Negara berkembang biasa menghadapi masalah keterbatasan sumber daya dalam upaya
pembangunan ekonomi ketika ingin mencapai hasil maksimum berdasarkan potensi yang dimilikinya.
Sebagaimana negara berkembang lainnya, Indonesia memanfaatkan sumber daya keuangan dalam
bentuk kewajiban baik yang berasal dari dalam negeri (internal debt) maupun dari luar negeri (external
debt) tuntuk memperkuat investasi yang bisa menjadi booster terkuat pembangunan.
Pada masa Orde Baru Indonesia adalah negara yang sangat bergantung pada produksi minyak dan
gas bumi. Penerimaan migas pada masa tersebut sempat mencapai 14% PDB atau senilai dengan 65%
dari Penerimaan Dalam Negeri, hingga sekitar pertengahan 80-an produksi minyak mulai menurun akibat
keringnya kilang-kilang minyak yang biasanya menjadi tumpuan. Pemerintah Indonesia sendiri selama
periode tersebut mengalami kegagalan dalam memanfaatkan sumber daya minyak dan gas bumi untuk
menumbuhkan perekonomian pada sektor lain. Saat produksi minyak sebagai tulang punggung
penerimaan negara sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan pengelolaan fiskal, dimulai dari pertengahan
tahun 1980-an, Indonesia mulai mengalihkan fokus ke penerimaan non migas.
Seiring dengan penerimaan non migas yang menjadi sumber utama pendanaan pemerintah,
penerimaan utang menanjak mengikuti arus kebutuhan investasi. Pengelolaan utang menjadi sangat
krusial mengingat risiko dari penumpukan utang mengikuti arus kebutuhan investasi juga akan membesar
seiring besarnya dana yang dikelola. Undang-Undang No 17 Tahun 2003 menyatakan batasan defisit
senilai 3% dari Produk Domestik Bruto dan jumlah akumulatif utang senilai 60% dari Produk Domestik
Bruto. Batasan tersebut mencegah adanya efek lazy government seperti kasus yang terjadi pada krisis
utang Yunani, di mana pemerintah tidak kreatif dalam menghimpun penerimaan non utang dan
mengakibatkan terjadinya default. Sebaliknya dalam situasi ekonomi di mana pemerintah mampu
memanfaatkan input sumber daya dari utang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, utang akan
menjadi leverage yang mampu menggenjot perputaran roda ekonomi. Gambaran jumlah utang Indonesia
dengan nilai GDP Indonesia dapat kita lihat pada grafik di berikut: