Kerangka Pikir
Empat komponen utama dalam penyusunan kerangka pikir studi ini adalah (1)
konsepsi model, (2) kerangka pembangunan wilayah, (3) kerangka pembangunan koperasi
yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan wilayah, dan (4) formulasi
model integratif pembangunan koperasi dengan wilayah. Secara teori dan empiris keempat
aspek tersebut dijelaskan berturut-turut di bawah ini.
Studi ini merupakan sebuah studi model untuk pemeringkatan daerah dalam
pembangunan koperasi. Karena itu yang hendak dihasilkan adalah sebuah model yang
terukur setelah melalui uji sahih untuk mendapatkan peringkat daerah dalam pembangunan
koperasi. Secara teoritis, sebuah model merupakan abstraksi dari dunia nyata. Begitu
kompleksnya dunia nyata karena mengandung sangat banyak indikator dan permasalahan
sehingga suatu studi tidak mungkin mampu menyelesaikan semua aspek yang kompleks.
Model memberikan solusi atas kekompleksan dunia nyata agar diperoleh hasil yang
memadai untuk kepentingan pengambilan keputusan (Taha, 1982; Bronson, 1982; Nasendi
dan Anwar, 1985; Johnson, 1986; Dimiyati dan Dimiyati, 1987; Makridakis dan Wheelright,
1989; Mulyono, 1999).
Menurut Taha (1982), Nasendi dan Anwar (1985), dan Muyono (1999) bahwa
pengambilan keputusan adalah suatu proses yang dikembangkan secara bertahap dan
sistematis yang bermakna memiliki kriteria yang sistematis melalui prosedur tertentu yang
jelas dan teratur. Kriteria yang baik memenuhi tiga syarat, yakni (1) mempunyai ukuran
yang jelas, (2) dapat dipergunakan untuk menilai berbagai alternatif pilihan, dan (3) mudah
dihitung dan dijabarkan. Untuk proses itu sampai pada pengambilan keputusan,
dibutuhkanlah model.
Suatu model yang baik harus memenuhi tiga persyaratan, yakni (1) kesesuaian,
model harus mampu merangkum unsur-unsur pokok dari persoalan yang dihadapi,
(2) kesederhanaan, model harus sesuai dengan kemampuan dan kepentingan, dan
(3) keserasian, model harus mampu mengesampingkan hal-hal yang tak berguna.
Berdasarkan tipe, dimensi, fungsi, tujuan, dan tingkat abstraksinya, terdapat tiga jenis
model, yakni Model Ikonik, Model Analog, dan Model Matematika. Model Ikonik adalah
model yang berdimensi dua atau tiga yang merupakan ikon dari suatu obyek, misalnya
fotograf, bumi, dan mobil. Model Analog adalah analogi dari persoalan atau fenomena
yang terjadi secara dinamis, misalnya warna peta dan kurva. Model Matematika atau
Simbolik adalah merupakan model abstrak karena menggunakan simbol matematika
mewakili dunia nyata yang kompleks. Model Matematika terdiri dari dua kelompok yakni
model deterministik yang menggunakan data pada kondisi tertentu (certainty) dan model
stokhastik yang menggunakan data dalam kondisi probabilistik. Dengan memperhatikan
permasalahan dan tujuan riset, studi ini menggunakan Model Matematika yang bersifat
deterministik sebagai dasar analisis.
Dalam proses pengambilan keputusan dapat menggunakan berbagai macam
model, tergantung kepada tujuan pengambilan keputusan. Secara umum model dapat
dibedakan atas model kualitatif dan kuantitatif. Model kualitatif pada umumnya
menggunakan skala ordinal dan nominal, paling sering dipergunakan dalam ilmu sosial,
budaya, dan politik. Misalnya, smoothing factor untuk melakukan peramalan. Model
kuantitatif lebih menggunakan skala interval dan rasio dan juga dapat menggabungkan
skala ordinal dan nominal. Model yang termasuk dalam kuantitatif adalah ekonometrika dan
linear programming. Model ekonometrika biasanya digunakan untuk peramalan atau
prediksi dengan tingkat akurasi tinggi. Sementara model linear programming digunakan
untuk mengetahui optimalisasi alokasi sumberdaya. Dalam rangka membangun
benchmarking kapasitas kreatif suatu entitas negara atau wilayah, Bowen et al., (2006)
menerapkan model composite index of the creative economi untuk melihat best practices
regional. Berdasarkan pengalaman lembaga internasional dalam pemeringkatan negara-
negara dan juga sebagaimana kajian Bowen et al., studi pemeringkatan ini lebih tepat
menggunakan model kuantitatif berdasarkan analisis indeks.
Aliran Klasik dipelopori oleh Adam Smith pada akhir abad ke-18 berpendapat
bahwa tingkat output dan harga keseimbangan hanya dapat dicapai bila perekonomian
berada pada tingkat kesempatan kerja penuh (full employment) dan keseimbangan dengan
tingkat kesempatan kerja penuh itu hanya dapat dicapai melalui bekerjanya mekanisme
pasar secara bebas (free operation of market mechanism). Pertumbuhan ekonomi
disebabkan oleh faktor akumulasi modal dan perkembangan jumlah penduduk. Dengan
adanya akumulasi modal akan memungkinkan dilaksanakannya spesialisasi atau
pembagian kerja sehingga produktivitas tenaga kerja dapat ditingkatkan. Dampaknya akan
mendorong penambahan investasi (pembentukan modal) dan persediaan modal (capital
stock) yang selanjutnya diharapkan akan meningkatkan pendapatan.
Aliran Neo Klasik menggantikan aliran Klasik. Ahli-ahli Neo Klasik banyak
menyumbangkan pemikiran mengenai teori pertumbuhan ekonomi, yaitu sebagai berikut:
Meskipun model pertumbuhan Neo Klasik telah digunakan secara luas dalam
analisis regional namun beberapa asumsinya tidak tepat, yakni (a) full employment yang
terus menerus tidak dapat diterapkan pada sistem multi-regional dimana persoalan-
persoalan regional timbul disebabkan karena perbedaan-perbedaan geografis dalam hal
tingkat penggunaan sumberdaya, dan (b) persaingan sempurna tidak dapat diberlakukan
pada perekonomian dan spasial.
Tingkat pertumbuhan terdiri dari tiga sumber, yaitu akumulasi penawaran tenaga
kerja, modal dan kemajuan teknik. Model Neo Klasik menarik perhatian ahli-ahli teori
ekonomi regional karena mengandung teori tentang mobilisasi faktor. Implikasi dari
persaingan sempurna adalah modal dan tenaga kerja yang berpindah apabila balas jasa
faktor-faktor tersebut berbeda-beda. Modal akan mengalir dari daerah yang mempunyai
tingkat biaya tinggi ke daerah yang mempunyai tingkat biaya rendah karena keadaan ini
memberikan suatu penghasilan (return) yang lebih tinggi. Tenaga kerja yang kehilangan
pekerjaan akan pindah ke daerah lain yang mempunyai lapangan kerja baru yang
merupakan pendorong untuk pembangunan di daerah tersebut.
Bersamaan dengan masa depresi yang melanda dunia tahun 1930-an muncullah
pemikiran John Maynard Keynes yang mengemukakan perubahan besar. Keynes dalam
bukunya yang berjudul General Theory of Employment, Interest and Money (1936)
menyatakan bahwa karena upah bergerak lamban maka sistem kapitalisme tidak akan
secara otomatis akan mencapai kepada keseimbangan penggunaan tenaga kerja penuh
(full-employment equilibrium). Karena itu akibat yang ditimbulkan saat itu adalah
pengangguran yang sangat berlebih yang mana dapat diperbaiki melalui kebijakan fiskal
atau moneter untuk meningkatkan permintaan agregat.
Aliran Pasca Keynes memperluas teori Keynes menjadi teori output dan
kesempatan kerja dalam jangka panjang yang menganalisis fluktuasi jangka pendek untuk
mengetahui adanya perkembangan jangka panjang. Beberapa persoalan penting dalam
analisis Pasca Keynes adalah:
Apabila jumlah penduduk bertambah maka pendapatan per kapita akan berkurang
kecuali bila pendapatan riil juga bertambah. Selanjutnya bila angkatan kerja berkembang
maka output harus bertambah juga untuk mempertahankan kesempatan kerja penuh. Bila
terjadi investasi maka pendapatan riil harus bertambah pula untuk mencegah terjadinya
kapasitas yang menganggur (idle capacity).
Teori basis ekspor adalah bentuk model pendapatan yang paling sederhana. Teori
ini menyederhanakan suatu sistem regional menjadi dua bagian yaitu daerah yang
bersangkutan dan daerah-daerah lainnya. Masyarakat di dalam satu wilayah dinyatakan
sebagai suatu sistem sosial ekonomi. Sebagai suatu sistem, keseluruhan masyarakat
melakukan perdagangan dengan masyarakat lain di luar batas wilayahnya. Faktor penentu
(determinan) pertumbuhan ekonomi dikaitkan secara langsung kepada permintaan akan
barang dari daerah lain di luar batas masyarakat ekonomi regional. Pertumbuhan industri
yang menggunakan sumberdaya lokal termasuk tenaga kerja dan material (bahan) untuk
komoditas ekspor, akan meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat.
Aktivitas basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (primer mover) dalam
pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain akan
semakin maju pertumbuhan wilayah tersebut, dan demikian sebaliknya. Setiap perubahan
yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dalam
perekonomian regional.
Untuk menganalisis basis ekonomi suatu wilayah, salah satu teknik yang lazim
digunakan adalah location quotient (LQ). Teknik LQ digunakan untuk mengetahui seberapa
besar tingkat spesialisasi sektor-sektor basis atau unggulan (leading sectors). Dalam teknik
LQ berbagai peubah (faktor) dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan wilayah
misalnya kesempatan kerja (tenaga kerja) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
suatu wilayah.
Analisis location quotient merupakan suatu alat yang dapat digunakan dengan
mudah, cepat dan tepat. Karena kesederhanaannya, teknik LQ dapat dihitung berulang kali
dengan menggunakan berbagai peubah acuan dan periode waktu. Location quotient
merupakan rasio antara jumlah tenaga kerja pada sektor tertentu (misalnya industri) atau
PDRB terhadap total jumlah tenaga kerja sektor tertentu (industri) atau total nilai PDRB di
suatu daerah (kabupaten) dibandingkan dengan rasio tenaga kerja dan sektor yang sama
di propinsi dimana kabupaten tersebut berada dalam lingkupnya. Perhitungan LQ dapat
dilakukan pula untuk membandingkan indikator di tingkat propinsi dengan di tingkat
nasional.
V1R / V R
LQ =
V1 / V
dimana :
Jika LQ lebih besar dari 1, sektor tersebut merupakan sektor basis, artinya
tingkat spesialisasi kabupaten lebih tinggi dari tingkat propinsi.
Jika LQ lebih kecil dari 1, merupakan sektor non basis, yaitu sektor yang
tingkat spesialisasinya lebih rendah dari tingkat propinsi.
Salah satu teori pertumbuhan wilayah yang paling sederhana adalah teori sektor.
Teori ini dikembangkan berdasarkan hipotesis Clark-Fisher yang mengemukakan bahwa
kenaikan pendapatan per kapita akan dibarengi oleh penurunan dalam proporsi
sumberdaya yang digunakan dalam sektor pertanian (sektor primer) dan kenaikan dalam
sektor industri manufakfur (sektor sekunder) dan kemudian dalam industri jasa (sektor
tersier). Laju pertumbuhan dalam sektor yang mengalami perubahan (sector shift),
dianggap sebagai determinan utama dari perkembangan suatu wilayah.
Alasan dari perubahan atau pergeseran sektor tersebut dapat dilihat dari sisi
permintaan dan sisi penawaran. Pada sisi permintaan, yaitu elastisitas pendapatan dari
permintaan untuk barang dan jasa yang disuplai oleh industri manufaktur dan industri jasa
adalah lebih tinggi dibandingkan untuk produk-produk primer. Maka pendapatan yang
meningkat akan diikuti oleh perpindahan (realokasi) sumberdaya dari sektor primer ke
sektor manufaktur dan sektor jasa. Sisi penawaran yaitu realokasi sumberdaya tenaga
kerja dan modal dilakukan sebagai akibat dari perbedaan tingkat pertumbuhan produktivitas
dalam sektor-sektor tersebut. Kelompok sektor-sektor sekunder dan tersier menikmati
kemajuan yang lebih besar dalam tingkat produktivitas. Hal ini akan mendorong
peningkatan pendapatan dan produktivitas yang lebih cepat (kombinasi dari keduanya
misalnya dalam skala ekonomi), karena produktivitas yang lebih tinggi baik untuk tenaga
kerja maupun untuk modal, dan penghasilan yang lebih tinggi tersebut memungkinkan
untuk melakukan realokasi sumberdaya.
c. Dengan bertambah majunya perdagangan antar wilayah maka wilayah yang maju
akan memprioritaskan pada pengembangan sub sektor tanaman pangan, selanjutnya
diikuti oleh sub-sub sektor peternakan dan perikanan.
Tanpa memandang industri itu berkembang cepat atau lamban, yang penting
diukur adalah proporsi atau kontribusi sektor industri di masing-masing wilayah terhadap
total industri nasional (indikator pertumbuhan lain misalnya penduduk dan pendapatan).
Analisis kontribusi (share analysis) ini memberikan gambaran struktur suatu wilayah secara
statis. Upaya untuk mengkaji struktur wilayah secara dinamis adalah menerapkan shift
analysis (analisis pergeseran). Analisis ini membandingkan perubahan regional yang terjadi
di suatu wilayah antara dua titik waktu tertentu dan khususnya mengkonsentrasikan pada
apakah perubahan regional itu lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan perubahan
rata-rata nasional (yaitu apakah terjadi pergeseran atau perubahan yang menaik atau
menurun).
Tahun 1955, sepuluh tahun setelah Perang Dunia II berakhir Gunnar Myrdal
mengemukakan tiga kesimpulan penting yaitu:
a. Dunia dihuni oleh segelintir negara-negara yang sangat kaya dan sejumlah besar
negara-regara yang sangat miskin.
b. Negara-negara kaya melaksanakan pola perkembangan ekonomi yang terus menerus
sedangkan negara-negara miskin mengalami perkembangan yang sangat lamban dan
bahkan ada yang mandeg.
Ada dua asumsi pokok yang tidak realistis yang melemahkan teori ekonomi
tradisional untuk menjelaskan ketidakmerataan itu yaitu : pertama, adalah keseimbangan
stabil (stable equilibrium) artinya sistem perekonomian pasar selalu bergerak menuju
kepada keseimbangan, dan kedua, analisis ekonomi dibatasi pada faktor-faktor ekonomi
saja akibatnya variabel-variabel non-ekonomi diperlakukan sebagai data yang sudah
tertentu (ceteris paribus). Sedangkan antara faktor ekonomi dan faktor non-ekonomi
terdapat saling keterkaitan dan saling pengaruh yang bersifat sirkuler satu sama lain.
1. Teori Lokasi
Dari sekian banyak teori lokasi dan teori perwilayahan yang telah ada, beberapa di
antaranya yang dianggap penting yaitu Von Thunen (1826), A. Weber (1909), W. Christaller
(1933), A. Losch (1944), F. Perroux (1955), W. Isard (1956), dan J. Friedmann (1964). Von
Thunen telah mengembangkan hubungan antara perbedaan lokasi pada tata ruang (spatial
location) dan pola penggunaan lahan. Menurut von Thunen jenis pemanfaatan lahan
dipengaruhi oleh tingkat sewa lahan dan didasarkan pula pada aksesibilitas relatif. Lokasi
berbagai jenis produksi pertanian (seperti menghasilkan tanaman pangan, perkebunan, dan
sebagainya) ditentukan oleh kaitan antara harga barang-barang hasil dalam pasar dan
jarak antara daerah produksi dengan pasar penjualan. Kegiatan yang mampu
menghasilkan panen fisik tertinggi per hektar akan ditempatkan pada kawasan konsentris
yang pertama di sekitar kota, karena keuntungan yang tinggi per hektar memungkinkan
untuk membayar sewa lahan yang tinggi. Kawasan produksi berikutnya kurang intensif
dibandingkan dengan kawasan produksi yang pertama, demikian seterusnya.
Analisis penentuan lokasi optimum seperti dikemukakan oleh von Thunen telah
mendapat perhatian oleh Alfred Weber. Weber menekankan pentingnya biaya transportasi
sebagai faktor pertimbangan lokasi. Teori Weber sebenarnya menekankan dua kekuatan
lokasional primer yaitu selain orientasi transportasi juga orientasi tenaga kerja. Weber telah
mengembangkan pula dasar-dasar analisis wilayah pasar dan merupakan seorang ahli
teori lokasi yang pertama membahas mengenai aglomerasi. Pemikiran Weber telah
memberikan sumbangan ilmiah dalam banyak aspek diantaranya penentuan lokasi yang
optimal dan kontribusinya yang esensial dalam pengembangan wilayah yaitu mengenai
munculnya pusat-pusat kegiatan ekonomi (industri).
Konsepsi Perroux merupakan langkah utama untuk memberi bentuk konkrit pada
aglomerasi. Ia menyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi di segala
tempat akan tetapi hanya terbatas pada beberapa tempat tertentu. Ia lebih memberikan
tekanan pada aspek konsentrasi proses pembangunan dan menganggap industri
pendorong (propulsive industries) sebagai titik awal perubahan unsur yang esensial untuk
menunjang pembangunan selanjutnya. Meskipun teori kutub pertumbuhan ini berguna
untuk menguji atau membandingkan konsekuensi yang berbeda-beda dari pemilihan
alternatif lokasi akan tetapi teori tersebut tidak dikategorikan sebagai teori lokasi.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemilihan lokasi suatu industri atau
unit produksi pada umumnya dikaitkan dengan lokasi sumber bahan mentah dan wilayah
pasarnya. Kriteria penentuan yang digunakan bermacam-macam yaitu biaya transportasi
terendah, sumber tenaga kerja yang relatif murah, ketersediaan sumberdaya air, energi
ataupun daya tarik lainnya berupa penghematan-penghematan lokasional dan
penghematan-penghematan aglomerasi. Dimensi wilayah dan aspek tata ruang telah
dimasukkan sebagai variabel tambahan yang penting dalam kerangka teori pembangunan.
PB
Rank 4 cities
Rank 5 cities
Sumbangan positif teori tempat sentral adalah teori tersebut relevan bagi
perencanaan kota dan wilayah karena sistem hierarki pusat merupakan sarana yang efisien
untuk perencanaan wilayah. Distribusi tata ruang dan besarnya pusat-pusat kota
merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur wilayah nodal dan melahirkan
konsep-konsep dominasi dan polarisasi.
1. Industri pendorong harus relatif besar kapasitasnya agar mempunyai pengaruh kuat
baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dari sisi tata ruang geografis, industri-industri pendorong dan industri-industri yang
dominan mendorong terjadinya aglomerasi-aglormerasi pada kutub-kutub pertumbuhan
dimana mereka berada. Jelaslah bahwa industri pendorong mempunyai peranan penting
dalam proses pertumbuhan ekonomi.
2.1.2.2. Model Pembangunan Ekonomi Wilayah
1. Model I, menitik beratkan pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), model ini
berkembang pada dekade tahun 1950-an dan tahun 1960-an.
2. Model II, menitik beratkan pada pemerataan dan pemenuhan kebutuhan pokok,
berkembang pada dekade tahun 1970-an.
3. Model III, menitik beratkan pada pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM),
berkembang pada dekade tahun 1980-an.
4. Model IV, berkembang pada akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21 dimana
dunia mengalami perubahan yang sangat mendasar yaitu memasuki era globalisasi
dan liberalisasi, perdagangan bebas dan persaingan bebas antar negara akan
menjadi ketat maka diperlukan penguatan daya saing ekonomi masing-masing
wilayah.
1. Model Pembangunan I
2. Model Pembangunan II
Kebutuhan pokok yang dirumuskan terdiri dari dua unsur utama yaitu (1)
kebutuhan minimum keluarga untuk konsumsi pribadi yang meliputi pangan dalam jumlah
yang memadai, tempat tinggal (papan), sandang, dan (2) pelayanan penting yang
disediakan untuk masyarakat seperti air minum, sanitasi, pengangkutan umum, fasilitas
kesehatan dan pendidikan. Model pembangunan ini mengisyaratkan adanya desentralisasi
dan pembangunan aparat lokal (decentralization and local institution development).
Penguatan aparat pemerintah lokal harus mendapat perhatian serius untuk menunjang
pelaksanaan model pembangunan ini. Aspek kelembagaan tidak boleh diabaikan dan harus
diberikan penekanan secara proporsional dan profesional.
4. Model Pembangunan IV
Model pembangunan ini menekankan pada sasaran peningkatan daya saing dan
ketahanan manajemen pemerintahan dan pembangunan yang mampu menghadapi
perkembangan dan tantangan. Demikian pula masyarakat mampu menangkap dan
memanfaatkan peluang internal maupun eksternal. Salah satu strategi yang sangat penting
untuk mencapai sasaran pembangunan ekonomi wilayah yaitu peningkatan daya saing di
bidang ekonomi.
Keseimbangan antar daerah adalah salah satu tujuan strategi pembangunan yang
tidak berat sebelah. Pemerintah menyusun perencanaan pembangunan yang tidak
dipusatkan di suatu daerah (sub wilayah) melainkan dilakukan di beberapa daerah (sub
wilayah) tergantung pada besar kecilnya potensi sumberdaya dan kondisi geografis daerah-
daerah (sub-sub wilayah) yang bersangkutan. Keseimbangan antar daerah adalah penting
artinya bagi suatu wilayah atau negara yang luas. Sebaliknya tidak penting bagi sebuah
negara atau wilayah yang relatif kecil.
Secara konseptual, kebutuhan pokok meliputi dua unsur utama yaitu (1)
kebutuhan minimum keluarga untuk konsumsi pribadi yang meliputi pangan dalam jumlah
yang memadai, sandang, dan papan yang memadai, dan (2) pelayanan penting yang
disediakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti air bersih, listrik, sanitasi,
pengangkutan umum, kesehatan dan pendidikan.
Setiap stratregi pembangunan ekonomi yang diuraikan di atas pada dasarnya
menekankan perhatiannya kepada pentingnya pencapaian kemajuan ekonomi untuk
kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah dan antar wilayah. Penerapan masing-masing
strategi pembangunan tersebut harus disesuaikan dengan potensi kondisi, dan tingkat
perkembangan dari masing-masing wilayah yang bersangkutan.
Koperasi mempunyai ciri khusus yang fungsinya sangat penting dalam kehidupan
perkoperasian. Ciri khusus inilah yang membedakan koperasi dengan organisasi
perusahaan lainnya. Pakar koperasi Professor Hans H. Muenkner dari Universitas Philipps,
Marburg, Jerman, menyatakan bahwa ciri khusus koperasi menjadi pola hukum
perkoperasian. Menurut Prof. Muenkner (1998), ciri khusus koperasi adalah swadaya,
jumlah anggota yang berubah, perusahaan yang dibiayai dan diawasi bersama, dan
tujuannya meningkatkan kepentingan anggota. Ciri swadaya mencerminkan pengelolaan
sendiri oleh anggota sehingga setiap anggota berhak ikut serta dalam kepengurusan
koperasi, bertanggungjawab sendiri dalam hal kesinambungan keberadaan koperasi dan
akibat yang timbul dari kegiatan koperasi. Jumlah anggota yang berubah mencerminkan
keterbukaan bagi yang memiliki kepentingan yang sama atau altruisti. Ciri perusahaan
yang dibiayai dan diawasi bersama mencerminkan ciri pengurusan dan tanggungjawab
bersama. Ciri tujuan peningkatan kepentingan anggota mencerminkan promosi anggota
melalui pengurus dan manajer koperasi.
Atas dasar ciri dan prinsip koperasi, para ahli, pengamat, dan praktisi koperasi
meyakini bahwa koperasi akan mampu menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia
untuk mencapai cita-cita kemerdekaan. Ciri dan prinsip koperasi Indonesia mendasari
sistem pengelolaan sumberdaya Indonesia berdasarkan kekeluargaan dan demokratis
yang termuat dalam UUD 1945. Pada pasal 33 UUD 1945 secara jelas terungkap bahwa
pembangunan ekonomi Indonesia adalah untuk mencapai kemakmuran masyarakat, bukan
kemakmuran orang seorang. Bahkan pada era Orde Baru koperasi dinyatakan sebagai
sokoguru perekonomian Indonesia walaupun dalam prakteknya koperasi hanya sekedar
pelengkap saja karena yang makmur adalah orang seorang melalui perusahaan berbentuk
perseroran terbatas (PT) dan konglomerasi.
Kebijakan tersebut kalau untuk tujuan kontes cukup memadai. Namun untuk
kepentingan pembangunan, secara prinsip dan metodologis masih perlu dipertanyakan.
Kelemahan penilaian terletak pada tujuan, variabel, model, dan metode. Tujuan penilaian
lebih pada kontes untuk memperoleh penghargaan. Variabel lebih pada dimensi mikro,
belum pada dimensi makro yang mencerminkan pembangunan, skor merupakan penilaian
nominal, dan modelnya tidak integratif. Oleh karena itu penilaian yang mencerminkan
keterkaitan pembangunan koperasi dengan daerah masih perlu dikembangkan sehingga
diperoleh kondisi yang merangsang kompetisi antar daerah.
Anggota
Lembaga
1. Teori Lembaga Volume usaha
Ekonomi Usaha Permodalan
Kesempatan
Gambar 4. Model Kerangka Pikir Pembangunan Koperasi
Teori
Pembangunan Model Indikator Utama
Wilayah Pembangunan
Wilayah
Pendapatan
1. Klasik agregat (PDB,
2. Neo Klasik Model I PDRB)
3. Keynesian Pertumbuhan
4. Basis Ekspor Model II ekonomi
5. Sektoral Model III Kesempatan kerja
6. Struktural Ekspor
7. Kausasi Model IV Investasi
Kumulatif Pemerataan
8. Lokasi dan Sumberdaya
Aglomerasi manusia
9. Tempat Kesehatan &
Sentral pendidikan
10. Growth Pole Penduduk
Dunia usaha
Strategi : Infrastruktur
Pembangunan prasarana
Pembangunan seimbang atau
tak seimbang
Keseimbangan daerah
Orientasi ke dalam dan ke luar
Kebutuhan pokok.
Dalam rangka itu pula berbagai upaya pemeringkatan telah dilakukan oleh
lembaga internasional dan nasional. The International Management Development (IMD)
yang berkedudukan di Lausanne, Swiss, setiap tahunnya menerbitkan rating dan
pemeringkatan dayasaing negara-negara. The Political and Economic Risk Country (PERC)
selalu menerbitkan posisi negara-negara dalam hal resiko. The Standard & Poor (SP) dan
Moody di Hongkong selalu menerbitkan rating negara-negara dalam bidang finansial.
UNCTAD di Genewa dalam laporan tahunannya dalam buku the World Investment Report
(WIR) memeringkat negara-negara dalam menarik investasi asing (FDI) setiap tahunnya.
Business Monitor International (BMI) di Singapura menerbitkan pemeringkatan negara-
negara dalam hal resiko ekonomi dan politik. Para pengamat dan pakar juga berupaya
menerbitkan analisis menyangkut posisi perusahaan. Pada tahun 2006, dalam majalah
semi ilmiah Infokop, Johnny W. Situmorang dkk., telah berupaya memperkenalkan
prototipe model pemeringkatan koperasi berdasarkan cooperative membership dignity di
Kabupaten Bandung serta memeringkat propinsi dan sektor perekonomian dalam menarik
PMDN dan PMA berdasarkan Regional Investment Performance Index (RIPI).
Tidak hanya dalam bidang ekonomi, pemeringkatan dalam bidang politik dan
sosial juga telah menjadi sumber informasi bagi pemangku kepentingan. The Transparency
International (TI) menerbitkan peringkat negara-negara dalam hal korupsi dan transparansi.
Lembaga sumberdaya manusia menerbitkan indeks pembangunan sumberdaya manusia.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) menjadi rujukan dalam melihat arah perkembangan politik
dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia. Lembaga riset Danareksa (dRI) juga
berusaha menerbitkan rating kinerja perusahaan di Indonesia.
Dengan memperhatikan TOR, sangat jelas tercantum dalam masalah dan tujuan
studi bahwa indikator dan rumusan model menjadi output dari studi ini. Oleh karena itu
pengembangan indikator yang menyangkut pembangunan koperasi harus sudah jelas
terlihat dalam studi ini.
Sejalan dengan TOR, ruang lingkup kegiatan mencakup kegiatan itu sendiri, waktu
pelaksanaan, dan tahapan kajian. Lingkup kegiatan mengenai inventarisasi pembangunan
ekonomi dan wilayah adalah data dan inventarisasi informasi pembangunan regional dan
nasional menurut teori dan praktek pembangunan ekonomi. Menyangkut gambaran
administrasi pemerintahan dan pembangunan adalah informasi kebijakan dan praktek
pemerintahan dan pembangunan. Menyangkut perkoperasian adalah informasi mengenai
perkembangan koperasi berdasarkan data agregat propinsi. Menyangkut teknik penetapan
peringkat daerah dalam pembangunan adalah dalam proses penetapan indikator dan
model yang melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan.
Lingkup kegiatan dikaitkan dengan lokasi maka sesuai dengan perumusan dan
penetapan indikator dan bobotnya, akan dilakukan dua tahapan operasional kegiatan.
Tahap Pertama adalah menjaring, menentukan, dan menetapkan indikator dan bobot
indikator dengan cara Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan di Jakarta. Para
pemangku kepentingan dari sisi swasta adalah gerakan koperasi, pengamat pembangunan
dan koperasi, akademisi, Kadin yang membidangi UKM, dan dari pihak pemerintah adalah
birokrat yang terkait langsung dengan pembangunan koperasi. FGD menghasilkan bobot
indikator. Metode pembobotan dilakukan dengan metode Delphi. Tahap Kedua adalah
tahap survey. Survey mengumpulkan data dilaksanakan di 5 (lima) propinsi sebagai sampel
uji sahih. Pengumpulan data dan informasi dilakukan di masing-masing ibukota propinsi.
Survey menghasilkan data untuk menentukan parameter dan indeks indikator.
Menyangkut lingkup waktu dinyatakan selama satu tahun pada tahun anggaran
2007. Mengingat proses penentuan pelaksana kegiatan pada tahun 2007 telah masuk
pada bulan Mei, secara praktis kegiatan ini dilaksanakan dalam masa enam bulan, sejak
bulan Juli sampai Desember 2007. Lingkup kerja menyangkut tahapan kajian terdiri dari
delapan tahapan, yakni pembahasan dan penyempurnaan TOR, penyusunan dan
pembahasan riset disain, inventarisasi peta perkoperasian, inventarisasi indikator
pembangunan perkoperasian melalui temu pakar, pembobotan indikator melalui FGD,
diskusi dan perumusan model, uji sahih model, dan rekomendasi. Tahapan ini cukup jelas.
Pembahasan dan penyempurnaan TOR, telah dilaksanakan baik secara internal maupun
eksternal dengan melibatkan calon pelaksana. Selebihnya dilaksanakan setelah pelaksana
kegiatan ditetapkan oleh otoritas pelelangan. Pembahasan riset desain, kuesioner, laporan
sementara, dan laporan akhir dilaksanakan bersama dengan Kementerian KUKM, Deputi
Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, kegiatan selebihnya oleh pelaksana kegiatan.