Anda di halaman 1dari 51

0

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut congek
adalah radang kronis telinga tengah dengan adanya lubang (perforasi) pada
gendang telinga (membran timpani) dan riwayat keluarnya cairan (sekret) dari
telinga (otore) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret
mungkin serous, mukous, atau purulen. Terjadi OMSK hampir selalu dimulai
dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai setelah dewasa.1,2
Prevalensi OMSK di dunia adalah 65.000.000-330.000.000 jiwa, 94%
diantaranya terdapat di negara berkembang. Jumlah pasien OMSK tipe maligna
adalah 64 setiap tahunnya. Jumlah penderita ini kecil kemungkinan untuk
berkurang bahkan mungkin bertambah setiap tahunnya mengingat kondisi
ekonomi yang masih buruk kesadaran masyarakat akan kesehatan yang masih
rendah dan pengobatan yang tidak tuntas. Otitis media supuratif kronik
merupakan penyakit THT yang paling banyak ditemukan di negara sedang
berkembang. Secara umum, insiden OMSK dipengaruhi oleh ras dan faktor
sosioekonomi. Prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dan termasuk dalam
klasifikasi tinggi dibandingkan dengan beberapa negara lain. Berdasarkan Survei
Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran oleh Departemen
Kesehatan RI tahun 1994-1996, angka kesakitan (morbiditas) Telinga, Hidung,
dan Tenggorok (THT) di Indonesia sebesar 38,6% dengan prevalensi morbiditas
tertinggi pada kasus telinga dan gangguan pendengaran yaitu sebesar 38,6% dan
prevalensi otitis media supuratif kronis antara 2,1-5,2%, dan pada tahun 2012
diperkirakan prevalensi OMSK di Indonesia berkisar 5,4% (semua umur), dan
2,4% prevalensi OMSK di negara-negara tetangga, seperti Vietnam, Thailand,
Filipina, dan Malaysia (Mahadevan et al., 2012). 4
OMSK dapat terbagi atas 2 yaitu OMSK tipe aman dan OMSK tipe
bahaya. Peradangan pada OMSK tipe aman terbatas hanya pada mukosa dan

1
biasanya tidak mengenai tulang. Perforasinya terletak sentral dan jarang
menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Sedangkan OMSK tipe bahaya dapat
mengenai tulang, ditandai dengan adanya kolesteatom dan dapat menimbulkan
komplikasi intrakranial yang antara lain seperti meningitis, abses otak otogenik,
empiema subdural, abses extradural, ensefalitis dan trombosis sinus lateralis.
Komplikasi ekstrakranial yang dapat timbul adalah labirintis, paresis nervus
fasialis, mastoiditis, petrositis.5
Komplikasi ke intrakranial merupakan penyebab utama kematian pada
OMSK di negara sedang berkembang, yang sebagian besar kasus terjadi karena
penderita mengabaikan keluhan telinga berair. Kematian terjadi pada 18,6% kasus
OMSK dengan komplikasi intrakranial seperti meningitis.3
Untuk mencegah terjadi kekambuhan dan komplikasi lebih lanjut dapat di
lakukan pembedahan yang disebut dengan Mastoidektomi. Pada pembedahan
mastoidektomi teknik anestesi yang di pakai adalah GA-ETT (General Anesthesi-
Endo Trakeal Tube). GA-ETT adalah suatu tehnik memasukkan suatu alat berupa
pipa ke dalam saluran pernafasan bagian atas. Tujuan dilakukannya intubasi
endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas, mengendalikan
oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi lambung pada keadaan
tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas
anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan saluran trakeobronkial.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Otitis Media Supuratif Kronik


Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba eustakhius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. 5 Otitis Media
Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut congek adalah radang kronis
telinga tengah dengan adanya lubang (perforasi) pada gendang telinga (membran
timpani) dan riwayat keluarnya cairan (sekret) dari telinga (otore) lebih dari 2
bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukous,
atau purulen.1,2,3
Otitis Media Akut (OMA) dengan perforasi membran timpani dapat menjadi
otitis media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Beberapa
faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK, antara lain: terapi yang
terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi, daya
tahan tubuh pasien yang rendah (gizi kurang), dan higiene yang buruk.5

2.2 Anatomi Telinga Tengah


Telinga tengah berbentuk kubus dengan :5
Batas luar : membran timpani
Batas depan : tuba eustakhius
Batas bawah : vena jugular (bulbus jugularis)
Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
Batas atas : tegmen timpani (meningen/ otak)
Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval
window), tingkap bundar (round window) dan
promontorium.

3
Gambar 1. Anatomi Telinga.7

Gambar 2. Anatomi Telinga Tengah.7

Telinga tengah terdiri atas: membran timpani, kavum timpani, prosesus


mastoideus, dan tuba eustakhius.1,5,6

1. Membran Timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran ini memiliki
panjang vertikal rata-rata 9-10 mm, diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm,
dan ketebalannya rata-rata 0,1 mm. Letak membran timpani tidak tegak lurus
terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar ke muka
dalam dan membuat sudut 450 dari dataran sagital dan horizontal. Membran
timpani berbentuk kerucut, dimana bagian puncak dari kerucut menonjol ke arah
kavum timpani yang dinamakan umbo. Dari umbo ke muka bawah tampak refleks
cahaya (cone of ligt).

4
Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu :1
a. Stratum kutaneum (lapisan epitel) berasal dari liang telinga.
b. Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani.
c. Stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum kutaneum dan
mukosum.
Secara Anatomis membran timpani dibagi dalam 2 bagian :1
a. Pars tensa
Bagian terbesar dari membran timpani yang merupakan permukaan yang
tegang dan bergetar, sekelilingnya menebal dan melekat pada anulus fibrosus pada
sulkus timpanikus bagian tulang dari tulang temporal.
b. Pars flaksida atau membran Shrapnell.
Letaknya di bagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksida
dibatasi oleh 2 lipatan yaitu :
Plika maleolaris anterior (lipatan muka).
Plika maleolaris posterior (lipatan belakang).
Membran timpani terletak dalam saluran yang dibentuk oleh tulang
dinamakan sulkus timpanikus. Akan tetapi bagian atas muka tidak terdapat sulkus
ini dan bagian ini disebut incisura timpanika (rivini). Permukaan luar dari
membran timpani disarafi oleh cabang nervus aurikulo temporalis dari nervus
mandibula dan nervus vagus. Permukaan dalam disarafi oleh nervus timpani
cabang dari nervus glossofaringeal.
Aliran darah membran timpani berasal dari permukaan luar dan dalam.
Pembuluh-pembuluh epidermal berasal dari aurikula yang merupakan cabang dari
arteri maksilaris interna. Permukaan mukosa telinga tengah didarahi oleh arteri
timpani anterior cabang dari arteri maksilaris interna dan oleh stilomastoid cabang
dari arteri aurikula posterior.

5
Gambar 3. Telinga kanan. Membran Timpani Normal.1

2. Kavum Timpani
Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal,
bentuknya bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter antero-posterior atau
vertikal 15 mm, sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani
mempunyai 6 dinding yaitu : bagian atap, lantai, dinding lateral, medial, anterior,
dan posterior.
Kavum timpani terdiri dari :1,5
a. Tulang-tulang pendengaran, terbagi atas: malleus (hammer/martil),
inkus (anvil/landasan), stapes (stirrup/pelana)
b. Otot, terdiri atas: otot tensor timpani (muskulus tensor timpani) dan
otot stapedius (muskulus stapedius).
c. Saraf korda timpani.
d. Saraf pleksus timpanikus.

3. Prosesus mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke
kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding
lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak di bawah duramater pada
daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum.

4. Tuba eustakhius.1,5,6
Tuba eustakhius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani
berbentuk seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan
kavum timpani dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36
mm berjalan ke bawah, depan dan medial dari telinga tengah dan pada anak
dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm.
Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu :
a. Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3
bagian).
b. Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3
bagian).

6
Fungsi Tuba Eustakhius adalah ventilasi, drenase sekret dan menghalangi
masuknya sekret dari nasofaring ke telinga tengah.Ventilasi berguna untuk
menjaga agar tekanan di telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar.
Adanya fungsi ventilasi tuba dapat dibuktikan dengan melakukan perasat
Valsava dan perasat Toynbee.5
Perasat Valsava meniupkan dengan keras dari hidung sambil mulut
dipencet serta mulut ditutup. Bila Tuba terbuka maka akan terasa ada udara yang
masuk ke telinga tengah yang menekan membran timpani ke arah lateral. Perasat
ini tidak boleh dilakukan kalau ada infeksi pada jalur nafas atas.5
Perasat Toynbee dilakukan dengan cara menelan ludah sampai hidung
dipencet serta mulut ditutup. Bila tuba terbuka maka akan terasa membran timpani
tertarik ke medial. Perasat ini lebih fisiologis.5

2.3 Epidemiologi Otitis Media Supuratif Kronik


Otitis media supuratif kronik merupakan penyakit THT yang paling banyak
ditemukan di negara sedang berkembang. Secara umum insiden OMSK
dipengaruhi oleh ras dan faktor sosioekonomi. Misalnya, OMSK lebih sering
dijumpai pada orang Eskimo dan Indian Amerika, anak-anak aborigin Australia
dan orang kulit hitam di Afrika Selatan. Walaupun demikian, lebih dari 90% beban
dunia akibat OMSK ini dipikul oleh negara-negara di Asia Tenggara, daerah
Pasifik Barat, Afrika, dan beberapa daerah minoritas di Pasifik. Kehidupan sosial
ekonomi yang rendah, lingkungan kumuh, dan status kesehatan serta gizi yang
jelek merupakan faktor yang menjadi dasar untuk meningkatnya prevalensi
OMSK pada negara yang sedang berkembang.3
Survei prevalensi di seluruh dunia menunjukkan bahwa beban dunia akibat
OMSK melibatkan 65330 juta orang dengan telinga berair, dimana 60% di
antaranya (39200 juta) menderita kurangnya pendengaran yang signifikan.
Secara umum, prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dan termasuk
dalam klasifikasi tinggi dalam tingkatan klasifikasi insidensi. Pasien OMSK
meliputi 25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di
Indonesia. Berdasarkan Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan
Pendengaran oleh Departemen Kesehatan R.I tahun 1994-1996, angka kesakitan

7
(morbiditas) Telinga, Hidung, dan Tenggorok (THT) di Indonesia sebesar 38,6%
dengan prevalensi morbiditas tertinggi pada kasus telinga dan gangguan
pendengaran yaitu sebesar 38,6% dan prevalensi otitis media supuratif kronis
antara 2,1-5,2%.4 Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006
menunjukkan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien.3

2.4 Klasifikasi Otitis Media Supuratif Kronik


OMSK dapat dibagi atas 2 tipe, yaitu :1,3
a. Tipe tubotimpani (tipe jinak/tipe aman/tipe rinogen)
Proses peradangan pada OMSK tipe tubotimpani hanya terbatas pada
mukosa saja dan biasanya tidak mengenai tulang. Tipe tubotimpani ditandai
oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi
dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi
keadaan ini terutama patensi tuba eustakhius, infeksi saluran nafas atas,
pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien dengan daya
tahan tubuh yang rendah. Disamping itu campuran bakteri aerob dan anaerob,
luas dan derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel
skuamosa juga berperan dalam perkembangan tipe ini. Sekret mukoid kronis
berhubungan dengan hiperplasia goblet sel, metaplasia dari mukosa telinga
tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek.
b. Tipe atikoantral (tipe ganas/tipe tidak aman/tipe tulang)
Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Perforasi
tipe ini letaknya marginal atau di atik yang lebih sering mengenai pars
flaksida. Karakteristik utama dari tipe ini adalah terbentuknya kantong retraksi
yang berisi tumpukan keratin sampai menghasilkan kolesteatom.
Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega,
berwarna putih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah mengalami
nekrotik. Kolesteatom merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
kuman, yang paling sering adalah proteus dan pseudomonas. Hal ini akan
memicu respon imun lokal sehingga akan mencetuskan pelepasan mediator
inflamasi dan sitokin. Sitokin yang dapat ditemui dalam matrik kolesteatom
adalah interleukin-1, interleukin-6, tumor necrosis factor-, dan transforming
growth factor. Zat-zat ini dapat menstimulasi sel-sel keratinosit matriks

8
kolesteatom yang bersifat hiperproliferatif, destruktif, dan mampu
berangiogenesis. Massa kolesteatom ini dapat menekan dan mendesak organ
sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses
nekrosis terhadap tulang diperhebat oleh reaksi asam oleh pembusukan
bakteri.1,3,5

Kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu:


1. Kongenital8
Kolestatom kongenital terbentuk pada masa embrionik. Patogenesis
kolesteatom kongenital tidak sepenuhnya dimengerti. Namun ada beberapa
teori diantaranya Teed menyatakan bahwa penebalan epitel ektodermal
berkembang bersama-sama dengan ganglion genikulatum , dari medial sampai
ke bagian leher dari tulang malleus. Kumpulan epitel ini nantinya akan
mengalmi involusi menjadi lapisan lapisan epitel telinga tengah. Jika involusi
ini gagal terjadi maka kumpulan epitel tersebut akan menjadi kolesteatom
kongenital.
Pada kolesteatom kongenital ditemukan membran timpani utuh tanpa
tanda-tanda infeksi, lokasi kolesteatom biasanya di kavum timpani, daerah
petrosus mastoid atau di serebelopontin angle.5

Gambar .4. Kolesteatom Kongenital

Gambar 5. Kolesteatom kongenital

9
2. Didapat
Kolesteatom yang terbentuk setelah anak lahir, dapat dibagi atas:
Primary acquired cholesteatoma.
Kolesteatom yang terjadi tanpa didahului oleh perforasi membran
timpani pada daerah atik atau pars flasida, timbul akibat adanya proses
invaginasi dari membrane timpani pars flaksida karena adanya tekanan
negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba.5

Gambar 6. Kolesteatom didapat


Secondary acquired cholesteatoma.
Kolesteatom yang terbentuk setelah terjadi perforasi membran
timpani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat dari masuknya epitel kulit
dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga
tengah (teori migrasi) atau terjadi akibat metaplasia mukosa kavum
timpani karena iritasi infeksi yang berlansung lama (teori metaplasia).
Teori implantasi dikatakan bahwa kolesteatom terjadi akibat implantasi
epitel kulit secara iatrogenik ke dalam telinga tengah sewaktu operasi, setelah
blust injury, pemasangan pipa ventilasi, atau setelah miringotomi.
Kolesteatom merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan
kuman (infeksi), yang paling sering adalah Proteus dan Pseudomonas aeruginosa.
Sebaliknya infeksi dapat memicu respon imun local yang mengakibatkan produksi
berbagai mediator inflamasi dan berbagai sitokin. Sitokin yang diidentifikasi
terdapat pada matrix kolesteatom adalah interleukin-1 ( IL-1), interleukin-6,
tumor necrosis factor alpha, dan transforming growth factor. Zat- zat ini dapat
menstimulasi sel-sel kolesteatom bersifat hiperproliferatif, destruktif dan mampu
berangiogenesis.

10
2.5 Patogenesis Otitis Media Supuratif Kronik
OMSK dimulai dari episode infeksi akut terlebih dahulu. Patofisiologi dari
OMSK dimulai dari adanya iritasi dan inflamasi dari mukosa telinga tengah yang
disebabkan oleh multifaktorial, diantaranya infeksi yang dapat disebabkan oleh
virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh turun,
lingkungan dan sosial ekonomi. Kemungkinan penyebab terpenting mudahnya
anak mendapat infeksi telinga tengah adalah struktur tuba pada anak yang berbeda
dengan dewasa dan kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga
bila terjadi infeksi jalan napas atas, maka lebih mudah terjadi infeksi telinga
tengah berupa Otitis Media Akut (OMA).1,3
Respon inflamasi yang timbul adalah berupa udem mukosa. Jika proses
inflamasi ini tetap berjalan, pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ulkus
dan merusak epitel. Mekanisme pertahanan tubuh penderita dalam menghentikan
infeksi biasanya menyebabkan terdapatnya jaringan granulasi yang pada akhirnya
dapat berkembang menjadi polip di ruang telinga tengah. Jika lingkaran antara
proses inflamasi, ulserasi, infeksi dan terbentuknya jaringan granulasi ini
berlanjut terus akan merusak jaringan sekitarnya.1,3

Sembuh/ normal

Fgs.tuba tetap terganggu


Infeksi (-)
Gangguan Tekanan negatif
tuba telinga tengah efusi OME

Perubahan tekanan tiba-tiba Tuba tetap terganggu


Alergi + ada infeksi
Infeksi
Sumbatan : Sekret
Tampon OMA
Tumor
Otitis Media Akut
(OMA)

11
Sembuh sempurna Otitis Media Otitis media Efusi
Supuratif Kronik (OME)
(OMSK)

OMSK tipe benigna OMSK tipe maligna

Gambar 7 Patogenesis Otitis Media5

2.6 Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronik


Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada
anak, jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari
nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis) dan mencapai telinga tengah
melalui tuba eustakhius. Fungsi tuba eustakhius yang abnormal merupakan faktor
predisposisi yang dijumpai pada anak dengan palatoskisis dan sindrom down.
Adanya tuba patulous, menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor
insiden OMSK yang tinggi di Amerika Serikat. Faktor host yang berkaitan dengan
insiden OMSK yang relatif tinggi adalah defisiensi imun sistemik. Kelainan
humoral, seperti hipogammaglobulinemia dan cell-mediated (infeksi HIV) dapat
timbul sebagai infeksi telinga kronis.
Faktor-faktor risiko OMSK antara lain :
1. Lingkungan1,3
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas,
tetapi terdapat hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosio
ekonomi, dimana kelompok sosio ekonomi rendah memiliki insiden yang
lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan, bahwa hal ini berhubungan
dengan kesehatan secara umum, diet, dan tempat tinggal yang padat.
2. Genetik1,3
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah
insiden OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan
sebagai faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita
otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
3. Otitis media sebelumnya1,3

12
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari
otitis media akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui
faktor apa yang menyebabkan satu telinga dan berkembangnya penyakit ke
arah keadaan kronis.
4. Infeksi1,3
Proses infeksi pada otitis media supuratif kronis sering disebabkan oleh
campuran mikroorganisme aerobik dan anaerobik yang multiresisten terhadap
standar yang ada saat ini. Kuman penyebab yang sering dijumpai pada
OMSK ialah Pseudomonas aeruginosa sekitar 50%, Proteus sp. 20% dan
Staphylococcus aureus 25%.
Jenis bakteri yang ditemukan pada OMSK agak sedikit berbeda dengan
kebanyakan infeksi telinga lain, karena bakteri yang ditemukan pada OMSK
pada umumnya berasal dari luar yang masuk ke lubang perforasi tadi.
5. Infeksi saluran nafas atas1,3
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran
nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah
menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara
normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan
bakteri.
6. Autoimun1,3
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insidens lebih besar
terhadap otitis media kronis.
7. Alergi1,3
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi
dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian
penderita yang alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteri atau toksin-
toksinnya, namun hal ini belum terbukti kebenarannya.
8. Gangguan fungsi tuba eustakhius1,3
Hal ini terjadi pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustakhius sering
tersumbat oleh edema. Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi
membran timpani menetap pada OMSK :1

13
a) Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang
mengakibatkan produksi sekret telinga purulen berlanjut.
b) Berlanjutnya obstruksi tuba eustakhius yang mengurangi
penutupan spontan pada perforasi.
c) Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan
melalui mekanisme migrasi epitel.
Pada pinggir perforasi, epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan
yang cepat di atas sisi medial dari membran timpani yang hal ini juga
mencegah penutupan spontan dari perforasi.

2.7 Gejala Klinis Otitis Media Supuratif Kronik


1. Telinga berair (otore)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer)
tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas
kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe ganas unsur
mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya
lapisan mukosa secara luas. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri
mengarah kemungkinan tuberkulosis.1,3

2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran.
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.
Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat
hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom dapat menghantar bunyi
dengan efektif ke fenestra ovalis. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat
tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering
kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang
pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.
Penurunan fungsi koklea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan
berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen
rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila
terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat. Hantaran tulang
dapat menggambarkan sisa fungsi koklea.1,3

14
3. Otalgia (nyeri telinga)
Adanya nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK dan bila ada
merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena
terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi
akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus
lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada
tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda
berkembang komplikasi OMSK seperti petrositis, subperiosteal abses, atau
trombosis sinus lateralis.3
4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya.
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin
akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Pada penderita yang sensitif,
keluhan vertigo dapat terjadi karena perforasi besar membran timpani yang
akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu.
Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan menyebabkan keluhan vertigo.
Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum. Fistula merupakan
temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari telinga
tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan dari sana
mungkin berlanjut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus
OMSK dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif
dan negatif pada membran timpani.1
Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna :
a. Adanya abses atau fistel retroaurikular
b. Jaringan granulasi atau polip di liang telinga yang berasal dari
kavum timpani.
c. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom)
d. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.

2.8 Diagnosis Otitis Media Supuratif Kronik


Diagnosis OMSK ditegakan dengan cara:
1. Anamnesis (history-taking) 1,3,6

15
Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita
seringkali datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala
yang paling sering dijumpai adalah telinga berair. Pada tipe tubotimpani
sekretnya lebih banyak dan seperti benang, tidak berbau bususk, dan
intermiten. Sedangkan pada tipe atikoantral sekretnya lebih sedikit, berbau
busuk, kadangkala disertai pembentukan jaringan granulasi atau polip, dan
sekret yang keluar dapat bercampur darah. Ada kalanya penderita datang
dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga keluar darah.
2. Pemeriksaan otoskopi1,3,6
Pemeriksaan otoskopi akan menunjukan adanya dan letak perforasi. Dari
perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.
3. Pemeriksaan audiologi1,3,6
Evaluasi audiometri dan pembuatan audiogram nada murni untuk
menilai hantaran tulang dan udara penting untuk mengevaluasi tingkat
penurunan pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang.
Audiometri tutur berguna untuk menilai speech reception threshold pada
kasus dengan tujuan untuk memperbaiki pendengaran.

4. Pemeriksaan radiologi1,3
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis
memiliki nilai diagnostik yang terbatas bila dibandingkan dengan manfaat
otoskopi dan audiometri. Pemeriksaan radiologi biasanya memperlihatkan
mastoid yang tampak sklerotik dibandingkan mastoid yang satunya atau yang
normal. Erosi tulang yang berada di daerah atik memberi kesan adanya
kolesteatom. Proyeksi radiografi tyang sekarang biasa digunakan adalah
proyeksi schuller dimana pada proyeksi ini akan memperlihatkan luasnya
pnematisasi mastoid dari arah lateral dan atas.
Pada CT scan akan terlihat gambaran kerusakan tulang oleh kolesteatom,
ada atau tidaknya tulangtulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat
fistula pada kanalis semisirkularis horizontal.1,3
5. Pemeriksaan bakteriologi

16
Walaupun perkembangan dari OMSK merupakan kelanjuan dari
mulainya infeksi akut, bakteri yang ditemukan pada sekret yang kronis
berbeda dengan yang ditemukan pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang
sering dijumpai pada OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus, dan Proteus sp. Sedangkan bakteri pada otitis media
supuratif akut adalah Streptococcus pneumonie dan H. influenza.9
Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan berasal dari hidung,
sinus paranasal, adenoid, atau faring. Dalam hal ini penyebab biasanya adalah
pneumokokus, streptokokus atau H. influenza. Akan tetapi, pada OMSK
keadaan ini agak berbeda karena adanya perforasi membran timpani maka
infeksi lebih sering berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi.

2.9 Penatalaksanaan Otitis Media Supuratif Kronik


Pada waktu pengobatan haruslah dievaluasi faktor-faktor yang
menyebabkan penyakit menjadi kronis, perubahan-perubahan anatomi yang
menghalangi penyembuhan serta menganggu fungsi, dan proses infeksi yang
terdapat di telinga. Bila didiagnosis kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan
operasi, tetapi obat -obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum
operasi.1,3,5,6
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luas infeksi, yang
dapat dibagi atas: konservatif dan operasi
A. Otitis media supuratif kronik benigna
a. Otitis media supuratif kronik benigna tenang
Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk
jangan mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi,
dilarang berenang dan segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas
atas. Bila fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi
rekonstruksi (miringoplasti, timpanoplasti) untuk mencegah infeksi
berulang serta gangguan pendengaran.
b. Otitis media supuratif kronik benigna aktif
Prinsip pengobatan OMSK adalah :
1. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani (toilet telinga)

17
Tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai
untuk perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga
merupakan media yang baik bagi perkembangan mikroorganisme.
Cara pembersihan liang telinga (toilet telinga):1
a) Toilet telinga secara kering (dry mopping).
Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah
dibersihkan dapat di beri antibiotik berbentuk serbuk. Cara ini
sebaiknya dilakukan di klinik atau dapat juga dilakukan oleh
anggota keluarga. Pembersihan liang telinga dapat dilakukan setiap
hari sampai telinga kering.
b) Toilet telinga secara basah (syringing).
Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan
nanah, kemudian dibersihkan dengan kapas lidi steril dan diberi
serbuk antibiotik. Meskipun cara ini sangat efektif untuk
membersihkan telinga tengah, tetapi dapat mengakibatkan
penyebaran infeksi ke bagian lain dan ke mastoid. Pemberian
serbuk antibiotik dalam jangka panjang dapat menimbulkan reaksi
sensitifitas pada kulit. Dalam hal ini dapat diganti dengan serbuk
antiseptik, misalnya asam boric dengan iodine.
c) Toilet telinga dengan pengisapan ( suction toilet)
Pembersihan dengan suction pada nanah dengan bantuan
mikroskopis operasi adalah metode yang paling populer saat ini.
Setelah itu dilakukan pengangkatan mukosa yang berproliferasi
dan polipoid sehingga sumber infeksi dapat dihilangkan. Akibatnya
terjadi drainase yang baik dan resorbsi mukosa. Pada orang dewasa
yang kooperatif cara ini dilakukan tanpa anastesi tetapi pada anak-
anak diperlukan anestesi. Pencucian telinga dengan H2O2 3% akan
mencapai sasarannya bila dilakukan dengan displacement
methode seperti yang dianjurkan oleh Mawson dan Ludmann.
2. Pemberian antibiotika :1,3
a) Antibiotik topikal

18
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret
yang banyak tanpa dibersihkan dulu adalah tidak efektif. Bila
sekret berkurang atau tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang
mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Irigasi dianjurkan
dengan garam faal agar lingkungan bersifat asam yang merupakan
media yang buruk untuk tumbuhnya kuman.
Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk
sampai telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang
ototoksik misalnya neomisin dan lamanya tidak lebih dari 1
minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik dengan
berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistensi.
Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis media kronik
adalah :
1. Polimiksin B atau polimiksin E
Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif.
2. Neomisin
Obat bakterisid pada kuman gram positif dan negatif. Toksik
terhadap ginjal dan telinga.

3. Kloramfenikol
Obat ini bersifat bakterisid terhadap basil gram positif dan
negatif kecuali Pseudomonas aeruginosa.
b) Antibiotik sistemik.1,3
Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya
berdasarkan kultur kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak
lebih dari 1 minggu dan harus disertai pembersihan sekret profus.
Bila terjadi kegagalan pengobatan, perlu diperhatikan faktor
penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut.
Dengan melihat konsentrasi obat dan daya bunuhnya terhadap
mikroba, antimikroba dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan
pertama daya bunuhnya tergantung kadarnya. Makin tinggi kadar

19
obat, makin banyak kuman terbunuh, misalnya golongan
aminoglikosida dan kuinolon. Golongan kedua adalah antimikroba
yang pada konsentrasi tertentu daya bunuhnya paling baik.
Peninggian dosis tidak menambah daya bunuh antimikroba
golongan ini, misalnya golongan beta laktam.
Untuk bakteri aerob dapat digunakan golongan kuinolon
(siprofloksasin dan ofloksasin) atau golongan sefalosforin generasi
III (sefotaksim, seftazidin, dan seftriakson) yang juga efektif untuk
Pseudomonas, tetapi harus diberikan secara parenteral.
Untuk bakteri anaerob dapat digunakan metronidazol yang
bersifat bakterisid. Pada OMSK aktif dapat diberikan dengan dosis
400 mg per 8 jam selama 2 minggu atau 200 mg per 8 jam selama
2-4 minggu.

B. Otitis media supuratif kronik maligna.1,3,5


Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan
konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara
sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi
abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan
mastoidektomi. Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang
dapat dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau
maligna, antara lain :5
1. Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)
Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang dengan
pengobatan konservatif tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini
dilakukan pembersihan ruang mastoid dari jaringan patologik. Tujuannya
adalah supaya infeksi tenang dan telinga tidak berair lagi. Pada operasi ini
fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
2. Mastoidektomi radikal
Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe bahaya dengan infeksi atau
kolesteatom yang sudah meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan
kavum timpani dibersihkan dari semua jaringan patolgik. Dinding batas

20
antara liang telinga luar dan telinga tengah dengan rongga mastoid
diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut menjadi satu
ruangan. Tujuan operasi ini ialah untuk membuang semua jaringan
patologik dan mencegah komplikasi intrakranial, sementara fungsi
pendengaran tidak diperbaiki. Kerugian operasi ini ialah pasien tidak boleh
berenang seumur hidupnya dan harus kontrol teraut ke dokter.
Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur pada rongga
operasi serta membuat meatoplasti yang lebar sehingga rongga operasi
kering permanen, tetapi terdapat cacat anatomi, yaitu meatus liang telinga
luar menjadi lebar.
3. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
Operasi ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatom di daerah atik,
tetapi belum merusak kavum timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan
dan dinding posterior liang telinga direndahkan. Tujuan operasi ini adalah
untuk membuang semua jaringan patologik dari rongga mastoid dan
mempertahankan pendengaran yang masih ada.
4. Miringoplasti
Operasi ini merupakan operasi timpanoplasti yang paling ringan,
dikenal juga dengan timpanoplasti tipe I. Rekonstruksi hanya dilakukan di
membran timpani. Tujuan operasi ialah untuk mencegah berulangnya
infeksi telinga tengah pada OMSK tipe aman dengan perforasi yang
menetap. Operasi ini dilakukan pada AMSK tipe aman fase tenang dengan
ketulian ringan yang hanya disebabkan oleh perforasi membran timpani.
5. Timpanoplasti
Operasi ini dikerjakan pada OMSK tipe aman dengan kerusakan yang
lebih berat atau OMSK tipe aman yang tidak bisa ditenagkan dengan
pengobatan medikamentosa. Tujuan operasi ialah untuk menyembuhkan
penyakit serta memperbaiki pendengaran.
Pada operasi ini selain rekonstruksi membran timpani sering kali
harus dilakukan juga rekonstruksi tulang pendengaran. Berdasarkan
bentuk rekonstruksi tulang pendengaran yang dilakukan maka dikenal
istilah timpanoplasti tipe II, III, IV, dan V. Sebelum rekonstruksi

21
dikerjakan lebih dahulu dilakukan eksplorasi kavum timpani dengan atau
tanpa mastoidektomi, untuk membersihkan jaringan patologis. Tidak
jarang operasi ini harus dilakukan 2 tahap dengan jarak waktu 6 s/d 12
bulan.
6. Pendekatan ganda timpanoplasti (combined approach
tympanoplasty)
Operasi ini merupakan teknik operasi timpanoplasti yang dikerjakan
pada kasus OMSK tipe aman dengan jaringan granulasi yang luas.Tujuan
operasi ini ialah untuk menyembuhkan penyakit dan memperbaiki
pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidektomi radikal (tanpa
meruntuhkan dinding posterior liang telinga). Membersihkan kolesteatom
dan jaringan granulasi di membran timpani, dikerjakan melalui 2 jalan
(combine approach) yaitu melalui liang telinga dan rongga mastoid
dengan melakukan timppanotomi posterior. Teknik operasi ini pada
OMSK tipe bahaya belum disepakati oleh para ahli, oleh karena sering
kambuhnya kolesteatom kembali.

22
Gambar 8. Pedoman tatalaksana OMSK.12

2.10 Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronik


Cara penyebaran infeksi :
1. Penyebaran hematogen

23
2. Penyebaran melalui erosi tulang
3. Penyebaran melalui jalan yang sudah ada.
Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial harus melewati 3
macam lintasan :1,3
1. Dari rongga telinga tengah ke selaput otak
Melalui jalan yang sudah ada, seperti garis fraktur tulang temporal, bagian
tulang yang lemah atau defek karena pembedahan, dapat memudahkan
masuknya infeksi.
2. Menembus selaput otak.
Dimulai begitu penyakit mencapai dura, menyebabkan meningitis. Dura
sangat resisten terhadap penyebaran infeksi, akan menebal, hiperemi, dan
lebih melekat ketulang. Jaringan granulasi terbentuk pada dura yang terbuka
dan ruang subdura yang berdekatan.

3. Masuk ke jaringan otak.


Pembentukan abses biasanya terjadi pada daerah diantara ventrikel dan
permukaan korteks atau tengah lobus serebelum. Cara penyebaran infeksi ke
jaringan otak ini dapat terjadi baik akibat tromboflebitis atau perluasan infeksi
ke ruang Virchow Robin yang berakhir di daerah vaskular subkortek.

Pengenalan yang baik terhadap perkembangan prasyarat untuk


mengetahui timbulnya komplikasi. Bila dengan pengobatan medikamentosa
tidak berhasil mengurangi gejala klinik dengan tidak berhentinya otore dan
pada pemeriksaan otoskopik tidak menunjukkan berkurangnya reaksi
inflamasi dan pengumpulan cairan maka harus diwaspadai kemungkinan
adanya komplikasi. Pada stadium akut, naiknya suhu tubuh, nyeri kepala atau
adanya tanda-tanda toksisitas seperti malaise, perasaan mengantuk, somnolen
atau gelisah yang menetap dapat merupakan tanda bahaya.Timbulnya nyeri
kepala di daerah parietal atau oksipital dan adanya keluhan mual, muntah
proyektil serta kenaikan suhu badan yang menetap selama terapi diberikan
merupakan tanda kenaikan tekanan intrakranial. Komplikasi OMSK antara
lain :5

24
1. Komplikasi di telinga tengah
Akibat infeksi telingan tengah hampir selalu berupa tuli konduktif. Pada
membran timpani yang masih utuh, tetapi rangkaian tulang pendengaran
terputus, akan menyebabkan tuli konduktif yang berat.
Paresis nervus fasialis
Nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi langsung ke kanalis
fasialis pada otitis media akut. Pada otitis media kronis, kerusakan terjadi oleh
erosi tulang oleh kolesteatom atau oleh jaringan granulasi, disusul oleh infeksi
ke dalam kanalis fasialis tersebut. Pada otitis media supuratif kronis, tindakan
dekompresi harus segera dilakukan tanpa harus menunggu pemeriksaan
elektrodiagnostik.5

2. Komplikasi di telinga dalam


Apabila peninggian tekanan di telinga tengah oleh produk infeksi, ada
kemungkinan produk infeksi itu akan menyebar ke telinga dalam melalui
tingkap bulat (fenestra rotundum). Selama kerusakan hanya sampai bagian
basalnya saja biasanya tidak menimbulkan keluhan pada pasien. Akan tetapi
apabila kerusakan telah menyebar ke koklea akan menjadi masalah. Hal ini
sering dipakai sebagai indikasi untuk melakukan miringotomi segera pada
pasien otitis media akut yang tidak membaik dalam 48 jam dengan
pengobatan medikamentosa saja.
Penyebaran oleh proses destruksi seperti oleh kolesteatom atau infeksi
langsung ke labirin akan menyebabkan gangguan keseimbangan dan
pendengaran, misalnya vertigo, mual, muntah serta tuli saraf. Komplikasi
telinga dalam antara lain :
a. Fistula labirin
Otitis media supuratif kronis terutama yang dengan kolesteatom dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan pada bagian vestibuler labirin,
sehingga terbentuk fistula. Pada keadaan ini infeksi dapat masuk, sehingga
terjadi labirinitis dan akhirnya akan terjadi komplikasi tuli total atau
meningitis.

25
Fistula di labirin dapat diketahui dengan tes fistula yaitu dengan
memberikan tekanan udara positif ataupun negatif ke liang telinga melalui
otoskop siegel atau corong telinga yang kedap atau balon karet dengan
bentuk elips pada ujungnya yang dimasukkan ke dalam liang telinga.
Balon karet dipencet dan udara di dalamnya menyebabkan perubahan
tekanan udara di liang telinga. Bila fistula yang terjadi masih paten akan
terjadi kompresi dan ekspansi labirin membran. Tes fistula positif akan
terjadi nistagmus atau vertigo. Tes fistula bisa negatif, bila fistulanya
sudah tertutup oleh jaringan granilasi atau bila labirin sudah mati/ paresis
kanal.
Pemeriksaan radiologik CT scan yang baik kadang-kadang dapat
memperlihatkan fistula labirin, yang biasanya ditemukan di kanalis
semisirkularis horizontal. Pada fistula labirin, operasi harus segera
dilakukan untuk menghilangkan infeksi dan menutup fistula sehingga
fungsi telinga dalam dapat dipulihkan kembali. Tindakan bedah harus
adekuat untuk mengontrol penyakit primer. Matriks kolesteatom dan
jaringan granulasi harus diangkat dari fistula sampai bersih dan daerah
tersebut harus segera ditutup dengan jaringan ikat atau sekeping tulang/
tulang rawan.
b. Labirinitis
Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin disebut labirinitis
umum (general), dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat,
sedangkan labirinitis terbatas (labirinitis sirkumskripta) menyebabkan
vertigo saja atau tuli saraf saja.
Labirinitis terjadi oleh karena penyebaran infeksi di ruang perilimfa.
Terdapat dua bentuk labirinitis yaitu labirinitis serosa dan supuratif.
Labirinitis serosa dapat berbentu labirinitis serosa difus dan sirkumskripta.
Labirinitis supuratif dibagi atas labirinitis supuratif akut difus dan kronik
difus.
Pada kedua bentuk labirinitis ini operasi harus segera dilakukanuntuk
menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang-kadang diperlukan
drainase nanah dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis.

26
Pemberian antibiotik yang adekuat terutama ditujukan kepada pengobatan
otitis media kronik dengan / tanpa kolesteatom.

3. Komplikasi ke Ekstradural
a. Petrositis
Penyebaran infeksi telinga tengah ke apeks os petrosum yang
langsung ke sel-sel udara. Keluhannya antara lain diplopia (n.VI), nyeri
daerah parietal, temporal, dan oksipital (n.V), otore persisten. Dikenal
dengan sindrom Gradenigo. Keluhan lain keluarnya nanah yang terus
menerus dan nyeri yang menetap paska mastoidektomi. Pengobatannya
operasi (ekspolorasi sel-sel udara os petrosum dan jaringan pathogen) serta
antibiotika.

b. Tromboflebitis Sinus Lateralis


Akibat infeksi ke sinus sigmoid ketika melewati os mastoid. Hal ini
jarang terjadi. Gejalanya berupa demam yang awalnya naik turun lalu
menjadi berat yang disertai menggigil (sepsis). Nyerinya tidak jelas
kecuali terjadi abses perisinus. Kultur darah positif terutama saat demam.
Pengobatan dengan bedah, buang sumber infeksi os mastoid, buang
tulang/dinding sinus yang nekrotik. Jika terbentuk thrombus lakukan
drainase sinus dan dikeluarkan. Sebelumnya diligasi vena jugularis interna
untuk cegah thrombus ke paru dan tempat lain.
c. Abses Ekstradural
Terkumpulnya nanah antara duramater dan tulang. Hal ini
berhubungan dengan jaringan granulasi dan kolesteatom yang
menyebabkan erosi tegmen timpani atau mastoid. Gejala berupa nyeri
telinga hebat dan nyeri kepala. Rontgen mastoid posisi Schuller, tampak
kerusakan tembusnya lempeng tegmen. Sering terlihat waktu operasi
mastoidektomi.
d. Abses Subdural

27
Biasanya tromboflebitis melalui vena. Gejala berupa demam, nyeri
kepala dan penurunan kesadaran sampai koma, gejala SSP berupa kejang,
hemiplegia dan tanda kernig positif.
Punksi lumbal perlu untuk membedakan dengan meningitis. Pada
abses subdural kadar protein LCS normal dan tidak ditemukan bakteri.
Pada abses ekstradural nanah keluar waktu mastoidektomi, sedangkan
subdural dikeluarkan secara bedah syaraf sebelum mastoidektomi.

4. Komplikasi ke SSP
a. Meningitis
Gambaran klinik berupa kaku kuduk, demam, mual muntah, serta
nyeri kepala hebat. Pada kasus berat kesadaran menurun. Analisa LCS
kadar gula menurun dan protein meninggi. Meningitis diobati terlebih
dahulu kemudian dilakukan mastoidektomi.
b. Abses Otak
Ditemukan di serebelum, fossa kranial posterior/lobus temporal, atau
fossa kranial media. Berhubungan dengan tromboflebitis sinus lateralis,
petrositis atau meningitis. Biasanya merupakan perluasan langsung dari
infeksi telinga dan mastoid atau tromboflebitis. Umumnya didahului abses
ekstradural.
Gejala abses serebelum ataksia, disdiadokokinetis, tremor intensif dan
tidak tepat menunjuk suatu objek. Abses lobus temporal berupa afasia,
gejala toksisitas (nyeri kepala, demam, muntah, letargik). Tanda abses
otak nadi lambat, kejang. Pada LCS protein meninggi dan kenaikan
tekanan liquor. Terdapat edema papil. Lokasi abses ditentukan dengan
angiografi, ventrikulografi atau tomografi komputer. Pengobatan
antibiotika parenteral dosis tinggi dan drainase lesi. Setelah keadaan
umum baik, dilakukan mastoidektomi.
c. Hidrosefalus Otitis
Hal ini disebabkan tertekannya sinus lateralis sehingga lapisan
arakhnoid gagal mengabsorbsi LCS. Ditandai dengan peninggian tekanan
LCS yang hebat tanpa kelainan kimiawi. Pada pemeriksaan terdapat

28
edema papil. Gejala berupa nyeri kepala menetap, diplopia, pandangan
kabur, mual dan muntah.
Penatalaksanaan
Pengobatan mencakup 2 hal yaitu penyembuhan infeksi primer dan
komplikasinya. Seringkali beratnya komplikasi mengharuskan kita
menunda mastoidektomi dan untuk mencegah komplikasi, pemberian
antibiotika dimulai sejak dini. Dibutuhkan kerjasama dengan bedah syaraf
untuk mendapatkan hasil yang maksimum.
Pada komplikasi intrakranial pengobatan antibiotika sulit karena
dihalangi sawar darah otak. Untuk mempertinggi konsentrasi antibiotika,
dulu diberikan penisilin intratekal, tetapi ternyata terlalu mengiritasi.
Sekarang diberikan derivate penisilin dosis tinggi secara intravena,
dimulai dengan ampisilin 4 200-400 mg/kg/hari, kloramfenikol 4 500-
1000 mg/hari untuk dewasa atau 60-100 mg/kg/hari untuk anak.
Pemberian metronidazol 3 400-600 mg/hari dapat dipertimbangkan.
Antibiotika disesuaikan dengan kemajuan klinis dan biakan sekret telinga
atau LCS.
Pemeriksaan laboratorium, foto mastoid, tomografi computer kepala
untuk melihat adanya abses otak serta konsultasi bedah syaraf atau syaraf
anak. Bila terdapat tanda ensefalitis atau abses intrakranial maka akan
dilakukan bedah otak untuk drainase segera. Mastoidektomi dapat
dilakukan bersama atau kemudian. Mastoidektomi dilakukan sebelum atau
sesudah operasi otak. Bila keadaan umum pasien buruk atau suhu tinggi,
mastoidektomi dilakukan dengan anestesi local. Jika tindakan bedah tidak
segera dilakukan pengobatan dilanjutkan sampai 2 minggu, kemudian
konsul lagi ke bedah syaraf.
Idealnya terapi bedah pada stadium dini komplikasi, tapi prakteknya
sulit. Hal yang menentukan adalah diagnosis, kondisi pasien, dan respon
pasien terhadap antibiotika. Seringkali drainase empiema subdural atau
abses otak mendahului mastoidektomi. Rangsangan kontinyu kolesteatom
di mastoid dapat menyebabkan meningitis berulang atau progresivitas
abses otak.

29
Tujuan operasi ialah mengeradikasi seluruh jaringan patologik di
mastoid. Untuk itu diperlukan mastoidektomi modifikasi radikal. Tulang
yang melapisi sinus sigmoid harus ditipiskan dan dibuang. Lempeng dura
posterior pada segitiga Trautman harus ditipiskan dan tegmen mastoid
harus dikupas.

2.11 Prognosis Otitis Media Supuratif Kronis


Pasien dengan OMSK memiliki prognosis yang baik apabila dilakukan
kontrol yang baik terhadap proses infeksinya. Pemulihan dari fungsi pendengaran
bervariasi dan tergantung dari penyebab. Hilangnya fungsi pendengaran oleh
gangguan konduksi dapat dipulihkan melalui prosedur pembedahan, walaupun
hasilnya tidak sempurna.10
Keterlambatan dalam penanganan karena sifat tidak acuh dari pasien dapat
menimbulkan kematian yang merupakan komplikasi lanjut OMSK yang tidak
ditangani dengan segera. Kematian akibat OMSK terjadi pada 18,6% pasien
karena telah mengalami komplikasi intrakranial yaitu meningitis.3,1

2.12 Definisi Anestesi Umum

Anastesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-tidak, tanpa dan


aestheotos. persepsi, kemampuan untuk merasa), secara umum berarti
suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah
anastesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun
1846.13
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara
sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau
reversible. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur
bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi
eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang
tidak menyenangkan.13
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:13

30
1) Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2) Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3) Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

1. Penilaian Perioperatif
Pada tahap ini petugas anestesi melakukan kunjungan kepada
penderita untuk berinteraksi dengan penderita dan keluarganya, tahap ini
juga diperlukan untuk mengurangi tingkat kecemasan serta menanamkan
rasa kepercayaan penderita kepada petugas. Evaluasi dan persiapan
penderita dilakukan pada saat kunjungan.13
1) Anamnesa
Yang pertama adalah melakukan anamnesa untuk mengetahui
identifikasi penderita yang terdiri dari nama, umur, alamat, pekerjaan,
agama, status perkawinan, dll. Menanyakan juga keluhan saat ini dan
tindakan operasi yang akan dihadapi. Adakah riwayat penyakit yang
sedang/ pernah diderita yang dapat menjadi penyulit anestesi seperti,
diabetes melitus, penyakit paru-paru kronis, (asma bronkial,
pneumnia, dan bronkitis), penyakit jantung (infark miokard, angina
pektoris dan gagal jantung), hipertensi, penyakit hati dan penyakit
ginjal. Riwayat obat-obatan yag meliputi alergi obat, obat yang sedang
digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestesi
seperti, korsikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, golongan
aminoglikosida, digitalis, dieuretikal, obat anti alergi, obat penenang
dan bronkodilator. Adakah riwayat anestesi/ operasi sebelumnya yang
terdiri dari tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi, dan
perawatan intensif pascaoperatif untuk menjadi acuhan dalam
pertimbangan anestesi.13
Ditanyakan juga riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat
mempengaruhi tindakan anestesi, seperti merokok, minum alkohol,
obat penenang, narkotik, riwayat keluarga yang mendrita kelainan
seperti hipertermia maligna. Ditanyakan pula berdasarkan sistem
organ yang meliputi keadaan umum, pernapasan, kardiovaskular,
ginjal, gastrointensinal, hematologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi, dan
dermatologi.13

31
Pada anak-anak yang belum bisa bicara dilakukan alloanemnesa,
yaitu komunikasi dilakukan dengan orang tua, atau keluarga yang
mengantarnya. Apabila perlu, konsultasikan dengan pediatri. Bila anak
ditemukan demam, batuk-batuk, kelainan hidung (rhinitis), atau
gastroenteritis (diare), pembedahan sebaiknya diundurkan.13
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang kedua adalah melakukan pemeriksaan fisik,
yang dapat dilakukan dengan pengukuran tinggi badan, menimbang
berat badan, yang diperlukan untuk menghitung dosis obat, terapi
pemberian cairan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
Menghitung frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi
pernapasan, serta suhu tubuh karena dengan kenaikkan maupun
penurunan suhu tubuh dapat mempengaruhi pola dan frekuensi napas
serta nadi.13
Pemeriksaan jalan napas (airway), diperiksa juga pada daerah
kepala dan leher untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi
geligi, apakah ada gigi palsu, atau gangguan fleksi, ekstensi leher,
devisiasi trakea, dan massa untuk menilai apakah ada kesulitan
intubasi. Lakukan pemeriksaan jantung, untuk mengevaluasi kondisi
jantung, apakah ada kelainan jantung yang didapat pada orang dewasa
dan pada anak-anak sebagai penyakit bawaan (congenital).
Pemeriksaan pada Paru-paru, untuk mengetahui adanya dispnu, ronki,
dan mengi yang dapat menggangu frekuensi dan pola pernapasan. Pada
abdomen lakukan palpasi untuk mengetahui adanya distensi, massa,
asites, atau hernia.13
Pemeriksaan daerah ekstremitas terutama untuk melihat perpusi
distal, adanya jari tumbuh, sianosis, atau infeksi kulit, dan juga untuk
melihat tempat-tempat fungsi vena atau daerah blok saraf regional.
Daerah punggung juga diperiksa bila ditemukan adanya deformitas,
memar atau infeksi terutama dengan pemilihan anestesi regional.
Neurologis, misalnya status mental, fungsi saraf kranial, kesadaran dan
fungsi sensasi motorik, yang diperlukan untuk menentukan status fisik
pasien.13
3) Pemeriksaan Laboratorium

32
Pemeriksaan Laboratium, ada yang dilakukan pemeriksaan rutin
seperti, darah (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, golongan
darah, masa perdarahan,dan masa pembekuan), urin (protein, reduksi,
dan sedimen), foto dada terutama (untuk bedah mayor),
elektrokardiografi (untuk pasien berusia diatas 40 tahun). Ada juga
yang dilakukan secara khusus, yang dilakukan bila terdapat riwayat atau
indikasi, Elektrokardiohrafi pada anak, bronkospirometri pada pasien
tumor paru, fungsi hati pada pasien ikterus, fungsi ginjal pada pasien
hipertensi atau pasien yang mengalami gangguan miksi.13
4) Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas
merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia.
Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan
oral (puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.13
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6
jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai
3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.13
5) Penilaian Status Fisik
Berdasarkan hasil pemeriksaan kita dapat menentukan status fisik
pasien,American Society Of Anestesiologists (ASA) membuat
klasifikasi pasien menjadi kelas-kelas :13
a. Kelas / ASA I Pasien normal sehat fisik dan mental
b. Kelas / ASA II Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak
ada keterbatasan fungsional.
c. Kelas / ASA III Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga
berat yang menyebabkan keterbatasan fungsi.
d. Kelas / ASA IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang
mengancam hidup dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi.
e. Kelas / ASA V Pasien yang tidak dapat hidup / bertahan dalam 24
jam dengan atau tanpa operasi.
f. Kelas / ASA VI Pasien mati batang otak yang organ tubuhnya dapat
diambil.

33
NB : E, Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka
penggolongan ASA di ikuti huruf E (misalnya I E atau 2 E).

2.13 Indikasi Anestesi Umum


Anestesi umum digunakan untuk bayi dan anak-anak, dewasa yang
ingin dianestesi umum, prosedur operasi yang lama dan rumit seperti,
pembedahan abdomen yang luas, intraperitoneum, toraks, intrakranial,
pembedahan yang berlangsung lama, dan operasi dengan posisi tertentu
yang memerlukan pengendalian pernafasan, serta penderita dengan
gangguan mental.14
Bila pemilihan anestesi umum dengan tindakan laringoskopi dan
intubasi trakea, maka dapat menimbulkan komplikasi. Laringoskopi adalah
alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita
dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Intubasi trakea
adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira di pertengahan trakea
antara pita suara dan bifurkasio trakea. Komplikasi yang timbul selama
intubasi antara lain, trauma gigi-geligi, laserasi pada bibir, gusi, laring,
dapat merangsang saraf simpatis sehingga terjadi hipertensi atau takikardi,
aspirasi, dan spasme bronkus. Komplikasi yang timbul setelah ekstubasi
adalah, spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema gotis-subglotis,
dapat juga menimbulkan infeksi pada laring, faring dan trakea.14
2.14 Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia
diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesi diantaranya:15
1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2) Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik

34
3) Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2
antagonis
6) Mengurangi rasa sakit
Adapun obat-obat yang dapat diberikan antara lain :
Sulfas atropin, 0,1 mg/kgBB dipakai untuk pengobatan
bradikardi dan sebagai therapi tambahan pada pengobatan
bronkhospasme serta tukak lambung. Atropin secara
kompetisi mengantagonisir aksi asetil kolin pada reseptor
muskarinik, menurunkan sekresi saliva, bronkhus dan
lambung serta merelaksasi otot polos.
Diazepam per oral 10-15 mg untuk pereda kecemasan.
Pethidin 50 mg untuk mengurangi nyeri atau
kesakitan. Simethidin/ranithidin 150 mg untuk mengurangi
ph asam cairan lambung, Ondacetron, 2-4 mg untuk
mengurangi mual-muntah pascabedah.

2.15 Persiapan Induksi Anestesi Umum


Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan
pembedahan selesai.15

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan STATICS:


S :Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan
jantung.Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang
sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T :Tube Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A :Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk

35
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga
supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I :Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C :Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S :Suction penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

2.16 Stadium Anestesi Umum

Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium


pertama berupa analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai
respirasi teratur, stadium 3 dan stdium 4 sampai henti napas dan henti
jantung.14
Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat
pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini
pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya
rasa sakit).Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan
biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.Stadium ini berakhir
dengan ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek
refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).

Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I
dan ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan
reflekss cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan
kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan
hingga hilangnya pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya

36
pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat
digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah.
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian
akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien
meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti
terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan

2.17 Teknik Anestesi Umum-Endo Trakheal Tube


1) Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi; operasi
lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan
kepala). 16
Prosedur :
Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh
otot/suksinil dgn durasi singkat)
Intubasi setelah induksi dan suksinil
Pemeliharaan
Teknik Intubasi
Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
Induksi sampai tidur, berikan atracurium fasikulasi (+)
Bila fasikulasi (-) ventilasi dengan O2 100% selama kira -
kira 1 mnt
Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan
mendorong kepala sedikit ekstensi mulut membuka
Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan,
sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah
kekiri
Cari epiglotis tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah
bengkok) atau angkat epiglotis ( pada bilah lurus )
Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea
darI luar )
Temukan pita suara warnanya putih dan sekitarnya merah
Masukan ET melalui rima glottis
Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat
bantu napas( alat resusitasi )
2) Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali

37
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien
dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12-20 x
permenit.Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa
nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya.4
Teknik sama dengan diatas
Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.

2.18 Induksi Intravena


Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat
induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harsu diawasi
dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif:
Obat-obat induksi intravena:16
1) Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan
suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan
sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan
aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-
analgesi.16
2) Propofol (diprivan, recofol)

Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat


isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan intravena
sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat
diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-
2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12
mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.
pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan
untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil. Pertama kali digunakan
dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi.

38
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesia
umummengandung lecitin, glycerol dan minyak siybean, sedangkan
pertumbuhan kuman dihamba toleh adanya asam
a=etilendiamintreasetat atu sulfat, hal tersebut sangat tergantng pada
pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml= 10
mg).16
Mekanisme Kerja :
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui, tapi
diperkirakan efek primernya berlangsung reseptor GABA-A ( Gamma
Amino Butired Acid ).

Dosis dan penggunaan :


a.) Induksi : 2,0-2,5mg/kg IV
b.) Sedasi : 25-75g/kg/min dengan IV infus
c.) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum: 100-150 g/kg/min IV
d.) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau
apabila digabung penggunaannya dengan obat anastesi yang lain.
e.) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5% untuk mendapatkan
konsentrasi yang minimal 0,2%.
f.) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada
dalam lingkungan yang steril dan hindari propofol dalam kondisi
sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari
bakteri.
Efek Samping :
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50%-75%.
Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada
pemberian propofol dapat dihialngkan dengan menggunakan lidocain
(0,5mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1-2menit dengan
pemasangan torniquet pada bagian proximal tempat suntikan, berikan
secara IV melalui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga
sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan
propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya

39
harus hati-hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak
seperti hiperlipidemia dan pankreatitis.
3) Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg.
ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg),
5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).16
4) Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan
tahun. Obat opium di dapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum
somniverum, dan kata opium berasal dari bahasa yunani yang berarti
getah. Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids. Morphine,
meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan remifentanil merupakan
golongan opioid yang sering digunakan dalam general anastesi. Efek
utamanya adalah analgetik. Dalam dosis yang besar opioid kadang
digunakan dalam operasi cardiac. Opioid berbeda dalam potensi,
farmakokinetik dan efek samping. Diberikan dosis tinggi. Tidak
mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk
induksi pasien dengan kelianan jantung.16

Mekanisme Kerja :
Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada
sistem saraf pusat dan jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor opioid
yaitu, , . Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek sedasi,
opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari spesifik
opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan dan
apakah reseptornya aktif. Aktivasi reseptor opioid menghambat
pelepasan presinaptik dan respon postsinaptik terhadap
neurotransmiter ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron nosiseptif.

40
Dosis :
Premedikasi petidin diberikan IM dengan dosis 1 mg/kgbb atau
IV 0,5 mg/kgbb, sedangkan morfin sepersepuluh dari petidine dan
fentanyl seperseratus dari petidin.
5) Benzodiazepin
Golongan benzodiazepin yang sering digunakan oleh
anestesiologi adalah diazepam (valium), Lorazepam (ativan) dan
midazolam (versed), diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air dan
kandungannya berupa propylene glycol. Diazepam tersedia dalam
sediaan emulsi lemak (diazemuls atau dizac), yang tidak menyebabkan
nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya
yang rendah, midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang
tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.16
Dosis :
Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.
Untuk preoperatif digunakan 0,5-2,5mg/kgbb
Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3-5mg
Sedasi pada analgesia regional, diberikan IV
Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.

2.19 Induksi Inhalasi


Obat anestesi dihirup bersama udara pernapasan kedalam paru-paru,
masuk kedalam darah dan sampai di jaringan otak dan mengakibatkan
anestesia. Obat anestesi yang dipakai dengan cara ini, berupa gas yaitu
N20 dan cyclopropane (tidak dipergunakan lagi karena toksisitas terlalu
besar). Dan berupa cairan yang menguap yaitu ether (chloraethyl, trilene,
sekarang sudah tidak digunakan), halotan, enfluran, isofluran, cevofluran,
dan defluran (jarang digunakan karena strukturnya menyerupai
isofluran).13
1) Gas anestesi (N2O gas gelak)
N2O merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(Pengikat CO2). Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai

41
dengan kombinasi N2O : O2 yaitu 60% : 40%, 70% : 30%, dan
50% : 50%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan
dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% :20%, dan
pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila digunakan
pada pasien pneumotoraks, pneumomediastinum, obstruksi, emboli
udara, dan timpanoplasti. Dosis normal 104-105 volume %.13
2) Halotan
Halotan merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, mudah
menguap, tidak mudah terbakar/meledak, tidak bereaksi dengan soda
lime. Induksi cepat dan lancar, tidak mengiritasi jalan nafas,
bronkodilatasi, pemulihan cepat, proteksi terhadap shock, jarang
menyebabkan mual/muntah. Harus dikombinasi dengan obat
analgetik dan relaksan. Dapat menimbulkan hipotensi, aritmia,
meningkatkan tekanan intrakranial, menggigil pascaanestesi dan
hepatotoksik. Dosis, 0,72 volume %.13
3) Enfluran
Enfluran merupakan obat anestesik eter berhalogen berbentuk
cairan, mudah menguap, tidak mudah terbakar, tidak bereaksi
dengan soda lime. Induksi dengan enfluran cepat dan lancar. Obat ini
jarang menimbulkan mual dan muntah serta masa pemulihan cepat.
Dosis : 1,7 volume %.13
4) Isofluran
Isofluran merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau
subanestetik merupakan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intra kranial. Efek
terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga
digemari untuk anestesi pada pasien dengan gangguan koroner. Dosis
: 1,2 volume %.13
5) Desfulran
Desfluran (suprane) merupakan halogensi eter yang rumus bangun
dan efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap
dibandingkan anestetik volatil lain, sehingga perlu
menggunakan vaporizer khusus (TEC 6). Titik didihnya mendekati
suhu ruang (23,50C). Potensi rendah (MAC 6,0%) bersifat
simpatmimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi. Efek depresi

42
nafasnya seperti isofluran dan etran. Desfluran merangsang jalan
nafas atas, sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi. Dosis :
6 volume %.13
6) Sevofluran
Sevofluran merupakan halogenasi eter. Induksi dan pasien pulih
dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya
enak,tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi. Efek terhadap
kardiovaskuler cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek
terhadap sistem syaraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan
toksik terhadap hepar. Setelah dihentikan sevofluran cepat
dikeluarkan oleh tubuh. Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda
lime, baralime), tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap
manusia. Dosis : 2 volume %.13
2.20 Rumatan Anestesi (Maintainance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau
dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan
anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar
tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan
intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia
cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan
intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien
ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan
anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O +
O2. 14
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2
dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4%
atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien
bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.14

2.21 Obat Pelumpuh Otot

43
Obat golongan ini menghambat transmisi neromuskular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Mekanisme kerja obat ini
dibagi menjadi dua golongan, yaitu obat penghambat secara depolarisasi
resisten (misalnya suksinil kolin), dan obat penghambat kompetitif atau
nondepolarisasi (misalnya kurarin). Pada anestesi umum obat ini
memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi
trakes, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan
dan ventilasi kendali.16
1) Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
Pavulon (pankuronium bromida). Pavulon merupakan obat
relaksan yang tidak pernah menimbulkan reaksi anafilaktik yang
berat, sedikit menembus sawar plasenta sehingga sangat bermanfaat
pada bedah obstetrik. Obat ini sebagian dikeluarkan melalui ginjal dan
sebagian masuk kedalam cairan empedu, sehingga obat ini jangan
diberikan kepada pasien gagal ginjal dan pasien dengan obstruksi total
cairan empedu. Sebagian obat ini dimetabolisme oleh enzim
mikrosomal hepatik, untuk itu pemberian pada pasien cirrosis hepatis
perlu dosis yang lebih besar tetapi dengan resiko apnoe yang
memanjang sampai pascaoperatif.8 Mula kerja obat ini pada menit
kedua-ketiga selama 20-40 menit. Dosis dewasa 0,06-0,1 mg/kgBB.
Dosis bayi 0,13 mg/kgBB. Kemasan ampul 2 ml berisi pavulon.16
Vekuronium (norkuron). Vekuronium merupakan hormolog
pankuronium bromida yang berkekuatan lebih besar dan lama
kerjanya singkat. Zat anestetik ini tidak memiliki efek akumulasi pada
pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskuler yang bermakna. Di metabolisme dalam liver dan
dikeluarkan melalui ginjal. Mula kerja pada menit kedua-ketiga
dengan masa kerja selama 30 menit. Dosis 0,1-0,2 mg/kgBB.
Kemasan berupa ampul berisi 4 mg bubuk vekuronium. Pelarutnya
dapat berupa akuades, garam fisiologik, ringer laktat, atau dekstrose
5% sebanyak 2 ml.16
Rokuronium (esmeron). Zat rocuronium merupakan analog
vekuronium dengan awal kerja lebih cepat dan efek kerjanya lebih
lama. Dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hati, tetapi tidak

44
mengganggu fungsi ginjal. Obat ini dapat menembus sawar plasenta
tetapi tidak menimbulkan efek yang bermakna. Pada anestesi dengan
tehnik hipotermi dapat memperpanjang efek obat. Mula kerja obat 60-
90 detik dan masa kerja 40-50 menit. Dosis 0,6-1 mg/kgBB. Kemasan
berupa flakon, tiap ml mengandung 10 mg rokuronium bromide.16
Trakrium (atrakurium besilat). Atrakurium tidak mempunyai
efek akumulasi pasa pemberian berulang, dan tidak menyebabkan
perubahan fungsi kardiovaskular yang bermakna. Keunggulan obat ini
metabolisme terjadi di dalam darah, sehingga tidak tergantung fungsi
hati dan ginjal. Mula kerja obat ini menit kedua-ketiga dan lama kerja
15-30 menit. Dosis 0,3-0,6 mg/kgBB. Kemasan dalam ampul 5 ml
berisi 50 mg trakurium.16
2) Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi
Suksametonium (suksinil kolin). Suksametonium mempengaruhi
sistem kardiovaskuler yang dapat menyebabkan bradikardi dan
cardiac arrest pada pemberian ulangan ataupun pada suntikan pertama.
Hal ini dapat dicegah dengan pembetian atropin sebelumnya. Cardiac
arrest akibat hiperkalemi setelah pemberian suksametonium dapat
terjadi pada pasien yang sebelumnya telah ada hiperkalemi, seperti
pasca luka bakar, tetanus, dan juga multiple trauma.16
Setelah pemberian obat ini terjadi fasikulasi yang diperkuat
dengan isoflurance, anticholinesterase, dan magnesium. Fasikulasi
yang terjadi menyebabkan rasa sakit pada otot 3-4 hari
pascaoperatif.8 Mula kerja obat ini 30-60 detik dan lama kerja 3-5
menit. Dosis 1-1,5 mg/kgBB intravena. Kemasan dalam flakon 20, 50
atau 100 mg/ml.16

2.22 Tatalaksana Jalan Napas


Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
1) Hidung, Menuju nasofaring
2) Mulut, Menuju orofaring

Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum


dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring.

45
Hipofaring menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju
ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan
sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform.3
Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka

Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas


bebas, sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung
atau mulut.
a. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan
napas mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau
jalan napas lewat hidung (naso-pharyngeal airway).
b. Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system
anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa
sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan
tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat
mulut atau hidung.
c. Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa
besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang
pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa
trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil atau
lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar
dan lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan
dengan esophagus.
d. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat

46
dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube).
e. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru.
Laringoskop merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring
secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea
dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam
laringoskop:
Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-
dewasa
Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi
menjadi 4 gradasi.

2.23 Ekstubasi
1) Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2) Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan
dengan catatan tak akan terjadi spasme laring.
3) Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret
dan cairan lainnya.

2.24 Skor Pemulihan Pasca Anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang Recovery
room (RR).15
Parameter Kriteria Score
Warna - Merah muda 2
- Pucat 1
- Sianosis 0
Pernapasan - Mampu bernafas dalam dan batuk 2
- Dangkal namun pertukaran udara adekuat 1
- Apnoe atau ada sumbatan jalan nafas 0
Sirkulasi - Tekanan darah menyimpang<20% pre op 2
- Tekanan darah menyimpang<20-50% pre op 1
- Tekanan darah menyimpang<50% pre op 0
Kesadaran - Bangun, sadar penuh dan orientasi baik 2
- Beraksi bila dipanggil namun cepat tertidur 1
- Tidak berespon 0 47
Aktivitas - Mampu menggerakkan 4 ekstremitas 2
- Dapat menggerakkan 2 ekstremitas 1
- Tidak begerak 0
Steward Score (anak-anak)

Kesadaran Kriteria Skor


Pasien
Kesadaran - Bangun 2
- Bereaksi bila dirangsang 1
- Tidak ada rekasi terhadap rangsang 0
Jalan Nafas - Batuk atas perintah atau menangis 2
- Jalan nafas terpelihara baik 1
- Perlu rumatan jalan nafas 0
Gerakan tubuh - Mampu menggerkkan lengan dan tungkai 2
- Gerakkan lengan dan tungkai tak terarah 1
- Tidak ada gerakkan tubuh 0

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Nursiah S. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan Terhadap


Beberapa Antibiotika di Bagian THT FK USU/RSUP. H. Adam Malik
Medan. Medan : FK USU. 2003.

2. WHO. Chronic suppurative otitis media burden off illness and management
options. Child and Adolescent Health and Development Prevention of
Blindness and Deafness. Geneva Switzerland. 2004.

3. Aboet A. Radang Telinga Tengah Menahun. Pidato Pengukuhan Guru Besar


Tetap Bagian Ilmu Kesehatan Hidung Telinga Tenggorok Bedah Kepala
Leher. Kampus USU. 2007.

4. Farida et al. Alergi Sebagai Faktor Resiko Terhadap Kejadian Otitis Media
Supuratif Kronik Tipe Benigna. Medical Faculty of Hasanuddin. 2009.

5. Djaafar ZA. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
leher. Edisi 6. Jakarta : FKUI.2007.

6. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid.
Boies, Buku Ajar Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;88-119.

7. Anonim. Otitits Media Kronis. 2009. Diunduh dari http://www.medicastore.com


pada tanggal 2 April 2012.

8. Meyer TA, Strunk CL, Lambert PR. Cholesteatoma. In : Newlands SD et.al


(editor). Head & neck surgery otolaryngology. 4th ed. 2006. Philadelphia :
Lippincolt williams & wilkins. h. 2081-91.

9. Anonim. Ear Discharge. 2008. Diunduh dari


http://www.myhealth.gov.my/myhealth pada tanggal 2 April 2012.

10. Lutan R, Wajdi F. Pemakaian Antibiotik Topikal Pada Otitis Media Supuratif
Kronik Jinak Aktif. Cermin Dunia Kedokteran No. 132.2001.

11. Parry D. Middle Ear, Chronic Suppurative Otitis, Medical Treatment:Follow-


Up. Diunduh dari http://www.emedicine.medscape/otolaryngology pada
tanggal 2 April 2012.

12. Helmi, Djaafar ZA, Restuti RD. Komplikasi otitis media supuratif. Dalam :
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (editor). Buku ajar
ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher. Edisi 6.
2009. Jakarta : FKUI. h.86.

49
13. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia 2009.

14. Morgan G Edward, Mikhail, Maged S.Clinical Anesthesiologi. Edisi ke4.


2007.

15. R. Mark, MD Ezekiel MS. Handbook of Anesthesiologi Edisi 2008.

16. Buku saku obat-obatan anesthesia. Jakarta:EGC. 2006.

50

Anda mungkin juga menyukai