Anda di halaman 1dari 6

Bioremediasi

Bioremedasi adalah penggunan bakteri dan mikroorganisme lain untuk

mendegradasi/mengurai limbah B3. Bioremediasi juga merupakan proses pembersihan

pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi

bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang

beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).

Ada 4 teknik dasar yang biasa digunakan dalam bioremediasi :

a. stimulasi aktivitas mikroorganisme asli (di lokasi tercemar) dengan penambahan

nutrien, pengaturan kondisi redoks, optimasi pH, dsb

b. inokulasi (penanaman) mikroorganisme di lokasi tercemar, yaitu mikroorganisme

yang memiliki kemampuan biotransformasi khusus

c. penggunaan tanaman (phytoremediation) untuk menghilangkan atau mengubah

pencemar.

Tidak keseluruhan proses harus dilakukan terhadap satu jenis limbah B3, tetapi proses

dipilih berdasarkan cara terbaik melakukan pengolahan sesuai dengan jenis dan materi

limbah.

b. Fitoremediasi
Istilah fitoremediasi berasal dari kata Inggris phytoremediation; kata ini

sendiri tersusun atas dua bagian kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani phyton (=

tumbuhan) dan remediation yang berasal dari kata Latin remedium ( =menyembuhkan,

dalam hal ini berarti juga menyelesaikan masalah dengan cara memperbaiki kesalahan atau

kekurangan) (Anonimous, 1999). Dengan demikian fitoremediasi dapat didefinisikan

sebagai: penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau

menghancurkan bahan pencemar baik itu senyawa organik maupun anorganik Fitoremedasi
juga merupakan penggunan tumbuhan untuk mengabsorbsi dan mengakumulasi bahan-bahan

beracun dari tanah.

Metoda ini pertama kali dipacu oleh kebocoran reaktor nuklir di Chernobyl Rusia

pada tahun 1986, beberapa peneliti Amerika dan Ukraina telah melakukan penelitian terhadap

kemampuan tanaman jenis Indian mustard untuk meminimalkan kandungan unsur cesium dan

stronsium dalam tanah yang telah terpapar oleh senyawa radioaktif. Sedangkan di Iowa AS,

para peneliti mencoba pohon poplar untuk menurunkan kandungan senyawa pestisida jenis

atrazine yang terpapar di dalam tanah dan air tanah. Keuntungan paling besar dalam

penggunaan fitoremediasi adalah biaya operasi lebih murah bila dibandingkan pengolahan

konvensional lain seperti insinerasi, pencucian tanah berdasarkan sistem kimia dan energi

yang dibutuhkan. Prinsip dasar dari teknologi fitoremediasi ini adalah memulihkan tanah

terkontaminasi, memperbaiki sludge, sedimen dan air bawah tanah melalui proses

pemindahan, degradasi atau stabilisasi suatu kontaminan.

Proses dalam teknologi fitoremediasi ini berjalan secara alami dengan enam tahapan

proses secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan / pencemar

disekitarnya.

Phytoacumulation (phytoextraction), yaitu tumbuhan menarik zat kontaminan dari media

sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga Hyperacumulation.

Akar tumbuhan menyerap polutan dan selanjutnya ditranslokasi ke dalam organ tumbuhan.

Proses ini adalah cocok digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik. Spesies tumbuhan

yang dipakai adalah sejenis hiperakumulator misalnya pakis, bunga matahari dan jagung.

Rhizofiltration (rhizo=akar), adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat

kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar. Proses ini telah dibuktikan dengan

menanam bunga matahari pada kolam yang mengandung zat radioaktif. Di dalam sistem

hidroponik, sistem perakaran telah secara nyata dapat dipergunakan untuk menjelaskan
metode rhizofiltrasi. Kontaminan di dalam air, setelah kontak dengan akar akan diabsorpsi

dan kemudian tumbuhan dipanen akarnya hingga menjadi jenuh terhadap kontaminan. Akar

tumbuhan mengadsorpsi atau presipitasi pada zone akar atau mengabsorpsi larutan polutan

sekitar akar ke dalam akar. Spesies tumbuhan yang fungsional adalah rumput air seperti

Cattail dan eceng gondok .

Phytostabilization, yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu pada akar yang tidak

mungkin terserap ke dalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil) pada

akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media. Proses ini akan mengurangi

mobilisasi kontaminan dan mencegah berpindahnya ke air tanah atau udara. Teknik ini dapat

digunakan untuk meningkatkan penutupan tajuk oleh tumbuhan yang toleran terhadap jenis

kontaminan di lokasi tersebut. Menurut Cunningham et al.,(1995), ada tiga kemungkinan

mekanisme yang umum terjadi pada proses fitostabilisasi;

(1) reaksi redoks;

(2) presipitasi kontaminan menjadi bentuk endapan; dan

(3) pengikatan bahanbahan organik ke dalam bagian lignin tanaman. Proses ini secara

tipikal digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik. Spesies tumbuhan yang biasa

digunakan adalah berbagai jenis rumput, bunga matahari, dan kedelai.

Fitoremediasi juga memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan metode

konvensional lain untuk menanggulangi masalah pencemaran, yaitu :

a. Biaya operasional relatif murah

b. Tanaman bisa dengan mudah dikontrol pertumbuhannya.

c. Kemungkinan penggunaan kembali polutan yang bernilai seperti emas (Phytomining).

d. Merupakan cara remediasi yang paling aman bagi lingkungan karena memanfaatkan

tumbuhan.

e. Memelihara keadaan alami lingkungan


Walaupun memiliki beberapa kelebihan, ternyata fitoremediasi juga memiliki

beberapa kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah kemungkinan akibat yang timbul bila

tanaman yang telah menyerap polutan tersebut dikonsumsi oleh hewan dan serangga.

Dampak negatif yang dikhawatirkan adalah terjadinya keracunan bahkan kematian pada

hewan dan serangga tau terjadinya akumulasi logam pada predator-predator jika mengosumsi

tanaman yang telah digunakan dalam proses fitoremediasi. Selain itu, membutuhkan waktu

yang relatif lama untuk membersihkan limbah B3, terutama dalam skala besar dan

dikhawatirkan membawa senyawa-senyawa beracun ke dalam rantai makanan di ekosistem.

2. Metode Pembuangan Limbah B3 dengan cara Sumur Dalam/ Sumur Injeksi (Deep
Weel Injection)
Metoda ini yaitu dengan cara memompakan limbah tersebut melalui pipa ke lapisan

yang dalam, di bawah lapisan-lapisan ait tanah dangkal maupun air tanah dalam. Secara

teoritis, limbah B3 ini akan terperangkap di lapisan itu sehingga tidak akan mencemari tanah

maupun air. Sebenarnya tetap ada kemungkinan terjadi kebocoran atau korosi pipa, atau

pecahnya lapisan batuan sehingga limbah merembes ke lapisan tanah.

Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih

diperlukan pengkajian yang komprehensif terhadap efek yang mungkin ditimbulkan. Data

menunjukkan bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan

pada tahun 1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.

Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai

salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes). Pembuangan

limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi

geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat

limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak

dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah strktur dan

kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.


Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah

lapisan yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan

impermeable seperti shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah tidak

dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan tanah. Tidak

semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis limbah

dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima limbah. Hal

tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat mengalami presipitasi,

memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam kuat atau basa kuat,

bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas yang lebih rendah daripada

cairan alami dalam formasi geologi. Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan

mengenai pembuangan limbah B3 ke sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada

mengenai hal ini ditetapkan oleh Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:

Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal

keluar dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber air tanah.. Sebelum

limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah telah

mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun.

3. Incineration

Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam teknologi

pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90%

(volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem

pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk

padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan

energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian

besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat.

Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.


Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value)

limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses

pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari

sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah

padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple

chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut,

rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan

gas secara simultan.

Anda mungkin juga menyukai