Anda di halaman 1dari 46

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2016


UNIVERSITAS PATTIMURA

IMUNISASI

Disusun Oleh:
MEIS MALIRMASELE
(2009-83-048)

Pembimbing
dr. Ritha Tahitu, M.Kes
dr. Debora Lantang, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2016
IMUNISASI

A. Pendahuluan

Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum perlu diwujudkan


sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945
melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat dipengaruhi oleh
tersedianya sumber daya manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta disusun dalam
satu program kesehatan dengan perencanaan terpadu yang didukung oleh data dan
informasi epidemiologi yang valid.1
Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban ganda
(double burden), yaitu beban masalah penyakit menular dan penyakit degeneratif.
Pemberantasan penyakit menular sangat sulit karena penyebarannya tidak mengenal
batas wilayah administrasi. Imunisasi merupakan salah satu tindakan pencegahan
penyebaran penyakit ke wilayah lain yang terbukti sangat cost effective. Dengan
imunisasi, penyakit cacar telah berhasil dibasmi, dan Indonesia dinyatakan bebas dari
penyakit cacar pada tahun 1974. 1
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
imunisasi merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit menular
yang merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementerian Kesehatan sebagai salah
satu bentuk nyata komitmen pemerintah untuk mencapai Millennium Development
Goals (MDGs) khususnya untuk menurunkan angka kematian pada anak. 1
Kegiatan imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Mulai
tahun 1977 kegiatan imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi
(PPI) dalam rangka pencegahan penularan terhadap beberapa Penyakit yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yaitu Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Campak,
Polio, Tetanus serta Hepatitis B, meningitis dan pneumoni 1
Beberapa penyakit yang saat ini menjadi perhatian dunia dan merupakan
komitmen global yang wajib diikuti oleh semua negara adalah eradikasi polio
(ERAPO), eliminasi campak pengendalian rubella (EC-PR) dan Maternal Neonatal
Tetanus Elimination (MNTE).1
Di samping itu, dunia juga menaruh perhatian terhadap mutu pelayanan
dengan menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe injection practices)
bagi penerima suntikan yang dikaitkan dengan pengelolaan limbah medis tajam yang
aman (waste disposal management), bagi petugas maupun lingkungan. 1
Cakupan imunisasi harus dipertahankan tinggi dan merata di seluruh wilayah.
Hal ini bertujuan untuk menghindarkan terjadinya daerah kantong yang akan
mempermudah terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Untuk mendeteksi dini
terjadinya peningkatan kasus penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB, imunisasi
perlu didukung oleh upaya surveilans epidemiologi. 1
Masalah lain yang harus dihadapi adalah munculnya kembali PD3I yang
sebelumnya telah berhasil ditekan (Reemerging diseases), timbulnya penyakit-
penyakit menular baru (Emerging Infectious Diseases) serta penyakit infeksi yang
betul-betul baru (new diseases) yaitu penyakit-penyakit yang tadinya tidak dikenal
(memang belum ada, atau sudah ada tetapi penyebarannya sangat terbatas; atau sudah
ada tetapi tidak menimbulkan gangguan kesehatan yang serius pada manusia).
Penyakit yang tergolong ke dalam penyakit baru adalah penyakit-penyakit yang
mencuat, yaitu penyakit yang angka kejadiannya meningkat dalam dua dekade
terakhir ini, atau mempunyai kecenderungan untuk meningkat dalam waktu dekat,
penyakit yang area geografis penyebarannya meluas, dan penyakit yang tadinya
mudah dikontrol dengan obat-obatan namun kini menjadi resisten. 1
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyelenggaraan
imunisasi terus berkembang antara lain dengan pengembangan vaksin baru
(Rotavirus, Japanese Encephalitis, Pneumococcus, Dengue Fever dan lain-lain) serta
penggabungan beberapa jenis vaksin sebagai vaksin kombinasi misalnya DPT-HB-
Hib. 1
B. Definisi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.
Program imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan terjangkitnya penyakit
tertentu yaitu Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) antara lain
Tuberkulosis, difteri, pertussis, hepatitis B, polio, campak, penumoni dan meningtis.
1

C. Tujuan Imunisasi
Tujuan umum imunisasi yaitu menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan
kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).1
1. Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan imunisasi
lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di seluruh desa/kelurahan pada
tahun 2014.
2. Tervalidasinya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden di bawah 1 per
1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun 2013.
3. Global eradikasi polio pada tahun 2018.
4. Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015 dan pengendalian penyakit
rubella 2020.
5. Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta pengelolaan limbah
medis (safety injection practise and waste disposal management).

D. Jenis Imunisasi
Berdasarkan sifat penyelenggaraannya, imunisasi dikelompokkan menjadi
imunisasi wajib dan imunisasi pilihan. Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang
diwajibkan oleh pemerintah untuk seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam
rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit
menular tertentu. Sedangkan imunisasi pilihan merupakan imunisasi yang dapat
diberikan kepada seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi
yang bersangkutan dari penyakit menular tertentu. Imunisasi wajib terdiri atas
imunisasi rutin, tambahan dan khusus. Imunisasi rutin merupakan kegiatan
imunisasi yang dilaksanakan secara terus menerus sesuai jadwal. Terdiri atas
imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan. Imunisasi dasar diberikan pada bayi
sebelum berusia 1 (satu) tahun. Terdiri atas Bacillus Calmette Guerin (BCG);
Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau Diphtheria Pertusis
Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus Influenza type B (DPT-HB-Hib); Imunisasi
lanjutan merupakan imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat kekebalan
atau untuk memperpanjang masa perlindungan. Imunisasi ini diberikan pada anak
usia bawah tiga tahun (Batita); anak usia sekolah dasar; dan wanita usia subur.1
Jenis imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia bawah tiga tahun (Batita)
terdiri atas Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau Diphtheria
Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus Influenza type B (DPT-HB-Hib) dan
Campak. Pada anak usia sekolah dasar diberikan pada Bulan Imunisasi Anak
Sekolah (BIAS). Jenis imunisasinya terdiri atas Diphtheria Tetanus (DT), Campak,
dan Tetanus diphteria (Td). Pada wanita usia subur diberikan Tetanus Toxoid (TT). 1
Imunisasi tambahan diberikan pada kelompok umur tertentu yang paling
berisiko terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu.
Pemberian imunisasi tambahan tidak menghapuskan kewajiban pemberian
imunisasi rutin. 1
Imunisasi khusus merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan untuk
melindungi masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu antara lain
persiapan keberangkatan calon jemaah haji/umroh, persiapan perjalanan menuju
negara endemis penyakit tertentu dan kondisi kejadian luar biasa. Jenis imunisasi
khusus antara lain terdiri atas imunisasi Meningitis Meningokokus, imunisasi
demam kuning, dan imunisasi Anti Rabies (VAR). 1
Jenis imunisasi pilihan dapat berupa imunisasi Haemophillus influenza tipe b
(Hib), Pneumokokus, Rotavirus, Influenza, Varisela, Measles Mumps Rubella,
Demam Tifoid, Hepatitis A, Human Papilloma Virus (HPV), dan Japanese
Encephalitis. 1
A. Imunisasi Wajib
a. Rutin
1) Imunisasi dasar
Tabel 1. Jadwal pemberian imunisasi dasar 1

Hepatitis B 2,3
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit
hepatitis yang kandungannya adalah HbsAg dalam bentuk cair, HBsAg (hepatitis B
surface antigen) adalah protein yang dilepaskan oleh virus hepatitis B yang sedang
menginfeksi tubuh. Karena itu, protein ini dapat digunakan sebagai penanda atau
marker terjadinya infeksi hepatitis B. Vaksinasi dimaksudkan untuk mendapat
kekebalan aktif terhadap penyakit Hepatitis B. vaksin terbuat dari bagian virus
hepatitis B yang dinamakan HbsAg, yang dapat menimbulkan kekebalan tetapi tidak
menimbulkan penyakit.

Gambar 1. Sediaan Vaksin Hepatitis B 3


Vaksin hepatitis akan rusak karena pembekuan, juga karena pemanasan. Vaksin
hepatitis paling baik di simpan pada temperatur 2-8oC.
Jenis vaksin: Inactivated viral vaccine (IVV = HBsAg yang telah diinaktivasi)
Vaksin rekombinan: HB Vax (MSD), Engerix (smith Kline Becham), Bimugen
(kahatsuka)
Plasma derived: Hepa B: vaksin hepatitis B (biofarma), Hepaccine B (Cheil
Chemical & ford)
Dosis: 0,5 ml/dosis. Disarankan untuk diberikan bersama BCG dan Polio I pada
kesempatan kontak pertama dengan bayi kemudian dilanjutkan pd umur 2 bulan, 3
bulan, dan 4 bulan. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg negatif mendapat dosis
anak vaksin rekombinan atau 1 dosis anak vaksin plasma derived. Dosis kedua harus
diberikan 1 bulan atau lebih setelah dosis pertama. Bayi yang lahir dari ibu HbsAg
positif mendapat 0,5 cc Hepatitis B immune globulin (HBIG) dalam waktu 12 jam
setelah lahir dan 1 dosis anak vaksin rekombinan atau 1 dosis anak vaksin plasma
derived pada tempat suntikan yang berlainan. Dosis kedua direkomendasikan pada
umur 1-2 bulan dan ketiga 6-7 bulan atau bersama dengan vaksin campak pada umur
9 bulan.
Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui status HBsAgnya mendapat 1
dosis anak plasma rekombinan atau 1 dosis anak vaksin plasma derived dalam waktu
12 jam setelah lahir. Dosis kedua direkomendasikan pada umur 1-2 bulan dan ketiga
6-7 bulan atau bersama dengan vaksin campak pada umur 9 bulan. Diberikan booster
5 tahun kemudian, dianjurkan pemeriksaan kadar anti HBsAg sebelumnya.
Lokasi Penyuntikan : Di anterolateral paha. Penyuntikan di bokong tak
dianjurkan karena untuk menghindari kerusakan nervus ischiadicus. Kontra indikasi
yaitu defisiensi imun (mutlak) / sakit berat. Tak ada tanda klinis yang dapat dijadikan
patokan. Namun dapat dilakukan pengukuran keberhasilan melalui pemeriksaan
darah dengan mengecek kadar hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun. Bila
kadarnya di atas 1000, berarti daya tahannya 8 tahun; diatas 500, daya tahan 5 tahun;
diatas 200 daya tahan 3 tahun. Tetapi kalau angkanya cuma 100, maka dalam setahun
akan hilang. Sementara bila angkanya 0 berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali
lagi.
Tingkat kekebalannya cukup tinggi, antara 94-96%. Umumnya setelah 3 kali
suntikan, lebih dari 95% bayi mengalami respons imun yang cukup. Reaksi KIPI
(Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) : Efek samping pada umumnya ringan, berupa
nyeri, bengkak, panas mual, nyeri sendi maupun otot, walaupun demikian pernah pula
dilaporkan adanya anafilaksis, sindrom Guillain-Barre, walaupun tidak jelas terbukti
hubungan dengannya dengan imunisasi hepatitis B.

BCG(Bacillus Calmette Guerin) 2,3


Bacillus Calmette Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium
bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapat basil yang tidak
virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas.Merupakan imunisasi yang digunakan
untuk mencegah terjadinya penyakit tuberkulosis (TB) berat akibatpenyakit TB
primer atau ringan yang dapat terjadi walaupun sudah dilakukan imunisasi BCG.
Imunisasi BCG untuk mencegah Meningitis TB, TB milier (pada seluruh lapangan
paru) atau TB tulang.
Imunisasi BCG ini merupakan vaksin yang mengandung kuman TBC yang telah
dilemahkan.Vaksin BCG tidak mencegah infeksi tuberculosis tetapi mengurangi
risiko tuberculosis berat seperti meningitistuberkulosa dan tuberculosis milier. Efek
proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi antara 0-
80 %. Hal ini mungkin karena vaksin yang dipakai, lingkungan dengan
Mycobacterium atipik atau faktor pejamu (umur, keadaan gizi, dll).
Imunisasi ini cukup diberikan satu kali saja. Bila pemberian imunisasi ini berhasil,
atau jika suntikan BCG tepat, akan timbul pembengkakan dengan puncak yg datar
(flat-topped) yang berubah menjadi vesikel kecil dan kemudian menjadi ulkus kecil
dalam waktu 2-4 minggu. Reaksi akan hilang dalam 2-5 bulan, serta membekas
berupa jaringan parut berdiameter 2-10mm. Ulkus yang terbentuk tidak menganggu
struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha
anterior).
Gambar 2. Vaksin BCG 3
Vaksin BCG berbentuk bubuk kering harus dilarutkan dengan 4 cc NaCl 0,9%.
Setelah dilarutkan harus segera diapakai dalam waktu 3 jam, sisanya dibuang.
Penyimpanan pada suhu < 5C terhidar dari sinar matahari.
Jenis Vaksin: Calmette & Guerin (Biofarma, Pasteur, Glaxo) suatu live
attenuated vaccine (LAV). Dosis: 0,05 ml/dosis pada bayi < 1 tahun dan 0,1 ml pada
usia anak. Usia Pemberian : Optimal diberikan pada umur <2 bulan. Namun untuk
mencapai cakupan yang lebih luas, Kementrian Kesehatan menganjurkan pemberian
BCG pada umur 0 12 bulan. Apabila setelah 3 bulan. Perlu dilakukan uji tuberlikan
terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin (-). Apabila tuberkulin
tidak memungkinkan, BCG dapat diberikan namun perlu diobservasi dalam waktu 7
hari. Apabila terdapat reaksi local cepat di tempat suntikan (accelerated local
reaction), perlu tindakan lebih lanjut (tanda diagnostic tuberculosis).Pada bayi yang
kontak erat dengan penderita TB dengan BTA(+3) sebaiknya diberikan INH
profilaksis dulu, kalau kontaknya sudah teratasi, baru dapat diberi BCG.
Lokasi Penyuntikan secara intrakutan di daereh lengan kanan atas pada insersio
M.deltoideus, sesuai anjuran WHO. Jadwal imunisasi: Pada kesempatan kontak
pertama dengan bayi. Tidak diperlukan booster, atau segera pada usia < 2 bulan.
Kontraindikasi jika reaksi uji tuberculin > 5 mm, menderita infeksi HIV atau dengan
resiko tinggi infeksi, imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat
imuno-supresi, mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai
sumsum tulang atau system limfe, anak menderita gizi buruk, sedang menderita
demam tinggi menderita infeksi kulit yang luas, pernah sakit tuberculosis,
kehamilan.
Efek samping yaitu pada tempat penyuntikan terjadi ulkus yang lama sembuh,
hal ini terutama bila terjadi suntikan tidak tepat intrakutan, melainkan subkutan.
Pembengkakan kelenjar regional, yang lambat laun dapat pecah dan kemudian
terbentuk fistel dan ulkus.Infeksi sekunder dari ulkus.
Cara Penyuntikan yaitu bersihkan lengan dengan kapas air; letakkan jarum
hampir sejajar dengan lengan anak dengan ujung jarum yang berlubangmenghadap
keatas; Suntikan 0,05 ml intra kutan; dilakukan hingga timbul benjolan kulit yang
pucat dengan pori- pori yang khas diameter 4-6 mm; Tanda Keberhasilan: Muncul
lepuhan kecil dan bernanah di daerah bekas suntikan setelah 4-6 minggu. Tidak
menimbulkan nyeri dan tak diiringi panas. Lepuhan akan sembuh sendiri dan
meninggalkan luka parut. Jadi, meski bisul tak muncul, antibodi tetap terbentuk,
hanya saja dalam kadar rendah. Imunisasi pun tak perlu diulang, karena di daerah
endemis TB, infeksi alamiah akan selalu ada. Dengan kata lain, anak akan mendapat
vaksinasi alamiah.Jika tidak ada lepuhan yang timbul, bisa saja dikarenakan cara
penyuntikan yang salah, mengingat cara menyuntikkannya perlu keahlian khusus
karena vaksin harus masuk ke dalam kulit. Apalagi bila dilakukan di paha, proses
menyuntikkannya lebih sulit karena lapisan lemak di bawah kulit paha umumnya
lebih tebal.

DPT(Difteria, Pertusis, dan Tetanus) 2,3


Imunisasi DPT adalah suatu vaksin yang melindungi terhadap difteri, pertusis,
dan tetanus. Difteri disebabkan bakteri yang menyerang faring dan dapat
menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Biasanya vaksin difteria diolah dan
dikemas bersamaan dengan vaksin Tetanus (DT) atau dengan vaksin Tetanus dan
Pertusis (DPT). Penyakit ini mudah menular melalui batuk atau bersin. Pertusis
(batuk rejan) adalah infeksi bakteri pada saluran napas yang ditandai dengan batuk
hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang melengking.
Gambar 3. Sediaan Vaksin TT dan DT 3
Pertusis juga dapat menimbulkan komplikasi serius, seperti peneumonia, kejang
dan kerusakan otak. Tetanus adalah infeksi bakteri yang bisa menyebabkan kekakuan
pada rahang serta kejang. Imunisasi ini merupakan vaksin cair, komposisi tiap ml
mengandung toksoid difteri yang dimurnikan 40 Lf, toksoid tetanus yang dimurnikan
15 Lf B, pertussis yang diinaktivasi 24 OU, Aluminium fosfat 3 mg, Thimerosal 0,1
mg.
Jenis vaksin: Difteri (toksoid); Pertusis (Inactivated Bacterial Vaccine-IBV,
Bordetella pertusis tipe I); Tetanus (toksoid). Dosis: 0,5 mL/dosis. Cara pemberian
intramuskular atau subkutan dalam.
Pada imunisasi dasar diberikan Tiga dosis dengan interval 4-6 minggu. Dosis I
diberikan pada umur 2 bulan. Booster: Dosis IV diberikan 1 tahun setelah dosis III.
Dosis V serta VI berupa DT diberikan pada umur 6 dan 12 tahun. Kontra indikasi
yakni defisiensi imun (mutlak), difteri (tidak ada), pertusis (riwayat kelainan
neurologis skema imunisasi DPT pada bayi dengan riwayat kejang), Tetanus (tidak
ada)
Efek samping dapat timbul reaksi lokal, demam, reaksi akinetik, kejang, gejala
ensefalopati akibat vaksin pertusis. Untuk anak yang memiliki riwayat kejang
demam, imunisasi DPT tetap aman. Kejang demam tak membahayakan karena anak
mengalami kejang hanya ketika demam dan tak akan mengalami kejang lagi setelah
demamnya hilang. Jika orang tua khawatir, dapat diberikan vaksin DTP aseselar yang
tak menimbulkan demam. Kalaupun terjadi demam, umumnya sangat ringan.1-3

Polio 2,3
Imunisasi polio memberikan kekebalan terhadap penyakit polio. Penyakit ini
disebabkan virus, menyebar melalui tinja/kotoran orang yang terinfeksi. Anak yang
terkena polio dapat menjadi lumpuh layu. Vaksin polio ada dua jenis, yakni :
- Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV)
Di Indonesia, meskipun sudah tersedia tetapi Vaksin Polio Inactivated atau
Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV) belum banyak digunakan. IPV dihasilkan
dengan cara membiakkan virus dalam media pembiakkan, kemudian dibuat tidak
aktif (inactivated) dengan pemanasan atau bahan kimia. Karena IPV tidak hidup dan
tidak dapat replikasi maka vaksin ini tidak dapat menyebabkan penyakit polio
walaupun diberikan pada anak dengan daya tahan tubuh yang lemah. Vaksin yang
dibuat oleh Aventis Pasteur ini berisi tipe 1,2,3 dibiakkan pada sel-sel VERO ginjal
kera dan dibuat tidak aktif dengan formadehid. Selain itu dalam jumlah sedikit
terdapat neomisin, streptomisin dan polimiksin B. IPV harus disimpan pada suhu 2
8o C dan tidak boleh dibekukan. Pemberian vaksin tersebut dengan cara suntikan
subkutan dengan dosis 0,5 ml diberikan dalam 4 kali berturut-turut dalam jarak 2
bulan.Untuk orang yang mempunyai kontraindikasi atau tidak diperbolehkan
mendapatkan OPV maka dapat menggunakan IPV. Demikian pula bila ada seorang
kontak yang mempunyai daya tahan tubuh yang lemah maka bayi dianjurkan untuk
menggunakan IPV.
- Oral Polio Vaccine (OPV)
Jenis vaksin Virus Polio Oral atau Oral Polio Vaccine (OPV) ini paling sering
dipakai di Indonesia. Vaksin OPV pemberiannya dengan cara meneteskan cairan
melalui mulut. Vaksin ini terbuat dari virus liar (wild) hidup yang dilemahkan. OPV
di Indonesia dibuat oleh PT Biofarma Bandung. Komposisi vaksin tersebut terdiri
dari virus Polio tipe 1, 2 dan 3 yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan
(attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan
dalam sucrosa. Tiap dosis sebanyak 2 tetes mengandung virus tipe 1, tipe 2, dan tipe
3 serta antibiotika eritromisin tidak lebih dari 2 mcg dan kanamisin tidak lebih dari
10 mcg.
Virus dalam vaksin ini setelah diberikan 2 tetes akan menempatkan diri di usus
dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah maupun dalam dinding luar
lapisan usus yang mengakibatkan pertahan lokal terhadap virus polio liar yang akan
masuk. Pemberian Air susu ibu tidak berpengaruh pada respon antibodi terhadap
OPV dan imunisasi tidak bioleh ditunda karena hal ini. Setelah diberikan dosis
pertama dapat terlindungi secara cepat, sedangkan pada dosis berikutnya akan
memberikan perlindungan jangka panjang. Vaksin ini diberikan pada bayi baru lahir,
2,4,6,18, bulan, dan 5 tahun.

Gambar 4. Sediaan Vaksin Polio 3


Jenis vaksin: vaksin polio oral sabin (LAV). Dosis: 2 tetes/dosis (0,5 ml)
Pemberian bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat
mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di Indonesia, yang digunakan adalah OPV.
Dosis I diberikan pada umur sedini mungkin bila bayi lahir di RS (bersama
dengan BGC) atau pada kontak pertama bila bayi datang ke RS atau posyandu
(biasanya umur 2 bulan). Selanjutnya dosis II,III dan IV diberikan dengan interval 4
minggu, bersamaan dengan DPT I,II dan III. Jika BCG dan Polio I diberikan
bersamaan dengan DPT I , polio IV diberikan 4-6 minggu setelah DPT/Polio III.
Booster: dosis V diberikan I tahun setelah dosis IV dan dosis VI dan VII diberikan
pada umur 6 dan 12 tahun.
Kontraindikasi pada pasien defisiensi imun (mutlak), diare (sementara), tak
dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi (di atas
380C), penyakit kanker atau keganansan, HIV/AIDS, sedang menjalani pengobatan
steroid dan penobatan radiasi umum.
Efek sampingnya tidak ada reaksi klinis. Kemungkinan polio paralitik yang
dapat dievaluasi dari 1 per 8 juta dosis pada anak yang telah diimunisasi dan 1 per 5
juta dosis pada kontak.

Campak 2,3
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit
campak pada anak karena penyakit ini sangat menular. Kandungan vaksin ini adalah
virus yang dilemahkan. Vaksin yang beredar di Indonesia dapat diperoleh dalam
bentuk kemasan kering tunggal atau dalam kemasan kering dikombinasi dengan
vaksin gondong atau bengok (Mumps) dan Rubella.
Bayi baru lahir biasanya telah mendapat kekebalan pasif terhadap penyakit
campak dari. Semakin bertambah umur bayi, makin berkurang kekebalan pasif
tersebut. Waktu berumur 6 bulan biasanya sebagian dari bayi itu tidak mempunyai
kekebalan pasif lagi. Dengan adanya kekebalan pasif ini sangat jarang seorang bayi
menderita campak pada umur < 6 bulan.

Gambar 5. Sediaan Vaksin Campak 3


Vaksin campak harus didinginkan. pada suhu yang sesuai (2-8oC) karena sinar
matahari atau panas dapat membunuh virus vaksin campak. Bila virus vaksin mati
sebelum disuntikkan, vaksin tersebut tidak akan mampu menginduksi respon
imun.Imunisasi campak hanya diberikan satu kali suntikan, dimana tubuh anak
dirangsang untuk membuat antibodi yang menimbulkan kekebalan. Biasanya tidak
terdapat reaksi akibat imunisasi, mungkin terjadi demam ringan dan tampak sedikit
bercak merah pada pipi dibawah telinga pada hari ke tujuh sampai hari ke delapan
setelah penyuntikan. Mungkin pula terdapat pembengkakan pada tempat suntikan.
Jenis vaksin: Schwarz (LAV), dosis: 0,5 mL/dosis dengan cara pemberian: SC
atau IM. Diberikan pada umur 9 bulan, booster tidak diperlukan, jika sudah
mendapatkan MMR. Kontra indikasi pada defisiensi imun (mutlak), alergi terhadap
telur (benar-benar terbukti), mendapat injeksi gammaglobulin dalam 6 minggu
terakhir. Efek samping yakni demam dengan atau tanpa ruam 6-12 hari setelah
diimunisasi pada 15-20% anak.
2) Imunisasi Lanjutan
Imunisasi lanjutan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk melengkapi
imunisasi dasar pada bayi yang diberikan kepada anak Batita, anak usia sekolah dan
wanita usia subur (WUS) termasuk ibu hamil. Imunisasi lanjutan pada WUS salah
satunya dilaksanakan pada waktu melakukan pelayanan antenatal.1
Tabel 2. Jadwal imunisasi lanjutan pada anak bawah tiga tahun 1

Tabel 3. Jadwal imunisasi lanjutan pada anak usia sekolah dasar 1

Catatan :
Batita yang telah mendapatkan imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib dinyatakan mempunyai
status imunisasi T3.
Anak usia sekolah dasar yang telah mendapatkan imunisasi DT dan Td dinyatakan
mempunyai status imunisasi T4 dan T5.

Tabel 4. Imunisasi Lanjutan Pada Wanita Usia Subur (WUS)

Catatan :
Sebelum imunisasi, dilakukan penentuan status imunisasi T (screening) terlebih dahulu,
terutama pada saat pelayanan antenatal. Pemberian imunisasi TT tidak perlu diberikan,
apabila pemberian imunisasi TT sudah lengkap (status T5) yang harus dibuktikan
dengan buku Kesehatan Ibu dan Anak, rekam medis, dan/atau kohort.

b. Imunisasi Tambahan
Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan adalah: 1
1) Backlog fighting
Merupakan upaya aktif untuk melengkapi imunisasi dasar pada anak yang
berumur dibawah 3 (tiga) tahun. Kegiatan ini diprioritaskan untuk dilaksanakan di
desa yang selama 2 (dua) tahun berturut-turut tidak mencapai UCI.
2) Crash program
Kegiatan ini ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi secara cepat
untuk mencegah terjadinya KLB. Kriteria pemilihan daerah yang akan dilakukan
crash program adalah angka kematian bayi akibat PD3I tinggi, infrastruktur (tenaga,
sarana, dana) kurang, desa yang selama 3 tahun berturut-turut tidak mencapai UCI. Crash
program bisa dilakukan untuk satu atau lebih jenis imunisasi, misalnya campak, atau
campak terpadu dengan polio.
3) PIN (Pekan Imunisasi Nasional)
Merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara serentak di suatu negara
dalam waktu yang singkat. PIN bertujuan untuk memutuskan mata rantai penyebaran
suatu penyakit (misalnya polio). Imunisasi yang diberikan pada PIN diberikan tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya.
4) Sub PIN
Merupakan kegiatan serupa dengan PIN tetapi dilaksanakan pada wilayah
wilayah terbatas (beberapa provinsi atau kabupaten/kota).
5) Catch up Campaign campak
Merupakan suatu upaya untuk memutuskan transmisi penularan virus campak
pada anak usia sekolah dasar. Kegiatan ini dilakukan dengan pemberian imunisasi
campak secara serentak pada anak sekolah dasar dari kelas satu hingga kelas enam
SD atau yang sederajat, serta anak usia 6 - 12 tahun yang tidak sekolah, tanpa
mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya. Pemberian imunisasi campak pada
waktu catch up campaign campak di samping untuk memutus rantai penularan, juga
berguna sebagai booster atau imunisasi ulangan (dosis kedua).
6) Imunisasi dalam Penanganan KLB (Outbreak Response Immunization/
ORI). Pedoman pelaksanaan imunisasi dalam penanganan KLB disesuaikan
dengan situasi epidemiologis penyakit masing-masing.

c. Imunisasi Khusus 1
1) Imunisasi Meningitis Meningokokus
Meningitis meningokokus adalah penyakit akut radang selaput otak yang
disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitidis.
Meningitis merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian di
seluruh dunia. Case fatality rate-nya melebihi 50%, tetapi dengan diagnosis dini,
terapi modern dan suportif, case fatality rate menjadi 5-15%.
Pencegahan dapat dilakukan dengan imunisasi dan profilaksis untuk orang-orang
yang kontak dengan penderita meningitis dan carrier.
Imunisasi Meningitis meningokokus diberikan kepada masyarakat yang akan
melakukan perjalanan ke negara endemis Meningitis diberikan minimal 30 (tiga
puluh) hari sebelum keberangkatan.
Bila imunisasi diberikan kurang dari 30 (tiga puluh) hari sejak keberangkatan ke
negara yang endemis Meningitis harus diberikan profilaksis dengan antimikroba
yang sensitif terhadap Neisseria meningitidis.

2) Imunisasi Yellow Fever (Demam Kuning)


Demam kuning adalah penyakit infeksi virus akut dengan durasi pendek masa
inkubasi 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) hari dengan tingkat mortalitas yang
bervariasi. Disebabkan oleh virus demam kuning dari genus Flavivirus, famili
Flaviviridae, vektor perantaranya adalah nyamuk Aedes aegypti.
Icterus sedang kadang ditemukan pada awal penyakit. Setelah remisi singkat
selama beberapa jam hingga 1(satu) hari,beberapa kasus berkembang menjadi
stadium intoksikasi yang lebih berat ditandai dengan gejala perdarahan seperti
epistaksis (mimisan), perdarahan ginggiva, hematemesis (muntah seperti warna
air kopi atau hitam, melena, gagal ginjal dan hati, 20%-50% kasus ikterus
berakibat fatal.
Secara keseluruhan mortalitas kasus dikalangan penduduk asli di daerah
endemis sekitar 5% tapi dapat mencapai 20%-40% pada wabah tertentu.
Pencegahan dapat dilakukan dengan imunisasi demam kuning yang akan
memberikan kekebalan efektif bagi semua orang yang akan melakukan
perjalanan berasal dari negara atau ke negara/daerah endemis demam kuning.
Vaksin demam kuning efektif memberikan perlindungan 99%. Antibodi
terbentuk 7-10hari sesudah imunisasi dan bertahan sedikitnya hingga 30-35
tahun. Walaupun demikian imunisasi ulang harus diberikan setelah 10
(sepuluh) tahun.
Semua orang yang melakukan perjalanan, berasal dari negara atau kenegara
yang dinyatakan endemis demam kuning (data negara endemis dikeluarkan oleh
WHO yang selalu diupdate) kecualibayi di bawah 9 (sembilan) bulan dan ibu
hamil trimester pertama harus diberikan imunisasi demam kuning, dan
dibuktikan dengan International Certificate of Vaccination (ICV).
Bagi yang datang atau melewati negara terjangkit demam kuning harus bisa
menunjukkan sertifikat vaksin (ICV) yang masih berlaku sebagai bukti bahwa
mereka telah mendapat imunisasi demam kuning. Bila ternyata belum bisa
menunjukkan ICV (belum diimunisasi), maka terhadap mereka harus dilakukan
isolasi selama 6 (enam) hari, dilindungi dari gigitan nyamuk sebelum diijinkan
melanjutkan perjalanan mereka. Demikian juga mereka yang surat vaksin
demam kuningnya belum berlaku, diisolasi sampai ICVnya berlaku.
Pemberian imunisasi demam kuning kepada orang yang akan menuju negara
endemis demam kuning selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum berangkat,
bagi yang belum pernah diimunisasi atau yang imunisasinya sudah lebih dari 10
(sepuluh) tahun. Setelah divaksinasi, diberi ICV dan tanggal pemberian vaksin
dan yang bersangkutan setelah itu harus menandatangani di ICV. Bagi yang
belum dapat melakukan tanda tangan (anak-anak), maka yang
menandatanganinya orang tua yang mendampingi bepergian
3) Imunisasi Rabies
Penyakit anjing gila atau dikenal dengan nama rabies merupakan suatu penyakit
infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies yang
ditularkan oleh anjing, kucing dan kera.
Penyakit ini bila sudah menunjukkan gejala klinis pada hewan dan manusia selalu
diakhiri dengan kematian, sehingga mengakibatkan timbulnya rasa cemas dan
takut bagi orang-orang yang terkena gigitan dan kekhawatiran serta keresahan
bagi masyarakat pada umumnya. Vaksin rabies dapat mencegah kematian pada
manusia bila diberikan secara dini pasca gigitan.
Vaksin anti rabies (VAR) manusia diberikan kepada seluruh kasus gigitan hewan
penular rabies (HPR) yang berindikasi, sehingga kemungkinan kematian akibat
rabies dapat dicegah.
.
B. Imunisasi pilihan 1
Imunisasi pilihan adalah imunisasi lain yang tidak termasuk dalam imunisasi
wajib, namun penting diberikan pada bayi, anak, dan dewasa di Indonesia mengingat
beban penyakit dari masing-masing penyakit. Yang termasuk dalam imunisasi pilihan
ini adalah:

a. Vaksin Measles,Mumps,Rubella:
Vaksin MMR bertujuan untuk mencegah Measles (campak), Mumps
(gondongan) dan Rubella merupakan vaksin kering yang mengandung virus
hidup, harus disimpan pada suhu 280C atau lebih dingin dan terlindung dari
cahaya.
Vaksin harus digunakan dalam waktu 1 (satu) jam setelah dicampur dengan
pelarutnya, tetap sejuk dan terhindar dari cahaya, karena setelah dicampur
vaksin sangat tidak stabil dan cepat kehilangan potensinya pada temperatur
kamar.
Rekomendasi: Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi
campak, gondongan dan rubella atau sudah mendapatkan imunisasi campak.
Anak dengan penyakit kronis seperti kistik fibrosis, kelainan jantung bawaan,
kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down.
Anak berusia 1 tahun yang berada di day care centre, family day care dan
playgroups.
Anak yang tinggal di lembaga cacat mental.
Kontra Indikasi: Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau
dengan gangguan imunitas, yang mendapat pengobatan dengan
imunosupresif atau terapi sinar atau mendapat steroid dosis tinggi (ekuivalen
dengan 2 mg/kgBB/hari prednisolon). Anak dengan alergi berat
(pembengkakan pada mulut atau tenggorokan, sulit bernapas, hipotensi dan
syok) terhadap gelatin atau neomisin. Pemberian MMR harus ditunda pada
anak dengan demam akut, sampai penyakit ini sembuh. Anak yang mendapat
vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan vaksin virus hidup) dalam waktu
4 minggu. Pada keadaan ini imunisasi MMR ditunda lebih kurang 1 bulan
setelah imunisasi yang terakhir. Individu dengan tuberkulin positif akan
menjadi negatif setelah pemberian vaksin. Wanita hamil tidak dianjurkan
mendapat imunisasi MMR (karena komponen rubela) dan dianjurkan untuk
tidak hamil selama 3 bulan setelah mendapat suntikan MMR. Vaksin MMR
tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin
atau transfusi darah yang mengandung imunoglobulin (whole blood, plasma).
Dengan alasan yang sama imunoglobulin tidak boleh diberikan dalam waktu
2 minggu setelah vaksinasi. Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk
infeksi HIV). Sebenarnya HIV bukan kontra indikasi, tetapi pada kasus
tertentu, dianjurkan untuk meminta petunjuk pada dokter spesialis anak
(konsultan).

Dosis: Dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara intra muskular atau subkutan
dalam.
Jadwal: Diberikan pada usia 1218 bulan. Pada populasi dengan insidens
penyakit campak dini yang tinggi, imunisasi MMR dapat diberikan pada usia
9 (sembilan) bulan.
b. Vaksin tifoid
Vaksin tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen yang
telah dilemahkan, menimbulkan respon imun sekretorik IgA, mempunyai reaksi
samping yang lebih rendah dibandingkan vaksin parenteral. Kemasan dalam
bentuk kapsul. Penyimpanan pada suhu 2 80C.
Vaksin tifoid polisakarida parenteral. Susunan vaksin polisakarida: setiap 0,5
ml mengandung kuman Salmonella typhii; polisakarida 0,025 mg; fenol dan
larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat, monosodium
fosfat. Penyimpanan pada suhu 2 80C, jangan dibekukan. Kadaluwarsa dalam 3
tahun.
Vaksin tifoid oral diberikan untuk anak usia 6 tahun. Vaksin Polisakarida
Parenteral diberikan untuk anak usia 2 tahun. Vaksin Tifoid Oral tidak boleh
diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid atau antimalaria yang aktif
terhadap Salmonella. Pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu
setelah pemberian terakhir dari vaksin tifoid oral (karena vaksin ini juga
menimbulkan respon yang kuat dari interferon mukosa)
Vaksin tifoid polisakarida parenteral jangan diberikan pada anak dengan alergi
terhadap bahan-bahan dalam vaksin, pada saat demam, penyakit akut maupun
penyakit kronik progresif.
Satu kapsul vaksin dimakan tiap hari, satu jam sebelum makan dengan
minuman yang tidak lebih dari 370C, pada hari ke 1, 3 dan 5. Kapsul ke 4
diberikan pada hari ke 7 terutama bagi turis. Kapsul harus ditelan utuh dan tidak
boleh dibuka karena kuman dapat mati oleh asam lambung. Imunisasi ulangan
diberikan tiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus tereksposes dengan
infeksi Salmonella sebaiknya diberikan 34 kapsul tiap beberapa tahun. Daya
proteksi vaksin ini hanya 50%-80%, walaupun telah mendapatkan imunisasi tetap
dianjurkan untuk memilih makanan dan minuman yang higienis.
Vaksin tifoid polisakarida parenteral diberikan dosis 0,5 ml suntikan secara
intra muskular atau subkutan pada daerah deltoid atau paha. Imunisasi ulangan
tiap 3 tahun. Daya proteksi vaksin ini hanya 50%-80%, walaupun telah
mendapatkan imunisasi tetap dianjurkan untuk memilih makanan dan minuman
yang higienis.

c. Imunisasi Varisela
Merupakan vaksin virus hidup varisela-zoster yang dilemahkan terdapat
dalam bentuk bubuk kering. Penyimpanan pada suhu 280C. Vaksin dapat
diberikan bersama dengan vaksin MMR (MMR/V). Infeksi setelah terpapar
apabila telah diimunisasi dapat terjadi pada 1%-2% kasus setahun, tetapi infeksi
umumnya bersifat ringan.
Vaksin diberikan mulai umur masuk sekolah (5 tahun). Pada anak 13 tahun
vaksin dianjurkan untuk diberikan dua kali selang 4 minggu. Pada keadaan terjadi
kontak dengan kasus varisela, untuk pencegahan vaksin dapat diberikan dalam
waktu 72 jam setelah penularan (dengan persyaratan: kontak dipisah/tidak
berhubungan)
Kontra Indikasi pemberian jika demam tinggi, hitung limfosit kurang dari
1200/l atau adanya bukti defisiensi imun selular seperti selama pengobatan
induksi penyakit keganasan atau fase radioterapi. Pasien yang mendapat
pengobatan dosis tinggi kortikosteroid (2 mg/kgBB per hari atau lebih) dan alergi
neomisin. Dosis 0,5 ml suntikan secara subkutan, dosis tunggal

d. Vaksin Hepatitis A
Vaksin dibuat dari virus yang dimatikan (inactivated vaccine). Pemberian
bersama vaksin lain tidak mengganggu respon imun masing-masing vaksin dan
tidak meningkatkan frekuensi efek samping. Direkomendasikan pada populasi
risiko tinggi tertular Virus Hepatitis A (VHA), Anak usia 2 tahun, terutama anak
di daerah endemis. Pada usia >2 tahun antibodi maternal sudah menghilang. Di
lain pihak, kehidupan sosialnya semakin luas dan semakin tinggi pula paparan
terhadap makanan dan minuman yang tercemar. Pasien Penyakit Hati Kronis,
berisiko tinggi hepatitis fulminan bila tertular VHA. Kelompok lain: pengunjung
ke daerah endemis; penyaji makanan; anak usia 23 tahun di Tempat Penitipan
Anak (TPA); staf TPA; staf dan penghuni institusi untuk cacat mental; pria
homoseksual dengan pasangan ganda; pasien koagulopati; pekerja dengan primata
bukan manusia; staf bangsal neonatologi.
Vaksin VHA tidak boleh diberikan kepada individu yang mengalami
reaksi berat sesudah penyuntikan dosis pertama.
Dosis vaksin bervariasi tergantung produk dan usia resipien. Vaksin
diberikan 2 kali, suntikan kedua atau booster bervariasi antara 6 sampai 18 bulan
setelah dosis pertama, tergantung produk. Vaksin diberikan pada usia 2 tahun

e. Vaksin Influenza
Vaksin influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza
virus). Vaksin influenza mengandung antigen dari dua sub tipe virus influenza A
dan satu sub tipe virus influenza B, subtipenya setiap tahun direkomendasikan
oleh WHO berdasarkan surveilans epidemiologi seluruh dunia.

f. Vaksin Pneumokokus
Terdapat dua macam vaksin pneumokokus yaitu vaksin pneumokokus
polisakarida (pneumococcal polysacharide vaccine/PPV) dan vaksin
pneumokokus polisakarida konyugasi (pneumococcal conjugate vaccine/PCV).
Tabel 5. Perbadingan PPV dan PCV
Vaksin Pneumokokus polisakarida (PPV) diberikan pada lansia usia > 65
tahun, anak usia > 2 tahun yang mempunyai risiko tinggi IPD (Invasive
Pneumococcal Disease) yaitu anak dengan asplenia (kongenital atau didapat),
penyakit sickle cell, splenic dysfunction dan HIV. Imunisasi diberikan dua minggu
sebelum splenektomi. Pasien usia > 2 tahun dengan imunokompromais yaitu
HIV/AIDS, sindrom nefrotik, multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan
transplantasi organ. Pasien usia > 2 tahun dengan imunokompeten yang menderita
penyakit kronis yaitu penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes. Pasien usia > 2
tahun kebocoran cairan serebrospinal.
Vaksin polisakarida konjugat (PVC) direkomendasikan pada semua anak sehat
usia 2 bulan5 tahun, anak dengan risiko tinggi IPD termasuk anak dengan
asplenia baik kongenital atau didapat, termasuk anak dengan penyakit sickle cell,
splenic dysfunction dan HIV. Imunisasi diberikan dua minggu sebelum
splenektomi, pasien dengan imunokompromais yaitu HIV/AIDS, sindrom
nefrotik, multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan transplantasi organ,
pasien dengan imunokompeten yang menderita penyakit kronis yaitu penyakit
paru atau ginjal kronis, diabetes, pasien kebocoran cairan serebrospinal, selain itu
juga dianjurkan pada anak yang tinggal di rumah yang huniannya padat,
lingkungan merokok, di panti asuhan dan sering terserang akut otitis media .
Vaksin PCV diberikan pada bayi umur 2, 4, 6 bulan dan diulang pada umur
12-15 bulan. Pemberian PCV minimal umur 6 minggu. Interval antara dua dosis
4-8 minggu. Paling sedikit diberikan 2 bulan setelah dosis PCV ketiga. Apabila
anak datang setelah berusia lebih dari 7 bulan maka diberikan jadwal dan dosis
seperti pada tabel berikut ini:
g. Vaksin Rotavirus
Terdiri dari vaksin monovalent dan pentavalent. Vaksin monovalent oral
berasal dari human RV vaccine RIX 4414, dengan sifat berikut : Live, attenuated,
berasal dari human RV/galur 89 12, Monovalen, berisi RV tipe G1, P1A (P8),
mempunyai neutralizing epitope yang sama dengan RV tipe G1, G3, G4 dan G9
yang merupakan mayoritas isolat yang ditemukan pada manusia, vaksin diberikan
secara oral dengan dilengkapi bufer dalam kemasannya, pemberian dalam 2 dosis
pada usia 612 minggu dengan interval 8 minggu.
Sedangkan vaksin pentavalent oral merupakan kombinasi dari strain yang
diisolasi dari human dan bovine yang bersifat live, attenuated, empat reassortant
berasal dari human G1,G2,G3 dan G4 serta bovine P7. Reassortant kelima berasal
dari bovine G6P1A(8), pemberian dalam 3 (tiga) dosis dengan interval 4 10
minggu sejak pemberian dosis pertama, dosis pertama diberikan umur 2 bulan.
Vaksin ini maksimal diberikan pada saat bayi berumur 8 bulan. Pemberian vaksin
rotavirus diharapkan selesai pada usia 24 minggu.
h. Vaksin Japanese Ensephalitis
Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada hari
ke 0,7 dan ke 28. Untuk anak yang berumur 13 tahun dosis yang diberikan
masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama. Booster diberikan pada
individu yang berisiko tinggi dengan dosis 1 ml tiga tahun kemudian

i. Human Papiloma Virus


Vaksin HPV berpotensi untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
yang berhubungan dengan infeksi HPV. Terdapat dua jenis vaksin HPV yaitu
Vaksin bivalen (tipe 16 dan 18) dan Vaksin quadrivalen (tipe 6, 11, 16 dan 18).
Vaksin HPV mempunyai efikasi 9698% untuk mencegah kanker leher rahim
yang disebabkan oleh HPV tipe 16/18.
Imunisasi vaksin HPV diperuntukkan pada anak perempuan sejak usia > 10
tahun. Dosis 0,5 ml, diberikan secara intra muskular pada daerah deltoid. Vaksin
HPV bivalen, jadwal 0,1 dan 6 bulan pada anak usia lebih dari 10 tahun. Vaksin
HPV quadrivalen, jadwal 0,2 dan 6 bulan pada anak usia lebih dari 10 tahun

E. Rantai Dingin (cold chain) Pendistribusian Vaksin


Vaksin merupakan bahan biologis yang mudah rusak sehingga harus
disimpan pada suhu tertentu (pada suhu 2 s/d 8 C untuk vaksin sensitif beku atau
pada suhu -15 s/d -25 C untuk vaksin yang sensitif panas).1
Gambar 6. Rantai dingin distribusi vaksin 4

1. Pendistribusian 1
Sesuai dengan tingkat administrasi, maka sarana coldchain yang dibutuhkan
pada provinsi yaitu Coldroom, freeze room, lemari es dan freezer, pada
Kabupaten/kota : Coldroom, lemari es dan freezer, dan Puskesmas : Lemari es.
Pengadaan vaksin untuk imunisasi wajib dilakukan oleh Pemerintah. Untuk
mengatasi keadaan tertentu (Kejadian Luar Biasa, bencana) pengadaan vaksin dapat
dilakukan bekerja sama dengan mitra. Pemerintah daerah kabupaten/kota
bertanggung jawab terhadap pengadaan Auto Disable Syringe, safety box, peralatan
coldchain, emergency kit dan dokumen pencatatan status imunisasi sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah.
Pemerintah bertanggung jawab dalam pendistribusian logistik sampai ketingkat
provinsi. Pendistribusian selanjutnya merupakan tanggung jawab pemerintah daerah
secara berjenjang dengan mekanisme diantar oleh level yang lebih atas atau diambil
oleh level yang lebih bawah, tergantung kebijakan masing-masing daerah.
Seluruh proses distribusi vaksin dari pusat sampai ketingkat pelayanan, harus
mempertahankan kualitas vaksin tetap tinggi agar mampu memberikan kekebalan
yang optimal kepada sasaran.
a. Pusat ke Provinsi
Penyedia vaksin bertanggung jawab terhadap seluruh pengiriman vaksin dari
pusat sampai ke tingkat provinsi. Dinas kesehatan provinsi mengajukan rencana
jadwal penyerapan vaksin alokasi provinsi yang dikirimkan kepada Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, tembusan
kepada Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan cq.
Subdit Imunisasi serta kepada penyedia vaksin paling lambat 10 hari kerja setelah
alokasi vaksin diterima di provinsi.
Vaksin akan dikirimkan sesuai jadwal rencana penyerapan dan atau permintaan
yang diajukan oleh dinas kesehatan provinsi. Pengiriman vaksin (terutama BCG)
dilakukan secara bertahap (minimal dalam dua kali pengiriman) dengan interval
waktu dan jumlah yang seimbang dengan memperhatikan tanggal kadaluarsa dan
kemampuan penyerapan serta kapasitas tempat penyimpanan. Vaksin untuk
kegiatan BIAS dikirimkan 1 (satu) bulan sebelum pelaksanaan kegiatan. Vaksin
alokasi pusat akan dikirimkan berdasarkan permintaan resmi dari dinas kesehatan
provinsi yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan cq. Direktur Surveilans, Imunisasi,
Karantina dan Kesehatan Matra dengan melampirkan laporan monitoring vaksin
pada bulan terakhir. Dalam setiap pengiriman vaksin harus disertakan dokumen
berupa: a) SP (Surat Pengantar ) untuk vaksin alokasi provinsi/SBBK (Surat Bukti
Barang Keluar) untuk vaksin alokasi pusat. b) VAR (Vaccine Arrival Report) untuk
setiap nomor batch vaksin. c) Copy CoR (Certificate of Release) untuk setiap batch
vaksin.
Wadah pengiriman vaksin berupa cold box yang disertai alat untuk
mempertahankan suhu dingin berupa : a) Cool pack untuk vaksin TT, Td, DT,
Hepatitis B, dan DPT-HB. b) Cold pack untuk vaksin BCG dan Campak. c) Dry ice
dan/atau cold pack untuk vaksin Polio. Pelarut dan penetes dikemas pada suhu
kamar terpisah dengan vaksin (tanpa menggunakan pendingin). Pada setiap cold
box disertakan alat pemantau paparan suhu tambahan berupa: a) Indikator paparan
suhu beku untuk vaksin sensitif beku (DT, TT, Td, Hep.B dan DPT-HB). b)
Indikator paparan suhu panas untuk vaksin BCG.

b. Dari Provinsi ke Kabupaten/Kota


Merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah dengan cara diantar oleh
provinsi atau diambil oleh kabupaten/kota. Dilakukan atas dasar permintaan resmi
dari dinas kesehatan kabupaten/kota dengan mempertimbangkan stok maksimum
dan daya tampung tempat penyimpanan. Menggunakan cold box yang disertai alat
penahan suhu dingin berupa : a) Cool pack untuk vaksin TT, DT, Td, Hepatitis B
PID dan DPT-HB. b) Cold pack untuk vaksin BCG, Campak dan Polio. Apabila
vaksin sensitif beku dan sensitif panas ditempatkan dalam satu wadah maka
pengepakannya menggunakan cold box yang berisi cool pack. Dalam setiap
pengiriman harus disertai dengan dokumen berupa: a) VAR (Vaccine Arrival Report)
yang mencantumkan seluruh vaksin. b) SBBK (Surat Bukti Barang Keluar).
Pengepakan vaksin sensitif beku harus dilengkapi dengan indikator pembekuan.

c. Dari Kabupaten/Kota ke Puskesmas


Dilakukan dengan cara diantar oleh kabupaten/kota atau diambil oleh
puskesmas. Dilakukan atas dasar permintaan resmi dari puskesmas dengan
mempertimbangkan stok maksimum dan daya tampung penyimpanan vaksin.
Menggunakan cold box atau vaksin carrier yang disertai dengan cool pack. Disertai
dengan dokumen pengiriman berupa Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) dan
Vaccine Arrival Report (VAR). Pada setiap cold box atau vaksin carrier disertai
dengan indikator pembekuan.
d. Distribusi dari Puskesmas ke tempat pelayanan.
Vaksin dibawa dengan menggunakan vaksin carrier yang diisi cool pack dengan
jumlah yang sesuai.

2. Penyimpanan 1
Untuk menjaga kualitas vaksin tetap tinggi sejak diterima sampai didistribusikan
ketingkat berikutnya (atau digunakan), vaksin harus selalu disimpan pada suhu yang
telah ditetapkan, yaitu:
a. Provinsi
Vaksin Polio disimpan pada suhu -150C s/d -250C pada freeze room atau freezer.
b. Kabupaten/kota
Vaksin polio disimpan pada suhu -15oC s/d -25oC pada freezer. Vaksin lainnya
disimpan pada suhu 2 oC s/d 8oC pada coldroom atau lemari es.
c. Puskesmas
Semua vaksin disimpan pada suhu 2 oC s/d 8 oC, pada lemari es. Khusus vaksin
Hepatitis B, pada bidan desa disimpan pada suhu ruangan, terlindung dari sinar
matahari langsung.
Tabel 9. Penyimpanan Vaksin 1

Penyimpanan pelarut vaksin pada suhu 2oC s/d 8oC atau pada suhu ruang
terhindar dari sinar matahari langsung. Sehari sebelum digunakan, pelarut disimpan
pada suhu 2oC s/d 8 oC. Beberapa ketentuan yang harus selalu diperhatikan dalam
pemakaian vaksin secara berurutan adalah paparan vaksin terhadap panas, masa
kadaluwarsa vaksin, waktu pendistribusian/penerimaan serta ketentuan pemakaian
sisa vaksin.
3. Sarana penyimpanan 1
a. Kamar dingin dan kamar beku 1) Kamar dingin (cold room) adalah sebuah
tempat penyimpanan vaksin yang mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000
liter (5 M3) sampai dengan 100.000 liter (100 M3). Suhu bagian dalamnya
mempunyai kisaran antara +2oC s/d +8oC. Kamar dingin ini berfungsi untuk
menyimpan vaksin BCG, campak, DPT, TT, DT, hepatitis B dan DPT-HB.
b. Kamar beku (freeze room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin yang
mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 M3) sampai dengan 100.000
liter (100 M3), suhu bagian dalamnya mempunyai kisaran antara -15oC s/d
-25oC. Kamar beku utamanya berfungsi untuk menyimpan vaksin polio.
Kamar dingin dan kamar beku umumnya hanya terdapat di tingkat provinsi
mengingat provinsi harus menampung vaksin dengan jumlah yang besar dan dalam
jangka waktu yang cukup lama. Secara teknis sistem pendingin kamar dingin dan
kamar beku dibagi dalam 3 (tiga) sistem, yaitu:
1) Sistem pendingin dengan menggunakan Hermatic Compressor;
2) Sistem pendingin dengan menggunakan Semi Hermatic Compressor; dan
3) Sistem pendingin dengan menggunakan Open type Compressor.
Aturan pengoperasian kamar dingin dan kamar beku:
1) Kamar dingin/kamar beku harus dioperasikan secara terus menerus selam 24 jam.
2) Listrik dan suhu bagian dalam harus selalu terjaga.
3) Kamar dingin/kamar beku hanya untuk menyimpan vaksin.
Setiap kamar dingin/kamar beku mempunyai atau dilengkapi dengan:
1) 2 (dua) buah cooling unit sebagai pendinginnya dan diatur agar cooling unit ini
bekerja bergantian.
2) Satu unit generator (genset) automatis atau manual yang selalu siap untuk
beroperasi bila listrik padam.
3) Alarm control yang akan berbunyi pada suhu di bawah +2oC atau pada suhu di atas
+8oC atau pada saat power listrik padam.
4) Satu buah termograf yang dapat mencatat suhu secara automatis selama 24 jam.
5) Satu thermometer yang terpasang pada dinding luar kamar dingin atau kamar beku.
6) Freeeze watch atau freeze-tag yang harus diletakkan pada bagian dalam kamar
dingin untuk mengetahui bila terjadi penurunan suhu dibawah 0oC

c. Lemari es dan freezer


Lemari es adalah tempat menyimpan vaksin BCG, Td, TT, DT, hepatitis B,
Campak dan DPT-HB-Hib, pada suhu yang ditentukan +2 0C s.d. +8 0C dapat juga
difungsikan untuk membuat kotak dingin cair (cool pack).
Freezer adalah untuk menyimpan vaksin polio pada suhu yang ditentukan antara
-15oC s/d -25oC atau membuat kotak es beku (cold pack).
Bentuk pintu lemari es/freezer:
1) Bentuk buka dari depan (front opening)
Lemari es/freezer dengan bentuk pintu buka dari depan banyak digunakan dalam
rumah tangga atau pertokoan, seperti: untuk meyimpan makanan, minuman, buah-
buahan yang sifat penyimpanannya sangat terbatas. Bentuk ini tidak dianjurkan untuk
penyimpanan vaksin.
2) Bentuk buka keatas (top opening)
Bentuk top opening pada umumnya adalah freezer yang biasanya digunakan untuk
menyimpan bahan makanan, ice cream, daging atau lemari es untuk penyimpanan
vaksin. Salah satu bentuk lemari es top opening adalah ILR (Ice Lined Refrigerator)
yaitu: freezer yang dimodifikasi menjadi lemari es dengan suhu bagian dalam +2oC
s/d +8oC, hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan volume penyimpanan
vaksin pada lemari es. Modifikasi dilakukan dengan meletakkan kotak dingin cair
(cool pack) pada sekeliling bagian dalam freezer sebagai penahan dingin dan diberi
pembatas berupa aluminium atau multiplex atau acrylic plastic.

F. Cakupan Imunisasi Nasional


Pencapaian cakupan imunisasi dasar lengkap nasional tahun 2008-2013 menurut
data rutin telah mencapai target namun berdasarkan Riskesdas belum. 5
Gambar 7. Presentase Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap di Indonesia tahun 2008-2013 5

Data rutin yang dikumpulkan Ditjen P2PL lebih tinggi dibandingkan yang
diperoleh dari data Riskesdas. Target cakupan imunisasi dasar lengkap berdasarkan
data rutin yang dikumpulkan Subdit Imunisasi Ditjen P2PL Kemenkes RI telah
mencapai target dan diharapkan dapat mencapai target tahun 2014 sebesar 90%.5
Indonesia juga berkomitmen pada lingkup ASEAN dan SEARO untuk
mempertahankan cakupan imunisasi campak sebesar 90%. Hal ini terkait dengan
realita bahwa campak adalah penyebab utama kematian pada balita. Selama 6 tahun
terakhir, menurut data rutin dari Ditjen PP&PL Indonesia telah mencapai target,
namun jika dilihat dari data Riskesdas masih di bawah target. 5
Gambar 8. Presentase cakupan imunisasi campak di Indonesia tahun 2007-2013 5

Gambar 9. Cakupan UCI desa di Indonesia tahun 2007-2013 5

UCI adalah gambaran suatu desa/kelurahan dimana 80% dari jumlah bayi
(0-11) yang ada di desa/kelurahan tersebut sudah mendapat imunisasi dasar lengkap.5

Gambar 10. Cakupan UCI desa menurut Provinsi tahun 2013 5


Sampai dengan akhir tahun 2013, terdapat 20 provinsi yang mencapai target
>80%, 9 provinsi yang mencapai target 95% dan di antaranya terdapat 3 provinsi
yang telah mencapai 100% yaitu DKI Jakarta, Jambi dan DI Yogyakarta. 5

Gambar 11. Cakupan BIAS di Indonesia tahun 2007-2013 5

Terlihat cakupan dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Semenjak tahun


2011 cakupan BIAS selalu di atas 90% untuk semua jenis imunisasi. Tampak
perbedaan cakupan imunisasi campak anak kelas satu SD dengan cakupan imunisasi
DT kelas satu SD dari tahun 2007-2011 antara 0,2-10,2%. Perbedaan ini merupakan
missed opportunity (kehilangan kesempatan), mengingat kelompok sasaran kedua
imunisasi ini adalah sama. Namun, pada tahun 2012 dan 2013 perbedaan/selisih
cakupan kedua imunisasi kecil. 5
Gambar 12. Cakupan TT2 pada ibu Hamil di Indonesia tahun 2004-2013 5

Cakupan TT2+ data rutin tahun 2004-2007 menurun kemudian meningkat


kembali pada kisaran 60-80% pada tahun 2008 hingga 2013. Bila dibandingkan
laporan rutin TT2+ ibu hamil dengan survei Riskesdas tahun 2010, terdapat
perbedaan cakupan sebanyak 22,3%, dimana cakupan Riskesdas lebih rendah. 5
Terdapat perbedaan cakupan yang sangat besar mencapai 47,5% dari cakupan
tertinggi dengan cakupan terendah dalam 10 tahun. Hal ini menunjukkan terdapat
masalah dengan kualitas data cakupan TT2+ ibu hamil. Kemungkinan disebabkan
adanya perbedaan persepsi terhadap definisi operasional cakupan TT2+ ibu hamil
yang dilaporkan, permasalah pada format pencatatan dan pelaporan dan lain-lain.
Sehingga perlu ada upaya untuk menata sistem pencatatan dan pelaporan TT2+ ibu
hamil. 5
Gambar 13. Cakupan imunisasi BCG dan Jumlah Kasus BTA+ Baru Usia 0-14 tahun
di Indonesia tahun 2007-2013 5

Prevalensi TB menurut Riskesdas 2007 dan 2010 tetap 0,4%. Cakupan yang
bersumber dari hasil Riskesdas lebih rendah dibandingkan yang dikumpulkan
melalui pengumpulan data rutin oleh Ditjen P2PL, Kemenkes RI. Cakupan imunisasi
yang tinggi dan angka kejadian yang relatif, bisa jadi tetap menunjukkan faktor lain
lebih banyak berpengaruh. Jumlah kasus TB baru BTA+ umur 0-14 tahun cenderung
sedikit menurun/tetap, jika dihitung dalam jumlah kasus BTA+ umur 0-14 tahun per
1000 anak umur 0-14 tahun berada pada kisaran 0,02-0,03 kasus/1000 anak umur 0-
14 tahun. 5
Gambar 14. Cakupan Imunisasi DPT dan Jumlah Kasus Difteri di Indonesia tahun
2007-2013 5

Cakupan yang bersumber dari Riskesdas lebih rendah dibandingkan yang


dikumpulkan oleh Subdit Imunisasi, Ditjen P2PL, Kemenkes RI. Hasil Riskesdas
menunjukkan penurunan cakupan imunisasi DPT, kondisi ini diikuti peningkatan
jumlah kasus difteri pada tahun 2010 sampai tahun 2013. 5
Cakupan imunisasi tahun 2012 dari subdit imunisasi menunjukkan
peningkatanan, demikian pula hasil riskesdas 2013. Hal ini diikuti penurunan jumlah
kasus difteri pada tahun 2013. 5
Gambar 15. Cakupan imunisasi campak, Jumlah Kasus dan frekuensi KLB campak di
Indonesia 5

Cakupan imunisasi campak yang bersumber dari Riskesdas lebih rendah


dibandingkan yang dikumpulkan oleh Subdit Imunisasi, Ditjen P2PL, Kemenkes RI.
Hasil RIskesdas menunjukkan penurunan cakupan Imunisasi campak, kondisi ini
diikuti peningkatan jumlah kasus campak pada tahun 2010 sampai tahun 2011.
Cakupan imunisasi campak dari tahun 2011-2013 dari Subdit imunisasi
menunjukkan angka yang sedikit fluktuatif tapi tetap pada kisaran angka tinggi yaitu
diatas 90%. Cakupan imunisai campak menurut hasil Riskesdas 2013 menunjukkan
peningkatan dibandingkan tahun 2010. Hal ini sejalan dengan penurunan jumlah
kasus campak selama periode tahun 2011-2013. 5
Gambar 16. Cakupan Imunisasi Hepatitis B 5

Bila dibandingkan data cakupan imunisasi Hepatitis B yang bersumber dari


laporan rutiin dan dari hasil Riskesdas, maka dapat kita ketahui bahwa terdapat
perbedaan sekitar 20-30% cakupan imunisasi, dimana hasil Riskesdas lebih besar
dari data rutin. 5
Prevalensi nasional Hepatitis berdasarkan hasil Riskesdas meningkat dari tahun
2007 ke 2013 yakni 0,6% meningkat dua kali lipat menjadi 1,2%. Jenis hepatitis
yang banyak menginfeksi penduduk Indonesia dalah hepatitis B (21,8%) dan
hepatitis A (19,3%). 5
G. Cakupan Imunisasi Di Maluku 6
Cakupan Imunisasi HB0 per Kabupaten Kota Provinsi Maluku tahun 2014-
2015

Dari data diatas dapat disimpulkan cakupan HB0 masih berada dibawah target
desa UCI, yang mana target HB0 untuk desa UCI 80%.

Cakupan Imunisasi BCG per Kabupaten Kota Provinsi Maluku tahun


2014-2015

Cakupan imunisasi BCG, masih banyak kabupaten yang belum mencapai target
90%.
Cakupan Imunisasi DPT-HB3/Hib3per Kabupaten Kota Provinsi Maluku
tahun 2014
Cakupan imunisasi DPT-HB3/Hib3 per kabupaten, masih banyak yang belum
mencapai target yang seharusnya (95%).

Cakupan Imunisasi Polio 4 per Kabupaten Kota Provinsi Maluku tahun


2014

Data imunisasi polio pada 11 kabupaten, masih banyak yang belum mencapai
target 90%.

Cakupan Imunisasi Campak per Kabupaten Kota Provinsi Maluku tahun


2014-2015
Banyak kabupaten yang belum yang imunisasi campaknya masih berada di
cakupan rendah., belum mencapai 90%.

Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap per Kabupaten Kota Provinsi Maluku


tahun 2014-2015

Tidak ada kabupaten/kota yang mencapai target imunisasi dasar lengkap

Cakupan Desa UCI per Kabupaten Kota Provinsi Maluku tahun 2014-2015
Dari 11 kabupaten di Maluku, hanya ada 5 kabupaten ( Kota Ambon, Maluku
Tenggara, Maluku Tengah, MTB, dan Kota Tual) yang mencapai target Desa
UCI.
Cakupan Tt2+ Bumil (Ibu Hamil) Per Kab/Kota Provinsi Maluku Tahun
2014 - 2015

Banyak kabupaten yang belum yang imunisasi TT2 masih berada di cakupan
rendah.

Hasil Capaian Pin Polio Per Kab/Kota Provinsi Maluku Tahun 2016
Hasil capaian PIN Polio provinsi Maluku sudah mencapai target yakni lebih dari
90%.

Data tahun 2014 sama halnya dengan sata tahun 2015, banyak kabupaten
yang belum mencapai target imunisasi terutama HBO. Selain itu, Provinsi Maluku
belum mencapai target untuk Desa UCI.

DAFTAR PUSTAKA

1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2013. Tentang


Penyelengaraan Imunisasi. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta;2013
2. Ranuh Gede IGN, Hariyano S, Hadinegoro SRS. Pedoman imunisasi di
Indonesia. Ed 4. Jakarta : Balai Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011
3. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Modul pelatihan imunisasi bagi
petugas puskesmas. Jakarta : Ditjen P2PL;2013
4. Kalsum U. Evaluasi pendistribusian dan penyimpanan vaksin di dinas kesehatan
kabupaten majene Sulawesi barat. Jakarta; 2011
5. Situasi dan analisis imnunisasi. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta : Ditjen P2PL; 2014
6. Tahitu R. Data situasi imunisasi di Maluku tahun 2015. Ambon : Dinkes Provinsi
Maluku; 2016

Anda mungkin juga menyukai