Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS PEDIATRI

Kejang Demam Komplek + Diare Akut tanpa dehidrasi + ISPA Atas

OLEH :
Ida Bagus Indra Nugraha Sudewa (H1A 010 036)
I Dewa Ayu Yulisha Prahasti (H1A 010 046)
Lalu Dede Hermawan (H1A 010 054)

PEMBIMBING
dr Wayan Gede Sugiharta, Sp.A

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUD PRAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2015

BAB I
ISI
A. KEJANG DEMAM
1. DEFINISI
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. 1
Kejang demam adalah kejang yang berhubungan dengan demam (suhu diatas 39oC
per rektal) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut,

1
terjadi pada anak berusia 1 bulan dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya.2
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980), kejang demam
adalah suatu kejadian pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan
5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab tertentu.3 Anak yang pernah kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. 1,3 Kejang
disertai demam pada bayi berumur kurang dari 4 minggu (1 bulan) tidak termasuk
kejang demam.1,3 Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu ditandai
dengan kejang berulang tanpa demam.2 Definisi ini menyingkirkan kejang yang
disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang
pada keadaan ini mempunyai prognosis yang berbeda dengan kejang demam
karena keadaan yang mendasarinya mengenai susunan saraf pusat.3 Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun menaglami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP atau epilepsi yang
kebetulan terjadi bersama demam. 2

2. EPIDEMIOLOGI
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika
Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus
merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun
kedua kehidupan (17-23 bulan). Kejang demam sedikit lebih sering pada laki-laki.3
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan samapi 5 tahun. 1Menurut
IDAI, kejadian kejang demam pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun hampir 2 -
5%.2,10

3. KLASIFIKASI
Kejang demam diklasifikasikan menjadi dua :
a. Kejang Demam Sederhana ( Simple Febrile Seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau
klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam 24 jam. Kejang
demam sederhana merupakan 80 % diantara seluruh kejang demam.
b. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure)

2
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini :
1.) Kejang lama > 15 menit
2.) Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang
parsial
3.) Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.5

4. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Selain itu
terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat, problem masa neonatus, anak dalam perawatan khusus,
dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak
akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih dan kira-kira 9% anak mengalami 3
kali rekurensi atau lebih, resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, usia
dibawah 18 bulan, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul,
temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam dan riwayat
keluarga epilepsi. 5,6
Faktor risiko terjadinya epilepsi dikemudian hari ialah adanya gangguan
neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam keluarga,
lamanya demam saat awitan kejang dan lebih dari satu kali kejang demam
kompleks. 5,6

5. PATOFISIOLOGI
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan
suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak
yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen
disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui
sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses
oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang
terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,
kecuali ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan diluar sel, maka terdapat

3
perbedaan potensial yang disebut potensial membran sel dari sel neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan
enzim Na-KATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.9

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan


metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu
tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui
membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik
ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran
sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah
kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari
tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan
suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi
pada suhu 38oC sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang
baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan
bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang
rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu
berapa penderita kejang. Kejang demam yang berlangsung singkat biasanya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai gejala apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur
dan suhu tubuh makin meningkat disebkan oleh meningkatnya aktivitas otot dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas
4
adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama
berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah
yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan
timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan
pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang
berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari, sehingga terjadi
serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi.9
6. MANIFESTASI KLINIS
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi
diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis,
furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama
sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik
klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Postur tonik (kontraksi dan kekakuan
otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik
(kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama
1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat,
inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan
pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.1,9,10
Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi
reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak akan
terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam yang
berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15 menit) sangat berbahaya dan dapat
menimbulkan kerusakan permanen dari otak.4
7. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
1.) Adanya kejang , jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum/saat
kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab demam diluar susunan
saraf pusat.
2.) Riwayat perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam
keluarga.
3.) Singkirkan penyebab kejang lainnya.
5
b. Pemeriksaan fisik : kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsal meningeal, tanda
peningkatan tekanan intrakranial, tanda infeksi di luar SSP.6
c. Pemeriksaan Penunjang
i. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit dan gula darah.5
1.) Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko
terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pada bayi kecil
seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal
dianjurkan pada ; bayi kurng dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan,
bayi antara 12-18 bulan dianjurkan, bayi > 19 bulan tidak rutin. Bila yakin
bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. 5
2.) Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi
pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam
tidak khas misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6
tahun atau kejang demam fokal.5
4.) Pencitraan
Foto X- ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan
(CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan,
tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti ; kelainan neurologik fokal yang
menetap (hemiparesis), paresis nervus VI, papil edema.5
8. DIAGNOSIS BANDING
Penyebab lain kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya
meningitis atau ensefalitis. Pungsi Lumbal teriondikasi bila ada kecurigaan klinis
meningitis. Adanya sumber infeksi seperti ototis media tidak menyingkirkan

6
meningitis dan jika pasien telah mendapatkan antibiotika maka perlu pertimbangan
pungsi lumbal. 2
9. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan saat kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien
datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena adalah 0,3
-0,5 mg/kg perlahan lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu
3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat
diberikan oleh orang tua atau dirumah adalah diazepam rektal. Diazepam
rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan
berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg.
Atau Diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun
atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun.5
Bila setelah pemberian Diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian Diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan
ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan Diazepam intravena dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara
intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1
mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila
dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang
rawat intensif. Bila kejang berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung
dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan
faktor resikonya.5
b. Pemberian obat pada saat demam
A. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi
resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat
bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis Paracetamol yang
digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih
dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun
jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama
7
pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat
tidak dianjurkan.2,3,5
2. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30% -60% kasus,
begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada
suhu > 38,5oC. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia,
iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital,
karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk
mencegah kejang demam.

c. Pemberian Obat Rumat


1. Indikasi Pemberian obat Rumat
Pengobatan rumat diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut (salah satu) ;
- Kejang lama > 15 menit
- Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental,
hidrocephalus.
- Kejang fokal
Pengobatan rumat dipertimbangkan bila ; kejang berulang dua kali
atau lebih dalam 24 jam, kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12
bulan, kejang demam 4 kali per tahun.5
2. Jenis Antikonvulsan untuk Pengobatan Rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah
bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat
menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital
setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar
pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada
sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam
valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat
15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari
8
dalam 1-2 dosis. Pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun bebas
kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.5

10. EDUKASI PADA ORANG TUA


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat
kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal.
Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :
a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
b. Memberitahukan cara penanganan kejang
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus
diingat adanya efek samping obat.4,5
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang
a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher.
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
a. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
b. Tetap bersama pasien selama kejang.
c. Berikan diazepam rektal, dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
d. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih .
5

11. VAKSINASI
Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak
yang mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi jarang.
Kejang demam pasca imunisasi tidak memiliki kecenderungan berulang yang lebih
besar daripada kejang demam pada umumnya. Dan kejang demam pasca imunisasi
kemungkinan besar tidak akan berulang pada imunisasi berikutnya. Angka
kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi,
Risiko ini tinggi pada hari imunisasi, dan menurun setelahnya. 5,7 Sedangkan setelah
vaksinasi MMR 25-34 per 100.000, resiko meningkat pada hari 8-14 setelah
imunisasi.7 Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila anak

9
demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak
merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.5

12. PROGNOSIS
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan.8 Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada
pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan
kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi
pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.5,9

BAGAN PENGHENTIAN KEJANG DEMAM

KEJANG
1. Diazepam rektal 0,5 mg/kgBB atau
BB < 10 kg = 5 mg, BB > 10 kg = 10 mg
2. Diazepam IV 0,3-0,5 mg/kgBB

10
KEJANG
Diazepam rektal
( 5 menit )

Di Rumah Sakit

KEJANG
Diazepam IV, Kecepatan 0,5-1 mg/menit (3-5 menit)
(depresi pernapasan dapat terjadi)

KEJANG
Fenitoin bolus IV 10-20 mg/kgBB
Kecepatan 0,5 -1 mg/kgBB/menit

KEJANG
Transfer ke Ruang Rawat Intensif

KETERANGAN :
1. Bila kejang berhenti terapi profilaksis intermitten atau rumatan diberikan
berdasarkan kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.
2. Pemberian fenitoin bolus sebaiknya secara drip intravena dicampur dengan cairan
NaCl fisiologis, untuk mengurangi sfek samping aritmia dan hipotensi.6

B. DIARE
A. DEFINISI

11
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dri 3 kali per hari disertai
konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung
kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besarnya
lebih dari 3-4 x sehari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat
fisiologis atau normal.
2 EPIDEMIOLOGI
Diare masih merupakan penyakit yang sering di temui di Negara berkembang dan
masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-anak. Diare dapat
diartikan sebagai peningkatan frekuensi buang air besar disertai dengan perubahan
konsistensi dari padat menjadi cair (dapat bermanifestasi sebagai lendir/mushy diarrhea,
dan air/watery diarrhea) dengan berat >200 g per hari, atau dengan frekuensi buang air
besar lebih dari tiga kali perhari.6,7
Pada sebagian besar kasus, diare dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan
kelainan organ. Namun, akhir-akhir ini diare dapat disebabkan oleh karena penggunaan
antibiotik, akibat penanganan yang tidak adekuat, dan penggunaan antibiotik tersebut
yang tidak adekuat. Diare yang disebabkan oleh antibiotik, dikenal juga sebagai
Antibiotik Associated Diarrhea (AAD) merupakan diare yang muncul (tidak diketahui
penyebabnya) setelah 2 jam hingga 2 bulan setelah memulai penggunaan terapi antibiotik,
ditandai dengan kotoran yang lembek hingga cair selama lebih dari 2 hari.6,7
Secara umum, prevalensi diare di Negara berkembang masih sangat tinggi, terutama
pada usia 5 tahun kebawah. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya
karena diare. Berdasarkan hasil Riskesdes 2007, di Indonesia di dapatkan 42% anak
meninggal karena diare.1 Kejadian diare yang diakibatkan oleh antibiotik bervariasi
antara 5%-25% dari total seluruh kasus diare. Sedangkan di Thailand, sekitar 6.2% dari
225 anak dengan diare mengalami diare yang diakibatkan oleh antibiotik.7
Sedangkan menurut jenis antibiotiknya, 5-10% diare disebabkan oleh antibiotik jenis
ampisilin, 10-25% diakibatkan oleh amoksisilin-klavulanat, 15-20% diakibatkan oleh
cefixime, dan 2-5% lainnya diakibatkan oleh antibiotik golongan sefalosporin,
fluorokuinolon, azitromisin, klaritromisin, eritromisin, dan tetrasiklin.6,7
B. PATOFISIOLOGI7,8
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non
inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di
kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah.
Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik,
12
mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja
rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel
leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan
diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya
minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul,
terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara
rutin tidak ditemukan leukosit.
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi
kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik terjadi
bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang
menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat
akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang
dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak
rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin
vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus
maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau
bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD)
atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu tansit
usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus
iritabel atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling tidak
ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di
usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang
menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan
atau adanya leukosit dalam feses. Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat
kuman enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa
kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri
dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi
pertahanan mukosa usus.
13
Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer fimbria
atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel. Fimbria terdiri
atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization factor antigen (CFA) yang lebih
sering ditemukan pada enteropatogen seperti Enterotoxic E. Coli (ETEC)
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli (EPEC), yang
melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan perubahan konsentrasi
kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah membran mikrovilus. Invasi
intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi EPEC ini dan diare terjadi akibat
shiga like toksin. Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang
terlihat pada jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.
Invasi
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus. Di
dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel sekitarnya.
Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi inflamasi serta kematian sel
epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator seperti leukotrien,
interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman Shigella juga memproduksi toksin shiga
yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik
seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif
misalnya Salmonella.
Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella
dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin adalah
Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat menyebabkan kolitis
hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC serta V. Parahemolyticus.
Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT) yang secara
biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera terdiri dari
satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang aktivitas adenil siklase,
meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga terjadi inhibisi absorbsi Na dan
klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa
usus.
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama dengan
CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP selular,
14
mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili, membuka kanal dan
mengaktifkan sekresi klorida.

Peranan Enteric Nervous System (ENS)


Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan reseptor
neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus mienterikus,
neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik.
Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan refleks neural
ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen kolinergik, interneuron
pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe 1 VIPergik. CT juga menyebabkan
pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT, neurotensin, dan prostaglandin. Hal ini
membuka kemungkinan penggunaan obat antidiare yang bekerja pada ENS selain yang
bersifat antisekretorik pada enterosit.

C. FAKTOR RESIKO
A. faktor umur
sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insiden tertinggi
terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada saat diberikan makanan pendamping ASI.
Pola in menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya
kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja
dan kontak langsung dengan tinja manusia dan binatang pada saat bayi mulai
merangkak.
B. Infeksi Asimtomatik
Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proprsi asimtomatik ini
meningkat setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi
asimtomatik yang berlangsung beberapa minggu atau hari, tinja penderita mengandung
virus, bakteri atau kista protozoa yang infeksius.
C. Faktor musim
Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografisnya. Di daerah
subtropik, diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan diare
karen virus terutama rotavirus puncaknya terjadi pada musim dingin. Di daerah tropik
( termasuk indonesia), diare yang disebabkan dari rotavirus dapat terjadi sepanjang
tahun dengan peningkatan sepanjang musim kemarau
D. Epidemi dan Pandemi
15
Vibro chorela 0,1 dan Shigella dsyntriae 1 dapat menyebabkan epidemi dan
pandemi yang mengakibatkan tingginya tingginnya angka kesakitan dan kematian pada
semua golongan usia. Sejak tahun1961, kolera yang disebabkan oleh V Cholera 0,1
Biotipe Eltor telah menyebar di negara- negara di Afrika, Amerika latin , Asia, Timur
tengah dan di beberapa daerah di Amerika utara dan Eropa.
D. DIAGNOSA6,7,8
1. Anamnesis
Kapan dan bagaimana penyakit mulai terjadi (tiba-tiba, bertahap, dan durasi
gejala)
Karakteristik tinja : berair, berdarah, lendir, berminyak, dan lain-lain
Frekuensi buang air besar dan kuantitas tinja yang dihasilkan
Adanya gejala disentri : demam, tenesmus, darah dan atau pus dalam tinja
Gejala deplesi cairan : haus, takikardia, orthostasis, kencing berkurang, lesu,
penurunan turgor kulit
Gejala lain dan frekuensi serta intensitasnya bagaimana (mual, muntah, nyeri
perut, kram, sakit kepala, mialgia)
Riwayat penyakit terdahulu
Perlu ditanyakan riwayat faktor risiko secara epidemiologi, seperti :
melakukan perjalanan ke daerah berkembang, komsumsi makanan (daging
mentah, telur, kerang, susu yang tidak difermentasi, jus), berenang atau
meminum air yang ada di danau atau sungai, mengunjungi peternakan atau
kebun binatang atau adanya kontak dengan reptile atau hewan lain, keadaan
lingkungan sosial (asrama, kantor), adanya predisposisi penyakit (AIDS,
terapi imunosupresif, pasca gastrektomi, usia)

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum
Berat badan, tinggi badan
Tanda-tanda penurunan volume cairan : mata cekung, turgor kulit, fontanella
cekung, air mata, mukosa kering, penurunan denyut vena jugular
Vital Sign : temperatur, nadi, pernapasan, tekanan darah

Tabel Perbedaan gejala klinis pada setiap patogen

16
Klasifikasi Dehidrasi

Berdasarkan klasifikasi dehidrasi WHO, maka dehidrasi dibagi tiga menjadi dehidrasi ringan,
sedang, atau berat.

1. Dehidrasi Ringan

Tidak ada keluhan atau gejala yang mencolok. Tandanya anak terlihat agak lesu, haus, dan
agak rewel.

2. Dehidrasi Sedang

Tandanya ditemukan 2 gejala atau lebih gejala berikut:

Gelisah, cengeng
Kehausan
Mata cekung
Kulit keriput, misalnya kita cubit kulit dinding perut, kulit tidak segera kembali ke
posisi semula.

3. Dehidrasi berat

Tandanya ditemukan 2 atau lebih gejala berikut:

Berak cair terus-menerus

17
Muntah terus-menerus
Kesadaran menurun, lemas luar biasa dan terus mengantuk
Tidak bisa minum, tidak mau makan
Mata cekung, bibir kering dan biru
Cubitan kulit baru kembali setelah lebih dari 2 detik
Tidak kencing 6 jam atau lebih/frekuensi buang air kecil berkurang/kurang dari 6
popok/hari.
Kadang-kadang dengan kejang dan panas tinggi

Tabel derajat dehidrasi

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tinja
- Makroskopik dan mikroskopik (menemukan adanya kista atau parasit)

18
Endoskopi / Colonoscopy
- Endoskopi digunakan untuk menemukan parasit yang menyebabkan diare,
kram, perut kembung (gas) dan penyakit perut lainnya. Tes ini digunakan
saat uji tinja tidak mengungkapkan penyebab diare. Prosedur tes ini adalah
sebuah tabung dimasukkan ke dalam mulut (endoskopi) atau rektum
(kolonoskopi) sehingga dokter, dapat memeriksa usus untuk mencari
parasit atau penyebab lainnya yang dapat menyebabkan tanda-tanda dan
gejala.
Pemeriksaan Darah
- Serologi
Untuk mencari antibody atau antigen parasit yang dihasilkan ketika tubuh
terinfeksi parasit tertentu dan sistem imun tubuh mencoba untuk
melawannya
- Blood Smear
Tes ini digunakan untuk mencari parasit yang ditemukan dalam darah.
Dengan melihat blood smear di bawah mikroskop, penyakit parasit seperti
filariasis, malaria, atau Babesiosis, dapat didiagnosis.
E. PENATALAKSANAAN7,8
Secara umum, penatalaksanaan diare adalah menstabilkan kondisi seseorang. Baik pada diare
akut, maupun kronik, penatalaksanaannya hampir sama yaitu rehidrasi pasien dengan segera
agar tidak jatuh kedalam keadaan syok dan mengembalikan status keadaan nutrisi pasien.
Adapun langkah-langkah pengobatan sebagai berikut.
1. Rehidrasi dengan melihat derajat dehidrasi pasien (ringan, sedang, dan berat).
2. Feeding.
3. Pemberian mikronutrien.
4. Penggunaan probiotik, dan
5. Obat-obatan.

1. Rehidrasi
Rehidrasi cairan merupakan langkah utama dalam stabilisasi pasien agar tidak jatuh
dalam keadaan syok, dimana pemberian cairan ini sangat dianjurkan terutama dengan
pemberian melalui oral (CDC, ESPGHAN, 2009) yang merupakan best recommended
pada keadaan dehidrasi ringan dan sedang. Penggunaan cairan hipoosmolar dapat
digunakan pada semua keadaan diare.
Selain itu, terapi cairan harus sesuai dengan derajat dehidrasi pasien, apakah ringan,
sedang atau berat agar terapi yang diberikan tidak kurang ataupun lebih sehingga
menyebabkan berbagai komplikasi yang tidak diinginkan.

19
A. Terapi untuk Dehidrasi Ringan (Rencana Terapi A: Penangan Diare di Rumah)

20
B. Terapi untuk Dehidrasi Sedang (Rencana Terapi B: Penggunaan Oralit)

21
C. Terapi untuk Dehidrasi Berat (Rencana Terapi C)

22
2. Feeding

Pemberian makanan pada tahap awal diare, dapat menurunkan permeabilitas intestinal
dan mengurangi kejadian infeksi secara berlanjut, dan memperpendek masa sakit akibat
meningkatnya pertahanan tubuh oleh nutrisi yang baik. Menurut CDC, rekomendasi yang
tepat adalah:
- Berikan breastfeesing terus pada semua kasus diare (kecuali pada intoleransi laktosa).
- Berikan susu formula yaitu nondiluted tanpa pembatasan intake laktosa pada anak-
anak.
- Cara pemberian makanan :
- -Pada bayi dengan ASI
- *ASI dilanjutkan bersama-sama dengan oralit, selang-seling. Pada bayi berumur >4
bulan (sudah mendapat buah-buahan, makanan tambahan I dan II) dilanjutkan dengan
fase readaptaasi, sedikit demi sedikit makanan diberikan kembali seperti sebelum
sakit.
- -Pada bayi dengan susu formula
- Diberikan oralit, selang-seling dengan susu formula. Jika bayi telah mendapat
makanan tambahan (umur>4bulan), maknanan tambahan untuk sementara dihentikan,
diberikan sedikit demi sedikit mulai hari ke-3.
- -Anak-anak berumur lebih dari 1 tahun
- * Dengan gizi jelek (berat badan < 7 kg), realimentasi sama dengan bayi
- * Dengan gizi baik, realimentasi diberikan sebagai berikut :
- Hari 1 : Oralit + bubur tanpa sayur + pisang
- Hari 2 : Bubur dengan sayur
- Hari 3 : Makanan biasa

3. Mikronutrient
Menurut MTBS, semua anak yang menderita diare harus mendapatkan tablet Zinc sesuai
dosis kecuali bayi muda. Zinc dapat diberikan selama 10 hari dengan dosis tunggal (1
tablet sama dengan 20 mg), untuk umur 2-6 bulan diberikan tablet dan umur 6 bulan
diberikan 1 tablet. Pemberian suplemen Zinc mengurangi durasi dan keparahan episode
diare pada anak-anak terutama di negara berkembang. Suplemen dengan zinc sulfat
(2mg/hari selama 10-14 hari) menurunkan insidensi diare selama 2-3 bulan. Hal ini juga
menurunkan angka mortalitas pada anak dengan diare persisten.
Pada anak dengan diare persisten harus menerima suplemen multivitamin dan mineral
setiap hari selama 2 minggu, yakni seperti folat, vitamin A, zinc, magnesium dan
tembaga.
4. Probiotik
Probiotik dapat memberikan manfaat yang cukup efektif dalam menurunkan angka
kesakitan dan memperpendek onset diare, terutama pada diare akut jenis watery dan

23
biasanya disebabkan oleh rotavirus pada anak-anak. Efek ini dapat menurunkan frekuensi
diare dalam 17-30 jam, namun tidak efektif dalam bacterial yang bersifat invasive, dan
penggunaan probiotik berguna pada dosis >1010 cfu.

5. Obat-obatan
Penggunaan obat-obatan seperti antidiare (Loperamide dan golongan opiate lainnya atau
antikolinergik) tidak dianjurkan pada anak-anak. Namun penggunaan antbiotik boleh
diberikan pada keadaan tertentu, sepert:
- Pasien dengan imunokompromise.
- Diare akut yang disebabkan oleh Shigella, Vibrio cholera, dan bakteri yang
memproduksi enteroinvasif dan enteropatogenik seperti E. coli dan Clostridium.
- Beberapa kasus yang disebabkan oleh Campylobacter, Yersinia dan Salmonella pada
anak-anak dengan kondisi bakterimia atau pada anak yang kurang dari 3 bulan.
Obat antidiare
Obat yang berkhasiat menghentikan diare secara cepat seperti
antispasmodic/spasmolitik atau opium (papeverin, extraktum belladonna,
loperamid, kodein, dan lainnya) justru akan memperburuk keadaan karena akan
menyebabkan terkumpulnya cairan di lumen usus dan akan menyebabkan
terjadinya bakteri berlipat ganda (overgrowth), gangguan digesti dan absorpsi.
Obat-obat ini hanya berkhasiat untuk menghentikan peristaltic, akibatnya diare
tampaknya ada perbaikan, tetapi perut akan bertambah gembung dan dehidrasi
bertambah berat yang dapat berakibat fatal untuk penderita.
Adsorbent
Obat adsorbent seperti kaolin, pectin, arang aktif (charcoal), bismuth
subbikarbonat telah dibuktikan tidak ada manfaatnya.
Stimulans
Obat stimulant seperti adrenalin, niketamid, tidak akan memperbaiki renjatan
atau dehidrasi karena penyebab dehidrasi ini adalah kehilangan cairan
(hipovolemik syok) sehingga pengobatan yang paling tepat adalah pemberian
secepatnya.
Antiemetik
Obat antiemetik seperti klopromazin (largaktil) terbukti selain mencegah muntah
juga mengurangi sekresi dan kehilangan cairan bersama tinja. Pemberian dalam
dosis adekuat (sampai dengan 1 mg/kg/bb/hari) kiranya cukup bermanfaat,
tetapi juga perlu diingat efek samping dari obat ini. Penderita menjadi ngantuk
sehingga intake cairan berkurang.
Antipiretik
Obat antipiretik seperti preparat salisilat (asetosal, aspirin) dalam dosis rendah
(25 mg/tahun/kali) ternyata selain berguna untuk menurunkan panas sebagai

24
akibat dehidrasi atau panas karena infeksi, juga mengurangi sekresi cairan yang
keluar bersama tinja.

Obat untuk setiap penyebab diare dari agen infeksius


-

EDUKASI
1. Cucilah tangan sebelum makan.
2. Hindari makan-makanan yang tidak sehat, pedas, dan berminyak yang dapat
mengiritasi peceranaan.
3. Hidup bersih dan sehat.
4. Hindarkan diri dari orang yang terinfeksi diare akut, terutama Diare akut oleh karena
infeksi Vibro Cholera

F. PROGNOSIS7,8
Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan terapi
antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat baik dengan

25
morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan penyakit, morbiditas dan
mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika Serikat, mortalitas
berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %. Pengecualiannya pada infeksi EHEC dengan
mortalitas 1,2 % yang berhubungan dengan sindrom uremik hemolitik.
G. KOMPLIKASI 7,8
Sebagian besar komplikasi yang terkait dengan diare adalah berkaitan dengan
keterlambatan dalam diagnosis dan penundaan pemberian terapi yang sesuai. Tanpa rehidrasi
awal dan tepat, banyak anak dengan diare akut akan berkembang menjadi dehidrasi dengan
berbagai komplikasi yang terkait seperti ketidakseimbangan asam-basa, omolalitas plasma,
volume intravascular, elektrolit (natrium, kalium, magnesium, fosfor). Hal ini merupakan
komplikasi yang dapat mengancam jiwa pada bayi dan anak-anak. Terapi yang tidak sesuai
dapat menyebabkan perpanjangan episode diare, dengan komplikasi berupa malnutrisi dan
komplikasi lain yang menyertai seperti infeksi sekunder dan defisiensi mikronutrien (zat besi,
zinc). Di negara berkembang, bakteremia merupakan komplikasi yang paling banyak
ditemukan pada anak malnutrisi dengan diare
H. PENCEGAHAN7,8
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya dapat
dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering mencuci tangan
setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran manusia harus
diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga dari kotoran manusia.
Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus diberikan
perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan makanan, atau air
yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi. Jika ada kecurigaan tentang
keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang diambil dari danau atau air, harus direbus
dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau sungai, harus
diperingatkan untuk tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang bersih (air
rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia atau hewan yang tidak
diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-buahan dan sayuran. Semua daging
dan makanan laut harus dimasak. Hanya produk susu yang dipasteurisasi dan jus yang boleh
dikonsumsi. Wabah EHEC terakhir berhubungan dengan meminum jus apel yang tidak
dipasteurisasi yang dibuat dari apel terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi efektivitas dan
ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang tersedia adalah untuk V.
26
colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini tidak begitu efektif dan tidak
direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral kolera terbaru lebih efektif, dan durasi
imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid parenteral yang lama hanya 70 % efektif dan sering
memberikan efek samping. Vaksin parenteral terbaru juga melindungi 70 %, tetapi hanya
memerlukan 1 dosis dan memberikan efek samping yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral
telah tersedia, hanya diperlukan 1 kapsul setiap dua hari selama 4 kali dan memberikan
efikasi yang mirip dengan dua vaksin lainnya.
Selain itu preventif yang dilakukan dengan pemberian ASI, memperbaiki makanan
sapihan, dan imunisasi campak. Pada balita, 1-7% kejadian diare berhubungan dengan
campak, dan diare yang terjadi pada campak umumnya lebih berat dan lebih lama (susah
diobati, cenderung menjadi kronis) karena adanya kelainan pada epitel usus. Diperkirakan
imunisasi campak yang mencakup 45-90% bayi berumur 9-11 bulan dapat mencegah 40-60%
kasus campak, 0,6-3,8 % kejadian diare dan 6-25% kematian diare pada balita.

BAB III
LAPORAN KASUS

Tanggal Masuk RSUP NTB : 30 Agustus 2015


No. RM : 215045
Diagnosis Masuk : Kejang Demam Komplek + Diare dengan Dehidrasi
tidak berat
Diagnosis Akhir : Kejang Demam Kompleks dengan dehidrasi tidak
berat

IDENTITAS

a. Identitas Pasien

Nama Lengkap : Emika


Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : Selong,

27
Umur : 4 tahun
Agama : Islam
Alamat : Prapen, Praya, lombok tengah
Tanggal MRS : 30 Agustus 2015
Tanggal Pemeriksaan : 31 Agustus 2015

No. RM : 215045

b. Identitas Keluarga

Identitas Ibu Ayah


Nama Khusnul Khotimah Harianto
Umur 28 36
Pendidikan SMP SMP
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Buruh (TKI)
Alamat Praya Praya

HETEROANAMNESIS (31 Agustus 2015)

c. Keluhan Utama : Kejang

d. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien merupakan rujukan dari puskesmas manggung datang dengan keluhan kejang
sejak kemarin 30/08/2015 pukul 12.00 malam,sebelum kejang pasien sempat muntah
sebanyak 2 x. kejang sudah berlangsung selama 5 kali dengan durasi kejang pertama 30
menit kemudian kejang beriktnya durasi rata-rata 10 menit, dengan sifat tonik klonik dan
diawali dengan panas (demam). Selain keluhan kejang pasien juga mengeluhkan diare
sejak kemarin jam 03.00. sebanyak 3 kali dengan konsistensi cair berbau amis, disertai
lendir dan darah. Ibu pasien mengaku kakanya sudah pernah kejang yang disertai demam
ketika berumur 3 tahun. Selain keluhan diatas pasien juga mengeuhkan batuk sejak masuk
rumah sakit.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat batuk-batu lama(-), Riwayat sesak (-), Riwayat sering demam (+)

Riwayat Penyakit Keluarga / Lingkungan :


Riwayat penyakit jantung bawaan dalam keluarga (-), penyakit asma (-), penyakit DM
(-), hipertensi (-), batuk-batuk lama (-), riwayat Epilepsi (-).

28
Riwayat Pengobatan :

Pasien mengaku sebelumnya sempat di bawa ke puskesmas kemudian di pasang infus


dan dirujuk ke RSUD PRAYA

Riwayat Kehamilan dan Persalinan:

Anak merupakan anak kedua dari kehamilan yang kedua. Selama hamil, ibu pasien
mengaku sudah 11 kali memeriksakan kehamilannya di puskesmas. Ibu pasien mengaku
selama hamil dirinya tidak pernah mengalami mual muntah yang berlebihan pada bulan-
bulan pertama kehamilan, Riwayat hipertensi dalam kehamilan (-), kejang selama
kehamilan( Eklamsia), Anemia selama kehamilan(-), Riwayat infeksi Akut dalam
kehamilan (-), Riwayat Infeksi TORCH(-).

Riwayat Persalinan :

Pasien lahir di Puskesmas secara spontan pada tanggal 7 agustus 2011. Pasien lahir
pada usia kehamilan lebih bulan dengan BBL 3900 gram, PB 48 cm,, anus (+), kelainan
kongenital (-). Riwayat biru atau kuning setelah lahir disangkal, Riwayat sesak waktu
lahir.

Riwayat Nutrisi :

Ibu pasien mengaku anaknya ketika lahir mendapatkan ASI selama 1 tahun. PASI
diberikan pada umur 7 bulan hingga 2 tahun yaitu nasi. Ibu pasien mengaku memasak di
rumah menggunakkan gas. Anak makan 3 x sehari, komposisi makanan nasi,sayur daging
dan telur. Sehari sebelum sakit pasien mengkonsumsi jajan vitami di pasar.

Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan

Ayah pasien bekerja sebagai buruh TKI di malaysia dengan gaji 1.500.000 per bulan
sedangkan ibu pasien sebagai ibu rumah tangga.

Riwayat Imunisasi (Vaksinasi) di Puskesmas ( pasien tidak membawa buku KIA)

Imunisasi Dasar Ulangan


BCG Sudah (tidak diketahui)
Hepatitis B Sudah (tidak diketahui)
Polio Sudah (tidak diketahui)
DPT Sudah (tidak diketahui)
Campak Sudah (tidak diketahui)

29
PEMERIKSAAN FISIK (18 Agustus 2015)

Status Generalis
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran / GCS : Composmentis / E4V5M5
Tanda Vital
Frekuensi nadi : 88 x/menit
Frekuensi napas : 20 x/menit
Suhu : 36,8oC
CRT : < 2 detik

Status Gizi
BB : 15,9 kg
PB : 103 cm

Z-score (Grafik WHO)


IMT/U = < - 2 -( 2) = gizi baik
BB/U = < -2 - ( 2) = gizi baik
TB/U = < -2 - (2) = gizi baik

Status Neurologis

Nervus Cranialis
N. I : sde
N. II : refleks pupil (+/+) isokor, ukuran + 3 mm.
N. III, IV, VI : retraksi palpebra superior (-/-), ptosis (-/-), gerakan bola mata kesan
normal (-/-).
N. V : pemeriksaan refleks trigeminal/kornea (+/+), refleks mengisap lemah,
N. VII : kontraksi otot wajah/fasial simetris,
5
N. VIII : normal
N. IX, X : refleks muntah (tidak dapat dievaluasi)
N. XI, XII : normal

Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah


Pemeriksaan
Dextra Sinistra Dextra Sinistra

30
Ukuran Otot Normal Normal Normal Normal
Tonus Otot Normal Normal Normal Normal
Kekuatan Otot 5 5 5 5

Refleks Fisiologis : Refleks Patella (++/+++)


Refleks Tendon Achilles (++/+++)

Refleks Patologis : Refleks Babinsky (-/-)


Refleks Chadock (-/-)
Refleks Schaefer (-/-)
Refleks Gordon (-/-)
Refleks Oppenheime (-/-)
Refleks Hoffman-Trommer (-/-)

Rangsang Meningeal : Kaku Kuduk (-)


Brudzinsky I (-)
Brudzinsky II sde
Kernigs Sign (-)

Pemeriksaan Fisik Umum

Kepala/Leher
Bentuk : normochepali, tidak terdapat kelainan
UUB : terbuka, datar
Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) isokor, air mata (+)
Mulut : pucat (-), mukosa bibir kering (-), sianosis (-), kaku (-)
Telinga : otorhea (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
Hidung : rinorhea (-), napas cuping hidung (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Tenggorokan : tidak dapat dievaluasi
Gigi : tidak dapat dievaluasi

Thoraks
Inspeksi : bentuk dan ukuran normal, retraksi (-), ictus cordis tidak tampak
Palpasi : pengembangan dinding dada simetris, ictus cordis teraba pada ICS IV
midclavicula sinistra
Perkusi : Redup pada paru dektra dan pekak pada paru sinistra kiri
IV midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung paru :
Atas : ICS II

31
Kanan : ICS V parasternal line dextra
Kiri : ICS V axillaris anterior sinistra
Bawah : ICS V
Auskultasi : Cor S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-).
Pulmo vesikuler (+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-).

Abdomen
Inspeksi : distensi (-), jejas (-), scar/luka bekas operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-), H/L/R tak teraba, blast terasa penuh

Ekstremitas

Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah


Pemeriksaan
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Akral hangat + + + +

Edema - - - -

Vertebra
Inspeksi : Kelainan (-), tanda-tanda fraktur (-), gibus (-)
Kulit
Inspeksi : Ruam (-), turgor kulit = 2 detik

Darah Lengkap ( 31/07/ 2015)


HGB : 12,8 g/dl
HCT : 38,3 %
RBC : 4,90 x 106 /L
MCV : 78,1 fl
MCH : 26,1pg
WBC : 19,4 x 103 /L
MCHC: 33,5 g/dl
PLT : 221 x 103/L
Na : 133 mmol/L
K : 3,7 mmol/L
Cl : 101 mmol/L

RESUME

Anak E, perempuan, 4 tahun merupakan rujukan dari puskesmas manggung


datang dengan keluhan kejang sejak kemarin 30/08/2015 pukul 12.00
malam,sebelum kejang pasien sempat muntah sebanyak 2 x. kejang sudah
berlangsung selama 5 kali dengan durasi kejang pertama 30 menit kemudian
kejang beriktnya durasi rata-rata 10 menit, dengan sifat tonik klonik dan diawali

32
dengan panas (demam). Selain keluhan kejang pasien juga mengeluhkan diare sejak
kemarin jam 03.00. sebanyak 3 kali dengan konsistensi cair berbau amis, disertai
lendir dan darah. Ibu pasien mengaku kakanya sudah pernah kejang yang disertai
demam ketika berumur 3 tahun. Selain keluhan diatas pasien juga mengeuhkan
batuk sejak masuk rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik ditemukan Frekuensi nadi:
88 x/menit Frekuensi napas : 20 x/menit, Suhu : 36,8oC, CRT: < 2 detik, Status
Gizi BB: 15,9 kg, PB: 103 cm.

DIAGNOSIS
Kejang Demam Kompleks + Diare Akut tanpa dehidrasi + ISPA atas
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
- Kejang et causa gangguan elektrolit
RENCANA TERAPI

Tatalaksana kejang

- Diazepam 0,2- 0,5 /kgBB


- Parasetamol Syr 3 x 200 mg
- O2 2 lpm
- Valeptip

Tatalaksana Diare

Inj Ampisilin 3 x 550 mg


Inj Metronidazol 3 x 350 mg
Zinc 1 x 20 mg selama 10-14 hari

Tatalaksana ISPA

Ambroksol 3 x 1

BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis kejang demam kompleks pada pasien ini berdasarkan Diagnosis kejang
demam kompleks pada kasus ini berdasarkan :
a. Anamnesis
- kejang (5 kali, berulang yang pertama dengan durasi 30 menit sedangkan yang
ke 2 sampai ke 5 dengan durasi 10 menit, sifat tonik klonik dan diawali dengan
muntah sebanyak 3 kali dan demam setiap akan mulai kejang.

33
- Setelah kejang pasien diare sebanyak 5 kali dengan konsistensi cair, disertai lendir
dan darah
b. Pemeriksaan fisik
Kami dapatkan suhu 38,2oC per axiler, faring hiperemis. Tidak didapatkan Pada
pemeriksaan fisik ditemukan Frekuensi nadi: 88 x/menit Frekuensi napas :
20 x/menit, Suhu : 36,8oC, CRT: < 2 detik, Status Gizi BB: 15,9 kg, PB: 103 cm.

c. Pemeriksaan Penunjang
HGB : 12,8 g/dl , HCT: 38,3 % RBC: 4,90 x 106 /L, MCV : 78,1 fl MCH:
26,1pg, WBC: 19,4 x 103 /L, MCHC: 33,5 g/dl, PLT : 221 x 103/L Na :
133 mmol/L, K : 3,7 mmol/L Cl : 101 mmol/L
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu diberikan parasetamol 3 x 200 mg untuk mengatasi
demam, kemudian diberikan juga injeksi diazepam 3 mg secara intravena jika terjadi kejang.
Pemberian diazepam ini digunakan sebagai obat potong kejang.
Edukasi yang diberikan kepada keluarga mengenai penyakit ini adalah bahwa kejang
dapat timbul kembali jika pasien panas. Oleh karena itu, keluarga pasien harus sedia obat
penurun panas, termometer, dan kompres hangat jika pasien panas. Dan perlu dijelaskan
alasan pemberian obat rumatan adalah untuk menurunkan resiko berulangnya kejang. Lama
pengobatan rumatan adalah 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap
selama 1 sampai 2 bulan.
Untuk tatalaksana diare pada pasien ini diberikan antibiotik karena berdasarkan dari
gejala klinis diare disertai dengan lendir dan darah yang mengindikasikan untuk diberikan
antibiotik pada pasien ini antibiotik yang diberikan pada pasien ini yaitu Ampisilin dan
metronidazol. Selain itu pada pasien ini juga diberikan zink yang berfungsi untuk
mempercepat reepitalisasi dari vili-vili usus selama 10-14 hari. Diperlukan edukasi pada
pasien ini. Sedangkan untuk tatalaksana ISPA atas pada pasien ini hanya diberikan
Ambroksol.

34
DAFTAR PUSTAKA
1. Arif Mansjoer., d.k.k,. 2000. Kejang Demam di Kapita Selekta Kedokteran. Media
Aesculapius FKUI. Jakarta.
2. Behrem RE, Kliegman RM,. 1992. Nelson Texbook of Pediatrics. WB
Sauders.Philadelpia.
3. Hardiono D. Pusponegoro, Dwi Putro Widodo dan Sofwan Ismail. 2006. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Badan Penerbit IDAI. Jakarta
4. Hardiono D. Pusponegoro, dkk,.2005. Kejang Demam di Standar Pelayanan Medis
Kesehatan Anak. Badan penerbit IDAI. Jakarta
5. Staf Pengajar IKA FKUI. 1985. Kejang Demam di Ilmu Kesehatan Anak 2. FKUI.
Jakarta.
6. M. Farthing, et al. 2008. World Gastroenterology Organisation practice guideline:
Acute diarrhea. Diakses dari
http://www.worldgastroenterology.org/assets/downloads/en/pdf/guidelines/01_acute_diar
rhea.pdf. Diakses tanggal 27 Oktober 2012.
7. Richard L. Guerrant, et al. 2011. Practice Guidelines for the Management of Infectious
Diarrhea. Diakses dari
http://www.uphs.upenn.edu/bugdrug/antibiotic_manual/idsadiarrhea.pdf. Diakses tanggal
27 Oktober 2012.
8. Subagyo, B. & Santoso, N.B 2012. Diare Akut di Buku Ajar Gastroenterologi-
Hepatologi Jilid I. IDA

35

Anda mungkin juga menyukai