Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1
Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara barat.
Angka kejadiannya lebih dari 20% populasi dan insiden meningkat dengan bertambahnya usia . 2
Di negara Barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa. Angka prevalensi orang dewasa
lebih tinggi di negara Amerika Latin (20%-40%) dan rendah di negara Asia (3%-4%). 3
Di Amerika Serikat, terhitung lebih dari 20 juta orang Amerika dengan batu empedu dan dari
hasil otopsi menunjukkan angka kejadian batu empedu paling sedikit 20% pada wanita dan 8%
pada laki-laki di atas umur empat puluhan. Di Inggris, sekitar 5,5 juta orang dengan batu empedu
dan dilakukan lebih dari 50 ribu kolesistektomi tiap tahunnya. 4
Sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi
penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak
mempunyai keluhan. Risiko penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi
relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik
yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat. 1
Sekitar 1 juta pasien baru terdiagnosis mengidap batu empedu per tahun, dengan dua
pertiganya menjalani pembedahan. Angka kematian akibat pembedahan untuk bedah saluran
empedu secara keseluruhan sangat rendah, tetapi sekitar 1000 pasien meninggal setiap tahun
akibat penyakit batu empedu atau penyulit pembedahan. 2
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru Ultrasonografi (USG)
maka banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat
dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang
invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan moralitas. 5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Kolelitiasis disebut juga sinonimnya adalah batu


empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di
dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang
membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. 6

Kolelitiasis atau batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk
suatu material yang menyerupai batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu
(kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya7.

Gambar 1. Lokasi Batu empedu

2.2. EPIDEMIOLOGI

Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian di Indonesia
tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara.6 Peningkatan insiden batu empedu dapat
dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang disebut 5 Fs : female (wanita), fertile (subur)-
khususnya selama kehamilan, fat (gemuk), fair, dan forty (empat puluh tahun).
Tiap tahun 500.000 kasus baru dari batu empedu ditemukan di Amerika Serikat. Kasus
tersebut sebagian besar didapatkan di atas usia pubertas, sedangkan pada anak-anak jarang.
Orang gemuk ternyata mempunyai resiko tiga kali lipat untuk menderita batu empedu. Insiden
pada laki-laki dan wanita pada batu pigmen tidak terlalu banyak. Avni Sali membuktikan bahwa
diet tidak berpengaruh terhadap pembentukan batu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi
jenis batu yang terbentuk. Hal ini didukung oleh peneliti dari Jepang yang menemukan bukti
bahwa orang dengan diet berat biasanya menderita batu jenis kolesterol, sedangkan yang dietnya
tetap biasanya menderita batu jenis pigmen. Faktor keluarga juga berperan dimana apabila
keluarga menderita batu empedu kemungkinan resiko untuk menderita penyakit tersebut dua kali
lipat dari orang normal8.

2.3. EMBRIOLOGI

Cikal bakal saluran empedu dan hati adalah sebuah penonjolan sebesar 3 mm di daerah
ventral usus depan. Bagian cranial tumbuh menjadi hati, bagian kaudal menjadi pankreas,
sedangkan bagian sisanya menjadi kandung empedu. Dari tonjolan berongga yang bagian
padatnya kelak menjadi sel hati, di antara sel hati tersebut tumbuh saluran empedu yang
bercabang cabang seperti pohon.6

2.4. ANATOMI KANDUNG EMPEDU

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk bulat lonjong seperti buah


alpukat dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Kandung empedu terletak
tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu terdiri atas fundus, korpus, infundibulum, dan
kolum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana
fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung tulang rawan costa IX
kanan.

Empedu dibentuk oleh sel-sel hati dan ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian
disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum inter lobaris. Saluran ini
kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya
membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai duodenum terdapat
cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan
empedu sebelum disalurkan ke duodenum. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus
membentuk duktus koledokus.

Gambar 2. Anatomi sistem hepatobilier

Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica kanan. V. cystica
mengalirkan darah langsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena
vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu9.

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum
vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang
perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung
empedu berasal dari plexus coeliacus9.

2.5. FISIOLOGI KANDUNG EMPEDU

a. Pembentukan dan Komposisi Empedu

Hati memproduksi empedu dan mengekskresikannya ke kanalikuli empedu. Pada


dewasa normal, saat mengkonsumsi makanan menyebabkan produksi empedu di hati sekitar
500 1000 mL empedu per harinya. Sekresi dari empedu merupakan respon terhadap
rangsangan neurogenik, humoral, dan kimia. Stimulasi vagal meningkatkan sekresi empedu,
yang mana rangasangan terhadap n. splanknikus menyebabkan penurunan aliran empedu.
HCL yang ikut berperan dalam proses pencernaan protein, dan asam lemak, di duodenum
menstimulasi pelepasan sekretin dari duodenum yang kemudian meningkatkan produksi dan
aliran empedu. Aliran empedu dari hati melalui duktus hepatikus, yang kemudian memasuki
duktus hepatikus komunis, melalui duktus koledokus, yang berakhir di duodenum. Dengan
sfingter Oddi yang intak, aliran empedu akan langsung ke kandung empedu.10

Empedu terdiri atas air, elektrolit, garam empedu, protein, lipid, dan pigmen empedu.
Konsentrasi natrium, kalium, kalsium, dan klorin di empedu sama dengan di plasma atau
cairan ekstraselular. pH empedu hepatic biasanya netral atau sedikit lebih basa, tetapi dengan
diet yang bevariasi menyebabkan peningkatan protein di empedu sehingga pH menjadi lebih
asam. Garam empedu primer, cholate, dan chenodeoxycholate,disintesis dari kolesterol pada
hati, kemudian dikonjugasikan dengan taurin dan glisin, yang pada empedu bertindak sebagai
anion (asam empedu) yang diseimbangkan oleh natrium. Garam empedu diekskresikan ke
empedu oleh hepatosit dan turut dalam proses pencernaan dan absorbsi lemak di usus. Di
usus, sekitar 80 % dari asam empedu yang terkonjugasi diabsorbsi di ileum terminal, sisanya
kemudian didehidrooksilasi (dekonjugasi) oleh bakteri usus, membentuk asam empedu
sekunder deoxycholate dan lithocholate yang diabsorbsi di kolon, kemudian dibawa kembali
ke hati, dikonjugasikan, dan disekresikan ke empedu. Sekitar 95 % dari asam empedu
direabsorbsi dan kembali ke hepar melalui sistem vena portal, sehingga disebut sebagai
sirkulasi enterohepatik. Lima persen diekskresikan ke feses.10

Sintesis kolesterol dan fosfolipid di hepar merupakan prinsip sehingga lipid dapat
ditemukan pada empedu. Warna dari empedu berhubungan dengan pigmen bilirubin
diglukuronida, yang merupakan produk metabolik dari hemoglobin, dengan konsentrasi pada
empedu 100 kali lebih tinggi dibanding pada plasma. Di usus, bakteri kemudian
mengkoversinya ke dalam urobilinogen.10

b. Fungsi Kandung Empedu

Kandung empedu, duktus bilier, dan sfingter Oddi bersama sama bekerja untuk
menyimpan dan mengatur aliran empedu. Fungsi utama dari kandung empedu adalah untuk
mengatur kadar dan menyimpan empedu hepar dan dan membawa empedu ke duodenum
sebagai respon terhadap makanan.10

- Absorbsi dan Sekresi

Pada kondisi puasa, sekitar 80 % dari empedu disekresikan oleh hati yang
disimpan di kandung empedu. Proses penyimpanan tersebut dapat terjadi karena adanya
kapasitas absortif dari kandung empedu, yang mana mukosa kandung empedu memiliki
kekuatan absorbsi per unit area dari tiap struktur. Kandung empedu dengan cepat
mengabsorbsi natrium, klorida, dan air yang menyebabkan perubahan komposisi empedu.
Absorbsi yang cepat ini merupakan salah satu mekanisme dalam mencegah peningkatan
tekanan pada sistem bilier pada kondisi di bawah normal. Relaksasi yang bertahap
pengosongan empedu selama keadaan puasa juga berperan penting dalam memelihara
tekanan intraluminal agar relative rendah pada saluran bilier.10

Sel sel epitel dari kandung empedu mensekresikan 2 produk yang penting ke
lumen kandung empedu yaitu glikoprotein dan hydrogen. Kelenjar kelenjar pada
mukosa infundibulum dan leher dari kandung empedu mensekresikan mucus glikoprotein
yang diyakini melindungi mukosa dari efek litik empedu dan memfasilitasi aliran empedu
melewati duktus sistikus. Mucus ini memberikan warna putih pada empedu yang dapat
ditemukan pada kondisi hidrop kandung empedu akibat dari obstruksi duktus sistikus.
Transport ion hydrogen olehh epitel kandung empedu menyebabkan penurunan pH dari
empedu. Kondisi asam menyebabkan pemadatan kalsium sehingga kondisi pH yang turun
mencegah terbentuknya presipitasi garam kalsium.10

- Aktivitas Motorik

Pengisian kandung empedu difasilitasi oleh kontraksi tonik dari sfingter Oddi,
yang menciptakan gradient tekanan antara duktus bilier dan kandung empedu. Selama
fase puasa kandung empedu tidak terisi secara pasif. Sehubungan dengan fase II dari
proses pencernaan berupa pergerakan dari kompleks motorikk myenterik pada usus,
kandung empedu secara berulang mengeluarkan sejumlah empedu ke duodenum. Proses
ini dimediasi oleh hormone motilin. Sebagai respon terhadap makanan, pengosongan
kandung empedu merupakan koordinasi respon motorik dari kontraksi kandung empedu
dan relaksasi sfingter Oddi. Salah satu stimulus yang paling berperan dalam pengosongan
kandung empedu adalah hormone kolesistokinin (CCK) yang dilepaskan oleh mukosa
duodenum sebagai respon terhadap makanan. Ketika terdapat rangsang makanan,
kandung empedu mengeluarkan 50 70 % isinya dalam waktu 30 40 menit. Dalam 60
90 menit kandung empedu kemudian terisi kembali secara bertahap. Hal ini
berhubungan dengan berkurangnya kadar CCK. Hormone dan jalur neural lain juga
berperan dalam koordinasi kandung empedu dan sfingter Oddii. Defek pada aktivitas
motorik kandung empedu berperan dalam nukleasi kolesterol dan pembentukan batu
kandung empedu.10

- Regulasi Neurohormonal

Saraf vagus menstimulasi kontraksi dari kandung empedu, dan saraf simpatis
splanikus menghambat aktivitas tersebut. Obat obat parasimpatomimetik menyebabkan
kontraksi kanduung empedu, sedangkan atropine menyebabkan relaksasi. Secara neural,
lengkung refleks pada sfingter Oddi dengan kandung empedu, lambung, dan duodenum
mengkoordinasikan aliran empedu ke duodenum. Distensi antrum pada lambung
menyebabkan kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi. 10

Reseptor reseptor hormonal terletak pada otot polos, pembuluh darah, saraf, dan
epitel kandung empedu. CCK merupakan hormone peptide yang berasal dari sel epitel
saluran cerna bagian atas dan ditemukan dalam konsentrasi yang sangat tinggi pada
duodenum. CCK dilepaskan ke pembuluh darah oleh asam, lemak, asam amino pada
duodenum. Waktu paruh CCK dalam plasma 2 3 menit dan dimetabolisme oleh hati dan
ginjal. CCK secara langsung bekerja pada reseptornya di otot polos kandung empedu dan
menstimulasi kontraksi kandung empedu. CCK juga menyebabkan relaksasi dari bagian
terminal duktus bilier, sfingter Oddi, dan duodenum, stimulasi CCK pada kandung
empedu dan saluran bilier juga dimediasi oleh saraf vagus kolinergik. Pada pasien yang
telah melakukan vagotomi, respon terhadap CCK berkurang dan ukuran serta volume
kandung empedu meningkat.10
VIP menghambat kontraksi dan menyebabkan relaksasi kandung empedu.
Somatostatin dan analognya merupakan inhibitor yang poten terhadap kontraksi
kaandung empedu. Pasien yang mendapat terapi analog somatostatin dan dengan
somatostatinoma memiliki insidensi yang tinggi terhadap batu kandung empedu,
sehubungan dengan inhibisi kontraksi kandung empedu. Hormone lain seperti substansi P
dan enkefalin berpengaruh terhadap kontraksi kandung empedu namun mekanismenya
belum jelas.10

c. Sfingter Oddi

Sfingter Oddi mengatur aliran empedu (dan produk pankreas) ke duodenum,


mencegah regurgitasi isi duodenum ke saluran bilier, dan empedu ke kandung empedu.
Sfingter Oddi memiliki struktur yang kompleks yang berfungsi independen dari otot
duodenum dan meciptakan tekanan yang tinggi antara duktus bilier dan duodenum. Sfingter
Oddi memiliki panjang 4 6 mm dan memiliki tekanan basal sekitar 13 mmHg di atas
tekanan duodenum. Pada manometri, sfingter menunjukkan kontraksi fasik dengan frekuensi
4 kali per menit dan amplitudo 12 140 mmHg. Sfingter secara primer mengontrol
pengaturan aliran empedu. Relakksasi terjadi bila terdapat peningkatan CCK, yang
menyebabkan berkurangnya amplitude kontraksi fasik dan mengurangi tekanan basal,
sehingga terjadi peningkatan aliran empedu ke duodenum (Gambar 4). Selama kondisi
puasa, aktivitas sfingter Oddi dikoordinasikan dengan pengosongan kandung empedu parsial
periodic dan peningkatan aliran empedu yang terjadi selama fase III kompleks mioelektrik.10
Gambar 3. Efek CCK pada kandung empedu dan sfingter Oddi. A. Kondisi puasa, kontraksi sfingter Oddi
dan pengisian kandung empedu. B. Respon terhadap makanan, sfingter Oddi relaksasi dan pengosongan
kandung empedu.5

2.4. FAKTOR RISIKO

Kolelitiasis paling sering terjadi pada wanita, terutama pada wanita dengan multiparitas,
konsumsi pil KB, obesitas, berat badan kurang, dan peningkatan trigliserida serum. Diet
memegang peran yang penting terhadap supersaturasi kolesterol. Batu kolesterol tidak terjadi
pada vegetarian. Batu kolesterol paling sering terjadi pada populasi yang mengikuti diet Barat
yang mengandung lemak hewani yang tinggi. Insidensi kolelitiasis juga meningkat pada pasien
DM yang kemungkinan disebabkaan oleh perubahan pada fungsi motorik ataupun absorbsi pada
kandung empedu. Kolelitiasis juga dapat terjadi pada keluarga tertentu, namun faktor gentik
yang mendasarinya belum dapat dijelaskan. Beberapa data menunjukkan bahwa faktor genetik
sekitar 30 % berpengaruh terhadap kolelitiasis, sedangkan faktor lingkungan memiliki persentase
70 %, yang mana diet merupakan faktor lingkungan yang utama.11

Kondisi puasa yang lama, reseksi ileum, vagotoomi, kondisi hemolitik, dan sirosis
merupakan faktor risiko tambahan, dan mayoritas menyebabkan pembentukan battu oigmen
hitam. Stasis duktus bilier, kista CBD, pancreatitis kronik, kolangitis sklerosis, dan divertikkel
perivaterian duodenal merupakan faktor risiko primer terhadap pembentukan batu pigmen
coklat.11

Tabel 1. Faktor Risiko Kolelitiasis

Faktor Risiko Kolelitiasis

- Obesitas *
- Kehamilan
- Multiparitas
- Wanita
- Obat obatan : ceftriaxone, estrogen postmenopause
- Diet
- Penyakit ileum, reseksi atau by pass
- Peningkatan usia
*
Obesitas didefinisikan sebagai IMT > 30 kg/m2

2.5. PATOFISIOLOGI

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang
supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya
pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan
semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila
perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah
harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu
dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral
kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi
kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin,
merupakan keadaan yang litogenik. 12
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan
kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk
suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah,
mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan
untuk dipakai sebagai benih pengkristalan.12

2.6. MANIFESTASI KLINIS


Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama berpuluh tahun, 70% hingga
80% pasien tetap asimtomatik seumur hidupnya.8 Penderita batu empedu sering mempunyai
gejala-gejala kolestitis akut atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada
abdomen bagian atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu
kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri saat tidur.
Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat
kembali terulang. 6
Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri dan tanda-
tanda fisik kurang nyata. Sering kali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati
atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan
tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan
komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan
obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara,
intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan
menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur
dinding kandung empedu. 6
2.7. DIAGNOSIS

2.7.1. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari
15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan
perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. 6
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai
mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang
setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik nafas dalam. 6

2. 7.2. Pemeriksaan Fisik


1. Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung
empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum
didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah
sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh
ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. 6
2. Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hati
dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl,
gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus
klinis. 6

2. 7.3. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila
terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan
duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di
dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut. 6
Penyaringan bagi penyakit saluran empedu melibatkan penggunaan banyak tes biokimia
yang menunjukkan disfungsi sel hati yaitu yang dinamai tes fungsi hati. Bilirubin serum yang
difraksionasi sebagai komponen tak langsung dan langsung dari reaksi Van den bergh, dengan
sendirinya sangat tak spesifik. Walaupun sering peningkatan bilirubin serum menunjukkan
kelainan hepatobiliaris, bilirubin serum bisa meningkat tanpa penyakit hepatobiliaris pada
banyak jenis kelainan yang mencakup episode bermakna hemolisis intravaskular dan sepsis
sistemik. Tetapi lebih lazim peningkatan bilirubin serum timbul sekunder terhadap kolestatis
intrahepatik, yang menunjukkan disfungsi parenkim hati atau kolestatis ekstrahepatik sekunder
terhadap obstruksi saluran empedu akibat batu empedu, keganasan, atau pankreas jinak. 14
Bila obstruksi saluran empedu lengkap, maka bilirubin serum memuncak 25 sampai 30
mg per 100 ml, yang pada waktu itu eksresi bilirubin sama dengan produksi harian. Nilai >30 mg
per 100 ml berarti terjadi bersamaan dengan hemolisis atau disfungsi ginjal atau sel hati.
Keganasan ekstrahepatik paling sering menyebabkan obstruksi lengkap (bilirubin serum 20 mg
per 100 ml), sedangkan batu empedu biasanya menyebabkan obstruksi sebagian, dengan
bilirubin serum jarang melebihi 10 sampai 15 mg per 100 ml. 14
Alanin aminotransferase (dulu dinamai SGOT, serum glutamat-oksalat transaminase)
danAspartat aminotransferase (dulu SGPT, serum glutamat-piruvat transaminase) merupakan
enzim yang disintesisi dalam konstelasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan dalam aktivitas
serum sering menunjukkan kelainan sel hati, tetapi peningkatan enzim ini ( 1-3 kali normal atau
kadang-kadang cukup tinggi tetapi sepintas) bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran
empedu, terutama obstruksi saluran empedu. 14
Fosfatase alkali merupakan enzim yang disintesisi dalam sel epitel saluran empedu. Pada
obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis
enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu. Tetapi
fosfatasi alkali juga ditemukan di dalam tulang dan dapat meningkat pada kerusakan tulang. Juga
meningkat selama kehamilan karena sintesis plasenta. 14

2. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatika. 6
3. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra
hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis
atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada
dengan palpasi biasa. 10
Ultrasonografi sangat bermanfaat pada pasien ikterus. Sebagai teknik penyaring, tidak
hanya dilatasi duktus biliaris ekstra dan intra hepatik yang bisa diketahui secara meyakinkan,
tetapi kelainan lain dalam parenkim hati atau pankreas (seperti massa atau kista) juga bisa
terbukti. Pada tahun belakangan ini, ultrasonografi jelas telah ditetapkan sebagai tes penyaring
awal untuk memulai evaluasi diagnostik bagi ikterus. Bila telah diketahui duktus intrahepatik
berdilatasi, maka bisa ditegakkan diagnosis kolestatis ekstrahepatik. Jika tidak didapatkan
dilatasi duktus, maka ini menggambarkan kolestatis intrahepatik. Ketepatan ultrasonografi dalam
membedakan antara kolestatis intra dan ekstrahepatik tergantung pada derajat dan lama obstruksi
saluran empedu, tetapi jelas melebihi 90% .Distensi usus oleh gas mengganggu pemeriksaan
ini.14

4. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan
ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun
serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut
kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu. 6
5. HIDA Scan (Biliary Radionuclide Scanning)
Merupakan pemeriksaan non invasive terhadap hati, kandung empedu, duktus bilier, dan
duodenum dengan informasi anatomic dan fisiologis. Technetium-labeled derivatives of dimethyl
iminodiacetic acid (HIDA) diinjeksikan secara intravena, yang kemudian akan dibersihkan oleh
sel Kupffer pada hati, dan diekskresikan ke kandung empedu. Ambilan oleh hati akan dideteksi
dalam waktu 10 menit, kandung empedu, duktus bilier, dan duodenum akan tampak dalam waktu
60 menit pada kondisi puasa. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk diagnosis kolesistitis akut,
yang akan menunjukkan gambaran non visual dari kandung empedu, yang dengan cepat mengisi
duktus koledokus dan duodenum. Hasil false positive pada pemeriksaan ini meningkat pada
pasien dengan stasis bilier dan pada pasien yang mendapatkan nutrisi parenteral. Pengisian
kandung empedu dan CBD dengan pengisian duodenum yang lambat atau tidak ada
mengindikasikan adanya obstruksi pada ampula. Kebocoran saluran bilier akibat pembedahan
pada kandung emppedu atau saluran bilier dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan ini.10

6. CT Scan
CT Scan abdomen berada di bawah USG dalam mendiagnosis batu kandung empedu.
CT Scan digunakan untuk menentukan kondisi dari saluran bilier ekstrahepatik dan struktur
sekitarnya. Pemeriksaan ini dilakukan paada pasien yang dicurigai keganasan pada kandung
empedu, sitem bilier ekstrahepatik, dan kaput pankrea. Penggunaan CT Scan sebagai prosedur
untuk menyingkirkan diagnosis banding pada ikterus obstruktif (Gambar 13). CT Scan dapat
memberikan informasi menngenai stadium, termasuk gambaran vascular pada pasien dengan
tumor periampula.11
Gambar 13. CT Scan pada abdomen kuadran atas terhadap pasien dengan kanker pada distal
CBD. Kanker mengobstruksi CBD dan duktus pankreatikus. 1. Vena porta. 2. Duktus
intrahepatik yang berdilatasi. 3. Dilatasi duktus sistikus dan leher kandung empedu. 4. Dilatasi
duktus hepatikus komunis. 5. Bifurkasi aarteri hepatic komunis ke dalam arteri gastroduodenal
dan. 6. Dilatasi duktus pankreatikus. 7. Vena spllenikus.12

7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)


Duktus bilier intrahepatik dapat dijangkau secara perkutaneus dengan menggunakan
jarum kecil dengan panduan fluoroskopik. Bila posisi dari duktus bilier telah dipastikan, kateter
dapat dimasukkan (Gambar 14). Melalui kateter, kolangiogram dapat dilakukan dan terapi dapat
dilakukan, seperti drainase dan pemasangan sten. PTC dapat berperan dalam penatalaksanaan
bbatu kandung empedu tanpa komplikasi, tetapi paling bermanfaat dalam memberi tatalaksana
pada striktur dan tumor duktus bilier. PTC dapat menyebabkan kolangitis akibat perdarahan,
kebocoran bilier, dan masalah lainnya akibat penggunaan kateter.10
Gambar 4. Diagram skematik PTC dan drainase untuk obstruksi proksimal kolangiokarsinoma. A.
Dilatasi duktus bilier intrahepatik dimasuki oleh jarum secara perkutan. B. Kawat kecil dimasukkan
melalui jarum ke duktus. C. Kateter yang masukkan bersama kawat, kawat lalu dilepaskan. Kolangiogram
dilakukan melalui kateter. D. kateter drainaase eksternal dipasang. E. kawat panjang dipasang melalui
kateter dan melewati tumor ke duodenum. F. sten internal dipasang. 10

8. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Sejak pertengahan tahun 1990, MRI dapat memberikan gambaran jelas hepar, kandung
empedu, dan pancreas. Penggunaan MRI dengan teknik dan kontras yang lebih baru, gambaran
anatomik dapat lebih jelas. MRI memiliki sensitivitas dan spesifitas 95 % dan 89 % dalam
mendeteksi koledokolelitiasis. MRCP (magnetic resonance cholangiopancreatography) dapat
menjadi pemeriksaan non invasive dalam mendiagnosis penyakit pada salurana bilier dan
pankreas (Gambar 15).10
Gambar 5. MRCP., menunjukkan penebalan pada duktus bilier ekstrahepatik (garis) dan duktus
pankreatikus (garis berkepala).5

9. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography)


ERCP mapu memberikan informasi mengenai kondisi saluran bilier dan duktus
pankreatikus serta melihat ampuula dari papilla Vateri. Tidak hanya sebagai diagnostik (Gambar
16), ERCP juga mampu menjadi salah satu teknik terapetik. Pemeriksaan ERCP membutuhkan
keterampilan dan gambar yang memuaskan, serta tidak begitu dalam seperti pada pemeriksaan
PTC. Jalur endoskopi cenderung aman karena tidak kontak dengan peritoneum. 12
Gambar 6. A. ERCP, endoskop masuk ke duodenum dan kateter pada duktus koledokus. 10 B. endoscopic
retrograde cholangiogram, menunjukkan batu pada duktus koledokus. Pasien ini telah menjalani
gastrektomi partial Polya sehingga endoskop mencapai ampula melalui fleksura duodenojejunal. 12

Endoscopic ultrasound membutuhkan endoskop yang khusus. Hasilnya sangat tergantung


pada operator, tetapi menawarkan gambaran non invasive dari duktus bilier dan struktur
sekitarnya. Ia memiliki bagian untuk biopsy, sehingga dapat digunakan pada kasus dengan
tumor. Ia juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi batu pada duktus bilier, namun kurang
sensitive bila dibandingkan dengan ERCP. 11

2.8. TATALAKSANA

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-
timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak. 6
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah
dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung
empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat
gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan. 6
Pilihan penatalaksanaan antara lain : 12
Terapi Non Bedah
Terapi non bedah merupakan pilihan terapi untuk batu empedu berupa terapi disolusi oral
dengan asam empedu, asam ursodeoxycholic dan chenodeoxycholic; contact dissolution dengan
bahan pelarut organic (metil tert butyl eter), dan extracorporeal shock wave biliary lithotripsy.
Terapi ini jarang digunakan saat ini. Terapi disolusi oral diindikasikan batu kolesterol simtomatik
dan kandung empedu yang berfungsi dengan normal. Terapi ini hanya efektif pada batu
kolesterol, oleh karena itu tidak diindikasikan pada batu dengan gambaran radioopak atau bila
terdapat kalsifikasi pada gambaran CT Scan. Disolusi batu tersebut berhasil pada 40 % pasien,
namun angka kekambuhannya 50 % dalam 5 tahun bila terapi dihentikan. Contact dissolution
dengan pelarut organic membutuhkan kanulasi ke kandung empedu dengan infuse pelarut ke
kandung empedu. Terapi ini juga hanya efektiif pada batu kolesterol dengan angka kekambuhan
yang hampir sama dengan disolusi oral.13

Extracorporeal shock wave lithotripsy merupakan terapi yang cukup menjanjikan untuk
pilihan terapi non bedah sebagai tatalaksana batu simtomatik. Terapi ini dilakukan pada pasien
dengan batu tunggal dengan diameter 0,5 2 cm, dengan angka kekambuhan yang lebih rendah
yaitu sekitar 20 %. Sekali lagi, hanya sebagian kecil pasien yang mampu memenuhi criteria
tindakan ini. Terapi ini tidak pernah dianjurkan oleh FDA Amerika sebagai terapi disolusi batu
empedu.13

Terapi bedah
1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris
yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari
0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut. 12
2. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini
sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris
dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-
0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. 7 Kandung
empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. 12
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut.
Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini
pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis
keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi
perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri
menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari
prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi. 12

Gambar 6. Peletakkan trokar pada laparoskopi kolesistektomi. Laparoskopi melalui port 10 mm di atas
umbilicus. Port tambahan lainnya pada epigastrium, subkostae sejajar garis midklavikula dan aksilaris
anterior kanan.

Gambar 7. Metode yang salah (A) dan benar (B) dalam penarikan kandung empedu sehingga duktus
sistikus dan duktus koledokus terlihat segaris
Gambar 8. Diseksi triangle of Calot

Gambar 9. Laparoskopi Kolesistektomi

BAB 3

ANALISA KASUS
Dalam kasus ini, An. i, 17 tahun, dengan diagnosis kolesistolitiasis. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Pada anamnesis ditemukan pasien datang dengan keluhan utama nyeri perut kanan atas
sejak 1 bulan SMRS. Keluhan nyeri telah timbul sejak 1 bulan SMRS. Pertama kali pasien
datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas kita dapat menduga beberapa kondisi yaitu adanya
gangguan di hepar, paru paru atau kandung empedu. Nyeri yang ditemukan pada pasien serupa
dengan nyeri kolik yang timbul pada pasien dengan kolelitiasis. Karena nyeri tidak memberat
saat menarik napas ataupun batuk yang biasa ditemukan pada pasien dengan gangguan pada
paru. Sehingga dari anamnesis kita dapat menyingkirkan adanya gangguan pada paru, namun
belum daapat menyingkirkan adanya gangguan pada hepar. Pasien juga mengeluh adanya BAK
yang berwarna seperti teh. Keluhan ini khas ditemukan pada gangguan sistem bilier. Namun
gangguan yang sifatnya intra atau ekstrahepatik belum dapat diketahui. Untuk gangguan
prehepatik dapat disingkirkan karena pada gangguan prehepatik tidak dapat menyebabkan
keluhan ini yang mana unconjugated bilirubin tidak memberikan warna pada urin. Umumnya
pada kondisi ikterus obstruktif, dapat ditemukan BAB berwarna seperti dempul. Obstruksi
saluran empedu dapat menghambat bilirubin yang memberi warna pada feses sehingga bila
terhambat menyebabkan warna dempul pada feses. Warna BAB yang normal pada pasien bisa
jadi disebabkan obstruksi yang ditimbulkan oleh batu tidak cukup besar dan tidak terfiksasi
sehingga empedu masih bisa mengalir. Pada pasien tidak ada gejala prodromal seperti demam
yang biasanya dialami oleh penderita hepatitis, tidak ada gejala muntah darah, BAB warna
hitam, sehingga adanya gangguan pada hepar dari anamnesis dapat disingkirkan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan status gizi lebih dengan obesitas yang secara
epidemiologis merupakan faktor risiko dari batu empedu. Pada pemeriksaan mata ditemukan
tidak sclera ikterik meski terdapat peningkatan kadar bilirubin. Hal ini mungkin disebabkan oleh
peningkatan kadar bilirubin belum signifikan sehingga bersifat asimtomatik. Selain itu
ditemukan nyeri tekan pada kuadran hipokondrium kanan dan epigastrium. Pada kolelitiasis
didapatkan nyeri tekan dengan punktum maksimum di daerah letak anatomis kandung empedu.
Murphy sign ditemukan positif pada pasien ini. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang
tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Dari pemeriksaan fisik
hepar dan lien tidak teraba.

Pada pemeriksaan serial darah ditemukan adanya peningkatan enzim transaminase dan
bilirubin. Peningkatan enzim transaminase dapat disebabkan oleh adanya gangguan pada hepar
dan saluran bilier. Peningkatan bilirubin direk pada pasien ini menandakan adanya gangguan
atau stagnasi pada segmen post hepatic.

Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan gambaran normal dari jantung dan paru.
Kemungkinan adanya gangguan pada paru pada pasien ini dapat disingkirkan. Pada pemeriksaan
USG abdomen didapatkan kesan kolelitiasis.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini
dapat ditegakkan diagnosis kolelitiasis. Pada pasien ini dilakukan penatalaksanaan berupa
laparoskopi kolesistektomi.

Prognosis pada pasien ini ad vitam yaitu bonam, ad functionam dubia ad bonam, dan ad
sanationam dubia ad bonam.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005.hal: 570-579
2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery .
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.459-64.
3. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3. Jakarta:Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2000.380-4.
4. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Sistem empedu dalam : Buku Ajar Bedah. Esentials of Surgery, edisis ke-2. Jakarta:
EGC, 1996. 121-123

5. Brunicardi, F. Charles, Andersen, Dana K., et al. Gallbladder and the Extrahepatic Biliary
System. In : Schwartzs Principles of Surgery. 8th Edition. The McGraw Hill
Companies. 2007.
6. Nakeeb, Attila, Ahrendt, Steven A., et al. Calculous Biliary Disease. In : Greenfield's
Surgery: Scientific Principles and Practice. 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
2006.
7. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery).
Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.
8. Kumar, Ramzi S. Cotran & Stanley L. Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Penerbit
EGC. Jakarta. 2007
9. Sabiston David C. Buku Ajar Bedah, Bagian 2. Penerbit EGC. Jakarta. 1994
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
11. Beckingham, IJ. ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary System Gallstone
Disease. Dalam: British Medical Journal Vol 13, Januari 2001: 322(7278): 9194.
Avaliable at : http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1119388
12. Britton, Julian, Bickerstaff, Kenneth I., et al. Benign Diseases of The Biliary Tract. Oxford
Textbook of Surgery. Oxford University Press. 2002.
13. Nakeeb, Attila, Ahrendt, Steven A., et al. Calculous Biliary Disease. In : Greenfield's
Surgery: Scientific Principles and Practice. 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
2006.
14. Keshav.S. The Gastrointestinal System at a Glance. London: Blackwell Science; 2004.

Anda mungkin juga menyukai