Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Organ penglihatan manusia terdiri atas banyak elemen yang saling


bersinergi untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Salah satu organ yang
berperan penting dalam melaksanakan fisiologis dari penglihatan ini adalah suatu
lapisan vaskular pada mata yang dilindungi oleh kornea dan sklera disebut uvea.1,2
Uvea terdiri atas 3 struktur; iris, badan siliar, dan koroid. Iris merupakan
bagian yang paling depan dari lapisan uvea. Iris disusun oleh jaringan ikat longgar
yang mengandung pigmen dan kaya akan pembuluh darah. Korpus siliaris (badan
siliaris) adalah struktur melingkar yang menonjol ke dalam mata terletak di antara
ora serrata dan limbus. Struktur ini merupakan perluasan lapisan khoroid ke arah
depan. Khoroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera. Khoroid
merupakan lapisan yang banyak mengandung pembuluh darah dan sel-sel pigmen
sehingga tampak berwarna hitam.
Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua
bagian dari uvea (iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Uvea merupakan
lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh darah yang dapat
memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan pada area ini dapat
mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa
elemen mata penting lainnya. Sehingga kadang gejala yang dikeluhkan pasien
mirip dengan penyakit mata yang lain. Adapun gejala yang sering dikeluhkan
pasien uveitis secara umum yaitu mata merah (hiperemis konjungtiva), mata
nyeri, fotofobia, pandangan mata menurun dan kabur, dan epifora.
Peradangan uvea (uveitis) dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa
parameter. Adapun parameter yang digunakan antara lain: demografi; lokasi dari
tempat peradangan; durasi, onset, dan perjalanan penyakit; karakter dari
peradangan yang terjadi; dan penyebab dari inflamasi. Klasifikasi dan standarisasi
dari uveitis sangat penting dilakukan untuk diagnosis dan penanganan penyakit.
Sehingga penanganan yang cost-efective dapat terlaksana.
Radang uvea atau uveitis adalah istilah umum untuk peradangan jaringan
uvea. Uveitis dapat terjadi pada satu atau semua bagian jaringan uvea. Uveitis

1
adalah peradangan pada jaringan uvea akibat infeksi, trauma, neoplasia, atau
proses autoimun. Uveitis posterior merupakan peradangan pada bagian posterior
dari uvea, yaitu pada lapisan koroid, sehingga sering disebut koroiditis1-3.
Penyebab uveitis posterior terbagi atas penyebab infeksi dan noninfeksi.
Kebanyakan kasus uveitis posterior bersamaan dengan salah satu bentuk penyakit
sistemik. Penyebab uveitis posterior seringkali dapat ditegakkan berdasarkan
morfologi lesi, cara onset dan perjalanan penyakit atau hubungannya dengan
penyakit sistemik. Pertimbangan lain adalah umur pasien dan apakah timbulnya
unilateral atau bilateral.
Pada uveitis posterior, retina hampir selalu terinfeksi secara sekunder. Ini
dikenal sebagai koriorenitis. Pada uveitis posterior umumnya lebih sering terjadi
uveitis jenis granulomatosa. Onset uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau
lambat tanpa gejala, tapi biasanya berkembang menjadi proses granulomatosa
kronis2,4.
Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan. Morbiditas akibat
uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia posterior sehingga menimbulkan
peningkatan tekanan intra okuler dan gangguan pada nervus optikus. Selain itu,
dapat timbul katarak akibat penggunaan steroid. Oleh karena itu, diperlukan
penanganan uveitis yang meliputi anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan
fisik dan oftalmologis yang menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan
yang tepat5,6.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Uvea1-3


Mata sebagai organ penglihatan manusia, tersusun atas elemen-elemen
yang memiliki struktur yang berbeda-beda. Struktur yang dimiliki oleh masing-
masing elemen menunjang fungsi dari elemen tersebut dalam fisiologis
penglihatan manusia. Salah satu elemen mata manusia adalah uvea yaitu suatu
lapisan vaskular tengah mata yang membungkus bola mata dan dilindungi oleh
kornea dan sklera. Uvea terdiri atas 3 unsur yaitu iris, badan siliar, dan koroid.

3
Gambar 1. Anatomi Uvea

Iris
Iris merupakan bagian yang paling depan dari lapisan uvea. Struktur ini
muncul dari badan siliar dan membentuk sebuah diafragma di depan lensa. Iris
juga memisahkan bilik mata depan dan belakang. Celah di antara iris kiri dan
kanan dikenal sebagai pupil.

4
Iris disusun oleh jaringan ikat longgar yang mengandung pigmen dan
kaya akan pembuluh darah. Permukaan depan iris yang menghadap bilik mata
depan (kamera okuli anterior) berbentuk tidak teratur dengan lapisan pigmen
yang tak lengkap dan sel-sel fibroblas. Permukaan posterior iris tampak halus
dan ditutupi oleh lanjutan 2 lapisan epitel yang menutupi permukaan korpus
siliaris. Permukaan yang menghadap ke arah lensa mengandung banyak sel-sel
pigmen yang akan mencegah cahaya melintas melewati iris. Dengan demikian
iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata dan cahaya
akan terfokus masuk melalui pupil.
Pada iris terdapat 2 jenis otot polos yaitu otot dilatator pupil dan otot
sfingter/konstriktor pupil. Kedua otot ini akan mengubah diameter pupil. Otot
dilatator pupil yang dipersarafi oleh persarafan simpatis akan melebarkan pupil,
sementara otot sfingter pupil yang dipersarafi oleh persarafan parasimpatis (N.
III) akan memperkecil diameter pupil.
Jumlah sel-sel melanosit yang terdapat pada epitel dan stroma iris akan
mempengaruhi warna mata. Bila jumlah melanosit banyak mata tampak hitam,
sebaliknya bila melanosit sedikit mata tampak berwarna biru.

Badan Siliaris
Badan siliaris adalah struktur melingkar yang menonjol ke dalam mata
terletak di antara ora serrata dan limbus. Struktur ini merupakan perluasan lapisan
khoroid ke arah depan. Korpus siliar disusun oleh jaringan penyambung jarang
yang mengandung serat-serat elastin, pembuluh darah dan melanosit.
Badan siliaris membentuk tonjolan-tonjolan pendek seperti jari yang
dikenal sebagai prosessus siliaris. Dari prosessus siliaris muncul benang-benang
fibrillin yang akan berinsersi pada kapsula lensa yang dikenal sebagai zonula
zinii.
Badan siliaris dilapisi oleh 2 lapis epitel kuboid. Lapisan luar kaya akan
pigmen dan merupakan lanjutan lapisan epitel pigmen retina. Lapisan dalam yang
tidak berpigmen merupakan lanjutan lapisan reseptor retina, tetapi tidak sensitif
terhadap cahaya. Sel-sel di lapisan ini akan berfungsi sebagai pembentuk humor

5
aqueaeus (mengeluarkan cairan filtrasi plasma yang rendah protein ke dalam bilik
mata belakang (kamera okuli posterior)).
Humor aqueaeus mengalir dari bilik mata belakang (kamera okuli
posterior) ke bilik mata depan (kamera okuli anterior) melewati celah pupil (celah
di antara iris dan lensa), lalu masuk ke dalam jaringan trabekula di dekat limbus
dan akhirnya masuk ke dalam kanal Schlemm. Dari kanal Schlemm humor
aqueaeus masuk ke pleksus sklera dan akhirnya bermuara ke sistem vena.
Korpus siliar mengandung 3 berkas otot polos yang dikenal sebagai
muskulus siliaris. Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat longitudinal,
sirkuler, dan radial. Fungsi serat-serat sirkulaer adalah untuk mengerutkan dan
relaksasi serat-serat zonula, yang berorigo di lembah-lembah di antara processus
siliaris. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa, sehingga lensa dapat
mempunyai berbagai fokus baik untuk obyek berjarak dekat maupun yang
berjarak jauh dalam lapangan pandang Serat-serat longitudinal muskulus siliaris
menyisip ke dalam anyaman-anyaman trabekula untuk mempengaruhi besar pori-
porinya.

Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera. Khoroid
merupakan lapisan yang banyak mengandung pembuluh darah dan sel-sel pigmen
sehingga tampak berwarna hitam. Lapisan ini tersusun dari jaringan penyambung
jarang yang mengandung serat-serat kolagen dan elastin, sel-sel fibroblas,
pembuluh darah dan melanosit. Khoroid terdiri atas 4 lapisan yaitu:
1. Epikhoroid merupakan lapisan khoroid terluar tersusun dari serat-serat kolagen
dan elastin.
2. Lapisan pembuluh merupakan lapisan yang paling tebal tersusun dari
pembuluh darah dan melanosit.
3. Lapisan koriokapiler, merupakan lapisan yang terdiri atas pleksus kapiler,
jaring-jaring halus serat elastin dan kolagen, fibroblas dan melanosit. Kapiler-
kapiler ini berasal dari arteri khoroidalis. Pleksus ini mensuplai nutrisi untuk
bagian luar retina.

6
4. Lamina elastika, merupakan lapisan khoroid yang berbatasan dengan epitel
pigmen retina. Lapisan ini tersusun dari jarring-jaring elastik padat dan suatu
lapisan dalam lamina basal yang homogen.

Gambar 2 Lapisan Koroid

Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior yang
berasal dari arteri oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris berasal dari
sirkulus arteri mayoris iris yang terletak di badan siliaris yang merupakan
anastomosis arteri siliaris anterior dan arteri siliaris posterior longus. Vaskularisasi
koroid berasal dari arteri siliaris posterior longus dan brevis.

2.2 Definisi1-4
Uveitis posterior merupakan salah satu klasifikasi uveitis berdasarkan
anatomis. Uveitis posterior adalah radang uvea bagian posterior yang biasanya
disertai dengan keradangan jaringan disekitarnya. Inflamasi ini terletak dibagian

7
uvea di belakang dengan batas basis vitreus. Jika mengenai retina disebut retinitis
dan jika mengenai vitreous disebut vitritis.

Gambar 3. Klasifikasi Uveitis secara Anatomi

2.3 Epidemiologi5,8
Insiden uveitis di Amerika Serikat dan di seluruh dunia diperkirakan
sebesar 15 kasus/100.000 penduduk dengan perbandingan yang sama antara laki-
laki dan perempuan. Toxoplasma dianggap sebagai penyebab 30-50% uveitis
posterior. Syamsoe pada penelitiannya dalam periode Januari 1981 Maret 1982
terhadap 144 penderita uveitis menemukan 8 (5,56%) kasus disebabkan oleh
toksoplasmosis. Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia
70 tahun, angka kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua
umumnya uveitis diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan afakia.

2.4 Etiologi2
Penyebab dari uveitis posterior dapat dibagi atas dari penyakit infeksi
(uveitis granulomatosa) dan non infeksi (uveitis non granulomatosa).
1. Penyakit infeksi (uveitis granulomatosa)
virus : virus sitomegalo, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola,
HIV, virus Epstein-Barr, virus coxsackie.
bakteri : Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadik dan
endemik, Nocardia, Neisseria meningitides, Mycobacterium avium-
intracellulare, Yersinia, dan Borrelia.
fungus : Candidia, Histoplasma, Cryptococcus, dan Aspergillus.
parasit : Toxoplasma, Toxocara, Cysticercus, dan Onchocerca.
2. penyakit non infeksi (uveitis non granulomatosa)

8
autoimun : penyakit Behcet, Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada,
poliarteritis nodosa, ofthalmia simpatis, vaskulitis retina.
keganasan : sarkoma sel retikulum, melanoma maligna, leukemia, lesi
metastatik.
etiologi tak diketahui : sarkoidosis, koroiditis geografik, epiteliopati
pigmen plakoid multifokal akut, retinopati birdshot, epiteliopati pigmen
retina.

2.5 Patofisiologi7
Pada stadium awal terjadi kongestif dan infiltrasi dari sel-sel radang
seperti PMN, limfosit, dan fibrin pada koroid dan retina yang terkena. PMN lebih
banyak berperan pada uveitis jenis granulomatosa sampai terjadinya supurasi.
Sebaliknya pada uveitis non granulomatosa limfosit lebih dominan. Apabila
inflamasi berlanjut, lamina vitrea akan robek sehingga lekosit pada retina akan
menginvasi rongga vitreum yang menyebabkan timbulnya proses supurasi di
dalamnya. Pada uveitis granulomatosa kronis tampak sel mononuclear, sel
epiteloid, dan giant cell sebagai nodul granulomatosa yang tipikal. Kemudian
eksudat menghilang dengan disertai atrofi dan melekatnya lapisan koroid dan
retina yang terkena. Eksudat dapat menjadi jaringan parut. Keluarnya granula
pigmen akibat nekrosis atau atrofi dari kromatofor dan sel epitelia pigmen akan
difagositosis oleh makrofag dan akan terkonsentrasi pada tepi lesi.

Uveitis Posterior

Sel-sel radang pada humor vitreus, lesi berwarna putih atau putih
kekuningan pada retina dan atau koriod, eksudat pada retina, vaskulitis retina dan
edema nervus optikus dapat ditemukan pada uveitis posterior.

9
Cell depocits pada uveitis

2.6 Manifestasi Klinis2,5-7


Gejala Uveitis Posterior antara lain :
a. Penurunan ketajaman penglihatan, dapat terjadi pada semua jenis
uveitis posterior.
b. Injeksi matakemerahan mata tidak terjadi bila hanya segmen
posterior yang terkena, jadi gejala ini jarang pada toksoplasmosis dan
tidak ada pada histoplasmosis.
c. Rasa sakit pada mata terdapat pada pasien dengan sindrom
nekrosis retina akut, sifilis, infeksi bakteri endogen, skleritis posterior, dan
pada kondisi-kondisi yang mengenai nervus optikus. Pasien
toksoplasmosis, toksokariasis, dan retinitis sitomegalovirus yang tidak
disertai glaukoma umumnya tanpa rasa sakit pada mata. Penyakit segmen
posterior noninfeksi lain yang khas tidak sakit adalah epiteliopati pigmen
plakoid multifokal akut, koroiditis geografik, dan Sindroma Vogt-
Koyanagi-Harada.

Tanda yang penting untuk diagnosis uveitis posterior adalah :2


a. HipopionUveitis posterior dengan hipopion misalnya pada leukemia,
penyakit Behcet, sifilis, toksokariasis, dan infeksi bakteri endogen.
b. Pembentukan granulomaJenis granulomatosa biasanya pada uveitis
granulomatosa anterior yang juga mengenai retina posterior dan koroid,
sarkoidosis, tuberkulosis, toksoplasmosis, sifilis, Sindroma Vogt-
Koyanagi-Harada, dan oftalmia simpatis. Sebaliknya, jenis non
granulomatosa dapat menyertai penyakit Behcet, epiteliopati pigmen

10
plakoid multifokal akut, bruselosis, sarkoma sel retikulum, dan sindrom
nekrosis retina akut.
c. Glaukoma yang terjadi sekunder mungkin terjadi pada pasien nekrosis
retina akut, toksoplasmosis, tuberkulosis, atau sarkoidosis.
d. VitritisPeradangan korpus vitreum dapat menyertai uveitis posterior.
Peradangan dalam vitreum berasal dari fokus-fokus radang di segmen
posterior mata. Vitritis tidak terjadi pada koroiditis geografik atau
histoplasmosis. Peradangan ringan terjadi pada pasien sarcoma sel
retikulum, infeksi virus sitomegalo, rubella, dan beberapa kasus
toksoplasmosis dengan fokus-fokus infeksi kecil pada retina. Sebaliknya,
peradangan berat dengan banyak sel dan eksudat terdapat pada
tuberkulosis, toksokariasis, sifilis, penyakit Behcet, nokardiosis,
toksoplasmosis, dan pada pasien endoftalmitis bakteri atau kandida
endogen.
e. Morfologi dan lokasi lesiToksoplasmosis adalah contoh khas yang
menimbulkan retinitis dengan peradangan koroid di dekatnya. Infeksi
virus sitomegalo, herpes, rubella, dan rubella umumnya mengenai retina
secara primer dan lebih banyak menyebabkan retinitis daripada koroiditis.
Pada pasien tuberkulosis, koroid merupakan sasaran utama proses
granulomatosa, yang juga mengenai retina. Koroiditis geografik terutama
mengenai koroid dengan sedikit atau tanpa merusak retina dan pasien tidak
menderita pasien sistemik. Sebaliknya, koroid terlibat secara primer pada
oftalmia simpatis dan penyakit Lyme. Ciri morfologiknya dapat berupa
lesi geografik, lesi punctata, nodul Dalen-Fuchs.
f. Vaskulitis.
g. Hemoragik retina.
h. Parut lama.

2.7 Diagnosis Banding4


Penting untuk menentukan apakah lesi yang terjadi akibat inflamasi,
tumor, proses vaskuler, atau proses degenerasi. Meksipun flare dan sel di COA
merupakan tanda utama uveitis, tapi bukan merupakan suatu tanda diagnostik

11
pasti uveitis karena proses nekrotik atau metastasis neoplasma juga dapat
menyebabkan proses inflamasi. Debris seluler vitreus juga dapat terjadi akibat
proses degeneratif seperti retinitis pigmentosa atau retinal detachment

Diagnosis banding dari uveitis posterior antara lain:


1. Penyakit degenerasi retina
Biasanya disertai miopia tinggi
Bersifat slowly progressive dan menetap
Tidak bisa diobati
2. Kekeruhan badan kaca karena penyakit lain
Biasanya ada penyakit sistemik
Ultrasonografi jelas terlihat
Diresorbsi spontan 6 bulan
3. Ablasio retina
Progresif, USG jelas terlihat
Bila regmatogenus ditemukan sobekan retina
Satu-satunya tindakan hanya operasi

2.8 Tatalaksana4,5,9
Terapi uveitis posterior tergantung dari penyebabnya. Pada prinsipnya
pengobatan ditujukan untuk mempertahankan penglihatan sentral,
mempertahankan lapang pandang, mencegah atau mengobati perubahan-
perubahan struktur mata yang terjadi seperti katarak, glaukoma sekunder, sinekia
posterior, kekeruhan badan kaca, ablasi retina dan sebagainya.
Ada empat kelompok obat yang digunakan dalam terapi uveitis, yaitu
midriatikum, steroid, sitotoksik, dan siklosporin. Sedangkan uveitis akibat infeksi
harus diterapi dengan antibakteri atau antivirus yang sesuai. Midriatikum
berfungsi untuk memudahkan follow up keberhasilan pengobatan. Atropin tidak
diberikan lebih dari 1-2 minggu.
Indikasi operasi pada pasien dengan uveitis mencakup rehabilitasi visual,
biopsi diagnostik (hasil penemuan dari biopsi menyebabkan adanya perubahan
pada rencana pengobatan), dan pengeluaran Opacities media untuk memonitor

12
segmen posterior. Apabila timbul perubahan struktur pada mata (katarak, glukoma
sekunder) maka terapi terbaik adalah dengan operasi.
Vitrektomi berfungsi untuk menentukan diagnosis dan pengobatan.
Indikasi vitrektomi adalah peradangan intraokular yang tidak sembuh pada
pengobatan, dugaan adanya keganasan dan infeksi pada mata. Uveitis posterior
berkaitan dengan kekeruhan vitreus yang tidak dapat disembuhkan dengan obat-
obatan. Dengan adanya vaskulitis dan oklusi vaskular pada pars planitis, penyakit
Behcet dan sarkoidosis neovaskularisasi retina atau pada diskus optikus (pada
pasien uveitis) menyebabkan timbulnya perdarahan pada vitreus. Vitrektomi
merupakan salah satu pilihan untuk situasi tersebut.

2.9 Prognosis7,10
Prognosis pasien tergantung pada lokasi dan luasnya eksudasi dan atrofi
daerah lesi. Lesi yang kecil tetapi jika mengenai daerah makula lutea akan
berpengaruh pada fungsi penglihatan. Sebaliknya lesi yang meluas sepanjang
fundus tidak mempengaruhi penglihatan apabila tidak mengenai area makula.

2.10 Komplikasi6,7
Komplikasi yang dapat terjadi adalah :
a. Dapat mengenai daerah sekitar koroid, misalnya retina, vitreus humour,
badan siliar, iris, nervus optikus, dan sklera.
b. Sinekia posterior.
c. Edema makula sistoid.
d. Vaskular dan optik atropi.
e. Traction retinal detachment.
f. Uveitis posterior dapat menyebabkan katarak sisi posterior.

13
BAB III
PENUTUP

Uveitis posterior merupakan peradangan pada bagian posterior dari uvea,


yaitu pada lapisan koroid, sehingga sering disebut koroiditis. Keluhan utama
adalah penglihatan kabur dan floaters akibat sel radang. Penurunan visus dapat
mulai dari ringan sampai berat. Pengobatan tergantung dari penyebabnya. Mulai
dari pemberian kortikosteroid sampai dengan tindakan pembedahan.
Prognosis pasien tergantung pada lokasi dan luasnya eksudasi dan atrofi
daerah lesi. Lesi yang kecil tetapi jika mengenai daerah makula lutea akan
berpengaruh pada fungsi penglihatan. Sebaliknya lesi yang meluas sepanjang
fundus tidak mempengaruhi penglihatan apabila tidak mengenai area makula.
Komplikasi terpeting yaitu terjadinya peningkatan tekanan intraokuler
(TIO) akut yang terjadi sekunder akibat blok pupil (sinekia posterior), inflamasi,
atau penggunaan kortikosteroid topikal. Peningkatan TIO dapat menyebabkan
atrofi nervus optikus dan kehilangan penglihatan permanen. Komplikasi lain
meliputi corneal band-shape keratopathy, katarak, pengerutan permukaan makula,
edema diskus optikus dan makula, edema kornea, dan retinal detachment.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Melinda. Uveitis. Pekanbaru: Fakultas Kedokteran Riau, 2009.


2. Vaughan D. Opthalmologi Umum. edisi 14, Widya Medika, Jakarta: 2000.
3. Wijaya, Nana. Ilmu Penyakit Mata, ed. Wijaya Nana, cetakan ke-6. Jakarta:
Abadi Tegal. 1993.
4. Soewono W, Eddyanto. Uveitis Posterior dalam Pedoman Diagnosis dan
Terapi bagian Ilmu Penyakit Mata. Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga,
2006.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesua. Ulkus Kornea dalam Ilmu
Penyakit Mata untuk Dokter Umum Dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke-2.
Jakarta: Sagung Seto;2002.
6. Ilyas R. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2009.
7. Allen. J. H., Mays manual of the disease of the eye, Robert E. Kriger
Pubhlising Company New York 1968.
8. Robert HJ. Uveitis. 2005. Serial online, diunduh tanggal 8 April 2014.
Diunduh dari http://www.emedicine.com/oph/topic581.htm
9. S Sudharshan. Current approach in the diagnosis and management of posterior
uveitis. 2010. Serial online, diunduh tanggal 7 April 2014. Diunduh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2841371/
10. Rathinam, S.R. and Namperumalsamy, P. (2007) Global Variation and Pattern
Changes in Epidemiology of Uveitis. Indian Journal of Ophthalmology 55(3),
173-183.

15

Anda mungkin juga menyukai