Anda di halaman 1dari 35

TINJAUAN PUSTAKA

PERDARAHAN POST PARTUM


A. Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah
bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal.
Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah
perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai
perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda
vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil,
hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100 x/menit, kadar Hb
< 8 g/dL .

B. Klasifikasi
Perdarahan post partum dibagi menjadi:
a) Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early
postpartum hemorrhage) adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama
setelah kala III.
b) Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late
postpartum hemorrhage). Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan yang
terjadi pada masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah
kala III.

C. Etiologi
Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan postpartum,
faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah 4T (Tonus.
Tissue, Trauma, dan Trombin) dimana tonus paling banyak disebabkan oleh
atonia uteri, sedangkan tissue disebabkan oleh retensio plasenta, serta sisa
plasenta; trauma disebabkan salah satunya oleh perlukaan jalan lahir, serta
trombin biasanya akibat kelainan pembekuan darah. Berikut tabel dan
masing-masing pembahasannya:
Tabel. Etiologi Perdarahan Post Partum

a) Tonus
Salah satu etiologi perdarahan post partum adalah tonus, dimana yang
menjadi penyebab terbanyak dari tonus adalah ketidakmampuan dari
tonus otot uterus untuk berkontraksi atau lebih dikenal dengan atonia
uteri. Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk
berkontraksi dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim. Perdarahan
postpartum secara fisiologis di kontrol oleh kontraksi serat-serat
miometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang
mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi
ketika miometrium tidak dapat berkontraksi.

Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada
palpasi. Atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III
persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam

2
usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari
uterus.

Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum.


Disamping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum
memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan
penderita berkurang. Perdarahan yang banyak bisa menyebabkan
"Sindroma Sheehan yang terjadi tidak lama sesudah persalinan sebagai
akibat syok karena perdarahan. Hipofisis berinvolusi sesudah persalinan
dan diduga bahwa pengaruh syok pada hipofisis yang sedang dalam
involusi dapat menimbulkan nekrosis pada pars anterior. Gejala-gejala
sindrom Sheehan antara lain astenia, hipotensi, dengan anemia, turunnya
berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual
dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak,
penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan
fungsi laktasi.

Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor


resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat
disebabkan oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion
atau abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur
uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat
akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir.

Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan


karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama
bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapal pula terjadi sebagai akibat dari
inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen
anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat anti inflamasi nonsteroid,
magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain
yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis.
endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus

3
couvelaire pada abruptio plasenta dan hipolermia akibat resusitasi masif.
Data terbaru menyebutkan bahwa grande multiparitas bukan merupakan
faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan post partum.

b) Tissue
1. Retensio plasenta
Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal ini
dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena plasenta
belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi
belum dilahirkan.
2. Sisa plasenta
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum
keluar disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau
karena salah penanganan kala III sehingga terjadi lingkaran
konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya
plasenta (inkarserasio plasenta). Sisa plasenta yang tertinggal
merupakan penyebab 20-25 % dari kasus perdarahan postpartum.

Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan adanya massa uterus


yang echogenic yang mendukung diagnosa retensio sisa plasenta.
Hal ini bisa digunakan jika perdarahan beberapa jam setelah
persalinan ataupun pada late postpartum hemorraghe. Apabila
didapatkan cavum uteri kosong tidak perlu dilakukan dilatasi dan
kuretase.
3. Plasenta akreta dan variasinya.
Jika plasenta belum lepas sama sekali maka tidak terjadi perdarahan,
tapi apabila terlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan yang
merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas
dari dinding uterus karena:
a) Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta
(plasenta adhesiva).

4
b) Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis
korialis menembus desidua sampai miometrium sampai dibawah
peritoneum. Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi :

c) Trauma
Sekitar 20% kasus perdarahan postpartum disebabkan oleh trauma jalan
lahir:
1. Robekan Perineum
Robekan perineum dibagi atas 4 tingkat, yaitu:
Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina atau tanpa
mengenai kulit perineum.
Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot
perinei transversalis tetapi tidak mengenai sfingter ani.
Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perineum dan otot
sfingter ani.
Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rectum.
2. Ruptur uterus
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, fektor resiko yang bisa
menyebabkan antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat
operasi uterus sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin.
Rupture uterus sering terjadi akibat jaringan parut sectio secarea
sebelumnya.
3. Inversi uterus
Pada inversio uteri bagian alas uterus memasuki kavum uteri,
sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum
uteri. Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera
setelah plasenta keluar. Inversio uteri dapat dibagi:
Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar
dari ruang tersebut.
Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina.
Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar
terletak diluar vagina.

5
Tindakan yang dapat menyebabkan inversio uteri ialah perasat
crede pada korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan
pada tali pusat dengan plasenta yang belum lepas dari dinding
uterus. Pada penderita dengan syok perdarahan dan fundus uteri
tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah
persalinan selesai. Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor
yang lunak diatas servix uteri atau dalam vagina. Kelainan tersebut
dapat menyebabkan keadaan gawat dengan angka kematian tinggi
(15-70%). Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang terbaik
untuk keselamatan penderita.
4. Perlukaan jalan lahir
Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan
biasanya terjadi karena persalinan secara operasi ataupun persalinan
pervaginam dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan vakum
atau ekstraksi forcep, walau begitu laserasi bisa teijadi pada
sembarang persalinan.

Laserasi pembuluh darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan


menyebabkan hematom, perdarahan akan tidak terdeteksi dan dapat
menjadi berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam
dan bisa menyebabkan terjadinya syok.

Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika


mengenai arteri atau vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada
penundaan antara episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan
antara persalinan dan perbaikan episiotomi.

Perdarahan yang terus terjadi dan kontraksi uterus baik akan


mengarah pada perdarahan dari laserasi ataupun episiotomi. Ketika
laserasi serviks atau vagina diketahui sebagai penyebab perdarahan
maka repair adalah solusi terbaik.

6
5. Vaginal hematom

d) Thrombin / Kelainan Pembekuan Darah


Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan
ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa:
1. Hipofibrinogenemia, kelainan pembuluh darah yang disebabkan
karena defisiensi fibrinogen dapat dijumpai pada: solusio plasenta,
kematian hasil konsepsi yang tertahan lama dalam uterus,
embolismus air ketuban, sepsis, dan eklampsia.
2. Trombositopeni, kurangnya jumlah trombosit pada darah atau
trombositopenia merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
PPH, 3% dari kasus PPH karena trombositopenia disebabkan oleh
ITP.
Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)
ITP merupakan suatu keadaan perdarahan berupa petekie atau
ekimosis di kulit/selaput lendir dan berbagai jaringan dengan
penurunan jumlah trombosit karena sebab yang tidak diketahui,
lebih sering terjadi pada wanita. ITP merupakan penyulit yang
jarang dijumpai dalam kehamilan. Diagnosis dapat dibuat
apabila ada purpura pada kulit, uji tourniquet positif, jumlah
trombosit kurang dari 100.000 per milimeter kubik, ada
perpanjangan masa perdarahan, retraksi beku, dan konsumsi
protrombin, dan jumlah megakariosit dalam sumsum tulang
lebih banyak.

ITP adalah salah satu gangguan perdarahan di dapat yang


paling umum terjadi. ITP adalah sindrom yang di dalamnya
terdapat penurunan jumlah trombosit yang bersirkulasi dalam
keadaan sum-sum normal. Penyebab sebenarnya tidak
diketahui, meskipun diduga disebabkan oleh agen virus yang
merusak trombosit. Pada umumnya gangguan ini didahului
oleh penyakit dengan demam ringan 1-6 minggu sebelum

7
timbul gejala. Gangguan ini dapat digolongkan menjadi 3 jenis,
yaitu akut, kronik dan kambuhan. Pada anak-anak mula-mula
terdapat gejala diantaranya demam, perdarahan, petekie,
purpura dengan trombositopenia dan anemia.
3. Sindrom HELLP
Merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL
untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelets.
Patogenesis sindrom HELLP belum jelas. Sampai sekarang tidak
ditemukan faktor pencetusnya, kelihatannya merupakan akhir dari
kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan
aktivasi trombosit intravaskuler, akibatnya terjadi agregasi
trombosit dari selanjutnya kerusakan endotel. Peningkatan kadar
enzim hati diperkirakan sekunder dari obstruksi aliran darah hati
oleh deposit fibrin pada sinusoid. Trombositopeni dikaitkan
dengan peningkatan pemakaian dan atau destruksi trombosit.

Kriteria diagnosis sindrom HELLP terdiri : Hemolisis, kelainan


apus darah tepi, total bilirubin >1,2mg/dl, laktat dehidrogenase
(LDH) > 600U/L. Peningkatan fungsi hati, serum aspartat
aminotransferase (AST) > 70U/L, laktat dehidrogenase (LDH) >
600 U/L. Jumlah trombosit < 100.000/mm3.(21)
4. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di
seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh
darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan
untuk mengendalikan perdarahan. Orang-orang yang memiliki resiko
paling tinggi untuk menderita DIC:
Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau
persalinan disertai komplikasi, dimana jaringan rahim masuk
ke dalam aliran darah.
Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin
(suatu zat yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan).

8
Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung,
pankreas maupun prostat.

DIC biasanya muncul tiba-tiba dan bisa bersifat sangat berat. Jika
keadaan ini terjadi setelah pembedahan atau persalinan, maka
permukaan sayatan atau jaringan yang robek bisa mengalami
perdarahan hebat dan tidak terkendali. Perdarahan bisa menetap di
daerah tempat penyuntikan atau tusukan. Perdarahan masif bisa
terjadi di dalam otak, saluran pencernaan, kulit, otot dan rongga
tubuh. Bekuan darah di dalam pembuluh darah yang kecil bisa
merusak ginjal (kadang sifatnya menetap) sehingga tidak terbentuk
air kemih.
5. Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari
8 unit karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen
fibrin dan trombosit sudah rusak.

D. Insidensi
Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka
kejadian berkisar antara 5% sampai 15%.
Berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut:
a) Atonia uteri 50 60 %
b) Sisa plasenta 23 24 %
c) Retensio plasenta 16 17 %
d) Laserasi jalan lahir 4 5 %
e) Kelainan darah 0,5 0,8 %

E. Faktor Resiko
Riwayat perdarahan postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan
faktor resiko paling besar untuk terjadinya perdarahan postpartum sehingga
segala upaya harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan
penyebabnya. Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui karcna dapat
menyebabkan terjadinya hemorraghe postpartum:

9
a) Faktor Resiko Antenatal
1. Umur
Meningkatnya usia ibu merupakan factor independen terjadinya
PPH. Jumlah perdarahan pada usia lebih tua lebih besar pada
persalinan sesar disbanding persalinan pervaginam.
2. BMI
Perempuan obese akan memiliki komplikasi intrapartum dan post
partum lebih besar. BMI lebih dari 30 dikaitkan dengan perdarahan
yang lebih banyak.
3. Paritas
Paritas sering dikaitkan dengan resiko perdarahan postpartum.
Namun hingga sekarang, berbagai laporan studi tidak bisa
membuktikan bahwa multiparitas berhubungan dengan PPH. Studi
yang meloprkan hubungan tersebut juga gagal untuk mengendalikan
factor pengganggu lain seperti usia ibu.
4. Penyakit Medis
Beberapa penyakit yang diderita ibu selama kehamilan berhubungan
erat dengan PPH. Diantaranya adalah DM tipe II, penyakit jaringan
konektif, penyakit darah seperti Von Willebrand dan Hemofilia.
5. Kehamilan Post-term
Penelitian menunjukkan hubungan antara kehamilan post-term
dengan terjadinya PPH.
6. Janin Besar
Ibu yang mengandung janin lebih dari 4kg memiliki kemungkinan
besar untuk mengalami PPH. Hal ini diperkuat oleh beberapa
penelitian di mancanegara.
7. Kehamilan Kembar
Secara konsisten penelitian menunjukkan bahwa ibu yang hamil
kembar memiliki 3-4x kemungkinan untuk mengalami PPH.
8. Fibroid

10
Fibroid membuat ibu mempunyai resiko mengalami PPH. Namun
demikian resiko terjadinya PPH lebih tinggi pada persalinan sesar
dibandingkan persalinan pervaginam.
b) Faktor Resiko Intrapartum
1. Induksi Persalinan
Metaanalisis menunjukkan bahwa induksi persalinan yang berkaitan
dengan perdarahan post-partum. Resiko terjadinya perdarahan
adalah 1,5 hingga 1,7 kali dibandingkan tanpa induksi. Induksi yang
telah diteliti meningkatkan perdarahan post-partum adalah induksi
yang menggunakan medikamentosa. Sejauh ini data yang akurat
tentang resiko berbagai jenis metode induksi belum lengkap
sehingga tidak dapat disimpulkan secara definitif.
2. Durasi Persalinan
Lama kala I lebih dari 20 jam pada nulipara atau 14 jam pada
multipara memiliki 1-1,6 kali resiko perdarahan disbanding lama
persalinan yang lebih singkat. Kala II memiliki resiko 2,5 kali lebih
besar bila berlangsung lebih dari 3 jam. Dengan demikian
persalinan dengan kala II lama perlu mengantisipasi lebih awal akan
terjadinya PPH. Pada umur kehamilan berapapun, perdarahan
semakin meningkat bila durasi kala III meningkat dengan
puncaknya 40 menit. Resiko relatifnya berkisar antara 2,1 hingga
6,2 dan semakin tinggi bila kala III berlangsung semakin lama. Titik
potong PPH terjadi pada lama kala tiga lebih daari 18 menit.
3. Analgesia
Studi retrospektif menunjukkan bahwa penggunaan anestesi
epidural berkaitan dengan perdarahan intrapartum, sedangkan
perdarahan post partum meningkat resikonya menjadi 1,6 kali.
Namun demikian bila diperlukan operasi sesar maka analgesia
regional menimbulkan perdarahan lebih kecil dibandingkan
anesthesia umum.
4. Metode Persalinan

11
Penelitian menunjukkan ada perbedaan resiko perdarahan pada
persalinan pervaginam operatif dan juga persalinan sesar.
Kesimpulan tentang ini belum definitif mengingat berbagai factor
perlu diperhitungkan untuk menilai hubungan ini.
5. Episiotomi
Episiotomi jelas menimbulkan perdarahan lebih banyak dibanding
ruptur spontan. Namun selain itu ternyata episiotomi juga
meningkatkan resiko PPH 2-4,6 kali. Pada uji klinik terkendali
terakhir ditunjukkan juga bahwa episiotomy yang dilakukan pada
saat kepala sudah crowning tidak memberikan perbedaan signifikan
terhadap terjadinya PPH.
6. Korioamnionitis
Meningkatkan resiko PPH 1,3 kali bila persalinan pervaginam dan
hingga 2,7 kali bila persalinan sesar.

F. Kriteria Diagnosis
Beberapa gejala yang bisa menunjukkan perdarahan postpartum :
a) Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
b) Penurunan tekanan darah
c) Peningkatan detak jantung
d) Penurunan hitung sel darah merah ( hematokrit)
e) Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar
perineum

Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan


ditatalaksana sesuai penyebabnya. Perdarahan postpartum dapat berupa
perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat
ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan
yang merembes perlahan-lahan tapi teijadi terus menerus sehingga
akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas ataupun jatuh
kedalam syok.

12
Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan
tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai
terjadi syok.

Tabel. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok


Volume Kehilangan Tekanan Darah
Gejala dan Tanda Derajat Syok
Darah Sistolik
500-1.000 mL Normal Palpitasi, Terkompensasi
(10-15%) Takikardi,
Pusing
1000-1500 mL Penurunan ringan (80- Lemah, Ringan
(15-25%) 100 mm Hg) Takikardi,
Berkeringat
1500-2000 mL Penurunan scdang Gelisah, Sedang
(25-35%) (70-80 mm Hg) Pucat,
Oligouria
2000-3000 mL Penurunan tajam (50- Pingsan, Berat
(35-50%) 70 mm Hg) Hipoksia,
Anuria

Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio


plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka
perdarahan akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang
terjadi setelah plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri,
sisa plasenta, atau trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi
uterus akan letnbek dan membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi
uterus baik dilakukan eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta atau
laserasi jalan lahir. Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa
perdarahan postpartum:
a) Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
b) Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
c) Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari:

13
1. Sisa plasenta dan ketuban
2. Robekan Rahim
3. Plasenta seksenturiata adalah plasenta yang mempunyai satu
kotiledon tambahan yang timbul jauh dari struktur plasenta utama.
d) Inspekulo : Untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises
yang pecah.
e) Pemeriksaan laboratorium : Peningkatan degradasi, kadar produk
fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen : masa
tromboplastin partial diaktivasi, masa tromboplastin partial (APT/PTT),
masa protrombin memanjang.
f) Ultrasonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan.

Tabel. Gejala Klinis Perdarahan Postpartum

Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja


Uterus tidak berkontraksi dan Syok, Atonia Uteri
lembek Bekuan darah pada
Perdarahan segera setelah anak serviks atau posisi
lahir telentang akan
menghambat aliran darah
keluar
Darah segar mengalir segera Pucat, Robekan Jalan Lahir
setelah bayi lahir Lemah,
Uterus berkontraksi dan keras Menggigil
Plasenta lengkap
Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus akibat Retensio Plasenta
menit traksi berlebihan
Perdarahan segera Inversio uteri akibat
Uterus berkontraksi dan keras tarikan
Perdarahan lanjutan
Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksi Retensi Sisa Plasenta
tidak lengkap tetapi tinggi fundus tidak

14
Perdarahan Segera berkurang
Uterus tidak teraba Neurogenik syok Inversio Uteri
Lumen vagina terisi massa Pucat dan limbung
Tampak tali pusat (bila plasenta
belum lahir)
Sub involusi uterus Anemia Endometritis atau sisa
Nyeri tekan perut bawah dan pada Demam fragmen plasenta
uterus (terinfeksi atau tidak)
Perdarahan sekunder

G. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar
hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang
buruk.
2. Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode
antenatal.
3. Pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu
pembekuan.

b) Pemeriksaan radiologi
1. Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan
penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan
laboratorium atau radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan USG dapat
membantu untuk melihat adanya gumpalan darah dan retensi sisa plasenta.
2. USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien
dengan resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya
perdarahan post partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat
pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta
akreta dan variannya.

15
H. Penatalaksanaan
Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu:
(1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok
hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan
post partum.
a) Resusitasi cairan
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat
memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab
perdarahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena. Selama
persalinan perlu dipasang paling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan
resiko perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien
dengan resiko sangat tinggi.

Pada perdarahan post partum diberikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam
volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat
melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat
persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian
besar obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat
rendah dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan
kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan
cairan Ringer Laktat.

Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada


penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah
perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak
tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial.
Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan
edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal
dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih
dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan

16
infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah
yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah.

Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan
efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih
baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak
diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap
direkomendasikan.

b) Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan
diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan
tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat.

PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat
indikasi. Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 4 unit PRC untuk
menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume
sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan
infus. Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-
masing unit.

Tabel. Jenis Uterotonika dan Cara Pemberiannya

17
I. Penyulit
Penyulit pada kasus perdarahan post partum adalah :
a) Syok ireversibel
b) DIC

J. Pencegahan
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan kala III
dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan post partum.
Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut:
a) Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan.
b) Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat
c) Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus
berkontraksi dengan baik.

18
Berdasarkan etiologinya, perdarahan post partum dapat disebabkan berbagai macam hal,
diantaranya adalah atonia uteri, retensio plasenta, laserasi jalan lahir dan kelainan darah.

A. ATONIA UTERI
I. Definisi
Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus untuk
berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post
partum yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4
jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan hebat dan
dapat mengarah pada terjadinya syok hipovolemik.

II. Etiologi
Over distensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko mayor
terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan
ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin (misal
hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan
plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun
sesudah plasenta lahir.

Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena


persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan
stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang
disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-
obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan
nifedipin. Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri
(korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi pada
abruptio plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif. Data terbaru
menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan merupakan faktor resiko
independen untuk terjadinya perdarahan post partum.

19
III. Faktor Risiko
a) Grandemultipara.
b) Uterus yang terlalu regang (hidramion, hamil ganda, anak sangat besar/ BB >
4000 gram).
c) Kelainan uterus (uterus bikornis, mioma uteri, bekas operasi).
d) Plasenta previa dan solusio plasenta (perdarahan ante partum).
e) Partus lama
f) Partus presipitatus.
g) Hipertensi dalam kehamilan.
h) Infeksi uterus.
i) Anemia berat.
j) Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus).
k) Riwayat PPH sebelumnya atau riwayat manual plasenta.
l) Pimpinan kala III yang salah dengan memijit-mijit dan mendorong-dorong
uterus sebelum plasenta terlepas.

IV. Penatalaksanaan
a) Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri
b) Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada perbaikan
dan perdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus.
c) Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian
dipasang tampon uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil, dipertahankan
selama 24 jam.
d) Kompresi bimanual eksternal
Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan
kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang
keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga
uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi
bimanual internal
e) Kompresi bimanual internal
Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju
tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium

20
(sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi.
Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu
hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi , coba
kompresi aorta abdominalis
f) Kompresi aorta abdominalis
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi
tersebut,genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus,
tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis.
Penekanan yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut
arteri femoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang
terjadi
g) Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin / ergometrin, bisa
dicoba prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskuler atau langsung pada
miometrium (transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat diulang dalam
5 menit dan tiap 2 atau 3 jam sesudahnya.
h) Laparotomi dilakukan bila uterus tetap lembek dan perdarahan yang terjadi
tetap > 200 mL/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri uterina atau
hipogastrik (khusus untuk penderita yang belum punya anak atau muda sekali)
i) Bila tak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.

21
Bagan II.2. Penilaian Klinik Atonia Uteri2

22
B. RETENSIO PLASENTA

I. Definisi
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau
lebih dari 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan
plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus

II. Klasifikasi
Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis, antara lain:
a) Plasenta adhesiva adalah plasenta yang melekat pada desidua endometrium
lebih dalam sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
b) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai
sebagian lapisan miometrium sampai ke serosa
c) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
mencapai/melewati lapisan miometrium
d) Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus
lapisan miometrium hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus
e) Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri

Gambar. Plasenta Perkreta-Akreta-Inkarserata

23
Tabel II.4. Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta
Gejala Separasi / akreta parsial Plasenta inkarserata Plasenta akreta
Konsistensi uterus Kenyal Keras Cukup
Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah pusat Sepusat
Bentuk uterus Diskoid Agak globuler Diskoid
Perdarahan Sedang-banyak Sedang Sedikit/tidak ada
Tali pusat Terjulur sebagian Terjulur Tidak terjulur
Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka
Separasi plasenta Lepas sebagian Sudah lepas Melekat seluruhnya
Syok Sering Jarang Jarang sekali

III. Penatalaksanaan
a) Retensio plasenta dengan separasi parsial
1. Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan
yang akan diambil
2. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi
plasenta tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
3. Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per
menit. Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal
(sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang
timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri)
4. Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual
plasenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi
dan perdarahan
5. Lakukan transfusi darah apabila diperlukan
6. Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV / oral + metronidazol 1 g
supositoria / oral)
7. Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok
neurogenik

24
b) Plasenta inkarserata
1. Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan
pemeriksaan
2. Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan
konstriksi serviks dan melahirkan plasenta
3. Pilih fluethane atau eter untuk konstriksi serviks yang kuat, siapkan infus
oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit untuk
mengantisipasi gangguan kontraksi yang diakibatkan bahan anestesi
tersebut
4. Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilalui cunam
ovum, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk
prosedur ini berikan analgesik (Tramadol 100 mg IV atau Pethidine 50 mg
IV) dan sedatif (Diazepam 5 mg IV) pada tabung suntik yang terpisah
c) Sisa Plasenta
1. Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan
pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa
plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien
akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah
beberapa hari pulang ke rumah dan subinvolusi uterus
2. Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis.
Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjutkan 3 x
1 g oral dikombinasi dengan metronidazol 1 g supositoria dilanjutkan 3 x
500 mg oral
3. Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan
bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh
instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuretase
4. Bila kadar Hb < 8 g/dL berikan transfusi darah. Bila kadar Hb > 8 g/dL,
berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari

25
d) Plasenta akreta
1. Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya
fundus atau korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit
ditentukan tepi plasenta karena implantasi yang dalam
2. Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah
menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit rujukan
karena kasus ini memerlukan tindakan operatif

26
27
C. LASERASI JALAN LAHIR
I. Klasifikasi
a) Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
Tingkat perlukaan perineum dapat dibagi dalam:
1. Tingkat I: bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit
perineum
2. Tingkat II : adanya perlukaan yang lebih dalam dan luas ke vagina dan
perineum dengan melukai fasia serta otot-otot diafragma urogenital
3. Tingkat III : perlukaan yang lebih luas dan lebih dalam yang
menyebabkan muskulus sfingter ani eksternus terputus di depan
b) Robekan serviks

II. Faktor Resiko


a) Makrosomia
b) Malpresentasi
c) Partus presipitatus
d) Distosia bahu

III. Penatalaksanaan
a) Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
1. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber
perdarahan
2. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
3. Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang
yang dapat diserap
4. Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari operator

Khusus pada ruptura perineum komplit (hingga anus dan sebagian rektum)
dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sbb:
1. Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi pada rektum hingga ujung
robekan

28
2. Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul
submukosa, menggunakan benang poliglikolik no.2/0 (Dexon/Vicryl)
hingga ke sfingter ani. Jepit kedua sfingter ani dengan klem dan jahit
dengan benang no. 2/0
3. Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa dengan
benang yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur
4. Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan
subkutikuler
5. Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g dan metronidazol 1 g per
oral). Terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak kotor
atau dibubuhi ramuan tradisional atau
6. terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas

b) Robekan serviks
1. Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena serviks yang
terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina isiadika tertekan oleh
kepala bayi
2. Bila kontraksi uterus baik, plasanta lahir lengkap, tetapi terjadi
perdarahan banyakmaka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan
dari portio
3. Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek sehingga
perdarahan dapat segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan tidak
dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan. Jahitan dimulai dari ujung atas
robekan kemudian ke arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit
4. Setelah tindakan, periksa tanda vital psien, kontraksi uterus, tinggi fundus
uteri dan perdarahan pasca tindakan
5. Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
6. Bila terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb < 8 g%,
berikan transfusi darah

29
Bagan II.4. Penilaian Klinik Perdarahan Oleh Karena Persalinan Trumatika2

30
D. KELAINAN DARAH
I. Etiologi
Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet biasanya
tidak menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada kontraksi
uterus untuk mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat perlekatan
plasenta dan penjendalan darah memiliki peran penting beberapa jam hingga
beberapa hari setelah persalinan. Kelainan pada daerah ini dapat menyebabkan
perdarahan post partun sekunder atau perdarahan eksaserbasi dari sebab lain,
terutama trauma.

Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat persalinan.


Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya, seperti ITP
atau sindroma HELLP sekunder, solusio plasenta, DIC atau sepsis. Abnormalitas
platelet dapat saja terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar merupakan
penyakit sebelumnya, walaupun sering tak terdiagnosis.

Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang berupa


hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang didapat
biasanya yang menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang berhubungan
dengan solusio plasenta, sindroma HELLP, IUFD, emboli air ketuban dan sepsis.
Kadar fibrinogen meningkat pada saat hamil, sehingga kadar fibrinogen pada
kisaran normal seperti pada wanita yang tidak hamil harus mendapat perhatian.
Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi setelah perdarahan post partum
masif yang mendapat resusiatsi cairan kristaloid dan transfusi PRC.

DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi
jaringan, yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan.
Pada kasus ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen
yang tajam, serta pemanjangan waktu trombin (thrombin time).

31
II. Penatalaksanaan
Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya
perdarahan post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang mendasari
terjadinya perdarahan post partum, seperti solutio plasenta, sindroma HELLP,
fatty liver pada kehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan septikemia.

Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada pasien
dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit dengan
cepat. Satu unit trombosit biasanya menaikkan hitung trombosit sebesar 5.000
10.000/mm3. Dosis biasa sebesar kemasan 10 unit diberikan bila gejala-gejala
perdarahan telah jelas atau bila hitung trombosit di bawah 20.000/mm3. transfusi
trombosit diindakasikan bila hitung trombosit 10.000 50.000/mm3, jika
direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau diperkirakan
diperlukan suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan
karena masa paruh trombosit hanya 3 4 hari.

Plasma segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V, VII, IX,
X dan fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak diperlukan
adanya kesesuaian donor, tetapi antibodi dalam plasma dapat bereaksi dengan sel-
sel penerima. Bila ditemukan koagulopati, dan belum terdapat pemeriksaan
laboratorium, plasma segar yang dibekukan harus dipakai secara empiris.

Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan fibrinogen,


dipakai dalam penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan penyakit von
Willebrand. Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat diprediksi untuk terjadinya
suatu pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis.

32
BAB IV
KESIMPULAN

1. Perdarahan pasca persalinan Perdarahan pervaginam 500 ml atau lebih yang


terjadi segera setelah bayi lahir sampai 24 jam kemudian.
2. Berdasarkan etiologinya, perdarahan post partum dapat disebabkan oleh atonia
uteri, robekan (laserasi, luka) jalan lahir., retensio plasenta dan sisa plasenta, dan
gangguan pembekuan darah (koagulopati).
3. Gejala klinis yang ditemui adalah perdarahan pervaginam yang terus-menerus
setelah bayi lahir., pucat, mungkin ada tanda-tanda syok, tekanan darah menurun,
denyut nadi cepat dan halus, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain.
4. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis, palpasi uterus ,inspekulo,
laboratorium.
5. Prinsip penanganan adalah menghentikan perdarahan, cegah/ atasi syok., dan
ganti darah yang hilang.

33
DAFTAR PUSTAKA

Alan, Lauren, eds. Postpartum hemorrhage. United States of America: McGraw


Hill Company; 2007.
Badriyah. Pengaruh faktor resiko terhadap perdarahan ibu post partum di RS
Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan. Jurnal penelitian kesehatan suara
forikes. [online]. 2011. Januari.
Clark. Haematological problems in pregnancy. In: edmonds, ed. Dewhurst's
Textbook of Obstetrics and Gynecology. London: Blackwell; 2007.
Emilia, O. Etiologi dan Faktor Resiko PPH. [online] 2011.
Errol, ed. Obstetrics and gynecology at a glance. Oxford: Blackwell; 2001.
Francois, Karrie. 2011. Postpartum Hemorrhage in Obstetric Intensive Care
Manual third edition page 27-37. New York: McGraw Hall
Hanafiah, ed. Perawatan masa nifas. Sumatera Utara: USU digital library; 2004.
Hanifa Wiknjosastro. Gangguan dalam kala III persalinan. Dalam : Abdul,
Trijatmo, eds. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 1999. Hal. 653.
Hanretty, ed. Obstetrics illustrated. London: Churchill; 2003.
Holtsema H, Nijland R, Dony J, Van den Berg P. The B-lynch technique for
postpartum haemorrhage : an option for every gynaecologist. EJOG Vol
115, issue 1, pg 39-42, [online] 15 July 2004
John R. Sindrom HELLP. Cermin dunia kedokteran. [online]. 2006
Joko, ed. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi Jakarta: Hipokrates; 2001.
Koh E. B-lynch suture for the treatment of the uterine atony. Singapore med J.
[online]. 2009
Mike, ed. Buku panduan high risks obstetrics: firedrills and workshop. Jakarta:
the Royal College of Obstetricians and Gynaecologists; 2001.
Prawirohardjo, Sarwono.2008. Ilmu Kebidanan :Perdarahan pasca persalinan
hal.522-529.Jakarta.
Palmer. Hemorrhage in obstetrics. In: Robert, ed. Handbook of Obstetric
Anesthesia. Oxford: Bios; 2002. p. 147.

34
Pitkin, ed. Obstetrics and gynecology an illustrated colour text. London:
Churchill; 2003.
Rukmini. Gambaran penyebab kematian maternal di rumah sakit: Cermin dunia
kedokteran. [online]. 2007.
Shane, B. Mencegah Pcrdarahan Pasca Persalinan: Menangani Persalinan Kala
Tiga. Outlook, [online]. 2002. Juni.
Smith, J. R., Brerman, B. G., Postpartum Hemorrhage, [online]. 2004.
Sulistyono,A. Perdarahan Post Partum. Presentasi Seminar PIT XVIII POGI.
Balikpapan. 2008.
Tim Revisi Kelima Paket Pelatihan PONED. Buku Acuan Pelatihan Klinik
Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar. Jakarta. 2008.
WHO Recommendations For The Prevention And Treatment Of Postpartum
Haemorrhage. 2012
WHO Guidelines For The Management Of Postpartum Haemorrhage And
Retained Placenta. 2009

35

Anda mungkin juga menyukai