BAB I
PENDAHULUAN
1
biasanya tidak mengenai tulang. Perforasinya terletak sentral dan jarang
menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Sedangkan OMSK tipe bahaya dapat
mengenai tulang, ditandai dengan adanya kolesteatom dan dapat menimbulkan
komplikasi intrakranial yang antara lain seperti meningitis, abses otak otogenik,
empiema subdural, abses extradural, ensefalitis dan trombosis sinus lateralis.
Komplikasi ekstrakranial yang dapat timbul adalah labirintis, paresis nervus
fasialis, mastoiditis, petrositis.5
Komplikasi ke intrakranial merupakan penyebab utama kematian pada
OMSK di negara sedang berkembang, yang sebagian besar kasus terjadi karena
penderita mengabaikan keluhan telinga berair. Kematian terjadi pada 18,6% kasus
OMSK dengan komplikasi intrakranial seperti meningitis.3
Untuk mencegah terjadi kekambuhan dan komplikasi lebih lanjut dapat di
lakukan pembedahan yang disebut dengan Mastoidektomi. Pada pembedahan
mastoidektomi teknik anestesi yang di pakai adalah GA-ETT (General Anesthesi-
Endo Trakeal Tube). GA-ETT adalah suatu tehnik memasukkan suatu alat berupa
pipa ke dalam saluran pernafasan bagian atas. Tujuan dilakukannya intubasi
endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas, mengendalikan
oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi lambung pada keadaan
tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas
anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan saluran trakeobronkial.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 1. Anatomi Telinga.7
1. Membran Timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran ini memiliki
panjang vertikal rata-rata 9-10 mm, diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm,
dan ketebalannya rata-rata 0,1 mm. Letak membran timpani tidak tegak lurus
terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar ke muka
dalam dan membuat sudut 450 dari dataran sagital dan horizontal. Membran
timpani berbentuk kerucut, dimana bagian puncak dari kerucut menonjol ke arah
kavum timpani yang dinamakan umbo. Dari umbo ke muka bawah tampak refleks
cahaya (cone of ligt).
4
Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu :1
a. Stratum kutaneum (lapisan epitel) berasal dari liang telinga.
b. Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani.
c. Stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum kutaneum dan
mukosum.
Secara Anatomis membran timpani dibagi dalam 2 bagian :1
a. Pars tensa
Bagian terbesar dari membran timpani yang merupakan permukaan yang
tegang dan bergetar, sekelilingnya menebal dan melekat pada anulus fibrosus pada
sulkus timpanikus bagian tulang dari tulang temporal.
b. Pars flaksida atau membran Shrapnell.
Letaknya di bagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksida
dibatasi oleh 2 lipatan yaitu :
Plika maleolaris anterior (lipatan muka).
Plika maleolaris posterior (lipatan belakang).
Membran timpani terletak dalam saluran yang dibentuk oleh tulang
dinamakan sulkus timpanikus. Akan tetapi bagian atas muka tidak terdapat sulkus
ini dan bagian ini disebut incisura timpanika (rivini). Permukaan luar dari
membran timpani disarafi oleh cabang nervus aurikulo temporalis dari nervus
mandibula dan nervus vagus. Permukaan dalam disarafi oleh nervus timpani
cabang dari nervus glossofaringeal.
Aliran darah membran timpani berasal dari permukaan luar dan dalam.
Pembuluh-pembuluh epidermal berasal dari aurikula yang merupakan cabang dari
arteri maksilaris interna. Permukaan mukosa telinga tengah didarahi oleh arteri
timpani anterior cabang dari arteri maksilaris interna dan oleh stilomastoid cabang
dari arteri aurikula posterior.
5
Gambar 3. Telinga kanan. Membran Timpani Normal.1
2. Kavum Timpani
Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal,
bentuknya bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter antero-posterior atau
vertikal 15 mm, sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani
mempunyai 6 dinding yaitu : bagian atap, lantai, dinding lateral, medial, anterior,
dan posterior.
Kavum timpani terdiri dari :1,5
a. Tulang-tulang pendengaran, terbagi atas: malleus (hammer/martil),
inkus (anvil/landasan), stapes (stirrup/pelana)
b. Otot, terdiri atas: otot tensor timpani (muskulus tensor timpani) dan
otot stapedius (muskulus stapedius).
c. Saraf korda timpani.
d. Saraf pleksus timpanikus.
3. Prosesus mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke
kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding
lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak di bawah duramater pada
daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum.
4. Tuba eustakhius.1,5,6
Tuba eustakhius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani
berbentuk seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan
kavum timpani dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36
mm berjalan ke bawah, depan dan medial dari telinga tengah dan pada anak
dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm.
Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu :
a. Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3
bagian).
b. Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3
bagian).
6
Fungsi Tuba Eustakhius adalah ventilasi, drenase sekret dan menghalangi
masuknya sekret dari nasofaring ke telinga tengah.Ventilasi berguna untuk
menjaga agar tekanan di telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar.
Adanya fungsi ventilasi tuba dapat dibuktikan dengan melakukan perasat
Valsava dan perasat Toynbee.5
Perasat Valsava meniupkan dengan keras dari hidung sambil mulut
dipencet serta mulut ditutup. Bila Tuba terbuka maka akan terasa ada udara yang
masuk ke telinga tengah yang menekan membran timpani ke arah lateral. Perasat
ini tidak boleh dilakukan kalau ada infeksi pada jalur nafas atas.5
Perasat Toynbee dilakukan dengan cara menelan ludah sampai hidung
dipencet serta mulut ditutup. Bila tuba terbuka maka akan terasa membran timpani
tertarik ke medial. Perasat ini lebih fisiologis.5
7
(morbiditas) Telinga, Hidung, dan Tenggorok (THT) di Indonesia sebesar 38,6%
dengan prevalensi morbiditas tertinggi pada kasus telinga dan gangguan
pendengaran yaitu sebesar 38,6% dan prevalensi otitis media supuratif kronis
antara 2,1-5,2%.4 Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006
menunjukkan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien.3
8
kolesteatom yang bersifat hiperproliferatif, destruktif, dan mampu
berangiogenesis. Massa kolesteatom ini dapat menekan dan mendesak organ
sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses
nekrosis terhadap tulang diperhebat oleh reaksi asam oleh pembusukan
bakteri.1,3,5
9
2. Didapat
Kolesteatom yang terbentuk setelah anak lahir, dapat dibagi atas:
Primary acquired cholesteatoma.
Kolesteatom yang terjadi tanpa didahului oleh perforasi membran
timpani pada daerah atik atau pars flasida, timbul akibat adanya proses
invaginasi dari membrane timpani pars flaksida karena adanya tekanan
negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba.5
10
2.5 Patogenesis Otitis Media Supuratif Kronik
OMSK dimulai dari episode infeksi akut terlebih dahulu. Patofisiologi dari
OMSK dimulai dari adanya iritasi dan inflamasi dari mukosa telinga tengah yang
disebabkan oleh multifaktorial, diantaranya infeksi yang dapat disebabkan oleh
virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh turun,
lingkungan dan sosial ekonomi. Kemungkinan penyebab terpenting mudahnya
anak mendapat infeksi telinga tengah adalah struktur tuba pada anak yang berbeda
dengan dewasa dan kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga
bila terjadi infeksi jalan napas atas, maka lebih mudah terjadi infeksi telinga
tengah berupa Otitis Media Akut (OMA).1,3
Respon inflamasi yang timbul adalah berupa udem mukosa. Jika proses
inflamasi ini tetap berjalan, pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ulkus
dan merusak epitel. Mekanisme pertahanan tubuh penderita dalam menghentikan
infeksi biasanya menyebabkan terdapatnya jaringan granulasi yang pada akhirnya
dapat berkembang menjadi polip di ruang telinga tengah. Jika lingkaran antara
proses inflamasi, ulserasi, infeksi dan terbentuknya jaringan granulasi ini
berlanjut terus akan merusak jaringan sekitarnya.1,3
Sembuh/ normal
11
Sembuh sempurna Otitis Media Otitis media Efusi
Supuratif Kronik (OME)
(OMSK)
12
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari
otitis media akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui
faktor apa yang menyebabkan satu telinga dan berkembangnya penyakit ke
arah keadaan kronis.
4. Infeksi1,3
Proses infeksi pada otitis media supuratif kronis sering disebabkan oleh
campuran mikroorganisme aerobik dan anaerobik yang multiresisten terhadap
standar yang ada saat ini. Kuman penyebab yang sering dijumpai pada
OMSK ialah Pseudomonas aeruginosa sekitar 50%, Proteus sp. 20% dan
Staphylococcus aureus 25%.
Jenis bakteri yang ditemukan pada OMSK agak sedikit berbeda dengan
kebanyakan infeksi telinga lain, karena bakteri yang ditemukan pada OMSK
pada umumnya berasal dari luar yang masuk ke lubang perforasi tadi.
5. Infeksi saluran nafas atas1,3
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran
nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah
menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara
normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan
bakteri.
6. Autoimun1,3
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insidens lebih besar
terhadap otitis media kronis.
7. Alergi1,3
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi
dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian
penderita yang alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteri atau toksin-
toksinnya, namun hal ini belum terbukti kebenarannya.
8. Gangguan fungsi tuba eustakhius1,3
Hal ini terjadi pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustakhius sering
tersumbat oleh edema. Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi
membran timpani menetap pada OMSK :1
13
a) Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang
mengakibatkan produksi sekret telinga purulen berlanjut.
b) Berlanjutnya obstruksi tuba eustakhius yang mengurangi
penutupan spontan pada perforasi.
c) Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan
melalui mekanisme migrasi epitel.
Pada pinggir perforasi, epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan
yang cepat di atas sisi medial dari membran timpani yang hal ini juga
mencegah penutupan spontan dari perforasi.
2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran.
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.
Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat
hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom dapat menghantar bunyi
dengan efektif ke fenestra ovalis. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat
tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering
kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang
pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.
Penurunan fungsi koklea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan
berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen
rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila
terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat. Hantaran tulang
dapat menggambarkan sisa fungsi koklea.1,3
14
3. Otalgia (nyeri telinga)
Adanya nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK dan bila ada
merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena
terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi
akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus
lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada
tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda
berkembang komplikasi OMSK seperti petrositis, subperiosteal abses, atau
trombosis sinus lateralis.3
4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya.
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin
akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Pada penderita yang sensitif,
keluhan vertigo dapat terjadi karena perforasi besar membran timpani yang
akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu.
Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan menyebabkan keluhan vertigo.
Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum. Fistula merupakan
temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari telinga
tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan dari sana
mungkin berlanjut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus
OMSK dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif
dan negatif pada membran timpani.1
Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna :
a. Adanya abses atau fistel retroaurikular
b. Jaringan granulasi atau polip di liang telinga yang berasal dari
kavum timpani.
c. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom)
d. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.
15
Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita
seringkali datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala
yang paling sering dijumpai adalah telinga berair. Pada tipe tubotimpani
sekretnya lebih banyak dan seperti benang, tidak berbau bususk, dan
intermiten. Sedangkan pada tipe atikoantral sekretnya lebih sedikit, berbau
busuk, kadangkala disertai pembentukan jaringan granulasi atau polip, dan
sekret yang keluar dapat bercampur darah. Ada kalanya penderita datang
dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga keluar darah.
2. Pemeriksaan otoskopi1,3,6
Pemeriksaan otoskopi akan menunjukan adanya dan letak perforasi. Dari
perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.
3. Pemeriksaan audiologi1,3,6
Evaluasi audiometri dan pembuatan audiogram nada murni untuk
menilai hantaran tulang dan udara penting untuk mengevaluasi tingkat
penurunan pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang.
Audiometri tutur berguna untuk menilai speech reception threshold pada
kasus dengan tujuan untuk memperbaiki pendengaran.
4. Pemeriksaan radiologi1,3
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis
memiliki nilai diagnostik yang terbatas bila dibandingkan dengan manfaat
otoskopi dan audiometri. Pemeriksaan radiologi biasanya memperlihatkan
mastoid yang tampak sklerotik dibandingkan mastoid yang satunya atau yang
normal. Erosi tulang yang berada di daerah atik memberi kesan adanya
kolesteatom. Proyeksi radiografi tyang sekarang biasa digunakan adalah
proyeksi schuller dimana pada proyeksi ini akan memperlihatkan luasnya
pnematisasi mastoid dari arah lateral dan atas.
Pada CT scan akan terlihat gambaran kerusakan tulang oleh kolesteatom,
ada atau tidaknya tulangtulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat
fistula pada kanalis semisirkularis horizontal.1,3
5. Pemeriksaan bakteriologi
16
Walaupun perkembangan dari OMSK merupakan kelanjuan dari
mulainya infeksi akut, bakteri yang ditemukan pada sekret yang kronis
berbeda dengan yang ditemukan pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang
sering dijumpai pada OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus, dan Proteus sp. Sedangkan bakteri pada otitis media
supuratif akut adalah Streptococcus pneumonie dan H. influenza.9
Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan berasal dari hidung,
sinus paranasal, adenoid, atau faring. Dalam hal ini penyebab biasanya adalah
pneumokokus, streptokokus atau H. influenza. Akan tetapi, pada OMSK
keadaan ini agak berbeda karena adanya perforasi membran timpani maka
infeksi lebih sering berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi.
17
Tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai
untuk perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga
merupakan media yang baik bagi perkembangan mikroorganisme.
Cara pembersihan liang telinga (toilet telinga):1
a) Toilet telinga secara kering (dry mopping).
Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah
dibersihkan dapat di beri antibiotik berbentuk serbuk. Cara ini
sebaiknya dilakukan di klinik atau dapat juga dilakukan oleh
anggota keluarga. Pembersihan liang telinga dapat dilakukan setiap
hari sampai telinga kering.
b) Toilet telinga secara basah (syringing).
Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan
nanah, kemudian dibersihkan dengan kapas lidi steril dan diberi
serbuk antibiotik. Meskipun cara ini sangat efektif untuk
membersihkan telinga tengah, tetapi dapat mengakibatkan
penyebaran infeksi ke bagian lain dan ke mastoid. Pemberian
serbuk antibiotik dalam jangka panjang dapat menimbulkan reaksi
sensitifitas pada kulit. Dalam hal ini dapat diganti dengan serbuk
antiseptik, misalnya asam boric dengan iodine.
c) Toilet telinga dengan pengisapan ( suction toilet)
Pembersihan dengan suction pada nanah dengan bantuan
mikroskopis operasi adalah metode yang paling populer saat ini.
Setelah itu dilakukan pengangkatan mukosa yang berproliferasi
dan polipoid sehingga sumber infeksi dapat dihilangkan. Akibatnya
terjadi drainase yang baik dan resorbsi mukosa. Pada orang dewasa
yang kooperatif cara ini dilakukan tanpa anastesi tetapi pada anak-
anak diperlukan anestesi. Pencucian telinga dengan H2O2 3% akan
mencapai sasarannya bila dilakukan dengan displacement
methode seperti yang dianjurkan oleh Mawson dan Ludmann.
2. Pemberian antibiotika :1,3
a) Antibiotik topikal
18
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret
yang banyak tanpa dibersihkan dulu adalah tidak efektif. Bila
sekret berkurang atau tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang
mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Irigasi dianjurkan
dengan garam faal agar lingkungan bersifat asam yang merupakan
media yang buruk untuk tumbuhnya kuman.
Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk
sampai telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang
ototoksik misalnya neomisin dan lamanya tidak lebih dari 1
minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik dengan
berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistensi.
Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis media kronik
adalah :
1. Polimiksin B atau polimiksin E
Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif.
2. Neomisin
Obat bakterisid pada kuman gram positif dan negatif. Toksik
terhadap ginjal dan telinga.
3. Kloramfenikol
Obat ini bersifat bakterisid terhadap basil gram positif dan
negatif kecuali Pseudomonas aeruginosa.
b) Antibiotik sistemik.1,3
Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya
berdasarkan kultur kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak
lebih dari 1 minggu dan harus disertai pembersihan sekret profus.
Bila terjadi kegagalan pengobatan, perlu diperhatikan faktor
penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut.
Dengan melihat konsentrasi obat dan daya bunuhnya terhadap
mikroba, antimikroba dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan
pertama daya bunuhnya tergantung kadarnya. Makin tinggi kadar
19
obat, makin banyak kuman terbunuh, misalnya golongan
aminoglikosida dan kuinolon. Golongan kedua adalah antimikroba
yang pada konsentrasi tertentu daya bunuhnya paling baik.
Peninggian dosis tidak menambah daya bunuh antimikroba
golongan ini, misalnya golongan beta laktam.
Untuk bakteri aerob dapat digunakan golongan kuinolon
(siprofloksasin dan ofloksasin) atau golongan sefalosforin generasi
III (sefotaksim, seftazidin, dan seftriakson) yang juga efektif untuk
Pseudomonas, tetapi harus diberikan secara parenteral.
Untuk bakteri anaerob dapat digunakan metronidazol yang
bersifat bakterisid. Pada OMSK aktif dapat diberikan dengan dosis
400 mg per 8 jam selama 2 minggu atau 200 mg per 8 jam selama
2-4 minggu.
20
antara liang telinga luar dan telinga tengah dengan rongga mastoid
diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut menjadi satu
ruangan. Tujuan operasi ini ialah untuk membuang semua jaringan
patologik dan mencegah komplikasi intrakranial, sementara fungsi
pendengaran tidak diperbaiki. Kerugian operasi ini ialah pasien tidak boleh
berenang seumur hidupnya dan harus kontrol teraut ke dokter.
Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur pada rongga
operasi serta membuat meatoplasti yang lebar sehingga rongga operasi
kering permanen, tetapi terdapat cacat anatomi, yaitu meatus liang telinga
luar menjadi lebar.
3. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
Operasi ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatom di daerah atik,
tetapi belum merusak kavum timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan
dan dinding posterior liang telinga direndahkan. Tujuan operasi ini adalah
untuk membuang semua jaringan patologik dari rongga mastoid dan
mempertahankan pendengaran yang masih ada.
4. Miringoplasti
Operasi ini merupakan operasi timpanoplasti yang paling ringan,
dikenal juga dengan timpanoplasti tipe I. Rekonstruksi hanya dilakukan di
membran timpani. Tujuan operasi ialah untuk mencegah berulangnya
infeksi telinga tengah pada OMSK tipe aman dengan perforasi yang
menetap. Operasi ini dilakukan pada AMSK tipe aman fase tenang dengan
ketulian ringan yang hanya disebabkan oleh perforasi membran timpani.
5. Timpanoplasti
Operasi ini dikerjakan pada OMSK tipe aman dengan kerusakan yang
lebih berat atau OMSK tipe aman yang tidak bisa ditenagkan dengan
pengobatan medikamentosa. Tujuan operasi ialah untuk menyembuhkan
penyakit serta memperbaiki pendengaran.
Pada operasi ini selain rekonstruksi membran timpani sering kali
harus dilakukan juga rekonstruksi tulang pendengaran. Berdasarkan
bentuk rekonstruksi tulang pendengaran yang dilakukan maka dikenal
istilah timpanoplasti tipe II, III, IV, dan V. Sebelum rekonstruksi
21
dikerjakan lebih dahulu dilakukan eksplorasi kavum timpani dengan atau
tanpa mastoidektomi, untuk membersihkan jaringan patologis. Tidak
jarang operasi ini harus dilakukan 2 tahap dengan jarak waktu 6 s/d 12
bulan.
6. Pendekatan ganda timpanoplasti (combined approach
tympanoplasty)
Operasi ini merupakan teknik operasi timpanoplasti yang dikerjakan
pada kasus OMSK tipe aman dengan jaringan granulasi yang luas.Tujuan
operasi ini ialah untuk menyembuhkan penyakit dan memperbaiki
pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidektomi radikal (tanpa
meruntuhkan dinding posterior liang telinga). Membersihkan kolesteatom
dan jaringan granulasi di membran timpani, dikerjakan melalui 2 jalan
(combine approach) yaitu melalui liang telinga dan rongga mastoid
dengan melakukan timppanotomi posterior. Teknik operasi ini pada
OMSK tipe bahaya belum disepakati oleh para ahli, oleh karena sering
kambuhnya kolesteatom kembali.
22
Gambar 8. Pedoman tatalaksana OMSK.12
23
2. Penyebaran melalui erosi tulang
3. Penyebaran melalui jalan yang sudah ada.
Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial harus melewati 3
macam lintasan :1,3
1. Dari rongga telinga tengah ke selaput otak
Melalui jalan yang sudah ada, seperti garis fraktur tulang temporal, bagian
tulang yang lemah atau defek karena pembedahan, dapat memudahkan
masuknya infeksi.
2. Menembus selaput otak.
Dimulai begitu penyakit mencapai dura, menyebabkan meningitis. Dura
sangat resisten terhadap penyebaran infeksi, akan menebal, hiperemi, dan
lebih melekat ketulang. Jaringan granulasi terbentuk pada dura yang terbuka
dan ruang subdura yang berdekatan.
24
1. Komplikasi di telinga tengah
Akibat infeksi telingan tengah hampir selalu berupa tuli konduktif. Pada
membran timpani yang masih utuh, tetapi rangkaian tulang pendengaran
terputus, akan menyebabkan tuli konduktif yang berat.
Paresis nervus fasialis
Nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi langsung ke kanalis
fasialis pada otitis media akut. Pada otitis media kronis, kerusakan terjadi oleh
erosi tulang oleh kolesteatom atau oleh jaringan granulasi, disusul oleh infeksi
ke dalam kanalis fasialis tersebut. Pada otitis media supuratif kronis, tindakan
dekompresi harus segera dilakukan tanpa harus menunggu pemeriksaan
elektrodiagnostik.5
25
Fistula di labirin dapat diketahui dengan tes fistula yaitu dengan
memberikan tekanan udara positif ataupun negatif ke liang telinga melalui
otoskop siegel atau corong telinga yang kedap atau balon karet dengan
bentuk elips pada ujungnya yang dimasukkan ke dalam liang telinga.
Balon karet dipencet dan udara di dalamnya menyebabkan perubahan
tekanan udara di liang telinga. Bila fistula yang terjadi masih paten akan
terjadi kompresi dan ekspansi labirin membran. Tes fistula positif akan
terjadi nistagmus atau vertigo. Tes fistula bisa negatif, bila fistulanya
sudah tertutup oleh jaringan granilasi atau bila labirin sudah mati/ paresis
kanal.
Pemeriksaan radiologik CT scan yang baik kadang-kadang dapat
memperlihatkan fistula labirin, yang biasanya ditemukan di kanalis
semisirkularis horizontal. Pada fistula labirin, operasi harus segera
dilakukan untuk menghilangkan infeksi dan menutup fistula sehingga
fungsi telinga dalam dapat dipulihkan kembali. Tindakan bedah harus
adekuat untuk mengontrol penyakit primer. Matriks kolesteatom dan
jaringan granulasi harus diangkat dari fistula sampai bersih dan daerah
tersebut harus segera ditutup dengan jaringan ikat atau sekeping tulang/
tulang rawan.
b. Labirinitis
Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin disebut labirinitis
umum (general), dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat,
sedangkan labirinitis terbatas (labirinitis sirkumskripta) menyebabkan
vertigo saja atau tuli saraf saja.
Labirinitis terjadi oleh karena penyebaran infeksi di ruang perilimfa.
Terdapat dua bentuk labirinitis yaitu labirinitis serosa dan supuratif.
Labirinitis serosa dapat berbentu labirinitis serosa difus dan sirkumskripta.
Labirinitis supuratif dibagi atas labirinitis supuratif akut difus dan kronik
difus.
Pada kedua bentuk labirinitis ini operasi harus segera dilakukanuntuk
menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang-kadang diperlukan
drainase nanah dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis.
26
Pemberian antibiotik yang adekuat terutama ditujukan kepada pengobatan
otitis media kronik dengan / tanpa kolesteatom.
3. Komplikasi ke Ekstradural
a. Petrositis
Penyebaran infeksi telinga tengah ke apeks os petrosum yang
langsung ke sel-sel udara. Keluhannya antara lain diplopia (n.VI), nyeri
daerah parietal, temporal, dan oksipital (n.V), otore persisten. Dikenal
dengan sindrom Gradenigo. Keluhan lain keluarnya nanah yang terus
menerus dan nyeri yang menetap paska mastoidektomi. Pengobatannya
operasi (ekspolorasi sel-sel udara os petrosum dan jaringan pathogen) serta
antibiotika.
27
Biasanya tromboflebitis melalui vena. Gejala berupa demam, nyeri
kepala dan penurunan kesadaran sampai koma, gejala SSP berupa kejang,
hemiplegia dan tanda kernig positif.
Punksi lumbal perlu untuk membedakan dengan meningitis. Pada
abses subdural kadar protein LCS normal dan tidak ditemukan bakteri.
Pada abses ekstradural nanah keluar waktu mastoidektomi, sedangkan
subdural dikeluarkan secara bedah syaraf sebelum mastoidektomi.
4. Komplikasi ke SSP
a. Meningitis
Gambaran klinik berupa kaku kuduk, demam, mual muntah, serta
nyeri kepala hebat. Pada kasus berat kesadaran menurun. Analisa LCS
kadar gula menurun dan protein meninggi. Meningitis diobati terlebih
dahulu kemudian dilakukan mastoidektomi.
b. Abses Otak
Ditemukan di serebelum, fossa kranial posterior/lobus temporal, atau
fossa kranial media. Berhubungan dengan tromboflebitis sinus lateralis,
petrositis atau meningitis. Biasanya merupakan perluasan langsung dari
infeksi telinga dan mastoid atau tromboflebitis. Umumnya didahului abses
ekstradural.
Gejala abses serebelum ataksia, disdiadokokinetis, tremor intensif dan
tidak tepat menunjuk suatu objek. Abses lobus temporal berupa afasia,
gejala toksisitas (nyeri kepala, demam, muntah, letargik). Tanda abses
otak nadi lambat, kejang. Pada LCS protein meninggi dan kenaikan
tekanan liquor. Terdapat edema papil. Lokasi abses ditentukan dengan
angiografi, ventrikulografi atau tomografi komputer. Pengobatan
antibiotika parenteral dosis tinggi dan drainase lesi. Setelah keadaan
umum baik, dilakukan mastoidektomi.
c. Hidrosefalus Otitis
Hal ini disebabkan tertekannya sinus lateralis sehingga lapisan
arakhnoid gagal mengabsorbsi LCS. Ditandai dengan peninggian tekanan
LCS yang hebat tanpa kelainan kimiawi. Pada pemeriksaan terdapat
28
edema papil. Gejala berupa nyeri kepala menetap, diplopia, pandangan
kabur, mual dan muntah.
Penatalaksanaan
Pengobatan mencakup 2 hal yaitu penyembuhan infeksi primer dan
komplikasinya. Seringkali beratnya komplikasi mengharuskan kita
menunda mastoidektomi dan untuk mencegah komplikasi, pemberian
antibiotika dimulai sejak dini. Dibutuhkan kerjasama dengan bedah syaraf
untuk mendapatkan hasil yang maksimum.
Pada komplikasi intrakranial pengobatan antibiotika sulit karena
dihalangi sawar darah otak. Untuk mempertinggi konsentrasi antibiotika,
dulu diberikan penisilin intratekal, tetapi ternyata terlalu mengiritasi.
Sekarang diberikan derivate penisilin dosis tinggi secara intravena,
dimulai dengan ampisilin 4 200-400 mg/kg/hari, kloramfenikol 4 500-
1000 mg/hari untuk dewasa atau 60-100 mg/kg/hari untuk anak.
Pemberian metronidazol 3 400-600 mg/hari dapat dipertimbangkan.
Antibiotika disesuaikan dengan kemajuan klinis dan biakan sekret telinga
atau LCS.
Pemeriksaan laboratorium, foto mastoid, tomografi computer kepala
untuk melihat adanya abses otak serta konsultasi bedah syaraf atau syaraf
anak. Bila terdapat tanda ensefalitis atau abses intrakranial maka akan
dilakukan bedah otak untuk drainase segera. Mastoidektomi dapat
dilakukan bersama atau kemudian. Mastoidektomi dilakukan sebelum atau
sesudah operasi otak. Bila keadaan umum pasien buruk atau suhu tinggi,
mastoidektomi dilakukan dengan anestesi local. Jika tindakan bedah tidak
segera dilakukan pengobatan dilanjutkan sampai 2 minggu, kemudian
konsul lagi ke bedah syaraf.
Idealnya terapi bedah pada stadium dini komplikasi, tapi prakteknya
sulit. Hal yang menentukan adalah diagnosis, kondisi pasien, dan respon
pasien terhadap antibiotika. Seringkali drainase empiema subdural atau
abses otak mendahului mastoidektomi. Rangsangan kontinyu kolesteatom
di mastoid dapat menyebabkan meningitis berulang atau progresivitas
abses otak.
29
Tujuan operasi ialah mengeradikasi seluruh jaringan patologik di
mastoid. Untuk itu diperlukan mastoidektomi modifikasi radikal. Tulang
yang melapisi sinus sigmoid harus ditipiskan dan dibuang. Lempeng dura
posterior pada segitiga Trautman harus ditipiskan dan tegmen mastoid
harus dikupas.
30
1) Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2) Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3) Muscle relaxant: relaksasi otot rangka
1. Penilaian Perioperatif
Pada tahap ini petugas anestesi melakukan kunjungan kepada
penderita untuk berinteraksi dengan penderita dan keluarganya, tahap ini
juga diperlukan untuk mengurangi tingkat kecemasan serta menanamkan
rasa kepercayaan penderita kepada petugas. Evaluasi dan persiapan
penderita dilakukan pada saat kunjungan.13
1) Anamnesa
Yang pertama adalah melakukan anamnesa untuk mengetahui
identifikasi penderita yang terdiri dari nama, umur, alamat, pekerjaan,
agama, status perkawinan, dll. Menanyakan juga keluhan saat ini dan
tindakan operasi yang akan dihadapi. Adakah riwayat penyakit yang
sedang/ pernah diderita yang dapat menjadi penyulit anestesi seperti,
diabetes melitus, penyakit paru-paru kronis, (asma bronkial,
pneumnia, dan bronkitis), penyakit jantung (infark miokard, angina
pektoris dan gagal jantung), hipertensi, penyakit hati dan penyakit
ginjal. Riwayat obat-obatan yag meliputi alergi obat, obat yang sedang
digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestesi
seperti, korsikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, golongan
aminoglikosida, digitalis, dieuretikal, obat anti alergi, obat penenang
dan bronkodilator. Adakah riwayat anestesi/ operasi sebelumnya yang
terdiri dari tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi, dan
perawatan intensif pascaoperatif untuk menjadi acuhan dalam
pertimbangan anestesi.13
Ditanyakan juga riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat
mempengaruhi tindakan anestesi, seperti merokok, minum alkohol,
obat penenang, narkotik, riwayat keluarga yang mendrita kelainan
seperti hipertermia maligna. Ditanyakan pula berdasarkan sistem
organ yang meliputi keadaan umum, pernapasan, kardiovaskular,
ginjal, gastrointensinal, hematologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi, dan
dermatologi.13
31
Pada anak-anak yang belum bisa bicara dilakukan alloanemnesa,
yaitu komunikasi dilakukan dengan orang tua, atau keluarga yang
mengantarnya. Apabila perlu, konsultasikan dengan pediatri. Bila anak
ditemukan demam, batuk-batuk, kelainan hidung (rhinitis), atau
gastroenteritis (diare), pembedahan sebaiknya diundurkan.13
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang kedua adalah melakukan pemeriksaan fisik,
yang dapat dilakukan dengan pengukuran tinggi badan, menimbang
berat badan, yang diperlukan untuk menghitung dosis obat, terapi
pemberian cairan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
Menghitung frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi
pernapasan, serta suhu tubuh karena dengan kenaikkan maupun
penurunan suhu tubuh dapat mempengaruhi pola dan frekuensi napas
serta nadi.13
Pemeriksaan jalan napas (airway), diperiksa juga pada daerah
kepala dan leher untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi
geligi, apakah ada gigi palsu, atau gangguan fleksi, ekstensi leher,
devisiasi trakea, dan massa untuk menilai apakah ada kesulitan
intubasi. Lakukan pemeriksaan jantung, untuk mengevaluasi kondisi
jantung, apakah ada kelainan jantung yang didapat pada orang dewasa
dan pada anak-anak sebagai penyakit bawaan (congenital).
Pemeriksaan pada Paru-paru, untuk mengetahui adanya dispnu, ronki,
dan mengi yang dapat menggangu frekuensi dan pola pernapasan. Pada
abdomen lakukan palpasi untuk mengetahui adanya distensi, massa,
asites, atau hernia.13
Pemeriksaan daerah ekstremitas terutama untuk melihat perpusi
distal, adanya jari tumbuh, sianosis, atau infeksi kulit, dan juga untuk
melihat tempat-tempat fungsi vena atau daerah blok saraf regional.
Daerah punggung juga diperiksa bila ditemukan adanya deformitas,
memar atau infeksi terutama dengan pemilihan anestesi regional.
Neurologis, misalnya status mental, fungsi saraf kranial, kesadaran dan
fungsi sensasi motorik, yang diperlukan untuk menentukan status fisik
pasien.13
3) Pemeriksaan Laboratorium
32
Pemeriksaan Laboratium, ada yang dilakukan pemeriksaan rutin
seperti, darah (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, golongan
darah, masa perdarahan,dan masa pembekuan), urin (protein, reduksi,
dan sedimen), foto dada terutama (untuk bedah mayor),
elektrokardiografi (untuk pasien berusia diatas 40 tahun). Ada juga
yang dilakukan secara khusus, yang dilakukan bila terdapat riwayat atau
indikasi, Elektrokardiohrafi pada anak, bronkospirometri pada pasien
tumor paru, fungsi hati pada pasien ikterus, fungsi ginjal pada pasien
hipertensi atau pasien yang mengalami gangguan miksi.13
4) Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas
merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia.
Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan
oral (puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.13
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6
jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai
3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.13
5) Penilaian Status Fisik
Berdasarkan hasil pemeriksaan kita dapat menentukan status fisik
pasien,American Society Of Anestesiologists (ASA) membuat
klasifikasi pasien menjadi kelas-kelas :13
a. Kelas / ASA I Pasien normal sehat fisik dan mental
b. Kelas / ASA II Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak
ada keterbatasan fungsional.
c. Kelas / ASA III Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga
berat yang menyebabkan keterbatasan fungsi.
d. Kelas / ASA IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang
mengancam hidup dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi.
e. Kelas / ASA V Pasien yang tidak dapat hidup / bertahan dalam 24
jam dengan atau tanpa operasi.
f. Kelas / ASA VI Pasien mati batang otak yang organ tubuhnya dapat
diambil.
33
NB : E, Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka
penggolongan ASA di ikuti huruf E (misalnya I E atau 2 E).
34
3) Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2
antagonis
6) Mengurangi rasa sakit
Adapun obat-obat yang dapat diberikan antara lain :
Sulfas atropin, 0,1 mg/kgBB dipakai untuk pengobatan
bradikardi dan sebagai therapi tambahan pada pengobatan
bronkhospasme serta tukak lambung. Atropin secara
kompetisi mengantagonisir aksi asetil kolin pada reseptor
muskarinik, menurunkan sekresi saliva, bronkhus dan
lambung serta merelaksasi otot polos.
Diazepam per oral 10-15 mg untuk pereda kecemasan.
Pethidin 50 mg untuk mengurangi nyeri atau
kesakitan. Simethidin/ranithidin 150 mg untuk mengurangi
ph asam cairan lambung, Ondacetron, 2-4 mg untuk
mengurangi mual-muntah pascabedah.
35
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga
supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I :Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C :Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S :Suction penyedot lender, ludah danlain-lainnya.
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I
dan ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan
reflekss cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan
kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan
hingga hilangnya pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya
36
pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat
digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah.
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian
akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien
meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti
terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan
37
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien
dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12-20 x
permenit.Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa
nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya.4
Teknik sama dengan diatas
Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.
38
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesia
umummengandung lecitin, glycerol dan minyak siybean, sedangkan
pertumbuhan kuman dihamba toleh adanya asam
a=etilendiamintreasetat atu sulfat, hal tersebut sangat tergantng pada
pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml= 10
mg).16
Mekanisme Kerja :
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui, tapi
diperkirakan efek primernya berlangsung reseptor GABA-A ( Gamma
Amino Butired Acid ).
39
harus hati-hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak
seperti hiperlipidemia dan pankreatitis.
3) Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg.
ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg),
5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).16
4) Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan
tahun. Obat opium di dapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum
somniverum, dan kata opium berasal dari bahasa yunani yang berarti
getah. Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids. Morphine,
meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan remifentanil merupakan
golongan opioid yang sering digunakan dalam general anastesi. Efek
utamanya adalah analgetik. Dalam dosis yang besar opioid kadang
digunakan dalam operasi cardiac. Opioid berbeda dalam potensi,
farmakokinetik dan efek samping. Diberikan dosis tinggi. Tidak
mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk
induksi pasien dengan kelianan jantung.16
Mekanisme Kerja :
Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada
sistem saraf pusat dan jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor opioid
yaitu, , . Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek sedasi,
opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari spesifik
opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan dan
apakah reseptornya aktif. Aktivasi reseptor opioid menghambat
pelepasan presinaptik dan respon postsinaptik terhadap
neurotransmiter ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron nosiseptif.
40
Dosis :
Premedikasi petidin diberikan IM dengan dosis 1 mg/kgbb atau
IV 0,5 mg/kgbb, sedangkan morfin sepersepuluh dari petidine dan
fentanyl seperseratus dari petidin.
5) Benzodiazepin
Golongan benzodiazepin yang sering digunakan oleh
anestesiologi adalah diazepam (valium), Lorazepam (ativan) dan
midazolam (versed), diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air dan
kandungannya berupa propylene glycol. Diazepam tersedia dalam
sediaan emulsi lemak (diazemuls atau dizac), yang tidak menyebabkan
nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya
yang rendah, midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang
tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.16
Dosis :
Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.
Untuk preoperatif digunakan 0,5-2,5mg/kgbb
Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3-5mg
Sedasi pada analgesia regional, diberikan IV
Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.
41
dengan kombinasi N2O : O2 yaitu 60% : 40%, 70% : 30%, dan
50% : 50%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan
dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% :20%, dan
pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila digunakan
pada pasien pneumotoraks, pneumomediastinum, obstruksi, emboli
udara, dan timpanoplasti. Dosis normal 104-105 volume %.13
2) Halotan
Halotan merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, mudah
menguap, tidak mudah terbakar/meledak, tidak bereaksi dengan soda
lime. Induksi cepat dan lancar, tidak mengiritasi jalan nafas,
bronkodilatasi, pemulihan cepat, proteksi terhadap shock, jarang
menyebabkan mual/muntah. Harus dikombinasi dengan obat
analgetik dan relaksan. Dapat menimbulkan hipotensi, aritmia,
meningkatkan tekanan intrakranial, menggigil pascaanestesi dan
hepatotoksik. Dosis, 0,72 volume %.13
3) Enfluran
Enfluran merupakan obat anestesik eter berhalogen berbentuk
cairan, mudah menguap, tidak mudah terbakar, tidak bereaksi
dengan soda lime. Induksi dengan enfluran cepat dan lancar. Obat ini
jarang menimbulkan mual dan muntah serta masa pemulihan cepat.
Dosis : 1,7 volume %.13
4) Isofluran
Isofluran merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau
subanestetik merupakan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intra kranial. Efek
terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga
digemari untuk anestesi pada pasien dengan gangguan koroner. Dosis
: 1,2 volume %.13
5) Desfulran
Desfluran (suprane) merupakan halogensi eter yang rumus bangun
dan efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap
dibandingkan anestetik volatil lain, sehingga perlu
menggunakan vaporizer khusus (TEC 6). Titik didihnya mendekati
suhu ruang (23,50C). Potensi rendah (MAC 6,0%) bersifat
simpatmimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi. Efek depresi
42
nafasnya seperti isofluran dan etran. Desfluran merangsang jalan
nafas atas, sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi. Dosis :
6 volume %.13
6) Sevofluran
Sevofluran merupakan halogenasi eter. Induksi dan pasien pulih
dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya
enak,tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi. Efek terhadap
kardiovaskuler cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek
terhadap sistem syaraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan
toksik terhadap hepar. Setelah dihentikan sevofluran cepat
dikeluarkan oleh tubuh. Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda
lime, baralime), tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap
manusia. Dosis : 2 volume %.13
2.20 Rumatan Anestesi (Maintainance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau
dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan
anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar
tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan
intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia
cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan
intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien
ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan
anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O +
O2. 14
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2
dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4%
atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien
bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.14
43
Obat golongan ini menghambat transmisi neromuskular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Mekanisme kerja obat ini
dibagi menjadi dua golongan, yaitu obat penghambat secara depolarisasi
resisten (misalnya suksinil kolin), dan obat penghambat kompetitif atau
nondepolarisasi (misalnya kurarin). Pada anestesi umum obat ini
memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi
trakes, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan
dan ventilasi kendali.16
1) Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
Pavulon (pankuronium bromida). Pavulon merupakan obat
relaksan yang tidak pernah menimbulkan reaksi anafilaktik yang
berat, sedikit menembus sawar plasenta sehingga sangat bermanfaat
pada bedah obstetrik. Obat ini sebagian dikeluarkan melalui ginjal dan
sebagian masuk kedalam cairan empedu, sehingga obat ini jangan
diberikan kepada pasien gagal ginjal dan pasien dengan obstruksi total
cairan empedu. Sebagian obat ini dimetabolisme oleh enzim
mikrosomal hepatik, untuk itu pemberian pada pasien cirrosis hepatis
perlu dosis yang lebih besar tetapi dengan resiko apnoe yang
memanjang sampai pascaoperatif.8 Mula kerja obat ini pada menit
kedua-ketiga selama 20-40 menit. Dosis dewasa 0,06-0,1 mg/kgBB.
Dosis bayi 0,13 mg/kgBB. Kemasan ampul 2 ml berisi pavulon.16
Vekuronium (norkuron). Vekuronium merupakan hormolog
pankuronium bromida yang berkekuatan lebih besar dan lama
kerjanya singkat. Zat anestetik ini tidak memiliki efek akumulasi pada
pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskuler yang bermakna. Di metabolisme dalam liver dan
dikeluarkan melalui ginjal. Mula kerja pada menit kedua-ketiga
dengan masa kerja selama 30 menit. Dosis 0,1-0,2 mg/kgBB.
Kemasan berupa ampul berisi 4 mg bubuk vekuronium. Pelarutnya
dapat berupa akuades, garam fisiologik, ringer laktat, atau dekstrose
5% sebanyak 2 ml.16
Rokuronium (esmeron). Zat rocuronium merupakan analog
vekuronium dengan awal kerja lebih cepat dan efek kerjanya lebih
lama. Dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hati, tetapi tidak
44
mengganggu fungsi ginjal. Obat ini dapat menembus sawar plasenta
tetapi tidak menimbulkan efek yang bermakna. Pada anestesi dengan
tehnik hipotermi dapat memperpanjang efek obat. Mula kerja obat 60-
90 detik dan masa kerja 40-50 menit. Dosis 0,6-1 mg/kgBB. Kemasan
berupa flakon, tiap ml mengandung 10 mg rokuronium bromide.16
Trakrium (atrakurium besilat). Atrakurium tidak mempunyai
efek akumulasi pasa pemberian berulang, dan tidak menyebabkan
perubahan fungsi kardiovaskular yang bermakna. Keunggulan obat ini
metabolisme terjadi di dalam darah, sehingga tidak tergantung fungsi
hati dan ginjal. Mula kerja obat ini menit kedua-ketiga dan lama kerja
15-30 menit. Dosis 0,3-0,6 mg/kgBB. Kemasan dalam ampul 5 ml
berisi 50 mg trakurium.16
2) Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi
Suksametonium (suksinil kolin). Suksametonium mempengaruhi
sistem kardiovaskuler yang dapat menyebabkan bradikardi dan
cardiac arrest pada pemberian ulangan ataupun pada suntikan pertama.
Hal ini dapat dicegah dengan pembetian atropin sebelumnya. Cardiac
arrest akibat hiperkalemi setelah pemberian suksametonium dapat
terjadi pada pasien yang sebelumnya telah ada hiperkalemi, seperti
pasca luka bakar, tetanus, dan juga multiple trauma.16
Setelah pemberian obat ini terjadi fasikulasi yang diperkuat
dengan isoflurance, anticholinesterase, dan magnesium. Fasikulasi
yang terjadi menyebabkan rasa sakit pada otot 3-4 hari
pascaoperatif.8 Mula kerja obat ini 30-60 detik dan lama kerja 3-5
menit. Dosis 1-1,5 mg/kgBB intravena. Kemasan dalam flakon 20, 50
atau 100 mg/ml.16
45
Hipofaring menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju
ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan
sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform.3
Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
46
dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube).
e. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru.
Laringoskop merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring
secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea
dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam
laringoskop:
Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-
dewasa
Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi
menjadi 4 gradasi.
2.23 Ekstubasi
1) Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2) Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan
dengan catatan tak akan terjadi spasme laring.
3) Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret
dan cairan lainnya.
48
DAFTAR PUSTAKA
2. WHO. Chronic suppurative otitis media burden off illness and management
options. Child and Adolescent Health and Development Prevention of
Blindness and Deafness. Geneva Switzerland. 2004.
4. Farida et al. Alergi Sebagai Faktor Resiko Terhadap Kejadian Otitis Media
Supuratif Kronik Tipe Benigna. Medical Faculty of Hasanuddin. 2009.
5. Djaafar ZA. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
leher. Edisi 6. Jakarta : FKUI.2007.
6. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid.
Boies, Buku Ajar Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;88-119.
10. Lutan R, Wajdi F. Pemakaian Antibiotik Topikal Pada Otitis Media Supuratif
Kronik Jinak Aktif. Cermin Dunia Kedokteran No. 132.2001.
12. Helmi, Djaafar ZA, Restuti RD. Komplikasi otitis media supuratif. Dalam :
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (editor). Buku ajar
ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher. Edisi 6.
2009. Jakarta : FKUI. h.86.
49
13. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia 2009.
50