi ini berutujuan untuk menurunkan hipertensi intraglomerulus dan

sistemik sehingga dapat menurunkan resiko kardiovaskular dan

menghambat perburukan kerusakan nefron. Hal ini adalah sama pentingnya dengan

dengan pembatasan protein. Sasaran dari terapi ini adalah sebagai antihipertensi dan

antiproteinuria. Target tekanan darah yang dicapai pada pasien PGK

40
dengan proteinuria adalah 125/75 mmHg. Obat yang digunakan adalah ACE-i dan

ARB yang dapat menghambat angiotensin-induced vasokonstriksi pada arteriol

aferen dari mikrosirkulasi glomerular sehingga dapat menurunkan tekanan filtrasi

intraglomerular dan proteinuria. Beberapa studi menunjukkan bahwa obat-obatan ini

efektif pada pasien gangguan ginjal dengan DM maupun nonDM. Efektivitas obat

dalam menghambat progresi perburukan PGK adalah bergantung dari efeknya

terhadap menurunkan proteinuria. Jika pada penggunaan satu jenis obat tidak

ditemukan respons anti proteinuria, maka bisa digunakan kombinasi obat ACE-I dan

ARB. Efek samping ACE-I adlah batuk, angioderma; efek samping ARB:

anafilaksis,hyperkalemia. Jika ditemukan peningkatan efek samping maka obat bisa

diganti dengan lini kedua seperti CCB, diltiazem, verapamil.11,12

3. Pencegahan dan terapi komplikasi

1. Modifikasi penyesuaian obat

Menghindari obat-obatan yan deliminasi terutama melalui ginjal. Seperti

Metformin, meperidin, dan OHO lain yang dieliminasi di ginjal. OAINS juga harus

dihindari karena dapat memperburuk fungsi ginjal. Dan banyak antibiotic, antiaritmia

, dan antihipertensi yang memerlukan penyesuaian dosis. 11,12

2. Pembatasan cairan (balance cairan) dan elektrolit

Bertujuan untuk mencegah edema dan komplikasi kardiovaskular. Diatur

sedemikian rupa sehingga tercapai keseimbangan cairan,dimana jumlah air yang

masuk sama dengan jumlah air yang keluar. Jumlah air yang keluar dari tubuh yaitu

dari insensible water loss adalah sekitar 500-800 ml/hari,sehingga jumlah air yang

41
masuk adalah 500-800 ml/hari ditambah jumlah urin. Asupan cairan 1-2 L per hari

dapat menjaga keseimbangan cairan.

Pembatasan elektrolit, yaitu dengan mengawasi asupan kalium dan

natrium.Kalium dibatasi karena hyperkalemia dapat menyebabkan aritmia

jantung,sehingga obat-obatan dan makanan yang tinggi kalium harus dibatasi. Jika

GFR menurun 3-4 g/dl dapat menyebabkan edema,hipertensi,dan CHF. Asupan < 1

gr/dL menyebabkan volume depletion dan hipertensi. Untuk pasien yang mendekati

penyakit ginjal tahap akhir, inisial rekomendasi asupan natrium adalah 2 gr/dL. 11,12

Pembatasan magnesium juga penting karena Mg terutama dieliminasi ginjal.

Semua Mg mengandung laxativ dan antacid yang merupakan kontraindikasi relative

pada penyakit ginjal. 11,12

3. Anemia

Pada PGK, 80-90% anemia akibat defisiensi eritropoietin (EPO). Penyebab lain

adalah defisiensi besi, kehilangan darah (perdarahan saluran cerna, hematuria), umur

eritrosit yg pendek (misal pada hemolisis), defisiensi asam folat, penekanan sum-sum

tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik,. Evaluasi dapat

dimulai saat Hb≤ 10 g/dl atau hematocrit ≤ 30%. Melakukan evaluasi status besi

(SI,TIBC,Fe serum), mencari sumber perdarahan, dan melakukan pemeriksaan

morfologi eritrosit. 13

Kadar Hb penderta PGK perlu dipertahankan. Karena kadar Hb yang rendah

pada penderita PGK dapat menyebabkan keadaan seperti mempercepat perburukan

penyakit, meningkatkan angka kesakitan dan kematian, dan memperburuk kualitas

42
hidup.Anemia pada PGK terjadi mulai stadium 3 dan hampir 100% pada stadium 5.

Disebut Anemia bila didapatkan kadar Hb. 13

Absolut : Serum transferin (ST) < 20%, feritin serum (FS) < 100ng/mg (PGK

non HD) dan < 200 ng/ml (PGK HD) Fungsional : ST < 200 %, FS ≥ 100 ng/ml

(PGK non HD), ≥ 200 ng/ml (PGK HD).

Tatalaksana yang dilakukan terutama ditujukan pada penyebab utama.

Dalam pemberian EPO ini status besi harus diperhatikan karena EPO perlu besi

untuk bekerja. Jika dilakukan transfusi darah, harus hati-hati mempertimbangkan

segala aspek. Sasaran Hb yang dicapai adalah 11-12 g/dl. 13

EPO biasanya diberikan sebagai injeksi subkutan (25 hingga 125 U/kgBB) tiga

kali seminggu. Indikasi terapi dengan eritropoetin adalah kadar Hb < 10 gr % dengan

penyebab lain sudah diatasi. Syarat pemberian EPO, tidak ada anemia defisiensi besi

absolut, bila masih ada dianjurkan dikoreksi terlebih dahulu; tidak ditemukan infeksi

yang berat. Kontraindikasi terapi dengan eritropoetin adalah kondisi tekanan darah

tinggi, kondisi hiperkoagulasi., adanya respon yang tidak baik terhadap pemberian

eritropoetin (EPO) dengan dosis 8000 - 10.000 U / minggu,pada minggu ke-4

kenaikan Hb gagal mencapai 0.5 - 1.5 gr % atau terjadi kegagalan mempertahankan

kadar Hb. Efek samping pemberian EPO adalah tekanan darah meningkat,

thrombosis, kejang.(4,8)Peningkatan tekanan darah akibat terapi EPO disebabkan

oleh peningkatan viskositas darah dan pulihnya vasodilatasi perifer yang diinduksi

anemia. 13

43
Terapi anemia didasarkan indikasi terapi besi yaitu anemia besi absolut, anemia

besi fungsional, tahap pemeliharaan status besi.Kontraindikasi terapi besi adalah

hipersensitivitas terhadap besi, gangguan fungsi hati berat, andungan besi tubuh

berlebih. Target Hb pada terapi menggunakan eritropoetin adalah dimulai pada kadar

Hb < 10 gr %, pada Penderita PGK yang menjalani HD / non HD dengan target Hb

10 - 12 gr %, kadar Hb tidak boleh > 13 gr %.13

4. Asidosis

Asidosis metabolic kronik yang ringan pada penderita uremia biasanya akan

menjadi stabil pada kadar bikarbonat plasma 16 sampai 20 mEq/l. Penurunan asupan

protein dapat memperbaiki keadaan asidosis, tetapi bila kadar bikarbonat serum

kurang dari 15 mEq/l, beberapa ahli nefrologi memberikan terapi alkali, baik natrium

bikarbonat maupun sitrat pada dosis 1 mEq/kg/hari secara oral, untuk menghilangkan

efek sakit pada asidosis metabolic, termasuk penurunan masa tulang yang berlebihan.

Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali bila bikarbonat plasma turun di bawah

angka 15 mEq/L, ketika gejala-gejala asidosis dapat mulai timbul. Asidosis berat

dapat tercetus bila suatu asidosis akut terjadi pada penderita yang sebelumnya sudah

mengalami asidosis kronik ringan. Asidosis berat dikoreksi dengan NaHCO3

parenteral,maka perlu disadari resiko yang ditimbulkannya. Koreksi pH darah secara

berlebihan dapat mempercepat timbulnya tetani, kejang, dan kematian. Perlu diingat

bahwa penderita gagal ginjal kronik juga mengalami hipocalcemia. 13

44
5. Hiperurisemia

Obat pilihan hiperurisemia pada pGK adalah allopurinol. Obat ini mengurangi

kadar asam urat dengan menghambat sintesis sebagian asam urat total yang

dihasilkan oleh tubuh. Untuk meredakan gejala-gejala artritis gout dapat digunakan

kolkisin (obat antiradang pada gout). 13

6. Neuropati Perifer

Biasanya simptomatik tidak timbul sampai gagal ginjal mencapai tahap lanjut.

Tidak ada pengobatan yang diketahui untuk mengatasi perubahan tersebut kecuali

dengan dialysis yang dapat menghentikan perkembangannya. Karena itu,

perkembangan neuritis sensorik merupakan tanda bahwa dialysis tidak boleh

ditunda-tunda lagi. Neuropati smotorik mungkin reversible. Uji kecepatan konduksi

saraf biasanya dilakukan setiap 6 bulan sekali untuk memantau perkembangan

neuropati perifer. 13

7. Pengobatan segera pada infeksi

Penderita gagal ginjal kronik memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap

infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Semua infeksi dapat memperkuat proses

katabolisme dan mengganggu nutrisi yang adekuat serta keseimbangan cairan dan

elektrolit sehingga infeksi harus segera diobati untuk mencegah gangguan fungsi

ginjal lebih lanjut. Namun,deteksi infeksi pada pasien PGK tahap akhir membutuhkan

tingkat kecurigaan dan perhatian yang tingi terhadap indicator yang kurang spesifik

seperti takikardia, kelelahan, atau sedikit peningkatan temperature. Perhatian harus

diberikan karena hipotermia merupakan gambaran klinis sindron uremik dan banyak

45
pasien PGK tahap akhir yang tidak memperlihatkan peningkatan temperature tubuh

yang diperkirakan atau hitung leukosit saat terjadi infeksi. 13

4. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu

pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,

dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal. 13

A. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik

azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien

GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan

terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk

dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,

bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi

refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan

kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m²,

mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.

B. Dialisis Peritoneal

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis

(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu

pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah

menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan

mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV

46
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual

urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-

mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual

tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

C. Transplantasi Ginjal

2.2. Hernia Umbilikalis

Hernia umbilikasis merupakan hernia kongenital pada umbilikus yang tertutup

peritoneum dan kulit akibat penutupan yang inkomplet dan tidak hanya fasia umbilikalis.

Hernia ini terdapat pada kira-kira 20% bayi dan angka ini lebih tinggi lagi pada bayi

prematur. 14

Hernia umbilikalis merupakan penonjolan yang mengandung isi rongga perut yang

masuk melalui cincin umbilikus, paling sering berisi omentum, bisa juga berisi usus halus

atau usus besar, akibat peninggian tekanan intraabdomen, biasanya ketika bayi menangis.

Hernia umumnya tidak menimbulkan nyeri dan sangat jarang terjadi inkerserasi. 14

Hernia umbilikalis pada dewasa lebih sering terjadi akibat operasi (hernia insisional),

lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Faktor predisposisi heria umbilikalis anatara

lain multipara, asites, obesitas, dan tumor intraabdomen yang besar. Terapi hernia umbilikalis

pada orang dewasa hanya dengan pembedahan: defek ditutup dengan mesh, dapat melalui

operasi terbuka maupun operasi laparaskopi yang memberikan nyeri minimal dan pemulihan

yang cepat pasca operasi dibandingkan dengan operasi terbuka. 14

47
BAB III

DISKUSI

Pasien laki-laki berusia 47 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan muntah

bercampur darah sejak ± 2 minggu yang lalu SMRS. Darah berwarna merah kehitaman

bergumpal, volume kira-kira setengah gelas aqua dan bercampur dengan makanan. Pasien

juga mengeluhkan nyeri perut (+), perut terasa kembung, disertai rasa mual yag terus-

meneru, pusing (+) tanpa rasa berputar, sakit kepala (+), demam hilang timbul disertai

menggigil. Pasien juga mengeluhkan terdapat benjolan diperutnya yang sudah ada sejak ± 3

tahun yang lalu SMRS, awalnya benjolan hanya berukuran kecil dan lama kelamaan menjadi

besar. Benjolan disertai nyeri yang hilang timbul, sebesar telur puyuh. Nyeri pinggang (+),

BAK banyak, BAB jarang, dalam seminggu hanya 4 kali BAB, BAB berwarna hitam encer.

Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah : 150/90 mmHg, Nadi : 83 x/menit,

pernapasan : 22x/menit , wajah tampak pucat, konjungtiva anemis (+/+). Pada pemeriksaan

abdomen didapatkan, adanya massa berukuran ± 5cm, konsistensi kenyal, tidak mudah

digerakkan, disertai nyeri.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin : 6.8 g/dL, trombosit :

348.000, leukosit : 7.600, ureum : 132, creatinin 4.3. Hasil USG kesan Nefritis Bilateral.

Dari hasil pemeriksaan ini, maka pasien didiagnosa CKD stage V dengan hipertensi

grade II + hernia umbilicalis. Dikatakan stage V berdasarkan hasil perhitungan LFG :

(140−47 )𝑋 60
LFG (ml/menit/1,73 m2) = 72 𝑋 5 (𝑚𝑔/𝑑𝐿) = = 15

48
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang

beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya

berakhir dengan gagal ginjal.

Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan

fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang membutuhkan terapi pengganti

ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal.

Berdasarkan data epidemiologi didapatkan bahwa angka kejadian Penyakit

Ginjal Kronik (chronic kidney disease) lebih banyak terjadi pada rentang usia 35-55

tahun, dengan persentase sebesar 49%. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin,

Penyakit Ginjal Kronik lebih sering terjadi pada populasi wanita, dan insidennyaa

pun lebih sering terjadi pada orang berkulit putih.

Tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien sesuai dengan teori bahwa pada

pasien dengan gagal ginjal kronik berat akan disertai dengan azotemia yang sangat

kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoesis,

saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan

kardiovaskular.

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal

ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih

belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus

sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan

mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera

mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

49
Mual dan muntah yang dirasakan terus-menerus, bertambah dengan makan atau

minum hal ini merupakan akibat dari akumulasi produk toksik dalam sirkulasi, seperti

urea dimana tidak dapat diekskresikan oleh ginjal. Perut yang dirasakan membesar

dan kaki membengkak merupakan akibat dari fungsi ekskresi ginjal yang mengalami

penurunan sehingga terjadi retensi garam dan air seiring dengan penurunan LFG.

Hasil laboratorium menunjukkan pasien dalam kondisi anemia normositik

normokrom (Hb= 6,8 g/dL). Hal ini sejalan dengan teori bahwa, anemia pada

penyakit ginjal kronik berkaitan dengan penurunan produksi eritropoietin oleh ginjal

ketika penurunan LGF mencapai <50 mL/minute/1.73m. Anemia normokrom

normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal

ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh

defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah

defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa

hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,

penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun

kronik.

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau

hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum

iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum),

mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan

sebagainya.

50
Pasien mengaku memiliki riwayat hipertensi yang sudah hampir 3 tahun tanpa

meminum obat apapun, hanya menggunakan obat herbal. Saat dilakukan pemeriksaan

fisik didapatkan Tekanan darah : 150/90 mmHg, saat pasien sudah dirawat di rumah

sakit dan telah mendapat terapi antihipertensi, sedangkan pada awal pasien masuk

tekanan daranya adalah : 200/100 mmHg. Menurut klasifikasi JNC VIII, maka pasien

di kelompokkan dalam Hipertensi Grade II.

Hipertensi yang tidak terkontrol dapat memicu timbulnya penyakit degeneratif,

seperti gagal jantung kongestif, gagal ginjal, dan penyakit vaskuler. Berdasarkan

rekomendasi tatalaksana JNC VIII, maka pada pasien ini termasuk dalam

rekomendasi 4 : “pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis terapi

farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan

darah diastolik <90 mmHg”. Golongan antihipertensi yang dapat diberikan pada

pasien dengan penyakit ginjal kronik adalah golongan ACE inhibitor atau ARB.

Hasil pemeriksaan EKG pada hari pertama saat pasien di UGD menunjukkan

gambaran atrial fibrilasi, sehingga pasien juga di diagnosis dengan CHF FC II-III.

Kejadian gagal ginjal sendiri dapat mempercepat perkembangan penyakit

kardiovaskuler dan memperburuk prognosis Gagal Jantung. Disfungsi miokard

merupakan hal yang paling sering terjadi dengan adanya disfungsi ginjal yang

progresif hingga 80% pasien yang memiliki ekokardiogram abnormal sebelum

dilakukannya dialysis dan hampir 30% pasien memiliki bukti menderita CHF saat

onset dialysis. CKD diketahui berhubungan dengan kejadian hipertensi, anemia dan

51
overload volume, hyperparathyroidism dan metabolism kalsium – fosfat yang

abnormal.

Tanpa memperhatikan bagaimana terjadinya renal injury (misal, DM,

hipertensi, atau kelainan glomerolus), ketika kerusakan renal telah terjadi, maka

kaskade kerusakan tersebut akan terus berlanjut. Sebagai respon terhadap kerusakan

renal, dipikirkan terjadi peningkatan tekanan intraglomerolus dengan hipertrofi

glomerular, sebagai usaha ginjal untuk beradaptasi terhadap kehilangan beberapa

nefron lainnya untuk mempertahankan LFG.

Peningkatan permeabilitas makromolekul seperti transforming growth factor-

beta (TGF-beta), asam lemak, penanda pro inflamasi stress oksidatif, dan protein

dapat menyebabkan toksisitas matriks mesangial, menyebabkan mesangial cell

expansion, inflamasi, fibrosis, dan glomerular scarring. Sebagai tambahan, kerusakan

renal menyebabkan peningkatan produksi angiotensin II, menyebabkan peningkatan

regulasi TGF-beta, berkontribusi atas pembentukan kolagen dan

jaringan parut glomerular.

Kedua perubahan struktur dan keterlibatan perubahan biokimia, selular, dan

molekular berperan dalam progresifitas pemebentukan jaringan parut renal (renal

scarring) dan kehilangan fungsi ginjal. Semua bentuk CRF juga berhubungan dengan

kelainan tubulo-interstitial; mekanisme pasti dari kerusakan ini belum diketahui,

tetapi diperkirakan disebabkan oleh proses sekunder penurunan aliran darah sebagai

tambahan ifiltrasi limfosit dan mediator inflamasi dimana akan menyebabkan fibrosis

interstitial dan atrofi tubular.

52
Pemilihan terapi pada pasien disesuaikan dengan derajat dari fungsi ginjal yang

dilihat dari GFR yang menunjukkan ESRD dan adanya hipertensi yang merujuk pada

rekomendasi 4. Pemilihan terapi pada pasien dengan mempertimbangkan hal-hal

berikut :

1. Diet ginjal 1700 kal/hari. Pada CKD, jumlah energi adalah 35 kal/kgBB

ideal/hari.

2. Diet rendah protein. Untuk pasien non dialisis = 0,6 – 0,75 gr/kgBB

ideal/hari.

3. Pemberian ondancentron, yang bekerja sebagai antagonis selektif dan

bersifat kompetitif pada reseptor 5 HT3, dengan cara menghambat aktivasi

aferen-aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks muntah.

4. Bicnat. Atau disebut juga natrium bikarbonat diperlukan untuk mengatasi

asidosis metabolik yang sering terjadi pada pasien ESRD. Bicnat bersifat

alkaloid untuk mengurangi penetral asam yang terjadi pada pasien asidemia.

5. Hemodialisis. Indikasi hemodialisis pada penyakit ginjal kronik adalah bila

laju filtrasi glomerulus kurang dari 5 ml/menit, atau salah satu dari kondisi

berikut :

a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata

b. K serum > 6 mEq/L

c. Ureum darah > 200 mg/dL

d. pH darah < 7,1

e. anuria berkepanjangan (> 5 hari)

53
f. kelebihan cairan

6. transfusi PRC. Untuk mengatasi anemia pada pasien. Kebutuhan PRC = 3 x

(Hb target – Hb sekarang) x BB.

54

Anda mungkin juga menyukai