PENDAHULUAN
SLE merupakan penyakit autoimun yang bersifat sistemik dan selama lebih dari
empat dekade angka kejadian SLE meningkat tiga kali lipat 51/100.000 menjadi
antara 122 sampai 124/100.000 penduduk di dunia (Farkhati, Hapsara, & Satria,
2012). Di Indonesia, jumlah penderita penyakit SLE secara tepat belum diketahui,
diperkirakan mencapai jumlah 1,5 juta orang (Puskom Ayo Sehat Indonesia, 2011).
Dibagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta terjadi peningkatan
SLE rata-rata 5-6 pasien per tahun dengan survival pada tahun kelima sebesar 65%
(Farkhati, Hapsara, & Satria, 2012).
Penyakit autoimun yang lain adalah hipersensivitas atau alergi yang sudah umum
diderita oleh masyarakat
Dalam makalah Small Grou Discussion ini akan dibahas mengenai sistemik lupus
eritomatosus dan hipersensitivitas dan bagaimana asuhan keperawatan yang tepat
pada pasien yang menderita penyakit tersebut.
1.2 Tujuan
1
6. Mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien dengan
Sistemik Lupus Eritomatosus
2
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang
menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ
yang terkena. Perjalanan penyakit SLE sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian.
Penyebab terjadinya SLE belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam
penmpangan regulasi sistem imun. Pada anak perempuan, awitan SLE banyak ditemukan
pada umur 9-15 tahun dengan perbandingan pada jenis kelamin perempuan dan laki-laki
sekitar 10:1 (Black & Hawks, 2009).
Hingga saat ini penyebab dari SLE sendiri belum diketahui secara pasti. Namun
terdapat faktor yang meningkatkan risiko terkenanya penyakit SLE pada seseorang, antara
lain:
1. Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE
3
telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak
kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II
khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen
merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE.
Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita
SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur
komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2. Imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell)
akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa
reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur
maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali.
Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah
mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Faktor hormonal.
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang
abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
d. Faktor lingkungan.
4
Beberapa faktor dari lingkungan yang dapat mengakibatkan penyakit SLE
sebagai beikut.
3. Infeksi bakteri atau virus.
Bakteri dan virus yang berpotensi untuk menjadi antigen dari penyakit SLE
yaitu Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
4. Paparan sinar UV
Paparan sinar ultra violet dapat memperparah dan mengakibatkan penyakit
SLE menjadi kambuh kembali. Penderita SLE juga akan mengalami
inflamasi di tempat yang mengeluarkan sitokinin dan prostaglandin melalui
pembuluh darah secara sistemik akibat dari paparan sinar ultra violet
tersebut.
5. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh
akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak
akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak
ada gangguan sejak awal.
6. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.
5
dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya
merangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Ruam adalah fitur umum. Malar "kupu-kupu" ruam seperti lipatan nasolabial
yaitu fitur sugestif tetapi tidak patognomonik. Ruam makulopapular lebih sering dan
dapat terjadi di mana saja, tetapi biasanya ditemukan pada kulit yang terpapar sinar
matahari. Kuku dan rambut dapat terlibat, dengan warna merah, kutikula retak,
telangiectasias periungual, dan tambal sulam atau menyebar alopecia. Fenomena
Raynaud, atau spasme pembuluh darah, menyebabkan tangan dingin dan kaki dengan
rasa sakit dan tricolor karakteristik (ungu atau biru-putih-merah) perubahan.
Fenomena Raynaud terjadi pada sekitar 15% pasien (Boon and McCurdy, 2002). Ini
biasanya muncul sebagai respon terhadap paparan dingin dan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang signifikan. Selain perubahan warna pada ekstremitas,
nekrosis pembuluh darah dan ulserasi digital dapat terjadi (Boon and McCurdy,
2002). Arthritis dan tenosynovitis umum pada SLE. Arthritis biasanya sangat
menyakitkan tapi pada durasi yang singkat, dan deformitas sendi yang tidak biasa.
6
memprediksi. Beberapa anak lebih baik, sedangkan beberapa tetap sama atau
kemajuan untuk gagal ginjal yang memerlukan dialisis dan transplantasi.
Lupus neuropsikiatri adalah komplikasi serius lainnya. Gejala dapat bervariasi dari
manifestasi ringan yaitu ketidakmampuan untuk berkonsentrasi untuk psikosis jujur dan
kejang. Kinerja sekolah dan kestabilan emosi harus dinilai pada setiap kunjungan mungkin
sebagai indikator peyebaran lupus.
Keluhan penderita SLE yang lainnya adalah sakit kepala, kejang epilepsy, dan gangguan
kejaiwaan ssering merupakan keluhan awal.
Mulai dari keluhna nyeri pad abanyak persendian yang hilang-hilang timbul sampai keluhan
nyeri sendi yang akut, merupakan keluhan awal pada 90% penderita SLE. Dalam keadaan
SLE berlangsung lama, terjadi erosi sendi tulang telapak kaki. Namun demikian, kebayakan
SLE yang menyerang banyak sendi, tidak memperlihatkan kerusakan sendi.
Yang khas disebut gambaran kemerahan kulit pipi berbentuk kupu-kupu yang disebut
butterfly erithema. Lesi kulit berbentuk makulo papul pad kulit muka samapi ke leherdan
bahu lesi kulit ini jarang yang melepuh atau menjadi borok. Tetapi lesi pada rahang atas pada
pertemuan bagian lunak dan bagian keras, pada daerah pipi bagian dalam dan bagian depan
rongga hidung, bisa terjadi.
Rambut rontok pada bebrapa daerah kulit kepala (generalize focal alopecia) terjadi pada fase
aktif SLE. Timbul bintik-bintik merah pendarahan (purpura) karena sel pebeku darah turun
(trombositopeni). Penderita mengeluh silau pada sinar yang terang (photophobi). Bebrapa
penderita SLE memperlihatlan gejala pleuritis yang hilang timbul (recurrent) yaitu
peradangan dinding dada dan selaput paru hingga penderita mengeluhkan sakit dada, tetapi
tidak ada efusi cairan pada rongga paru.
Pada keadaan lebih berat, bisa terjadi perdarahan paru dan mengancam kehidupan (fatal).
Peradangan selaput pembungkus jantung (pericarditis) sering terjadi pada penderita SLE.
Peradangan pembuluh darah jantung (coronary arteri vasculitis) atauotot jantung megalami
fibrosis (fibrosing myocarditis). Timbul pembengkakan elenjar limfe di seluruh tubuh
7
terutamapadapenderita anak-anak dan dewasa muda (umur 20 tahunan). Pembesaran limfe
terjadi pada 10% penderita SLE.
Keluhan sakit kepala, perubahan kepribadian, stroke, kejang epilepsy, psikosis, gangguan
organic pada otak
4. Gangguan ginjal
Bisa ringan dan tanpa gejala, sampai gangguan yang progresif dan mematikan. Gejala yang
serign ditemukan pada pemeriksaan laboratorium air seni, terdapat protein (proteinuria).
Secara patologi terdapat kelainan pada injal, peradangan glomerulus jinak, sampai yang
peradangan membrane yang luas (diffuse membrane prliferatif glomerulopritis).
Sindroma menghancurkan darha sendiri pada stadium akut SLE (Acute lupus homo pagosotik
syndrome). Pada keadaan ini sumsum tulang mengalami proliferasi yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi, banyak terlihat sel histosit. Untuk mengatasi kelainan ini, biasanya
penderita berespons baik terhadap pemberian obat kortkosteroid.
2.5 Penatalaksanaan
Lupus adalah penyakit seumur hidup, karenanya pemantauan harus dilakukan selamanya.
Tujuan pengobatan SLE adalah mengontrol manifestasi penyakit,sehingga anak dapat
memiliki kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi berat,sekaligus mencegah kerusakan
organ serius yang dapat menyebabkan kematian (Hockenberry & Wilson, 2009).
8
c. Kortikosteroid, Dosis rendah, untuk mengatasi gejala klinis seperti demam,
dermatitis, efusi pleura. Diberikan selama 4 minggu minimal sebelum dilakukan
penyapihan. Dosis tinggi, untuk mengatasi krisis lupus, gejala nefritis, SSP, dan
anemi hemolitik.
d. Obat imunosupresan/sitostatika, Imunosupresan diberikan pada SLE dengan
keterlibatan SSP, nefritis difus dan membranosa, anemia hemolitik akut, dan
kasus yang resisten terhadap pemberian kortikosteroid.
e. Obat antihipertensi, Atasi hipertensi pada nefritis lupus dengan agresif
f. Kalsium, Semua pasien LES yang mengalami artritis serta mendapat terapi
prednison berisiko untuk mengalami mosteopenia, karenanya memerlukan
suplementasi kalsium.
2. Dialisis atau transplantasi ginjal
Pasien dengan stadium akhir lupus nefropati, dapat dilakukan dialisis atau
transplantasi ginjal
3. Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien
memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang
mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan
berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
4. Aktivitas
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk
mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh
berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien
disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari
harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam.
Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien LES.
5. Penatalaksanaan infeksi
Pengobatan segera bila ada infeksi terutama infeksi bakteri. Setiap kelainan urin harus
dipikirkan kemungkinan pielonefritis.
9
2.2 Hipersensitivitas
2.2.1 Definisi
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-
bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi
berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing
atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut
alergen. Reaksi alergi terjadi ketika tubuh salah mengartikan zat yang masuk sebagai
zat yang berbahaya. Sejalan dengan definisi ini, alergi makanan merupakan reaksi
sistem kekebalan yang terjadi segera setelah mengonsumsi makanan tertentu. Bahkan
sejumlah kecil makanan penyebab alergi dapat memicu tanda dan gejala seperti
masalah pencernaan, gatal-gatal atau bengkak saluran udara. Pada beberapa orang,
alergi makanan dapat menyebabkan gejala parah atau bahkan reaksi yang mengancam
nyawa yang dikenal sebagai anafilaksis. Kadang, alergi makanan disalah artikan
dengan kondisi yang lebih umum terjadi, yaitu intoleransi terhadap makanan.
Intoleransi terhadap makanan kondisinya lebih ringan dari alergi karena tidak
melibatkan sistem kekebalan tubuh.
Klasifikasi
Hipersensitivitas Tipe I
Hipersensitivitas tipe I atau disebut juga dengan reaksi cepat, reaksi alergi atau reaksi
anafilaksis ini merupakan respon jaringan yang terjadi akibat adanya ikatan silang
antara alergen dan IgE. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring,
jaringan bronkopulmonasi, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat
menimbulkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga
kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun
terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Berikut
mekanisme umum dari reaksi tersebut :
Manifestasi yang dapat ditimbulkan dari reaksi ini adalah berupa anafilaksis,
urtikaria, asma bronchial, atau dermatitis. Uji diagnortik yang dapat digunakan
untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan atau
intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik
untuk melawan alergen (penyebab alergi) yang dicurigai.
Hipersensitivitas Tipe II
10
sitolitik. Kerusakan yang ditimbulkan akan terbatas atau spesifik pada sel atauu
jaringan yang secara langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya,
antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat
patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel. Hipersensitivitas dapat
melibatkan reaksi komplemen atau reaksi silang yang berkaitan dengan antibodi sel,
sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II yaitu sebagai berikut :
Hipersensitivitas Tipe IV
11
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau
tipe lambat (delay-tipe). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel
T dan makrofag. Dalam reaksi ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag
dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari
hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak
(kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis. Reaksi ini
dibedakan menjadi beberapa reaksi, seperti Tuberkulin, reaksi inflamasi granulosa,
dan reaksi penolakan transplant. Mekanisme reaksi ini secara umum adalah sebagai
berikut :
Limfosit T tersensitasi
Pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau sitotoksik yang diperantarai oleh
sel T langsung
Timbul menifestasi (tuberkulosis, dermatitis kontak, dan reaksi penolakan
transplant)
2.2.2 Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi yaitu :
1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis
(misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas
juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
Imaturitas usus (Ketidakmatangan Usus) Secara mekanik integritas mukosa
usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergen ke dalam tubuh.
Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi
allergen. Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada
lamina propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur
system pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi, sehingga
memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat. Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek pada
penderita. Bila ada orang tua, keluarga atau kakek/nenek yang menederita alergi
kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak sejak dini. Bila ada salah satu orang
tua yang menderita gejala alergi, maka dapat menurunkan resiko pada anak sekitar
12
17 40%, Bila ke dua orang tua alergi maka resiko pada anak meningkat menjadi
53 70%.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress)
atau beban latihan (lari, olah raga).
Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan
15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll. Hampir semua jenis makanan
dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.
3. Faktor Risiko
a. Riwayat keluarga. Terdapat potensi menderita alergi makanan, jika banyak
keluarga yang mengalami gangguan ini.
b. Alergi makanan masa lalu. Pada masaanak-anak mungkin seseorang dapat
mengatasi gangguan alergi makanan, namun dalam beberapa kasus, gangguan ini
kembali di kemudian hari.
c. Alergi lain. Jika sudah alergi terhadap satu makanan, mungkin mempunyai
risiko alergi terhadap makanan lainnya. Demikian juga, jika memiliki jenis reaksi
alergi yang lain,seperti demam atau eksim, risiko mengalami alergi makanan lebih
besar.
d. Usia. Alergi makanan yang palingumum terjadi pada anak-anak, terutama balita
dan bayi. Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk menyerap komponen
makanan atau makanan yang memicu alergi. Untungnya, anak-anak biasanya dapat
mengatasi alergi terhadap susu, gandum kedelai, dan telur. Alergi parah dan alergi
terhadap kacang-kacangan dan kerang mungkin dapat diderita seumur hidup.
e. Asma. Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersama-sama. Ketika terjadi,
baik alergi makanan dan atau gejala asma, bisa menjadi lebih parah
13
2.2.3 Patofisiologi
2. Tahap Elisitasi
Fase elisitasi terjadi jika terdapat pajanan ulang. Ketika terpajan dengan
makanan (penyebab alergi) yang sama, protein akan mengikat molekul di sel mediator
(sel basofil dan sel mast). Tahap elisitasi ini menyebabkan tubuh mengeluarkan
molekul yang menyebabkan inflamasi (seperti leukotrien dan histamin). Efek yang
timbul serta keparahan alergi dipengaruhi oleh konsentrasi dan tipe alergen, rute
pajanan, dan sistem organ yang terlibat (misalnya kulit, saluran cerna, saluran
pernapasan, dan darah).
Antibodi melampirkan ke bentuk sel darah yang disebut sel mast. sel Mast
dapat ditemukan di saluran udara, di usus, dan di tempat lain. Kehadiran sel mast
dalam saluran udara dan saluran pencernaan membuat daerah ini lebih rentan terhadap
paparan alergen. Mengikat alergen ke IgE, yang melekat pada sel mast. Hal ini
menyebabkan sel mast untuk melepaskan berbagai bahan kimia ke dalam darah.
Histamin, senyawa kimia utama, menyebabkan sebagian besar gejala reaksi alergi.
Gejala alergi dapat mulai dari yang ringan hingga yang berat. Gejala alergi yang
ringan dapat berupa bersin bersin, hidung meler, gatal gatal baik bersifat lokal
atau seluruh tubuh, hidung mampet dan gejala alergi lainnya. Gejala alergi dapat
14
dapat terlihat pada kulit, mata, hidung, paru-paru dan perut, tergantung pada jenis
alerginya. Gejala-gejala alergi bisa mulai dari ringan ke sangat serius adalah :
1. Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim. Ini
adalah yang paling umum gejala alergi obat.
2. Batuk, wheezing, Hidung, dan kesulitan bernapas.
3. Demam.
4. Kulit melepuh dan mengelupas. Masalah ini disebut racun berhubung dgn
kulit necrolysis, dan dapat membawa maut jika tidak dirawat.
5. Anaphylaxis, yang merupakan reaksi paling berbahaya. Dapat membawa
maut, dan Anda akan memerlukan perawatan darurat. Gejala, seperti hives
dan kesulitan bernapas, biasanya muncul dalam waktu 1 jam setelah minum
obat, reaksi cepat tanpa perawatan, Anda dapat masuk ke shock.
Gambaran lain yang menandakan adanya alergi adalah :
1. Adanya penonjolan kemerahan, seperti orang terkena cacar
2. Adanya biduran
3. Adanya kemerahan pada kulit yang disertai dengan sisik kulit.
4. Adanya perdarahan dalam kulit, seperti kemerahan pada penderita demam
berdarah dengue.
5. Adanya radang pada pembulih darah (vaskulitis)
6. Adanya rekasi kemerahan karena kontak dengan sinar matahari
7. Adanya penonjolan bernanah seperti jerawat.
8. Kelainan lain gawat darurat, seperti kulit seperti terbakar yang dalam klinik
disebut nekrolisis epidermal toksik.
Gejala alergi yang berbahaya meliputi rekasi anafilaksis. Reaksi alergi yang
sangat berbahaya adalah gejala anafilaksis, gejalanya dapat berupa shock berupa
tekanan darah secara tiba tiba dan cepat sehingga membahayakan nyawa si
penderita, kepala pusing dan sang penderita terlihat sangat cemas sehingga perlu
penanganan yang cepat dan harus segera di bawa ke klinik atau RS. Gejala alergi
anafilaksis paling sering terjadi pada gigitan serangga dan alergi obat tertentu namun
reaksi anafilaksis akibat minum obat tersangat jarang terjadi.
Kerasnya reaksi alergi, gejala dapat sangat bervariasi. Gejala ringan mungkin
tidak begitu terlihat, hanya membuat tubuh merasa sedikit sakit. Gejala sedang dapat
membuat tubuh merasa sakit, seolah-olah mendapat flu atau bahkan dingin.sedangkan
gejala parah dari reaksi alergi akan menimbulkan rasa yang sangat tidak nyaman,
15
bahkan melumpuhkan. Kebanyakan gejala reaksi alergi menghilang tak lama setelah
berhenti eksposur. Reaksi alergi yang paling parah disebut anafilaksis. Anafilaksis
dapat mengancam jiwa dan memerlukan perhatian medis segera. Penanganan cepat
sangat penting untuk anafilaksis. Jika tidak ditangani secara cepat, anafilaksis dapat
menyebabkan koma atau kematian Gejala dapat berkembang pesat. Dalam
anafilaksis, alergen menyebabkan reaksi alergi seluruh tubuh yang dapat mencakup:
1. Gatal-gatal dan gatal-gatal di seluruh (bukan hanya di daerah terbuka)
2. Mengi atau sesak napas
3. Suara serak atau sesak di tenggorokan
4. Kesemutan di tangan, kaki, bibir, atau kulit kepala
Tidak, tidak semua orang memiliki alergi. Orang-orang mewarisi
kecenderungan untuk menjadi alergi, meskipun tidak ke alergen tertentu. Bila salah
satu orangtua alergi, anak mereka memiliki kesempatan 50% memiliki alergi. risiko
itu melompat hingga 75% jika kedua orang tua memiliki alergi.
2.2.5 Penatalaksanaan
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin,
isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol,
metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ).
Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi
sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat
terhadap alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat
alergen selama 34 jam.
b.Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor
di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis
kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja
histamine.
c. Kromolin Sodium
16
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini
merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan
otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini
tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada
asma alergika atau ekstrinsik.
d.Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi.
Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral
atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal
mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang,
edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig
E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin
dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang
diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam
upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan
sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi
seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan
histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering
kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
17
2.3 Perkembangan anak dengan hipersensitivitas
Keluhan alergi sering sangat misterius, sering berulang, berubah-ubah datang dan pergi
tidak menentu. Kadang minggu ini sakit tenggorokan, minggu berikutnya sakit kepala,
pekan depannya diare selanjutrnya sulit makan hingga berminggu-minggu. Bagaimana
keluhan yang berubah-ubah dan misterius itu terjadi. Ahli alergi modern berpendapat
serangan alergi atas dasar target organ (organ sasaran).
Reaksi alergi merupakan manifestasi klinis yang disebabkan karena proses alergi
pada seseorang anak yang dapat menggganggu semua sistem tubuh dan organ tubuh
anak.. Organ tubuh atau sistem tubuh tertentu mengalami gangguan atau serangan lebih
banyak dari organ yang lain. Mengapa berbeda, hingga saat ini masih belum banyak
terungkap. Gejala tergantung dari organ atau sistem tubuh , bisa terpengaruh bisa
melemah. Jika organ sasarannya paru bisa menimbulkan batuk atau sesak, bila pada kulit
terjadi dermatitis atopik. Tak terkecuali otakpun dapat terganggu oleh reaksi alergi.
Apalagi organ terpeka pada manusia adalah otak. Sehingga dapat dibayangkan banyaknya
gangguan yang bisa terjadi.
Kulit sensitif, sering timbul bintik atau bisul kemerahan terutama di pipi, telinga dan
daerah yang tertutup popok. Kerak di daerah rambut kepala.Timbul bekas hitam seperti
tergigit nyamuk. Kotoran telinga berlebihan.
Sering MUNTAH/gumoh, kembung,cegukan/hicups, buang angin bunyinya keras,
sering ngeden & mulet, sering rewel gelisah (kolik) terutama malam hari, BAB > 3 kali
perhari, BAB tidak tiap hari. Beresiko Hernia Umbilikalis (pusar), Scrotalis, inguinalis
karena sering ngeden.
Lidah/mulut sering timbul putih, bibir kering
Napas grok-grok, kadang disertai batuk ringan
Sesak bayi baru lahir disertai kelenjar thimus membesar (TRDN/TTNB)
Mata berair atau timbul kotoran mata (belekan) salah satu atau kedua sisi.
Berat badan turun setelah usia 4-6 bulan.
Kepala, telapak tangan atau telapak kaki sering teraba sumer/hangat, keringat
berlebihan.
Gangguan hormonal : keputihan/keluar darah dari vagina, timbul bintil merah
bernanah, pembesaran payudara, rambut rontok.
Mudah kaget bila ada suara yang mengganggu. Gerakan tangan, kaki dan bibir sering
gemetar
Bersin, hidung berbunyi, kotoran hidung banyak. Kepala sering miring ke salah satu
sisi karena salah satu sisi hidung buntu, sehingga beresiko kepala peyang.
PROBLEM MINUM ASI : sering menangis seperti minta minum sehingga berat
badan berlebihan karena minta minum terus akibat perut tidak nyaman. Sering menangis
belum tentu karena haus atau bukan karena ASI kurang. Sering menggigit puting (agresif)
18
sehingga luka. Minum ASI sering tersedak, karena hidung buntu & napas dengan mulut.
Minum ASI lebih sebentar pada satu sisi, karena satu sisi hidung buntu, jangka panjang
bisa berakibat payudara besar sebelah.
Permasalahan alergi pada anak mungkin tidak sesederhana seperti yang kita
bayangkan.Sering berulangnya penyakit, demikian luasnya sistem tubuh yang terganggu
dan bahaya komplikasi yang terjadi. Bila berlangsung lama tidak dikendakikan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan seringkali terjadi.
GANGGUAN PERTUMBUHAN
Penderita alergi dapat mengakibatkan gangguan gizi ganda pada anak. Gizi ganda artinya
dapat menimbulkan kegemukan dan berat badan lebih atau bahkan sebaliknya
terjadi malnutrisi atau berat badan kurang.
Hubungan alergi dan kegemukan hingga saat ini belum terungkap penyebabnya. Tetapi
banyak penelitian dan laporan kasus menyebut bahwa kegemukan pada anak sering
19
terjadi pada anak alergi, terutama di bawah usia 2 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh
Erika von Mutius dkk dari University Childrens Hospital, Munich, Germany
menyebutkan bahwa BMI tampaknya merupakan factor resiko independent pada
terjadinya asma. Sebaliknya didapatkan penelitian pada penderita asma terdapat resiko
gangguan pertumbuhan tinggi badan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Baum
mengungkapkan penderita asma sering terjadi peningkatan platelet-activating factor
(PAF) yang ternyata dapat menghambat produksi PGE2 dalam osteobast. Prostaglandin
E2 (PGE2) adalah salah satu faktor lokal yang berperanan penting untuk pertumbuhan
tulang5. Ellul dalam penelitiannya mengungkapkan keterkaitan asma dan penyakit celiac
pada anak. Secara bermakna didapatkan kenaikkan resiko terjadinya asma pada penderita
celiac. Celiac adalah gangguan saluran yang tidak dapat mencerna kandungan gluten dan
sejenisnya. Manifestasi klinis yang timbul adalah gangguan saluran cerna, dermatitis
herpertiformis dan gagal tumbuh4.
Penderita alergi yang terkena gangguan pencernaan sering mengakibatkan sulit makan
sehingga menimbulkan komplikasi kurang gizi atau malnutrisi. Biasanya ditandai dengan
berat dan tinggi badan yang sulit bertambah. Gangguan pencernaan karena alergi sering
terjadi pada usia tertentu seperti 4 6 bulan atau di atas 1 tahun. Karena saat usia
tersebut sering mulai dikenalkan makanan baru. Apabila makanan tersebut
mengakibatkan alergi dan mengganggu pencernaan maka akan terjadi sulit makan, sering
muntah, sering diare, sering kembung dan sebagainya. Kesulitan makan atau minum susu
tersebut sering disalah artikan karena anak bosan makanan tertentu atau karena sedang
tumbuh gigi. Secara khas biasanya gangguan tersebut disertai gangguan tidur pada malam
hari, seperti bolak-balik, rewel, mengigau, berbicara dan berteriak dalam tidur atau
terbangun tengah malam. Bayi yang mempunyai riwayat gejala pencernaan seperti kolik
pada malam hari pada bayi usia di bawah 1 tahun, ada riwayat berak darah atau dengan
riwayat diare yang berulang. Mempunyai resiko untuk terjadi gangguan pencernaan di
kemudian hari, apabila tidak ditangani secara benar akan beresiko terjadinya masalah
berat badan.
Sistem susunan saraf pusat adalah bagian yang paling lemah dan sensitif dibandingkan
organ tubuh lainnya. Otak adalah merupakan pusat segala koordinasi sistem tubuh dan
fungsi luhur. Beberapa penelitian menunjukkan alergi dengan berbagai akibat yang bisa
mengganggu organ sistem susunan saraf pusat dan disfungsi sistem imun itu sendiri
tampaknya menimbulkan banyak manifestasi klinik yang dapat mengganggu
perkembangan dan perilaku seorang anak
Senang posisi berdiri bila digendong, sering minta turun atau sering menggerakkan kepala
ke belakang, membentur benturkan kepala. Sering bergulung-gulung di kasur,
20
menjatuhkan badan di kasur (smackdown}, sering memanjat. Tomboy pada anak
perempuan : main bola, memanjat dll.
Bolak-balik, duduk, merangkak tidak sesuai usia. Terlambat berjalan, jalan terburu-buru,
mudah terjatuh/ menabrak, jalan jinjit, duduk leter W.
21