Anda di halaman 1dari 29

2.1.

Kerangka Pikir

Empat komponen utama dalam penyusunan kerangka pikir studi ini adalah (1)
konsepsi model, (2) kerangka pembangunan wilayah, (3) kerangka pembangunan koperasi
yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan wilayah, dan (4) formulasi
model integratif pembangunan koperasi dengan wilayah. Secara teori dan empiris keempat
aspek tersebut dijelaskan berturut-turut di bawah ini.

2.1.1. Konsepsi Model

Studi ini merupakan sebuah studi model untuk pemeringkatan daerah dalam
pembangunan koperasi. Karena itu yang hendak dihasilkan adalah sebuah model yang
terukur setelah melalui uji sahih untuk mendapatkan peringkat daerah dalam pembangunan
koperasi. Secara teoritis, sebuah model merupakan abstraksi dari dunia nyata. Begitu
kompleksnya dunia nyata karena mengandung sangat banyak indikator dan permasalahan
sehingga suatu studi tidak mungkin mampu menyelesaikan semua aspek yang kompleks.
Model memberikan solusi atas kekompleksan dunia nyata agar diperoleh hasil yang
memadai untuk kepentingan pengambilan keputusan (Taha, 1982; Bronson, 1982; Nasendi
dan Anwar, 1985; Johnson, 1986; Dimiyati dan Dimiyati, 1987; Makridakis dan Wheelright,
1989; Mulyono, 1999).

Menurut Taha (1982), Nasendi dan Anwar (1985), dan Muyono (1999) bahwa
pengambilan keputusan adalah suatu proses yang dikembangkan secara bertahap dan
sistematis yang bermakna memiliki kriteria yang sistematis melalui prosedur tertentu yang
jelas dan teratur. Kriteria yang baik memenuhi tiga syarat, yakni (1) mempunyai ukuran
yang jelas, (2) dapat dipergunakan untuk menilai berbagai alternatif pilihan, dan (3) mudah
dihitung dan dijabarkan. Untuk proses itu sampai pada pengambilan keputusan,
dibutuhkanlah model.

Sebagai abstraksi dunia nyata, model memberikan manfaat dalam penentuan


optimalisasi penggunaan sumberdaya sehingga pengambilan keputusan bisa menciptakan
efisiensi dalam organisasi dan wilayah. Model mencerminkan hubungan fungsional yang
langsung atau tak langsung, dan interaksi atau interdependensi antar elemen sehingga
membentuk sistem. Itu sebabnya dalam riset operasi, model memegang peranan sentral.
Sebagaimana terlihat pada Gambar 1, Nasendi dan Anwar menyatakan bahwa
model dibangkitkan dari teori dan fakta atau kenyataan dan hasil prosesnya dipergunakan
sebagai Pola Dasar Sistem (PDS) yang mengandung visi dan misi, landasan, dan azas.
PDS melahirkan Strategi dan Kebijakan (S&K) yang merupakan arah dan langkah-langkah
apa yang harus dilakukan. Sedangkan S&K melahirkan proyek/pelaksanaan kebijakan yang
mengandung kegiatan.

Gambar 1. Peran Model dalam Pengambilan Keputusan


(Nasendi dan Anwar, 1985)

Suatu model yang baik harus memenuhi tiga persyaratan, yakni (1) kesesuaian,
model harus mampu merangkum unsur-unsur pokok dari persoalan yang dihadapi,
(2) kesederhanaan, model harus sesuai dengan kemampuan dan kepentingan, dan
(3) keserasian, model harus mampu mengesampingkan hal-hal yang tak berguna.
Berdasarkan tipe, dimensi, fungsi, tujuan, dan tingkat abstraksinya, terdapat tiga jenis
model, yakni Model Ikonik, Model Analog, dan Model Matematika. Model Ikonik adalah
model yang berdimensi dua atau tiga yang merupakan ikon dari suatu obyek, misalnya
fotograf, bumi, dan mobil. Model Analog adalah analogi dari persoalan atau fenomena
yang terjadi secara dinamis, misalnya warna peta dan kurva. Model Matematika atau
Simbolik adalah merupakan model abstrak karena menggunakan simbol matematika
mewakili dunia nyata yang kompleks. Model Matematika terdiri dari dua kelompok yakni
model deterministik yang menggunakan data pada kondisi tertentu (certainty) dan model
stokhastik yang menggunakan data dalam kondisi probabilistik. Dengan memperhatikan
permasalahan dan tujuan riset, studi ini menggunakan Model Matematika yang bersifat
deterministik sebagai dasar analisis.
Dalam proses pengambilan keputusan dapat menggunakan berbagai macam
model, tergantung kepada tujuan pengambilan keputusan. Secara umum model dapat
dibedakan atas model kualitatif dan kuantitatif. Model kualitatif pada umumnya
menggunakan skala ordinal dan nominal, paling sering dipergunakan dalam ilmu sosial,
budaya, dan politik. Misalnya, smoothing factor untuk melakukan peramalan. Model
kuantitatif lebih menggunakan skala interval dan rasio dan juga dapat menggabungkan
skala ordinal dan nominal. Model yang termasuk dalam kuantitatif adalah ekonometrika dan
linear programming. Model ekonometrika biasanya digunakan untuk peramalan atau
prediksi dengan tingkat akurasi tinggi. Sementara model linear programming digunakan
untuk mengetahui optimalisasi alokasi sumberdaya. Dalam rangka membangun
benchmarking kapasitas kreatif suatu entitas negara atau wilayah, Bowen et al., (2006)
menerapkan model composite index of the creative economi untuk melihat best practices
regional. Berdasarkan pengalaman lembaga internasional dalam pemeringkatan negara-
negara dan juga sebagaimana kajian Bowen et al., studi pemeringkatan ini lebih tepat
menggunakan model kuantitatif berdasarkan analisis indeks.

2.1.2. Kerangka Pembangunan Wilayah

2.1.2.1. Teori Pembangunan dan Pertumbuhan Wilayah

Menurut Rahardjo Adisasmita (2005), pembangunan wilayah (regional)


merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia,
investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi,
komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan
pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan (kewiraswastaan),
kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas. Semua faktor di atas
adalah penting tetapi masih dianggap terpisah-pisah satu sama lain dan belum menyatu
sebagai komponen yang membentuk basis untuk penyusunan teori pembangunan wilayah
(regional) secara komprehensif.

Dalam melaksanakan pembangunan diperlukan landasan teori yang mampu


menjelaskan hubungan korelasi antara fakta-fakta yang diamati sehingga dapat merupakan
kerangka orientasi untuk analisis dan membuat ramalan terhadap gejala-gejala baru yang
diperkirakan akan terjadi. Dengan semakin majunya studi-studi pembangunan ekonomi,
banyak teori telah diperkenalkan, dan teori-teori tersebut dapat digunakan sebagai
landasan untuk menjelaskan pentingnya pembangunan wilayah.

Beberapa teori di dalam pembangunan wilayah yang lebih dikenal adalah


pemikiran-pemikiran menurut beberapa aliran dalam Ilmu Ekonomi (misalnya Klasik, Neo
Klasik, Harrod-Domer, Keynes dan Pasca Keynes), teori basis ekspor, teori sektor, struktur
industri dan pertumbuhan wilayah, dan teori kausasi kumulatif. Juga teori-teori seperti teori
lokasi dan aglomerasi, teori tempat sentral, teori kutub pertumbuhan, dan teori
pembangunan polarisasi.

Teori Aliran Klasik

Aliran Klasik dipelopori oleh Adam Smith pada akhir abad ke-18 berpendapat
bahwa tingkat output dan harga keseimbangan hanya dapat dicapai bila perekonomian
berada pada tingkat kesempatan kerja penuh (full employment) dan keseimbangan dengan
tingkat kesempatan kerja penuh itu hanya dapat dicapai melalui bekerjanya mekanisme
pasar secara bebas (free operation of market mechanism). Pertumbuhan ekonomi
disebabkan oleh faktor akumulasi modal dan perkembangan jumlah penduduk. Dengan
adanya akumulasi modal akan memungkinkan dilaksanakannya spesialisasi atau
pembagian kerja sehingga produktivitas tenaga kerja dapat ditingkatkan. Dampaknya akan
mendorong penambahan investasi (pembentukan modal) dan persediaan modal (capital
stock) yang selanjutnya diharapkan akan meningkatkan pendapatan.

Bertambahnya pendapatan berarti meningkatnya kemakmuran (kesejahteraan)


penduduk. Peningkatan kemakmuran mendorong bertambahnya jumlah penduduk.
Penduduk selain merupakan pasar karena pendapatannya meningkat juga merupakan
sumber tabungan yang digunakan untuk akumulasi modal yang selanjutnya akan
mendorong pertumbuhan yang semakin meningkat. Bertambahnya jumlah penduduk
menyebabkan berlakunya hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang (law of
diminishing returns) yang selanjutnya akan menurunkan akumulasi modal. Doktrin atau
semboyan aliran Klasik adalah persaingan bebas. Artinya pemerintah tidak perlu campur
tangan dalam perdagangan dan perekonomian.

Teori Aliran Neo Klasik

Aliran Neo Klasik menggantikan aliran Klasik. Ahli-ahli Neo Klasik banyak
menyumbangkan pemikiran mengenai teori pertumbuhan ekonomi, yaitu sebagai berikut:

a. Akumulasi modal merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi.

b. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang gradual.

c. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang harmonis dan kumulatif.

d. Aliran Neo Klasik merasa optimis terhadap pertumbuhan (perkembangan).

Meskipun model pertumbuhan Neo Klasik telah digunakan secara luas dalam
analisis regional namun beberapa asumsinya tidak tepat, yakni (a) full employment yang
terus menerus tidak dapat diterapkan pada sistem multi-regional dimana persoalan-
persoalan regional timbul disebabkan karena perbedaan-perbedaan geografis dalam hal
tingkat penggunaan sumberdaya, dan (b) persaingan sempurna tidak dapat diberlakukan
pada perekonomian dan spasial.

Tingkat pertumbuhan terdiri dari tiga sumber, yaitu akumulasi penawaran tenaga
kerja, modal dan kemajuan teknik. Model Neo Klasik menarik perhatian ahli-ahli teori
ekonomi regional karena mengandung teori tentang mobilisasi faktor. Implikasi dari
persaingan sempurna adalah modal dan tenaga kerja yang berpindah apabila balas jasa
faktor-faktor tersebut berbeda-beda. Modal akan mengalir dari daerah yang mempunyai
tingkat biaya tinggi ke daerah yang mempunyai tingkat biaya rendah karena keadaan ini
memberikan suatu penghasilan (return) yang lebih tinggi. Tenaga kerja yang kehilangan
pekerjaan akan pindah ke daerah lain yang mempunyai lapangan kerja baru yang
merupakan pendorong untuk pembangunan di daerah tersebut.

Teori Aliran Keynes dan Pasca Keynes

Bersamaan dengan masa depresi yang melanda dunia tahun 1930-an muncullah
pemikiran John Maynard Keynes yang mengemukakan perubahan besar. Keynes dalam
bukunya yang berjudul General Theory of Employment, Interest and Money (1936)
menyatakan bahwa karena upah bergerak lamban maka sistem kapitalisme tidak akan
secara otomatis akan mencapai kepada keseimbangan penggunaan tenaga kerja penuh
(full-employment equilibrium). Karena itu akibat yang ditimbulkan saat itu adalah
pengangguran yang sangat berlebih yang mana dapat diperbaiki melalui kebijakan fiskal
atau moneter untuk meningkatkan permintaan agregat.

Aliran Pasca Keynes memperluas teori Keynes menjadi teori output dan
kesempatan kerja dalam jangka panjang yang menganalisis fluktuasi jangka pendek untuk
mengetahui adanya perkembangan jangka panjang. Beberapa persoalan penting dalam
analisis Pasca Keynes adalah:

a. Syarat-syarat apakah yang diperlukan untuk mempertahankan perkembangan


pendapatan yang mantap (steady growth) pada tingkat pendapatan dalam
kesempatan kerja penuh (full employment income) tanpa mengalami deflasi ataupun
inflasi.

b. Apakah pendapatan itu benar-benar bertambah pada tingkat sedemikian rupa


sehingga dapat mencegah terjadinya kemacetan yang lama atau tingkat inflasi yang
terus menerus.

Apabila jumlah penduduk bertambah maka pendapatan per kapita akan berkurang
kecuali bila pendapatan riil juga bertambah. Selanjutnya bila angkatan kerja berkembang
maka output harus bertambah juga untuk mempertahankan kesempatan kerja penuh. Bila
terjadi investasi maka pendapatan riil harus bertambah pula untuk mencegah terjadinya
kapasitas yang menganggur (idle capacity).

Teori Basis Ekspor (Export Base Theory)

Teori basis ekspor adalah bentuk model pendapatan yang paling sederhana. Teori
ini menyederhanakan suatu sistem regional menjadi dua bagian yaitu daerah yang
bersangkutan dan daerah-daerah lainnya. Masyarakat di dalam satu wilayah dinyatakan
sebagai suatu sistem sosial ekonomi. Sebagai suatu sistem, keseluruhan masyarakat
melakukan perdagangan dengan masyarakat lain di luar batas wilayahnya. Faktor penentu
(determinan) pertumbuhan ekonomi dikaitkan secara langsung kepada permintaan akan
barang dari daerah lain di luar batas masyarakat ekonomi regional. Pertumbuhan industri
yang menggunakan sumberdaya lokal termasuk tenaga kerja dan material (bahan) untuk
komoditas ekspor, akan meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat.

Aktivitas dalam perekonomian regional digolongkan dalam dua sektor kegiatan


yakni aktivitas basis dan non basis. Kegiatan basis merupakan kegiatan yang melakukan
aktivitas yang berorientasi ekspor (barang dan jasa) ke luar batas wilayah perekonomian
yang bersangkutan. Kegiatan non-basis adalah kegiatan yang menyediakan barang dan
jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berada di dalam batas wilayah perekonomian
yang bersangkutan. Luas lingkup produksi dan pemasarannya adalah bersifat lokal.

Aktivitas basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (primer mover) dalam
pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain akan
semakin maju pertumbuhan wilayah tersebut, dan demikian sebaliknya. Setiap perubahan
yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dalam
perekonomian regional.

Analisis basis ekonomi adalah berkenaan dengan identifikasi pendapatan basis


(Richardson 1977). Bertambah banyaknya kegiatan basis dalam suatu wilayah akan
menambah arus pendapatan ke dalam wilayah yang bersangkutan yang selanjutnya
menambah permintaan terhadap barang atau jasa di dalam wilayah tersebut sehingga pada
akhirnya akan menimbulkan kenaikan volume kegiatan non basis. Sebaliknya,
berkurangnya aktivitas basis akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir
ke dalam suatu wilayah sehingga akan menyebabkan turunnya permintaan produk dari
aktivitas non basis.

Walaupun teori basis ekspor mengandung kelemahan yang membagi


perekonomian regional menjadi dua sektor kegiatan yakni basis dan non basis, namun
upaya tersebut dapat bermanfaat sebagai sarana untuk memperjelas pengertian mengenai
struktur daerah atau wilayah yang bersangkutan dan bukan sebagai alat untuk membuat
proyeksi jangka pendek atau jangka panjang.

Untuk menganalisis basis ekonomi suatu wilayah, salah satu teknik yang lazim
digunakan adalah location quotient (LQ). Teknik LQ digunakan untuk mengetahui seberapa
besar tingkat spesialisasi sektor-sektor basis atau unggulan (leading sectors). Dalam teknik
LQ berbagai peubah (faktor) dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan wilayah
misalnya kesempatan kerja (tenaga kerja) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
suatu wilayah.

Analisis location quotient merupakan suatu alat yang dapat digunakan dengan
mudah, cepat dan tepat. Karena kesederhanaannya, teknik LQ dapat dihitung berulang kali
dengan menggunakan berbagai peubah acuan dan periode waktu. Location quotient
merupakan rasio antara jumlah tenaga kerja pada sektor tertentu (misalnya industri) atau
PDRB terhadap total jumlah tenaga kerja sektor tertentu (industri) atau total nilai PDRB di
suatu daerah (kabupaten) dibandingkan dengan rasio tenaga kerja dan sektor yang sama
di propinsi dimana kabupaten tersebut berada dalam lingkupnya. Perhitungan LQ dapat
dilakukan pula untuk membandingkan indikator di tingkat propinsi dengan di tingkat
nasional.

Analisis LQ dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan merumuskan komposisi dan


pergeseran sektor-sektor basis suatu wilayah dengan menggunakan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) sebagai indikator pertumbuhan wilayah.

Formulasi matematisnya adalah:

V1R / V R
LQ =
V1 / V

dimana :

V1R = Nilai PDRB suatu sektor kabupaten/kota


R
V = Nilai PDRB seluruh sektor kabupaten/kota

V1 = Nilai PDRB suatu sektor tingkat propinsi

V = Nilai PDRB seluruh sektor tingkat propinsi.

Jika LQ lebih besar dari 1, sektor tersebut merupakan sektor basis, artinya
tingkat spesialisasi kabupaten lebih tinggi dari tingkat propinsi.
Jika LQ lebih kecil dari 1, merupakan sektor non basis, yaitu sektor yang
tingkat spesialisasinya lebih rendah dari tingkat propinsi.

Jika LQ sama dengan 1, berarti tingkat spesialisasi kabupaten sama dengan


tingkat propinsi.

Teori Sektor (Sector Theory of Growth)

Setiap wilayah mengalami perkembangan meliputi siklus jangka pendek dan


jangka panjang. Faktor-faktor dalam analisis perkembangan jangka pendek yang umumnya
digunakan adalah penduduk, tenaga kerja, upah, harga, teknologi dan distribusi penduduk,
tetapi laju pertumbuhan jangka panjang biasanya diukur menurut keluaran (output) dan
pendapatan. Pada umumnya pertumbuhan dapat terjadi sebagai akibat dari faktor-faktor
penentu endogen maupun eksogen yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam wilayah yang
bersangkutan atau faktor-faktor di luar wilayah atau kombinasi dari keduanya.

Salah satu teori pertumbuhan wilayah yang paling sederhana adalah teori sektor.
Teori ini dikembangkan berdasarkan hipotesis Clark-Fisher yang mengemukakan bahwa
kenaikan pendapatan per kapita akan dibarengi oleh penurunan dalam proporsi
sumberdaya yang digunakan dalam sektor pertanian (sektor primer) dan kenaikan dalam
sektor industri manufakfur (sektor sekunder) dan kemudian dalam industri jasa (sektor
tersier). Laju pertumbuhan dalam sektor yang mengalami perubahan (sector shift),
dianggap sebagai determinan utama dari perkembangan suatu wilayah.

Alasan dari perubahan atau pergeseran sektor tersebut dapat dilihat dari sisi
permintaan dan sisi penawaran. Pada sisi permintaan, yaitu elastisitas pendapatan dari
permintaan untuk barang dan jasa yang disuplai oleh industri manufaktur dan industri jasa
adalah lebih tinggi dibandingkan untuk produk-produk primer. Maka pendapatan yang
meningkat akan diikuti oleh perpindahan (realokasi) sumberdaya dari sektor primer ke
sektor manufaktur dan sektor jasa. Sisi penawaran yaitu realokasi sumberdaya tenaga
kerja dan modal dilakukan sebagai akibat dari perbedaan tingkat pertumbuhan produktivitas
dalam sektor-sektor tersebut. Kelompok sektor-sektor sekunder dan tersier menikmati
kemajuan yang lebih besar dalam tingkat produktivitas. Hal ini akan mendorong
peningkatan pendapatan dan produktivitas yang lebih cepat (kombinasi dari keduanya
misalnya dalam skala ekonomi), karena produktivitas yang lebih tinggi baik untuk tenaga
kerja maupun untuk modal, dan penghasilan yang lebih tinggi tersebut memungkinkan
untuk melakukan realokasi sumberdaya.

Tingkat pertumbuhan produktivitas tergantung pada inovasi dan kemajuan teknik


ataupun skala ekonomi. Bila produktivitas lebih tinggi dalam industri-industri, permintaan
terhadap produk-produknya akan meningkat cepat, maka terdapat kausalitas
"produktivitas - harga rendah - permintaan bertambah luas", bukan sebaliknya. Terjadinya
perubahan atau pergeseran sektor dan evaluasi spesialisasi (pembagian kerja) dipandang
sebagai sumber dinamika pertumbuhan wilayah. Perluasan dari teori sektor ini adalah teori
tahapan (stages theory) yang menjelaskan bahwa perkembangan wilayah adalah
merupakan proses evolusioner internal dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :

a. Tahapan perekonomian subsistem swasembada dimana hanya terdapat sedikit


investasi atau perdagangan. Sebagian besar penduduk bekerja pada sektor
pertanian.

b. Dengan kemajuan transportasi di wilayah yang bersangkutan akan mendorong


perdagangan dan spesialisasi. Industri pedesaan masih bersifat sederhana
(tradisional) untuk memenuhi kebutuhan para petani.

c. Dengan bertambah majunya perdagangan antar wilayah maka wilayah yang maju
akan memprioritaskan pada pengembangan sub sektor tanaman pangan, selanjutnya
diikuti oleh sub-sub sektor peternakan dan perikanan.

d. Industri sekunder berkembang, pada permulaan mengolah produk-produk primer,


kemudian diperluas dan makin lebih berspesialisasi.

e. Pengembangan industri tersier (jasa) yang melayani permintaan dalam wilayah


maupun di luar wilayah.

Teori Pertumbuhan Wilayah dan Struktur Industri (Regional Growth and


Industrial Structure)

Interpretasi pertumbuhan wilayah dalam arti dinamika struktur industri adalah


sangat penting. Alasannya adalah kerangka dasar analisis pertumbuhan wilayah dan lokasi
industri secara komprehensif dan konsisten diperlukan untuk memahami dan mengevaluasi
ekonomi sub nasional (wilayah) dan pembangunan fisik. Analisis tersebut menggunakan
tiga asumsi, yaitu (1) bahwa pertumbuhan wilayah secara overall (volume kegiatan
ekonomi) ditentukan oleh kondisi bermacam-macam faktor lain dari pada pendapatan
regional per kapita (aspek kesejahteraan dari pertumbuhan); (2) bahwa pembangunan
masa depan adalah hasil dari kegiatan dan keputusan masa lalu dan sekarang, dan (3)
bahwa faktor-faktor kritis dalam pola pertumbuhan wilayah yang terus berubah itu adalah
hasil keputusan perusahaan-perusahaan mengenai lokasi dan output (jika dilihat ke
belakang adalah sebagai input, dan dihubungkan ke depan adalah pasar dari industri-
industri dalam perekonomian).
Peranan suatu wilayah sebagai komponen (bagian) ekonomi nasional
direpresentasikan oleh sektor industri dan struktur industri yang terdapat pada masing-
masing wilayah. Ada bermacam-macam industri yaitu industri besar, sedang dan kecil, dan
terdapat pula industri yang mempunyai tingkat pertumbuhan tinggi, lamban, dan bahkan
ada yang stagnan. Ada suatu wilayah yang memiliki keunggulan lokasional (locational
advantage) yang memungkinkan pengembangan industri. Sebaliknya wilayah-wilayah lain
tidak memiliki keunggulan lokasional sehingga pengembangan industri mengalami
hambatan.

Tanpa memandang industri itu berkembang cepat atau lamban, yang penting
diukur adalah proporsi atau kontribusi sektor industri di masing-masing wilayah terhadap
total industri nasional (indikator pertumbuhan lain misalnya penduduk dan pendapatan).
Analisis kontribusi (share analysis) ini memberikan gambaran struktur suatu wilayah secara
statis. Upaya untuk mengkaji struktur wilayah secara dinamis adalah menerapkan shift
analysis (analisis pergeseran). Analisis ini membandingkan perubahan regional yang terjadi
di suatu wilayah antara dua titik waktu tertentu dan khususnya mengkonsentrasikan pada
apakah perubahan regional itu lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan perubahan
rata-rata nasional (yaitu apakah terjadi pergeseran atau perubahan yang menaik atau
menurun).

Perubahan regional terdiri dari dua komponen yaitu pergeseran proporsional


(proportionality shift) dan pergeseran diferensial (differential shift). Pergeseran proporsional
mengukur pengaruh komposisi industri yang dilihat secara nasional bahwa beberapa sektor
mengalami pertumbuhan lebih cepat dibandingkan sektor-sektor lainnya. Jadi, suatu
wilayah yang memiliki sektor-sektor yang tingkat pertumbuhannya lamban akan
memperlihatkan pergeseran proporsional yang menurun. Sebaliknya suatu wilayah yang
mempunyai sektor-sektor yang tingkat pertumbuhannya tinggi akan memperlihatkan
pergeseran yang menaik. Pergeseran diferensial terjadi dari keadaan bahwa industri-
industri tumbuh di beberapa wilayah lebih cepat dari wilayah-wilayah lain. Wilayah-wilayah
yang mempunyai karakteristik pergeseran yang menaik adalah daerah-daerah yang
memiliki keunggulan lokasional yang memungkinkan pengembangan kegiatan-kegiatan
tertentu lebih baik dibandingkan daerah-daerah lain.

Teori Kausasi Kumulatif (Cummulative Causation Theory)

Tahun 1955, sepuluh tahun setelah Perang Dunia II berakhir Gunnar Myrdal
mengemukakan tiga kesimpulan penting yaitu:

a. Dunia dihuni oleh segelintir negara-negara yang sangat kaya dan sejumlah besar
negara-regara yang sangat miskin.
b. Negara-negara kaya melaksanakan pola perkembangan ekonomi yang terus menerus
sedangkan negara-negara miskin mengalami perkembangan yang sangat lamban dan
bahkan ada yang mandeg.

c. Jurang ketidakmerataan ekonomi antara negara-negara kaya dan negara-negara


miskin semakin bertambah besar.

Ada dua asumsi pokok yang tidak realistis yang melemahkan teori ekonomi
tradisional untuk menjelaskan ketidakmerataan itu yaitu : pertama, adalah keseimbangan
stabil (stable equilibrium) artinya sistem perekonomian pasar selalu bergerak menuju
kepada keseimbangan, dan kedua, analisis ekonomi dibatasi pada faktor-faktor ekonomi
saja akibatnya variabel-variabel non-ekonomi diperlakukan sebagai data yang sudah
tertentu (ceteris paribus). Sedangkan antara faktor ekonomi dan faktor non-ekonomi
terdapat saling keterkaitan dan saling pengaruh yang bersifat sirkuler satu sama lain.

Berdasarkan prinsip kausasi sirkuler kumulatif dapat dijelaskan terjadinya


ketidakmerataan ekonomi (internasional, nasional dan regional). Apabila proses kausasi
sirkuler kumulatif dibiarkan bekerja atas kekuatan sendiri maka akan menimbulkan
pengaruh merambat yang ekspansioner di satu pihak (spread effects) dan pengaruh
pengurasan (backwash effects). Strategi campur tangan pemerintah yang dikehendaki
adalah pengambilan tindakan kebijakan yang mengurangi backwash effects dan
memperkuat spread effects agar proses kausasi sirkuler kumulatif mengarah ke atas yakni
semakin memperkecil ketidakmerataan. Ketidakmerataan sangat tidak dikehendaki oleh
semua bangsa.

Teori Lokasi dan Aglomerasi

1. Teori Lokasi

Dari sekian banyak teori lokasi dan teori perwilayahan yang telah ada, beberapa di
antaranya yang dianggap penting yaitu Von Thunen (1826), A. Weber (1909), W. Christaller
(1933), A. Losch (1944), F. Perroux (1955), W. Isard (1956), dan J. Friedmann (1964). Von
Thunen telah mengembangkan hubungan antara perbedaan lokasi pada tata ruang (spatial
location) dan pola penggunaan lahan. Menurut von Thunen jenis pemanfaatan lahan
dipengaruhi oleh tingkat sewa lahan dan didasarkan pula pada aksesibilitas relatif. Lokasi
berbagai jenis produksi pertanian (seperti menghasilkan tanaman pangan, perkebunan, dan
sebagainya) ditentukan oleh kaitan antara harga barang-barang hasil dalam pasar dan
jarak antara daerah produksi dengan pasar penjualan. Kegiatan yang mampu
menghasilkan panen fisik tertinggi per hektar akan ditempatkan pada kawasan konsentris
yang pertama di sekitar kota, karena keuntungan yang tinggi per hektar memungkinkan
untuk membayar sewa lahan yang tinggi. Kawasan produksi berikutnya kurang intensif
dibandingkan dengan kawasan produksi yang pertama, demikian seterusnya.

Analisis penentuan lokasi optimum seperti dikemukakan oleh von Thunen telah
mendapat perhatian oleh Alfred Weber. Weber menekankan pentingnya biaya transportasi
sebagai faktor pertimbangan lokasi. Teori Weber sebenarnya menekankan dua kekuatan
lokasional primer yaitu selain orientasi transportasi juga orientasi tenaga kerja. Weber telah
mengembangkan pula dasar-dasar analisis wilayah pasar dan merupakan seorang ahli
teori lokasi yang pertama membahas mengenai aglomerasi. Pemikiran Weber telah
memberikan sumbangan ilmiah dalam banyak aspek diantaranya penentuan lokasi yang
optimal dan kontribusinya yang esensial dalam pengembangan wilayah yaitu mengenai
munculnya pusat-pusat kegiatan ekonomi (industri).

Losch mengintroduksikan pengertian-pengertian wilayah pasar sederhana,


jaringan wilayah pasar, dan sistem jaringan wilayah pasar. Prasarana transportasi
merupakan unsur pengikat wilayah-wilayah pasar. Unit-unit produksi pada umumnya
ditetapkan pada pusat-pusat pasar yang juga merupakan pusat-pusat urban. Perusahaan-
perusahaan akan memilih lokasinya pada suatu tempat dimana terdapat permintaan
maksimum (Loschian demand cone theory).

Berdasarkan struktur herarkis tempat sentral yang ditunjukkan oleh Christaller,


Isard telah menekankan pentingnya kedudukan pusat-pusat urban tingkat nasional
(metropolis) dalam kaitannya dengan aglomerasi industri. Isard mengembangkan gejala
locational economies (penghematan lokasi), dan urbanization economies (penghematan
urbanisasi) sebagai akibat dari pengaruh lokasi. Urutan besarnya peranan kota-kota dapat
ditentukan dengan cara merangking pusat-pusat yang bersangkutan (rank size rule)
menurut jumlah penduduknya.

Konsepsi Perroux merupakan langkah utama untuk memberi bentuk konkrit pada
aglomerasi. Ia menyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi di segala
tempat akan tetapi hanya terbatas pada beberapa tempat tertentu. Ia lebih memberikan
tekanan pada aspek konsentrasi proses pembangunan dan menganggap industri
pendorong (propulsive industries) sebagai titik awal perubahan unsur yang esensial untuk
menunjang pembangunan selanjutnya. Meskipun teori kutub pertumbuhan ini berguna
untuk menguji atau membandingkan konsekuensi yang berbeda-beda dari pemilihan
alternatif lokasi akan tetapi teori tersebut tidak dikategorikan sebagai teori lokasi.

Dimensi geografis telah dimasukkan ke dalam pengaruh kutub pengembangan.


Antara kota dan pedesaan terdapat kaitan yang sangat erat dimana satu sama lainnya
saling melengkapi. Friedman meninjaunya dari ruang lingkup yang luas dengan
menampilkan teori core region (wilayah inti). Wilayah inti dikaitkan dengan fungsinya yang
dominan terhadap perkembangan wilayah-wilayah di sekitarnya misalnya sebagai pusat
perdagangan atau pusat industri. Wilayah-wilayah di sekitar wilayah pusat disebut wilayah-
wilayah pinggiran.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemilihan lokasi suatu industri atau
unit produksi pada umumnya dikaitkan dengan lokasi sumber bahan mentah dan wilayah
pasarnya. Kriteria penentuan yang digunakan bermacam-macam yaitu biaya transportasi
terendah, sumber tenaga kerja yang relatif murah, ketersediaan sumberdaya air, energi
ataupun daya tarik lainnya berupa penghematan-penghematan lokasional dan
penghematan-penghematan aglomerasi. Dimensi wilayah dan aspek tata ruang telah
dimasukkan sebagai variabel tambahan yang penting dalam kerangka teori pembangunan.

2. Kekuatan Aglomerasi dan Deglomerasi

Aglomerasi adalah terkonsentrasinya kegiatan-kegiatan industri dan kegiatan-


kegiatan lainnya pada suatu tempat. Sebaliknya, deglomerasi adalah dekonsentrasi atau
dispersi kegiatan-kegiatan industri dan kegiatan-kegiatan lainnya pada beberapa tempat.
Untuk menganalisis pembangunan kota dan wilayah perlu dipahami sepenuhnya mengenai
kekuatan-kekuatan aglomerasi dan deglomerasi.

Terdapat 3 (tiga) kategori kekuatan yang merupakan manfaat aglomerasi yaitu :

1. Penghematan skala (scale economies). Terdapat penghematan dalam produksi


secara internal bila skala produksinya ditingkatkan. Biaya tetap yang besar sebagai
akibat investasi dalam bentuk pabrik dan peralatan, yang memungkinkan
dilaksanakan pemanfaatan pabrik dan peralatan tersebut dalam skala besar dapat
membagi-bagi beban biaya-biaya tetap pada berbagai unit yang terdapat dalam
sistem produksi. Sebagai konsekuensinya, unit biaya produksi menjadi lebih rendah
sehingga dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain. Produksi pada skala
besar dimaksudkan untuk menghindari unit biaya operasi yang eksesif. Hal ini dapat
dipertanggung-jawabkan hanya pada lokasi-lokasi yang melayani penduduk dalam
jumlah besar atau dengan kata lain mempunyai suatu pasar yang luas.

2. Penghematan lokalisasi. Dimaksudkan sebagai penghematan yang dinikmati oleh


semua perusahaan dalam suatu industri yang sejenis pada suatu lokasi tertentu. Hal
ini disebabkan bertambahnya jumlah keluaran (total output) industri tersebut. Sebagai
ilustrasi terlihat Gambar 2. Terdapat 3 pabrik tekstil yang membutuhkan reparasi
fasilitasnya. Bila unit reparasi dibangun pada titik Z maka hanya menguntungkan
pabrik A dan C yaitu mereka memperoleh biaya reparasi yang lebih murah dibanding
pabrik B. Lokasi yang tepat untuk pembangunan unit reparasi adalah pada titik A.
PA
Z
A PC

PB

Gambar 2. Penghematan Lokalisasi Tiga Pabrik Tekstil

3. Penghematan urbanisasi. Penghematan urbanisasi diasosiasikan dengan


pertambahan jumlah total (penduduk, hasil industri, pendapatan, dan kemakmuran) di
suatu lokasi untuk semua kegiatan yang dilakukan bersama-sama. Penghematan ini
mengaitkan kegiatan industri-industri dan sektor-sektor secara agregatif. Misalnya
suatu kegiatan yang sangat tergantung pada manajemen kreatif dan tenaga kerja
terampil. Dalam hal ini terdapat resiko untuk menempatkan kegiatan tersebut di suatu
daerah perkotaan yang relatif kecil. Sebaliknya lebih baik bila ditempatkan pada kota
besar.

Sebaliknya deglomerasi bersifat membatasi pertumbuhan, misalnya kongesti lalu


lintas. Kongesti lalu lintas mengakibatkan waktu perjalanan bertambah lama, demikian pula
ketidaknyamanan fisik, ketegangan, dan ketidakpastian umum.

Teori Tempat Sentral

Christaller mengembangkan pemikirannya tentang penyusunan suatu model


wilayah perdagangan yang berbentuk segi enam atau heksagonal. Teorinya adalah teori
tempat sentral (central place theory). Heksagonal yang terbesar memiliki pusat paling besar
sedangkan heksagonal yang terkecil memiliki pusat paling kecil. Secara horisontal, model
Christaller menunjukkan kegiatan-kegiatan manusia yang tersusun dalam tata ruang
geografi dan tempat-tempat sentral (pusat-pusat) yang lebih tinggi ordenya mempunyai
wilayah perdagangan atau wilayah pelayanan yang lebih luas dibandingkan pusat-pusat
yang kecil. Sedangkan secara vertikal model tersebut memperlihatkan bahwa pusat-pusat
yang lebih tinggi ordenya mensuplai barang-barang ke seluruh wilayah dan kebutuhan akan
bahan-bahan mentah di pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya disuplai oleh pusat-pusat
yang lebih rendah ordenya. Prinsip pemasaran dengan susunan piramidal pada model
tempat sentral dapat menjamin minimisasi biaya-biaya transportasi. Menurut Christaller
wilayah perdagangan dapat dilayani sedangkan dalam sebagian dari wilayah-wilayah
tersebut tidak sepenuhnya dapat terlayani karena terbatasnya fasilitas transportasi dan
hambatan-hambatan geografis.

Pada Gambar 3 terlihat bagaimana teori sentral menjelaskan struktur pelayanan


antar pusat. Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur pusat-pusat kota
(wilayah-wilayah nodal) tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola tersebut mengalami
perubahan-perubahan pada masa depan atau dengan perkataan lain tidak menjelaskan
(fenomena) pembangunan. Teori ini bersifat statis; agar teori tempat sentral dapat
menjelaskan gejala-gejala dinamis maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan
wilayah yang menjelaskan mengenai proses perubahan-perubahan struktural. Salah satu
dari teori pertumbuhan wilayah adalah teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) yang
diformulasikan oleh Perroux.

Rank 1 : Dominant city

Rank 2 : second-order cities

Rank 3 : Third-order cities

Rank 4 cities

Rank 5 cities

Gambar 3. Struktur Pelayanan Antar Pusat Perdagangan

Sumbangan positif teori tempat sentral adalah teori tersebut relevan bagi
perencanaan kota dan wilayah karena sistem hierarki pusat merupakan sarana yang efisien
untuk perencanaan wilayah. Distribusi tata ruang dan besarnya pusat-pusat kota
merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur wilayah nodal dan melahirkan
konsep-konsep dominasi dan polarisasi.

Teori Kutub Pertumbuhan

Sebagaimana diketahui bahwa potensi dan kemampuan masing-masing wilayah


berbeda-beda satu sama lainnya, juga masalah pokok yang dihadapinya tidak sama
sehingga usaha-usaha pembangunan sektoral yang akan dilaksanakan harus
disinkronisasikan dengan usaha-usaha pembangunan regional. Teori lokasi klasik ternyata
tidak berlaku secara sempurna karena beranggapan bahwa semua kegiatan berlangsung
diatas permukaan (surface) yang sama, perbedaan geografis dianggap tidak ada, fasilitas
transportasi terdapat ke segala jurusan, bahan mentah (baku) industri, pengetahuan teknis
dan kesempatan produksi adalah seragam di seluruh wilayah. Sebagai akibat dari
ketidaksempurnaan pendekatan klasik tersebut kemudian timbullah permikiran baru yaitu
teori kutub pertumbuhan (growth pole). Teori Francois Perroux ini menyatakan bahwa
pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi di semua wilayah akan tetapi terbatas hanya
pada beberapa tempat tertentu dengan variabel yang berbeda-beda intensitasnya.

Mengikuti pendapat Perroux tersebut, Hirschman mengatakan bahwa untuk


mencapai tingkat pendapatan yang lebih tinggi harus dibangun sebuah atau beberapa buah
pusat kekuatan ekonomi dalam wilayah suatu negara atau yang disebut sebagai pusat-
pusat pertumbuhan (growth point atau growth pole). Menurut Perroux terdapat elemen yang
sangat menentukan dalam konsep kutub pertumbuhan yaitu pengaruh yang tidak dapat
dielakkan dari suatu unit ekonomi terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Pengaruh tersebut
semata-mata adalah dominasi ekonomi yang terlepas dari pengaruh tata ruang geografis
dan dimensi tata ruang. Perusahaan-perusahaan yang menguasai dominasi ekonomi
tersebut pada umumnya adalah industri besar yang mempunyai kedudukan oligopolistis
dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kegiatan para langganannya.

Pandangan Perroux mengenai proses pertumbuhan adalah konsisten dengan teori


tata ruang ekonomi (economic space theory), dimana industri pendorong dianggap sebagai
titik awal dan merupakan elemen esensial untuk pembangunan selanjutnya. Disini Perroux
lebih menekankan pada aspek pemusatan pertumbuhan. Meskipun ada beberapa
perbedaan penekanan arti industri pendorong akan tetapi ada tiga ciri dasar yang dapat
disebutkan yaitu :

1. Industri pendorong harus relatif besar kapasitasnya agar mempunyai pengaruh kuat
baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.

2. Industri pendorong harus merupakan sektor yang berkembang dengan cepat.

3. Jumlah dan intensitas hubungannya dengan sektor-sektor lainnya harus penting


sehingga besarnya pengaruh yang ditimbulkan dapat diterapkan kepada unit-unit
ekonomi lainnya.

Dari sisi tata ruang geografis, industri-industri pendorong dan industri-industri yang
dominan mendorong terjadinya aglomerasi-aglormerasi pada kutub-kutub pertumbuhan
dimana mereka berada. Jelaslah bahwa industri pendorong mempunyai peranan penting
dalam proses pertumbuhan ekonomi.
2.1.2.2. Model Pembangunan Ekonomi Wilayah

Model pembangunan diartikan sebagai kerangka berpikir yang obyektif dan


rasional berdasarkan konsep, teori dan paradigma dalam bentuk konstruksi strategis guna
memecahkan berbagai masalah bagi kepentingan masyarakat (Rahardjo Adisasmita,
2005). Model pembangunan dapat dilihat dari berbagai dimensi yaitu dimensi politik,
ekonomi, sosial, budaya, administrasi dan lainnya. Berdasarkan perkembangannya model
pembangunan ekonomi yang banyak digunakan oleh negara-negara berkembang dapat
dibedakan sebagai berikut :

1. Model I, menitik beratkan pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), model ini
berkembang pada dekade tahun 1950-an dan tahun 1960-an.

2. Model II, menitik beratkan pada pemerataan dan pemenuhan kebutuhan pokok,
berkembang pada dekade tahun 1970-an.

3. Model III, menitik beratkan pada pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM),
berkembang pada dekade tahun 1980-an.

4. Model IV, berkembang pada akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21 dimana
dunia mengalami perubahan yang sangat mendasar yaitu memasuki era globalisasi
dan liberalisasi, perdagangan bebas dan persaingan bebas antar negara akan
menjadi ketat maka diperlukan penguatan daya saing ekonomi masing-masing
wilayah.

1. Model Pembangunan I

Model Pembangunan I ini berorientasi pada peningkatan pertumbuhan Produk


Domestik Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi
dapat dicapai dengan pelaksanaan penanaman modal atau investasi dalam jumlah besar di
sektor industri dengan cara menempatkan kelompok proyek yang satu sama lain saling
menunjang dipusatkan pada suatu wilayah atau bagian wilayah. Manfaat saling
penunjangan dan pembangunan sumberdaya industri dan prasarana yang dipusatkan
tersebut akan dirasakan oleh sektor-sektor terkait. Dan selanjutnya akan menyebar dan
diperluas ke bagian wilayah lainnya. Strategi investasi besar tersebut akan menciptakan
eksternalitas ekonomi" yang dinikmati oleh berbagai kegiatan yang terkait berupa efisiensi
ekonomi yang ditimbulkan oleh kelompok industri tersebut.

Dengan pembangunan industri dan eksternalitas ekonomi akan dicapai


peningkatan pendapatan per kapita dan pemerataan hasil-hasil pembangunan ke seluruh
bagian wilayah melalui proses trickle down effect (tetesan ke bawah). Dalam Model
Pembangunan I yang menjadi indikator keberhasilan pembangunan adalah pertumbuhan
PDRB per kapita, tingkat penanaman modal dan tabungan.

Strategi perencanaan pembangunan yang digunakan dalam model ini mendapat


pengaruh kuat dari teori Harrod-Domar dan teori tahapan pertumbuhan Rostow. Model
pertumbuhan Harrod-Domar dapat digunakan untuk analisis pertumbuhan regional dengan
memperhitungkan perpindahan modal dan tenaga kerja antar regional. Menurut Rostow,
perkembangan (pertumbuhan) ekonomi berlangsung melalui tahapan yaitu : (1) masyarakat
tradisional, (2) masyarakat lepas landas (take-off), (3) masyarakat menuju kematangan
(drive to maturity), dan (4) masyarakat konsumsi yang berlebih (high mass consumption).
Kritik terhadap model pembangunan ini yaitu jika strategi investasi pada industri besar
dilakukan secara berlebihan sementara proses tetesan ke bawah (penyebaran
pembangunan) ternyata tidak terlaksana maka akan terjadi ketidakseimbangan.

2. Model Pembangunan II

Kritik terhadap kelemahan Model Pembangunan I telah mendorong munculnya


Model Pembangunan II. Model Pembangunan I lebih menekankan pada aspek ekonomi
dengan modernisasi dan industrialisasi yang kurang seimbang telah menimbulkan
pengangguran, kemiskinan, dan ketidakmerataan. Model Pembangunan II mengemukakan
alternatif pemecahan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pokok, kemandirian,
pengembangan sektor pertanian dan pedesaan. Pembangunan yang berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan pokok meliputi pula pengembangan kesempatan kerja dan
berusaha, pemberantasan kemiskinan, kesehatan dan perbaikan gizi, air bersih, dan
perumahan merupakan strategi pembangunan yang lebih sesuai dengan negara-negara
berkembang.

Strategi pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi


mengabaikan aspek sosial, lingkungan, dan kelembagaan, tidak menjangkau lapisan
masyarakat yang miskin (terbawah). Ternyata manfaat pertumbuhan tidak merembes
(menyebar) ke bawah, ke berbagai lapisan masyarakat yang miskin. Oleh karena itu dipilih
jalan lain untuk memeratakan pertumbuhan pembangunan ke berbagai lapisan masyarakat
miskin, berarti dilakukan penentuan sasaran pembangunan yang lebih tepat yaitu strategi
"kebutuhan pokok".

Kebutuhan pokok yang dirumuskan terdiri dari dua unsur utama yaitu (1)
kebutuhan minimum keluarga untuk konsumsi pribadi yang meliputi pangan dalam jumlah
yang memadai, tempat tinggal (papan), sandang, dan (2) pelayanan penting yang
disediakan untuk masyarakat seperti air minum, sanitasi, pengangkutan umum, fasilitas
kesehatan dan pendidikan. Model pembangunan ini mengisyaratkan adanya desentralisasi
dan pembangunan aparat lokal (decentralization and local institution development).
Penguatan aparat pemerintah lokal harus mendapat perhatian serius untuk menunjang
pelaksanaan model pembangunan ini. Aspek kelembagaan tidak boleh diabaikan dan harus
diberikan penekanan secara proporsional dan profesional.

3. Model Pembangunan III

Model Pembangunan III lebih menekankan pada kegiatan aparatur pemerintah


yang bertangggung jawab dan berupaya membangkitkan kesadaran dan kemampuan
instansi secara individual dan kolektif. Manajemen dan administrasi pemerintahan dianggap
mempunyai peranan menentukan dalam pelaksanaan Model Pembangunan III yang
berorientasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) sebagai "community
based resources development".

Peningkatan kualitas sumberdaya manusia diarahkan kepada pembentukan


kemampuan masyarakat yang diarahkan kepada :

a. Secara bertahap prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk pembangunan


diserahkan kepada masyarakat.

b. Peningkatan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasi


sumberdaya pembangunan.

c. Pemanfaatan potensi sumberdaya lokal secara optimal.

d. Pengembangan jaringan kerja secara terkoordinasi antara aparat pemerintah,


lembaga-lembaga swasta, dan masyarakat secara luas.

Model Pembangunan III ini mengupayakan pengembangan partisipasi masyarakat


dalam proses pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat, pembelajaran masyarakat
dan pemanfaatan sumberdaya lokal. Prakarsa, aspirasi, dan kreativitas masyarakat harus
direspon dan diaktualisasikan dalam berbagai kegiatan dan tindakan yang positif dan
bermanfaat untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pada khususnya dan
kesejahteraan masyarakat lokal pada umumnya.

4. Model Pembangunan IV

Model Pembangunan IV ini muncul bersamaan dengan perkembangan dan


kemajuan bidang transportasi, komunikasi, dan informasi yang sangat pesat, sehingga
mendorong berkembangnya perdagangan antar wilayah yang lebih intensif dan interaktif
secara luas. Kehidupan yang lebih maju dan mengglobal, artinya sistem perekonomian
akan terlaksana secara lebih efektif, efisien, produktif, dan inovatif. Mutu barang dan jasa
yang dihasilkan akan lebih baik, harganya lebih rendah. Persaingan menjadi lebih ketat.
Dalam pembangunan ekonomi wilayah, masing-masing wilayah memiliki keunggulan
komparatif. Untuk itu diperlukan dukungan peningkatan mutu sumberdaya manusia, proses
produksi, manajemem, pengetahuan dan teknologi, tersedianya modal, prasarana dan
sarana pembangunan, aparat pemerintah, lembaga-lembaga swasta, dan masyarakat luas
yang capable (yang berkemampuan) meliputi seluruh aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya,
politik/pemerintahan dan kelembagaan.

Model pembangunan ini menekankan pada sasaran peningkatan daya saing dan
ketahanan manajemen pemerintahan dan pembangunan yang mampu menghadapi
perkembangan dan tantangan. Demikian pula masyarakat mampu menangkap dan
memanfaatkan peluang internal maupun eksternal. Salah satu strategi yang sangat penting
untuk mencapai sasaran pembangunan ekonomi wilayah yaitu peningkatan daya saing di
bidang ekonomi.

2.1.2.3. Strategi Pembangunan Ekonomi Wilayah


Pemerintah Daerah merupakan pemegang kekuasaan di daerah untuk mengambil
keputusan menentukan kebijakan pembangunan yang tepat bagi suatu wilayah sesuai
dengan potensi sumberdaya yang dimiliki dan sasaran ekonomi dan sosial yang telah
ditetapkan. Strategi pembangunan yang dapat diambil pemerintah daerah harus mengacu
pada perangkat kebijakan dan kegiatan yang secara luas memberikan perhatian pada hal-
hal yang berupa prasarana, penanaman modal pemerintah, keseimbangan antara berbagai
sektor dan wilayah, serta peranan yang timbul dari perdagangan antara wilayah.

A. Strategi Pembangunan Prasarana (Infrastructure Development Strategy)

Pembangunan prasarana mempunyai kegunaan eksternal bagi perekonomian


dalam arti manfaatnya dinikmati bersama-sama oleh masyarakat. Prasarana ekonomi
merujuk pada investasi yang berupa jalan umum, sistem pengangkutan, irigasi, sistem
pembuangan air dan pengendalian banjir, pelayanan air bersih dan sebagainya.

Prasarana sosial berupa investasi yang mempertinggi mutu sumberdaya manusia


untuk keikutsertaan mereka dalam pertumbuhan nasional dan wilayah yaitu kesehatan
masyarakat dan pendidikan masyarakat yang menjadi tugas pokok pemerintah.

B. Strategi Pembangunan yang Seimbang atau Tidak Seimbang (Balanced


or Unbalanced Growth Strategy)
Strategi pembangunan yang seimbang adalah melaksanakan pembangunan
sektor pertanian dan sektor industri secara serentak dan serempak. Sektor pertanian
diusahakan pada sebagian besar penduduk daerah pedesaan, komoditas yang dihasilkan
sub sektor tanaman pangan adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk
pedesaan dan perkotaan, serta digunakan sebagai bahan baku industri dan sebagian
lainnya diperdagangkan antar pulau dan diekspor. Sektor industri selain memberikan
lapangan pekerjaan juga meningkatkan nilai tambah (value added) terhadap produk yang
dihasilkan. Pembangunan sektor pertanian dan sektor industri akan memperkokoh struktur
perekonomian suatu wilayah.

Mengingat sumberdaya ekonomi di negara berkembang sangat terbatas,


pemerintah hanya dapat membiayai program pembangunan yang tidak seimbang. Dalam
strategi pembangunan tidak seimbang, harus diperhatikan pemilihan bidang usaha atau
sektor yang dapat memberikan daya imbas menumbuhkan bidang usaha atau sektor-sektor
lainnya dalam perekonomian. Konsep saling keterkaitan ekonomi antar sektor sangat
penting artinya dalam melaksanakan strategi pembangunan yang tidak seimbang.

C. Strategi Keseimbangan Antar Daerah (Interregional Equilibrium Strategy)

Keseimbangan antar daerah adalah salah satu tujuan strategi pembangunan yang
tidak berat sebelah. Pemerintah menyusun perencanaan pembangunan yang tidak
dipusatkan di suatu daerah (sub wilayah) melainkan dilakukan di beberapa daerah (sub
wilayah) tergantung pada besar kecilnya potensi sumberdaya dan kondisi geografis daerah-
daerah (sub-sub wilayah) yang bersangkutan. Keseimbangan antar daerah adalah penting
artinya bagi suatu wilayah atau negara yang luas. Sebaliknya tidak penting bagi sebuah
negara atau wilayah yang relatif kecil.

Dalam upaya mewujudkan keseimbangan antar daerah dapat dipilih strategi


pusat-pusat pertumbuhan (growth pole strategy). Pusat pertumbuhan adalah tempat
dilaksanakannya berbagai proyek pembangunan yang besar yang mempunyai daya tarik
dan daya dorong terhadap pengembangan industri-industri yang terkait, yang selanjutnya
keberhasilan pembangunan di kutub pertumbuhan disebarkan ke daerah-daerah di
sekitarnya sehingga pertumbuhan terjadi secara luas.

D. Strategi Pembangunan yang Berorientasi Ke Dalam dan Ke Luar (Inward-


Looking Development and Outward-Looking Development)

Strategi pembangunan berorientasi ke dalam ditujukan untuk memajukan sektor


industri di dalam wilayah untuk menggantikan perdagangan yang mendatangkan barang
dan jasa yang berasal dari luar wilayah, meskipun dimaklumi bahwa perdagangan luar
wilayah itu memainkan peranan sebagai pendukung strategi pembangunan yang
berorientasi ke dalam. Landasan penerapan strategi ini adalah kondisi dan potensi wilayah-
wilayah pada umumnya di negara-negara berkembang yang merupakan penghasil produk
atau komoditas sektor primer (sektor pertanian dalam arti luas, meliputi sub-sub sektor
pertanian tanaman pangan, perkebunan peternakan, perikanan dan kehutanan). Posisinya
dalam perdagangan nasional dan internasional menjadi relatif lemah menghadapi
persaingan masuknya barang-barang industri dari luar wilayah. Dalam jangka panjang nilai
tukar produk sektor primer lebih rendah dibandingkan produk sektor industri. Harga produk
industri naik lebih cepat dibandingkan produk primer, oleh karena itu perlu dikembangkan
pembangunan sektor industri (kecil dan menengah) untuk menggantikan barang-barang
industri yang didatangkan dari luar wilayah. Strategi pembangunan berorientasi ke dalam
disebut pula sebagai strategi "substitusi impor" (import substitution).

Sebaliknya strategi pembangunan yang berorientasi ke luar menganggap bahwa


perdagangan ke luar wilayah merupakan motor pertumbuhan. Perekonomian di dalam
wilayah dikembangkan ke arah pembangunan industri (kecil dan menengah) untuk
melayani pasar di luar wilayah. Barang-barang diproduksi dengan biaya murah karena
potensi sumberdaya yang dimiliki relatif besar sehingga wilayah yang bersangkutan
mempunyai daya saing yang tinggi. Keuntungan perdagangan ke luar wilayah dapat
digunakan untuk membayar pembelian barang dari luar wilayah.

E. Strategi Kebutuhan Pokok (Basic Needs Strategy)

Strategi kebutuhan pokok muncul karena kegagalan pembangunan ekonomi yang


telah dilaksanakan selama sekitar lima dasawarsa yang lalu ternyata tidak berhasil
mengentaskan kemiskinan lapisan masyarakat bawah. Di lain pihak dapat dikemukakan
bahwa manfaat pertumbuhan ekononi tidak "menetes ke bawah", dan hanya dinikmati oleh
lapisan masyarakat menengah dan atas yang umumnya berada di daerah perkotaan dan
pusat pertumbuhan, dan tidak menyebar ke lapisan masyarakat bawah yang berada baik di
daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan. Oleh karena itu perlu dilakukan
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ke seluruh wilayah dan ke seluruh lapisan
masyarakat miskin dengan menerapkan strategi kebutuhan pokok untuk mencapai sasaran
pembangunan yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

Secara konseptual, kebutuhan pokok meliputi dua unsur utama yaitu (1)
kebutuhan minimum keluarga untuk konsumsi pribadi yang meliputi pangan dalam jumlah
yang memadai, sandang, dan papan yang memadai, dan (2) pelayanan penting yang
disediakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti air bersih, listrik, sanitasi,
pengangkutan umum, kesehatan dan pendidikan.
Setiap stratregi pembangunan ekonomi yang diuraikan di atas pada dasarnya
menekankan perhatiannya kepada pentingnya pencapaian kemajuan ekonomi untuk
kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah dan antar wilayah. Penerapan masing-masing
strategi pembangunan tersebut harus disesuaikan dengan potensi kondisi, dan tingkat
perkembangan dari masing-masing wilayah yang bersangkutan.

2.1.3. Kerangka Pembangunan Koperasi

2.1.3.1. Ciri dan Prinsip Koperasi

Koperasi mempunyai ciri khusus yang fungsinya sangat penting dalam kehidupan
perkoperasian. Ciri khusus inilah yang membedakan koperasi dengan organisasi
perusahaan lainnya. Pakar koperasi Professor Hans H. Muenkner dari Universitas Philipps,
Marburg, Jerman, menyatakan bahwa ciri khusus koperasi menjadi pola hukum
perkoperasian. Menurut Prof. Muenkner (1998), ciri khusus koperasi adalah swadaya,
jumlah anggota yang berubah, perusahaan yang dibiayai dan diawasi bersama, dan
tujuannya meningkatkan kepentingan anggota. Ciri swadaya mencerminkan pengelolaan
sendiri oleh anggota sehingga setiap anggota berhak ikut serta dalam kepengurusan
koperasi, bertanggungjawab sendiri dalam hal kesinambungan keberadaan koperasi dan
akibat yang timbul dari kegiatan koperasi. Jumlah anggota yang berubah mencerminkan
keterbukaan bagi yang memiliki kepentingan yang sama atau altruisti. Ciri perusahaan
yang dibiayai dan diawasi bersama mencerminkan ciri pengurusan dan tanggungjawab
bersama. Ciri tujuan peningkatan kepentingan anggota mencerminkan promosi anggota
melalui pengurus dan manajer koperasi.

Berdasarkan ciri-ciri khusus koperasi tersebut, koperasi mempunyai prinsip atau


azas yang secara universal telah dirumuskan oleh International Cooperative Alliance (ICA)
pada kongres ICA tahun 1930 di Vienna. Prinsip-prinsip koperasi adalah keanggotaan,
sukarela dan terbuka. Kontrol demokratis melalui satu anggota satu suara (SASS),
sukubunga terbatas atas kapital, dividen atas pembelian, netral dalam poltik dan agama,
pembayaran tunai dalam pembelian dan penjualan, dan memajukan pendidikan. Prinsip-
prinsip ini diadopsi dari koperasi konsumsi Rochdale yang sangat berhasil di Jerman
sehingga disebut sebagai Rochdale Pioneers (Watkins, 1986). Di berbagai negara prinsip-
prinsip koperasi disesuaikan dengan karakteristik negara. Di Indonesia, prinsip-prinsip
koperasi hampir sama dengan Rochdale Pioneer dengan penyesuaian pada suku bunga
terbatas atas modal menjadi pembagian keuntungan koperasi menurut jasa anggota.

Atas dasar ciri dan prinsip koperasi, para ahli, pengamat, dan praktisi koperasi
meyakini bahwa koperasi akan mampu menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia
untuk mencapai cita-cita kemerdekaan. Ciri dan prinsip koperasi Indonesia mendasari
sistem pengelolaan sumberdaya Indonesia berdasarkan kekeluargaan dan demokratis
yang termuat dalam UUD 1945. Pada pasal 33 UUD 1945 secara jelas terungkap bahwa
pembangunan ekonomi Indonesia adalah untuk mencapai kemakmuran masyarakat, bukan
kemakmuran orang seorang. Bahkan pada era Orde Baru koperasi dinyatakan sebagai
sokoguru perekonomian Indonesia walaupun dalam prakteknya koperasi hanya sekedar
pelengkap saja karena yang makmur adalah orang seorang melalui perusahaan berbentuk
perseroran terbatas (PT) dan konglomerasi.

Koperasi sebagai tulang punggung perekonomian tidak lagi sekedar bentuk


perusahaan melainkan gagasan pembangunan ekonomi yang berdimensi makro. Masalah
membangun keadilan, kesejahteraan, dan pendapatan yang menjadi muatan
pembangunan nasional menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengembangan koperasi.
Oleh karena itu pembangunan wilayah yang merupakan bagian integral dari pembangunan
ekonomi semestinya juga ditinjau dari pembangunan koperasi.

2.1.3.2. Tinjauan Kebijakan

Menurut Prof Muenkner, prinsip-prinsip koperasi merupakan sistem hukum yang


mencakup gagasan yang abstrak yang diangkat dari pengalaman para koperator sebagai
pedoman yang paling sesuai dalam mendirikan koperasi. Namun. prinsip-prinsip yang
bersifat abstrak belum sepenuhnya dapat dioperasionalkan oleh para koperator di bawah
kondisi politik, sosial, budaya, dan ekonomi tertentu. Praktek-praktek koperasi
membutuhkan landasan hukum yang tepat dan tegas dalam bentuk undang-undang (UU).
Ketentuan dalam UU menjadi dasar mengelola koperasi dan menghasilkan kebijakan
pembangunan perkoperasian di Indonesia. UU nomor 12/1967 merupakan UU yang
melandasi pembangunan koperasi sejak Orde Baru berkuasa. UU ini memberikan
kesempatan pada pemerintah Orde Baru untuk ikut aktif melalui kebijakan dalam
pembangunan koperasi. Kemudian, UU nomor 12/1967 diubah menjadi UU nomor 25 tahun
1992 sebagai wujud dari keinginan pemangku kepentingan menyesuaikan perubahan dan
usulan pembaharuan UU koperasi pada seminar UU koperasi tahun 1984 di Singapura.

Berbagai kebijakan sebagai derivasi dari UU dikeluarkan oleh pemerintah.


Disamping itu untuk meningkatkan percepatan pembangunan, kabinet Indonesia berisikan
Kementerian KUKM. Dari berbagai kebijakan itu terlihat bahwa orientasi pembangunan
koperasi lebih pada memperkuat kelembagaan dan usaha koperasi dengan harapan dapat
meningkatkan ekonomi rakyat. Pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan menyangkut
keberadaan koperasi di daerah dengan upaya memberikan penilaian. Terakhir, pemerintah
melalui Kementerian Negara KUKM mengeluarkan kebijakan Peraturan Menteri (Permen)
KUKM nomor 06/Per/M.KUKM//V/2006 tentang Pedoman Penilaian Koperasi/Koperasi
Award dan Permen nomor 03/Per/14-KUKM/I/2007 tentang Pedoman Penilaian
Provinsi/Kabupaten/ Kota Koperasi.

Permen nomor 06/2006 dikeluarkan untuk menyemarakkan peringatan Hari


Koperasi setiap tanggal 12 Juli. Kebijakan ini lebih merupakan kontes antar koperasi yang
juaranya diberikan Koperasi Award. Permen 03/2007 bertujuan untuk meningkatkan peran
pemerintah daerah dalam pemberdayaan koperasi. Dari sisi tujuannya, kebijakan ini
secara normatif cukup menjanjikan peningkatan peran, tetapi esensi kebijakan ini lebih
pada kontes antar daerah untuk memperoleh award juga. Permen 03/2007 telah mengatur
penilaian sebanyak 19 variabel, yakni kelembagaan koperasi, keanggotaan koperasi,
penyerapan tenagakerja, penyebaran koperasi aktif per kecamatan, penilaian koperasi
berprestasi, koperasi berkualitas, modal sendiri, volume usaha, sisa hasil usaha, modal luar
koperasi, asset, struktur permodalan, kesehatan KSP/USP, kontribusi koperasi dalam PAD,
animo dan peran serta masyarakat berkoperasi di desa tertinggal, kontribusi koperasi
terhadap pengembangan kualitas lingkungan, representasi perempuan dalam manajemen,
kerjasama antar koperasi dan badan usaha lain, dan akses pembiayaan koperasi pada
bank pembangunan.

Kebijakan tersebut kalau untuk tujuan kontes cukup memadai. Namun untuk
kepentingan pembangunan, secara prinsip dan metodologis masih perlu dipertanyakan.
Kelemahan penilaian terletak pada tujuan, variabel, model, dan metode. Tujuan penilaian
lebih pada kontes untuk memperoleh penghargaan. Variabel lebih pada dimensi mikro,
belum pada dimensi makro yang mencerminkan pembangunan, skor merupakan penilaian
nominal, dan modelnya tidak integratif. Oleh karena itu penilaian yang mencerminkan
keterkaitan pembangunan koperasi dengan daerah masih perlu dikembangkan sehingga
diperoleh kondisi yang merangsang kompetisi antar daerah.

2.1.4. Pilihan Model Pembangunan Koperasi dan Wilayah

Bahasan teori-teori dan empiris baik terhadap pembangunan dan pertumbuhan


wilayah maupun pembangunan koperasi yang dijelaskan di atas menghasilkan variabel
atau indikator-indikator pada masing-masing bidang. Variabel atau indikator tersebut
merupakan sebuah unit yang digunakan untuk mengukur perkembangan dan kontribusi dari
masing-masing bidang. Selain itu bahasan teori menghasilkan model-model pembangunan
wilayah dan koperasi dan strategi serta kebijakan yang dapat diimplementasikan dalam
dunia nyata. Berdasakan bahasan teori dan empiris tersebut, berikut ini diberikan model
teoritis pembangunan koperasi dan pembangunan wilayah sebagai sebuah kerangka
berpikir untuk menemukan variabel atau indikator-indikator terukur dalam model
pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi.

Teori dan Prinsip Kelembagaan Indikator Utama


Koperasi Koperasi

Anggota
Lembaga
1. Teori Lembaga Volume usaha
Ekonomi Usaha Permodalan
Kesempatan
Gambar 4. Model Kerangka Pikir Pembangunan Koperasi

Teori
Pembangunan Model Indikator Utama
Wilayah Pembangunan
Wilayah
Pendapatan
1. Klasik agregat (PDB,
2. Neo Klasik Model I PDRB)
3. Keynesian Pertumbuhan
4. Basis Ekspor Model II ekonomi
5. Sektoral Model III Kesempatan kerja
6. Struktural Ekspor
7. Kausasi Model IV Investasi
Kumulatif Pemerataan
8. Lokasi dan Sumberdaya
Aglomerasi manusia
9. Tempat Kesehatan &
Sentral pendidikan
10. Growth Pole Penduduk
Dunia usaha
Strategi : Infrastruktur

Pembangunan prasarana
Pembangunan seimbang atau
tak seimbang
Keseimbangan daerah
Orientasi ke dalam dan ke luar
Kebutuhan pokok.

Gambar 5. Model Kerangka Pikir Pembangunan Wilayah

2.1.5. Tinjauan Arti Penting Pemeringkatan

Informasi menyangkut pemeringkatan telah menjadi kebutuhan penting tidak


hanya bagi pemerintah tetapi juga swasta. Hal ini terjadi karena perubahan tatanan
perekonomian dunia dewasa ini yang ditandai oleh globalisasi. Implikasi ekonomi dari
globalisasi adalah kompetisi. Baik negara maupun perusahaan harus mampu
meningkatkan kemampuan kompetisi agar mampu memainkan peran lebih tinggi dalam
perekonomian. Kemampuan negara, perusahaan, dan individu meningkatkan kompetisi
sangat tergantung pada pengetahuan menyangkut posisi masing-masing dalam
interaksinya baik secara global, nasional, regional, maupun lokal.

Dalam rangka itu pula berbagai upaya pemeringkatan telah dilakukan oleh
lembaga internasional dan nasional. The International Management Development (IMD)
yang berkedudukan di Lausanne, Swiss, setiap tahunnya menerbitkan rating dan
pemeringkatan dayasaing negara-negara. The Political and Economic Risk Country (PERC)
selalu menerbitkan posisi negara-negara dalam hal resiko. The Standard & Poor (SP) dan
Moody di Hongkong selalu menerbitkan rating negara-negara dalam bidang finansial.
UNCTAD di Genewa dalam laporan tahunannya dalam buku the World Investment Report
(WIR) memeringkat negara-negara dalam menarik investasi asing (FDI) setiap tahunnya.
Business Monitor International (BMI) di Singapura menerbitkan pemeringkatan negara-
negara dalam hal resiko ekonomi dan politik. Para pengamat dan pakar juga berupaya
menerbitkan analisis menyangkut posisi perusahaan. Pada tahun 2006, dalam majalah
semi ilmiah Infokop, Johnny W. Situmorang dkk., telah berupaya memperkenalkan
prototipe model pemeringkatan koperasi berdasarkan cooperative membership dignity di
Kabupaten Bandung serta memeringkat propinsi dan sektor perekonomian dalam menarik
PMDN dan PMA berdasarkan Regional Investment Performance Index (RIPI).

Tidak hanya dalam bidang ekonomi, pemeringkatan dalam bidang politik dan
sosial juga telah menjadi sumber informasi bagi pemangku kepentingan. The Transparency
International (TI) menerbitkan peringkat negara-negara dalam hal korupsi dan transparansi.
Lembaga sumberdaya manusia menerbitkan indeks pembangunan sumberdaya manusia.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) menjadi rujukan dalam melihat arah perkembangan politik
dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia. Lembaga riset Danareksa (dRI) juga
berusaha menerbitkan rating kinerja perusahaan di Indonesia.

Hasil publikasi setiap lembaga pemeringkat sangat mempengaruhi proses


pembangunan. Misalnya, IMD menempatkan Indonesia pada posisi ke-47 dari 49 negara
pada tahun 2002 dalam dayasaing global. BMI menempatkan Indonesia pada peringkat
ke-88 dari 131 negara dalam resiko ekonomi serta peringkat ke-87 dari 125 negara dalam
hal resiko politik. Pada tahun 2003, TI menempatkan Indonesia pada posisi ke-122 dari
133 negara dalam hal korupsi. Lembaga dRI menerbitkan rating Indonesia yang lemah
berdasarkan Indeks Kinerja Perusahaan (IKP). Para pengambil keputusan segera berreaksi
dan mengevaluasi kembali kebijakannya apabila hasil pemeringkatan menunjukkan
posisinya rendah. Disamping itu pula citra negara dan bangsa atau lembaga yang menjadi
obyek pemeringkatan sangat terpengaruh oleh hasil pemeringkatan. Bank Mandiri dengan
bangga mempublikasikan hasil pemeringkatan layanan prima oleh MRI (Marketing
Research Indonesia) selama tahun 2003-2006 melalui iklan di Harian Media Indonesia (1
Mei 2007). Peringkat Bank Mandiri naik dari posisi ke-16 tahun 2003 menjadi posisi ke-12
tahun 2004, ke-3 tahun 2005, dan ke-2 tahun 2006. Manajemen Bank Mandiri menyatakan
bahwa naiknya peringkat Bank Mandiri merupakan persembahan kepada konsumen untuk
selalu memperbaiki dan menyempurnakan layanan kepada nasabah. Hasil pemeringkatan
menjadi salah satu faktor penting yang menjadi perhatian bagi negara, perusahaan, dan
lembaga internasional dalam membangun hubungan dengan negara atau lembaga tertentu.
Hal itu terlihat jelas pada setiap pertemuan dalam the World Economic Forum (WEF) dan
the World Social Forum (WSF) juga dalam forum WTO dan multilateral lainnya, seperti IMF,
Bank Dunia, dan forum kerjasama regional.

Kekuatan dari pemeringkatan sangat tergantung pada metodologi. Indikator dan


model analisis menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam upaya pemeringkatan. Indikator
tidak hanya menyangkut ekonomi tetapi juga non-ekonomi dan semua indikator harus
terukur. Pada umumnya dengan banyaknya indikator yang digunakan dalam
pemeringkatan, metode penentuan akhir yang lazim digunakan adalah metode indeks. IMD
misalnya, menggunakan empat indikator yakni aspek bisnis, ekonomi, birokrasi, dan
infrastukrur. Pembangunan sumberdaya manusia, konsumen retensi, cooperative
membership dignity, dan lainnya juga menggunakan metode indeks.

Dengan memperhatikan TOR, sangat jelas tercantum dalam masalah dan tujuan
studi bahwa indikator dan rumusan model menjadi output dari studi ini. Oleh karena itu
pengembangan indikator yang menyangkut pembangunan koperasi harus sudah jelas
terlihat dalam studi ini.

2.2. Ruang Lingkup

Sejalan dengan TOR, ruang lingkup kegiatan mencakup kegiatan itu sendiri, waktu
pelaksanaan, dan tahapan kajian. Lingkup kegiatan mengenai inventarisasi pembangunan
ekonomi dan wilayah adalah data dan inventarisasi informasi pembangunan regional dan
nasional menurut teori dan praktek pembangunan ekonomi. Menyangkut gambaran
administrasi pemerintahan dan pembangunan adalah informasi kebijakan dan praktek
pemerintahan dan pembangunan. Menyangkut perkoperasian adalah informasi mengenai
perkembangan koperasi berdasarkan data agregat propinsi. Menyangkut teknik penetapan
peringkat daerah dalam pembangunan adalah dalam proses penetapan indikator dan
model yang melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan.

Lingkup kegiatan dikaitkan dengan lokasi maka sesuai dengan perumusan dan
penetapan indikator dan bobotnya, akan dilakukan dua tahapan operasional kegiatan.
Tahap Pertama adalah menjaring, menentukan, dan menetapkan indikator dan bobot
indikator dengan cara Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan di Jakarta. Para
pemangku kepentingan dari sisi swasta adalah gerakan koperasi, pengamat pembangunan
dan koperasi, akademisi, Kadin yang membidangi UKM, dan dari pihak pemerintah adalah
birokrat yang terkait langsung dengan pembangunan koperasi. FGD menghasilkan bobot
indikator. Metode pembobotan dilakukan dengan metode Delphi. Tahap Kedua adalah
tahap survey. Survey mengumpulkan data dilaksanakan di 5 (lima) propinsi sebagai sampel
uji sahih. Pengumpulan data dan informasi dilakukan di masing-masing ibukota propinsi.
Survey menghasilkan data untuk menentukan parameter dan indeks indikator.

Menyangkut lingkup waktu dinyatakan selama satu tahun pada tahun anggaran
2007. Mengingat proses penentuan pelaksana kegiatan pada tahun 2007 telah masuk
pada bulan Mei, secara praktis kegiatan ini dilaksanakan dalam masa enam bulan, sejak
bulan Juli sampai Desember 2007. Lingkup kerja menyangkut tahapan kajian terdiri dari
delapan tahapan, yakni pembahasan dan penyempurnaan TOR, penyusunan dan
pembahasan riset disain, inventarisasi peta perkoperasian, inventarisasi indikator
pembangunan perkoperasian melalui temu pakar, pembobotan indikator melalui FGD,
diskusi dan perumusan model, uji sahih model, dan rekomendasi. Tahapan ini cukup jelas.
Pembahasan dan penyempurnaan TOR, telah dilaksanakan baik secara internal maupun
eksternal dengan melibatkan calon pelaksana. Selebihnya dilaksanakan setelah pelaksana
kegiatan ditetapkan oleh otoritas pelelangan. Pembahasan riset desain, kuesioner, laporan
sementara, dan laporan akhir dilaksanakan bersama dengan Kementerian KUKM, Deputi
Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, kegiatan selebihnya oleh pelaksana kegiatan.

Anda mungkin juga menyukai