Anda di halaman 1dari 391

351.770.

212
Ind
p

PROFIL KESEHATAN INDONESIA


TAHUN 2013

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


2014
351.770.212 Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI
Ind
P Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Sekretariat Jenderal
Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. --
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2014

ISBN 978-602-235-645-5
1. Judul I. HEALTH STATISTICS

Buku ini diterbitkan oleh


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jalan HR. Rasuna Said Blok X-5 Kav 4-9, Jakarta 12950
Telepon no: 62-21-5229590, 5221432, 5277168
Fax no: 62-21-5203874
E-mail: pusdatin@depkes .go.id
Web site: http://www.kemkes.go.id

ii
TIM PENYUSUN
Pengarah
dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS
Sekretaris Jenderal Kemenkes RI

Ketua
drg. Oscar Primadi, MPH
Kepala Pusat Data dan Informasi

Editor
drg. Vensya Sitohang, M.Epid
Dr. drh. Didik Budijanto, M.Kes
Boga Hardhana, S.Si, MM
drg. Titi Aryati Soenardi, M.Kes

Anggota
Farida Sibuea, SKM, MScPH; Ir. Zulfi, MM;
Marlina Indah Susanti, SKM, M.Epid; Supriyono Pangribowo, SKM, MKM;
Budi Prihantoro, S.Si ; Margiyono, SKom;
Dewi Roro Kumbini, S.Pd, MKM; Annisa Harpini, SKM, MKM;
Sarinah Bintang, SKM, Eka Satriyani Sakti, SKM;
B.B. Sigit; Hellena Maslinda; Hadi Nuramsyah

Kontributor
Biro Perencanaan dan Anggaran; Biro Kepegawaian; Biro Keuangan dan BMN;
Pusat Promosi Kesehatan;Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan;
Set. Ditjen Bina Gizi dan KIA; Dit. Bina Kesehatan Ibu; Dit. Bina Kesehatan Anak;
Dit. Bina Gizi; Set. Ditjen Bina Upaya Kesehatan; Dit. Bina Upaya Kesehatan Dasar;
Dit. Bina Upaya Kesehatan Rujukan; Set. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan;
Set. Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; Dit. Surveilans Imunisasi,
Karantina, dan Kesehatan Matra; Dit. Pengendalian Penyakit Menular Langsung;
Dit. Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang; Dit. Pengendalian Penyakit Tidak Menular;
Set. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; Set. Badan PPSDM Kesehatan;
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan

iii
KATA PENGANTAR
SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN RI

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
kami dapat menyelesaikan Profil Kesehatan Indonesia 2013 ini
dengan baik. Profil Kesehatan Indonesia merupakan salah satu media
publikasi data dan informasi yang terkait dengan situasi dan kondisi
kesehatan yang relatif komprehensif.

Sumber data Profil Kesehatan Indonesia berasal dari unit teknis di


lingkungan Kementerian Kesehatan serta institusi lain yang memiliki
data terkait bidang kesehatan seperti Badan Pusat Statistik (BPS) dan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Data yang ditampilkan pada Profil Kesehatan Indonesia dapat membantu kita dalam
membandingkan capaian pembangunan kesehatan antara satu provinsi dengan provinsi
lainnya, mengukur capaian pembangunan kesehatan di Indonesia, serta sebagai dasar untuk
perencanaan program pembangunan kesehatan selanjutnya.

Terdapat perbedaan Profil Kesehatan Indonesia 2013 dibandingkan dengan Profil Kesehatan
Indonesia yang diterbitkan pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu perubahan sistematika bab.
Pada Profil Kesehatan Indonesia terdahulu, sistematika bab secara berurutan terdiri dari ;
Pendahuluan, Gambaran Umum, Situasi Derajat Kesehatan, Upaya Kesehatan, Sumber Daya
Kesehatan, dan Perbandingan antara negara. Sedangkan pada Profil Kesehatan Indonesia 2013
urutan bab terdiri dari Demografi, Sarana Kesehatan, Tenaga Kesehatan, Pembiayaan
Kesehatan, Kesehatan Keluarga (Kesehatan Ibu & Kesehatan Anak), serta Pengendalian
Penyakit dan Kesehatan Lingkungan.

Buku Profil Kesehatan Indonesia 2013 ini disajikan dalam bentuk cetakan dan soft copy (CD)
serta dapat diunduh di website www.kemkes.go.id. Semoga publikasi ini dapat berguna bagi
semua pihak, baik pemerintah, organisasi profesi, akademisi, sektor swasta dan masyarakat
serta berkontribusi secara positif bagi pembangunan kesehatan di Indonesia. Kritik dan saran
kami harapkan sebagai penyempurnaan profil yang akan datang.

Kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan Profil Kesehatan Indonesia
2013 ini, kami mengucapkan terima kasih.

Jakarta, Juli 2014


Sekretaris Jenderal
Kementerian Kesehatan

dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS


NIP. 195408112010061001

iv
KATA SAMBUTAN
MENTERI KESEHATAN RI

Data dan informasi merupakan salah satu komponen krusial dalam


pembangunan kesehatan yang berperan pada tahap perencanaan
sebelum pengambilan keputusan dilakukan. Oleh karena itu, Saya
menyambut gembira atas terbitnya Profil Kesehatan Indonesia 2013.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan secara


gamblang mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas informasi
dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.
Dengan demikian sudah menjadi tugas kita bersama selaku pemangku
kepentingan di sektor kesehatan untuk menyediakan data dan
informasi yang berkualitas.

Profil Kesehatan Indonesia 2013 sebagai media publikasi data dan informasi kesehatan terus
melakukan perbaikan dan pembenahan sehingga dapat menyajikan data dan informasi yang
lebih berkualitas, valid, dan konsisten. Pemenuhan kelengkapan data dan ketepatan waktu
pengiriman data baik dari segi cakupan wilayah maupun indikator merupakan masalah utama
yang ditemui dalam proses penyusunan Profil Kesehatan Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan
penguatan komitmen terhadap integrasi data dan informasi serta koordinasi antara pusat dan
daerah.

Apresiasi yang setinggi-tingginya Saya berikan kepada semua pihak yang berperan dalam
proses penyusunan Profil Kesehatan Indonesia 2013 dari hulu sampai hilir. Saya sangat
berharap publikasi ini bisa menjadi acuan dalam hal data dan informasi bagi semua pihak yang
berkepentingan terhadap upaya pembangunan kesehatan di Indonesia.

Jakarta, Juli 2014


Menteri Kesehatan

v
DAFTAR SINGKATAN

3M Plus : Menguras, Menutup, Mengubur, plus Menghindari


gigitan nyamuk
ABH : Anak yang Berhadapan Hukum

ACT : Artemisinin-based Combination Therapy

ADB : Asian Development Bank

ADD : Anak Dengan Disabilitas

AFP : Acute Flaccid Paralysis

AHH : Angka Harapan Hidup


Jumlah rata-rata usia yang diperkirakan pada
seseorang atas dasar angka kematian pada masa
tersebut yang cenderung tidak berubah di masa
mendatang
AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome

AKABA : Angka Kematian Balita

AKB : Angka Kematian Bayi


- Infant Mortality Rate (IMR)
AKI : Angka Kematian Ibu
- Maternal Mortalite Rate (MMR)
AKN : Angka Kematian Neonatal
- Neonatal Mortality Rate
AMH : Angka Melek Huruf

AMP : Audit Maternal Perinatal

Andikpas : Anak didik pemasyarakatan

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

API : Annual Parasite Incidence

APK : Angka Partisipasi Kasar

APM : Angka Partisipasi Murni

APS : Angka Partisipasi Sekolah

xvi
vi
ASEAN : Association of Southeast Asian Nations

ASI Eksklusif : Pemberian Air Susu Ibu saja tanpa tambahan makanan
dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai usia
6 bulan.
BABS : Buang Air Besar Sembarangan

BB/TB : Status gizi berdasarkan Berat Badan menurut Tinggi


Badan
BB/U : Status gizi berdasarkan Berat Badan menurut Umur

BBLR : Berat Bayi Lahir Rendah

BCG : Bacille Calmette-Gurin

BJP : Bukan Jaringan Perpipaan

BOK : Biaya Operasional Kesehatan

BPS : Badan Pusat Statistik

BTA + : Basil Tahan Asam positif

BUMN : Badan Umum Milik Negara

CBE : Clinical Breast Examiniation

CBR : Crude Birth Rate = Angka Kelahiran Kasar

CDR : Case Detection Rate

CFR : Case Fatality Rate

CNR : Case Notification Rate

CR : Cure Rate = Angka Kesembuhan

CRPD : Convention on the Rights of Persons with Disabilities

CSR : Corporate Social Responsibility

CTKI : Calon Tenaga Kerja Indonesia

D/S : Cakupan penimbangan balita di posyandu

DAK : Dana Alokasi Khusus

DBD : Demam Berdarah Dengue

DBK : Daerah yang Bermasalah Kesehatan

DIPA : Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

vii
DJJ : Denyut Jantung Janin

DO Rate : Drop Out Rate

DPT : Diphteri Pertusis Tetanus

DTPK : Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan

EKG : Elektrokardiogram

EMAS : Expanding Maternal and Neonatal Survival

FCP : Female Cancer Program

FGD : Focus Group Discussion

GHPR : Gigitan Hewan Penular Rabies

HAM : Hak Asasi Manusia

Hb : Hemoglobin

HDI : Human Development Index

HDK : Hipertensi Dalam Kehamilan

HIV : Human Immunodeficiency Virus

ICCP : Indonesian Cancer Control Progam

ICWRMIP : Integrated Citarum Water Resources Management


Investment Program
IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia

IDU : Injecting Drug User

IEBA : Industri Ekstrak Bahan Alam

IMD : Inisiasi Menyusu Dini

IMS : Infeksi Menular Seksual

IMT : Indeks Massa Tubuh


Body Mass Index (BMI)

IMT/U : Status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut


Umur
IOT : Industri Obat Tradisional

IPM : Indeks Pembangunan Manusia

IR : Incidence Rate

viii
ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut

IVA : Inspeksi Visual dengan Asam Asetat

IUD : Intra Uterine Device

Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat

Jampersal : Jaminan Persalinan

JMP : Joint Monitoring Program

K1 : Kunjungan baru ibu hamil, yaitu kunjungan ibu hamil


pertama kali pada masa kehamilan.
K4 : Kontak minimal empat kali selama masa kehamilan
untuk mendapatkan pelayanan antenatal, yang terdiri
atas minimal satu kali kontak pada trimester pertama,
satukali pada trimester kedua dan duakali pada
trimester ketiga.
KB : Keluarga Berencana

KF 3 : Kunjungan Nifas; Pelayanan kepada ibu nifas


sedikitnya 3 kali, pada 6 jam pasca persalinan s.d 3
hari; pada minggu ke II, dan pada minggu ke VI
termasuk pemberian vitamin A 2 kali serta persiapan
dan/atau pemasangan KB pasca persalinan.
KIA : Kesehatan Ibu dan Anak

KIE : Komunikasi, Informasi dan Edukasi

KKI : Konsil Kedokteran Indonesia

KKS : Kabupaten/Kota Sehat

KLB : Kejadian Luar Biasa

KMS : Kartu Menuju Sehat

KN1 : Kunjungan Neonatus 1; pelayanan kesehatan neonatal


dasar, kunjungan ke-1 (pertama) pada 6-24 jam
setelah lahir.
KN Lengkap : Kunjungan Neonatus Lengkap ; pelayanan kesehatan
neonatal dasar meliputi ASI ekslusif, pencegahan
infeksi berupa perawatan mata, tali pusat, pemberian
vitamin K1 injeksi bila tidak diberikan pada saat lahir,
pemberian imunisasi hepatitis B1 bila tidak diberikan
pada saat lahir, dan manajemen terpadu bayi muda.
Dilakukan sesuai standar sedikitnya 3 kali, pada 6-24
jam setelah lahir, pada 3-7 hari dan pada -28 hari
setelah lahir yang dilakukan di fasilitas kesehatan

ix
maupun kunjungan rumah.
KOMNAS : Komisi Nasional

KPDT : Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal

KT : Konseling dan Tes HIV

KtA : Kekerasan Terhadap Anak

KTR : Kawasan Tanpa Rokok

KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

KVA : Kekurangan Vitamin A

Lapas : Lembaga Pemasyarakatan

LBH : Lembaga Bantuan Hukum

LIL : Lima Imunisasi Dasar Lengkap

LILA : Lingkar Lengan Atas

LKSA : Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

LMKM : Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui

LP/LS : Lintas Program / Lintas Sektor

LPA : Lembaga Perlindungan Anak

LPP : Laju Pertumbuhan Penduduk

LSL : Lelaki Seks dengan Lelaki

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MA : Madrasah Aliyah

MAK : Manajemen Aktif Kala

MB : Multi Basiler

MDGs : Millenium Development Goals

MOP : Metode Operatif Pria; cara kontrasepsi dengan


tindakan pembedahan pada saluran sperma pria.
MOW : Metode Operatif Wanita; cara kontrasepsi dengan
tindakan pembedahan pada saluran telur wanita.
MP ASI : Makanan Pendamping Air Susu Ibu

MTBM : ManajemenTerpadu Balita Muda; suatu pendekatan


keterpaduan dalam tata laksana bayi umur 1 hari 2
bulan, baik yang sehat maupun yang sakit, baik yang

x
datang ke fasilitas rawat jalan pelayanan kesehatan
dasar maupun yang dikunjungi oleh tenaga kesehatan
pada saat kunjungan neonatal.

MTBS : ManajemenTerpadu Balita Sakit; suatu pendekatan


yang terintegrasi/terpadu dalam tata laksana balita
sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59
bulan (balita) secara menyeluruh. MTBS bukan
merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu
pendekatan/cara menatalaksana balita sakit.
MTs : Madrasah Tsanawiyah

NAPZA : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain

NCDR : Newly Case Detection Rate

NSPK : Norma Standar Prosedur Kriteria

P4K : Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan


Komplikasi
PAK : Penyakit Akibat Kerja

PAK : Penyalur Alat Kesehatan

PAMSTBM : Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Total Berbasis


Masyarakat
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

PBF : Pedagang Besar Farmasi

PD3I : Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi

PDAM : Perusahaan Daerah Air Minum

Perpres : Peraturan Presiden

PET : Post Exposure Treatment

PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

PJK : Penyakit Jantung Koroner

PJPD : Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah

PK : Penanganan Komplikasi Maternal

PKH : Program Keluarga Harapan

PKHS : Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat

xi
PKK : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga

PKPR : Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja

PKRT : Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga

PKT : Pusat Krisis Terpadu

PMS : Penyakit Menular Seksual

PN (Salinakes) : Persalinan oleh Tenaga Kesehatan

PNS : Pegawai Negeri Sipil

POGI : Perkumpulan Obstetri Dan Ginekologi Indonesia

Polindes : Pondok Bersalin Desa

POLRI : Polisi Republik Indonesia

Poltekkes : Politeknik Kesehatan

POMP : Pemberian Obat Massal Pencegahan; program untuk


filariasis
PONED : Pelayanan emergensi Obstetrik dan Neonatal Dasar

PONEK : Pelayanan emergensi Obstetrik dan Neonatal


Komprehensif
Posbindu : Pos Pembinaan Terpadu

Poskesdes : Pos Kesehatan Desa

Posyandu : Pos Pelayanan Terpandu

PP : Peraturan Pemerintah

PPA : Project Partnership Agreement

PPT : Pusat Pelayanan Terpadu

PSN : Pemberantasan Sarang Nyamuk

PTM : Penyakit Tidak Menular

PTT : Pegawai Tidak Tetap

PUS : Pasangan Usia Subur

Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat

Pustu : Puskesmas Pembantu

RAN : Rencana Aksi Nasional

xii
Renstra : Rencana Strategis

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

RITL : Rawat Inap Tingkat Lanjut

RITP : Rawat Inap Tingkat Pertama

RJTL : Rawat Jalan Tingkat Lanjut

RJTP : Rawat Jalan Tingkat Pertama

RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

RPSA : Rumah Perlindungan Sosial Anak

RPTC : Rumah Perlindungan Trauma Center

RSIA : Rumah Sakit Ibu Anak

RSK : Rumah Sakit Khusus

RSU : Rumah Sakit Umum

Rutan : Rumah Tahanan

Satker : Satuan Kerja

SD : Sekolah Dasar

SDIDTK : Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang

SDKI : Survei Demografi Kesehatan Indonesia

SDM : Sumber Daya Manusia

SEARO : WHO South-East Asia Regional

Sentra P3T : Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan


Tradisional
SK : Surat Keputusan

SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga

SLB : Sekolah Luar Biasa

SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

SMK : Sekolah Menengah Kejuruan

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SPAL : Saluran Pembuangan Air Limbah

xiii
SPM : Standar Pelayanan Minimal

SR : Success Rate = Angka Keberhasilan Pengobatan

SpOG : Spesialis Obstetri Ginekologi/ Spesialis Kebidanan dan


Kandungan
Srikandi : Sistem Registrasi Kanker di Indonesia

STBM : Sanitasi Total Berbasis Masyarakat

STBP : Survei Terpadu Biologis dan Perilaku

STR : Surat Tanda Registrasi

STRA : Surat Tanda Registrasi Apoteker

STRTTK : Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian

STTB : Surat Tanda Tamat Belajar

Susenas : Survei Sosial Ekonomi Indonesia

TB : Tuberkulosis

TB : Tinggi Badan

TB/U : Status gizi berdasarkan Tinggi Badan menurut Umur

THT : Telinga, Hidung, dan Tenggorokan

TKI : Tenaga Kerja Indonesia

TNI : Tentara Nasional Indonesia

Toga : Tokoh Agama

Toma : Tokoh Masyarakat

TOT : Training of Trainer

TPT : Tingkat Pengangguran Terbuka

TT : Tetanus Toksoid

UCI : Universal Child Immunization; tercapainya imunisasi


dasar secara lengkap pada bayi (0-11 bulan), ibu
hamil, wanita usia subur dan anak sekolah tingkat
dasar. Imunisasi dasar lengkap pada bayi meliputi: 1
dosis BCG, 3 dosis DPT, 4 dosis polio, 4 dosis hepatitis
B, 1 dosis campak. Pada ibu hamil dan wanita usia
subur meliputi 2 dosis TT. Untuk anak sekolah tingkat
dasar rneliputi 1 dosis DT, 1 dosis campak dan 2 dosis
TT.

xiv
UKBM : Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat;
Bentuk UKBM yang adalah Poskesdes, Polindes, Pos
UKK, Poskestren, TOGA, Saka Bhakti Husada, dan lain-
lain.
UKGS : Usaha Kesehatan Gigi Sekolah

UKOT : Usaha Kecil Obat Tradisional

UKS : Usaha Kesehatan Sekolah

UMOT : Usaha Mikro Obat Tradisional

UNICEF : United Nations Children's Fund

UPPA : Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

UPT : Unit Pelaksana Teknis

VAR : Vaksin Anti Rabies

VCT : Voluntary, Counseling, and Testing

WDF : World Diabetes Foundation

WHO : World Health Organization

WNA : Warga Negara Asing

WUS : Wanita Usia Subur; keadaan organ reproduksinya


berfungsi dengan baik antara umur 20-45 tahun.

xv
DAFTAR GAMBAR

BAB I. DEMOGRAFI
GAMBAR 1.1 JUMLAH PENDUDUK INDONESIA MENURUT JENIS KELAMIN
TAHUN 2010 2013 ............................................................................................................. 3

GAMBAR 1.2 JUMLAH PENDUDUK MENURUT PROVINSI TAHUN 2013 ............................... 4

GAMBAR 1.3 PIRAMIDA PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2013 ............................................... 5


GAMBAR 1.4 PETA PERSEBARAN KEPADATAN PENDUDUK INDONESIA TAHUN
2013 .............................................................................................................................................. 6

GAMBAR 1.5 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2009 2013 (%) ............ 9

GAMBAR 1.6 PERSENTASE RATA-RATA PENGELUARAN PER KAPITA/BULAN


INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................................................. 10
GAMBAR 1.7 PERSENTASE TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA MENURUT
PENDIDIKAN DI INDONESIA KONDISI AGUSTUS 2013 ..................................... 12

GAMBAR 1.8 GARIS KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2009 2013 ............................... 13


GAMBAR 1.9 PETA PERSEBARAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN DI INDONESIA
TAHUN 2013 ............................................................................................................................. 14
GAMBAR 1.10 PETA PERSEBARAN PERSENTASE KABUPATEN TERTINGGAL
DI INDONESIA TAHUN 2013 ............................................................................................ 15
GAMBAR 1.11 RATA-RATA LAMA SEKOLAH PENDUDUK BERUMUR 15 TAHUN KE
ATAS MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013 ................................ 16
GAMBAR 1.12 PERSENTASE PENDUDUK USIA 15 TAHUN KEATAS MENURUT STTB
TERTINGGI YANG DIMILIKI TAHUN 2012 ................................................................ 17

GAMBAR 1.13 PERSENTASE PENDUDUK BERUMUR 15 TAHUN KE ATAS YANG MELEK


HURUF MENURUT PROVINSI TAHUN 2013 ............................................................ 18
GAMBAR 1.14 PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH PENDIDIKAN MENURUT
USIA SEKOLAH DI INDONESIA TAHUN 2008 2013 .......................................... 19

GAMBAR 1.15 PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI KASAR PENDIDIKAN DI INDONESIA


TAHUN 2008 2013 ............................................................................................................. 20

GAMBAR 1.16 PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI MURNI PENDIDIKAN DI INDONESIA


TAHUN 2008 2013 ............................................................................................................. 21
GAMBAR 1.17 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA INDONESIA TAHUN 2008 2012 .... 22

GAMBAR 1.18 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA MENURUT PROVINSI TAHUN 2012 22


GAMBAR 1.19 ANGKA HARAPAN HIDUP WAKTU LAHIR (DALAM TAHUN) INDONESIA
TAHUN 2008 2012 ............................................................................................................. 23

xvi
BAB II. SARANA KESEHATAN
GAMBAR 2.1 JUMLAH PUSKESMAS TAHUN 2009 2013 ............................................................. 28

GAMBAR 2.2 RASIO PUSKESMAS PER 30.000 PENDUDUK TAHUN 2009 2013 ............ 28

GAMBAR 2.3 RASIO PUSKESMAS PER 30.000 PENDUDUK TAHUN 2013 ............................ 29

GAMBAR 2.4 JUMLAH PUSKESMAS RAWAT INAP DAN NON RAWAT INAP TAHUN
2009 2013 .............................................................................................................................. 30

GAMBAR 2.5 PERSENTASE KABUPATEN/KOTA YANG MEMENUHI SYARAT MINIMAL


4 PUSKESMAS PONED DI INDONESIA TAHUN 2013 ........................................... 31
GAMBAR 2.6 JUMLAH PUSKESMAS YANG MELAKSANAKAN PELAYANAN
KESEHATAN PEDULI REMAJA DI INDONESIA TAHUN 2013 .......................... 32
GAMBAR 2.7 PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT UMUM DAN RUMAH SAKIT
KHUSUS DI INDONESIA TAHUN 2009 2013 ......................................................... 36
GAMBAR 2.8 PERSENTASE RUMAH SAKIT KHUSUS (RSK) MENURUT JENIS DI
INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................................................. 36
GAMBAR 2.9 RASIO JUMLAH TEMPAT TIDUR RUMAH SAKIT PER 1.000 PENDUDUK
DI INDONESIA TAHUN 2009 2013 ........................................................................... 37

GAMBAR 2.10 RASIO TEMPAT TIDUR RUMAH SAKIT PER 1.000 PENDUDUK DI
INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................................................. 38
GAMBAR 2.11 PERSENTASE RUMAH SAKIT MENURUT KELAS DI INDONESIA TAHUN
2013 .............................................................................................................................................. 38
GAMBAR 2.12 JUMLAH SARANA PRODUKSI KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
DI INDONESIA TAHUN 2013 ............................................................................................ 40
GAMBAR 2.13 JUMLAH SARANA DISTRIBUSI KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
DI INDONESIA TAHUN 2013 ............................................................................................ 41

GAMBAR 2.14 PERSENTASE RATA-RATA PENGGUNAAN OBAT GENERIK DI


FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TAHUN 2013 ........................................... 42
GAMBAR 2.15 PERSENTASE DESA DAN KELURAHAN SIAGA AKTIF TAHUN 2013 ........... 43
GAMBAR 2.16 PERSENTASE POSYANDU MENURUT STRATA DI INDONESIA TAHUN
2013 .............................................................................................................................................. 44

GAMBAR 2.17 RASIO POSYANDU TERHADAP DESA/KELURAHAN DI INDONESIA


TAHUN 2013 ............................................................................................................................. 45

GAMBAR 2.18 JUMLAH PROGRAM STUDI POLTEKKES DIPLOMA III DAN IV DI


INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................................................. 46

GAMBAR 2.19 JUMLAH PESERTA DIDIK DIPLOMA III POLTEKKES DI INDONESIA


TAHUN 2013 ............................................................................................................................. 46
GAMBAR 2.20 JUMLAH LULUSAN DIPLOMA III POLTEKKES DI INDONESIA TAHUN
2013 ................................................................................................................................................ 47

xvii
BAB III. TENAGA KESEHATAN
GAMBAR 3.1 RASIO DOKTER UMUM TERHADAP 100.000 PENDUDUK DI INDONESIA
TAHUN 2013 ............................................................................................................................. 52

GAMBAR 3.2 RASIO PERAWAT TERHADAP 100.000 PENDUDUK DI INDONESIA


TAHUN 2013 ............................................................................................................................. 53

GAMBAR 3.3 RASIO BIDAN TERHADAP 100.000 PENDUDUK DI INDONESIA TAHUN


2013 .............................................................................................................................................. 54

GAMBAR 3.4 RASIO DOKTER UMUM DI PUSKESMAS TERHADAP JUMLAH


PUSKESMAS DI INDONESIA TAHUN 2013 ................................................................ 55

GAMBAR 3.5 JUMLAH TENAGA KESEHATAN MENURUT JENIS DI PUSKESMAS DI


INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................................................. 55
GAMBAR 3.6 JUMLAH TENAGA KESEHATAN MENURUT JENIS DI RUMAH SAKIT DI
INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................................................. 56

GAMBAR 3.7 JUMLAH DOKTER UMUM PTT, DOKTER GIGI PTT DAN BIDAN PTT
AKTIF MENURUT KRITERIA WILAYAH DI INDONESIA TAHUN 2013 ....... 57

GAMBAR 3.8 JUMLAH PENGANGKATAN DOKTER/DOKTER GIGI SPESIALIS, DOKTER


UMUM, DOKTER GIGI DAN BIDAN SEBAGAI PEGAWAI TIDAK TETAP
(PTT) MENURUT KRITERIA WILAYAH DI INDONESIA TAHUN 2013 ........ 58

BAB IV. PEMBIAYAAN KESEHATAN


GAMBAR 4.1 ALOKASI DAN REALISASI ANGGARAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TAHUN 2008 2013 ............................................................................................................. 63

GAMBAR 4.2 PERSENTASE ANGGARAN KESEHATAN TERHADAP APBD MENURUT


PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013 ..................................................................... 64
GAMBAR 4.3 JUMLAH KUNJUNGAN RJTP, RITP, RJTL & RITL DI INDONESIA TAHUN
2013 .............................................................................................................................................. 66
GAMBAR 4.4 PENCAPAIAN JUMLAH KUNJUNGAN RJTP, RITP, RJTL & RITL DI
INDONESIA TAHUN 2009-2013 ..................................................................................... 66
GAMBAR 4.5 PERSENTASE PENYERAPAN DANA BANTUAN OPERASIONAL
KESEHATAN (BOK) MENURUT PROVINSI TAHUN 2013 .................................. 68

BAB V. KESEHATAN KELUARGA


GAMBAR 5.1 CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN IBU HAMIL K1 DAN K4 DI
INDONESIA TAHUN 2004 2013 .................................................................................. 73

GAMBAR 5.2 CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN IBU HAMIL K4 MENURUT


PROVINSI, TAHUN 2013 ..................................................................................................... 74

xviii
GAMBAR 5.3 CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN IBU HAMIL K1 DAN K4 IDEAL DI
INDONESIA, TAHUN 2013 ................................................................................................. 75

GAMBAR 5.4 CAKUPAN PERTOLONGAN PERSALINAN OLEH TENAGA KESEHATAN


DI INDONESIA TAHUN 2004 2013 ............................................................................ 76
GAMBAR 5.5 CAKUPAN PERTOLONGAN PERSALINAN OLEH TENAGA KESEHATAN
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013 .............................................................................. 76

GAMBAR 5.6 PROPORSI KELAHIRAN BERDASARKAN TEMPAT BERSALIN DI


INDONESIA, RISKESDAS 2013 ......................................................................................... 77
GAMBAR 5.7 CAKUPAN PELAYANAN IBU HAMIL K4 DAN CAKUPAN PERTOLONGAN
PERSALINAN OLEH TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA TAHUN 2004
2013 ........................................................................................................................................... 78

GAMBAR 5.8 PROPORSI PENOLONG PERSALINAN DENGAN KUALIFIKASI


TERTINGGI DI INDONESIA, RISKESDAS TAHUN 2013 ....................................... 78
GAMBAR 5.9 PROPORSI PERSALINAN SESAR DARI KELAHIRAN PERIODE 1 JANUARI
2010 SAMPAI SAAT WAWANCARA MENURUT KARAKTERISTIK DI
INDONESIA, RISKESDAS 2013 ......................................................................................... 79
GAMBAR 5.10 CAKUPAN KUNJUNGAN NIFAS (KF3) DI INDONESIA TAHUN 2008
2013 ................................................................................................................................................ 80
GAMBAR 5.11 CAKUPAN PENANGANAN KOMPLIKASI KEBIDANAN DI INDONESIA
TAHUN 2008 2013 ............................................................................................................. 81
GAMBAR 5.12 CAKUPAN PENANGANAN KOMPLIKASI KEBIDANAN MENURUT
PROVINSI TAHUN 2013 ...................................................................................................... 81
GAMBAR 5.13 PENYEBAB KEMATIAN IBU DI INDONESIA TAHUN 2010 ............................... 82

GAMBAR 5.14 PERSENTASE PEMAKAIAN ALAT/CARA KB PADA WANITA USIA SUBUR


(15-49 TAHUN) YANG BERSTATUS KAWIN DI INDONESIA, RISKESDAS
2013 .............................................................................................................................................. 84

GAMBAR 5.15 PERSENTASE PESERTA KB AKTIF MENURUT METODE KONTRASEPSI


DI INDONESIA TAHUN 2013 ............................................................................................ 84
GAMBAR 5.16 PERSENTASE PESERTA KB AKTIF MENURUT PROVINSI TAHUN 2013 ... 85
GAMBAR 5.17 PERSENTASE PESERTA KB BARU MENURUT METODE KONTRASEPSI
TAHUN 2013 ............................................................................................................................. 86
GAMBAR 5.18 CAKUPAN PESERTA KB BARU MENURUT PROVINSI TAHUN 2013 ........... 86
GAMBAR 5.19 PERSENTASE BERAT BAYI LAHIR RENDAH MENURUT PROVINSI,
RISKESDAS 2013 .................................................................................................................... 88
GAMBAR 5.20 CAKUPAN PENANGANAN KOMPLIKASI NEONATAL MENURUT
PROVINSI TAHUN 2013 ...................................................................................................... 89
GAMBAR 5.21 CAKUPAN KUNJUNGAN NEONATAL PERTAMA DI INDONESIA TAHUN
2013 .............................................................................................................................................. 91

xix
GAMBAR 5.22 CAKUPAN KUNJUNGAN NEONATAL LENGKAP DI INDONESIA TAHUN
2013 .............................................................................................................................................. 91
GAMBAR 5.23 CAKUPAN KUNJUNGAN NEONATAL LENGKAP DI INDONESIA TAHUN
2009-2013 .................................................................................................................................. 92
GAMBAR 5.24 CAKUPAN KUNJUNGAN BAYI DI INDONESIA TAHUN 2013 ............................ 93
GAMBAR 5.25 PERSENTASE BAYI MULAI MENDAPAT ASI KURANG DARI 1 JAM
PERTAMA (INISIASI MENYUSU DINI) PADA ANAK UMUR 0-23 BULAN
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS TAHUN 2013 .................................................. 95

GAMBAR 5.26 CAKUPAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI 0-6 BULAN MENURUT PROVINSI
TAHUN 2013 ............................................................................................................................. 96
GAMBAR 5.27 PERSENTASE PEMBERIAN KAPSUL VITAMIN A PADA ANAK UMUR (6-
59 BULAN) MENURUT PROVINSI, RISKESDAS TAHUN 2013 ......................... 99

GAMBAR 5.28 PERSENTASE PEMBERIAN KAPSUL VITAMIN A PADA ANAK UMUR (6-
59 BULAN) SELAMA ENAM BULAN TERAKHIR MENURUT PROVINSI,
RISKESDAS TAHUN 2013 ................................................................................................... 100
GAMBAR 5.29 CAKUPAN PENIMBANGAN BALITA (D/S) DI INDONESIA TAHUN 2013 101

GAMBAR 5.30 PERSENTASE CAKUPAN IMUNISASI CAMPAK DI INDONESIA TAHUN


2013 .............................................................................................................................................. 103
GAMBAR 5.31 PERSENTASE CAKUPAN IMUNISASI CAMPAK PADA ANAK UMUR 12-23
BULAN DI INDONESIA TAHUN 2013 ........................................................................... 104
GAMBAR 5.32 PERSENTASE CAKUPAN IMUNISASI DASAR LENGKAP DI INDONESIA
TAHUN 2013 ............................................................................................................................. 105
GAMBAR 5.33 CAKUPAN DESA/KELURAHAN UCI DI INDONESIA TAHUN 2013 ............... 106
GAMBAR 5.34 ANGKA DROP OUT CAKUPAN IMUNISASI DPT/HB1 - CAMPAK PADA
BAYI DI INDONESIA TAHUN 2007-2013 .................................................................. 107
GAMBAR 5.35 CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN ANAK BALITA DI INDONESIA
TAHUN 2013 ............................................................................................................................. 108

GAMBAR 5.36 CAKUPAN SEKOLAH DASAR YANG MELAKSANAKAN PENJARINGAN


SISWA SD/SETINGKAT KELAS 1 DI INDONESIA TAHUN 2013 ..................... 110
GAMBAR 5.37 PERSENTASE KABUPATEN/KOTA DENGAN MINIMAL 4 PUSKESMAS
MAMPU TATA LAKSANA PKPR DI INDONESIA TAHUN 2013 ........................ 112
GAMBAR 5.38 PERSENTASE KABUPATEN/KOTA DENGAN MINIMAL 2 PUSKESMAS
MAMPU TATA LAKSANA KTA DI INDONESIA TAHUN 2013 ........................... 115
GAMBAR 5.39 PERSENTASE BALITA KEKURANGAN GIZI BERDASARKAN BERAT
BADAN MENURUT UMUR BB/U DI INDONESIA TAHUN 2013 ..................... 119
GAMBAR 5.40 PERSENTASE BALITA DENGAN TINGGI BADAN DI BAWAH NORMAL
BERDASARKAN TINGGI BADAN MENURUT UMUR TB/U DI INDONESIA
TAHUN 2013 ............................................................................................................................. 120
GAMBAR 5.41 PERSENTASE BALITA KURUS BERDASARKAN BERAT BADAN
MENURUT TINGGI BADAN (BB/TB) DI INDONESIA, RISKESDAS TAHUN
2013 .............................................................................................................................................. 121

xx
GAMBAR 5.42 PERSENTASE KELEBIHAN BERAT BADAN PADA PENDUDUK DEWASA
BERDASARKAN KATEGORI INDEKS MASA TUBUH MENURUT
PROVINSI, RISKESDAS, TAHUN 2013 .......................................................................... 122

BAB VI. PENGENDALIAN PENYAKIT DAN KESEHATAN LINGKUNGAN


GAMBAR 6.1 PROPORSI KASUS BARU BTA + MENURUT KELOMPOK UMUR TAHUN
2013 ............................................................................................................................................. 128

GAMBAR 6.2 PROPORSI BTA POSITIF DI ANTARA SELURUH KASUS TB PARU DI


INDONESIA TAHUN 2008-2013 ..................................................................................... 128

GAMBAR 6.3 PROPORSI BTA POSITIF DI ANTARA SELURUH KASUS TB PARU


MENURUT PROVINSI TAHUN 2013 .............................................................................. 129
GAMBAR 6.4 ANGKA NOTIFIKASI KASUS BTA+ DAN SELURUH KASUS PER 100.000
PENDUDUK TAHUN 2008-2013 ..................................................................................... 130
GAMBAR 6.5 ANGKA NOTIFIKASI KASUS TB PARU BTA+PER 100.000 PENDUDUK
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013 .............................................................................. 130
GAMBAR 6.6 ANGKA KESEMBUHAN DAN KEBERHASILAN PENGOBATAN TB BTA+DI
INDONESIA TAHUN 2008-2013 ..................................................................................... 131

GAMBAR 6.7 JUMLAH KASUS BARU HIV POSITIF DI INDONESIA SAMPAI TAHUN
2013 .............................................................................................................................................. 133
GAMBAR 6.8 PETA EPIDEMI HIV DI INDONESIA TAHUN 2012 ................................................ 134

GAMBAR 6.9 JUMLAH KASUS BARU DAN KUMULATIF PENDERITA AIDS YANG
TERDETEKSI DARI BERBAGAI SARANA KESEHATAN DI INDONESIA
SAMPAI TAHUN 2013 .......................................................................................................... 134
GAMBAR 6.10 PROPORSI KASUS BARU AIDS MENURUT JENIS KELAMIN DI
INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................................................. 135

GAMBAR 6.11 PERSENTASE KASUS BARU AIDS MENURUT KELOMPOK UMUR DI


INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................................................. 135
GAMBAR 6.12 PERSENTASE KASUS AIDS MENURUT FAKTOR RISIKO DI INDONESIA
TAHUN 2013 ............................................................................................................................. 136

GAMBAR 6.13 ANGKA KEMATIAN AKIBAT AIDS YANG DILAPORKAN DI INDONESIA


TAHUN 2000-2013 ................................................................................................................ 136

GAMBAR 6.14 PERIOD PREVALENCE PNEUMONIA MENURUT PROVINSI RISKESDAS


2007 DAN 2013 ....................................................................................................................... 139

GAMBAR 6.15 CAKUPAN PENEMUAN PNEUMONIA PADA BALITA DI INDONESIA


TAHUN 2008-2013 ................................................................................................................ 140

GAMBAR 6.16 ANGKA PREVALENSI DAN ANGKA PENEMUAN KASUS BARU KUSTA
(NCDR) TAHUN 2008-2013 .............................................................................................. 141
GAMBAR 6.17 ANGKA PENEMUAN KASUS BARU KUSTA PER 100.000 PENDUDUK
MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013 ............................................. 141

xxi
GAMBAR 6.18 ANGKA CACAT TINGKAT II PER 1.000.000 PENDUDUK TAHUN 2008-
2013 .............................................................................................................................................. 142
GAMBAR 6.19 ANGKA CACAT TINGKAT II KUSTA PER 1.000.000 PENDUDUK PER
PROVINSI TAHUN 2013 ...................................................................................................... 142
GAMBAR 6.20 PROPORSI KUSTA MB DAN PROPORSI KUSTA PADA ANAK TAHUN
2008-2013 .................................................................................................................................. 143
GAMBAR 6.21 PERIOD PREVALENCE DIARE (> 2 MINGGU 1 BULAN SEBELUM
WAWANCARA)MENURUT GEJALA, RISKESDAS 2013 ........................................ 144

GAMBAR 6.22 INCIDENCE RATE (IR) CAMPAK PER 100.000 PENDUDUK MENURUT
PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013 ..................................................................... 145
GAMBAR 6.23 PROPORSI KASUS CAMPAK MENURUT KELOMPOK UMUR DI
INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................................................. 146
GAMBAR 6.24 PROPORSI KASUS DIFTERI MENURUT KELOMPOK UMUR DI
INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................................................. 147
GAMBAR 6.25 NON POLIO AFP RATE PER 100.000 ANAK < 15 TAHUN DI INDONESIA
TAHUN 2013 ............................................................................................................................ 147
GAMBAR 6.26 PERSENTASE SPESIMEN ADEKUAT AFP MENURUT PROVINSI TAHUN
2013 .............................................................................................................................................. 148

GAMBAR 6.27 ANGKA KESAKITAN DEMAM BERDARAH DENGUE PER 100.000


PENDUDUK TAHUN 2008-2013 ..................................................................................... 149
GAMBAR 6.28 ANGKA KESAKITAN DEMAM BERDARAH DENGUE PER 100.000
PENDUDUK MENURUT PROVINSI TAHUN 2013 ................................................... 150
GAMBAR 6.29 JUMLAH KABUPATEN/KOTA TERJANGKIT DBD DI INDONESIA TAHUN
2008-2013 .................................................................................................................................. 150
GAMBAR 6.30 ANGKA BEBAS JENTIK DI INDONESIA TAHUN 2008-2013 ............................. 151
GAMBAR 6.31 JUMLAH KASUS CHIKUNGUNYA DI INDONESIA TAHUN 2008-2013 ......... 152
GAMBAR 6.32 JUMLAH KASUS KLINIS FILARIASIS DI INDONESIA TAHUN 2008 2013
........................................................................................................................................................... 152
GAMBAR 6.33 PETA ENDEMISITAS MALARIA DI INDONESIA TAHUN 2012 DAN 2013 . 153

GAMBAR 6.34 PERSENTASE KABUPATEN/KOTA MENURUT TINGKAT ENDEMISITAS


TAHUN 2011-2013 ................................................................................................................ 153

GAMBAR 6.35 ANGKA KESAKITAN MALARIA (ANNUAL PARACITE INCIDENCE /API)


PER 1.000 PENDUDUK BERISIKO TAHUN 2005-2013 ....................................... 154
GAMBAR 6.36 SITUASI RABIES DI INDONESIA TAHUN 2009 2013 ....................................... 155

GAMBAR 6.37 SEBARAN KASUS GHPR DAN KEMATIAN AKIBAT RABIES (LYSSA) DI
INDONESIA TAHUN 2013 ................................................................................................. 156

GAMBAR 6.38 SITUASI LEPTOSPIROSIS DI INDONESIA TAHUN 2008 2013 ..................... 157
GAMBAR 6.39 JUMLAH KASUS DAN CFR ANTRAKS DI INDONESIA TAHUN 2008-2013 158

xxii
GAMBAR 6.40 JUMLAH KASUS, KEMATIAN, DAN CASE FATALITY RATE (CFR) FLU
BURUNG DI INDONESIA TAHUN 2005-2013 ........................................................... 159

GAMBAR 6.41 PREVALENSI STROKE PADA UMUR 15 TAHUN () BERDASARKAN


DIAGNOSIS DOKTER MENURUT PROVINSI TAHUN 2007 DAN 2013 ......... 162
GAMBAR 6.42 PREVALENSI PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA UMUR 15 TAHUN
BERDASARKAN DIAGNOSIS DOKTER/GEJALA MENURUT PROVINSI
TAHUN 2013 ............................................................................................................................. 163

GAMBAR 6.43 PREVALENSI HIPERTENSI PADA UMUR 18 TAHUN BERDASARKAN


WAWANCARA MENURUT PROVINSI TAHUN 2007 DAN 2013....................... 163
GAMBAR 6.44 PREVALENSI PREVALENSI PENYAKIT KANKER () BERDASARKAN
DIAGNOSIS DOKTER/GEJALA MENURUT PROVINSI TAHUN 2013 ............. 165
GAMBAR 6.45 PREVALENSI DIABETES PADA UMUR 15 TAHUN BERDASARKAN
DIAGNOSIS DOKTER/GEJALA MENURUT PROVINSI TAHUN 2007 DAN
2013 .............................................................................................................................................. 167

GAMBAR 6.46 PREVALENSI PPOK PADA UMUR > 30 TAHUN BERDASARKAN GEJALA
(%) MENURUT PROVINSI TAHUN 2013 .............................................................. 170
GAMBAR 6.47 PETA PREVALENSI PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIS PADA UMUR
15 TAHUN DI INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................... 170
GAMBAR 6.48 PREVALENSI PENYAKIT ASMA BERDASARKAN GEJALA (%) MENURUT
ROVINSI TAHUN 2013 ......................................................................................................... 171
GAMBAR 6.49 PROPORSI PENDUDUK BERDASARKAN USIA PERTAMA KALI
MEROKOK TIAP HARI DI INDONESIA TAHUN 2013 .......................................... 172
GAMBAR 6.50 PROPORSI PENDUDUK BERUMUR 10 TAHUN YANG MEROKOK TIAP
HARI MENURUT PROVINSI TAHUN 2013 ................................................................. 172
GAMBAR 6.51 PROPORSI RUMAH TANGGA BERDASARKAN JENIS SUMBER AIR
MINUM DI INDONESIA, RISKESDAS 2013 ................................................................. 174

GAMBAR 6.52 PROPORSI RUMAH TANGGA YANG MENGOLAH AIR MINUM SEBELUM
DIMINUM DI INDONESIA, RISKESDAS 2013 ............................................................ 175
GAMBAR 6.53 PROPORSI RUMAH BERDASARKAN CARA PENGOLAHAN AIR MINUM
SEBELUM DIMINUM DI INDONESIA, RISKESDAS 2013 ..................................... 176
GAMBAR 6.54 PROPORSI RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI AKSES TERHADAP
SUMBER AIR MINUM IMPROVED BERDASARKAN KRITERIA JMP WHO-
UNICEF 2006, RISKESDAS 2013 ..................................................................................... 177
GAMBAR 6.55 PROPORSI RUMAH TANGGA BERDASARKAN PENGGUNAAN FASILITAS
BUANG AIR BESAR DI INDONESIA, RISKESDAS 2013 ........................................ 178
GAMBAR 6.56 PROPORSI RUMAH TANGGA BERDASARKAN JENIS TEMPAT BUANG
AIR BESAR DI INDONESIA, RISKESDAS 2013 ......................................................... 179
GAMBAR 6.57 PROPORSI RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI AKSES TERHADAP
FASILITAS SANITASI IMPROVED BERDASARKAN KRITERIA JMP WHO-
UNICEF 2006, RISKESDAS 2013 ..................................................................................... 180

xxiii
DAFTAR TABEL

TABEL 1.1 JUMMLAH PENDUDUK DAN ANGKA BEBAN TANGGUNGAN MENURUT


JENIS KELAMIN DAN KELOMPOK USIA PRODUKTIF DAN NON
PRODUKTIF DI INDONESIA TAHUN 2013 ................................................................. 7
TABEL 1.2 PENDUDUK SASARAN PROGRAM PEMBANGUNAN KESEHATAN DI
INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................................................. 8
TABEL 1.3 PERKEMBANGAN ANGKATAN KERJA, PENDUDUK YANG BEKERJADAN
PENGANGGURAN TERBUKA DI INDONESIA TAHUN 2011 2013 ............... 11
TABEL 1.4 PERSEBARAN JUMLAH DAN PROPORSI PENDUDUK MISKIN MENURUT
KELOMPOK BESAR PULAU DI INDONESIA TAHUN 2011 2013 ................. 14

TABEL 2.1 PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT MENURUT KEPEMILIKAN DI


INDONESIA TAHUN 2011 2013 .................................................................................. 35
TABEL 6.1 PREVALENSI TB PARU BERDASARKAN DIAGNOSIS DAN GEJALA TB
PARU MENURUT KARAKTERISTIK,RISKESDAS 2013 ........................................ 132

TABEL 6.2 PERSENTASE WANITA UMUR 15-49 TAHUN DAN PRIA KAWIN 15-54
TAHUN1 YANG PERNAH MENDENGAR TENTANG HIV AIDS MENURUT
KARAKTERISTIK LATAR BELAKANG TAHUN 2012 ............................................ 137
TABEL 6.3 PERSENTASE WANITA UMUR 15-49 TAHUN DAN PRIA KAWIN 15-541
TAHUN TENTANG CARA MENGURANGI RISIKO TERKENA HIV AIDS
MENURUT KARAKTERISTIK LATAR BELAKANG TAHUN 2012 .................... 138
TABEL 6.4 DISTRIBUSI KASUS LEPTOSPIROSIS DI 9 PROVINSI DI INDONESIA
TAHUN 2005 2013 ............................................................................................................. 157

****

xxiv
DAFTAR LAMPIRAN

BAB I. DEMOGRAFI
Lampiran 1.1 Pembagian Wilayah Administrasi Pemerintahan Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 1.2 Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia Menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin Tahun 2013
Lampiran 1.3 Estimasi Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 1.4 Estimasi Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Luas Wilayah dan
Kepadatan Penduduk Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 1.5 Estimasi Jumlah Lahir Hidup, Jumlah Bayi (0 Tahun), Jumlah Batita (0-2
Tahun), Jumlah Anak Balita (1 - 4 Tahun), Jumlah Balita (0 - 4 Tahun)
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 1.6 Estimasi Jumlah Penduduk Menurut Penduduk Usia Muda, Usia Produktif dan
Usia Non Produktif Menurut Jenis Kelamin Provinsi Tahun 2013
Lampiran 1.7 Estimasi Jumlah Wanita Usia Subur (15 - 49 Tahun), WUS Imunisasi (15 - 39
Tahun), Ibu Hamil, Ibu Bersalin Dan Ibu Nifas Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 1.8 Estimasi Jumlah Anak Pra Sekolah, Jumlah Anak Usia Kelas 1 SD/Setingkat,
dan Jumlah Anak Usia SD/Setingkat Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 1.9 Indeks Gini Menurut Provinsi Tahun 2010 - 2013
Lampiran 1.10 Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan
Tahun 2000 - 2013
Lampiran 1.11 Garis Kemiskinan, Jumlah, dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi
dan Tipe Daerah Tahun 2013
Lampiran 1.12 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 1.13 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Pendidikan Menurut Provinsi Tahun 2010
2012
Lampiran 1.14 Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Menurut Provinsi Tahun 2010
2012
Lampiran 1.15 Angka Partisipasi Murni (APM) Pendidikan Menurut Provinsi Tahun 2010-
2012
Lampiran 1.16 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Melek Huruf Menurut
Provinsi dan Jenis Kelamin Tahun 2010 - 2012
Lampiran 1.17 Indeks Pembangunan Manusia dan Komponen Menurut Provinsi Tahun 2011-
2012
Lampiran 1.18 Jumlah dan Persentase Kabupaten Tertinggal Menurut Provinsi Tahun 2010
2013

xxv
BAB II. SARANA KESEHATAN
Lampiran 2.1 Jumlah Puskesmas dan Rasionya Terhadap Penduduk Menurut Provinsi
Tahun 2009 2013
Lampiran 2.2 Jumlah Puskesmas Perawatan Rawat Inap dan Non Rawat Inap Menurut
Provinsi Tahun 2009 - 2013
Lampiran 2.3 Jumlah Puskesmas dan Rumah Sakit dengan Pelayanan Pengembangan
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 2.4 Jumlah Kabupaten/Kota dengan Puskesmas yang Nakesnya Dilatih Kesehatan
Tradisional, Alternatif Dan Komplementer Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 2.5 Jumlah Rumah Sakit di Indonesia Menurut Pengelola dan Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 2.6 Jumlah Rumah Sakit Umum dan Tempat Tidur Menurut Pengelola
Tahun 2009 - 2013
Lampiran 2.7 Jumlah Rumah Sakit Khusus dan Tempat Tidur Menurut Jenis Rumah Sakit
Tahun 2009 - 2013
Lampiran 2.8 Jumlah Rumah Sakit dan Tempat Tidur Menurut Kelas Rumah Sakit dan
Provinsi Tahun 2013
Lampiran 2.9 Jumlah Tempat Tidur di Rumah Sakit Menurut Kelas Perawatan dan Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 2.10 Jumlah Sarana Produksi Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan Menurut
Provinsi Tahun 2011-2013
Lampiran 2.11 Jumlah Sarana Distribusi Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan Menurut
Provinsi Tahun 2011-2013
Lampiran 2.12 Jumlah Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) Menurut
Provinsi Tahun 2013
Lampiran 2.13 Jumlah RW, Desa dan Kelurahan Siaga Aktif Serta Posyandu Menurut Provinsi
dan Tingkatan (Strata) di Indonesia Tahun 2013
Lampiran 2.14 Jumlah Program Studi Diploma IV Institusi Politeknik Kesehatan (Poltekkes)
Menurut Provinsi Sampai dengan Desember Tahun 2013
Lampiran 2.15 Jumlah Jurusan/Program Studi Diploma III Institusi Politeknik Kesehatan
(Poltekkes) Menurut Jurusan dan Provinsi Tahun 2013
Lampiran 2.16 Jumlah Perserta Didik Diploma III Poltekkes Menurut Jenis Tenaga Kesehatan
Tahun Ajaran 2011/2012 Sampai Dengan 2013/2014
Lampiran 2.17 Jumlah Peserta Didik Program Diploma III Poltekkes Berdasarkan Jenis
Tenaga Kesehatan Tahun 2013
Lampiran 2.18 Jumlah Lulusan Program Studi Diploma III Poltekkes Menurut Jenis Tenaga
Kesehatan Tahun 2011-2013
Lampiran 2.19 Jumlah Lulusan Program Studi Diploma III Poltekkes Menurut Jenis Program
Studi Tahun 2013

xxvi
Lampiran 2.20 Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di Indonesia Sampai Dengan Bulan
November 2013
Lampiran 2.21 Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di Indonesia Sampai Dengan Bulan
November 2013
Lampiran 2.22 Penggunaan Obat Generik pada Sarana Pelayanan Kesehatan Menurut
Provinsi Tahun 2013

BAB III. TENAGA KESEHATAN


Lampiran 3.1 Rekapitulasi Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan Menurut Jenis Tenaga
dan Provinsi Tahun 2013
Lampiran 3.2 Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan di Puskesmas Menurut Jenis
Tenaga dan Provinsi Tahun 2013
Lampiran 3.3 Rasio Dokter Umum, Dokter Gigi, Perawat, dan Bidan Terhadap Jumlah
Puskesmas Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 3.4 Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan di Rumah Sakit Menurut
Provinsi Tahun 2013
Lampiran 3.5 Jumlah Dokter Umum, Dokter Spesialis, Dokter Gigi dan Dokter Gigi Spesialis
yang Memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) Menurut Provinsi Sampai Dengan
Desember Tahun 2013
Lampiran 3.6 Jumlah Tenaga Kesehatan Yang Memiliki Surat Tanda Registrasi (STR)
Menurut Provinsi Tahun 2011 Sampai Dengan Desember Tahun 2013
Lampiran 3.7 Jumlah Dokter Spesialis dan Dokter Gigi Spesialis Sebagai Pegawai Tidak
Tetap (PTT) Aktif Menurut Kriteria Wilayah dan Provinsi Tahun 2013
Lampiran 3.8 Jumlah Dokter Umum Sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) Aktif Menurut
Kriteria Wilayah dan Provinsi Tahun 2013
Lampiran 3.9 Jumlah Dokter Gigi Sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) Aktif Menurut Kriteria
Wilayah dan Provinsi Kondisi 31 Desember 2013
Lampiran 3.10 Jumlah Bidan Sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) Aktif Menurut Kriteria
Wilayah dan Provinsi Kondisi 31 Desember 2013
Lampiran 3.11 Jumlah Keberadaan Aktif Tenaga Residen dan Tenaga Penugasan Khusus D-III
Kesehatan Di Kabupaten Prioritas DTPK dan DBK Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 3.12 Jumlah Pengangkatan Dokter Spesialis dan Dokter Gigi Spesialis Sebagai
Pegawai Tidak Tetap (PTT) Menurut Kriteria Wilayah dan Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 3.13 Jumlah Pengangkatan Dokter Umum Sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT)
Menurut Kriteria Wilayah Dan Provinsi Tahun 2013
Lampiran 3.14 Jumlah Pengangkatan Dokter Gigi Sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT)
Menurut Kriteria Wilayah Dan Provinsi Tahun 2013
Lampiran 3.15 Jumlah Pengangkatan Bidan Sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) Menurut
Kriteria Wilayah dan Provinsi Tahun 2013

xxvii
Lampiran 3.16 Jumlah Pengangkatan Tenaga Residen Dan Tenaga Penugasan Khusus D-III
Kesehatan di Kabupaten Prioritas DTPK dan DBK Menurut Provinsi Tahun
2013

BAB IV. PEMBIAYAAN KESEHATAN


Lampiran 4.1 Alokasi Dan Realisasi Anggaran Kementerian Kesehatan Ri Menurut Eselon I
Tahun 2013
Lampiran 4.2 Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi
Menurut Fungsi dan Provinsi Tahun 2013
Lampiran 4.3 Alokasi Dan Realisasi Bantuan Operasional Kesehatan (Bok) Menurut
Provinsi Tahun 2013
Lampiran 4.4 Cakupan Kepesertaan Jaminan Kesehatan Tahun 2013
Lampiran 4.5 Jumlah Kunjungan Peserta Jamkesmas di Puskesmas Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 4.6 Jumlah Kunjungan Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL) Peserta Jamkesmas
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 4.7 Jumlah Kunjungan Rawat Inap Tingkat Lanjut (RITL) Peserta Jamkesmas
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 4.8 Jumlah Kunjungan Peserta Jaminan Persalinan (JAMPERSAL) Menurut
Provinsi Tahun 2013

BAB V. KESEHATAN KELUARGA


Lampiran 5.1 Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K1, K4, Persalinan Ditolong Tenaga Kesehatan,
dan Kunjungan Ibu Nifas Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.2 Persentase Kelahiran Menurut Riwayat Pemeriksaan Kehamilan pada Masa
Kehamilannya, Serta Cakupan Indikator ANC Menurut Provinsi, Riskesdas
Tahun 2013
Lampiran 5.3 Cakupan Pemberian 90 Tablet Tambah Darah Pada Ibu Hamil Menurut
Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.4 Persentase Kelahiran Berdasarkan Jumlah Hari Mengkonsumsi Zat Besi (Fe)
Selama Masa Kehamilan Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.5 Cakupan Imunisasi TT Pada Wanita Usia Subur Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.6 Cakupan Imunisasi TT Pada Ibu Hamil Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.7 Proporsi Penolong Persalinan Dengan Kualifikasi Tertinggi Menurut Provinsi,
Riskesdas 2013
Lampiran 5.8 Proporsi Penolong Persalinan Dengan Kualifikasi Terendah Menurut Provinsi,
Riskesdas 2013
Lampiran 5.9 Proporsi Kelahiran Berdasarkan Tempat Bersalin Menurut Provinsi,
Riskesdas 2013
Lampiran 5.10 Cakupan Penanganan Komplikasi Kebidanan Menurut Provinsi Tahun 2013

xxviii
Lampiran 5.11 Proporsi Pelayanan Kesehatan Masa Nifas Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.12 Cakupan Peserta KB Baru dan KB Aktif Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.13 Persentase Peserta KB Baru Menurut Metode Kontrasepsi dan Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 5.14 Persentase Peserta KB Baru Menurut Tempat Pelayanan dan Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 5.15 Persentase Peserta KB Aktif Menurut Metode Kontrasepsi dan Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 5.16 Persentase pemakaian Alat/Cara KB pada Wanita Usia Subur (15 49)
Tahun) Yang Berstatus Kawin Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.17 Persentase pemakaian Alat/Cara KB pada Wanita Usia Subur (15 49)
Tahun) Yang Berstatus Kawin Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.18 Proporsi WUS Kawin yang Menggunakan Alat/Cara KB Modern Berdasarkan
Jenis dan Jangka Waktu Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.19 Jumlah Kunjungan Peserta Jaminan Persalinan (JAMPERSAL) Menurut
Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.20 Persentase Balita (0-59 Bulan) Menurut Berat Badan Lahir dan Provinsi,
Riskesdas Tahun 2013
Lampiran 5.21 Persentase Proses Mulai Mendapat ASI pada Anak Umur 0-23 Bulan Menurut
Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.22 Cakupan Kunjungan Neonatal Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.23 Cakupan Penanganan Neonatal Dengan Komplikasi Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 5.24 Cakupan Imunisasi Dasar Pada Bayi Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.25 Cakupan Imunisasi Dasar Pada Anak Umur 12-23 Bulan Menurut Provinsi,
Riskesdas 2013
Lampiran 5.26 Drop Out Rate Cakupan Imunisasi Dpt/Hb(1) - Campak dan Cakupan
Imunisasi DPT/HB(1) DPT/HB(3) pada Bayi Menurut Provinsi Tahun 2011-
2013
Lampiran 5.27 Cakupan Pelayanan Kesehatan Bayi Dan Anak Balita Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 5.28 Persentase Imunisasi Dasar Lengkap Pada Anak Umur 12-23 Bulan Menurut
Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.29 Cakupan Desa/Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) Menurut
Provinsi Tahun 2010-2013
Lampiran 5.30 Cakupan Imunisasi Anak Sekolah Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.31 Cakupan Pemberian Kapsul Vitamin A Pada Balita 6-59 Bulan Menurut
Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.32 Persentase Anak Umur 6-59 Bulan yang Menerima kapsul Vitamin A selama
Enam Bulan Terakhir Menurut Provinsi, Riskesdas 2013

xxix
Lampiran 5.33 Cakupan Pemberian Asi Eksklusif Pada Bayi 0-6 Bulan Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 5.34 Cakupan Balita Ditimbang Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.35 Kasus Gizi Buruk Pada Balita Ditemukan Dan Mendapat Perawatan Menurut
Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.36 Persentase Kabupaten/Kota Dengan Minimal 2 Puskesmas Mampu
Tatalaksana Kasus Kekerasan Terhadap Anak Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.37 Persentase Kabupaten/Kota Dengan Minimal 4 Puskesmas Mampu Laksana
Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.38 Jumlah Puskesmas Yang Melakukan Pembinaan Kesehatan Anak Di Panti
Anak Terlantar Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.39 Cakupan Sekolah Dasar (SD) Yang Melaksanakan Penjaringan Siswa SD/MI
Kelas 1 menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.40 Puskesmas Membina Lapas/Rutan Anak Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.41 Puskesmas Membina Kesehatan Anak Penyandang Cacat Melalui Program
UKS di Sekolah Luar Biasa Sampai Dengan Tahun 2013
Lampiran 5.42 Prevalensi Status Gizi Balita Berdasarkan Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.43 Prevalensi Status Gizi Balita Berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur
(TB/U) Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.44 Prevalensi Status Gizi Balita Berdasarkan Berat Badan Menurut Tinggi Badan
(BB/TB) Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.45 Prevalensi Status Gizi Balita Berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur Dan
Berat Badan Menurut Tinggi Badan (TB/U Dan BB/TB) Menurut Provinsi,
Riskesdas 2013
Lampiran 5.46 Prevalensi Status Gizi Penduduk Dewasa (>18 Tahun) Berdasarkan Kategori
Indeks Massa Tubuh (IMT) Dan Provinsi, Riskesdas 2013

BAB VI. PENGENDALIAN PENYAKIT DAN KESEHATAN LINGKUNGAN


Lampiran 6.1 Jumlah Kasus Baru TB Paru BTA Positif Menurut Jenis Kelamin dan Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 6.2 Jumlah Kasus Baru TB Paru BTA Positif Menurut Kelompok Umur, Jenis
Kelamin dan Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.3 Hasil Cakupan Penemuan Kasus Penyakit TB Paru Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 6.4 Prevalensi TB Paru Berdasarkan Diagnosis dan Gejala TB Paru Menurut
Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 6.5 Cakupan TB Paru BTA Positif Sembuh, Pengobatan Lengkap dan Angka
Keberhasilan Pengobatan (Success Rate) Menurut Provinsi Tahun 2013

xxx
Lampiran 6.6 Jumlah Kasus Baru Aids dan Kasus Kumulatif Aids Menurut Provinsi sampai
dengan Desember 2013Lampiran 6.7 Jumlah Kasus Baru Infeksi HIV Menurut
Provinsi Tahun 2011 - 2013
Lampiran 6.8 Jumlah Dan Persentase Kasus Aids pada Pengguna Napza Suntikan (IDU)
Menurut Provinsi Sampai Dengan Desember 2013
Lampiran 6.9 Jumlah Layanan dan Kunjungan Konseling Dan Tes HIV Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 6.10 Jumlah Kasus Pneumonia Pada Balita Menurut Provinsi Dan Kelompok Umur
Tahun 2013
Lampiran 6.11 Case Fatality Rate Pneumonia pada Balita Menurut Provinsi dan Kelompok
Umur Tahun 2013
Lampiran 6.12 Period Prevalence ISPA, Pneumonia, Pneumonia Balita, dan Prevalensi
Pneumonia Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 6.13 Insiden Diare dan Diare Balita serta Period Prevalence Diare Menurut
Provinsi, Riskesdas Tahun 2013
Lampiran 6.14 Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare Menurut Provinsi Tahun 2011 - 2013
Lampiran 6.15 Penemuan Kasus Diare Ditangani Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.16 Jumlah Kasus Baru Kusta dan Case Detection Rate (CDR) Per 100.000
Penduduk Menurut Provinsi dan Jenis Kelamin Tahun 2013
Lampiran 6.17 Proporsi Kecacatan Kusta Tingkat 2 dan Kasus Kusta pada Anak 0-14 Tahun
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.18 Jumlah Kasus Tetanus Neonatorum dan Faktor Risiko Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 6.19 Jumlah Kasus, Meninggal, dan Incidence Rate (IR) Campak Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 6.20 Jumlah Kasus Campak dan Kasus Campak yang Divaksinasi Menurut
Kelompok Umur dan Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.21 Frekuensi KLB Dan Jumlah Kasus pada KLB Campak
Lampiran 6.22 KLB Campak Berdasarkan Konfirmasi Laboratorium Menurut Provinsi Tahun
2013
Lampiran 6.23 Jumlah Kasus Difteri Menurut Kelompok Umur Dan Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.24 Non Polio AFP Rate Per 100.000 Penduduk Usia < 15 Tahun dan Persentase
Spesimen Adekuat Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.25 Jumlah Kasus dan Angka Kesakitan Malaria Per 1.000 Penduduk Berisiko
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.26 Insiden dan Prevalensi Malaria Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 6.27 Annual Parasite Insidence (API) Malaria Menurut Provinsi Tahun 2010-2013
Lampiran 6.28 Proporsi Penderita Malaria yang Diobati Dengan Pengobatan Sesuai Program
dan Penderita Malaria yang Mengobati Sendiri Menurut Provinsi, Riskesdas
2013

xxxi
Lampiran 6.29 Jumlah Penderita, Incidence Rate Per 100.000 Penduduk, Kasus Meninggal,
dan Case Fatality Rate (%)Demam Berdarah Dengue Lampiran 6.38
Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Sumber Air Menurut Provinsi
Tahun 2013 (DBD/DHF) Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.30 Jumlah Kabupaten/Kota Yang Terjangkit Demam Berdarah Dengue Menurut
Provinsi Tahun 2011 - 2013
Lampiran 6.31 Situasi Rabies Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2011-2013
Lampiran 6.32 Jumlah Penderita Filariasis Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2009-2013
Lampiran 6.33 Jumlah Kasus, Meninggal, dan Case Fatality Rate (CFR) Leptospirosis Menurut
Provinsi Tahun 2011 2013; Situasi Antraks Pada Manusia Menurut Provinsi
Tahun 2011 2013
Lampiran 6.34 Prevalensi Penyakit asma, PPOK, dan Kanker Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.35 Prevalensi Diabetes, Hipertiroid, dan Hipertensi pada Umur 18 Tahun
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.36 Prevalensi Penyakit Jantung Koroner, Gagal Jantung, dan Stroke Pada Umur
15 Tahun Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.37 Prevalensi Penyakit Gagal ginjal Kronis, Batu Ginjal, dan Sendi pada Umur
15 Tahun Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.38 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Pengolahan Air Minum Sebelum
Diminum Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.39 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Kualitas Fisik Air Minum Menurut
Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.40 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Pengolahan Air Minum Sebelum
Diminum Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 6.41 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Cara Pengolahan Air Minum Sebelum
Diminum Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 6.42 Proporsi Rumah Tangga Yang Memiliki Akses Terhadap Sumber Air Minum
Berdasarkan Kriteria JMP WHO - Unicef 2006 Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.43 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Penggunaan Fasilitas Buang Air Besar
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.44 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Tempat Buang Air Besar Menurut
Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 6.45 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Tempat Pembuangan Akhir Tinja
Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 6.46 Proporsi Rumah Tangga Yang Memiliki Akses Terhadap Fasilitas Sanitasi
Berdasarkan Kriteria Jmp Who - Unicef 2006 Menurut Provinsi, Riskesdas
2013
Lampiran 6.47 Jumlah Lokasi Desa Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Tahun 2013
Lampiran 6.48 Pencapaian Rumah Tangga Berperilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)
Tahun 2013

xxxii
Lampiran 6.49 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Lokasi Rumah Menurut Provinsi,
Riskesdas 2013
Lampiran 6.50 Jumlah Kabupaten/Kota Penyelenggara Kabupaten/Kota Sehat (KKS) di
Indonesia Tahun 2013
Lampiran 6.51 Peraturan Tentang Kawasan Tanpa Rokok Tingkat Provinsi dan Kabupaten/
Kota Tahun 2013

***

xxxiii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................................................................. iv


Kata Sambutan .................................................................................................................................................................. v
Daftar Singkatan ............................................................................................................................................................... vi
Daftar Gambar ................................................................................................................................................................... xvi
Daftar Tabel ........................................................................................................................................................................ xxiv
Daftar Lampiran ............................................................................................................................................................... xxv
Daftar Isi ............................................................................................................................................................................... xxxiv

BAB 1 DEMOGRAFI ....................................................................................................................................................... 3


A. KEADAAN PENDUDUK ................................................................................................................................. 3
B. KEADAAN EKONOMI ..................................................................................................................................... 9
C. KEADAAN PENDIDIKAN .............................................................................................................................. 16
D. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA ...................................................................................................... 21

BAB 2 SARANA KESEHATAN.................................................................................................................................... 27


A. PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT ....................................................................................................... 27
1. Puskesmas dengan Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar
(PONED) ............................................................................................................................................... 30
2. Puskesmas dengan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) ......................... 32
3. Puskesmas dengan Upaya Kesehatan Kerja ...................................................................... 32
4. Puskesmas dengan Upaya Kesehatan Olahraga .............................................................. 33
5. Puskesmas dengan Tatalaksana Kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA) .......... 34
6. Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif dan Komplementer ........................ 34
B. RUMAH SAKIT.................................................................................................................................................... 34
1. Jumlah dan Jenis Rumah Sakit .................................................................................................. 35
2. Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) ............ 39
C. SARANA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN ......................................................................... 39
1. Sarana Produksi dan Distribusi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan................ 39
2. Ketersediaan Obat dan Vaksin.................................................................................................. 41
3. Penggunaan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan ................................... 42
D. UPAYA KESEHATAN BERSUMBERDAYA MASYARAKAT ............................................................ 42
E. INSTITUSI PENDIDIKAN TENAGA KESEHATAN POLTEKKES.................................................. 45
1. Jumlah Poltekkes ............................................................................................................................. 45
2. Peserta Didik...................................................................................................................................... 46
3. Lulusan .................................................................................................................................................. 47

BAB 3 TENAGA KESEHATAN .................................................................................................................................. 51


A. JUMLAH DAN RASIO TENAGA KESEHATAN ...................................................................................... 51
1. Tenaga Kesehatan di Puskesmas............................................................................................. 54
2. Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit ......................................................................................... 56
B. TENAGA KESEHATAN DENGAN STATUS PEGAWAI TIDAK TETAP (PTT) ........................ 56
C. TENAGA KESEHATAN DENGAN STATUS PENUGASAN KHUSUS ............................................ 58
D. REGISTRASI TENAGA KESEHATAN........................................................................................................ 59

xxxiv
BAB 4 PEMBIAYAAN KESEHATAN ....................................................................................................................... 63
A. ANGGARAN KEMENTERIAN KESEHATAN ......................................................................................... 63
B. ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) BIDANG KESEHATAN ... 64
C. JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT ................................................................................................. 65
D. BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN .............................................................................................. 67

BAB 5 KESEHATAN KELUARGA ............................................................................................................................ 71


A. KESEHATAN IBU .............................................................................................................................................. 71
1. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil .............................................................................................. 72
2. Pelayanan Kesehatan Ibu Bersalin ......................................................................................... 75
3. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas ................................................................................................ 79
4. Pelayanan/Penanganan Komplikasi Kebidanan ............................................................. 80
5. Pelayanan Kontrasepsi ................................................................................................................. 83
B. KESEHATAN ANAK.......................................................................................................................................... 87
1. Berat Badan Lahir Bayi ................................................................................................................. 87
2. Penanganan Komplikasi Neonatal .......................................................................................... 88
3. Pelayanan Kesehatan Neonatal ................................................................................................ 89
4. Pelayanan Kesehatan Pada Bayi .............................................................................................. 92
5. Proses Bayi Mulai Mendapat ASI ............................................................................................. 93
6. Cakupan Pemberian ASI Eksklusif .......................................................................................... 95
7. Cakupan Pemberian Kapsul Vitamin A Balita Usia 6 59 Bulan ............................ 97
8. Cakupan Penimbangan Balita di Posyandu (D/S) .......................................................... 100
9. Imunisasi ............................................................................................................................................. 102
a. Imunisasi Dasar pada Bayi ............................................................................................ 102
b. Universal Child Immunization ...................................................................................... 105
10. Pelayanan Kesehatan Anak Balita........................................................................................... 107
11. Pelayanan Kesehatan Pada Siswa SD dan Setingkat ..................................................... 108
12. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) ................................................................... 110
13. Pelayanan Kesehatan pada Kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA)..................... 113
14. Pelayanan Kesehatan Anak Terlantar dan Anak Jalanan di Panti .......................... 116
15. Pelayanan Kesehatan Anak Dengan Disabilitas (ADD) ................................................ 116
16. Pelayanan Kesehatan Anak yang Berhadapan Hukum (ABH) ................................. 118
C. STATUS GIZI ........................................................................................................................................................ 118
1. Status Gizi Balita .............................................................................................................................. 118
2. Status Gizi Penduduk Dewasa................................................................................................... 122

BAB 6 PENGENDALIAN PENYAKIT DAN KESEHATAN LINGKUNGAN .......................................... 127


A. PENGENDALIAN PENYAKIT ....................................................................................................................... 127
1. PenyakitMenular.............................................................................................................................. 127
a. Tuberkulosis Paru .............................................................................................................. 127
b. HIV & AIDS.............................................................................................................................. 133
c. Pneumonia.............................................................................................................................. 139
d. Kusta .......................................................................................................................................... 140
e. Diare .......................................................................................................................................... 143
f. Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) ............................... 144
g. Demam Berdarah Dengue (DBD) ............................................................................... 148
h. Chikungunya.......................................................................................................................... 151
i. Filariasis .................................................................................................................................. 152

xxxv
j. Malaria ...................................................................................................................................... 153
k. Rabies........................................................................................................................................ 155
l. Leptospirosis......................................................................................................................... 156
m. Antraks ..................................................................................................................................... 158
n. Flu Burung .............................................................................................................................. 158
2. PENYAKIT TIDAK MENULAR .................................................................................................... 159
a. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah .................................................................. 161
b. Penyakit Kanker .................................................................................................................. 164
c. Penyakit Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik ......................................... 166
d. Penyakit Kronis dan Degeneratif ............................................................................... 167
B. KESEHATAN LINGKUNGAN ........................................................................................................................ 173
1. Air Minum............................................................................................................................................ 173
2. SanitasiLayak ..................................................................................................................................... 178
3. Sanitasi Total Berbasis Masyarakat ....................................................................................... 181
4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ............................................................................................ 181
5. Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat ........................................................................... 182

xxxvi
DEMOGRAFI

Secara geografis Indonesia terletak di antara dua benua, Benua Asia dan Australia, di
antara dua samudera, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Secara astronomis Indonesia
terletak antara 6o Lintang Utara sampai 11o Lintang Selatan dan 95o sampai 141o Bujur Timur
yang meliputi rangkaian pulau antara Sabang sampai Merauke. Data yang bersumber dari
Badan Informasi Geospasial, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan
jumlah pulau sebesar 13.466, luas daratan sebesar 1.922.570 km2 dan luas perairan sebesar
3.257.483 km2.
Tahun 2013, secara administratif wilayah Indonesia terbagi atas 33 provinsi, 497
kabupaten/kota (399 kabupaten dan 98 kota), 6.994 kecamatan, 8.309 kelurahan dan 72.944
desa. Kondisi ini berdasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2013
tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, Kementerian Dalam Negeri.
Pembagian wilayah Indonesia secara administratif menurut provinsi pada tahun 2013 dapat
dilihat pada Lampiran 1.1.

A. KEADAAN PENDUDUK
Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan dengan bimbingan dari Badan Pusat
Statistik menghitung estimasi penduduk dengan metode geometrik. Metode ini menggunakan
prinsip bahwa parameter dasar demografi yaitu parameter fertilitas, mortalitas, dan migrasi per
tahun tumbuh konstan. Metode ini lebih mudah dilakukan dengan mengkaji pertumbuhan
penduduk di dua atau lebih titik waktu yang berbeda.

GAMBAR 1.1
JUMLAH PENDUDUK INDONESIA MENURUT JENIS KELAMIN TAHUN 2010 - 2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010, Hasil Sensus Penduduk


Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2013, Hasil Estimasi

Hasil estimasi jumlah penduduk pada tahun 2013 sebesar 248.422.956 jiwa, yang terdiri
atas jumlah penduduk laki-laki sebesar 125.058.484 jiwa dan jumlah penduduk perempuan

Demografi 3
123.364.472 jiwa. Jumlah penduduk di Indonesia meningkat dengan relatif cepat. Diperlukan
kebijakan untuk mengatur atau membatasi jumlah kelahiran agar kelahiran dapat dikendalikan
dan kesejahteraan penduduk makin meningkat. Rasio jenis kelamin pada tahun 2013 sebesar
101. Angka ini berarti bahwa terdapat 101 laki-laki diantara 100 perempuan. Rincian jumlah
penduduk menurut jenis kelamin dan provinsi dapat dilihat pada Lampiran 1.3.

GAMBAR 1.2
JUMLAH PENDUDUK MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2013, Hasil Estimasi

Pada Gambar 1.2, berdasarkan hasil estimasi, jumlah penduduk tertinggi di Indonesia
terdapat di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk sebesar 45.472.830, Jawa Timur
sebesar 38.268.825 dan Jawa Tengah sebesar 32.684.579. Sedangkan jumlah penduduk
terendah terdapat di Provinsi Papua Barat dengan jumlah penduduk sebesar 846.711,
Gorontalo sebesar 1.110.294 dan Maluku Utara sebesar 1.114.917.
Struktur umur penduduk menurut jenis kelamin dapat digambarkan dalam bentuk
piramida penduduk. Berdasarkan estimasi jumlah penduduk yang telah dilakukan, dapat
disusun sebuah piramida penduduk tahun 2013. Dasar piramida menunjukkan jumlah
penduduk, badan piramida bagian kiri menunjukkan banyaknya penduduk laki-laki dan badan
piramida bagian kanan menunjukkan jumlah penduduk perempuan. Piramida tersebut
merupakan gambaran struktur penduduk yang terdiri dari struktur penduduk muda, dewasa,
dan tua. Struktur penduduk ini menjadi dasar bagi kebijakan kependudukan, sosial, budaya, dan
ekonomi.

4 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 1.3
PIRAMIDA PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2013, Hasil Estimasi

Pada Gambar 1.3 ditunjukkan bahwa struktur penduduk di Indonesia termasuk struktur
penduduk muda. Hal ini dapat diketahui dari banyaknya jumlah penduduk usia muda yang
masih tinggi. Badan piramida besar, ini menunjukkan banyaknya penduduk usia produktif
terutama pada kelompok umur 25-29 tahun dan 30-34 tahun, baik laki-laki maupun
perempuan. Jumlah golongan penduduk usia tua juga cukup besar, terutama perempuan. Hal ini
dapat dimaknai dengan semakin tingginya usia harapan hidup, terutama perempuan. Kondisi ini
menuntut kebijakan terhadap penduduk usia tua. Bertambahnya jumlah penduduk tua dapat
dimaknai sebagai meningkatnya tingkat kesejahteraan, meningkatnya kondisi kesehatan tetapi
juga dapat dimaknai sebagai beban karena kelompok usia tua ini sudah tidak produktif lagi.
Rincian jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur di Indonesia tahun 2013
dapat dilihat pada Lampiran 1.2.
Konsentrasi penduduk disuatu wilayah dapat di pelajari dengan menggunakan
kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk menunjukkan rata-rata jumlah penduduk per 1
kilometer persegi. Semakin besar angka kepadatan penduduk menunjukkan bahwa semakin
padat penduduk yang mendiami wilayah tersebut. Kepadatan rata-rata penduduk di
Indonesia berdasarkan hasil estimasi sebesar 130 penduduk per km2. Kepadatan penduduk
berguna sebagai acuan dalam rangka mewujudkan pemerataan dan persebaran penduduk.
Kepadatan penduduk menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 1.4.

Demografi 5
GAMBAR 1.4
PETA PERSEBARAN KEPADATAN PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2013, Hasil Estimasi

Pada Gambar 1.4, kepadatan penduduk di Indonesia belum merata. Kepadatan


penduduk tertinggi tertinggi terdapat di Pulau Jawa. Kepadatan penduduk terendah terdapat di
Pulau Papua dan Kalimantan. Kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia terdapat di Provinsi
DKI Jakarta sebesar 15.063 penduduk per km2, Jawa Barat sebesar 1.285 penduduk per km2,
dan Banten sebesar 1.193 penduduk per km2. Kepadatan penduduk terendah di Indonesia
terdapat di Provinsi Papua Barat sebesar 9 penduduk per km2, Papua sebesar 10 penduduk per
km2 dan Kalimantan Tengah sebesar 15 penduduk per km2.
Untuk pemerataan penduduk di Indonesia dapat digunakan cara, antara lain :
transmigrasi atau program memindahkan penduduk dari tempat yang padat ke tempat yang
jarang penduduknya baik dilakukan atas bantuan pemerintah maupun keinginan diri sendiri;
pemerataan lapangan kerja dengan mengembangkan industri, terutama untuk provinsi yang
berada di luar Pulau Jawa; pengendalian jumlah penduduk dengan menurunkan jumlah
kelahiran melalui program keluarga berencana atau penundaan umur nikah pertama.
Indikator penting terkait distribusi penduduk menurut umur yang sering digunakan
untuk mengetahui produktivitas penduduk adalah Angka Beban Tanggungan atau Dependency
Ratio. Angka Beban Tanggungan adalah angka yang menyatakan perbandingan antara
banyaknya orang yang tidak produktif (umur di bawah 15 tahun dan umur 65 tahun ke atas)
dengan banyaknya orang yang termasuk umur produktif (umur 1564 tahun). Secara kasar
perbandingan angka beban tanggungan menunjukkan dinamika beban tanggungan umur
produktif terhadap umur nonproduktif. Angka ini dapat digunakan sebagai indikator yang
secara kasar dapat menunjukkan keadaan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi persentase
dependency ratio menunjukkan semakin tinggi beban yang harus ditanggung penduduk yang
produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi.
Sedangkan persentase dependency ratio yang semakin rendah menunjukkan semakin
rendahnya beban yang ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang
belum produktif dan tidak produktif lagi.

6 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


TABEL 1.1
JUMLAH PENDUDUK DAN ANGKA BEBAN TANGGUNGAN
MENURUT JENIS KELAMIN DAN KELOMPOK USIA PRODUKTIF DAN NON PRODUKTIF
DI INDONESIA TAHUN 2013

Laki-laki dan
No Usia Laki-laki Perempuan
Perempuan

1 0 14 Tahun 36.890.004 34.818.903 71.708.907

2 15 64 Tahun 82.545.369 81.615.459 164.160.828

3 65 Tahun ke atas 5.623.111 6.930.110 12.553.221

Jumlah 125.058.484 123.364.472 248.422.956

Angka Beban Tanggungan 51,5 51,2 51,3

Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2013, Hasil Estimasi

Pada Tabel 1.1, Angka Beban Tanggungan penduduk Indonesia pada tahun 2013 sebesar
51,3. Hal ini berarti bahwa 100 penduduk Indonesia yang produktif, di samping menanggung
dirinya sendiri, juga menanggung 51,3 orang yang belum/sudah tidak produktif lagi. Apabila
dibandingkan antar jenis kelamin, maka Angka Beban Tanggungan laki-laki sedikit lebih besar
jika dibandingkan dengan perempuan. Pada tahun 2013, angka beban tanggungan laki-laki
sebesar 51,5, yang berarti bahwa 100 orang penduduk laki-laki yang produktif, di samping
menanggung dirinya sendiri, akan menanggung beban 51,5 penduduk laki-laki yang
belum/sudah tidak produktif lagi.
Penduduk sebagai determinan pembangunan harus mendapat perhatian yang
serius. Program pembangunan, termasuk pembangunan dibidang kesehatan, harus didasarkan
pada dinamika kependudukan. Upaya pembangunan di bidang kesehatan tercermin dalam
program kesehatan melalui upaya promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif.
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Pencapaian derajat kesehatan yang optimal bukan hanya menjadi tanggung jawab
dari sektor kesehatan saja, namun sektor terkait lainnya seperti sektor penididikan, sektor
ekonomi, sektor sosial dan pemerintahan juga memiliki peranan yang cukup besar. Untuk
mendukung upaya tersebut diperlukan ketersediaan data mengenai penduduk sebagai sasaran
program pembangunan kesehatan.

Demografi 7
TABEL 1.2
PENDUDUK SASARAN PROGRAM PEMBANGUNAN KESEHATAN
DI INDONESIA TAHUN 2013
Jenis Kelamin
Kelompok
No Sasaran Program Jumlah
Umur/Formula
Laki-Laki Perempuan

1 Bayi 0 Tahun 2.360.851 2.235.686 4.596.537

2 Batita 0 2 Tahun 7.206.110 6.813.909 14.020.019

3 Anak Balita 1 4 Tahun 9.826.945 9.277.194 19.104.139

4 Balita 0 4 Tahun 12.187.810 11.512.866 23.700.676

5 Pra Sekolah 5 6 Tahun 4.910.185 4.627.189 9.537.374

6 Anak Usia Kelas 1 SD/Setingkat 7 Tahun 2.504.571 2.359.109 4.863.680

7 Anak Usia SD/Setingkat 7 12 Tahun 14.963.805 14.099.541 29.063.346

8 Penduduk Usia Muda < 15 Tahun 36.890.004 34.818.903 71.708.907

9 Penduduk Usia Produktif 15 64 Tahun 82.545.369 81.615.459 164.160.828

10 Penduduk Pra Usia Lanjut 45 59 Tahun 18.083.505 17.511.166 35.594.671

11 Penduduk Usia Lanjut 60 Tahun 8.666.060 10.195.760 18.861.820

Penduduk Usia Lanjut Risiko


12 Tinggi 70 Tahun 3.280.197 4.341.648 7.621.845

13 Wanita Usia Subur 15 49 Tahun - 68.133.634 68.133.634

14 Wanita Usia Subur Imunisasi 15 39 Tahun - 52.239.003 52.239.003

15 Ibu Hamil 1,1 X lahir hidup - 5.212.568 5.212.568

16 Ibu Bersalin 1,05 X lahir hidup - 4.975.633 4.975.633

17 Ibu Nifas 1,05 X lahir hidup - 4.975.633 4.975.633

18 Lahir Hidup - 2.433.864 2.304.828 4.738.692

Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2013, Hasil Estimasi

Data penduduk sasaran program sangat diperlukan bagi pengelola program terutama
untuk menyusun perencanaan (tahunan, lima tahunan) serta evaluasi hasil pencapaian upaya
kesehatan yang telah dilaksanakan. Dalam perencanaan biasanya diperlukan untuk menghitung
sasaran, menyusun rencana kegiatan serta kebutuhan sumber daya dalam pelaksanaan
kegiatan.

8 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


B. KEADAAN EKONOMI
Kondisi perekonomian merupakan salah satu aspek yang diukur dalam menentukan
keberhasilan pembangunan suatu negara. Berdasarkan data dari BPS, Besaran Pertumbuhan
Produk Domestik Bruto Indonesia pada tahun 2013 atas dasar harga berlaku mencapai
Rp 9.084,0 triliun, naik sebesar Rp 151,4 triliun dibandingkan tahun 2012. Atas dasar harga
konstan (tahun 2000) Produk Domestik Bruto Indonesia pada tahun 2013 mencapai Rp 2.770,3
triliun, naik Rp 151,4 triliun dibandingkan tahun 2012 (Rp 2.618,9 triliun).
Produk Domestik Bruto per kapita merupakan Produk Domestik Bruto atas dasar harga
berlaku dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Dalam kurun waktu 20092013,
Produk Domestik Bruto per kapita atas dasar harga berlaku terus mengalami peningkatan,
tahun 2009 sebesar Rp 23,9 juta, tahun 2010 sebesar Rp 27,0 juta, tahun 2011 sebesar
Rp 30,7 juta, tahun 2012 sebesar Rp 33,5 juta, dan tahun 2013 sebesar Rp 36,5 juta.

GAMBAR 1.5
PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2009 2013 (%)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Gambar 1.5, data BPS menunjukkan bahwa Pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahun
2013 meningkat sebesar 5,78% terhadap tahun 2012. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada
tahun 2013 ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada
tahun 2012 dan 2011. Hal ini disebabkan terjadinya krisis pada perekonomian global, sehingga
mempengaruhi pendapatan dari sektor ekspor dan kunjungan wisatawan di Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia tahun 2009-2013 belum stabil, yang antara lain
dipengaruhi oleh kondisi politik dan iklim investasi yang ada.
Besarnya pendapatan yang diterima rumah tangga dapat menggambarkan
kesejahteraan suatu masyarakat. Namun data pendapatan yang akurat sulit diperoleh, sehingga
dilakukan pendekatan melalui data pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga yang
terdiri dari pengeluaran makanan dan bukan makanan dapat menggambarkan bagaimana
penduduk mengalokasikan kebutuhan rumah tangganya. Walaupun harga antar daerah
berbeda, namun nilai pengeluaran rumah tangga masih dapat menunjukkan perbedaan tingkat
kesejahteraan penduduk antar provinsi khususnya dilihat dari segi ekonomi.

Demografi 9
GAMBAR 1.6
PERSENTASE RATA-RATA PENGELUARAN PER KAPITA/BULAN INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Pada Gambar 1.6, berdasarkan hasi Susenas Modul Konsumsi Triwulan I tahun 2013,
persentase pengeluaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan non makanan lebih
rendah jika dibandingkan dengan pengeluaran untuk makanan. Kondisi ini mencerminkan ciri
dari suatu negara berkembang. Pengeluaran untuk non makanan sebesar 49,34% dan
pengeluaran untuk makanan sebesar 50,66%. Pengeluaran makanan terbesar untuk makanan
jadi, padi-padian dan tembakau/sirih. Pengeluaran non makanan terbesar untuk perumahan
dan fasilitas rumah tangga, barang dan jasa serta barang-barang tahan lama. Biaya kesehatan
per kapita sebulan hanya sebesar 3,44% dari total pengeluaran per kapita sebulan. Nilai ini
masih lebih kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan terhadap pengeluaran untuk tembakau
dan sirih sebesar 6,24%.
Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan kesempatan kerja di Indonesia. Penduduk
dilihat dari sisi ketenagakerjaan merupakan suplai bagi pasar tenaga kerja, namun tidak semua
penduduk mampu melakukannya karena hanya penduduk yang masuk usia kerja yang dapat
menawarkan tenaganya di pasar kerja. Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua golongan yaitu
yang termasuk angkatan kerja dan yang bukan angkatan kerja. Angkatan kerja sendiri terdiri
dari mereka yang aktif bekerja dan mereka yang sedang mencari pekerjaan. Mereka yang
sedang mencari pekerjaan, sedang mempersiapkan suatu usaha dan mereka yang sudah
memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja itulah yang dinamakan sebagai pengangguran
terbuka.

10 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


TABEL 1.3
PERKEMBANGAN ANGKATAN KERJA, PENDUDUK YANG BEKERJA
DAN PENGANGGURAN TERBUKA DI INDONESIA TAHUN 2011 2013
2011 2011 2012 2012 2013 2013
Keadaan Agustus Agustus Agustus
Februari Februari Februari

Jumlah Angkatan
119.399.375 117.370.485 120.417.046 118.053.110 121.191.712 118.192.778
Kerja

Tingkat
Partisipasi
69,96 68,34 69,66 67,88 69,21 66,90
Angkatan Kerja
(%)

Jumlah penduduk
111.281.744 109.670.399 112.802.805 110.808.154 114.021.189 110.804.041
yang bekerja

Pengangguran
8.117.631 7.700.086 7.614.241 7.244.956 7.170.523 7.388.737
terbuka

Tingkat
pengangguran 6,80 6,56 6,32 6,14 5,92 6,25
terbuka (%)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Pada Tabel 1.3 dapat diketahui keadaan ketenagakerjaan di Indonesia pada Tahun 2013.
Kondisi Agustus 2013 terjadi penurunan jumlah angkatan kerja, penduduk yang bekerja dan
terjadi peningkatan jumlah pengangguran terbuka dibandingkan dengan kondisi Februari 2013.
Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2013 mencapai 118,2 juta orang, lebih rendah
jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja Februari 2013 sebanyak 121,2 juta orang.
Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Agustus 2013 mencapai 110,8 juta orang,
lebih sedikit jika dibandingkan keadaan pada Februari 2013. Berdasarkan tingkat partisipasi
angkatan kerja pada bulan Agustus 2013 menurun jika dibandingkan dengan periode bulan
Februari 2013 maupun bulan Agustus 2012.
Berdasarkan publikasi data BPS, pada bulan Agustus 2013 terjadi kenaikan angka
pengangguran. Jumlah pengangguran pada Agustus 2013 mencapai 7,4 juta orang, meningkat
dari kondisi Agustus 2012. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) kondisi Agustus 2013 sebesar
6,25% meningkat jika dibandingkan dengan kondisi Agustus 2012 dan Februari 2013. Proporsi
pengangguran terbuka dari angkatan kerja berguna untuk acuan pemerintah dalam pembukaan
lapangan kerja baru di masa mendatang..
Pembahasan yang cukup menarik tentang pengangguran adalah pengangguran
berdasarkan tingkat pendidikan. Persentase pengangguran terbuka adalah perbandingan antara
jumlah pencari kerja dengan jumlah angkatan kerja. Pengangguran terbuka di sini didefinisikan
sebagai orang yang sedang mencari pekerjaan atau yang sedang mempersiapkan usaha atau
juga yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin lagi mendapatkan pekerjaan,
termasuk juga mereka yang baru mendapat kerja tetapi belum mulai bekerja. Pengangguran
terbuka tidak termasuk orang yang masih sekolah atau mengurus rumah tangga

Demografi 11
GAMBAR 1.7
PERSENTASE TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA MENURUT PENDIDIKAN
DI INDONESIA KONDISI AGUSTUS 2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Pada Gambar 1.7, dapat ditunjukkan bahwa pengangguran tertinggi ada pada penduduk
yang pendidikan pada tingkat SLTA sebesar 43,11%. Pengangguran tertinggi kedua ada pada
penduduk dengan tingkat pendidikan SLTP sebesar 22,76%. Tingkat pengangguran tertinggi
ketiga adalah penduduk dengan tingkat pendidikan SD sebesar 18,12%. Tingkat pengangguran
pada tingkat pendidikan diploma/universitas sebesar 8,50%. Hal ini menunjukkan bahwa pada
tahun 2013 masih terdapat pengangguran yang berpendidikan relatif tinggi (SLTA ke atas).
Pengukuran kemiskinan dari BPS menggunakan konsep memenuhi kebutuhan dasar
(basic need approach). Kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau
sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Distribusi pendapatan merupakan salah satu
aspek kemiskinan yang perlu dilihat karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan
relatif. Karena data pendapatan sulit diperoleh, pengukuran distribusi pendapatan selama ini
didekati dengan menggunakan data pengeluaran. Kemiskinan dipahami sebagai
ketidakmampuan ekonomi penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan maupun non
makanan yang diukur dari pengeluaran.
Pengukuran kemiskinan dilakukan dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan
minimum, baik untuk makanan maupun untuk non makanan yang harus dipenuhi seseorang
untuk hidup secara layak. Nilai standar kebutuhan minimum tersebut digunakan sebagai garis
pembatas untuk memisahkan antara penduduk miskin dan tidak miskin. Garis pembatas
tersebut yang sering disebut dengan garis kemiskinan.Kategori penduduk miskin adalah
penduduk dengan tingkat pengeluaran per kapita per bulan kurang dari garis kemiskinan.

12 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 1.8
GARIS KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2009 2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Gambar 1.8 menunjukkan peningkatan garis kemiskinan di Indonesia. Pada tahun 2013,
jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah penduduk dengan tingkat pengeluaran per kapita
per bulan kurang dari Rp 292.951,00 lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2012 sebesar
Rp 259.520,00 per kapita per bulan. Perhitungan garis kemiskinan dilakukan 2 kali pengukuran
penduduk miskin, yaitu bulan Maret dan September. Pengukuran dibedakan atas wilayah desa,
kota serta desa dan kota. Pada perhitungan kondisi September 2013, kategori penduduk miskin
di desa adalah mereka dengan tingkat pengeluaran per kapita per bulan kurang dari Rp
275.779,00 dan penduduk miskin di kota adalah mereka dengan tingkat pengeluaran per kapita
per bulan kurang dari Rp 308.826,00. Rincian lengkap mengenai garis kemiskinan per tahun
desa dan kota dapat dilihat pada Lampiran 1.11.
Untuk meningkatkan efektifitas upaya penanggulangan kemiskinan, Presiden telah
mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan, yang bertujuan untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan hingga delapan
s.d. sepuluh persen pada akhir tahun 2014. Pada tahun 2013, jumlah penduduk miskin
berjumlah 28,55 jiwa, turun jika dibandingkan dengan tahun 2012 yang berjumlah 28,59 jiwa.
Secara persentase, penduduk miskin tahun 2013 sebesar 11,47%. Persentase ini masih cukup
tinggi bila dibandingkan dengan target yang telah dicanangkan pada tahun 2014, yaitu sebesar
delapan s.d. sepuluh persen. Secara persentase kemiskinan semakin turun jika dibandingkan
per tahun, tetapi jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup besar. Secara lengkap
jumlah dan persentase penduduk miskin terdapat pada Lampiran 1.11.

Demografi 13
GAMBAR 1.9
PETA PERSEBARAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Pada Gambar 1.9 ditunjukkan peta persebaran persentase penduduk miskin di


Indonesia keadaan September 2013. Persentase penduduk miskin terbesar terdapat di Pulau
Papua. Pada Pulau Jawa, Provinsi DI Yogyakarta mempunyai persentase penduduk miskin yang
besar, berada pada persentase 15-20%. Hal berbeda ditunjukkan di Pulau Kalimantan yang
semua provinsi mempunyai persentase penduduk miskin kurang dari 10%. Persentase
penduduk miskin terbesar pada tahun 2013 terdapat di Provinsi Papua dengan persentase
penduduk miskin 31,53% dan Provinsi Papua Barat dengan persentase penduduk miskin
sebesar 27,14% dan Nusa Tenggara Timur sebesar 20,24%. Penduduk miskin terendah di
Indonesia terdapat di Provinsi DKI Jakarta dengan persentase penduduk miskin sebesar 3,72%
dan Provinsi Bali Jakarta dengan persentase penduduk miskin sebesar 4,49%, dan Kalimantan
Selatan sebesar 4,76%.

TABEL 1.4
PERSEBARAN JUMLAH DAN PROPORSI PENDUDUK MISKIN
MENURUT KELOMPOK BESAR PULAU DI INDONESIA TAHUN 2011 2013
2011 2012 2013
No Kelompok Pulau
Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(ribu) (ribu) (ribu)

1 Sumatera 6.451,6 21,5 6.177,2 21,6 6.190,1 21,7

2 Jawa 16.726,9 55,7 15.882,6 55,3 15.546,9 54,4

3 Kalimantan 969,5 3,2 932,9 3,3 978,7 3,4

4 Bali dan Nusa Tenggara 2.073,9 6,9 1.989,6 7,0 1.998,1 7,0

5 Sulawesi 2.144,6 7,1 2.045,6 7,1 2.139,6 7,5

6 Maluku dan Papua 1.652,3 5,5 1.626,8 5,7 1.700,5 6,0

Total 30.018,9 100 28.594,7 100 28.553,9 100

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Jumlah dan proporsi penduduk miskin antar pulau menunjukkan perbedaan. Tabel 1.4
memperlihatkan bahwa lebih dari separuh penduduk miskin di Indonesia berada di Pulau Jawa.

14 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk di Pulau Jawa yang jauh lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah penduduk di pulau lainnya. Jumlah penduduk di Pulau Jawa lebih dari 141 juta
jiwa atau hampir 57% penduduk Indonesia. Wilayah Maluku dan Papua mempunyai jumlah
penduduk yang kecil, tetapi mempunyai persentase penduduk miskin yang besar.
Masalah kemiskinan bukan hanya sekedar jumlah dan persentase penduduk miskin saja,
ada dimensi lain yang perlu diperhatikan yaitu tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Indeks Kedalaman Kemiskinan, merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-
masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh
rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Indeks Keparahan Kemiskinan
memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin
tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Rincian
mengenai indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan dapat dilihat pada
Lampiran 1.12.
Ukuran yang dapat menggambarkan ketimpangan pendapatan adalah koefisien
Gini/Indeks Gini (Gini Ratio). Indeks Gini adalah suatu koefisien yang menunjukkan tingkat
ketimpangan atau kemerataan distribusi pendapatan secara menyeluruh. Nilai indeks Gini ada
diantara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai indeks Gini menunjukkan ketidakmerataan pendapatan
yang semakin tinggi. Apabila nilai indeks Gini adalah 0 artinya terdapat kemerataan sempurna
pada distribusi pendapatan, sedangkan jika bernilai 1 berarti terjadi ketidakmerataan
pendapatan yang sempurna. Rincian mengenai indeks Gini dapat dilihat pada Lampiran 1.9.
Pembangunan ekonomi diharapkan mampu mendorong kemajuan, di segenap pelosok
negeri terutama wilayah yang tergolong daerah tertinggal. Suatu daerah dikategorikan menjadi
daerah tertinggal karena beberapa faktor penyebab, yaitu: geografis, sumber daya alam, sumber
daya manusia, prasarana dan sarana, daerah rawan bencana dan konflik sosial, dan kebijakan
pembangunan. Keterbatasan prasarana terhadap berbagai bidang termasuk di dalamnya
kesehatan menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal mengalami kesulitan untuk
melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.

GAMBAR 1.10
PETA PERSEBARAN PERSENTASE KABUPATEN TERTINGGAL DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, 2014

Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) telah menetapkan 183


kabupaten yang dikategorikan sebagai kabupaten tertinggal. Ketetapan ini berdasarkan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010 2014. Saat
ini di Indonesia terdapat 45 kabupaten perbatasan, 33 pulau-pulau kecil terluar berpenduduk,
183 daerah tertinggal dan 158 Kabupaten Prioritas Percepatan Pembangunan Kualitas

Demografi 15
Kesehatan Berbasis Perdesaan di Daerah Tertinggal. Rincian kabupaten tertinggal per provinsi
dapat dilihat pada Lampiran 1.18.
Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar juga
memprioritaskan pembangunan pada Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK).
Salah satu agenda kegiatan adalah pembangunan kesehatan di 45 Kabupaten Prioritas Nasional
di Perbatasan dengan Negara Tetangga. Dengan menggunakan skala prioritas, terdapat 45
kabupaten prioritas dan 101 puskesmas prioritas kabupaten prioritas nasional di perbatasan
dengan negara tetangga.

C. KEADAAN PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan salah satu indikator yang kerap ditelaah dalam mengukur
tingkat pembangunan manusia suatu negara. Pendidikan berkontribusi terhadap perubahan
perilaku masyarakat. Pendidikan menjadi pelopor utama dalam rangka penyiapan sumber daya
manusia dan merupakan salah satu aspek pembangunan yang merupakan syarat mutlak untuk
mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Untuk peningkatan peran pendidikan dalam
pembangunan, maka kualitas pendidikan harus ditingkatkan salah satunya dengan
meningkatkan rata-rata lama sekolah.

GAMBAR 1.11
RATA-RATA LAMA SEKOLAH PENDUDUK BERUMUR 15 TAHUN KE ATAS
MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Pada Gambar 1.11, berdasarkan perhitungan dari Susenas Triwulan I tahun 2013, rata-
rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia adalah 8,14 tahun. Walaupun
rata-rata lama sekolah dari tahun ke tahun semakin meningkat, tetapi angka ini belum
memenuhi tujuan program wajib belajar 9 tahun. Rata-rata lama sekolah tertinggi terdapat di
provinsi DKI Jakarta sebesar 10,62 tahun dan terendah di provinsi Papua sebesar 6,1 tahun.

16 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Pada provinsi DKI Jakarta dapat disebabkan lokasi sekolah yang mudah dijangkau, ketersediaan
fasilitas yang memadai, guru yang berkualitas yang menyebabkan rata-rata lama sekolah dapat
memenuhi tujuan dari wajib belajar 9 tahun. Sedangkan pada provinsi Papua, jumlah sekolah
yang masih sedikit diikuti dengan akses menuju sekolah yang jauh dan sulit dimungkinkan
menjadi penyebab rendahnya rata-rata lama sekolah.
Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan
keterampilan manusia. Peningkatan mutu pendidikan harus terus diupayakan, dimulai dengan
membuka kesempatan seluas-luasnya kepada penduduk untuk mengenyam pendidikan, hingga
pada peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan. Ijazah/STTB
tertinggi yang dimiliki seseorang merupakan indikator pokok kualitas pendidikan formal.
Semakin tinggi ijazah/STTB yang dimiliki oleh rata-rata penduduk suatu negara semakin tinggi
taraf intelektualitas negara tersebut.

GAMBAR 1.12
PERSENTASE PENDUDUK USIA 15 TAHUN KEATAS MENURUT STTB
TERTINGGI YANG DIMILIKI TAHUN 2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Pada Gambar 1.12, berdasarkan perhitungan dari Susenas Triwulan I tahun 2013,
ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki tertinggi pada tingkat pendidikan SD/MI/Paket A dan
SMP/MTs/Paket B. Penduduk dengan ijazah/STTB tertinggi Diploma/Akademi/Sarjana sebesar
6,78%. Penduduk yang tidak memiliki ijazah/STTB masih cukup tinggi, yaitu 19,34%. Apabila
dibandingkan per jenis kelamin, persentase penduduk laki-laki yang mempunyai ijazah/STTB
SD ke atas relatif lebih tinggi daripada penduduk perempuan.
Kemampuan membaca dan menulis merupakan keterampilan dasar yang dibutuhkan
oleh penduduk untuk menuju kehidupan yang lebih sejahtera. Kemampuan membaca dan
menulis tercermin dari angka melek huruf dan angka buta huruf. Kemampuan baca tulis
tercermin dari penduduk 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin, huruf
arab, dan huruf lainnya. Angka buta huruf berkorelasi dengan angka kemiskinan, penduduk
yang tidak dapat membaca secara tidak langsung mendekatkan mereka pada kebodohan,
sedangkan kebodohan itu sendiri mendekatkan mereka pada kemiskinan.

Demografi 17
Secara nasional persentase penduduk yang buta huruf pada tahun 2013 sebesar 5,86%
lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 6,75%. Persentase penduduk
yang buta huruf terkecil terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 0,81% dan tertinggi terdapat
di Provinsi Papua sebesar 32,4%. Apabila dibandingkan antar perdesaan dan perkotaan, angka
buta huruf lebih tinggi di kawasan perdesaan. Hal ini dimungkinkan karena kesempatan belajar
yang didukung dengan banyaknya fasilitas belajar mengajar lebih banyak di kawasan
perkotaan.
Indikator pendidikan lainnya adalah Angka Melek Huruf (AMH) yaitu persentase
penduduk berumur 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis serta mengerti sebuah
kalimat sederhana dalam hidupnya sehari-hari. Penggunaan AMH adalah untuk :
1. Mengukur keberhasilan program-program pemberantasan buta huruf, terutama di daerah
perdesaan yang masih tinggi jumlah penduduk yang tidak pernah bersekolah atau tidak
tamat SD;
2. Menunjukkan kemampuan penduduk di suatu wilayah dalam menyerap informasi dari
berbagai media;
3. Menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis.
Angka melek huruf mencerminkan potensi perkembangan intelektual sekaligus
kontribusi terhadap pembangunan daerah. Semakin besar angka melek huruf diharapkan dapat
mengurangi tingkat kemiskinan sehingga tingkat kesejahteraan dapat semakin meningkat.

GAMBAR 1.13
PERSENTASE PENDUDUK BERUMUR 15 TAHUN KE ATAS YANG MELEK HURUF
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Pada Gambar 1.13, persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang melek huruf
secara nasional sebesar 94,14% lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2012 yang

18 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


sebesar 93,25%. Persentase penduduk yang melek huruf tertinggi di DKI Jakarta dan terendah
di Provinsi Papua. Persentase penduduk yang melek huruf lebih tinggi laki-laki dibandingkan
dengan perempuan. Apabila dibandingkan antar daerah perkotaan dan perdesaan, persentase
penduduk yang melek huruf relatif lebih tinggi di daerah perkotaan. Hal ini dimungkinkan
dengan relatif majunya fasilitas pendidikan dan relatif baiknya akses sarana menuju tempat
pendidikan. Rincian persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang melek huruf per
provinsi dan per jenis kelamin dapat dilihat pada Lampiran 1.16.
Angka Partisipasi Sekolah (APS) didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah
murid kelompok usia sekolah tertentu yang bersekolah pada berbagai jenjang pendidikan
dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase.
Indikator ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang masih bersekolah
di semua jenjang pendidikan. APS dari BPS secara umum dikategorikan menjadi 3 kelompok
umur, yaitu 7-12 tahun mewakili umur setingkat SD, 13-15 tahun mewakili umur setingkat
SMP/MTs, dan 16-18 tahun mewakili umur setingkat SMA/SMK. Semakin tinggi APS berarti
semakin banyak anak usia sekolah yang bersekolah. Berdasarkan angka ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin rendah nilai APS.

GAMBAR 1.14
PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH PENDIDIKAN MENURUT USIA SEKOLAH
DI INDONESIA TAHUN 2008 2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Gambar 1.14 menunjukkan nilai APS Pendidikan Indonesia menurut usia sekolah dari
tahun 2008 s.d. 2013. Semakin tinggi kelompok umur maka tingkat partisipasi sekolahnya
semakin kecil. Hal ini dimungkinkan pada kelompok umur 16-18 tahun dan 19-24 tahun telah
masuk dalam angkatan kerja dan bekerja. APS pada kelompok umur 712 tahun dan 1315
tahun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa program
pendidikan sembilan tahun semakin baik dijalankan. Rincian APS menurut provinsi dan
kelompok umur dari tahun 2008 s.d. 2013 dapat dilihat pada Lampiran 1.13.
Analisis tentang kondisi pendidikan di Indonesia dapat menggunakan dua indikator
partisipasi sekolah, yaitu Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM).
Kedua ukuran tersebut mengukur partisipasi penduduk usia sekolah oleh sektor pendidikan.
Perbedaan di antara keduanya adalah penggunaan kelompok usia "standar" di setiap jenjang
pendidikan. Usia standar yang dimaksud adalah rentang usia yang dianjurkan pemerintah dan
umum dipakai untuk setiap jenjang pendidikan.

Demografi 19
APK adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat
pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang
pendidikan tertentu. APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu
jenjang pendidikan. Angka ini merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur
daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan. Hasil perhitungan APK
ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan
tertentu pada wilayah tertentu. Semakin tinggi APK menunjukkan semakin banyak anak usia
sekolah yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan pada suatu wilayah.
APK membagi jumlah siswa dengan tingkat pendidikan tanpa menggunakan batasan
kelompok umur. Hal ini memungkinkan nilai APK yang melebihi 100%. Kondisi ini sering terjadi
pada jenjang pendidikan SD/MI. Nilai diatas 100% ini terjadi karena terdapat penduduk dengan
umur dibawah 7 tahun yang sudah bersekolah ditingkat sekolah dasar, atau penduduk yang
berusia lebih dari 12 tahun yang masih bersekolah pada tingkat SD/MI.

GAMBAR 1.15
PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI KASAR PENDIDIKAN
DI INDONESIA TAHUN 2008 2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Pada Gambar 1.15 diketahui nilai APK untuk SD/MI melebihi 100%, sedangkan untuk
pendidikan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA lebih rendah dari nilai APK SD. Pada tahun 2013 nilai
APK untuk SD/sederajat sebesar 107,69%, SMP/sederajat sebesar 89,98% dan SMA/sederajat
sebesar 68,34%. Kondisi pada tahun 2013 ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2012
pada semua jenjang pendidikan. Rincian persentase APK per provinsi dapat dilihat pada
Lampiran 1.14.
Nilai APK ini kurang bagus untuk mencerminkan kondisi pendidikan, karena
memasukkan semua penduduk dalam jenjang pendidikan tanpa dibatasi dengan kelompok
umur yang sesuai dengan tingkat pendidikannya. Sehingga diperlukan indikator yang lebih
mencerminkan partisipasi sekolah, yaitu APM.
APM didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah siswa kelompok usia sekolah
pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk usia sekolah yang sesuai dengan usianya.
Indikator APM ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang bersekolah
pada suatu jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya. Semakin tinggi APM menandakan
semakin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah. Jika dibandingkan APK,
APM merupakan indikator pendidikan yang lebih baik karena memperhitungjkan juga

20 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


partisipasi penduduk kelompok usia standar di jenjang pendidikan yang sesuai dengan standar
tersebut.

GAMBAR 1.16
PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI MURNI PENDIDIKAN
DI INDONESIA TAHUN 2008 2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

APM membagi jumlah siswa dengan jenjang pendidikan dengan menggunakan batasan
kelompok umur. Kondisi ini tidak memungkinkan nilai APM yang melebihi 100%, sehingga nilai
APM lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai APK. Pada Gambar 2.16, tahun 2012 nilai APM
untuk tingkat SD/MI sebesar 92,49%, SMP/MTs 70,84% dan SMA/SMK 51,46%. Nilai APM ini
jika dibandingkan dengan tahun 2011 mengalami kenaikan pada semua jenjang pendidikan.
Kondisi APM ini lebih mencerminkan kondisi partisipasi sekolah. Rincian APM per provinsi
dapat dilihat pada Lampiran 1.15.

D. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA


Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan suatu ukuran standar
pembangunan manusia yaitu indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Development
Index (HDI). Indeks ini dibentuk berdasarkan empat indikator, yaitu angka harapan hidup,
angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli. Indikator angka harapan
hidup merepresentasikan dimensi umur panjang dan sehat. Selanjutnya, angka melek huruf dan
rata-rata lama sekolah mencerminkan capaian pembangunan di bidang pendidikan. Sedangkan
indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat
dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan yang mewakili capaian
pembangunan untuk hidup lebih layak.

Demografi 21
GAMBAR 1.17
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA INDONESIA TAHUN 2008 - 2012

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Nilai IPM Indonesia tahun 2012 sebesar 73,29 lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kondisi tahun 2011 yang sebesar 72,77. Nilai ini masuk dalam kategori nilai IPM sedang.
Peningkatan ini dikarenakan meningkatnya nilai dari komponen pembuat IPM ini, yaitu
kenaikan pada komponen angka harapan hidup dan angka melek huruf. Pada tahun 2008 nilai
IPM Indonesia sebesar 71,17 dan nilai ini meningkat menjadi 71,76 pada tahun 2009, dan pada
tahun 2012 sebesar 73,29.

GAMBAR 1.18
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA MENURUT PROVINSI TAHUN 2012

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

22 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Gambar 1.18 menunjukkan nilai IPM di Indonesia tahun 2012. Pembagian nilai IPM
dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu nilai IPM tinggi, sedang dan rendah. IPM tinggi mempunyai
nilai 80, IPM sedang mempunyai nilai 50-79,9 dan IPM rendah kurang < 50. Berdasarkan
pembagian tersebut, belum ada provinsi di Indonesia yang mempunyai nilai IPM tinggi. Semua
provinsi di Indonesia masuk dalam kategori IPM sedang. Nilai IPM tertinggi terdapat di Provinsi
DKI Jakarta sebesar 78,33 dan IPM terendah terdapat di Provinsi Papua sebesar 65,86.
Strategi pembangunan nasional menempatkan sumber daya manusia sebagai perspektif
pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi seiring dengan peningkatan sumber daya
manusia. Beberapa faktor penting dalam pembangunan yang sangat efektif bagi pembangunan
manusia adalah pendidikan dan kesehatan. Kedua faktor ini merupakan kebutuhan dasar
manusia yang perlu dimiliki untuk meningkatkan potensinya dalam pembangunan. Pendidikan
tercermin dalam rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf sedangkan pembangunan
bidang kesehatan tercermin dalam angka harapan hidup waktu lahir.
Angka Harapan Hidup (AHH) adalah perkiraan lama hidup rata-rata penduduk dengan
asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas (kematian) menurut umur. Angka ini adalah angka
pendekatan yang menunjukkan kemampuan untuk bertahan hidup lebih lama. AHH merupakan
alat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk
pada umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya.

GAMBAR 1.19
ANGKA HARAPAN HIDUP WAKTU LAHIR (DALAM TAHUN)
INDONESIA TAHUN 2008 - 2012

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Gambar 1.19 menunjukkan peningkatan AHH yang terjadi di Indonesia selama tahun
2008-2012. Pada tahun 2012, nilai AHH Indonesia mencapai 69,87 tahun lebih tinggi jika
dibandingkan dengan nilai AHH tahun 2011 yang sebesar 69,65 tahun. Provinsi dengan nilai
AHH tertinggi terdapat di DKI Jakarta dengan nilai 73,49 dan DI Yogyakarta sebesar 73,33.
Provinsi dengan nilai AHH terendah terdapat di Nusa Tenggara Barat sebesar 62,73 dan
Kalimantan Selatan sebesar 64,52. Rincian lengkap mengenai nilai AHH dan IPM dapat dilihat
pada Lampiran 1.17.

***

Demografi 23
Pedoman pelaksanaan kegiatan

24 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


SARANA KESEHATAN

Derajat kesehatan masyarakat suatu negara dipengaruhi oleh keberadaan sarana


kesehatan. Sarana kesehatan yang diulas pada pada bagian ini terdiri dari fasilitas pelayanan
kesehatan dan institusi pendidikan kesehatan milik pemerintah yang menghasilkan tenaga
kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan yang dibahas pada bagian ini terdiri dari : puskesmas,
Rumah Sakit, dan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM).
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa fasilitas
pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun
rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

A. PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT


Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128 Tahun 2004 tentang Kebijakan Dasar
Puskesmas mendefinisikan puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) dinas kesehatan
kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di
wilayah kerjanya. Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh
bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pusat pembangunan berwawasan kesehatan,
pusat pemberdayaan masyarakat, pusat pelayanan kesehatan masyarakat primer, dan pusat
pelayanan kesehatan perorangan primer, puskesmas berkewajiban memberikan upaya
kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan.
Upaya kesehatan wajib terdiri dari
1. Upaya promosi kesehatan
2. Upaya kesehatan lingkungan
3. Upaya kesehatan ibu dan anak serta Keluarga Berencana
4. Upaya perbaikan gizi
5. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
6. Upaya pengobatan
Jumlah puskesmas di Indonesia sampai dengan Desember 2013 sebanyak 9.655 unit.
Jumlah tersebut terdiri dari 3.317 unit puskesmas rawat inap dan 6.338 unit puskesmas non
rawat inap. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2012 yaitu sebanyak 9.510 unit. Dalam
kurun waktu 5 tahun terakhir, jumlah puskesmas memang mengalami peningkatan seperti yang
terdapat pada gambar berikut.

Sarana Kesehatan 27
GAMBAR 2.1
JUMLAH PUSKESMAS TAHUN 2009 2013

Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2014

Gambar di atas menunjukkan peningkatan jumlah puskesmas dari tahun 2009 sampai
dengan tahun 2013. Peningkatan jumlah puskesmas tidak mengindikasikan secara langsung
seberapa baik keberadaan puskesmas mampu memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan
primer di masyarakat. Indikator yang mampu menggambarkan secara kasar tercukupinya
kebutuhan pelayanan kesehatan primer oleh puskesmas adalah rasio puskesmas terhadap
30.000 penduduk. Rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk pada tahun 2013 sebesar 1,17
puskesmas per 30.000 penduduk. Rasio ini menunjukkan kecenderungan peningkatan
setidaknya sejak tahun 2009 sampai dengan 2013, yaitu 1,13 puskesmas per 30.000 penduduk
menjadi 1,17 puskesmas per 30.000 penduduk. Kecenderungan peningkatan ini ditampilkan
pada gambar berikut.

GAMBAR 2.2
RASIO PUSKESMAS PER 30.000 PENDUDUK TAHUN 2009 2013

Sumber : Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2013

28 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Rasio puskesmas per 30.000 penduduk pada tahun 2013 sebesar 1,17. Angka ini tidak
menunjukkan peningkatan maupun penurunan dibandingkan tahun 2012. Provinsi dengan
rasio tertinggi adalah Papua Barat sebesar 5,07 per 30.000 penduduk, sedangkan Provinsi
Banten memiliki rasio terendah sebesar 0,6 per 30.000 penduduk. Rasio puskesmas per 30.000
penduduk belum menggambarkan kondisi real aksessibilitas masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan dasar. Sebagai contoh, 3 provinsi dengan rasio tertinggi semuanya berada di wilayah
timur yaitu Papua Barat, Papua, dan Maluku. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah penduduk
yang relatif sedikit sedangkan wilayah kerja sangat luas.

GAMBAR 2.3
RASIO PUSKESMAS PER 30.000 PENDUDUK DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber : Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2013

Pada gambar di atas nampak bahwa selain Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur juga
memiliki rasio rendah yaitu sebesar 0,69 dan 0,75 per 30.000 penduduk. Selain 3 provinsi
tersebut, seluruh provinsi di Pulau Jawa memiliki rasio puskesmas yang rendah. Hal ini
disebabkan karena jumlah dan kepadatan populasi yang tinggi. Jika dilihat dari rasio terhadap
jumlah penduduk, memang seluruh provinsi di Jawa memiliki angka yang rendah, namun
demikian dalam hal keberadaan pelayanan kesehatan dasar, provinsi di Jawa memiliki kondisi
baik yang berasal dari penyedia sektor swasta. Kondisi seperti ini sebetulnya tetap harus
diperhatikan, karena meskipun kebutuhan pelayanan kesehatan dasar dapat dipenuhi oleh
sektor swasta, suatu wilayah tetap membutuhkan entitas yang berperan sebagai
penanggungjawab upaya kesehatan masyarakat.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan dasar,
puskesmas melaksanakan pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan
masyarakat. Pelayanan kesehatan perorangan yang diberikan terdiri dari pelayanan rawat jalan
dan rawat inap untuk puskesmas tertentu jika dianggap diperlukan. Meskipun pelayanan
kesehatan masyarakat merupakan inti dari puskesmas, pelayanan kesehatan perorangan juga
menjadi perhatian dari Pemerintah. Bagi daerah yang termasuk DTPK, Dana Alokasi Khusus

Sarana Kesehatan 29
(DAK) digelontorkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota untuk, pembangunan pustu dan
puskesmas serta peningkatan puskesmas non rawat inap menjadi puskesmas rawat inap. Bagi
daerah di luar kategori DTPK, DAK bisa digunakan untuk rehabilitasi puskesmas/rumah dinas,
dan peningkatan PONED
Berikut ini disajikan perkembangan jumlah puskesmas rawat inap dan non rawat inap
dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013.

GAMBAR 2.4
JUMLAH PUSKESMAS RAWAT INAP DAN NON RAWAT INAP
TAHUN 2009 2013

Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2013

Pada gambar di atas diketahui bahwa jumlah puskesmas non rawat inap meningkat dari
6.033 unit pada tahun 2009 menjadi 6.338 unit pada tahun 2013. Meskipun demikian, terjadi
penurunan dari 6.358 unit pada tahun 2012 menjadi 6.338 unit pada tahun 2013. Hal ini dapat
disebabkan karena adanya perubahan status dari puskesmas non rawat inap menjadi
puskesmas rawat inap. Peningkatan jumlah juga terjadi pada puskesmas rawat inap yaitu dari
2.704 unit pada tahun 2009 menjadi 3.317 unit pada tahun 2013.
Selain enam upaya kesehatan wajib yang harus diberikan, puskesmas juga
menyelenggarakan upaya kesehatan pengembangan. Upaya kesehatan pengembangan
puskesmas dapat berupa berupa pelayanan obstetrik dan neonatal emergensi dasar (PONED),
pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR), upaya kesehatan kerja, upaya kesehatan olahraga,
dan tatalaksana kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA). Upaya kesehatan pengembangan
diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan yang ada di wilayah kerja. Sebagai contoh upaya
kesehatan kerja dibutuhkan pada puskesmas dengan wilayah kerja yang memiliki banyak pusat
industri. Gambaran lebih rinci tentang jumlah dan jenis puskesmas menurut provinsi terdapat
pada Lampiran 2.1 dan Lampiran 2.2.

1. Puskesmas dengan Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar


(PONED)
Salah satu upaya pengembangan puskesmas yang penting adalah Pelayanan Obstetrik
dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Upaya kesehatan ini dilakukan untuk mendekatkan

30 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


akses masyarakat kepada pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal dasar. Akses
masyarakat yang semakin mudah terhadap pelayanan kegawatdaruratan diharapkan dapat
berkontribusi kepada penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Badan kesehatan dunia (WHO) menargetkan agar minimal terdapat 4 Puskesmas
PONED di tiap kabupaten/kota. Sampai dengan tahun 2013 jumlah kumulatif Puskesmas
PONED sebanyak 2.782 unit. Terdapat 333 kabupaten/kota (67%) yang telah memenuhi syarat
minimial tersebut. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2012 sebesar 304 kabupaten/kota
(61,17%). Pada tahun 2013, jumlah kabupaten/kota yang hanya memiliki 1-3 Puskesmas
PONED sebanyak 131 dan terdapat 33 kabupaten/kota yang belum memiliki Puskesmas
PONED.
Provinsi dengan persentase kabupaten/kota yang telah memenuhi syarat minimal
empat Puskesmas PONED tertinggi adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Tegah, dan
Sulawesi Barat dengan masing-masing persentase 100%. Sedangkan provinsi dengan
persentase terendah adalah Papua sebesar 10,34%, diikuti oleh Papua Barat sebesar 18,18%
dan Kepulauan Bangka Belitung 28,57%. Persentase kabupaten/kota yang telah memenuhi
syarat minimal 4 Puskesmas PONED terdapat pada gambar berikut.

GAMBAR 2.5
PERSENTASE KABUPATEN/KOTA
YANG MEMENUHI SYARAT MINIMAL 4 PUSKESMAS PONED
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Ditjen. Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, 2013

Konsep rawat inap yang digunakan dalam Puskesmas PONED berbeda dengan konsep
yang digunakan puskesmas rawat inap. Konsep rawat inap pada Puskesmas PONED adalah
perawatan inap kepada pasien pasca tindakan emergensi (one day care). Dengan demikian,
puskesmas non rawat inap yang memiliki tempat tidur dan mampu melakukan tindakan
emergensi obstetri dan neonatal dasar, dapat menyelenggarakan PONED.

Sarana Kesehatan 31
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan menetapkan indikator persentase puskesmas
rawat inap yang mampu PONED dengan target pada tahun 2013 sebesar 90%. Jumlah
puskesmas rawat inap yang mampu PONED pada tahun 2013 sebanyak 2.782 puskesmas
dengan persentase sebesar 95,86%. Angka ini telah memenuhi target 90% pada tahun 2013.

2. Puskesmas dengan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)


Sejak tahun 2003 telah dikembangkan program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja
(PKPR). Upaya pelayanan kesehatan ini diselenggarakan di puskesmas yang terdiri dari
penyuluhan, pelayanan klinis medis termasuk pemeriksaan penunjang, konseling, Pendidikan
Keterampilan Hidup Sehat (PKHS) pelatihan pendidik sebaya dan konselor sebaya serta
pelayanan rujukan. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di dalam dan di luar gedung ini
memiliki sasaran kelompok remaja sekolah dan kelompok luar sekolah seperti kelompok anak
jalanan, karang taruna, remaja masjid/gereja/vihara/pura, pondok pesantren, asrama dan
kelompok remaja lainnya.
Jumlah puskesmas mampu PKPR pada tahun 2013 sebesar 2.745. Jumlah tersebut lebih
rendah dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 3.191. Informasi lebih rinci menurut provinsi
tentang jumlah Puskesmas PKPR tahun 2013 dapat dilihat pada gambar berikut. Data dan
informasi mengenai jumlah puskesmas yang memiliki PKPR terdapat pada Lampiran 2.3.

GAMBAR 2.6
JUMLAH PUSKESMAS YANG MELAKSANAKAN PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Ditjen. Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2013

3. Puskesmas dengan Upaya Kesehatan Kerja


Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa upaya
kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari

32 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Upaya kesehatan
kerja juga berlaku bagi setiap orang selain pekerja yang berada di lingkungan tempat kerja dan
juga bagi kesehatan pada lingkungan Tentara Nasional Indonesia baik darat, laut, maupun udara
serta Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Upaya kesehatan kerja di puskesmas diselenggarakan sesuai dengan keadaan dan
permasalahan yang ada di wilayah puskesmas atau spesifik lokal. Dengan demikian sampai saat
ini upaya kesehatan kerja di puskesmas lebih dititikberatkan pada wilayah industri.
Pembinaan upaya kesehatan kerja dilaksanakan melalui kegiatan penguatan pelayanan
kesehatan kerja, seperti pelatihan peningkatan kapasitas petugas kesehatan dalam bidang
kesehatan kerja, pelatihan diagnosa Penyakit Akibat Kerja (PAK), peningkatan fasilitas
pelayanan kesehatan bidang kesehatan kerja, gerakan pekerja perempuan sehat dan produktif
termasuk kesehatan reproduksi di tempat kerja dan pembinaan pelayanan kesehatan kerja di
sektor informal dan formal termasuk perkantoran serta pembinaan Calon Tenaga Kerja
Indonesia (CTKI) dengan fokus kegiatan pembinaan pelayanan kesehatan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI).
Terdapat peningkatan jumlah puskesmas yang memiliki pelayanan upaya kesehatan
kerja, yaitu 764 puskesmas pada tahun 2012 menjadi 1.034 puskesmas pada tahun 2013.
Sampai dengan tahun 2013 puskesmas yang memiliki pelayanan upaya kesehatan kerja
tersebar di 26 provinsi. Jumlah provinsi tersebut meningkat dibandingkan tahun 2012 ketika
hanya 18 provinsi yang memiliki puskesmas dengan upaya kesehatan kerja. Data dan informasi
mengenai jumlah puskesmas yang menyelenggarakan upaya kesehatan kerja terdapat pada
Lampiran 2.3.

4. Puskesmas dengan Upaya Kesehatan Olahraga


Upaya kesehatan olahraga diselenggarakan bertujuan untuk meningkatkan kesehatan
dan kebugaran jasmani masyarakat sebagai upaya dasar dalam meningkatkan prestasi belajar,
prestasi kerja dan prestasi olahraga melalui aktivitas fisik, latihan fisik dan olahraga seperti
tercantum dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009. Upaya kesehatan olahraga dapat
dilaksanakan di pelayanan kesehatan dasar seperti puskesmas maupun pelayanan kesehatan
rujukan.
Upaya kesehatan olahraga yang diselenggarakan di puskesmas meliputi pembinaan dan
pelayanan kesehatan olahraga. Pembinaan kesehatan olahraga berupa pendataan kelompok,
pemeriksaan kesehatan dan penyuluhan kesehatan olahraga, ditujukan pada kelompok
olahraga di sekolah, klub jantung sehat, Posyandu usia lanjut, kelompok senam ibu hamil,
kelompok senam diabetes, kelompok senam pencegahan osteoporosis, pembinaan kebugaran
jasmani jemaah calon haji, fitness center dan kelompok olahraga/latihan fisik lain. Pelayanan
kesehatan olahraga antara lain konsultasi kesehatan olahraga, pengukuran tingkat kebugaran
jasmani, penanganan cedera olahraga akut dan sebagai tim kesehatan pada event olahraga.
Terdapat 671 puskesmas yang telah menyelenggarakan upaya kesehatan olahraga
sampai dengan tahun 2013. Upaya pengembangan secara bertahap akan dilakukan sehingga
peningkatan tidak hanya dalam hal jumlah puskesmas, namun juga jumlah kabupaten/kota dan
provinsi yang sampai tahun 2013 hanya 28 provinsi yang telah memiliki puskesmas dengan
pelayanan upaya kesehatan olahraga. Jumlah provinsi tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun
2012, yaitu hanya 17 provinsi yang memiliki puskesmas dengan upaya kesehatan olahraga. Data
dan informasi lebih detil tentang jumlah puskesmas yang melaksanakan upaya kesehatan
olahraga menurut provinsi terdapat pada Lampiran 2.3.

Sarana Kesehatan 33
5. Puskesmas dengan Tatalaksana Kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA)
Anak merupakan salah satu aset berharga dalam pembangunan kesehatan. Tindak
kekerasan terhadap anak sangat berdampak pada kesehatan anak yang menjadi korban. Dengan
demikian, dibutuhkan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan berkualitas. Pelayanan
kesehatan bagi korban KtA dapat diberikan melalui pelayanan di tingkat dasar, salah satunya
puskesmas. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan telah menetapkan agar setiap
kabupaten/kota harus memiliki minimal 2 (dua) puskesmas mampu tatalaksana kasus
kekerasan terhadap anak.
Jumlah puskesmas mampu tatalaksana KtA sampai dengan tahun 2013 sebesar 1.526
unit yang telah tersebar di 33 Provinsi di Indonesia. Namun demikian, hanya 76,26%
kabupaten/kota yang telah memiliki minimal 2 puskemas yang mampu tatalaksana kasus
kekerasan terhadap anak. Informasi lebih rinci mengenai jumlah puskesmas yang mampu
tatalaksana kasus kekerasan terhadap anak menurut provinsi terdapat pada Lampiran 2.3.

6. Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif dan Komplementer


Program pelayanan kesehatan tradisional terus berkembang dan mendapat perhatian
khusus dari pemerintah. Pelayanan kesehatan tradisional merupakan pengobatan dan/atau
perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun
temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat. Pengobatan secara tradisional dilakukan penelitian dan bila
dapat dibuktikan secara ilmiah menjadi pengobatan tradisional yang aman dan bermanfaat
sehingga dapat diterapkan di fasilitas kesehatan sebagai pengobatan alternatif dan
komplementer.
Unit yang melakukan penelitian/pengkajian/pengujian ini yaitu Sentra Pengembangan
dan Penerapan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T). Fungsi lainnya dari Sentra P3T yaitu
pelayanan kesehatan tradisional, institusi pendidikan dan pelatihan pelayanan kesehatan
tradisional yang aman dan bermanfaat, dan menyelenggarakan jaringan informasi dan
dokumentasi pelayanan kesehatan tradisional.
Pada tahun 2013 terdapat 846 puskesmas dan 224 kabupaten/kota dengan tenaga
kesehatan puskesmas terlatih. Adapun persentase kabupaten/kota dengan tenaga kesehatan
puskesmas terlatih adalah 44,27%. Terdapat empat provinsi dengan persentase
kabupaten/kota memiliki tenaga kesehatan terlatih sebesar 100% yaitu Daerah Istimewa
Yogyakarta, Banten, Bali, dan Sulawesi Selatan. Angka 100% artinya seluruh kabupaten/kota
yang ada di provinsi tersebut telah memiliki puskesmas dengan tenaga kesehatan terlatih,
meskipun belum semua puskesmas yang ada di kabupaten/kota tersebut. Gambaran menurut
provinsi mengenai jumlah puskesmas, kabupaten/kota, dan persentase kabupaten/kota dengan
tenaga kesehatan terlatih dapat dilihat pada Lampiran 2.4.

B. RUMAH SAKIT
Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat juga diperlukan upaya
kuratif dan rehabilitatif selain upaya promotif dan preventif. Upaya kesehatan yang bersifat
kuratif dan rehabilitatif dapat diperoleh melalui rumah sakit yang juga berfungsi sebagai
penyedia pelayanan kesehatan rujukan.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147/Menkes/PER/I/2010 tentang Perizinan
Rumah Sakit mengelompokkan rumah sakit berdasarkan kepemilikan, yaitu rumah sakit publik
dan rumah sakit privat. Rumah sakit publik adalah rumah sakit yang dikelola Pemerintah,

34 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Pemerintah Daerah dan Badan Hukum yang bersifat nirlaba. Sedangkan rumah sakit privat
adalah rumah sakit yang dikelola oleh bahan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk
perseroan terbatas atau persero.

1. Jumlah dan Jenis Rumah Sakit


Rumah sakit publik di Indonesia dikelola oleh Kementerian Kesehatan, Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, TNI/Polri, kementerian lain serta swasta non profit
(organisasi keagamaan dan organisasi sosial). Jumlah rumah sakit publik di Indonesia sampai
dengan tahun 2013 sebanyak 1.562 unit, yang terdiri atas Rumah Sakit Umum (RSU) berjumlah
1.277 unit dan Rumah Sakit Khusus (RSK) berjumlah 285 unit.
Berbeda dengan rumah sakit publik, rumah sakit privat dikelola oleh BUMN dan swasta
(perorangan, perusahaan dan swasta lainnya). Pada tahun 2013 terdapat 666 unit rumah sakit
privat di Indonesia yang terdiri dari 448 unit RSU dan 218 unit RSK.
Jumlah rumah sakit publik maupun privat menunjukkan peningkatan pada kurun waktu
2011 sampai dengan 2013 seperti yang disajikan pada tabel berikut.

TABEL 2.1
PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT MENURUT KEPEMILIKAN
DI INDONESIA TAHUN 2011 2013

No Pengelola/Kepemilikan 2011 2012 2013

1 Publik

Kementerian Kesehatan dan 614 656 676


Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota

TNI/Polri 134 154 159

Kementerian Lain 3 3 3

Swasta Non Profit 655 727 724

Jumlah Publik 1.406 1.540 1.562

2 Privat

BUMN 77 75 67

Swasta 238 468 599

Jumlah Privat 315 543 666

Jumlah 1.721 2.083 2.228


Sumber: Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, 2014

Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengelompokkan rumah sakit
berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan menjadi rumah sakit umum dan rumah sakit
khusus. Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada
semua bidang dan jenis penyakit. Adapun rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang
memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan
disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
Jumlah rumah sakit umum dan rumah sakit khusus pada tahun 2013 adalah 1.725 unit
dan 503 unit. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2012 yang masing-masing

Sarana Kesehatan 35
sebesar 1.608 dan 475. Gambar berikut ini menggambarkan perkembangan jumlah rumah sakit
umum dan rumah sakit khusus dalam lima tahun terakhir.

GAMBAR 2.7
PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT UMUM DAN RUMAH SAKIT KHUSUS
DI INDONESIA TAHUN 2009 2013

Sumber: Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, 2013

Jumlah RSK pada tahun 2013 sebagain besar adalah rumah sakit ibu dan anak berjumlah
159 unit dengan persentase 31,61%. Proporsi jenis RSK di Indonesia pada tahun 2013 terdapat
pada gambar berikut.

GAMBAR 2.8
PERSENTASE RUMAH SAKIT KHUSUS (RSK)
MENURUT JENIS DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, 2013

36 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa persentase tertinggi adalah Rumah Sakit Ibu
dan Anak. Persentase rumah sakit khusus lainnya juga memiliki proporsi yang besar yaitu
29,82% yang terdiri dari RS Jantung, RS Kanker, RS Orthopedi, RS Penyakit Infeksi, RS Stroke,
RS Anak dan Bunda, RSK Anak, RSK Bedah, RSK Ginjal, RSK Gigi dan Mulut, RSK Otak, RSK
Penyakit Dalam, dan RSK THT.
Terpenuhi atau tidaknya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan rujukan
dan perorangan di suatu wilayah dapat dilihat dari rasio tempat tidur terhadap 1.000
penduduk. Rasio tempat tidur di rumah sakit di Indonesia pada tahun 2014 adalah 1,12 per
1.000 penduduk. Rasio ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2012 sebesar 0,95 per 1.000
penduduk. Rasio tempat tidur di rumah sakit di Indonesia sejak tahun 2009 sampai dengan
tahun 2013 ditampilkan pada gambar berikut.

GAMBAR 2.9
RASIO JUMLAH TEMPAT TIDUR RUMAH SAKIT
PER 1.000 PENDUDUK DI INDONESIA TAHUN 2009 2013

Sumber: Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, 2013

Jika dilihat secara nasional pada tahun 2013 memang nampaknya jumlah tempat tidur
telah mencukupi, namun masih terdapat beberapa provinsi dengan rasio kurang dari 1 tempat
tidur per 1.000 penduduk.
Pada tingkat provinsi terdapat 13 provinsi dengan dengan rasio kurang dari 1 per 1.000
penduduk. Rasio tertinggi terdapat di Provinsi DI Yogyakarta sebesar 2,92, DKI Jakarta sebesar
2,19, dan Sulawesi Utara sebesar 2,16. Sedangkan provinsi dengan rasio terendah adalah Nusa
Tenggara Barat sebesar 0,65, Sulawesi Barat sebesar 0,67, dan Banten sebesar 0,72.

Sarana Kesehatan 37
GAMBAR 2.10
RASIO TEMPAT TIDUR RUMAH SAKIT
PER 1.000 PENDUDUK DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, 2013

Rumah sakit juga dikelompokkan menurut kelas berdasarkan fasilitas dan kemampuan
pelayanan menjadi Kelas A, Kelas B, Kelas C, dan Kelas D. Pada tahun 2013, terdapat 57 unit RS
kelas A, 293 unit kelas B, 741 unit RS kelas C, 517 unit RS kelas D, dan sebanyak 620 unit RS
belum ditetapkan kelasnya.

GAMBAR 2.11
PERSENTASE RUMAH SAKIT MENURUT KELAS
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, 2013

38 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa Rumah Sakit kelas C memiliki persentase
tertinggi sebesar 33,26%. Sedangkan persentase terendah adalah rumah sakit kelas A sebesar
2,56%. Informasi lebih rinci tentang rumah sakit menurut provinsi terdapat pada Lampiran 2.5,
26, 2.7, 2.8, dan 2.9.

2. Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK)


Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Komprehensif adalah upaya yang
dilakukan untuk menurunkan Angka Kematian Ibu dan Angka kematian Anak. Beberapa
penelitian menyimpulkan bahwa kematian ibu dan kematian anak banyak terjadi di Rumah
Sakit. Rumah Sakit berkontribusi terhadap 40-70% Angka Kematian Ibu, persalinan di rumah
berkontribusi sebesar 20-35%, dan persalinan yang terjadi di perjalanan sebesar 10-18%
(Lancet, 2005). Dengan melihat fakta tersebut maka dapat dikatakan bahwa dibutuhkan adanya
upaya penurunan AKI yang difokuskan di rumah sakit.
Salah satu program kesehatan yang dilaksanakan untuk menurunkan kematian ibu
adalah implementasi Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK).
Jumlah Rumah Sakit PONEK sampai dengan tahun 2013 sebanyak 424 unit. Jumlah ini
meningkat dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 410 unit rumah sakit melaksanakan PONEK.

C. SARANA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN


1. Sarana Produksi dan Distribusi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Ketersediaan farmasi dan alat kesehatan memiliki peran yang signifikan dalam
pelayanan kesehatan. Akses masyarakat terhadap obat khususnya obat esensial merupakan
salah satu hak asasi manusia. Dengan demikian penyediaan obat esensial merupakan kewajiban
bagi pemerintah dan institusi pelayanan kesehatan baik publik maupun privat. Sebagai
komoditi khusus, semua obat yang beredar harus terjamin keamanan, khasiat dan mutunya agar
dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Oleh karena itu salah satu upaya yang dilakukan
untuk menjamin mutu obat hingga diterima konsumen adalah menyediakan sarana
penyimpanan obat dan alat kesehatan yang dapat menjaga keamanan secara fisik serta dapat
mempertahankan kualitas obat di samping tenaga pengelola yang terlatih.
Salah satu kebijakan pelaksanaan dalam Program Obat dan Perbekalan Kesehatan
adalah pengendalian obat dan perbekalan kesehatan diarahkan untuk menjamin keamanan,
khasiat dan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan. Hal ini bertujuan untuk melindungi
masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penyalahgunaan sediaan farmasi dan alat
kesehatan atau penggunaan yang salah/tidak tepat serta tidak memenuhi mutu keamanan dan
pemanfaatan yang dilakukan sejak proses produksi, distribusi hingga penggunaannya di
masyarakat. Cakupan sarana produksi bidang kefarmasian dan alat kesehatan menggambarkan
tingkat ketersediaan sarana pelayanan kesehatan yang melakukan upaya produksi di bidang
kefarmasian dan alat kesehatan. Yang termasuk sarana produksi di bidang kefarmasian dan alat
kesehatan antara lain Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional (IOT), Industri Ekstrak Bahan
Alam (IEBA), Industri Kosmetika, Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT), Usaha Mikro Obat
Tradisional (UMOT), Produksi Alat Kesehatan Produksi Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
(PKRT), dan Industri Kosmetika.
Sarana produksi dan distribusi di Indonesia masih menunjukkan adanya ketimpangan
dalam hal persebaran jumlah. Sebagian besar sarana produksi maupun distribusi berlokasi di
Indonesia bagian Barat yaitu Sumatera dan Jawa dengan proporsi, yaitu sebesar 94,4% sarana
produksi dan 78,4% sarana distribusi. Ketersediaan ini terkait dengan sumberdaya yang

Sarana Kesehatan 39
dimiliki dan kebutuhan pada wilayah setempat. Kondisi ini dapat dijadikan sebagai salah satu
acuan dalam kebijakan untuk mengembangkan jumlah sarana produksi dan distribusi
kefarmasian dan alat kesehatan di Indonesia bagian Tengah dan Timur, sehingga terjadi
pemerataan jumlah sarana tersebut di seluruh Indonesia. Selain itu, hal ini bertujuan untuk
membuka akses terhadap keterjangkauan masyarakat terhadap sarana kesehatan di bidang
kefarmasian dan alat kesehatan.
Jumlah sarana produksi pada tahun 2013 sebesar 3.828 sarana. Jumlah ini lebih tinggi
dibandingkan tahun 2012 yang sebanyak 2.958 sarana produksi. Pada tahun 2013 terdapat 8
provinsi yang tidak memiliki ke-enam jenis industri kefarmasian dan alat kesehatan yang
disebutkan di atas. Provinsi dengan jumlah sarana produksi terbanyak adalah Jawa Barat
sebesar 1.031 sarana. Hal ini dapat disebabkan karena Jawa Barat memiliki populasi yang besar
dan wilayah yang luas. Jumlah sarana produksi kefarmasian dan alat kesehatan pada tahun
2013 terdapat pada gambar berikut.

GAMBAR 2.12
JUMLAH SARANA PRODUKSI KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Ditjen. Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI, 2014

Sarana distribusi kefarmasian dan alat kesehatan yang dipantau jumlahnya oleh Ditjen
Binfar dan Alkes antara lain yaitu : Pedagang Besar Farmasi (PBF), Apotek, Toko Obat dan
Penyalur Alat Kesehatan (PAK). Jumlah sarana distribusi kefarmasian dan alat kesehatan pada
tahun 2013 sebesar 33.731 sarana. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan tahun 2012 yaitu
sebesar 29.137 sarana. Gambar berikut menyajikan jumlah sarana distribusi kefarmasian pada
tahun 2013. Data lebih rinci menurut provinsi mengenai jumlah sarana produksi dan distrbusi
kefarmasian terdapat pada Lampiran 2.10 dan Lampiran 2.11.

40 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 2.13
JUMLAH SARANA DISTRIBUSI KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Ditjen. Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI, 2013

2. Ketersediaan Obat dan Vaksin


Dalam upaya pelayanan kesehatan, ketersediaan obat dalam jenis yang lengkap, jumlah
yang cukup, terjamin khasiatnya, aman, efektif dan bermutu dengan harga terjangkau serta
mudah diakses adalah sasaran yang harus dicapai. Kementerian Kesehatan telah menetapkan
indikator rencana strategis tahun 2010-2014 terkait program kefarmasian dan alat kesehatan,
yaitu meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau
oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil tersebut pada tahun 2014 yaitu
persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%. Dalam rangka mencapai target
tersebut, salah satu kegiatan yang dilakukan adalah peningkatan ketersediaan obat esensial
generik di sarana pelayanan kesehatan dasar.
Pemantauan ketersediaan obat digunakan untuk mengetahui kondisi tingkat
ketersediaan obat di berbagai unit sarana kesehatan seperti Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota
(IFK) dan puskesmas. Kegiatan ini dilakukan untuk mendukung pemerintah pusat dan daerah
dalam rangka menentukan langkah-langkah kebijakan yang akan diambil di masa yang akan
datang. Di era otonomi daerah, pengelolaan obat merupakan salah satu kewenangan yang
diserahkan ke kabupaten/kota, akibatnya sulit bagi pemerintah pusat untuk mengetahui
kondisi ketersediaan obat di seluruh Indonesia. Dengan tidak adanya laporan secara periodik
yang dikirim oleh provinsi, maka relatif sulit bagi pemerintah pusat untuk menentukan langkah-
langkah yang harus dilakukan. Adanya data ketersediaan obat di provinsi atau kabupaten/kota
akan mempermudah penyusunan prioritas bantuan maupun intervensi program di masa yang
akan datang.
Untuk mendapatkan gambaran ketersediaan obat dan vaksin di Indonesia, dilakukan
pemantauan ketersediaan obat dan vaksin. Obat yang dipantau ketersediaannya merupakan
obat indikator yang digunakan untuk pelayanan kesehatan dasar dan obat yang mendukung
pelaksanaan program kesehatan. Jumlah item obat yang dipantau adalah 144 item obat dan
vaksin yang terdiri dari 135 item obat untuk pelayanan kesehatan dasar dan 9 jenis vaksin
untuk imunisasi dasar.

Sarana Kesehatan 41
Indikator persentase ketersediaan obat dan vaksin tahun 2013 memiliki target sebesar
95%, dari data dan perhitungan yang dilakukan oleh Ditjen Binfar dan Alkes didapatkan
persentase ketersediaan rata-rata nasional pada tahun 2013 sebesar 96,93%. Dengan demikian
apabila dibandingkan dengan target tahun 2013, maka capaian kinerja indikator persentase
ketersediaan obat dan vaksin tersebut adalah sebesar 102,03%. Data dan informasi lebih rinci
mengenai ketersediaan obat dan vaksin 144 item terdapat pada Lampiran 2.20 dan 2.21.

3. Penggunaan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan juga memantau pemanfaatan obat
generik melalui indikator persentase penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan
yaitu di puskesmas dan rumah sakit. Rata-rata penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan
kesehatan pada tahun 2013 sebesar 85,49%. Penggunaan tersebut telah memenuhi target tahun
2013 yaitu sebesar 75%.

GAMBAR 2.14
PERSENTASE RATA-RATA PENGGUNAAN OBAT GENERIK
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA TAHUN 2013

Target Renstra 2013 :


75%

Sumber : Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI, 2014

Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar provinsi telah memenuhi
target 75%, yaitu 31 provinsi (93,94%). Provinsi dengan rata-rata penggunaan tertinggi adalah
Maluku Utara sebesar 96,31% diikuti oleh Sumatera Barat sebesar 95,11% dan Aceh sebesar
95%. Sedangkan provinsi dengan persentase terendah adalah Riau sebesar 73,04% diikuti oleh
Jawa Timur sebesar 74,21% dan Lampung sebesar 76,11%. Data dan informasi lebih rinci
menurut provinsi mengenai penggunaan obat generik terdapat pada Lampiran 2.22.

D. UPAYA KESEHATAN BERSUMBERDAYA MASYARAKAT


Pembangunan kesehatan untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya juga memerlukan peran masyarakat. Melalui konsep Upaya Kesehatan

42 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), masyarakat berperan serta aktif dalam penyelenggaraan
upaya kesehatan. Bentuk UKBM antara lain Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Pos Kesehatan
Desa (Poskesdes), dan RW/desa/kelurahan siaga aktif.
RW/Desa/kelurahan Siaga Aktif adalah desa yang mempunyai Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes) atau UKBM lainnya yang buka setiap hari dan berfungsi sebagai pemberi pelayanan
kesehatan dasar, penanggulangan bencana dan kegawatdaruratan, surveilans berbasis
masyarakat yang meliputi pemantauan pertumbuhan (gizi), penyakit, lingkungan dan perilaku
sehingga masyarakatnya menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Terdapat 54.570 RW/Desa/kelurahan Siaga Aktif dengan persentase sebesar 65,2%.
Provinsi dengan persentase tertinggi adalah Jawa Tengah sebesar 99,99%, Bali sebesar 97,76%,
dan Sulawesi Selatan sebesar 96,49%. Sedangkan persentase terendah adalah Provinsi Papua
Barat sebesar 1,99%, Aceh sebesar 8,94% dan Nusa Tenggara Timur sebesar 15,69%. Dalam
memberikan pelayanan kesehatan, RW/Desa/kelurahan Siaga Aktif terbagi menjadi empat
strata, yaitu pratama, madya, purnama, dan mandiri. RW/Desa/kelurahan Siaga Aktif pratama
sebanyak 28.404, madya sebanyak 10.976, purnama sebanyak 4.910, dan mandiri sebanyak
1.550.

GAMBAR 2.15
PERSENTASE DESA DAN KELURAHAN SIAGA AKTIF DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Pusat Promosi Kesehatan, Kemenkes RI, 2014

Jenis UKBM lainnya adalah Poskesdes, yaitu UKBM yang dibentuk di desa untuk
mendekatkan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa sehingga mempermudah akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar. Kegiatan utama poskesdes yaitu pelayanan
kesehatan bagi masyarakat desa berupa pelayanan kesehatan ibu hamil, pelayanan kesehatan
ibu menyusui, pelayanan kesehatan anak, pengamatan dan kewaspadaan dini (surveilans
penyakit, surveilans gizi, surveilans perilaku berisiko, surveilans lingkungan dan masalah
kesehatan lainnya), penanganan kegawatdaruratan kesehatan serta kesiapsiagaan terhadap
bencana. Jumlah poskesdes yang beroperasi pada tahun 2013 sebanyak 54.731 unit. Jumlah ini
meningkat dibandingkan tahun 2012 sebesar 54.142 unit.

Sarana Kesehatan 43
bencana. Jumlah poskesdes yang beroperasi pada tahun 2013 sebanyak 54.731 unit. Jumlah ini
meningkat dibandingkan tahun 2012 sebesar 54.142 unit.
Salah satu UKBM yang memiliki peran signifikan dalam pemberdayaan masyarakat
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah posyandu. Posyandu dikelola dan
diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, untuk memberdayakan dan
memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar
bagi masyarakat terutama ibu, bayi dan anak balita. Posyandu memiliki 5 program prioritas
yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, imunisasi, gizi serta pencegahan dan
penanggulangan diare.
Terdapat 280.225 Posyandu pada tahun 2013 di Indonesia. Dari jumlah tersebut,
posyandu pratama sebanyak 32,7%, madya sebanyak 29,1%, purnama sebanyak 29,9%, dan
mandiri sebanyak 8,3%.

GAMBAR 2.16
PERSENTASE POSYANDU MENURUT STRATA DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Pusat Promosi Kesehatan, Kemenkes RI, 2014

Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa proporsi tertinggi adalah posyandu pratama
dan proporsi terendah adalah posyandu mandiri. Dengan demikian diperlukan upaya intensif
untuk meningkatkan jumlah posyandu mandiri. Dalam menjalankan fungsinya, perlu diketahui
rasio kecukupan posyandu terhadap masyarakat yang ada. Pada tahun 2013, rasio posyandu
terhadap jumlah desa/kelurahan adalah 3,35. Pada tingkat nasional, rasio posyandu terhadap
jumlah desa/keluarahan memang nampak telah mencukupi yaitu lebih dari satu. Namun jika
dilihat pada tingkat provinsi terdapat dua provinsi yang memiliki rasio kurang dari satu, yaitu
Papua dan Papua Barat.

44 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 2.17
RASIO POSYANDU TERHADAP DESA/KELURAHAN
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Pusat Promosi Kesehatan, Kemenkes RI, 2013

Gambar di atas menunjukkan bahwa Jawa Barat memiliki rasio tertinggi sebesar 8,29.
Papua dan Papua Barat memiliki rasio kurang dari satu, masing-masing sebesar 0,62 dan 0,72.
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan juga memerlukan peran serta kader dan tokoh
masyarakat/agama. Sampai dengan dengan tahun 2013 terdapat 336.586 kader/toma/toga
terlatih. Rasio kader/toga/toma terlatih terhadap desa/kelurahan di Indonesia sebesar 4,02.
Terdapat 11 provinsi dengan rasio kader/toga/toma terlatih terhadap desa/kelurahan kurang
dari satu. Data/informasi lebih rinci mengenai jumlah UKBM menurut provinsi tahun 2013
terdapat pada Lampiran 2.12, dan Lampiran 2.13.

E. INSTITUSI PENDIDIKAN TENAGA KESEHATAN POLTEKKES


1. Jumlah Poltekkes
Pembangunan kesehatan berkelanjutan membutuhkan tenaga kesehatan yang memadai
baik dari segi jenis, jumlah maupun kualitas. Untuk menghasilkan tenaga kesehatan yang
berkualitas tentu saja dibutuhkan proses pendidikan yang berkualitas pula. Kementerian
Kesehatan RI merupakan institusi dari sektor pemerintah yang berperan di dalam penyediaan
tenaga kesehatan yang berkualitas tersebut.
Institusi pendidikan tenaga kesehatan selain tenaga medis terdiri dari Politeknik
Kesehatan (Poltekkes) dan Non Politeknik Kesehatan (Non Poltekkes). Kementerian Kesehatan
melakukan pembinaan terhadap institusi Poltekkes. Sampai dengan Desember 2013, terdapat
38 Poltekkes di Indonesia yang terdiri dari program studi strata Diploma IV sebanyak 133
jurusan/program studi, dan strata Diploma III terdiri dari 262 jurusan/program studi.

Sarana Kesehatan 45
GAMBAR 2.18
JUMLAH PROGRAM STUDI POLTEKKES DIPLOMA III DAN IV
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber : Badan PPSDM Kesehatan, Kemenkes RI, 2013

Gambar di atas menunjukkan bahwa jurusan/program studi terbanyak adalah


keperawatan dengan jumlah 151 pada Diploma III dan 79 pada diploma IV. Jurusan/program
studi keperawatan terdiri dari keperawatan, kebidanan, dan keperawatan gigi.
Jurusan/program studi keterapian fisik yang terdiri fisioterapi, okupasi terapi, terapi wicara,
akupunktur memilki jumlah terendah yaitu 5 program studi pada diploma III dan 6 program
studi pada diploma IV.

2. Peserta Didik
Peserta didik pada Diploma III yang dimiliki oleh Poltekkes di Indonesia pada tahun
2013 terdiri dari peserta didik tingkat I (tahun ajaran 2011/2012), tingkat II (tahun ajaran
2012/2013), dan tingkat III (tahun ajaran 2013/2014) yaitu berjumlah 208.363 orang. Jumlah
tersebut terdiri 66.699 peserta didik tingkat I, 70.890 peserta didik tingkat II, dan 70.774
peserta didik tingkat III. Jumlah peserta didik terbanyak berasal dari Program Studi
Keperawatan sebanyak 135.017 peserta didik atau 64,8% dari seluruh peserta didik. Sedangkan
jumlah peserta didik terendah berasal dari program studi keterapian fisik sebanyak 4.388
peserta didik atau 2,11% dari seluruh peserta didik.

GAMBAR 2.19
JUMLAH PESERTA DIDIK DIPLOMA III POLTEKKES
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber : Badan PPSDM Kesehatan, Kemenkes RI, 2013

46 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Data dan informasi lebih rinci mengenai jumlah peserta didik di institusi Poltekkes
terdapat pada Lampiran 2.16 dan 2.17.

3. Lulusan
Peserta didik yang telah selesai menempuh pendidikan akan menjadi lulusan Poltekkes.
Jumlah lulusan pada tahun 2013 adalah sebanyak 22.797 orang. Jumlah ini meningkat
dibandingkan tahun 2012 yaitu sebanyak 21.630 orang. Sesuai dengan jumlah peserta didik
yang memiliki jumlah terbesar dari program studi keperawatan, hal serupa juga terjadi pada
jumlah lulusan dengan jumlah lulusan terbanyak adalah program studi keperawatan sebanyak
15.781 orang atau 69,22% dari total lulusan.

GAMBAR 2.20
JUMLAH LULUSAN DIPLOMA III POLTEKKES
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber : Badan PPSDM Kesehatan, Kemenkes RI, 2013

Pada tingkat provinsi, terdapat 3 provinsi yang menghasilkan jumlah lulusan terbanyak
dari Poltekkes yaitu Jawa Tengah sebanyak 2.398 lulusan, Jawa Timur sebanyak 2.124 lulusan,
dan DKI Jakarta sebanyak 1.365 lulusan. Tiga provinsi tersebut memang memiliki jumlah
Poltekkes lebih dari satu. Jumlah lulusan Poltekkes menurut program studi terdapat pada
Lampiran 2.18 dan 2.19.

***

Sarana Kesehatan 47
Pemeriksaan kadar gula darah

48 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


TENAGA KESEHATAN

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 21 menyebutkan


bahwa pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional dijelaskan
bahwa untuk melaksanakan upaya kesehatan dalam rangka pembangunan kesehatan
diperlukan sumber daya manusia kesehatan yang mencukupi dalam jumlah, jenis dan
kualitasnya serta terdistribusi secara adil dan merata.
Sumber daya manusia kesehatan yang disajikan pada bab ini lebih diutamakan pada
kelompok tenaga kesehatan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan memutuskan bahwa tenaga kesehatan terdiri dari tenaga medis, tenaga
keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian
fisik dan tenaga keteknisian medis.
Gambaran mengenai jumlah, jenis, dan kualitas, serta penyebaran tenaga kesehatan di
seluruh wilayah Indonesia dilakukan dengan cara pengumpulan data pada sarana pelayanan
kesehatan baik di wilayah dinas kesehatan kabupaten/kota maupun dinas kesehatan provinsi.
Pengumpulan data tenaga kesehatan meliputi tenaga kesehatan yang berstatus PNS pusat, PNS
daerah, Pegawai Tidak Tetap (PTT), TNI/POLRI, dan swasta. Metode pengumpulan data yang
digunakan melalui mekanisme pemutakhiran data secara berjenjang mulai dari dinas kesehatan
kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi dan secara nasional dikelola oleh Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (Badan PPSDMK)
Kementerian Kesehatan RI melalui Sistem Informasi SDMK.

A. JUMLAH DAN RASIO TENAGA KESEHATAN


Salah satu unsur yang berperan dalam percepatan pembangunan kesehatan adalah
tenaga kesehatan yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan di masyarakat. Tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Pendataan tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Badan PPSDMK menggunakan
pendekatan tenaga kesehatan yang melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya. Berdasarkan
pendekatan tersebut, pada tahun 2013 jumlah SDM Kesehatan yang tercatat sebanyak 877.088
orang yang terdiri atas 681.634 tenaga kesehatan dan 195.454 tenaga non kesehatan. Tenaga
kesehatan terdiri atas 90.444 tenaga medis (dokter spesialis, dokter umum dan dokter gigi),
288.405 perawat, 137.110 bidan, 40.181 tenaga farmasi, dan 125.494 tenaga kesehatan lainnya.
Rincian lengkap mengenai rekapitulasi sumber daya manusia kesehatan menurut jenis tenaga
dapat dilihat pada Lampiran 3.1.
Sedangkan pendataan tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Sekretariat Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) menggunakan pendekatan jumlah dokter/dokter spesialis, dokter

Tenaga Kesehatan 51
gigi/dokter gigi spesialis yang mempunyai Surat Tanda Registrasi (STR). Berdasarkan hal
tersebut, jumlah dokter umum di Indonesia berjumlah 94.727. Berdasarkan jumlah dokter dan
jumlah penduduk disusun rasio dokter per 100.000 penduduk. Rasio dokter umum di Indonesia
pada tahun 2013 sebesar 38,1 dokter umum per 100.000 penduduk. Rasio dokter umum
terhadap jumlah penduduk menurut provinsi pada tahun 2013 terlihat pada Gambar 3.1 berikut
ini.

GAMBAR 3.1
RASIO DOKTER UMUM TERHADAP 100.000 PENDUDUK DI INDONESIA
TAHUN 2013

Sumber : Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia, Kemenkes RI, 2014

Provinsi dengan rasio dokter umum terhadap 100.000 penduduk tertinggi terdapat di
Provinsi DKI Jakarta sebesar 155,5 dan Sulawesi Utara sebesar 83,3. Sedangkan rasio dokter
umum per 100.000 penduduk terendah terdapat di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 8,8 dan
Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 10,5 dokter umum per 100.000 penduduk. Jumlah
dokter gigi pada tahun 2013 tercatat sebanyak 24.598 dan jumlah dokter gigi spesialis sebesar
2.182 orang. Rasio dokter gigi per 100.000 penduduk sebesar 9,9 dokter gigi per 100.000
penduduk. Rincian lengkap mengenai jumlah tenaga dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan
dokter gigi spesialis yang mempunyai STR dapat dilihat pada Lampiran 3.5.
Jenis tenaga kesehatan berikutnya adalah tenaga keperawatan, yang terdiri dari tenaga
perawat dan bidan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.02/MENKES/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat, perawat
adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jumlah perawat pada
tahun 2013 tercatat sebanyak 288.405 orang. Rasio perawat terhadap jumlah penduduk
menurut provinsi pada tahun 2013 terlihat pada Gambar 3.2 berikut ini.

52 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 3.2
RASIO PERAWAT TERHADAP 100.000 PENDUDUK DI INDONESIA
TAHUN 2013

Sumber : Badan PPSDM Kesehatan, Kemenkes RI, 2014

Rasio perawat terhadap penduduk sebesar 116,1 perawat per 100.000 penduduk.
Provinsi dengan rasio tertinggi terdapat di Papua Barat sebesar 320,1 perawat per 100.000
penduduk, Maluku sebesar 305,2 perawat per 100.000 penduduk dan Maluku Utara sebesar
280,1 perawat per 100.000 penduduk. Provinsi dengan rasio perawat terendah terdapat di
Sumatera Utara sebesar 65,7 perawat per 100.000 penduduk, Jawa Barat sebesar 68,2 perawat
per 100.000 penduduk dan Banten sebesar 68,4 perawat per 100.000 penduduk.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 369/MENKES/SK/III/2007
tentang Standar Profesi Bidan, bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan
bidan yang diakui oleh pemerintah dan organisasi profesi di wilayah negara Republik Indonesia
serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk di register, sertifikasi dan atau secara sah
mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan. Bidan diakui sebagai tenaga
profesional yang bertanggung jawab dan akuntabel, yang bekerja sebagai mitra perempuan
untuk memberikan dukungan, asuhan dan nasihat selama hamil, masa kehamilan dan masa
nifas, memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan asuhan kepada bayi
baru lahir dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal,
deteksi komplikasi pada ibu dan anak, akses bantuan medis atau bantuan lain yang sesuai, serta
melaksanakan tindakan kegawatdaruratan.
Jumlah bidan di Indonesia pada tahun 2013 tercatat sebanyak 137.110 orang, dengan
rasio bidan terhadap penduduk sebesar 55,2 bidan per 100.000 penduduk. Rasio bidan
terhadap jumlah penduduk menurut provinsi pada tahun 2013 terlihat pada Gambar 3.3.
Provinsi dengan rasio bidan terhadap penduduk tertinggi tertinggi terdapat di Aceh
sebesar 204,3 bidan per 100.000 penduduk, Bengkulu sebesar 141,7 bidan per 100.000
penduduk dan Papua Barat sebesar 105,7 bidan per 100.000 penduduk. Rasio bidan terhadap
penduduk terendah terdapat di DKI Jakarta sebesar 28,8 bidan per 100.000 penduduk, Jawa
Barat sebesar 29,2 bidan per 100.000 penduduk dan Banten sebesar 30,5 bidan per 100.000

Tenaga Kesehatan 53
penduduk. Jumlah sumber daya manusia kesehatan tahun 2013 menurut provinsi dapat dilihat
pada Lampiran 3.1.

GAMBAR 3.3
RASIO BIDAN TERHADAP 100.000 PENDUDUK DI INDONESIA
TAHUN 2013

Sumber : Badan PPSDM Kesehatan, Kemenkes RI, 2014

1. Tenaga Kesehatan di Puskesmas


Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat
pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Kinerja dari puskesmas sangat
dipengaruhi ketersediaan sumber daya manusia yang dimiliki, terutama ketersediaan tenaga
kesehatan. Pada tahun 2013, terdapat 349.198 orang yang bertugas di puskesmas dengan
rincian 314.363 tenaga kesehatan dan 34.835 tenaga non kesehatan. Dari seluruh jumlah tenaga
kesehatan, dokter umum yang bertugas di puskesmas sebanyak 17.767 orang, dengan rasio 1,84
dokter umum per puskesmas. Rasio dokter umum di puskesmas terhadap jumlah puskesmas
tahun 2013 menurut provinsi dapat dilihat pada Gambar 3.4.
Rasio dokter umum terhadap puskesmas tertinggi terdapat di Provinsi Kepulauan Riau
sebesar 4,6 dokter umum per puskesmas, DI Yogyakarta sebesar 3,02 dokter umum per
puskesmas dan Riau sebesar 2,79 dokter umum per puskesmas. Rasio dokter umum per
puskesmas terendah terdapat di Provinsi Papua Barat sebesar 0,43 dokter umum per
puskesmas, Sulawesi Tenggara sebesar 1 dokter umum per puskesmas dan Papua sebesar 1,01
dokter umum per puskesmas.

54 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 3.4
RASIO DOKTER UMUM DI PUSKESMAS TERHADAP JUMLAH PUSKESMAS
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber : Badan PPSDM Kesehatan, Kemenkes RI, 2014

Jumlah dokter spesialis di puskesmas di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 135 orang.
Jumlah tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 34 orang dan Jawa Timur sebesar 31
orang. Jumlah dokter gigi yang bertugas di puskesmas pada tahun 2013 sebanyak 6.883 orang.
Bila dibandingkan dengan jumlah seluruh puskesmas di Indonesia (9.655) maka dapat diartikan
bahwa belum seluruh puskesmas memiliki dokter gigi. Sedangkan jumlah perawat gigi di
Indonesia sebesar 10.150 orang. Jumlah tenaga kesehatan di puskesmas di sajikan dalam
Gambar 3.5 berikut.

GAMBAR 3.5
JUMLAH TENAGA KESEHATAN MENURUT JENIS DI PUSKESMAS
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber : Badan PPSDM Kesehatan, Kemenkes RI, 2014

Tenaga Kesehatan 55
Jumlah perawat di seluruh puskesmas sebanyak 115.747 orang, sehingga rata-rata tiap
puskesmas memiliki 12 orang perawat. Jumlah perawat gigi sebesar 10.150 orang perawat gigi.
Jumlah tenaga bidan sebanyak 102.176 orang, sehingga rata-rata tiap puskesmas memiliki 11
orang bidan. Rincian jumlah tenaga kesehatan di puskesmas dapat dilihat pada Lampiran 3.2.

2. Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/MENKES/PER/III/2010 tentang
Klasifikasi Rumah Sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Sumber daya manusia kesehatan
memegang peranan penting dalam pelayanan kesehatan. Sumber daya manusia kesehatan yang
bertugas di rumah sakit pada tahun 2013 berjumlah 458.340 orang dengan rincian 319.707
tenaga kesehatan dan 138.633 tenaga non kesehatan.

GAMBAR 3.6
JUMLAH TENAGA KESEHATAN MENURUT JENIS DI RUMAH SAKIT
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber : Badan PPSDM Kesehatan, Kemenkes RI, 2014

Dari seluruh jumlah tenaga kesehatan, dokter spesialis yang bertugas di rumah sakit
sebanyak 36.081 orang, dengan rata-rata 16 dokter spesialis per rumah sakit; dokter umum
yang bertugas di rumah sakit sebanyak 21.283 orang, dengan rata-rata 10 dokter umum per
rumah sakit dan dokter gigi yang bertugas di rumah sakit sebanyak 4.295 orang, dengan rata-
rata 2 dokter gigi per rumah sakit. Perawat yang bertugas di rumah sakit sebanyak 164.309
orang, dengan rata-rata 74 perawat per rumah sakit dan bidan yang bertugas di rumah sakit
sebanyak 31.254 orang, dengan rata-rata 14 bidan per rumah sakit. Rincian jumlah tenaga
kesehatan di rumah sakit pemerintah dapat dilihat pada Lampiran 3.4.

B. TENAGA KESEHATAN DENGAN STATUS PEGAWAI TIDAK TETAP


(PTT)
Permasalahan distribusi tenaga kesehatan masih merupakan isu yang sampai saat ini
masih ada dalam sistem kesehatan di Indonesia. Indonesia mempunyai ciri geografis yang
khusus antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya dan keadaan sosial ekonomi yang
menunjukkan perbedaan yang cukup tinggi ditambah dengan desentralisasi yang belum mampu

56 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


menunjukkan hasil yang diharapkan dalam menyelesaikan permasalahan pemerataan tenaga
kesehatan, terutama pada daerah sangat terpencil, terpencil dan perbatasan.
Pemenuhan tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan terutama puskesmas dan
jaringannya pada daerah terpencil/sangat terpencil, tertinggal, perbatasan dan kepulauan
(DTPK) serta daerah bermasalah kesehatan (DBK), salah satunya diisi dengan cara
pengangkatan Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan Penugasan Khusus.
Pemenuhan tenaga kesehatan dengan status PTT terdiri dari dokter umum, dokter gigi,
dokter spesialis, dokter gigi spesialis dan bidan. Konstribusi yang diberikan cukup besar
pengaruhnya dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Sampai dengan 31 Desember
2013 tercatat sebanyak 46.512 tenaga kesehatan PTT Pusat yang masih aktif bertugas dengan
komposisi dokter spesialis dan dokter gigi spesialis sejumlah 56 orang, dokter umum sejumlah
3.153 orang, dokter gigi sejumlah 1.168 orang dan bidan sejumlah 42.135 orang.

GAMBAR 3.7
JUMLAH DOKTER UMUM PTT, DOKTER GIGI PTT DAN BIDAN PTT AKTIF
MENURUT KRITERIA WILAYAH DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Biro Kepegawaian, Kemenkes RI, 2014

Pada Gambar 3.7, tahun 2013 dapat dilihat jumlah tenaga PTT terutama untuk dokter
umum dan dokter gigi terbesar ada pada daerah dengan kriteria sangat terpencil dan terpencil.
Dokter PTT di di daerah sangat terpencil berjumlah 1.815 orang, daerah terpencil berjumlah
1.112 orang dan dokter PTT di daerah biasa hanya 226 orang. Jumlah dokter gigi PTT aktif di
daerah sangat terpencil dan terpencil juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah di
daerah biasa. Jumlah dokter gigi di daerah sangat terpencil berjumlah 628 orang, daerah
terpencil berjumlah 495 orang sedangkan di daerah biasa hanya berjumlah 45 orang.
Hal berbeda terjadi pada tenaga bidan PTT aktif. Jumlah bidan PTT di daerah biasa lebih
besar jika dibandingkan dengan daerah terpencil atau daerah sangat terpencil. Jumlah bidan di
daerah biasa berjumlah 21.452 orang, sedangkan jumlah bidan di daerah terpencil berjumlah
11.991 orang dan daerah sangat terpencil berjumlah 8.692 orang. Rincian lengkap mengenai
jumlah dokter/dokter gigi spesialis PTT, dokter umum PTT, dokter gigi PTT, bidan PTT aktif
menurut kriteria wilayah dan provinsi di Indonesia tahun 2013 dapat dilihat di Lampiran 3.7
s.d. 3.10.
Pada tahun 2013 telah diangkat tenaga kesehatan PTT untuk daerah dengan kriteria
biasa, terpencil, dan sangat terpencil sebanyak 15.931 orang, yang terdiri dari dokter spesialis

Tenaga Kesehatan 57
dan dokter gigi spesialis PTT sejumlah 57 orang, dokter umum PTT sejumlah 3.075 orang,
dokter gigi PTT sebanyak 1.169 orang dan bidan PTT sejumlah 11.630 orang.

GAMBAR 3.8
JUMLAH PENGANGKATAN DOKTER/DOKTER GIGI SPESIALIS, DOKTER UMUM,
DOKTER GIGI DAN BIDAN SEBAGAI PEGAWAI TIDAK TETAP (PTT)
MENURUT KRITERIA WILAYAH DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Biro Kepegawaian, Kemenkes RI, 2014

Gambar 3.8 menunjukkan jumlah pengangkatan tenaga kesehatan PTT didaerah biasa,
terpencil dan sangat terpencil pada tahun 2013 untuk tenaga dokter/dokter gigi spesialis,
dokter umum, dokter gigi dan bidan. Jumlah pengangakatan dokter/dokter gigi spesialis hanya
ada pada daerah terpencil, sebesar 57 orang. Jumlah pengangkatan dokter umum dan dokter
gigi terbesar pada daerah sangat terpenci. Pada pengangkatan bidan, lebih banyak di daerah
biasa dibandingkan dengan daerah terpencil dan sangat terpencil. Rincian lengkap mengenai
jumlah pengangkatan dokter/dokter gigi spesialis, dokter umum, dokter gigi dan bidan dapat
dilihat pada Lampiran 3.12 s.d. 3.15.

C. TENAGA KESEHATAN DENGAN STATUS PENUGASAN KHUSUS


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penugasan
Khusus Tenaga Kesehatan, penugasan khusus adalah pendayagunaan secara khusus tenaga
kesehatan dalam kurun waktu tertentu guna meningkatkan akses dan mutu pelayanan
kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan di Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan,
Daerah Bermasalah Kesehatan serta Rumah Sakit Kelas C dan Kelas D di kabupaten yang
memerlukan pelayanan medik spesialistik. Jenis tenaga kesehatan yang dapat diangkat dalam
penugasan khusus pada fasilitas pelayanan kesehatan terdiri dari Residen dan tenaga kesehatan
dengan pendidikan diploma III.
Residen merupakan dokter/dokter gigi yang sedang menempuh pendidikan dokter
spesialis/dokter gigi spesialis. Tenaga kesehatan dengan pendidikan diploma III terdiri dari
bidan, perawat, sanitarian, tenaga gizi, dan analis kesehatan. Tenaga kesehatan penugasan
khusus ditempatkan pada (1) Puskesmas dan jejaringnya, (2) Rumah Sakit Kelas C dan Kelas D
yang telah memiliki peralatan kesehatan, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi serta fasilitas
lain sesuai kebutuhan medik spesialistik (tidak termasuk Rumah Sakit Bergerak), (3) Rumah
Sakit yang membutuhkan jenis pelayanan medik spesialistik tertentu.

58 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Selama tahun 2013 telah dilakukan pengangkatan penugasan khusus sebanyak 2.379
orang, yang terdiri dari 873 residen, 927 perawat, 203 tenaga gizi, 181 tenaga kesehatan
lingkungan, 105 analis kesehatan, 15 bidan, 52 farmasi, 20 tenaga kesehatan gigi, 1 fisioterapis,
1 radiografer dan 1 perekam dan info kesehatan. Jumlah penugasan khusus tenaga kesehatan
terbesar terdapat di Provinsi Aceh sebanyak 290 orang, Provinsi Sulawesi Tenggara sebanyak
249 orang dan Provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 229 orang. Sedangkan jumlah
penugasan khusus tenaga kesehatan tidak terdapat di Provinsi DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
Secara lengkap, jumlah pengangkatan tenaga residen dan tenaga penugasan khusus dapat
dilihat pada Lampiran 3.16.

D. REGISTRASI TENAGA KESEHATAN


Registrasi tenaga kesehatan (selain tenaga medis dan kefarmasian) diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 161/Menkes/Per/I/2010 dan direvisi dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1796/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan.
Setiap tenaga kesehatan yang akan menjalankan pekerjaannya wajib memiliki Surat Tanda
Registrasi (STR). STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga
kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. Untuk mendapatkan STR, tenaga kesehatan harus memiliki ijazah dan sertifikat
kompetensi. STR berlaku selama lima tahun dan dapat diperpanjang setiap lima tahun. Rincian
jumlah tenaga kesehatan (selain tenaga medis dan kefarmasian) yang telah memiliki STR
menurut provinsi terdapat pada Lampiran 3.6.
Registrasi tenaga medis diatur pelaksanaannya dalam Undang Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran. Praktik kedokteran bertujuan memberikan perlindungan
kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh
dokter dan dokter gigi, dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Setiap dokter
dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki Surat Tanda
Registrasi (STR) dokter dan STR dokter gigi termasuk dokter dan dokter gigi lulusan luar
negeri. STR dokter dan dokter gigi diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan
berlaku selama lima tahun dan diregistrasi ulang setiap lima tahun sekali.
Data yang tercatat di KKI sampai dengan 31 Desember 2013 yaitu dokter dan dokter gigi
yang memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sejumlah 146.048 orang yang terdiri dari dokter
umum 94.727 orang, dokter spesialis 24.541 orang, dokter gigi 24.598 orang dan dokter gigi
spesialis 2.182 orang. Dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri yang akan melaksanakan
praktik kedokteran di Indonesia juga harus memiliki STR sementara atau STR bersyarat. STR
sementara diberikan kepada dokter dan dokter gigi Warga Negara Asing (WNA) yang akan
melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan di
bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di Indonesia. STR sementara
berlaku selama satu tahun dan dapat diperpanjang untuk satu tahun berikutnya. STR bersyarat
diberikan kepada peserta program pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis WNA
yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di Indonesia. Sampai dengan akhir tahun 2013, data
STR dokter dan dokter gigi WNA, yaitu STR sementara sebanyak delapan orang dan STR
bersyarat sebanyak dua belas orang.
Registrasi tenaga kefarmasian diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.
Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat tanda
registrasi. Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang
terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan

Tenaga Kesehatan 59
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Surat
Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dan Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian
(STRTTK) berlaku selama 5 (lima) tahun. Surat tanda registrasi juga diperlukan untuk apoteker
warga negara asing lulusan luar negeri yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian di
Indonesia (surat tanda registrasi apoteker khusus/STRA Khusus). STRA, STRTTK dan STRA
Khusus dikeluarkan oleh Komite Farmasi Nasional.

***

60 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


PEMBIAYAAN KESEHATAN

Penyelenggaraan pembangunan kesehatan memerlukan komponen pembiyaan. Undang-


Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa pembiayaan kesehatan
bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah
yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan. Pembiayaan kesehatan terdiri dari
pembiayaan bersumber pemerintah dan pembiayaan bersumber masyarakat.

A. ANGGARAN KEMENTERIAN KESEHATAN


Alokasi anggaran kesehatan yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan pada tahun
2014 sebesar 38,64 trilyun rupiah dengan realisasi sebesar 35,42 trilyun rupiah. Besar alokasi
maupun realisasi anggaran mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2012, yaitu alokasi
sebesar 33,29 trilyun rupiah dengan realisasi sebesar 30,66 trilyun rupiah . Meskipun dalam hal
besaran anggaran mengalami peningkatan, namun persentase realisasi tahun 2103 mengalami
penurunan dibandingkan tahun 2012, yaitu 92,08% pada tahun 2012 menjadi 91,66% pada
tahun 2013.

GAMBAR 4.1
ALOKASI DAN REALISASI ANGGARAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TAHUN 2008 2013

Sumber : Biro Keuangan dan BMN, Kemenkes RI, 2014

Gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat peningkatan alokasi dan realisasi


anggaran Kementerian Kesehatan dalam lima tahun terakhir. Pada Tahun 2008 Kementerian
Kesehatan RI memiliki alokasi anggaran sebesar 18,55 trilyun rupiah dengan realisasi 15,89
trilyun rupiah dan persentase realisasi sebesar 85,62%, jumlah tersebut meningkat pada tahun
2013 menjadi 38,64 trilyun rupiah dengan realisasi sebesar 35,42 trilyun rupiah dan persentase
realisasi sebesar 91,66%.

Pembiayaan Kesehatan 63
Distribusi anggaran Kementerian Kesehatan RI menurut unit kerja eselon I
menunjukkan bahwa alokasi terbesar terdapat pada Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
(Ditjen BUK) sebesar 25,27 trilyun rupiah, sedangkan alokasi terendah untuk Inspektorat
Jenderal sebesar 96,08 miliar rupiah. Anggaran yang dialokasikan pada Ditjen BUK tersebut
didistribusikan pada 429 satuan kerja (kantor pusat, kantor daerah, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan), sedangkan anggaran yang dialokasikan pada Inspektorat Jenderal hanya untuk
satu Satuan Kerja (Satker). Unit Eselon I dengan persentase realisasi anggaran tertinggi adalah
Badan Litbangkes sebesar 95,01%, sedangkan realisasi terendah adalah Inspektorat Jenderal
dengan persentase realisasi sebesar 79,66%. Data dan Informasi mengenai alokasi dan realisasi
anggaran Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2013 terdapat pada Lampiran 4.1.

B. ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) BIDANG


KESEHATAN
Pembiayaan kesehatan harus mampu menjamin kesinambungan jumlah yang
mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna
sehingga pembangunan kesehatan demi meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-
tingginya dapat terlaksana. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah,
pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan sumber lain.
Sesuai Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, anggaran
kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki alokasi minimal sepuluh
persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di luar gaji (belanja
pegawai). Persentase anggaran kesehatan Pemerintah Daerah Provinsi terhadap total APBD di
33 provinsi di Indonesia disajikan pada Gambar berikut.

GAMBAR 4.2
PERSENTASE ANGGARAN KESEHATAN TERHADAP APBD
MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Biro Perencanaan dan Anggaran, Kemkes, 2013

64 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Persentase anggaran kesehatan Pemda Provinsi terhadap total APBD di atas termasuk
dengan gaji pegawai. Pada gambar di atas terdapat tujuh provinsi dengan persentase melebihi
sepuluh persen. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2012 ketika hanya 6 provinsi
dengan persentase anggaran kesehatan di atas sepuluh persen. Tujuh provinsi dengan
persentase anggaran kesehatan di atas sepuluh persen pada tahun 2013 yaitu Kalimantan
Selatan, Bali, Jawa Timur, Bengkulu, Sumatera Barat, DKI Jakarta, dan Maluku. Sedangkan 26
provinsi lainnya memiliki anggaran kesehatan pada APBD provinsinya kurang dari sepuluh
persen. Data dan informasi lebih rinci mengenai APBD provinsi pada tahun 2013 terdapat pada
Lampiran 4.2.

C. JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT


Sampai dengan Desember 2013 terdapat 181.292.912 orang yang memiliki jaminan
kesehatan dengan persentase terhadap jumlah penduduk sebesar 76,18%. Jumlah ini lebih
tinggi dibandingkan tahun 2012 ketika terdapat 163.547.921 orang yang memiliki jaminan
kesehatan atau sebesar 66,82% terhadap jumlah penduduk. Salah satu program jaminan
kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah adalah Jamkesmas.
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) diselenggarakan untuk meningkatkan
akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan hampir miskin
agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Jamkesmas
diharapkan dapat menurunkan angka kematian ibu, menurunkan angka kematian bayi dan
balita serta menurunkan angka kelahiran di samping dapat terlayaninya kasus-kasus kesehatan
bagi masyarakat miskin. Program ini telah memberikan banyak manfaat bagi peningkatan akses
pelayanan kesehatan masyarakat miskin dan hampir miskin di puskesmas dan jaringannya,
pelayanan kesehatan di rumah sakit serta memberikan perlindungan finansial dari pengeluaran
kesehatan akibat sakit.
Penduduk yang menjadi sasaran program Jamkesmas adalah tetap sejak tahun 2008,
yaitu sebanyak 76,4 juta jiwa yang terdiri dari masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak
mampu. Jumlah tersebut terdiri atas 73.726.290 jiwa kepesertaan berdasarkan Surat Keputusan
(SK) Bupati/Walikota dan selebihnya adalah peserta di luar SK Bupati/Walikota yang berjumlah
2.673.710 jiwa. Kepesertaan di luar SK Bupati/Walikota terdiri dari gelandangan, pengemis,
anak terlantar, panti sosial, penghuni rutan/lapas, korban bencana pasca tanggap darurat,
peserta program keluarga harapan (PKH), dan penderita thalasemia mayor.
Cakupan program Jamkesmas terdiri dari pelayanan kesehatan dasar di puskesmas dan
pelayanan kesehatan rujukan di rumah sakit. Kunjungan di pelayanan kesehatan di Puskesmas
terdiri dari Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) dan Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP).
Sedangkan kunjungan di pelayanan kesehatan di Rumah Sakit terdiri dari Rawat Jalan Tingkat
Lanjut (RJTL) dan Rawat Inap Tingkat Lanjut (RITL). Gambar berikut ini menyajikan jumlah
kunjungan peserta Jamkesmas di puskesmas dan rumah sakit.

Pembiayaan Kesehatan 65
GAMBAR 4.3
JUMLAH KUNJUNGAN
RJTP, RITP, RJTL & RITL DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber : Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kemenkes RI, 2013

Pada gambar di atas nampak bahwa jumlah kunjungan rawat jalan pada tingkat pertama
jauh lebih besar dibandingkan rawat inap. Pola yang sama juga nampak pada layanan kesehatan
tingkat lanjut di rumah sakit, yaitu jumlah kunjungan rawat jalan lebih besar dibandingkan
rawat inap.
Pada tahun 2013, terdapat 76,29 juta kunjungan peserta jamkesmas ke pelayanan
kesehatan rawat jalan, yang terdiri dari 69,51 juta kunjungan rawat jalan tingkat pertama dan
6,78 juta kunjungan rawat jalan tingkat lanjut. Sedangkan gambaran pada pelayanan kesehatan
rawat inap adalah sebanyak 5,12 juta yang terdiri dari 3,48 juta kunjungan rawat inap tingkat
pertama dan 1,64 juta kunjungan rawat inap tingkat lanjut. Jumlah kunjungan di pelayanan
kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjut pada tahun 2013 lebih tinggi dibandingkan jumlah
kunjungan pada tahun 2012 seperti yang terdapat pada gambar berikut.

GAMBAR 4.4
JUMLAH KUNJUNGAN
RJTP, RITP, RJTL & RITL DI INDONESIA TAHUN 2009-2013

Sumber : Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kemenkes RI, 2013

66 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Sejak tahun 2011 telah dilakukan perluasan program Jamkesmas dengan
diluncurkannya Jaminan Persalinan (Jampersal) sesuai dengan surat edaran Menkes RI Nomor
TU/Menkes/E/391/II/2011 tentang Jaminan Persalinan. Jampersal adalah pembiayaan
pelayanan persalinan yang meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan
nifas termasuk pelayanan KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir. Jampersal
melingkupi seluruh ibu yang belum memiliki jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan Jampersal
tertinggi terdapat pada pelayanan pasca persalinan sebanyak 6.828.137 kunjungan, pelayanan
pada Ante Natal Care (K1 dan K4) sebanyak 5.760.455 kunjungan, dan persalinan normal
sebanyak 2.226.845 kunjungan. Kunjungan pada ANC yang tinggi diharapkan dapat membantu
menurunkan komplikasi maternal dan neonatal serta kematian ibu dan anak melalui
pendeteksian dini kehamilan berisiko tinggi. Data dan informasi lebih rinci menurut provinsi
mengenai cakupan pelayanan Jamkesmas dan Jampersal terdapat pada Lampiran 4.4, 4.5 4.6,
4.7, dan 4.8.

D. BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN


Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) merupakan bantuan dana dari Pemerintah
melalui Kementerian Kesehatan RI dalam membantu pemerintahan kabupaten/kota untuk
meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat melalui kegiatan
Puskesmas untuk mendukung tercapainya target Millennium Development Goals (MDGs) bidang
kesehatan tahun 2015. Selain itu diharapkan dengan bantuan ini dapat meningkatkan kualitas
manajemen Puskesmas, terutama dalam perencanaan tingkat Puskesmas dan lokakarya mini
Puskesmas, meningkatkan upaya untuk menggerakkan potensi masyarakat dalam
meningkatkan derajat kesehatannya, dan meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan yang
bersifat promotif dan preventif yang dilakukan oleh Puskesmas dan jaringannya serta
Poskesdes dan Posyandu.
Pemanfaatan dana BOK difokuskan pada beberapa upaya kesehatan promotif dan
preventif meliputi KIA, KB, imunisasi, perbaikan gizi masyarakat, promosi kesehatan, kesehatan
lingkungan dan pengendalian penyakit, dan upaya kesehatan lain sesuai risiko dan masalah
utama kesehatan di wilayah setempat dengan tetap mengacu pada pencapaian target Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan serta target MDGs Bidang Kesehatan tahun 2015.
Pada proses pelaksanaan, penyaluran dana BOK melalui Tugas Pembantuan
telah dilakukan berbagai upaya penyempurnaan. Realisasi pemanfaatan dana BOK pada tahun
2013 sebesar Rp 1.096.020.049.109 dari alokasi sebesar Rp 1.113.255.075.000 dengan
persentase realisasi 98,45%. Realisasi tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun 2012 yang
sebesar 96,7%.

Pembiayaan Kesehatan 67
GAMBAR 4.5
PERSENTASE PENYERAPAN DANA BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN (BOK)
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber : Ditjen. BinaGizi dan KIA, Kemenkes RI, 2013

Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa Provinsi Bengkulu memiliki penyerapan
dana BOK tertinggi sebesar 99,92% dan Provinsi Kalimantan Timur memiliki penyerapan
terendah sebesar 89,6%. Pada tahun 2013, terdapat 8 provinsi dengan realisasi lebih rendah
dari persentase penyerapan nasional. Data dan informasi mengenai alokasi serta realisasi dana
BOK menurut provinsi tahun 2013 terdapat pada Lampiran 4.3..
BOK merupakan salah satu program strategis Kementerian Kesehatan RI disamping
Jamkesmas/Jampersal sehingga terus diupayakan perbaikan agar BOK dimanfaatkan dengan
optimal oleh Puskesmas. Dinas kesehatan provinsi sebagai perpanjangan tangan Kementerian
Kesehatan juga memiliki peran serta yaitu melakukan pembinaan dan evaluasi pelaksanaan
BOK di kabupaten/kota. Dengan kehadiran BOK diharapkan petugas kesehatan/kader
kesehatan tidak lagi mengalami kendala dalam melakukan kegiatan untuk mendekatkan akses
pada masyarakat. Hal penting yang perlu dipahami, BOK bukan merupakan dana utama
penyelenggaraan upaya kesehatan di kabupaten/kota, namun hanya dana tambahan yang
bersifat bantuan sehingga tidak dapat menjawab semua permasalahan kesehatan. Sumber
pembiayaan kesehatan yang utama tetap harus disediakan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota.

***

68 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


KESEHATAN KELUARGA

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari sekelompok orang
yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dan biasanya memiliki
hubungan darah atau perkawinan, dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga memiliki
fungsi yang sangat strategis dalam mempengaruhi status kesehatan diantara anggotanya.
Diantara fungsi keluarga dalam tatanan masyarakat yaitu memenuhi kebutuhan gizi dan
merawat serta melindungi kesehatan para anggotanya.
Anak dan ibu merupakan dua anggota keluarga yang perlu mendapatkan prioritas
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Penilaian terhadap status kesehatan dan kinerja
upaya kesehatan ibu dan anak penting untuk dilakukan. Hal tersebut disebabkan Angka
Kematian Ibu dan Anak merupakan dua indikator yang peka terhadap kualitas fasilitas
pelayanan kesehatan. Kualitas fasilitas pelayanan kesehatan yang dimaksud termasuk
aksesibilitas terhadap fasilitas pelayanan kesehatan itu sendiri.

A. KESEHATAN IBU
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka
kematian ibu (yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas) sebesar 359 per
100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih cukup tinggi apalagi jika dibandingkan dengan
negaranegara tetangga.
Sejak tahun 1990 upaya strategis yang dilakukan dalam upaya menekan Angka
Kematian Ibu (AKI) adalah dengan pendekatan safe motherhood, dengan menganggap bahwa
setiap kehamilan mengandung risiko, walaupun kondisi kesehatan ibu sebelum dan selama
kehamilan dalam keadaan baik. Di Indonesia Safe Motherhood initiative ditindaklanjuti dengan
peluncuran Gerakan Sayang Ibu di tahun 1996 oleh Presiden yang melibatkan berbagi sektor
pemerintahan di samping sektor kesehatan. Salah satu program utama yang ditujukan untuk
mengatasi masalah kematian ibu adalah penempatan bidan di tingkat desa secara besar-
besaran yang bertujuan untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir
ke masyarakat. Di tahun 2000, Kementerian Kesehatan RI memperkuat strategi intervensi
sektor kesehatan untuk mengatasi kematian ibu dengan mencanangkan strategi Making
Pregnancy Safer. Pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program Expanding
Maternal and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan
neonatal sebesar 25%. Program ini dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah
kematian ibu dan neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi-provinsi tersebut dikarenakan
52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia berasal dari enam provinsi tersebut.
Sehingga dengan menurunkan angka kematian ibu di enam provinsi tersebut diharapkan akan
dapat menurunkan angka kematian ibu di Indonesia secara signifikan.
Upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian neonatal melalui program
EMAS dilakukan dengan cara:

Kesehatan Keluarga 71
Meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir minimal di 150
rumah sakit (PONEK) dan 300 Puskesmas/Balkesmas (PONED).
Memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar Puskesmas dan Rumah Sakit.
Selain itu, pemerintah bersama masyarakat juga bertanggung jawab untuk menjamin
bahwa setiap ibu memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas, mulai dari
saat hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih, dan perawatan pasca
persalinan bagi ibu dan bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi komplikasi, dan
memperoleh cuti hamil dan melahirkan serta akses terhadap keluarga berencana. Di samping
itu, pentingnya melakukan intervensi lebih ke hulu yakni kepada kelompok remaja dan dewasa
muda dalam upaya percepatan penurunan AKI.

1. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil


Pelayanan kesehatan ibu hamil diwujudkan melalui pemberian pelayanan antenatal
sekurang-kurangnya 4 kali selama masa kehamilan, dengan distribusi waktu minimal 1 kali
pada trimester pertama (usia kehamilan 0-12 minggu), minimal 1 kali pada trimester kedua
(usia kehamilan 12-24 minggu), dan minimal 2 kali pada trimester ketiga (usia kehamilan
24minggu - lahir). Standar waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan
terhadap ibu hamil dan atau janin, berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan dan
penanganan dini komplikasi kehamilan.
Pelayanan antenatal diupayakan agar memenuhi standar kualitas, yaitu :
a) Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan;
b) Pengukuran tekanan darah;
c) Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA);
d) Pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri);
e) Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus toksoid sesuai
status imunisasi;
f) Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan;
g) Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ);
h) Pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling, termasuk
keluarga berencana);
i) Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobin darah (Hb),
pemeriksaan protein urin dan pemeriksaan golongan darah (bila belum pernah
dilakukan sebelumnya); dan
j) Tatalaksana kasus.
Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan menggunakan indikator
Cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan
antenatal pertama kali oleh tenaga kesehatan, dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu
wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Sedangkan Cakupan K4 adalah jumlah ibu hamil
yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit 4 kali sesuai
jadwal yang dianjurkan, dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada
kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut memperlihatkan akses pelayanan kesehatan
terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke
tenaga kesehatan.
Gambaran kecenderungan cakupan K1 dan K4 sejak tahun 2004 hingga tahun 2013
dapat dilihat pada gambar 5.1.

72 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 5.1
CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN IBU HAMIL K1 DAN K4 DI INDONESIA TAHUN 2004 2013

Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Pada gambar 5.1 di atas terlihat bahwa secara umum cakupan pelayanan kesehatan ibu
hamil K1 dan K4 mengalami kenaikan. Cakupan K1 dan K4 yang secara umum mengalami
kenaikan tersebut menunjukkan semakin baiknya akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan ibu hamil yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Dari gambar tersebut juga dapat
dilihat bahwa kenaikan cakupan K1 dari tahun ke tahun relatif lebih stabil jika dibandingkan
dengan cakupan K4. Cakupan K1 selalu mengalami peningkatan, kecuali di tahun 2013 dimana
angkanya mengalami penurunan dari 96,84% pada tahun 2012 menjadi 95,25% pada tahun
2013. Hal itu sedikit berbeda dengan cakupan K4 yang pernah mengalami kenaikan yang cukup
signifikan dari 80,26% pada 2007 menjadi 86,04% pada 2008, namun setelah itu mengalami
penurunan menjadi 84,54% di tahun berikutnya. Kemudian setelah terus mengalami kenaikan,
cakupan K4 kembali menurun pada 2013 menjadi 86,85% dari 90,18% pada tahun sebelumnya.
Secara nasional, indikator kinerja cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K4 pada
tahun 2013 belum dapat mencapai target Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan
tahun yang sama, yakni sebesar 93%. Meski demikian, terdapat 4 (empat) provinsi yang
angkanya telah dapat mencapai target tersebut. Keempat provinsi tersebut adalah DKI Jakarta
(95,76%), Jambi (93,61%), Sumatera Selatan (93,21%), dan Bali (93,06%). Capaian pelayanan
kesehatan ibu hamil K4 dari masing-masing provinsi dapat dilihat pada gambar 5.2.

Kesehatan Keluarga 73
GAMBAR 5.2
CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN IBU HAMIL K4 MENURUT PROVINSI, TAHUN 2013

Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Pada gambar 5.2 dapat diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) provinsi yang memiliki
cakupan pelayanan ibu hamil K4 relatif rendah, yakni Papua (31,90%), Papua Barat (50,09%),
dan Nusa Tenggara Timur (61,78%). Secara nasional, cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil
K4 pada tahun 2013 adalah sebesar 86,85%.
Berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan untuk
semakin mendekatkan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat hingga
ke pelosok desa, termasuk untuk meningkatkan cakupan pelayanan antenatal. Dari segi sarana
dan fasilitas pelayanan kesehatan, hingga bulan Desember 2013, tercatat terdapat 9.655
Puskesmas di seluruh Indonesia. Dengan demikian rasio Puskesmas terhadap 30.000 penduduk
sudah melampaui rasio ideal 1:30.000 penduduk. Demikian pula dengan Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) seperti Poskesdes dan Posyandu. Sampai dengan tahun
2013, tercatat terdapat 54.731 Poskesdes yang beroperasi dan 280.225 Posyandu di Indonesia.
Upaya meningkatkan cakupan pelayanan antenatal juga makin diperkuat dengan adanya
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010 dan diluncurkannya Jaminan
Persalinan (Jampersal) sejak tahun 2011, dimana keduanya saling bersinergi. BOK dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan luar gedung, seperti pendataan, pelayanan di Posyandu,
kunjungan rumah, sweeping kasus drop out, pelaksanaan kelas ibu hamil serta penguatan
kemitraan bidan dan dukun. Sementara itu Jampersal mendukung paket pelayanan antenatal,
termasuk yang dilakukan pada saat kunjungan rumah atau sweeping, baik pada kehamilan
normal maupun kehamilan dengan risiko tinggi.
Semakin kuatnya kerja sama dan sinergi berbagai program yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat termasuk sektor swasta diharapkan dapat
mendorong tercapainya target cakupan pelayanan antenatal.

74 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 5.3
CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN IBU HAMIL K1 DAN K4 IDEAL DI INDONESIA, TAHUN 2013

Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, dan Badan Litbangkes, Kemenkes RI, 2014

Gambar 5.3 di atas memperlihatkan perbedaan antara hasil pencatatan rutin dan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan
Pengambangan Kesehatan. Untuk cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K1 ideal, data
menurut pencatatan rutin adalah 95,25%, sedangkan menurut Riskesdas 81,6%. Untuk cakupan
K4 idealnya, menurut pencatatan rutin adalah sebesar 86,85%, sedangkan menurut Riskesdas
adalah 70,4%. Perbedaan ini dikarenakan pada Riskesdas 2013, sampel penelitian adalah ibu
yang pernah hamil anak terakhir sejak 1 Januari 2010 hingga pada saat wawancara dilakukan.
Selain itu, masih terdapat perbedaan persepsi di daerah mengenai definisi operasional dari
cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K1 dan K4. Data dan informasi terkait pelayanan
kesehatan ibu hamil disajikan pada lampiran 5.1 5.6.

2. Pelayanan Kesehatan Ibu Bersalin


Upaya kesehatan ibu bersalin dilaksanakan dalam rangka mendorong agar setiap
persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih yaitu dokter spesialis kebidanan dan
kandungan (SpOG), dokter umum, dan bidan, serta diupayakan dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan. Pertolongan persalinan adalah proses pelayanan persalinan yang dimulai pada kala I
sampai dengan kala IV persalinan. Pencapaian upaya kesehatan ibu bersalin diukur melalui
indikator persentase persalinan ditolong tenaga kesehatan terlatih (Cakupan Pn). Indikator ini
memperlihatkan diantaranya tingkat kemampuan pemerintah dalam menyediakan pelayanan
persalinan berkualitas yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
Dari gambar 5.4 dapat diketahui bahwa secara umum cakupan pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan di Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya. Cakupan secara
nasional pada tahun 2013 adalah sebesar 90,88%, dimana angka ini telah dapat memenuhi
target Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2013 yakni sebesar 89%.
Sebagian besar provinsi (21 provinsi) telah dapat mencapai target renstra tersebut, dan
selebihnya yakni sebanyak 12 provinsi belum dapat mencapai target. Tiga provinsi dengan
cakupan tertinggi adalah Jawa Tengah (99,89%), Sulawesi Selatan (99,78%), dan Sulawesi Utara
(99,59%). Sedangkan tiga provinsi dengan cakupan terendah adalah Papua (33,31%), Papua
Barat (73,20%), dan Nusa Tenggara Timur (74,08%). Pada ketiga provinsi dengan cakupan
terendah tersebut, hanya Papua saja yang cakupannya mengalami penurunan dari tahun

Kesehatan Keluarga 75
sebelumnya, dua provinsi yang lain mengalami kenaikan. Cakupan pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan di provinsi Papua pada 2013 adalah 33,31%, sedangkan capaian pada tahun
sebelumnya adalah sebesar 43,54%. Selengkapnya tentang cakupan pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan di Indonesia menurut provinsi tahun 2013 disajikan pada gambar 5.5.

GAMBAR 5.4
CAKUPAN PERTOLONGAN PERSALINAN OLEH TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA
TAHUN 2004 2013

Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

GAMBAR 5.5
CAKUPAN PERTOLONGAN PERSALINAN OLEH TENAGA KESEHATAN MENURUT PROVINSI
TAHUN 2013

Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

76 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Analisis kematian ibu yang dilakukan Direktorat Bina Kesehatan Ibu pada tahun 2010
membuktikan bahwa kematian ibu terkait erat dengan penolong persalinan dan tempat/
fasilitas persalinan. Persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terbukti berkontribusi terhadap
turunnya risiko kematian ibu. Demikian pula dengan tempat/fasilitas, jika persalinan dilakukan
di fasilitas pelayanan kesehatan, juga akan semakin menekan risiko kematian ibu.
Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan tetap konsisten dalam menerapkan kebijakan
bahwa seluruh persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan dan didorong untuk dilakukan
di fasilitas pelayanan kesehatan. Kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kesehatan
menggariskan bahwa pembangunan Puskesmas harus satu paket dengan rumah dinas tenaga
kesehatan. Demikian pula dengan pembangunan Poskesdes yang harus bisa sekaligus menjadi
rumah tinggal bagi bidan di desa. Dengan disediakan rumah tinggal, maka tenaga kesehatan
termasuk bidan akan siaga di tempat tugasnya dan dapat memberikan pertolongan persalinan
setiap saat.
Untuk daerah dengan akses sulit, kebijakan Kementerian Kesehatan adalah dengan
mengembangkan program Kemitraan Bidan dan Dukun serta Rumah Tunggu Kelahiran. Para
dukun diupayakan bermitra dengan bidan dengan hak dan kewajiban yang jelas. Pemeriksaan
kehamilan dan pertolongan persalinan tidak lagi dikerjakan oleh dukun, namun dirujuk ke
bidan.
Bagi ibu hamil yang di daerah tempat tinggalnya tidak ada bidan atau jauh dari fasilitas
pelayanan kesehatan, maka menjelang hari taksiran persalinan diupayakan sudah berada di
dekat fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu di Rumah Tunggu Kelahiran. Rumah Tunggu
Kelahiran tersebut dapat berupa rumah tunggu khusus maupun di rumah sanak saudara yang
dekat dengan fasilitas pelayanan kesehatan.
Selain itu, Kementerian Kesehatan sejak tahun 2011 hingga tahun 2013 juga telah
meluncurkan Jaminan Persalinan (Jampersal) yang merupakan jaminan paket pembiayaan sejak
pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, hingga pelayanan nifas termasuk pelayanan
bayi baru lahir dan KB pasca persalinan. Penyediaan Jampersal diyakini turut meningkatkan
cakupan Pn di seluruh wilayah Indonesia. Keberhasilan pencapaian target indikator Pn
merupakan hasil dari kerja keras dan pelaksanaan berbagai program yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat termasuk sektor swasta.

GAMBAR 5.6
PROPORSI KELAHIRAN BERDASARKAN TEMPAT BERSALIN DI INDONESIA, RISKESDAS 2013

Sumber: Riskesdas 2013, Badan Litbangkes, Kemenkes RI 2014

Kesehatan Keluarga 77
Seperti terlihat pada gambar 5.6 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar
kelahiran dilakukan di Rumah Bersalin/Klinik/Praktek Tenaga Kesehatan yakni sebesar 38,0%.
Terbanyak ke dua adalah di rumah (29,6%), kemudian di Rumah Sakit (21,4%). Dari data
tersebut terlihat bahwa persalinan yang dilakukan di rumah masih cukup tinggi, dimana rumah
merupakan tempat ke dua terbanyak sebagai tempat melahirkan. Sedangkan
Polindes/Poskesdes merupakan tempat bersalin yang paling sedikit, dimana hanya 3,7% saja
yang memanfaatkannya sebagai tempat bersalin. Selain itu, sebesar 7,3% kelahiran dilakukan di
Puskesmas/Pustu.

GAMBAR 5.7
CAKUPAN PELAYANAN IBU HAMIL K4 DAN CAKUPAN PERTOLONGAN PERSALINAN
OLEH TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA TAHUN 2004 2013

Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Dari gambar 5.7 dapat dilihat bahwa meski cakupan pelayanan ibu hamil K4 secara
nasional mengalami penurunan, namun cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
mengalami kenaikan. Persentasenya bahkan melebihi cakupan K4. Hal ini menjadi tantangan
tersendiri bagi Pemerintah. Pelayanan antenatal memiliki peranan yang sangat penting, di
antaranya agar dapat dilakukan deteksi dan tata laksana dini komplikasi yang dapat timbul
pada saat persalinan. Apabila seorang ibu datang langsung untuk bersalin di tenaga kesehatan
tanpa adanya riwayat pelayanan antenatal sebelumnya, maka faktor risiko dan kemungkinan
komplikasi saat persalinan akan lebih sulit diantisipasi.

GAMBAR 5.8
PROPORSI PENOLONG PERSALINAN DENGAN KUALIFIKASI TERTINGGI
DI INDONESIA, RISKESDAS TAHUN 2013

Sumber: Riskesdas 2013, Badan Litbangkes, Kemenkes RI 2014

78 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Dalam analisis Riskesdas, penolong persalinan dinyatakan dalam penolong persalinan
kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah. Penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi
yakni apabila terdapat lebih dari satu penolong maka dipilih yang kualifikasinya paling tinggi.
Begitu juga dengan kualifikasi yang terendah. Dari gambar 5.8 terlihat bahwa penolong
persalinan dengan kualifikasi tertinggi dilakukan oleh bidan (68,6%), kemudian oleh dokter
(18,5%), lalu non tenaga kesehatan (11,8%). Namun sebanyak 0,8% kelahiran dilakukan tanpa
ada penolong, dan hanya 0,3% kelahiran saja yang ditolong oleh perawat sebagai tenaga dengan
kualifikasi tertinggi. Data dan informasi terkait pelayanan kesehatan ibu bersalin disajikan pada
lampiran 5.7 - 5.9.
Selain melalui persalinan normal, persalinan juga dapat dilakukan dengan cara bedah
perut/sesar. Pada Riskesdas 2013 ditanyakan mengenai proses persalinan yang dialami.
Gambar 5.9 menyajikan proporsi persalinan dengan bedah sesar menurut karakteristik. Dari
gambar tersebut dapat diketahui bahwa secara umum pola persalinan melalui bedah sesar
menurut karakteristik menunjukkan proporsi tertinggi pada ibu yang menyelesaikan D1-
D3/perguruan tinggi (PT) nya (25,1%), pekerjaannya sebagai pegawai (20,9%), tinggal di
perkotaan (13,8%), dan kuintil indkes kepemilikannya teratas (18,9%).

GAMBAR 5.9
PROPORSI PERSALINAN SESAR DARI KELAHIRAN PERIODE 1 JANUARI 2010
SAMPAI SAAT WAWANCARA MENURUT KARAKTERISTIK DI INDONESIA, RISKESDAS 2013

Sumber: Riskesdas 2013, Badan Litbangkes, Kemenkes RI 2014

3. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas


Nifas adalah periode mulai dari 6 jam sampai dengan 42 hari pasca persalinan.
Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan pada ibu nifas sesuai standar, yang
dilakukan sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali sesuai jadwal yang dianjurkan, yaitu pada 6 jam
sampai dengan 3 hari pasca persalinan, pada hari ke-4 sampai dengan hari ke-28 pasca
persalinan, dan pada hari ke-29 sampai dengan hari ke-42 pasca persalinan.
Jenis pelayanan kesehatan ibu nifas yang diberikan meliputi :
a) Pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, nadi, nafas, dan suhu);
b) Pemeriksaan tinggi puncak rahim (fundus uteri);
c) Pemeriksaan lokhia dan cairan per vaginam lain;
d) Pemeriksaan payudara dan pemberian anjuran ASI eksklusif;

Kesehatan Keluarga 79
e) Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kesehatan ibu nifas dan bayi
baru lahir, termasuk keluarga berencana;
f) Pelayanan keluarga berencana pasca persalinan.
Keberhasilan upaya kesehatan ibu nifas diukur melalui indikator cakupan pelayanan
kesehatan ibu nifas (Cakupan KF3). Indikator ini menilai kemampuan negara dalam
menyediakan pelayanan kesehatan ibu nifas yang berkualitas sesuai standar.

GAMBAR 5.10
CAKUPAN KUNJUNGAN NIFAS (KF3) DI INDONESIA TAHUN 2008 2013

Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa capaian cakupan kunjungan nifas (KF3) di
Indonesia dalam kurun waktu 6 tahun terakhir mengalami kenaikan. Capaian indikator KF
lengkap yang meningkat dalam 6 tahun terakhir merupakan hasil dari berbagai upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat termasuk sektor swasta. Program penempatan
Pegawai Tidak Tetap (PTT) untuk dokter dan bidan terus dilaksanakan. Selain itu, dengan
diluncurkannya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010, Puskesmas,
Poskesdes, dan Posyandu lebih terbantu dalam mengintensifkan implementasi upaya kesehatan
termasuk di dalamnya pelayanan kesehatan ibu nifas, di antaranya kegiatan sweeping atau
kunjungan rumah bagi yang tidak datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. Dukungan
Pemerintah makin meningkat sejak diluncurkannya Jampersal pada tahun 2011, dimana
pelayanan nifas termasuk paket manfaat yang dijamin oleh Jampersal. Data dan informasi
terkait pelayanan kesehatan ibu nifas disajikan pada lampiran 5.11.

4. Pelayanan/Penanganan Komplikasi Kebidanan


Komplikasi kebidanan adalah kesakitan pada ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan atau
janin dalam kandungan, baik langsung maupun tidak langsung, termasuk penyakit menular dan
tidak menular yang dapat mengancam jiwa ibu dan atau janin, yang tidak disebabkan oleh
trauma/kecelakaan. Pencegahan dan penanganan komplikasi kebidanan adalah pelayanan
kepada ibu dengan komplikasi kebidanan untuk mendapatkan perlindungan/pencegahan dan
penanganan definitif sesuai standar oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan
dasar dan rujukan.
Indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pencegahan dan penanganan
komplikasi kebidanan adalah cakupan penanganan komplikasi kebidanan (Cakupan PK).
Indikator ini mengukur kemampuan negara dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan
secara profesional kepada ibu (hamil, bersalin, nifas) dengan komplikasi.

80 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Capaian indikator penanganan komplikasi kebidanan di Indonesia dari tahun 2008
hingga tahun 2013 disajikan pada Gambar berikut.

GAMBAR 5.11
CAKUPAN PENANGANAN KOMPLIKASI KEBIDANAN DI INDONESIA TAHUN 2008 2013

Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Pada gambar 5.11 di atas dapat diketahui bahwa secara umum, cakupan penanganan
komplikasi kebidanan di Indonesia selama kurun waktu 6 tahun terakhir mengalami kenaikan,
meski pada tahun 2009 sempat mengalami penurunan. Cakupan penanganan komplikasi
kebidanan secara nasional pada tahun 2013 ialah 73,31%.

GAMBAR 5.12
CAKUPAN PENANGANAN KOMPLIKASI KEBIDANAN MENURUT PROVINSI
TAHUN 2013

Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Kesehatan Keluarga 81
Gambaran mengenai cakupan penanganan komplikasi kebidanan pada tahun 2013
menurut provinsi yang disajikan pada gambar 5.12 menunjukkan bahwa cakupan penanganan
komplikasi kebidanan tertinggi yaitu di Provinsi Jawa Tengah (102, 2%). Angka cakupan yang
melebihi 100% ini dimungkinkan karena jumlah sasaran yang digunakan adalah perkiraan,
yakni diperkirakan pada kurun waktu 1 tahun sebanyak 20% dari jumlah sasaran ibu hamil di
suatu wilayah kerja akan mengalami komplikasi kebidanan. Cakupan tertinggi ke dua dan ke
tiga berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (98%) dan DIY (87,3%). Sedangkan cakupan
terendah berturut-turut yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat (19,2%), serta Sumatera Utara
(30,3%).
Lima penyebab kematian ibu terbesar adalah perdarahan, hipertensi dalam kehamilan
(HDK), infeksi, partus lama/macet dan abortus. Kematian ibu di Indonesia tetap didominasi
oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), dan
infeksi. Proporsi ketiga penyebab kematian ibu telah berubah, dimana perdarahan dan infeksi
cenderung mengalami penurunan sedangkan HDK proporsinya semakin meningkat. Lebih dari
30% kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 disebabkan oleh HDK.

GAMBAR 5.13
PENYEBAB KEMATIAN IBU DI INDONESIA TAHUN 2010

Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, Hasil Analisis Lanjut
Sensus Penduduk Tahun 2010

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa diperkirakan 20% kehamilan akan mengalami
komplikasi. Sebagian komplikasi ini dapat mengancam jiwa, tetapi sebagian besar komplikasi
dapat dicegah dan ditangani bila : 1) ibu segera mencari pertolongan ke tenaga kesehatan; 2)
tenaga kesehatan melakukan prosedur penanganan yang sesuai, antara lain penggunaan
partograf untuk memantau perkembangan persalinan, dan pelaksanaan manajemen aktif kala
III (MAK III) untuk mencegah perdarahan pasca-salin; 3) tenaga kesehatan mampu melakukan
identifikasi dini komplikasi; 4) apabila komplikasi terjadi, tenaga kesehatan dapat memberikan
pertolongan pertama dan melakukan tindakan stabilisasi pasien sebelum melakukan rujukan;
5) proses rujukan efektif; 6) pelayanan di RS yang cepat dan tepat guna.
Terdapat tiga jenis area intervensi yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian
dan kesakitan ibu dan neonatal yaitu melalui : 1) peningkatan pelayanan antenatal yang mampu
mendeteksi dan menangani kasus risiko tinggi secara memadai; 2) pertolongan persalinan yang
bersih dan aman oleh tenaga kesehatan terampil, pelayanan pasca persalinan dan kelahiran;
serta 3) pelayanan emergensi obstetrik dan neonatal dasar (PONED) dan komprehensif
(PONEK) yang dapat dijangkau.

82 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Upaya terobosan dalam penurunan AKI dan AKB di Indonesia salah satunya melalui
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) yang menitikberatkan
fokus totalitas monitoring yang menjadi salah satu upaya deteksi dini, menghindari risiko
kesehatan pada ibu hamil serta menyediakan akses dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri
dan neonatal dasar di tingkat Puskesmas (PONED) dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri
dan neonatal komprehensif di Rumah Sakit (PONEK). Dalam implementasinya, P4K merupakan
salah satu unsur dari Desa Siaga. P4K mulai diperkenalkan pada tahun 2007. Sampai dengan
tahun 2013, tercatat 66.629 (86%) desa/kelurahan telah melaksanakannya. . Pelaksanaan P4K
di desa-desa tersebut perlu dipastikan agar mampu membantu keluarga dalam membuat
perencanaan persalinan yang baik dan meningkatkan kesiap-siagaan keluarga dalam
menghadapi tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas agar dapat mengambil tindakan yang
tepat.
Sesuai Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014, ditargetkan pada
akhir tahun 2014 di setiap kabupaten/kota terdapat minimal 4 (empat) Puskesmas rawat inap
mampu PONED dan 1 (satu) Rumah Sakit Kabupaten/Kota yang mampu melaksanakan
PONEK. Melalui pengelolaan pelayanan PONED dan PONEK, Puskesmas dan Rumah Sakit
diharapkan bisa menjadi institusi terdepan dimana kasus komplikasi dan rujukan dapat diatasi
dengan cepat dan tepat.
Standardisasi PONEK untuk rumah sakit dilakukan oleh Direktorat Bina Upaya
Kesehatan Rujukan bekerjasama dengan organisasi profesi yang terkait (POGI, IDAI dan IBI)
serta Badan PPSDMKes Kemenkes RI. Lokakarya PONEK dilakukan selama 5 hari, meliputi
materi manajemen dan klinik PONEK yang kemudian diikuti dengan latihan on the job training
PONEK untuk mengenalkan cara melakukan bimbingan teknis untuk perbaikan kinerja Tim
PONEK rumah sakit. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, jumlah
rumah sakit siap PONEK di Indonesia sampai dengan Desember 2013 sebanyak 424 rumah sakit
dari 750 rumah sakit umum milik Pemerintah, sedangkan jumlah Puskesmas PONED sampai
dengan Desember tahun 2013 adalah 2.782 puskesmas. Data dan informasi selengkapnya
mengenai rumah sakit siap PONEK dan Puskesmas PONED disajikan pada lampiran 2.3 dan 2.5.
Selain itu dilakukan pula kegiatan Audit Maternal Perinatal (AMP), yang merupakan
upaya dalam penilaian pelaksanaan serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan ibu dan bayi
baru lahir melalui pembahasan kasus kematian ibu atau bayi baru lahir sejak di level
masyarakat sampai di level fasilitas pelayanan kesehatan. Kendala yang timbul dalam upaya
penyelamatan ibu pada saat terjadi kegawatdaruratan maternal dan bayi baru lahir akan dapat
menghasilkan suatu rekomendasi intervensi dalam upaya peningkatan mutu pelayanan
kesehatan ibu dan bayi di masa mendatang. Data dan informasi terkait pelayanan/penanganan
komplikasi maternal disajikan pada lampiran 5.10.

5. Pelayanan Kontrasepsi
Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu strategi untuk mengurangi
kematian ibu khususnya ibu dengan kondisi 4T; terlalu muda melahirkan (di bawah usia 20
tahun), terlalu sering melahirkan, terlalu dekat jarak melahirkan, dan terlalu tua melahirkan (di
atas usia 35 tahun). Keluarga berencana (KB) merupakan salah satu cara yang paling efektif
untuk meningkatkan ketahanan keluarga, kesehatan, dan keselamatan ibu, anak, serta
perempuan. Pelayanan KB menyediakan informasi, pendidikan, dan cara-cara bagi laki-laki dan
perempuan untuk dapat merencanakan kapan akan mempunyai anak, berapa jumlah anak,
berapa tahun jarak usia antara anak, serta kapan akan berhenti mempunyai anak.
Baik suami maupun istri memiliki hak yang sama untuk menetapkan berapa jumlah
anak yang akan dimiliki dan kapan akan memiliki anak. Melalui tahapan konseling pelayanan

Kesehatan Keluarga 83
KB, pasangan usia subur (PUS) dapat menentukan pilihan kontrasepsi sesuai dengan kondisi
dan kebutuhannya berdasarkan informasi yang telah mereka pahami, termasuk keuntungan
dan kerugian, risiko metode kontrasepsi dari petugas kesehatan.
Program Keluarga Berencana (KB) dilakukan dalam rangka mengatur jumlah kelahiran
atau menjarangkan kelahiran. Sasaran program KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang
lebih dititikberatkan pada kelompok Wanita Usia Subur (WUS) yang berada pada kisaran usia
15-49 tahun.

GAMBAR 5.14
PERSENTASE PEMAKAIAN ALAT/CARA KB PADA WANITA USIA SUBUR (15-49 TAHUN)
YANG BERSTATUS KAWIN DI INDONESIA, RISKESDAS 2013

Sumber: Riskesdas 2013, Badan Litbangkes Kemenkes RI, 2014

Dari gambar 5.14 dapat kita lihat bahwa sebagian besar WUS saat ini menggunakan
kontrasepsi, yakni sebanyak 59,7%. Dimana sebanyak 59,3% wanita usia subur menggunakan
kontrasepsi modern, dan hanya 0,4% nya yang menggunakan kontrasepsi cara tradisional.
Selain itu, dapat diketahui pula bahwa sebanyak 24,8% dari wanita usia subur mengaku pernah
menggunakan kontrasepsi, meski saat ini tidak sedang menggunakannya. Sedangkan 15,5%
wanita usia subur mengaku tidak pernah menggunakan kontrasepsi.

GAMBAR 5.15
PERSENTASE PESERTA KB AKTIF MENURUT METODE KONTRASEPSI DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2014

84 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Dari gambar 5.15 dapat dilihat bahwa metode kontrasepsi yang paling banyak
digunakan oleh peserta KB aktif adalah suntikan (46,87%) dan terbanyak ke dua adalah pil
(24,54%). Sedangkan metode kontrasepsi yang paling sedikit dipilih oleh peserta KB aktif
adalah Metoda Operasi Pria (MOP), yakni sebanyak 0,69%, kemudian kondom sebanyak 3,22%.
Persentase peserta KB aktif di tiap provinsi selengkapnya dapat dilihat pada gambar 5.16.

GAMBAR 5.16
PERSENTASE PESERTA KB AKTIF MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2014

Gambar 5.16 di atas menunjukkan bahwa provinsi dengan persentase peserta KB aktif
tertinggi ialah Provinsi Aceh (89,9%), kemudian DIY (89,08%), dan Bali (86,16%). Sedangkan
provinsi dengan persentase peserta KB aktif terendah ialah Provinsi Papua Barat (4,80%) dan
Provinsi Papua (16,09%). Secara nasional, persentase peserta KB aktif pada tahun 2013 ialah
sebesar 76,73%.
Sedangkan pada peserta KB baru, persentase metode kontrasepsi yang terbanyak
digunakan adalah suntikan, yakni sebesar 48,56%. Metode terbanyak ke dua adalah pil, sebesar
26,60%. Metode yang paling sedikit dipilih oleh para peserta KB baru adalah metode operasi
pria (MOP) sebanyak 0,25%, kemudian metode operasi wanita (MOW) sebanyak 1,52%, dan
kondom (6,09%). Gambaran mengenai persentase peserta KB baru menurut metode
kontrasepsi tahun 2013 selengkapnya dapat dilihat pada gambar 5.17. Selain itu, persentase
peserta KB baru menurut provinsi tahun 2013 disajikan pada gambar 5.18.

Kesehatan Keluarga 85
GAMBAR 5.17
PERSENTASE PESERTA KB BARU MENURUT METODE KONTRASEPSI TAHUN 2013

Sumber: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2014

GAMBAR 5.18
CAKUPAN PESERTA KB BARU MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2014

Dari gambar 5.18 di atas dapat dilihat bahwa provinsi dengan persentase peserta KB
baru tertinggi ialah Provinsi DKI Jakarta (36,35%), kemudian Bengkulu (28,79%), dan Sumatera
Selatan (24,9%). Sedangkan provinsi dengan persentase peserta KB baru terendah ialah
Provinsi Papua (8,85%), Bali (11,21%), dan Papua Barat (11,59%). Secara nasional, persentase
peserta KB baru pada tahun 2013 adalah sebesar 18,49%. Data dan informasi terkait
kontrasepsi selengkapnya disajikan pada lampiran 5.12 5.18.

86 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


B. KESEHATAN ANAK
Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan
generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka
kematian bayi dan anak. Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak janin masih
dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.
Upaya kesehatan anak antara lain diharapkan untuk mampu menurunkan angka
kematian anak. Indikator angka kematian yang berhubungan anak adalah Angka Kematian
Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA).
Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka
Kematian Neonatus (AKN) pada tahun 2012 sebesar 19 per 1000 kelahiran hidup menurun dari
20 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2007 dan 23 per 1000 kelahiran hidup berdasarkan hasil
SDKI 2002. Perhatian terhadap upaya penurunan angka kematian neonatal (0-28 hari) menjadi
penting karena kematian neonatal memberi kontribusi terhadap 56% kematian bayi.
Untuk mencapai target penurunan AKB pada MDG 2015 yaitu sebesar 23 per 1000
kelahiran hidup maka peningkatan akses dan kualitas pelayanan bagi bayi baru lahir (neonatal)
menjadi prioritas utama. Komitmen global dalam MDGs menetapkan target terkait kematian
anak yaitu menurunkan angka kematian anak hingga dua per tiga dalam kurun waktu 1990-
2015.
Data dan informasi yang akan disajikan berikut ini menerangkan berbagai indikator
kesehatan anak yang meliputi prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), penanganan
komplikasi neonatal, kunjungan neonatal, pelayanan kesehatan bayi, inisiasi menyusu dini,
pemberian ASI eksklusif, pemberian vitamin A, penimbangan balita di Posyandu, imunisasi
dasar, pelayanan kesehatan balita, pelayanan kesehatan pada siswa SD/setingkat, pelayanan
kesehatan peduli remaja, pelayanan kesehatan pada kasus kekerasan anak, dan pelayanan
kesehatan anak terlantar dan anak jalanan di panti.

1. Berat Badan Lahir Bayi


Berat bayi lahir adalah berat badan bayi yang di timbang dalam waktu 1 jam pertama
setelah lahir. Hubungan antara waktu kelahiran dengan umur kehamilan, kelahiran bayi dapat
dikelompokan : bayi kurang bulan (prematur), yaitu bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi
(kehamilan) < 37 minggu (<259 hari). Bayi cukup bulan, bayi yang dilahirkan dengan masa
gestasi antara 37-42 minggu (259 - 293 hari); dan bayi lebih bulan, bayi yang dilahirkan dengan
masa gestasi > 42 minggu (>294 hari).
Berkaitan dengan berat badan bayi lahir, bayi dapat dikelompokkan berdasarkan berat
lahirnya:, yaitu bayi berat lahir rendah (BBLR), yaitu berat lahir <2500 gram, bayi berat lahir
sedang, yaitu berat lahir antara 2500-3999 gram, dan berat badan lebih, yaitu berat lahir 4000
gram. Persentase balita (0-59 bulan) menurut berat badan lahir menurut provinsi hasil
Riskesdas tahun 2013 disajikan pada lampiran 5.20.
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) ialah bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir
kurang dari 2500 gram. Sejak tahun 1961 WHO telah mengganti istilah prematuritas dengan
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Hal ini dilakukan karena tidak semua bayi yang berat kurang
dari 2500 gram pada waktu lahir bayi prematur. Persentase berat bayi lahir rendah disajikan
pada gambar 5.15 berikut ini.

Kesehatan Keluarga 87
GAMBAR 5.19
PERSENTASE BERAT BAYI LAHIR RENDAH
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS 2013

Sumber : Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013

Hasil Riskesdas tahun 2013 menyatakan bahwa persentase balita (0-59 bulan) dengan
BBLR sebesar 10,2%. Persentase BBLR tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Tengah (16,8%)
dan terendah di Sumatera Utara (7,2%).
Masalah pada bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) terutama pada prematur terjadi
karena ketidakmatangan sistem organ pada bayi tersebut. Bayi berat lahir rendah mempunyai
kecenderungan ke arah peningkatan terjadinya infeksi dan mudah terserang komplikasi.
Masalah pada BBLR yang sering terjadi adalah gangguan pada sistem pernafasan, susunan saraf
pusat, kardiovaskular, hematologi, gastro intestinal, ginjal, termoregulasi.

2. Penanganan Komplikasi Neonatal


Neonatal dengan komplikasi adalah neonatal dengan penyakit dan atau kelainan yang
dapat menyebabkan kecacatan dan atau kematian, seperti asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus
neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir, BBLR (berat lahir < 2.500 gram), sindroma gangguan
pernafasan, dan kelainan kongenital maupun yang termasuk klasifikasi kuning dan merah pada
pemeriksaan dengan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM).
Komplikasi yang menjadi penyebab kematian terbanyak adalah asfiksia, bayi berat lahir
rendah dan infeksi (Riskesdas, 2007). Komplikasi ini sebetulnya dapat dicegah dan ditangani.
Namun terkendala oleh akses ke pelayanan kesehatan, kemampuan tenaga kesehatan, keadaan

88 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


sosial ekonomi, sistem rujukan yang belum berjalan dengan baik, terlambatnya deteksi dini dan
kesadaran orang tua untuk mencari pertolongan kesehatan.
Penanganan neonatal dengan komplikasi adalah penanganan terhadap neonatal sakit
dan atau neonatal dengan kelainan atau komplikasi/kegawatdaruratan yang mendapat
pelayanan sesuai standar oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan atau perawat) terlatih baik di
rumah, sarana pelayanan kesehatan dasar maupun sarana pelayanan kesehatan rujukan.
Pelayanan sesuai standar antara lain sesuai dengan standar MTBM, manajemen Asfiksia Bayi
Baru Lahir, manajemen Bayi Berat Lahir Rendah, pedoman pelayanan neonatal essensial di
tingkat pelayanan kesehatan dasar, PONED, PONEK atau standar operasional pelayanan lainnya.
Pada gambar 5.16 berikut ini disajikan gambaran cakupan penanganan neonatal dengan
komplikasi menurut provinsi tahun 2013.

GAMBAR 5.20
CAKUPAN PENANGANAN KOMPLIKASI NEONATAL
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber : Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Capaian penanganan neonatal dengan komplikasi mengalami peningkatan dari tahun


2012 yang sebesar 48,48% menjadi 51,47% pada tahun 2013. Meskipun terjadi peningkatan
capaian, namun masih terdapat disparitas yang cukup besar antar provinsi. Capaian tertinggi
diperoleh Provinsi DI Yogyakarta dengan angka sebesar 90,60% diikuti oleh Jawa Tengah
sebesar 75,36%, dan Bali sebesar 71,27%. Capaian terendah terdapat di Provinsi Nusa Tenggara
Timur sebesar 15,34%, diikuti oleh Papua sebesar 15,38%, dan Sumatera Utara sebesar
18,69%.
Informasi lebih rinci menurut provinsi tentang penanganan komplikasi neonatal
terdapat pada lampiran 5.23.

3. Pelayanan Kesehatan Neonatal

Kesehatan Keluarga 89
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia sampai dengan 28 hari, dimana terjadi
perubahan yang sangat besar dari kehidupan di dalam rahim menjadi di luar rahim. Pada masa
ini terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem. Bayi hingga usia kurang satu bulan
merupakan golongan umur yang memiliki risiko gangguan kesehatan paling tinggi. Pada usia
yang rentan ini, berbagai masalah kesehatan bisa muncul. Tanpa penanganan yang tepat, bisa
berakibat fatal. Beberapa upaya kesehatan dilakukan untuk mengendalikan risiko pada
kelompok ini diantaranya dengan mengupayakan agar persalinan dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan di fasilitas kesehatan serta menjamin tersedianya pelayanan kesehatan sesuai
standar pada kunjungan bayi baru lahir.
Masalah utama penyebab kematian pada bayi dan balita adalah pada masa neonatus
(bayi baru lahir umur 0-28 hari). Menurut hasil Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa 78,5%
dari kematian neonatal terjadi pada umur 0-6 hari. Komplikasi yang menjadi penyebab
kematian terbanyak adalah asfiksia, bayi berat lahir rendah dan infeksi.
Dengan melihat adanya risiko kematian yang tinggi dan berbagai serangan komplikasi
pada minggu pertama, maka setiap bayi baru lahir harus mendapatkan pemeriksaan sesuai
standar lebih sering (minimal 2 kali) dalam minggu pertama. Langkah ini dilakukan untuk
menemukan secara dini jika terdapat penyakit atau tanda bahaya pada neonatus sehingga
pertolongan dapat segera diberikan untuk mencegah penyakit bertambah berat yang dapat
menyebabkan kematian. Kunjungan neonatus merupakan salah satu intervensi untuk
menurunkan kematian bayi baru lahir.
Terkait hal tersebut, pada tahun 2008 ditetapkan perubahan kebijakan dalam
pelaksanaan kunjungan neonatal, dari 2 kali yaitu satu kali pada minggu pertama dan satu kali
pada 8-28 hari, menjadi 3 kali yaitu dua kali pada minggu pertama dan satu kali pada 8 28
hari. Dengan demikian, jadwal kunjungan neonatal yang dilaksanakan saat ini adalah pada umur
6-48 jam, umur 3-7 hari dan umur 8-28 hari. Indikator ini mengukur kemampuan manajemen
program Kesehatan Ibu Anak (KIA) dalam menyelenggarakan pelayanan neonatal yang
komprehensif.
Kunjungan neonatal pertama (KN1) adalah cakupan pelayanan kesehatan bayi baru
lahir (umur 6 jam - 48 jam) di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu yang ditangani
sesuai standar oleh tenaga kesehatan terlatih di seluruh sarana pelayanan kesehatan. Pelayanan
yang diberikan saat kunjungan neonatal adalah pemeriksaan sesuai standar Manajemen
Terpadu Bayi Muda (MTBM) dan konseling perawatan bayi baru lahir termasuk ASI eksklusif
dan perawatan tali pusat. Pada kunjungan neonatal pertama (KN1), bayi baru lahir
mendapatkan vitamin K1 injeksi dan imunisasi hepatitis B0 bila belum diberikan pada saat
lahir. Cakupan indikator kunjungan neonatal pertama menurut provinsi, digambarkan pada
gambar 5.17.
Selain KN1, indikator yang menggambarkan pelayanan kesehatan bagi neonatal adalah
KN lengkap yang mengharuskan agar setiap bayi baru lahir memperoleh pelayanan Kunjungan
Neonatal minimal 3 kali, yaitu 1 kali pada 6-48 jam, 1 kali pada 3-7 hari, 1 kali pada 8-28 hari
sesuai standar di satu wilayah kerja pada satu tahun

90 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 5.21
CAKUPAN KUNJUNGAN NEONATAL PERTAMA (KN1)
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber : Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Capaian KN lengkap di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 87,23%. Capaian ini telah
memenuhi target program tahun 2013 sebesar 84%. Terdapat 27 provinsi telah memenuhi
target tersebut. Gambaran cakupan kunjungan KN lengkap menurut provinsi di Indonesia
terdapat pada gambar 5.18 berikut ini.

GAMBAR 5.22
CAKUPAN KUNJUNGAN NEONATAL LENGKAP
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber : Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Kesehatan Keluarga 91
Pada gambar di atas terlihat bahwa pencapaian indikator KN lengkap cukup baik di
Indonesia yang dapat dilihat dari capaian yang cukup tinggi di sebagian besar provinsi.
Terdapat 26 provinsi telah mencapai Renstra 2013, yaitu 84%, dimana capaian tertinggi
terdapat di Provinsi Jawa Tengah sebesar 95,41%, diikuti oleh Kepulauan Bangka Belitung
sebesar 94,47%, dan DI Yogyakarta sebesar 94,33%. Sedangkan provinsi dengan capaian
terendah adalah Papua sebesar 25,41%, diikuti oleh Papua Barat sebesar 51,79%, dan Sumatera
Utara sebesar 68,22%.
Capaian KN lengkap secara nasional mengalami penurunan dibandingkan tahun 2012,
yaitu dari 87,79% menjadi 87,23% pada tahun 2013. Gambar berikut ini menampilkan cakupan
KN lengkap dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013. Pada tahun 2008, mulai ditetapkan
kebijakan KN lengkap yang mensyaratkan 3 kali kunjungan.

GAMBAR 5.23
CAKUPAN KUNJUNGAN NEONATAL LENGKAP
DI INDONESIA TAHUN 2009-2013

Sumber : Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Cakupan KN lengkap nampak mengalami sedikit penurunan dari 78,04% pada tahun
2009 menjadi 71,5% pada tahun 2010. Cakupan ini kembali meningkat menjadi 84,14% pada
tahun 2011. Kemudian cakupan KN lengkap menunjukkan kecenderungan peningkatan seiring
dengan pemberlakuannya kebijakan KN lengkap tahun 2008 yang mensyaratkan 3 kali
kunjungan diimplementasikan.
Informasi lebih lanjut mengenai kunjungan neonatal dapat dilihat pada lampiran 5.22.

4. Pelayanan Kesehatan Pada Bayi


Bayi juga merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap gangguan kesehatan
maupun serangan penyakit. Kesehatan bayi dan balita harus dipantau untuk memastikan
kesehatan mereka selalu dalam kondisi optimal. Pelayanan kesehatan bayi termasuk salah satu
dari beberapa indikator yang bisa menjadi ukuran keberhasilan upaya peningkatan kesehatan
bayi dan balita. Pelayanan kesehatan pada bayi ditujukan pada bayi usia 29 hari sampai dengan
11 bulan dengan memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar oleh tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi klinis kesehatan (dokter, bidan, dan perawat) minimal 4
kali, yaitu pada 29 hari 2 bulan, 3 5 bulan, 6 8 bulan dan 9 12 bulan sesuai standar di satu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

92 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Pelayanan ini terdiri dari penimbangan berat badan, pemberian imunisasi dasar (BCG,
DPT/ HB1-3, Polio 1-4, dan Campak), Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang
(SDIDTK) bayi, pemberian vitamin A pada bayi, dan penyuluhan perawatan kesehatan bayi
serta penyuluhan ASI Eksklusif, pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) dan lain-lain.
Cakupan pelayanan kesehatan bayi dapat menggambarkan upaya pemerintah dalam
meningkatan akses bayi untuk memperoleh pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini
mungkin adanya kelainan atau penyakit, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit
serta peningkatan kualitas hidup bayi.
Gambaran capaian indikator ini di 33 provinsi menunjukkan bahwa sebagian besar
provinsi telah memenuhi target Renstra tahun 2013 seperti yang disajikan pada gambar berikut
ini.

GAMBAR 5.24
CAKUPAN KUNJUNGAN BAYI MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber : Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Pada gambar 5.20 di atas dapat dilihat bahwa terdapat 18 provinsi (54,5%) dengan
capaian melebihi 87%. Provinsi DKI Jakarta memiliki capaian tertinggi sebesar 97,29% diikuti
oleh Bali sebesar 96,39% dan Jawa Timur sebesar 95,76%. Provinsi Kepulauan Riau memiliki
capaian terendah sebesar 31,72% diikuti oleh Papua sebesar 35,12%, dan Papua Barat sebesar
56,39%. Informasi lebih rinci menurut provinsi terkait pelayanan kesehatan pada bayi tahun
2013 terdapat pada lampiran 5.27.

5. Proses Bayi Mulai Mendapat Air Susu Ibu


Kategori proses bayi mulai mendapat air susu ibu (ASI) menurut Riskesdas 2013 adalah
kurang dari 1 jam (inisiasi menyusu dini/IMD), antara 1 sampai 6 jam, 7 sampai 23 jam, 24
sampai 47 jam dan sama dengan atau lebih dari 47 jam.

Kesehatan Keluarga 93
Dua puluh empat jam pertama setelah ibu melahirkan adalah saat yang sangat penting
untuk keberhasilan menyusui selanjutnya. Pada jam-jam pertama setelah melahirkan
dikeluarkan hormon oksitosin yang bertanggung jawab terhadap produksi ASI.
Waktu pertama kali mendapatkan ASI segera setelah lahir secara bermakna
meningkatkan kesempatan hidup bayi. Jika bayi mulai menyusui dalam waktu 1 jam setelah
lahir, 22 % bayi yang meninggal dalam 28 hari pertama (setara dengan sekitar satu juta bayi
baru lahir setiap tahun di dunia) sebenarnya dapat dicegah. Jika proses menyusui ini dimulai
dalam satu hari pertama, maka hanya 16 % bayi yang dapat diselamatkan.
Inisiasi menyusu dini adalah proses bayi menyusu segera setelah dilahirkan, dimana
bayi dibiarkan mencari puting susu ibunya sendiri (tidak disodorkan ke puting susu).
Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya.,
bagi bayi kehangatan saat menyusu menurunkan risiko kematian karena hypothermia
(kedinginan). Selain itu juga, bayi memperoleh bakteri tak berbahaya dari ibu, menjadikannya
lebih kebal dari bakteri lain di lingkungan. Dengan kontak pertama, bayi memperoleh
kolostrum, yang penting untuk kelangsungan hidupnya, dan bayi memperoleh ASI (makanan
awal) yang tidak mengganggu pertumbuhan, fungsi usus, dan alergi sehingga bayi akan lebih
berhasil menyusu ASI eksklusif dan mempertahankan menyusui. Sedangkan manfaat bagi ibu
adalah menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena proses menyusui akan
merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum).
Pemerintah Indonesia mendukung kebijakan WHO dan Unicef yang merekomendasikan
inisiasi menyusu dini sebagai tindakan penyelamatan kehidupan, karena inisiasi menyusu dini
dapat menyelamatkan 22% dari bayi yang meninggal sebelum usia satu bulan. Maka diharapkan
semua tenaga kesehatan di semua tingkatan pelayanan kesehatan dapat mensosialisasikan
program tersebut.
Hasil Riskesdas 2013 menyatakan bahwa persentase proses mulai mendapat ASI kurang
dari satu jam (inisiasi menyusu dini) pada anak umur 0-23 bulan di Indonesia pada tahun 2013
sebesar 34,5%. Persentase proses mulai mendapat ASI antara 1 6 jam sebesar 35,2%,
persentase proses mulai mendapat ASI antara 7 23 jam sebesar 3,7%, sedangkan persentase
proses mulai mendapat ASI antara 24 47 jam sebesar 13,0% dan persentase proses mulai
mendapat ASI lebih dari 47 jam sebesar 13,7%.
Persentase proses mulai mendapat ASI kurang dari satu jam (inisiasi menyusu dini)
tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Barat sebesar 52,9% diikuti oleh Sulawesi Selatan sebesar
44,9%, dan Sumatera Barat sebesar 44,2%. Sedangkan persentase inisiasi menyusu dini
terendah terdapat di provinsi Papua Barat sebesar 21,7%, diikuti oleh provinsi Riau sebesar
22,1%, dan Kepulauan Riau sebesar 22,7%. Gambaran proses mulai mendapat ASI kurang dari
satu jam (inisiasi menyusu dini) menurut provinsi disajikan pada gambar 5.25.

94 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 5.25
PERSENTASE BAYI MULAI MENDAPAT ASI KURANG DARI 1 JAM PERTAMA
(INISIASI MENYUSU DINI) PADA ANAK UMUR 0-23 BULAN
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS TAHUN 2013

Sumber : Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013

Data dan Informasi mengenai persentase proses mulai mendapat ASI pada anak umur 0-
23 bulan pada tahun 2013 terdapat pada lampiran 5.21.

6. Cakupan Pemberian ASI Eksklusif


Cara pemberian makanan pada bayi yang baik dan benar adalah menyusui bayi secara
eksklusif sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan dan meneruskan menyusui anak sampai umur
24 bulan. Mulai umur 6 bulan, bayi mendapat makanan pendamping ASI yang bergizi sesuai
dengan kebutuhan tumbuh kembangnya.
ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi yang mengandung sel darah putih, protein
dan zat kekebalan yang cocok untuk bayi. ASI membantu pertumbuhan dan perkembangan anak
secara optimal serta melindungi terhadap penyakit.
Persentase pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan di Indonesia pada tahun 2013
sebesar 54,3%, sedikit meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 48,6%.
Persentase pemberian ASI eksklusif tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Barat sebesar 79,74%,
diikuti oleh Sumatera Selatan sebesar 74,49%, dan Nusa Tenggara Timur sebesar 74,37%.
Sedangkan persentase pemberian ASI eksklusif terendah terdapat di Provinsi Maluku sebesar

Kesehatan Keluarga 95
25,21%, diikuti oleh Jawa Barat sebesar 33,65% dan Sulawesi Utara sebesar 34,67%. Gambaran
pemberian ASI eksklusif menurut provinsi disajikan pada gambar berikut ini.

GAMBAR 5.26
CAKUPAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI 0-6 BULAN
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber: Ditjen Gizi dan KIA Kemenkes RI, 2014

Permasalahan terkait pencapaian cakupan ASI Eksklusif antara lain :


a) Pemasaran susu formula masih gencar dilakukan untuk bayi 0-6 bulan yg tidak ada
masalah medis
b) Masih banyaknya perusahaan yang mempekerjakan perempuan tidak memberi
kesempatan bagi ibu yang memiliki bayi 0-6 bulan untuk melaksanakan pemberian
ASI secara eksklusif. Hal ini terbukti dengan belum tersedianya ruang laktasi dan
perangkat pendukungnya
c) Masih banyak tenaga kesehatan ditingkat layanan yang belum peduli atau belum
berpihak pada pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif, yaitu masih
mendorong untuk memberi susu formula pada bayi 0-6 bulan.
d) Masih sangat terbatasnya tenaga konselor ASI
e) Belum maksimalnya kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi, dan kampanye terkait
pemberian ASI, dan belum semua rumah sakit melaksanakan 10 Langkah Menuju
Keberhasilan Menyusui (LMKM).
Upaya yang dilakukan dalam memecahkan masalah tersebut yaitu:
a) Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian
ASI Eksklusif
b) Melakukan pelatihan konseling menyusui dan konseling Makanan Pendamping ASI
(MP-ASI). Sampai tahun 2012 telah dilakukan pelatihan konseling menyusui kepada
3.929 orang dan MP-ASI sebanyak 416 orang.

96 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


c) Melaksanakan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM), yaitu:
1) Membuat kebijakan tertulis tentang menyusui dan dikomunikasikan kepada
semua staf pelayanan kesehatan ;
2) Melatih semua staf pelayanan dalam keterampilan menerapkan kebijakan
menyusui tersebut;
3) Menginformasikan kepada semua ibu hamil tentang manfaat dan manajemen
menyusui;
4) Membantu ibu menyusui dini dalam 30 menit pertama persalinan;
5) Membantu ibu cara menyusui dan mempertahankan menyusui meskipun ibu
dipisah dari bayinya;
6) Memberikan ASI saja kepada bayi baru lahir kecuali ada indikasi medis;
7) Menerapkan rawat gabung ibu dengan bayinya sepanjang waktu (24 jam);
8) Menganjurkan menyusui sesuai permintaan bayi;
9) Tidak memberi dot kepada bayi;
10) Mendorong pembentukan kelompok pendukung menyusui dan merujuk ibu
kepada kelompok tersebut setelah keluar dari sarana pelayanan;
d) Sosialisasi dan kampanye ASI Eksklusif
e) KIE melalui media cetak dan elektronik
f) Mengembangkan Strategi Peningkatan Pemberian ASI Eksklusif
g) Menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap perilaku menyusui melalui
peraturan perundang-undangan dan kebijakan atau PP
h) Penguatan sarana pelayanan kesehatan (RS/RSIA, Puskesmas perawatan, klinik
bersalin) dalam menerapkan 10 LMKM
i) Peningkatan komitmen dan kapasitas stakeholder dalam meningkatan, melindungi,
dan mendukung pemberian ASI
j) Pemberdayaan ibu, keluarga, dan masyarakat dalam praktek pemberian ASI
k) Menjamin terlaksananya strategi pemberian ASI
l) Pengembangan peraturan perundangan-undangan dan kebijakan atau PP
m) Pelaksanaan revitalisasi RS dan sarana pelayanan kesehatan sayang bayi
n) Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan
o) Pemberdayaan ibu, bapak, dan keluarga, serta masyarakat
p) Perlindungan pekerja perempuan
q) Bekerjasama dengan lintas sektor terkait dalam pengawasan pemasaran susu
formula dan produk makanan bayi sesuai standar produk makanan (codex
alimentarius)
r) Advokasi dan promosi peningkatan pemberian ASI
Data dan informasi mengenai pemberian ASI Eksklusif pada tahun 2013 terdapat pada
lampiran 5.33.

7. Cakupan Pemberian Kapsul Vitamin A Balita Usia 6 59 Bulan


Sampai dengan usia enam bulan, ASI merupakan sumber utama vitamin A jika ibu
memiliki vitamin A yang cukup berasal dari makanan atau suplemen. Anak yang berusia enam
bulan sampai lima tahun dapat memperoleh vitamin A dari berbagai makanan seperti hati, telur,
ikan, minyak sawit merah, mangga dan papaya, jeruk, ubi, sayur daun berwarna hijau dan
wortel.
Anak memerlukan vitamin A untuk membantu melawan penyakit, melindungi
penglihatan mereka, serta mengurangi risiko meninggal. Anak yang kekurangan vitamin A
kurang mampu melawan berbagai potensi penyakit yang fatal dan berisiko rabun senja. Oleh
karena itu dilakukan pemberian kapsul vitamin A dalam rangka mencegah dan menurunkan

Kesehatan Keluarga 97
prevalensi kekurangan vitamin A (KVA) pada balita. Cakupan yang tinggi dari pemberian kapsul
vitamin A dosis tinggi terbukti efektif untuk mengatasi masalah KVA pada masyarakat.
Di beberapa negara dimana kekurangan vitamin A telah terjadi secara luas, dan anak
sering meninggal karena diare, dan campak, vitamin A dalam bentuk kapsul dosis tinggi
dibagikan dua kali dalam setahun kepada anak usia enam bulan hingga lima tahun. Diare dan
campak dapat menguras vitamin A dari tubuh anak. Anak yang menderita diare atau campak,
atau menderita kurang gizi harus diobati dengan suplemen vitamin A dosis tinggi yang bisa
diperoleh dari petugas kesehatan terlatih.
Masalah vitamin A pada balita secara klinis bukan lagi masalah kesehatan masyarakat
(prevalensi xeropthalmia < 0,5%). Hasil studi masalah gizi mikro di 10 kota pada 10 provinsi
tahun 2006, diperoleh prevalensi xeropthalmia pada balita 0,13%, sedangkan hasil survey
vitamin A pada tahun 1992 menunjukkan prevalensi xeropthalmia sebesar 0,33%.
Namun demikian KVA subklinis, yaitu tingkat yang belum menampakkan gejala nyata,
masih ada pada kelompok balita. KVA tingkat subklinis ini hanya dapat diketahui dengan
memeriksa kadar vitamin A dalam darah di laboratorium. Selain itu, sebaran cakupan
pemberian vitamin A pada balita menurut provinsi masih ada yang dibawah 75%. Dengan
demikian kegiatan pemberian vitamin A pada balita masih perlu dilanjutkan, karena bukan
hanya untuk kesehatan mata dan mencegah kebutaan, namun lebih penting lagi, vitamin A
meningkatkan kelangsungan hidup, kesehatan dan pertumbuhan anak.
Pemberian kapsul vitamin A dilakukan terhadap bayi (6-11 bulan) dengan dosis
100.000 SI, anak balita (12-59 bulan) dengan dosis 200.000 SI, dan ibu nifas diberikan kapsul
vitamin A 200.000 SI, sehingga bayinya akan memperoleh vitamin A yang cukup melalui ASI.
Pemberian Kapsul Vitamin A diberikan secara serentak setiap bulan Februari dan Agustus pada
balita usia 6-59 bulan.
Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada balita usia 6-59 bulan di Indonesia tahun
2013 mencapai 83,9%. Capaian ini sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2012 yang sebesar
82,8%. Dengan peningkatan yang tidak terlalu tinggi, maka masih diperlukan upaya untuk
meningkatkan cakupan pemberian kapsul vitamin A. Upaya tersebut antara lain melalui
peningkatan integrasi pelayanan kesehatan anak, sweeping pada daerah yang cakupannya
masih rendah dan kampanye pemberian kapsul vitamin A.
Provinsi dengan cakupan pemberian vitamin A tertinggi pada tahun 2013 adalah DI
Yogyakarta sebesar 98,88%, diikuti oleh Jawa Tengah sebesar 98,61% dan Bali sebesar 96,79%.
Sedangkan cakupan terendah terdapat di Provinsi Papua sebesar 45,92%, diikuti oleh Papua
Barat sebesar 50,70% dan Maluku sebesar 62,91%. Cakupan pemberian kapsul vitamin A
menurut provinsi ditampilkan pada gambar 5.27.

98 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 5.27
CAKUPAN PEMBERIAN KAPSUL VITAMIN A PADA BALITA (6-59 BULAN)
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber : Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Data dan informasi tentang pemberian vitamin A pada balita yang dirinci menurut
provinsi pada tahun 2013 dapat dilihat pada lampiran 5.31.
Menurut data Riskesdas 2013, persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul
vitamin A selama enam bulan terakhir tahun 2013 di Indonesia tahun 2013 mencapai 75,5%.
Provinsi dengan cakupan pemberian vitamin A tertinggi berdasarkan Riskesdas 2013
adalah Nusa Tenggara Barat sebesar 89,20%, diikuti oleh DI Yogyakarta sebesar 84,40% dan
Jawa Tengah sebesar 84,00%. Sedangkan cakupan terendah terdapat di Provinsi Sumatera
Utara sebesar 52,30%, diikuti oleh Papua sebesar 53,10% dan Sulawesi Barat sebesar 59,60%.
Cakupan pemberian kapsul vitamin A menurut provinsi dari hasil Riskesdas tahun 2013
ditampilkan pada gambar berikut ini.

Kesehatan Keluarga 99
GAMBAR 5.28
PERSENTASE PEMBERIAN KAPSUL VITAMIN A PADA ANAK UMUR (6-59 BULAN)
SELAMA ENAM BULAN TERAKHIR
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS TAHUN 2013

Sumber : Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013

Data dan informasi tentang pemberian vitamin A pada balita selama enam bulan
terakhir yang dirinci menurut provinsi pada tahun 2013 dari hasil Riskesdas dapat dilihat pada
lampiran 5.32.

8. Cakupan Penimbangan Balita di Posyandu (D/S)


Sejak lahir sampai dengan usia lima tahun, anak seharusnya ditimbang secara teratur
untuk mengetahui pertumbuhannya. Cara ini dapat membantu untuk mengetahui lebih awal
tentang gangguan pertumbuhan, sehingga segera dapat diambil tindakan tepat secepat
mungkin.
Hasil penimbangan, dapat mengetahui apakah seorang anak terlalu cepat bertambah
berat badannya dibandingkan usianya atau tidak bertambah berat badannya. Untuk itu
memerlukan pemeriksaan berat badan anak lebih lanjut terkait dengan tinggi badannya, yang
dapat menentukan apakah seorang anak mempunyai berat badan berlebih/kurang.
Kegiatan penimbangan balita di Posyandu (D/S) menjadi salah satu indikator yang
ditetapkan pada Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Indikator ini berkaitan
dengan cakupan pelayanan gizi pada balita, cakupan pelayanan kesehatan dasar khususnya
imunisasi serta penanganan prevalensi gizi kurang pada balita. Dengan cakupan D/S yang
tinggi, diharapkan semakin tinggi pula cakupan vitamin A, cakupan imunisasi dan semakin
rendah prevalensi gizi kurang.

100 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Cakupan penimbangan balita di posyandu (D/S) di Indonesia pada tahun 2013 sebesar
80,30%. Cakupan ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 75,1%. Capaian pada
tahun 2013 telah memenuhi target Renstra 2013 sebesar 80%. Pada tingkat provinsi terdapat
18 provinsi dengan capaian melebihi target 80% seperti yang ditampilkan pada gambar berikut.

GAMBAR 5.29
CAKUPAN PENIMBANGAN BALITA (D/S)
DI INDONESIATAHUN 2013

Sumber : Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Pada gambar diatas diketahui bahwa provinsi yang memiliki capaian tertinggi adalah
Jawa tengah sebesar 89,43%, diikuti oleh Gorontalo sebesar 88,42%, dan Jawa Timur sebesar
88,36%. Sedangkan capaian terendah terdapat di Provinsi Papua sebesar 38,85%, diikuti oleh
DKI Jakarta sebesar 54,37% dan Papua Barat sebesar 56,50%.
Setiap anak harus memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS) yang terdapat dalam buku KIA
agar dapat dipantau pertumbuhannya. Dengan KMS terlihat apakah anak tumbuh dengan baik
sesuai usianya. KMS diberikan pada orang tua pada saat kunjungan balita ke Posyandu. Maka
kunjungan balita ke Posyandu sangat berkaitan dengan indikator D/S.
Namun demikian terdapat beberapa kendala yang dihadapi terkait dengan kunjungan
balita ke posyandu. Permasalahan tersebut antara lain : dana operasional dan sarana prasarana
untuk menggerakkan kegiatan Posyandu, tingkat pengetahuan kader dan kemampuan petugas
dalam pemantauan pertumbuhan dan konseling, tingkat pemahaman keluarga dan masyarakat
terhadap manfaat Posyandu, serta pelaksanaan pembinaan kader. Data dan informasi tentang
penimbangan balita di posyandu pada tahun 2013 terdapat pada lampiran 5.34.

Kesehatan Keluarga 101


9. Imunisasi
Setiap tahun lebih 1,4 juta anak di dunia meninggal karena berbagai penyakit yang
sesungguhnya dapat dicegah dengan imunisasi. Beberapa penyakit menular yang termasuk ke
dalam Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) antara lain : Difteri, Tetanus,
Hepatitis B, radang selaput otak, radang paru-paru, pertusis, dan polio. Anak yang telah diberi
imunisasi akan terlindungi dari berbagai penyakit berbahaya tersebut, yang dapat
menimbulkan kecacatan atau kematian.
Proses perjalanan penyakit diawali ketika virus/ bakteri/ protozoa/ jamur, masuk ke
dalam tubuh. Setiap makhluk hidup yang masuk ke dalam tubuh manusia akan dianggap benda
asing oleh tubuh atau yang disebut dengan antigen. Secara alamiah sistem kekebalan tubuh
akan membentuk zat anti yang disebut antibodi untuk melumpuhkan antigen. Pada saat
pertama kali antibodi berinteraksi dengan antigen, respon yang diberikan tidak terlalu kuat.
Hal ini disebabkan antibodi belum mengenali antigen. Pada interaksi antibodi-antigen yang
ke-2 dan seterusnya, sistem kekebalan tubuh sudah memiliki memori untuk mengenali
antigen yang masuk ke dalam tubuh, sehingga antibodi yang terbentuk lebih banyak dan dalam
waktu yang lebih cepat.
Proses pembentukan antibodi untuk melawan antigen secara alamiah disebut imunisasi
alamiah. Sedangkan program imunisasi melalui pemberian vaksin adalah upaya stimulasi
terhadap sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi dalam upaya melawan penyakit
dengan melumpuhkan antigen yang telah dilemahkan yang berasal dari vaksin. Imunisasi
adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan
sakit atau hanya sakit ringan.
Program imunisasi merupakan salah satu upaya untuk melindungi penduduk terhadap
penyakit tertentu. Program imunisasi diberikan kepada populasi yang dianggap rentan
terjangkit penyakit menular, yaitu bayi, anak usia sekolah, wanita usia subur, dan ibu hamil.

a. Imunisasi Dasar pada Bayi


Imunisasi melindungi anak terhadap beberapa Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I). Seorang anak diimunisasi dengan vaksin yang disuntikkan atau diteteskan
melalui mulut. Pada beberapa negara hepatitis masih menjadi masalah. Sepuluh dari 100 orang
akan menderita hepatitis sepanjang hidupnya jika tidak diberi vaksin hepatitis B. Sampai
dengan seperempat dari jumlah anak yang menderita hepatitis B dapat berkembang menjadi
kondisi penyakit hati yang serius, seperti kanker hati. Disamping itu wajib diberikan imunisasi
hepatitis B segera setelah bayi lahir untuk mencegah penularan virus hepatitis dari ibu kepada
anaknya.
Imunisasi BCG dapat melindungi anak dari penyakit tuberculosis. Imunisasi DPT dapat
mencegah penyakit diptheri, pertusis dan tetanus. Diptheri menyebabkan infeksi saluran
pernafasan atas, yang dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kesulitan bernafas bahkan
kematian. Tetanus menyebabkan kekakuan otot dan kekejangan otot yang menyakitkan dan
dapat mengakibatkan kematian. Pertusis atau batuk rejan mempengaruhi saluran pernafasan
dana dapat menyebabkan batuk hingga delapan minggu.
Semua anak perlu mendapatkan imunisasi polio. Tanda-tanda polio adalah tungkai tiba-
tiba lumpuh dan sulit untuk bergerak. Dari 200 anak yang terinfeksi polio, maka satu orang
akan menjadi cacat sepanjang hidupnya.

102 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Sebagai salah satu kelompok yang menjadi sasaran program imunisasi, setiap bayi wajib
mendapatkan lima imunisasi dasar lengkap (LIL) yang terdiri dari : 1 dosis BCG, 3 dosis DPT, 4
dosis polio, 3 dosis hepatitis B, dan 1 dosis campak. Dari kelima imunisasi dasar lengkap yang
diwajibkan tersebut, campak merupakan imunisasi yang mendapat perhatian lebih yang
dibuktikan dengan komitmen Indonesia pada lingkup ASEAN dan SEARO untuk
mempertahankan cakupan imunisasi campak sebesar 90%. Hal ini terkait dengan realita bahwa
campak adalah salah satu penyebab utama kematian pada balita. Dengan demikian pencegahan
campak memiliki peran signifikan dalam penurunan angka kematian balita.
Indonesia memiliki cakupan imunisasi campak pada tahun 2013 sebesar 97,85%.
Capaian tersebut telah memenuhi target 90% yang menjadi komitmen Indonesia pada lingkup
regional. Cakupan pada tahun 2013 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2012 yang
sebesar 99,3%. Pada tingkat provinsi, terdapat 21 provinsi yang telah berhasil mencapai target
90% seperti yang disajikan pada gambar 5.25 berikut.
GAMBAR 5.30
PERSENTASE CAKUPAN IMUNISASI CAMPAK
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber : Ditjen PPPL, Kemenkes RI, 2014

Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki capaian
tertinggi sebesar 109,37% diikuti oleh Nusa Tenggara Barat sebesar 107,9% dan Jambi sebesar
104,86%. Sedangkan provinsi dengan cakupan terendah adalah Papua sebesar 66,93%, diikuti
oleh Papua Barat sebesar 76,59% dan Nusa Tenggara Timur sebesar 80,69%.
Sedangkan berdasarkan laporan Riskesdas 2013, persentase imunisasi campak secara
pada anak 12 23 bulan secara nasional sebesar 82,1%. Capaian tersebut belum memenuhi
target 90% yang menjadi komitmen Indonesia pada lingkup regional. Menurut Riskesdas 2013,

Kesehatan Keluarga 103


pada tingkat provinsi, hanya 8 provinsi yang telah berhasil mencapai target 90% seperti yang
disajikan pada gambar 5.26 berikut.

GAMBAR 5.31
CAKUPAN IMUNISASI CAMPAK
PADA ANAK UMUR 12-23 BULAN MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber : Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2014

Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa yang memiliki capaian tertinggi adalah
Provinsi DI Yogyakarta sebesar 98,1% diikuti oleh Gorontalo sebesar 94,9% dan Sulawesi Utara
sebesar 94,4%%. Sedangkan provinsi dengan cakupan terendah adalah Papua sebesar 56,8%,
diikuti oleh Aceh sebesar 62,4% dan Banten sebesar 66,7%.
Program imunisasi pada bayi mengharapkan agar setiap bayi mendapatkan kelima jenis
imunisasi dasar lengkap. Keberhasilan seorang bayi dalam mendapatkan 5 jenis imunisasi dasar
tersebut diukur melalui indikator imunisasi dasar lengkap. Capaian indikator ini di Indonesia
pada tahun 2013 sebesar 90,00%. Angka ini telah memenuhi target Renstra pada tahun 2013
yang sebesar 88%. Dengan demikian terdapat 15 provinsi (45,45%) yang telah memenuhi
target Renstra tahun 2013.

104 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 5.32
CAKUPAN IMUNISASI DASAR LENGKAP PADA BAYI
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber : Ditjen PPPL, Kemenkes RI, 2014

Tiga provinsi dengan capaian imunisasi dasar lengkap pada bayi yang tertinggi pada
tahun 2013 adalah di Provinsi Jawa Tengah sebesar 100,73% diikuti oleh Nusa Tenggara Barat
sebesar 99,47%, dan Jawa Timur sebesar 99,31%. Sedangkan tiga provinsi dengan capaian
terendah adalah Papua sebesar 66,57%, diikuti oleh Papua Barat sebesar 67,66%, dan Sulawesi
Tenggara sebesar 69,90%. Data dan informasi terkait imunisasi dasar pada bayi yang dirinci
menurut provinsi tahun 2013 terdapat pada lampiran 5.24.

b. Universal Child Immunization


Indikator lain yang diukur untuk menilai keberhasilan pelaksanaan imunisasi adalah
Universal Child Immunization atau yang biasa disingkat UCI. UCI adalah gambaran suatu
desa/kelurahan dimana 80% dari jumlah bayi (0-11 bulan) yang ada di desa/kelurahan
tersebut sudah mendapat imunisasi dasar lengkap. Target UCI pada Renstra tahun 2013 adalah
sebesar 95%. Pada tahun 2013 terdapat 9 provinsi yang memiliki persentase desa UCI melebihi
target 95% seperti yang nampak pada gambar berikut ini.

Kesehatan Keluarga 105


GAMBAR 5.33
CAKUPAN DESA/KELURAHAN UCI
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber: Ditjen PPPL, Kemenkes RI, 2014

Pada Gambar 5.14 dapat diketahui bahwa terdapat tiga provinsi memiliki capaian
tertinggi sebesar 100%, yaitu DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Jambi. Kemudian diikuti oleh
Lampung sebesar 99,27%. Sedangkan Provinsi Papua memiliki capaian terendah sebesar
13,05%, diikuti oleh Papua Barat sebesar 41,21%, dan Sulawesi Tenggara sebesar 56,50%.
Informasi terkait capaian desa UCI pada tahun 2011 - 2013 menurut provinsi terdapat pada
lampiran 5.29.
Imunisasi dasar pada bayi seharusnya diberikan pada anak sesuai dengan umurnya.
Pada kondisi ini, diharapkan sistem kekebalan tubuh dapat bekerja secara optimal. Namun
demikian, pada kondisi tertentu beberapa bayi tidak mendapatkan imunisasi dasar secara
lengkap. Kelompok inilah yang disebut dengan drop out (DO) imunisasi. Bayi yang
mendapatkan imunisasi DPT/HB1 pada awal pemberian imunisasi, namun tidak mendapatkan
imunisasi campak, disebut Drop Out Rate DPT/HB1- Campak. Indikator ini diperoleh dengan
menghitung selisih penurunan cakupan imunisasi campak terhadap cakupan imunisasi
DPT/HB1.
Drop Out Rate imunisasi DPT/HB1-Campak pada tahun 2013 sebesar 3,3%. Angka ini
lebih rendah dibandingkan tahun 2011 sebesar 3,6%. DO Rate DPT/HB1-Campak menunjukkan
kecenderungan penurunan sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 yang artinya semakin
sedikit bayi yang tidak mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap. Kecenderungan
penurunan tersebut dijelaskan pada gambar berikut.

106 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 5.34
ANGKA DROP OUT CAKUPAN IMUNISASI DPT/HB1 - CAMPAK PADA BAYI
DI INDONESIA TAHUN 2007-2013

Sumber: Ditjen PPPL, Kemenkes RI, 2014

DO rate DPT/HB1-campak diharapkan agar tidak melebihi 5%. Batas maksimal tersebut
telah berhasil dipenuhi sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2013. Pada tahun 2013 terdapat
19 provinsi dengan DO rate 5%. Data dan informasi lebih rinci mengenai drop out rate
cakupan imunisasi pada tahun 2013 DPT/HB1-campak tahun 2013 terdapat pada lampiran
5.26.

10. Pelayanan Kesehatan Anak Balita


Kehidupan anak, usia dibawah lima tahun merupakan bagian yang sangat penting. Usia
tersebut merupakan landasan yang membentuk masa depan kesehatan, kebahagiaan,
pertumbuhan, perkembangan, dan hasil pembelajaran anak di sekolah, keluarga, masyarakat
dan kehidupan secara umum.
Kesehatan bayi dan balita harus dipantau untuk memastikan kesehatan mereka selalu
dalam kondisi optimal. Untuk itu dipakai indikator-indikator yang bisa menjadi ukuran
keberhasilan upaya peningkatan kesehatan bayi dan balita, salah satu diantaranya adalah
pelayanan kesehatan anak balita. Adapun batasan anak balita adalah setiap anak yang berada
pada kisaran umur 12 sampai dengan 59 bulan.
Pelayanan kesehatan pada anak balita dilakukan oleh tenaga kesehatan dan
memperoleh :
1. Pelayanan Pemantauan pertumbuhan minimal 8 kali setahun (Penimbangan berat
badan dan pengukuran tinggi badan minimal 8 kali dalam setahun).
2. Pemberian vitamin A dua kali dalam setahun yakni setiap bulan Februari dan
Agustus
3. Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang balita minimal 2 kali dalam
setahun.
4. Pelayanan Anak Balita Sakit sesuai standar menggunakan Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS).
Capaian Indikator pelayanan kesehatan anak balita pada tahun 2013 sebesar 70,12%
dan itu berarti belum memenuhi target Renstra pada tahun 2013 yang sebesar 83%. Capaian

Kesehatan Keluarga 107


indikator ini juga mengalami penurunan dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 73,52%.
Capaian indikator menurut provinsi juga menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di
Indonesia memiliki capaian di bawah 83% seperti yang terlihat pada gambar berikut.

GAMBAR 5.35
CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN ANAK BALITA
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber : Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Penurunan terjadi dari kondisi pada tahun 2012 dimana terdapat 7 provinsi yang
memiliki capaian kurang dari target 81%, pada tahun 2013 tampak hanya 4 provinsi yang
memiliki capaian melebihi target 83%, yaitu DKI Jakarta, Bali, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah,
seperti yang tampak pada gambar 5.2.9 diatas. DKI Jakarta memiliki capaian tertinggi yaitu
sebesar 93,80%, diikuti oleh Bali sebesar 87,98%, dan DI Yogyakarta sebesar 85,46%.
Sedangkan provinsi dengan capaian terendah adalah Papua sebesar 8,43%, diikuti oleh
Kepulauan Riau sebesar 25,23%, dan Sulawesi Tengah sebesar 38,60%. Data dan informasi
menurut provinsi terkait upaya pelayanan kesehatan anak balita disajikan pada lampiran 5.27

11. Pelayanan Kesehatan Pada Siswa SD dan Setingkat


Mulai masuk sekolah merupakan hal penting bagi tahap perkembangan anak. Banyak
masalah kesehatan terjadi pada anak usia sekolah, seperti misalnya pelaksanaan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) seperti menggosok gigi dengan baik dan benar, mencuci tangan
menggunakan sabun, karies gigi, kecacingan, kelainan refraksi/ketajaman penglihatan dan
masalah gizi. Pelayanan kesehatan pada anak termasuk pula intervensi pada anak usia sekolah.
Anak usia sekolah merupakan sasaran yang strategis untuk pelaksanaan program
kesehatan, karena selain jumlahnya yang besar, mereka juga merupakan sasaran yang mudah
dijangkau karena terorganisir dengan baik. Sasaran dari pelaksanaan kegiatan ini diutamakan
untuk siswa SD/sederajat kelas 1. Pemeriksaan kesehatan dilaksanakan oleh tenaga kesehatan
bersama tenaga lainnya yang terlatih (guru UKS/UKSG dan dokter kecil). Tenaga kesehatan

108 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


disini adalah tenaga medis, tenaga keperawatan atau petugas puskesmas lainnya yang telah
dilatih sebagai tenaga pelaksana UKS/UKGS. Guru UKS/UKGS adalah guru kelas atau guru yang
ditunjuk sebagai pembina UKS/UKGS di sekolah dan telah dilatih tentang UKS/UKGS. Dokter
kecil adalah kader kesehatan sekolah yang biasanya berasal dari murid kelas 4 dan 5 SD dan
setingkat yang telah mendapatkan pelatihan dokter kecil.
Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran tentang kebersihan dan kesehatan gigi bisa
dilaksanakan sedini mungkin. Kegiatan ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan siswa
tentang pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut pada khususnya dan kesehatan tubuh
serta lingkungan pada umumnya.
Upaya kesehatan pada kelompok ini yang dilakukan melalui penjaringan kesehatan
terhadap murid SD/MI kelas 1 juga menjadi salah satu indikator yang dievaluasi
keberhasilannya melalui Renstra Kementerian Kesehatan. Kegiatan penjaringan kesehatan
selain untuk mengetahui secara dini masalah-masalah kesehatan anak sekolah sehingga dapat
dilakukan tindakan secepatnya untuk mencegah keadaan yang lebih buruk, juga untuk
memperoleh data atau informasi dalam menilai perkembangan kesehatan anak sekolah,
maupun untuk dijadikan pertimbangan dalam menyusun perencanaan, pemantauan dan
evaluasi kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
Kegiatan penjaringan kesehatan ini terdiri dari :
1. Pemeriksaan kebersihan perorangan (rambut, kulit dan kuku)
2. Pemeriksaan status gizi melalui pengukuran antropometri
3. Pemeriksaan ketajaman indera (penglihatan dan pendengaran)
4. Pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut
5. Pemeriksaan laboratorium untuk anemia dan kecacingan
6. Pengukuran kebugaran jasmani
7. Deteksi dini masalah mental emosional.
Penjaringan kesehatan dinilai dengan menghitung persentase SD/MI yang melakukan
penjaringan kesehatan terhadap seluruh SD/MI yang menjadi sasaran penjaringan. Cakupan SD
atau sederajat yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk siswa kelas 1 pada tahun 2013
di Indonesia yang sebesar 73,91% mengalami penurunan dibandingkan cakupan tahun 2012
yang sebesar 83,95%. Selain terjadi penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, capaian
tersebut juga belum memenuhi target Renstra 2013 yang sebesar 94%.

Kesehatan Keluarga 109


GAMBAR 5.36
CAKUPAN SEKOLAH DASAR/SETINGKAT YANG MELAKSANAKAN PENJARINGAN
SISWA SD/SETINGKAT KELAS 1 MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber : Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Dari gambar 5.30 diketahui bahwa sebagian besar provinsi belum memenuhi target
94%, hanya 6 provinsi yang telah mencapai target Renstra 2013 yaitu Bali, DI Yogyakarta,
Kepulauan Bangka Belitung, DKI Jakarta, Sumatera Barat, dan Riau. Ada dua provinsi dengan
capaian 100%, yakni provinsi Bali dan DI Yogyakarta. Kemudian diikuti oleh Kepulauan Bangka
Belitung sebesar 99,63%, DKI Jakarta sebesar 99,07%, Sumatera Barat sebesar 96,83%, dan
Riau sebesar 94,98%. Sedangkan capaian terendah terdapat di Provinsi Maluku sebesar
13,69%, diikuti oleh Nusa Tenggara Timur sebesar 17,81%, dan Papua sebesar 17,85%.
Sedikitnya jumlah provinsi yang telah memenuhi target Renstra Kemenkes berarti sulit
terpenuhinya target penjaringan SD/MI. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa masalah.
Masalah utama yang sering ditemukan di daerah adalah kurangnya tenaga di Puskesmas
sedangkan jumlah SD/MI cukup banyak, sehingga untuk melaksanakan penjaringan kesehatan
membutuhkan waktu lebih lama. Selain itu juga manajemen pelaporan belum terintegrasi
dengan baik. Walaupun kegiatan penjaringan kesehatan telah dilaksanakan di Puskesmas
namun di beberapa Provinsi, pengelola program UKS di Kabupaten/Kota berada pada struktur
organisasi yang berbeda sehingga menjadi penyebab koordinasi pencatatan dan pelaporan
tidak berjalan dengan baik . Data dan informasi tentang cakupan penjaringan siswa
SD/sederajat kelas 1 menurut provinsi terdapat pada lampiran 5.39.

12. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)


Salah satu upaya kesehatan anak yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden adalah
Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di Puskesmas. Program ini mulai dikembangkan

110 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


pada tahun 2003 yang bertujuan khusus untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
remaja tentang kesehatan reproduksi dan perilaku hidup sehat serta memberikan pelayanan
kesehatan yang berkualitas kepada remaja.
Puskesmas yang memiliki PKPR memberikan layanan baik di dalam maupun di luar
gedung yang ditujukan bagi kelompok remaja berbasis sekolah ataupun masyarakat. Hal ini
dilakukan agar layanan yang diberikan dapat menjangkau semua kelompok remaja (10-19
tahun). Kriteria yang ditetapkan bagi Puskesmas yang mampu laksana PKPR yaitu :
1) Melakukan pembinaan pada minimal 1 sekolah (sekolah umum, sekolah berbasis
agama) dengan melaksanakan kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) di
sekolah binaan minimal 2 kali dalam setahun;
2) Melatih Kader Kesehatan Remaja di sekolah minimal sebanyak 10% dari jumlah murid
di sekolah binaan; dan
3) Memberikan pelayanan konseling pada semua remaja yang memerlukan konseling yang
kontak dengan petugas PKPR.
Layanan PKPR merupakan upaya komprehensif yang menekankan pada langkah
promotif/preventif berupa pembekalan kesehatan dan peningkatan keterampilan psikososial
dengan Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS). Layanan konseling menjadi ciri dari
PKPR mengingat permasalahan remaja yang tidak hanya berhubungan dengan fisik tetapi juga
psikososial. Upaya penjangkauan terhadap kelompok remaja juga dilakukan melalui kegiatan
Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE), Focus Group Discussion (FGD), dan penyuluhan ke
sekolah-sekolah dan kelompok remaja lainnya.
Fenomena peer groups (kelompok sebaya) juga menjadi perhatian pada program PKPR.
Oleh karena itu, program ini juga memberdayakan remaja sebagai konselor sebaya yang
diharapkan mampu menjadi agen pengubah di kelompoknya. Konselor sebaya ini sangat
potensial karena adanya kecenderungan pada remaja untuk memilih teman sebaya sebagai
tempat berdiskusi dan rujukan informasi.
Selain pemberian informasi dan edukasi, dan kegiatan seperti disebutkan diatas,
pelayanan kesehatan sekolah ini meliputi pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan perkembangan
kecerdasan, pemberian imunisasi, penemuan kasus-kasus dini yang mungkin terjadi,
pengobatan sederhana, pertolongan pertama serta rujukan bila menemukan kasus yang tidak
dapat ditanggulangi di sekolah.
Persentase kabupaten/kota dengan minimal 4 puskesmas mampu tata laksana PKPR
pada tahun 2013 terdapat pada gambar 5.31.

Kesehatan Keluarga 111


GAMBAR 5.37
PERSENTASE KABUPATEN/KOTA
DENGAN MINIMAL 4 PUSKESMAS MAMPU TATA LAKSANA PKPR
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber : Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Berdasarkan target tahun 2013 yang ditentukan oleh program yaitu 70%, terdapat 27
provinsi telah melampaui target tersebut. Hanya 6 provinsi yang belum mencapai target tahun
2013. Persentase kabupaten/kota dengan minimal 4 puskesmas mampu tata laksana PKPR di
Indonesia tahun 2013 sebesar 81,6%, mengalami peningkatan dari tahun 2012 yang sebesar
77,67%.
Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2013 terdapat 81,69%
kabupaten/kota di Indonesia yang telah memiliki 4 puskesmas mampu laksana PKPR. Pada
tahun 2013 terdapat 11 provinsi dengan persentase 100%, jumlah ini lebih tinggi dibandingkan
tahun 2012 yang sebanyak 10 provinsi. Provinsi dengan persentase 100% artinya seluruh
kabupaten telah memiliki sedikitnya 4 Puskesmas mampu PKPR. Jumlah kab/kota yang
memiliki minimal 4 puskesmas PKPR pada tahun 2013 sebanyak 406 kab/kota. Jumlah
puskesmas PKPR tahun 2013 sebesar 3.077 puskesmas tersebar di 33 provinsi. Data dan
informasi lebih rinci menurut provinsi terkait persentase kabupaten/kota dengan puskesmas
mampu laksana PKPR disajikan pada lampiran 5.37.
Untuk keberhasilan dalam pengembangan pelaksanaan PKPR digunakan strategi
sebagai berikut:
1. Peningkatan Akses dan Kualitas Penyelenggaraan PKPR
Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan terlatih tentang penyelenggraan PKPR
khususnya dalam memberikan konseling. Pelatihan di tingkat provinsi didukung oleh
dana dekon terutama untuk provinsi yang belum mencapai target indikator
Kabupaten/Kota yang memiliki minimal 4 puskesmas mampu laksana PKPR.

112 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Pengembangan Standar Nasional Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) agar
mutu penyelenggaraannya PKPR terutama di Puskesmas ditingkatkan mutunya secara
berkesinambungan.
2. Kemitraan
Pertemuan Koordinasi Lintas Sektor, Lintas Program, Lembaga Swadaya Masyarakat,
donor agency untuk meningkatnya komitmen, koordinasi dan komunikasi terkait
kegiatan kesehatan remaja.
3. Pemberdayaan Remaja
Pelatihan Konselor remaja
Melibatkan remaja dalam perencanaan dan pelaksanaan PKPR
4. Dukungan Manajemen
Pembinaan Teknis Bagi Pengelola Program Anak Usia Sekolah Dan Remaja di
Provinsi dan kabupaten/kota.
Penyediaan dan distribusi buku-buku pedoman/juknis, untuk memberikan acuan/
panduan bagi pengelola program dalam melaksanakan PKPR.
Penyediaan dan distribusi media KIE kesehatan remaja (poster, lembar balik, puzzle,
kartu kwartet, celemek dan panthom kesehatan reproduksi).

13. Pelayanan Kesehatan pada Kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA)


Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Semua anak mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan. Perlindungan anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang dan berpastisipasi, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 131 Tentang Kesehatan menyebutkan
bahwa :
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan
generasi yang akan datang yang sehat, cerdas dan berkualitas serta menurunkan angka
kematian bayi dan anak.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dimulai sejak anak masih dalam kandungan,
dilahirkan, setelah dilahirkan dan sampai berusia 18 tahun.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dan
(2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga,
masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Dari jutaan anak di dunia yang tidak mendapat perlindungan penuh, banyak diantara
mereka terlibat dalam kekerasan, terbuang, terlantar, dijadikan pekerja, terabaikan dan
dilecehkan. Berbagai bentuk kekerasan membatasi kesempatan anak-anak untuk bertahan
hidup, tumbuh, berkembang dan mewujudkan impian mereka.
Menurut KOMNAS Perlindungan Anak (2006), pemicu kekerasan terhadap anak
diantaranya adalah : 1) Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan
yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Anak seringkali menjadi
sasaran kemarahan orang tua, 2) Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan
sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran
ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi, 3) Faktor ekonomi, yaitu kekerasan
timbul karena tekanan ekonomi. 4) Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang
tua menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola
asuh apapun berhak dilakukan oleh orang tua. Disamping itu, kekerasan pada anak terinspirasi
dari tayangan-tayangan televisi maupun media-media lainnya yang tersebar dilingkungan
masyarakat.

Kesehatan Keluarga 113


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kekerasan terhadap anak sebagai
semua bentuk tindakan/perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional,
penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi, komersial atau lainnya, yang
mengakibatkan cedera/kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak,
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak, yang dilakukan dalam
konteks hubungan tanggungjawab.
Dalam bidang kesehatan, pemerintah melakukan intervensi dalam bentuk penyediaan
akses pelayanan kesehatan bagi korban kekerasan pada anak yang terdiri dari pelayanan di
tingkat dasar melalui puskesmas mampu tatalaksana kekerasan terhadap anak dan Pusat
Pelayanan Terpadu (PPT) di rumah sakit untuk penanganan kasus rujukan. Kegiatan yang
dilakukan meliputi upaya pencegahan, deteksi dan penanganan kasus termasuk rujukan oleh
puskesmas yang bekerjasama dengan LP/LS terkait melalui :
o pelayanan di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT)/Pusat Krisis Terpadu (PKT) di
RSUP/RS Swasta/RS Bhayangkara dan
o Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) di polres setempat.
o Lembaga Perlindungan Anak/LPA,
o Lembaga Bantuan Hukum/LBH,
o Rumah Perlindungan Trauma Center/RPTC,
o Rumah Perlindungan Sosial Anak/RPSA dan lain-lain
Pendekatan pelayanan kesehatan KtA di Puskesmas dilakukan melalui 3 aspek yaitu
meliputi aspek medis (pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang), medikolegal (Visum et
repertum) dan psikososial (rumah aman). Penatalaksanaan kasus merupakan multidisiplin
dengan melibatkan lembaga pelayanan kesehatan, lembaga perlindungan anak, lembaga
bantuan hukum, aparat penegak hukum dan lembaga sosial lainnya, yang terbentuk dalam
mekanismes kerja jejaring.
Pelayanan kesehatan lebih difokuskan pada upaya promotif dan preventif seperti
penyuluhan mengenai dampak KtA terhadap tumbuh kembang anak baik secara fisik maupun
psikologis di sekolah melalui program UKS dan di tingkat masyarakat memberikan penyuluhan
kepada ibu-ibu PKK dan lain-lain. Selain itu, puskesmas juga memberikan pelayanan kuratif
yaitu penanganan darurat medis, pelayanan rehabilitatif dengan memberikan konseling.
pelayanan rujukan medikolegal dan psikososial.
Program KtA diarahkan untuk menyediakan akses pelayanan kesehatan secara
komprehensif di pelayanan tingkat dasar dan rujukan. Target Puskesmas mampu Tatalaksana
KtA adalah setiap Kab/Kota memiliki minimal 2 puskesmas Mampu tatalaksana KtA. Kriterianya
adalah memiliki tenaga terlatih tatalaksana kasus KtA yaitu dokter atau doker gigi dan perawat
atau bidan dan melakukan pelayanan rujukan kasus KtA.
Upaya peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan melalui penyiapan
fasilitator pusat dan daerah serta tenaga pemberi pelayanan di puskesmas yang dilakukan
dengan menyelenggarakan pelatihan (TOT) secara berjenjang dalam rangka menyediakan
Puskesmas Mampu Tatalaksana KtA dengan menggunakan dana APBN maupun dekon. Selain
itu, pada tahun 2012 2013 telah dilaksanakan penguatan pelayanan rujukan di rumah sakit.
Hasil cakupan Puskesmas Mampu Tatalaksana KtA pada tahun 2013 adalah 1535 puskesmas
(76,26%) yang melampaui target nasional yaitu 60% dan tersebar di 379 Kabupaten/Kota.
Target Puskesmas Mampu Tatalaksana KtA pada tahun 2014 adalah 90%. Saat ini, sudah
tersedia 67 RS Umum/RS Bhayangkara di 28 provinsi yang memiliki PPT/PKT (menjadi Pusat
Pelayanan Terpadu untuk korban KtA) dan 34 RS di 22 provinsi yang melakukan pelayanan KtA
di IGD oleh tenaga kesehatan terlatih.

114 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Kekerasan terhadap anak merupakan tindak pidana berat, dalam Pasal 108 KUHAP ayat
(3) menyatakan bahwa setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang
mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera
melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik. Untuk itu, telah dibuat Permenkes nomor
68 tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi layanan Kesehatan untuk memberikan informasi
atas adanya dugaan kekerasan terhadap anak. Diharapkan dengan Permenkes ini, tenaga
kesehatan di lapangan dapat bekerja secara profesional dan aman.

GAMBAR 5.38
PERSENTASE KABUPATEN/KOTA
DENGAN MINIMAL 2 PUSKESMAS MAMPU TATA LAKSANA KTA
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber : Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Pada gambar 5.32 di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2013 terdapat 76,26%
kabupaten/kota di Indonesia yang telah memiliki 2 puskesmas mampu laksana KtA. Pada tahun
2013 terdapat 14 provinsi dengan persentase 100%, jumlah ini sama dengan kondisi pada
tahun 2012 yaitu sebanyak 13 provinsi. Provinsi dengan persentase 100% artinya seluruh
kabupaten/kota di provinsi tersebut telah memiliki sedikitnya 2 Puskesmas mampu
Tatalaksana KtA. Provinsi tersebut yaitu Papua Barat, Maluku, Sulawesi Tenggara, Kalimantan
Timur, Kalimantan Selatan, NTB, Bali, Banten, DIY, Jakarta, Sumatera Selatan, Jambi dan
Sulawesi Utara. Sedangkan provinsi yang capaiannya dibawah target (75 %) adalah Papua,
Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Maluku Utara, Kepulauan Riau, Bengkulu, Sulawesi barat dan
Kalimantan Barat. Data dan informasi lebih rinci menurut provinsi terkait persentase
kabupaten/kota dengan puskesmas mampu laksana KtA disajikan pada lampiran 5.36.

Kesehatan Keluarga 115


14. Pelayanan Kesehatan Anak Terlantar dan Anak Jalanan di Panti
Upaya kesehatan anak juga dilakukan untuk menjangkau kelompok yang terpinggirkan
yaitu anak terlantar dan anak jalanan. Kelompok umur remaja (usia 14 18 tahun) merupakan
bagian terbesar dari kelompok anak jalanan. Masalah kesehatan yang dihadapi anak jalanan
terkait dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa kondisi
anak jalanan yang tidak memiliki tempat tinggal yang sehat. Anak jalanan menghabiskan
sebagian besar waktunya di jalanan yang meningkatkan kerentanan mereka terhadap gangguan
kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan, diare, kulit dan lain sebagainya.
Anak jalanan secara psikologis memiliki konsep diri negatif, tidak atau kurang percaya
diri, mudah tersinggung, ketergantungan pada orang lain, dan emosi yang tidak stabil. Kondisi
ini menyebabkan mereka mudah terpengaruh orang lain dan cenderung berperilaku antisosial
(berkelahi, mencuri, merampas, menggunakan NAPZA dan menjalankan bisnis NAPZA, dan
perilaku seks bebas). Selain itu, anak dapat mengalami berbagai bentuk kekerasan baik fisik,
psikis dan seksual. Mereka juga dapat mengalami eksploitasi fisik dan seksual terutama oleh
orang dewasa hingga kehilangan nyawa, sehingga timbul masalah kesehatan yang terkait
kesehatan reproduksi seperti Infeksi Menular Seksual (IMS/PMS) dan HIV/AIDS.
Upaya kesehatan bagi anak terlantar dilakukan pada kelompok-kelompok sasaran
seperti di panti/LKSA anak terlantar/anak jalanan, shelter, rumah singgah dan lain-lain. Upaya
kesehatan yang dilakukan mencakup aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif melalui
pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan yang bertugas di puskesmas bekerjasama dengan
unsur dari sektor terkait dan LSM memberikan pelayanan kesehatan bagi anak terlantar dan
anak jalanan.
Puskesmas melakukan pembinaan kesehatan bagi bayi, balita, anak usia sekolah dan
remaja di panti (LKSA) adalah puskesmas yang melakukan pelayanan kesehatan terhadap anak
dipanti/LKSA serta diberikan berdasarkan paket-paket pelayanan yang disesuaikan dengan
kelompok usia anak yang meliputi: Pelayanan kesehatan bayi, pelayanan kesehatan anak balita
dan pelayanan kesehatan anak usia sekolah dan remaja. Kegiatan yang dilakukan meliputi
pengobatan, pelayanan imunisasi, pelayanan gizi, promosi kesehatan, penyehatan lingkungan,
pengendalian penyakit, kesehatan jiwa dan pemeriksaan serta pemeliharaan kebersihan diri.
Pada tahun 2013 terdapat 1.751 puskesmas yang memiliki panti anak terlantar di
wilayah kerjanya. Dari seluruh puskesmas yang memiliki panti anak terlantar, terdapat 1.270
(72,53%) puskesmas yang telah melakukan pembinaan. Angka ini meningkat dari tahun 2012
yakni sebesar 1.003 (57,28%) puskesmas yang memiliki panti anak terlantar. Saat ini sasaran
panti yang dibina oleh 1751 puskesmas yang berada di 33 provinsi berjumlah 3348 panti.
Target pembinaan kesehatan Anak di Panti/LKSA yaitu 33 provinsi dimana setiap puskesmas
membina Panti/LKSA yang berada di wilayah kerjanya dan melakukan pelayanan rujukan di
Rumah Sakit. Upaya peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan yang dilakukan pada
tahun 2013 yaitu, pembinaan kesehatan anak di Panti/LKSA, Pertemuan Koordinasi Yankes
perlindungan Anak LP/LS Tingkat Pusat di Jakarta dan Forum Teknis Perlindungan Kesehatan
Anak. Tahun 2014 akan diadakan Konsolidasi Program Yankes anak di Panti yang melibatkan
LP/LS, Organisasi Profesi dan LSM. Data dan informasi berdasarkan provinsi terkait puskesmas
yang melakukan pembinaan di Panti Anak Terlantar dapat dilihat pada lampiran 5.38.

15. Pelayanan Kesehatan Anak Dengan Disabilitas (ADD)


Anak dengan disabilitas merupakan bagian dari anak Indonesia yang perlu mendapat
perhatian dan perlindungan oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga sesuai dengan amanat
dari Undang undang Nomor 23 Tahun 2001 tentang Perlindungan Anak.

116 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Upaya perlindungan bagi anak dengan disabilitas adalah sama dengan anak lainnya
yaitu upaya pemenuhan kebutuhan dasar anak, agar mereka dapat hidup, tumbuh dan
berkembang secara optimal serta berpartisipasi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Kebutuhan dasar anak tersebut meliputi asah, asih dan asuh yang dapat diperoleh melalui
upaya di bidang kesehatan maupun pendidikan dan sosial.
Sebagai salah satu negara yang melakukan ratifikasi terhadap konvensi hak-hak
penyandang disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/ CRPD) melalui UU
nomor 19 tahun 2011, Indonesia memiliki kewajiban untuk agar isi Konvensi agar sepenuhnya
dapat dilakukan di Indonesia. Prinsip umum konvensi adalah meningkatkan pemenuhan hak-
hak penyandang disabilitas termasuk dalam hal aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan.
Terkait anak dengan disabilitas pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah melakukan
upaya diantaranya deteksi dini, stimulasi dan intervensi tumbuh kembang anak, skrining
hipotiroid kongenital dan melibatkan anak dengan disabilitas untuk menjadi kader kesehatan di
SLB melalui UKS.
Program ADD merupakan salah satu program yang harus dilaporkan bersama dengan
program kesehatan bagi penyandang disabilitas oleh Kementerian Kesehatan melalui
Kementerian Luar Negeri di tingkat internasional setiap 4 tahun, mengingat Indonesia telah ikut
meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Conventinon of The Right of People with
Disability).
Pengembangan program yang dilakukan bagi ADD melalui dua pendekatan yaitu
melalui program UKS di SLB dan melalui pembinaan kesehatan ADD di tingkat keluarga.
Program pembinaan ADD di SLB melalui UKS.
Pembinaan kesehatan ADD di tingkat keluarga dikembangkan, mengingat sebagian
besar ADD berada di masyarakat sehingga perlu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
(community awareness) tentang hak-hak anak dengan disabilitas dan upaya pemberdayaan
masyarakat/keluarga/orangtua, agar dapat melakukan pengasuhan yang benar apabila
memiliki Anak dengan Disabilitas.
Diharapkan program ini dapat menumbuhkan kemandirian orangtua/keluarga untuk
mampu membimbing dan melatih anak tentang aktivitas hidup sehari-hari seperti toilet
training, kebersihan diri termasuk menyikat gigi sendiri, memperhatikan tumbuh kembang
anak dengan memberikan asupan gizi yang memadai, mengenal tanda-tanda penyakit dan
upaya pencegahannya serta memberikan latihan sederhana bagi anak agar dapat mencapai
kemampuan optimal sesuai potensi yang dimiliki.
Target pembinaan SLB oleh puskesmas adalah puskesmas yang melakukan 1 (satu) atau
lebih pelayanan kesehatan melalui UKS di SLB, antara lain penyuluhan tentang kesehatan anak,
penyuluhan tentang kesehatan lingkungan, penjaringan kesehatan, pemberantasan sarang
nyamuk, imunisasi, pengobatan, dan lain - lain.
Tahun 2013 capaian Rencana Aksi Nasional Hak Azasi Manusia (RAN HAM) untuk
pembinaan kesehatan anak di SLB sudah dilakukan di 22 Provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Sumatera Barat,
Lampung, Riau, Kalsel, Banten, Sumatera Selatan, NTB, Sulawesi Utara, Sumatera Utara,
Gorontalo, Kalimantan Barat, Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau) capaian
100%. Sejalan dengan sasaran provinsi yang melaksanakan program UKS dengan mengacu pada
buku Pedoman Pembinaan Kesehatan Anak di SLB bagi petugas kesehatan. Kegiatan yang sudah
dilakukan di tahun 2013 yaitu, Revisi Modul RBM untuk yankes anak penyandang cacat dan
pertemuan koordinasi yankes anak penyandang cacat di SLB (Tipe A dan Tipe B).

Kesehatan Keluarga 117


Sedangkan tahun 2014 target pembinaan pelayanan kesehatan oleh puskesmas melalui
UKS di SLB dilaksanakan di 27 propinsi yaitu 22 prov di tahun 2013 ditambah 5 provinsi
pengembangan baru yaitu, NTT, Aceh, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.

16. Pelayanan Kesehatan Anak yang Berhadapan Hukum (ABH)


Data tentang ABH setiap tahun diperkirakan sekitar 5000-7000 anak yang berhadapan
dengan hukum terdapat di Lapas/Rutan anak maupun dewasa. ABH di Lapas/Rutan mayoritas
adalah anak usia remaja (12-18 tahun) dengan berbagai masalah kesehatan baik pada yang
didapat dari anak maupun akibat pengaruh dampak lingkungan baik fisik maupun psikis. Alasan
utama yang menyebabkan anak terpaksa menjalani hukuman pidana di Lapas, yaitu: terkait 1)
kasus narkoba (NAPZA), 2) perbuatan asusila (pencabulan, perkosaan), 3) dan masalah
kriminal lainnya (pencurian, pembunuhan). ABH dengan kasus asusila dan narkoba sangat erat
terkait dengan masalah kesehatan reproduksi remaja; hal ini berdampak pada gangguan fisik
maupun psikologis. Hasil pemantauan program perlindungan kesehatan anak pada tahun 2011
2012 ditemukan sebagai penyebab tertinggi kekerasan seksual pada anak didik
pemasyarakatan (andikpas) berada di Lapas Anak Kota Kupang NTT (100%), Lapas anak
Gianyar Bali (70%) dan Lapas Sulawesi Selatan (50%).
Sementara itu, gambaran masalah kesehatan pada ABH, pada umumnya meliputi:
Infeksi kulit, seperti scabies,
Infeksi Saluran Pernafasan: ISPA, TB,
Masalah kesehatan reproduksi remaja: Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk
HIV & AIDS,
Masalah narkoba: NAPZA termasuk rokok
Kondisi sanitasi lingkungan Lapas masih kurang
Kebijakan dan strategi dalam program kesehatan bagi ABH dikembangkan sesuai
dengan indikator pada Inpres No 3 Tahun 2010-2011 dilanjutkan pada tahun 2012 2014
sebagai RAN HAM, yaitu: pembinaan kesehatan bagi ABH di Lapas/Rutan dan rujukan di Rumah
Sakit. Kegiatan yang dilakukan meliputi penyuluhan PHBS, penyuluhan tentang kesehatan anak,
penyuluhan tentang kesehatan lingkungan, penjaringan kesehatan, pemberantasan sarang
nyamuk, imunisasi, pengobatan, dan lain lain.
Target program puskesmas membina lapas adalah puskesmas yang melakukan 1 (satu)
atau lebih pelayanan kesehatan di lapas. Tahun 2013 capaian RAN HAM untuk pembinaan
kesehatan di Lapas/Rutan sudah dilaksanakan di 25 provinsi yaitu 96%. Sedangkan tahun 2014
target pembinaan pelayanan kesehatan oleh puskesmas terhadap ABH dilaksanakan di 29
propinsi yaitu 25 prov di tahun 2013 ditambah 4 provinsi pengembangan baru yaitu
Kalimantan Timur, DI Yogyakarta, Gorontalo dan Maluku Utara.

C. STATUS GIZI
1. Status Gizi Balita
Setiap tahun lebih dari sepertiga kematian anak di dunia berkaitan dengan masalah
kurang gizi, yang dapat melemahkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Ibu yang mengalami
kekurangan gizi pada saat hamil, atau anaknya mengalami kekurangan gizi pada usia 2 tahun
pertama, pertumbuhan serta perkembangan fisik dan mentalnya akan lambat.
Salah satu indikator kesehatan yang dinilai pencapaiannya dalam MDGs adalah status
gizi balita. Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan

118 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


(TB). Variabel umur, BB dan TB ini disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu :
berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB). Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan
indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah
gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan
tinggi badan. Dengan kata lain, berat badan yang rendah dapat disebabkan karena pendek
(masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (masalah gizi akut).
Menurut Riskesdas, pada tahun 2013, terdapat 19,6% balita kekurangan gizi yang
terdiri dari 5,7% balita dengan gizi buruk dan 13,9% berstatus gizi kurang. Sebesar 4,5% balita
dengan gizi lebih. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan
tahun 2010 (17,9 %), prevalensi kekurangan gizi pada balita tahun 2013 terlihat meningkat.
Balita kekurangan gizi tahun 2010 terdiri dari 13,0% balita berstatus gizi kurang dan 4,9%
berstatus gizi buruk. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4% tahun
2007, 4,9% pada tahun 2010, dan 5,7% tahun 2013. Untuk mencapai sasaran MDG tahun 2015
yaitu 15,5% maka prevalensi gizi buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 %
dalam periode 2013 sampai 2015.
Gambaran kekurangan gizi balita pada tahun 2013 terdapat pada gambar berikut ini.

GAMBAR 5.39
PERSENTASE BALITA KEKURANGAN GIZI
BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR BB/U
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS TAHUN 2013

Sumber: Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013

Diantara 33 provinsi di Indonesia, 19 provinsi memiliki prevalensi balita kekurangan


gizi di atas angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 19,7% sampai dengan 33,1 persen.
Atas dasar sasaran MDG 2015, terdapat tiga provinsi yang memiliki prevalensi balita
kekurangan gizi sudah mencapai sasaran yaitu: (1) Bali (13,2%), (2) DKI Jakarta (14,0%), (3)

Kesehatan Keluarga 119


Kepulauan Bangka Belitung (15,1%). Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila
prevalensi kekurangan gizi pada balita antara 20,0-29,0%, dan dianggap prevalensi sangat
tinggi bila 30 persen (WHO, 2010). Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi kekurangan
gizi pada anak balita sebesar 19,6%, yang berarti masalah kekurangan gizi pada balita di
Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi.
Diantara 33 provinsi, terdapat dua provinsi termasuk kategori prevalensi sangat tinggi, yaitu
Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur (33,0%).
Indikator gizi yang lain yaitu tinggi badan menurut umur (TB/U) memberikan indikasi
masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya:
kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari
sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek. Indikator status gizi
berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat
dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya: terjadi wabah
penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus.
Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah
kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif
pada saat dewasa.
Pada tahun 2013 terdapat 37,2% balita dengan tinggi badan di bawah normal yang
terdiri dari 18,0% balita sangat pendek dan 19,2% balita pendek. Dibandingkan tahun 2010,
terjadi peningkatan persentase balita pendek dan sangat pendek pada tahun 2013 dari 35,6%
menjadi 37,2%. Pada tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8
% tahun 2007 dan 18,5% tahun 2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0% pada tahun
2007 menjadi 19,2% pada tahun 2013. Gambaran balita dengan tinggi badan di bawah normal
pada tahun 2013 terdapat pada gambar berikut.

GAMBAR 5.40
PERSENTASE BALITA DENGAN TINGGI BADAN DI BAWAH NORMAL
BERDASARKAN TINGGI BADAN MENURUT UMUR TB/U
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS, TAHUN 2013

Sumber: Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013

120 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Menurut provinsi, prevalensi balita pendek terendah terjadi di Kepulauan Riau (26,3%),
DI Yogyakarta (27,3%), dan DKI Jakarta (27,5%). Sedangkan provinsi dengan prevalensi balita
pendek tertinggi terjadi di Nusa Tenggara Timur (51,7%), Sulawesi Barat (48,0%). Dan Nusa
Tenggara Barat (45,2%).
Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 39
% dan serius bila prevalensi pendek 40% (WHO 2010). Sebanyak 13 provinsi termasuk
kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori serius. Ke 15 provinsi tersebut
adalah: Papua (40,1%), Maluku (40,6%), Sulawesi Selatan (40,9%), Sulawesi Tengah (41,0%),
Maluku Utara (41,1%), Kalimantan Tengah (41,3%), Aceh (41,5%), Sumatera Utara (42,5%),
Sulawesi Tenggara (42,6%), Lampung (42,6%), Kalimantan Selatan (44,2%), Papua Barat
(44,7%), Nusa Tenggara Barat (45,2%), Sulawesi Barat (48,0%). dan Nusa Tenggara Timur
(51,7%).
Indikator antropometri lain untuk menilai status gizi balita yaitu berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB). Pada tahun 2013 terdapat 12,1% balita wasting (kurus) yang terdiri dari
6,8% balita kurus dan 5,3% sangat kurus. Gambaran balita kurus dengan berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB) pada tahun 2013 terdapat pada gambar berikut.

GAMBAR 5.41
PERSENTASE BALITA KURUS BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT TINGGI BADAN (BB/TB)
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS TAHUN 2013

Sumber: Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013

Angka ini menurun dibandingkan tahun 2010 dengan persentase 13,3%. Prevalensi
sangat kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3 %, terdapat penurunan
dibandingkan tahun 2010 (6,0 %) dan tahun 2007 (6,2%). Demikian pula halnya dengan
prevalensi kurus sebesar 6,8 persen juga menunjukkan adanya penurunan dari 7,3 persen
(tahun 2010) dan 7,4 % (tahun 2007).
Terdapat 17 provinsi dimana prevalensi balita kurus diatas angka nasional, dengan
urutan dari prevalensi tertinggi, adalah: Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Riau, Nusa Tenggara

Kesehatan Keluarga 121


Timur, Papua Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Papua, Banten, Jambi, Kalimantan Selatan,
Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau dan Maluku Utara.
Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,0
14,0%, dan dianggap kritis bila 15,0 persen (WHO 2010). Pada tahun 2013, secara nasional
prevalensi kurus pada anak balita masih 12,1 persen, yang artinya masalah kurus di Indonesia
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Diantara 33 provinsi, terdapat 23
provinsi yang masuk kategori serius, dan 6 provinsi termasuk kategori kritis, yaitu Kalimantan
Barat, Maluku, Aceh dan Riau

2. Status Gizi Penduduk Dewasa


Gambaran status gizi pada kelompok umur dewasa >18 tahun dapat diketahui melalui
prevalensi gizi berdasarkan indikator Indeks Massa Tubuh (IMT). Status gizi pada kelompok
dewasa berusia 18 tahun didominasi dengan masalah obesitas, walaupun masalah kurus juga
masih cukup tinggi. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi obesitas pada
kelompok umur dewasa sebanyak 14,76% dan berat badan lebih sebesar 11,48%. Dengan
demikian prevalensi kelompok dewasa kelebihan berat badan sebesar 26,23%. Sedangkan
prevalensi penduduk dewasa kurus 11,09%.
Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%, lebih
tinggi dari tahun 2007. Pada tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan dewasa 32,9%, naik
18,1% dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5% dari tahun 2010 (15,5%). Pada semua kelompok
umur penduduk dewasa, kelebihan berat badan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-
laki. Rata-rata prevalensi kelebihan berat badan relatif tinggi terdapat pada usia 35-59 tahun
pada laki-laki maupun perempuan. Pada usia tersebut, sekitar sepertiganya mengalami
kelebihan berat badan di kelompok perempuan dan sekitar seperlimanya di kelompok laki-laki.

GAMBAR 5.42
PERSENTASE KELEBIHAN BERAT BADAN PADA PENDUDUK DEWASA
BERDASARKAN KATEGORI INDEKS MASA TUBUH
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS, TAHUN 2013

Sumber: Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013

122 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Menurut laporan Riskesdas tahun 2013 provinsi dengan prevalensi kelebihan berat
badan pada penduduk >18 tahun terendah yaitu Nusa Tenggara Timur (12,95%), Lampung
(18,52%), Nusa Tenggara Barat (19,47%). Provinsi dengan prevalensi kelebihan berat badan
tertinggi yaitu Sulawesi Utara (40,54%), Kalimantan Timur (35,38%), dan DKI Jakarta
(34,67%).
Prevalensi penduduk kurus terendah di Provinsi Sulawesi Utara (5,6%) dan tertinggi di
Nusa Tenggara Timur (19,5%). Dua belas provinsi dengan prevalensi penduduk dewasa kurus
diatas prevalensi nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Jawa
Timur, Maluku, Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan
Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur. Prevalensi penduduk obesitas terendah di
provinsi Nusa Tenggara Timur (6,2%) dan tertinggi di Sulawesi Utara (24,0%). Enam belas
provinsi dengan prevalensi diatas nasional, yaitu Jawa Barat, Bali, Papua, DI Yogyakarta, Aceh,
Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Papua Barat, Kepulauan Riau,
Maluku Utara, Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Gorontalo dan Sulawesi Utara.
Berdasarkan karakteristik, masalah obesitas cenderung lebih tinggi pada penduduk
yang tinggal di perkotaan, berpendidikan lebih tinggi dan pada kelompok status ekonomi yang
tertinggi. Rincian status gizi pada balita dan dewasa menurut provinsi dapat dilihat pada
lampiran 5.42 sampai lampiran 5.46.

***

Kesehatan Keluarga 123


Pelatihan SIKDA Generik

124 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


PENGENDALIAN PENYAKIT
DAN KESEHATAN LINGKUNGAN

Bab 6 berisi pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan. Data mengenai


pengendalian penyakit terdiri atas penyakit menular dan penyakit tidak menular. Penyakit
menular meliputi penyakit menular langsung dan penyakit yang ditularkan melalui binatang.
Situasi penyakit, baik kesakitan maupun kematian, merupakan indikator dalam menilai derajat
kesehatan suatu masyarakat.

A. PENGENDALIAN PENYAKIT
Selain membahas pengendalian penyakit yang menjadi prioritas pembangunan
kesehatan nasional, pada subbab ini juga dibahas pengendalian penyakit di daerah tropis yang
salah satunya disebabkan oleh nyamuk, juga neglected disease seperti filariasis.

1. Penyakit Menular

a. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi
basil tuberkulosis.
Beban penyakit yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat diukur dengan case notification rate
(CNR) dan prevalensi (didefinisikan sebagai jumlah kasus tuberkulosis pada suatu titik waktu
tertentu) dan mortalitas/kematian (didefinisikan sebagai jumlah kematian akibat tuberkulosis dalam
jangka waktu tertentu).

i. Kasus Baru BTA Positif


Pada tahun 2013 ditemukan jumlah kasus baru BTA positif (BTA+) sebanyak 196.310
kasus, menurun bila dibandingkan kasus baru BTA+ yang ditemukan tahun 2012 yang sebesar
202.301 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah
penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus baru BTA+ di tiga
provinsi tersebut hampir sebesar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia.
Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu
hampir 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan. Pada masing-masing provinsi di
seluruh Indonesia kasus BTA+ lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Disparitas paling tinggi antara laki-laki dan perempuan terjadi di Sumatera Utara, kasus pada
laki-laki dua kali lipat dari kasus pada perempuan.
Menurut kelompok umur, kasus baru yang ditemukan paling banyak pada kelompok
umur 25-34 tahun yaitu sebesar 21,40% diikuti kelompok umur 35-44 tahun sebesar 19,41%
dan pada kelompok umur 45-54 tahun sebesar 19,39%. Proporsi kasus baru BTA+ menurut
kelompok umur dapat dilihat pada Gambar 6.1 berikut ini.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 127


GAMBAR 6.1
PROPORSI KASUS BARU BTA+ MENURUT KELOMPOK UMUR
TAHUN 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Kasus baru BTA+ pada kelompok umur 0-14 tahun merupakan proporsi yang paling
rendah. Dari Gambar 6.1 terlihat bahwa kasus tuberkulosis rata-rata terjadi pada orang dewasa.

ii. Proporsi pasien baru BTA positif di antara semua kasus Tb


Proporsi pasien baru BTA positif di antara semua kasus Tb menggambarkan prioritas
penemuan pasien Tb yang menular di antara seluruh pasien Tb paru yang diobati. Angka ini
diharapkan tidak lebih rendah dari 65%. Apabila proporsi pasien baru BTA+ di bawah 65%
maka hal itu menunjukkan mutu diagnosis yang rendah dan kurang memberikan prioritas
untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA+).

GAMBAR 6.2
PROPORSI BTA+ DI ANTARA SELURUH KASUS TB PARU
DI INDONESIA TAHUN 2008-2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

128 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Gambar 6.2 memperlihatkan bahwa sampai dengan tahun 2013 proporsi pasien baru
BTA+ di antara seluruh kasus belum mencapai target yang diharapkan meskipun tidak terlalu
jauh berada di bawah target minimal yang sebesar 65%. Hal itu mengindikasikan kurangnya
prioritas menemukan kasus BTA+. Namun, sebanyak 18 provinsi (54,55%) provinsi telah
mencapai target tersebut. Papua Barat, DKI Jakarta, dan Papua merupakan provinsi dengan
proporsi pasien baru BTA+ di antara seluruh kasus yang terendah yaitu masih di bawah 40%.

GAMBAR 6.3
PROPORSI BTA+ DI ANTARA SELURUH KASUS TB PARU
MENURUT PROVINSITAHUN 2013

INDONESIA 60
Sulawesi Tenggara 95
Sulawesi Utara 92
Jambi 90
Gorontalo 89
Sulawesi Barat 88
Kalimantan Barat 83
Aceh 82
Sumatera Utara 77
Lampung 77
Sulawesi Tengah 75
Bengkulu 75
Sulawesi Selatan 73
Nusa Tenggara Timur 72
Sumatera Barat 70
Maluku Utara 68
Kalimantan Selatan 67
Sumatera Selatan 67
Riau 67
Nusa Tenggara Barat 65
Kep. Bangka Belitung 63
Kalimantan Timur 58
Banten 58
Kalimantan Tengah 57
Maluku 57
Jawa Timur 56
Jawa Barat 54
Jawa Tengah 51
Bali 49
DI Yogyakarta 48
Kepulauan Riau 44 target
Papua 38 minimal 65%
DKI Jakarta 36
Papua Barat 35
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
(%)

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

iii. Angka notifikasi kasus atau case notification rate (CNR)


Angka notifikasi kasus adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang
ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila
dikumpulkan serial akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun
di wilayah tersebut. Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat
atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.
Gambar 6.4 menunjukkan angka notifikasi kasus baru Tb paru BTA+ dan angka
notifikasi seluruh kasus Tb per 100.000 penduduk dari tahun 2008-2013. Angka notifikasi
kasus BTA+ pada tahun 2013 di Indonesia sebesar 81,0 per 100.000 penduduk.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 129


GAMBAR 6.4
ANGKA NOTIFIKASI KASUS BTA+ DAN SELURUH KASUS
PER 100.000 PENDUDUK TAHUN 2008-2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Gambar 6.5 berikut memperlihatkan besarnya angka notifikasi atau CNR BTA+ menurut
provinsi tahun 2013.

GAMBAR 6.5
ANGKA NOTIFIKASI KASUS TB PARU BTA+
PER 100.000 PENDUDUK MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

130 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Provinsi dengan CNR BTA+ terendah yaitu DI Yogyakarta (35,2), Bali (40,1), dan Jawa
Tengah (60,6). Sedangkan provinsi yang tertinggi yaitu Sulawesi Utara (224,2), Sulawesi
Tenggara (183,9), dan Gorontalo (177,3).

iv. Angka Keberhasilan Pengobatan


Salah satu upaya untuk mengendalikan TB yaitu dengan pengobatan. Indikator yang
digunakan sebagai evaluasi pengobatan yaitu angka keberhasilan pengobatan (success rate). Angka
keberhasilan pengobatan ini dibentuk dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.
Berikut ini digambarkan angka kesembuhan dan keberhasilan pengobatan tahun 2008-2013.

GAMBAR 6.6
ANGKA KESEMBUHAN DAN KEBERHASILAN PENGOBATAN TB BTA+
DI INDONESIA TAHUN 2008-2013

100 91,0 91,0 91,2 90,3 90,2 90,5


90
80
81,5 82,9 83,9 83,7 83,7 82,8
70
60
% 50
40
30
20
Angka keberhasilan pengobatan
10 Angka kesembuhan
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Pada Gambar 6.6 terlihat perkembangan angka keberhasilan pengobatan tahun 2008-2013.
Pada tahun 2013 angka keberhasilan pengobatan sebesar 90,5%. WHO menetapkan standar angka
keberhasilan pengobatan sebesar 85%. Dengan demikian pada tahun 2013, Indonesia telah
mencapai standar tersebut.

Sementara Kementerian Kesehatan menetapkan target Renstra minimal 87% untuk angka
keberhasilan pengobatan pada tahun 2013. Berdasarkan hal tersebut, capaian angka keberhasilan
pengobatan tahun 2013 yang sebesar 90,5% juga telah memenuhi target Renstra.

Informasi mengenai Tuberkulosis menurut provinsi secara rinci dapat dilihat pada Lampiran
6.1-6.5.

v. Prevalensi tuberkulosis
Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi Tb berdasarkan diagnosis sebesar 0,4% dari
jumlah penduduk. Dengan kata lain, rata-rata tiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 400
orang yang didiagnosis kasus Tb oleh tenaga kesehatan. Penyakit Tb paru ditanyakan pada
responden untuk kurun waktu 1 tahun berdasarkan diagnosis yang ditegakkan oleh tenaga
kesehatan melalui pemeriksaan dahak, foto toraks atau keduanya. Hasil Riskesdas 2013
tersebut tidak berbeda dengan Riskesdas 2007 yang menghasilkan angka prevalensi TB paru
0,4%.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 131


Prevalensi Tb paru berdasarkan gejala batuk 2 minggu secara nasional sebesar 3,9%
dan prevalensi TB paru berdasarkan gejala batuk darah sebesar 2,8%.
Provinsi dengan prevalensi Tb paru berdasarkan diagnosis tertinggi yaitu Jawa Barat
sebesar 0,7%, DKI Jakarta dan Papua masing-masing sebesar 0,6%. Sedangkan Provinsi Riau,
Lampung, dan Bali merupakan provinsi dengan prevalensi Tb paru berdasarkan diagnosis
terendah yaitu masing-masing sebesar 0,1%.
Berdasarkan karakteristik, semakin tinggi kelompok umur semakin tinggi pula
prevalensi Tb paru (diagnosis), kecuali untuk kelompok umur 1-4 tahun dengan prevalensi
yang cukup tinggi (0,4%). Sebaliknya berdasarkan tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat
pendidikan maka semakin rendah prevalensi TB paru (diagnosis).
Tabel berikut ini memperlihatkan angka prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan
gejala menurut karakteristik umur, jenis kelamin, pendidikan, dan tempat tinggal.

TABEL 6.1
PREVALENSI TB PARU BERDASARKAN DIAGNOSIS DAN GEJALA TB PARU MENURUT KARAKTERISTIK,
RISKESDAS 2013

Gejala TB paru (%)


Diagnosis
Karakteristik Batuk 2
TB paru (%) Batuk darah
minggu
Kelompok umur (tahun)
<1 0,2
14 0,4
5 14 0,3 3,6 1,3
15 24 0,3 3,3 1,5
25 34 0,3 3,4 2,2
35 44 0,3 3,7 3,0
45 54 0,5 4,5 2,9
55 64 0,6 5,6 3,4
65 74 0,8 6,6 3,4
75 0,7 7,0 3,7
Jenis Kelamin
Laki-laki 0,4 4,2 3,1
Perempuan 0,3 3,7 2,6
Pendidikan
Tidak sekolah 0,5 5,6 3,6
Tidak tamat SD/MI 0,4 4,5 3,0
Tamat SD/MI 0,4 4,1 3,7
Tamat SMP/MTs 0,3 3,5 2,7
Tamat SMA/MA 0,3 3,2 2,3
Tamat D1-D3/PT 0,2 2,9 2,6
Tempat tinggal
Perkotaan 0,4 3,6 2,3
Perdesaan 0,3 4,3 3,3

Jumlah 0,4 3,9 2,8

Prevalensi TB paru pada laki-laki sebesar 0,4%, lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuan yang sebesar 0,3%. Prevalensi TB paru pada penduduk di perkotaan sebesar 0,4%,
lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk di perdesaan yang sebesar 0,3%.

132 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


b. HIV & AIDS
HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human
Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi tersebut
menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk
terinfeksi berbagai macam penyakit lain.

Sebelum memasuki fase AIDS, penderita terlebih dulu dinyatakan sebagai HIV positif. Jumlah
HIV positif yang ada di masyarakat dapat diketahui melalui 3 metode, yaitu pada layanan Voluntary,
Counseling, and Testing(VCT), sero survey, dan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP).

i. Jumlah kasus HIV positif dan AIDS

Setelah tiga tahun berturut-turut (2010-2012) cukup stabil, perkembangan jumlah kasus
baru HIV positif pada tahun 2013 kembali mengalami peningkatan secara signifikan, dengan
kenaikan mencapai 35% dibanding tahun 2012. Perkembangan HIV positif sampai tahun 2013
disajikan pada Gambar 6.7 berikut ini.

GAMBAR 6.7
JUMLAH KASUS BARU HIV POSITIF
DI INDONESIA SAMPAI TAHUN 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Pemetaan epidemi HIV di Indonesia dibagi menjadi lima kategori, yaitu <90 kasus, 90-
206 kasus, 207-323 kasus, 324-440 kasus, dan >440 kasus. Gambar 6.8 berikut ini
memperlihatkan distribusi HIV di Indonesia.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 133


GAMBAR 6.8
PETA EPIDEMI HIV DI INDONESIA
TAHUN 2012

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Pada gambar 6.8, terlihat bahwa lebih dari dua per lima provinsi (14 provinsi) di
Indonesia memiliki jumlah kasus HIV > 440, meliputi seluruh provinsi di Pulau Papua dan Pulau
Jawa Bali serta beberapa provinsi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Jumlah kasus HIV
pada kelompok tersebut menyumbang hampir 90% dari seluruh jumlah kasus HIV di Indonesia.
Provinsi dengan jumlah HIV tertinggi yaitu DKI Jakarta, Papua, dan Jawa Timur.

Sebanyak 6 provinsi memiliki jumlah kasus HIV kurang dari 90 kasus. Bahkan Sulawesi
Barat tidak dilaporkan adanya kasus baru HIV positif pada tahun 2013.

Gambar berikut ini menampilkan kasus baru dan kumulatif penderita AIDS yang terjadi
sampai dengan tahun 2013.

GAMBAR 6.9
JUMLAH KASUS BARU DAN KUMULATIF PENDERITA AIDS
YANG TERDETEKSI DARI BERBAGAI SARANA KESEHATAN
DI INDONESIA SAMPAI TAHUN 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

134 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Pada gambar di atas terlihat adanya kecenderungan peningkatan penemuan kasus baru
sampai tahun 2012. Namun pada tahun 2013 terjadi penurunan kasus baru AIDS menjadi
sebesar 5.608 kasus. Secara kumulatif, kasus AIDS sampai dengan tahun 2013 sebesar 52.348
kasus.

Menurut jenis kelamin, persentase kasus baru AIDS tahun 2013 pada kelompok laki-laki
1,9 kali lebih besar dibandingkan pada kelompok perempuan seperti digambarkan berikut ini.

GAMBAR 6.10
PROPORSI KASUS BARU AIDS MENURUT JENIS KELAMIN
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Penderita AIDS pada laki-laki sebesar 55,1% dan pada perempuan sebesar 29,7%.
Sebesar 15,2% penderita AIDS tidak diketahui jenis kelaminnya. DKI Jakarta merupakan
provinsi yang tidak melaporkan jenis kelamin penderita AIDS.

Pada Gambar 6.11 berikut ini disajikan penderita AIDS menurut kelompok umur.

GAMBAR 6.11
PERSENTASE KASUS BARU AIDS MENURUT KELOMPOK UMUR
DI INDONESIA TAHUN 2013

< 1 tahun 1-4 tahun


5-14 tahun
0,3% 1,8%
tidak 0,8%
melaporkan
15-19 tahun
umur
3,8%
25,7%

20-29 tahun
25,3%

6 0 tahun
0,7%
50-59 tahun
4,0%
30-39 tahun
26,0%
40-49 tahun
11,6%

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Gambaran kasus baru AIDS menurut kelompok umur menunjukkan bahwa sebagian
besar kasus baru AIDS terdapat pada usia 20-29 tahun, 30-39 tahun, dan 40-49 tahun.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 135


Kelompok umur tersebut masuk ke dalam kelompok usia produktif yang aktif secara seksual
dan termasuk kelompok umur yang menggunakan NAPZA suntik.

HIV/AIDS dapat ditularkan melalui beberapa cara penularan, yaitu hubungan seksual
lawan jenis (heteroseksual), hubungan sejenis melalui Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL),
penggunaan alat suntik secara bergantian, transfusi darah dan dari ibu ke anak. Berikut ini
disajikan persentase kasus AIDS menurut cara penularan tersebut.

GAMBAR 6.12
PERSENTASE KASUS AIDS MENURUT FAKTOR RISIKO
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Pada gambar di atas nampak bahwa hubungan heteroseksual masih merupakan cara
penularan dengan persentase tertinggi pada kasus AIDS yaitu sebesar 78%, diikuti oleh
penasun atau Injecting Drug User (IDU) sebesar 9,3% dan homoseksual sebesar 4,3%.

ii. Angka kematian akibat AIDS


Angka kematian (Case Fatality Rate) akibat AIDS sejak 2004 cenderung menurun seperti
Gambar 6.13 berikut ini. Pada tahun 2013 CFR AIDS di Indonesia sebesar 1,67%.

GAMBAR 6.13
ANGKA KEMATIAN AKIBAT AIDS YANG DILAPORKAN
DI INDONESIA TAHUN 2004-2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

136 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


iii. Pengetahuan tentang HIV/AIDS
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk membentuk tindakan
seseorang, sebab dari pengalaman dan hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih baik dibandingkan dengan yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Hasil SDKI 2012 menunjukan bahwa persentase wanita umur 15-49 tahun yang pernah
mendengar tentang HIV AIDS sebesar 76,7%. Sedangkan pria kawin umur 15-54 tahun yang
pernah mendengar tentang HIV AIDS sebesar 82,3%. Tabel berikut ini memperlihatkan
persentase responden yang pernah mendengar tentang HIV AIDS menurut karakteristik latar
belakang.

TABEL 6.2
PERSENTASE WANITA UMUR 15-49 TAHUN DAN PRIA KAWIN 15-54 TAHUN1 YANG PERNAH MENDENGAR
TENTANG HIV AIDS MENURUT KARAKTERISTIK LATAR BELAKANG
TAHUN 2012
Kelompok Umur (Tahun)
Karakteristik latar belakang
Wanita Pria
Umur
15-24 84,4 83,8
15-19 84,8 79,6
20-24 84,0 84,1
25-29 82,2 85,4
30-39 78,3 88,9
40-49 62,8 79,6
50-54 t.a.d 68,2
Status perkawinan
Belum kawin 88,2 t.a.d
Pernah berhubungan seks 82,6 t.a.d
Tidak pernah berhubungan seks 88,3 t.a.d
Kawin atau hidup bersama 74,3 82,3
Cerai/janda/duda 62,6 t.a.d
Tempat tinggal
Perkotaan 87,0 91,5
Perdesaan 65,6 72,8
Pendidikan
Tidak sekolah 88,2 t.a.d
Tidak tamat SD 82,6 t.a.d
Tamat SD 88,3 t.a.d
Tidak tamat SMTA 74,3 82,3
Tamat SMTA+ 62,6 t.a.d

Jumlah 76,7 82,3


t.a.d = tidak sesuai
1 Termasuk pria berstatus hidup bersama

Data pada Tabel 6.2 memperlihatkan bahwa persentase penduduk yang oernah
mendengan tentang HIV AIDS di perkotaan lebih tinggi dibanding di perdesaan baik pada
wanita maupun pria kawin. Persentase wanita yang pernah mendengar tentang HIV-AIDS
meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan.

Hasil SDKI 2012 juga menunjukkan bahwa persentase wanita umur 15-49 tahun yang
memiliki pengetahuan tentang cara mengurangi risiko HIV AIDS dengan menggunakan kondom
dan membatasi berhubungan seks dengan satu pasangan sebesar 37,3%. Sedangkan pria kawin
umur 15-54 tahun yang memiliki pengetahuan yang sama sebesar 49,1%. Tabel berikut ini

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 137


memperlihatkan persentase responden yang memiliki pengetahuan tentang cara mengurangi
HIV AIDS menurut karakteristik latar belakang.

TABEL 6.3
PERSENTASE WANITA UMUR 15-49 TAHUN DAN PRIA KAWIN 15-541 TAHUN
TENTANG CARA MENGURANGI RISIKO TERKENA HIV AIDS
MENURUT KARAKTERISTIK LATAR BELAKANG TAHUN 2012
Persentase wanita yang mengatakan HIV-AIDS Persentase pria yang mengatakan HIV-AIDS
dapat dihindari dengan: dapat dihindari dengan:
Menggunaka
Menggunakan
n kondom
Karakteristik Membatasi Membatasi kondom dan
dan
latar belakang berhubungan berhubungan membatasi
Menggunakan membatasi Menggunakan
seks hanya seks hanya berhubungan
kondom2 berhubungan kondom2
dengan satu dengan satu seks hanya
seks hanya
pasangan3 pasangan3 dengan satu
dengan satu
pasangan3
pasangan3
Umur
15-24 44,5 62,5 38,2 53,2 63,2 44,2
15-19 40,5 61,0 34,3 61,1 62,3 58,4
20-24 49,0 64,0 42,5 52,6 63,3 43,0
25-29 47,6 62,5 41,4 60,9 63,8 50,4
30-39 45,9 60,4 40,5 65,8 69,6 55,8
40-49 34,6 45,8 30,0 56,3 60,1 47,3
50-54 t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d 49,8 35,8

Status perkawinan
Belum kawin 46,4 65,9 40,0 t.a.d t.a.d t.a.d
Pernah
berhubungan
seks
50,9 62,5 46,2 t.a.d t.a.d t.a.d
Tidak pernah
berhubungan
seks 46,3 66,0 39,9 t.a.d t.a.d t.a.d
Kawin atau hidup
bersama 42,5 56,0 37,1 58,0 62,1 48,3
Cerai/janda/duda 32,5 44,7 27,9 t.a.d t.a.d t.a.d
Tempat tinggal
Perkotaan 51,5 68,2 45,4 68,2 72,0 57,2
Perdesaan 33,5 46,0 28,4 48,4 53,2 40,6
Pendidikan
Tidak sekolah 5,9 8,1 4,1 15,7 14,5 10,9
Tidak tamat SD 14,0 22,6 10,6 25,6 31,8 20,6
Tamat SD 28,6 41,2 23,8 49,3 51,6 38,2
Tidak tamat 43,0 60,7 36,1 62,8 68,1 52,7
SMTA
Tamat SMTA+ 63,9 80,6 57,8 77,3 81,9 67,3

Jumlah 42,9 57,6 37,3 58,5 62,8 49,1


t.a.d = tidak sesuai
1 Termasuk pria yang berstatus hidup bersama

2 Menggunakan kondom setiap kali berhubungan seks

3 Pasangan yang tidak memiliki pasangan lain

Pengetahuan pria mengenai HIV-AIDS relatif lebih tinggi dibanding wanita Sebanyak
37,3% wanita dan 49,1% pria kawin mengetahui cara mengurangi risiko penularan HIV AIDS
dengan menggunakan kondom dan membatasi seks hanya dengan satu partner (pasangan).

Pengetahuan tentang cara mengurangi risiko terkena HIV-AIDS (menggunakan kondom


dan membatasi berhubungan seks hanya dengan satu pasangan) lebih tinggi di perkotaan

138 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


dibandingkandi perdesaan baik pada wanita maupun pria kawin. Pengetahuan mengenai HIV-
AIDS meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan wanita.

c. Pneumonia
Pneumonia adalah penyakit yang disebabkan kuman pneumococcus, staphylococcus,
streptococcus, dan virus. Gejala penyakit pneumonia yaitu menggigil, demam, sakit kepala,
batuk, mengeluarkan dahak, dan sesak napas. Populasi yang rentan terserang pneumonia
adalah anak-anak usia kurang dari 2 tahun, usia lanjut lebih dari 65 tahun dan orang yang
memiliki masalah kesehatan (malnutrisi, gangguan imunologi).

Menurut hasil Riskesdas 2013, period prevalence pneumonia berdasarkan diagnosis


selama 1 bulan sebelum wawancara sebesar 0,2%. Sedangkan berdasarkan diagnosis/gejala
sebesar 1,8%.

Dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007 yang sebesar 2,13%, period prevalence
pneumonia berdasarkan diagnosis/gejala pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi
1,8%.Pada balita, period prevalence berdasarkan diagnosis sebesar 2,4 per 1.000 balita dan
berdasarkan diagnosis/gejala sebesar 18,5 per 1.000 balita.

GAMBAR 6.14
PERIOD PREVALENCE PNEUMONIA BERDASARKAN DIAGNOSIS/GEJALA
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS 2007 DAN 2013

Sumber: Balitbangkes Kemenkes RI, Riskesdas 2007 & 2013

Pada Gambar 6.14 terlihat bahwa sebagian besar provinsi mengalami penurunan period
prevalence pneumonia pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2007. Terdapat 11 provinsi
(33,3%) yang mengalami kenaikan period prevalence pneumonia pada tahun 2013.

Menurut umur, period prevalence pneumonia tertinggi terjadi pada kelompok umur
balita terutama usia <1 tahun. Menurut daerah tempat tinggal, di perdesaan period prevalence
pneumonia (2,0%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (1,6%). Sedangkan menurut status
ekonomi dengan menggunakan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah kuintil indeks
kepemilikan semakin tinggi period prevalence pneumonia.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini yaitu dengan
meningkatkan penemuan pneumonia pada balita. Perkiraan kasus pneumonia pada balita di

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 139


suatu wilayah sebesar 10% dari jumlah balita di wilayah tersebut. Berikut ini gambaran
penemuan peneumonia pada balita tahun 2008-2013.

GAMBAR 6.15
CAKUPAN PENEMUAN PNEUMONIA PADA BALITA
DI INDONESIA TAHUN 2008-2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Sampai dengan tahun 2013, angka cakupan penemuan pneumonia balita tidak
mengalami perkembangan berarti yaitu berkisar antara 23%-27%. Selama beberapa tahun
terakhir cakupan penemuan pneumonia tidak pernah mencapai target nasional, termasuk
target tahun 2013 yang sebesar 80%.

Angka kematian akibat pneumonia pada balita sebesar 1,19%. Pada kelompok bayi
angka kematian lebih tinggi yaitu sebesar 2,89% dibandingkan pada kelompok umur 1-4 tahun
yang sebesar 0,20%. Cakupan penemuan pneumonia dan kematiannya menurut provinsi dan
kelompok umur dapat dilihat pada Lampiran 6.10 dan 6.11.

d. Kusta
Penyakit Kusta disebut juga sebagai penyakit Lepra atau penyakit Hansen disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini mengalami proses pembelahan cukup lama
antara 23 minggu. Daya tahan hidup kuman kusta mencapai 9 hari di luar tubuh manusia.
Kuman kusta memiliki masa inkubasi 25 tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5
tahun. Penatalaksanaan kasus yang buruk dapat menyebabkan kusta menjadi progresif,
menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota gerak, dan mata.

Selama periode 2008-2013, angka penemuan kasus baru kusta pada tahun 2013
merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka
prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per 10.000 (7,9 hingga 9,6 per 100.000
penduduk) dan telah mencapai target < 1 per 10.000 penduduk (< 10 per 100.000 penduduk).

Pada tahun 2013 dilaporkan 16.856 kasus baru kusta, lebih rendah dibandingkan tahun
2012 yang sebesar 18.994 kasus. Sebesar 83,4% kasus di antaranya merupakan tipe Multi
Basiler. Sedangkan menurut jenis kelamin, 35,7% penderita berjenis kelamin perempuan.

140 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 6.16
ANGKA PREVALENSI DAN ANGKA PENEMUAN KASUS BARU KUSTA (NCDR)
TAHUN 2008-2013

9,4 9,6
10 9,1 9,1
8,4
7,9
(per 100.000 penduduk)

8
8,30
7,60 7,49 7,76
6
7,22
6,79

2
Angka prevalensi kusta per 100.000 penduduk
Angka penemuan kasus baru kusta per 100.000 penduduk
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Berdasarkan bebannya, kusta dibagi menjadi 2 kelompok yaitu beban kusta tinggi (high
burden) dan beban kusta rendah (low burden). Provinsi disebut high burden jika NCDR (new
case detection rate: angka penemuan kasus baru)> 10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah
kasus baru lebih dari 1.000, sedangkan low burden jika NCDR < 10 per 100.000 penduduk dan
atau jumlah kasus baru kurang dari 1.000 kasus.

Pada Gambar 6.17 terlihat bahwa sebanyak 14 provinsi (42,4%) termasuk dalam beban
kusta tinggi. Sedangkan 19 provinsi lainnya (57,6%) termasuk dalam beban kusta rendah.
Hampir seluruh provinsi di bagian timur Indonesia merupakan daerah dengan beban kusta
tinggi.

GAMBAR 6.17
ANGKA PENEMUAN KASUS BARU KUSTA PER 100.000 PENDUDUK
MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Pengendalian kasus kusta antara lain dengan meningkatkan deteksi kasus sejak dini.
Indikator yang digunakan untuk menunjukkan keberhasilan dalam mendeteksi kasus baru
kusta yaitu angka cacat tingkat II. Angka cacat tingkat II pada tahun 2013 sebesar 6,82 per 1 juta
penduduk, menurun dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 8,71 per 1 juta penduduk.
Berikut grafik angka cacat tingkat 2 selama enam tahun terakhir.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 141


GAMBAR 6.18
ANGKA CACAT TINGKAT II PER 1.000.000 PENDUDUK
TAHUN 2008-2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Provinsi dengan angka cacat tingkat II per 1 juta penduduk tertinggi pada tahun 2013
yaitu Papua (26,88), Aceh (18,62), dan Papua Barat (17,72). Hal itu menunjukkan kemampuan
mendeteksi kasus baru kusta di ketiga provinsi tersebut masih rendah.

GAMBAR 6.19
ANGKA CACAT TINGKAT II KUSTA PER 1.000.000 PENDUDUK
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

INDONESIA 6,82
Kalimantan Barat 0,00
DI Yogyakarta 0,00
Riau 0,16
Kalimantan Tengah 0,43
Bali 0,48
Lampung 1,02
Kepulauan Riau 1,03
Sumatera Utara 1,72
Kalimantan Timur 1,76
Nusa Tenggara Timur 1,81
DKI Jakarta 2,70
Jambi 2,70
Kepulauan Bangka Belitung 2,99
Sulawesi Barat 3,19
Sumatera Barat 3,38
Nusa Tenggara Barat 4,94
Kalimantan Selatan 5,47
Banten 5,55
Jawa Barat 5,78
Jawa Tengah 6,03
Bengkulu 6,11
Sulawesi Tenggara 6,33
Maluku 7,82
Sulawesi Tengah 8,25
Sumatera Selatan 8,27
Maluku Utara 10,76
Sulawesi Selatan 13,24
Jawa Timur 13,61
Gorontalo 14,41
Sulawesi Utara 14,86
Papua Barat 17,72
Aceh 18,62
Papua 26,88
0 10 20 30 40 50 60
(per 1.000.000 penduduk)
Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Indikator lain yang digunakan pada penyakit kusta yaitu proporsi kusta MB dan
proporsi penderita kusta pada anak (0-14 tahun) di antara penderita baru yang

142 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


memperlihatkan sumber dan tingkat penularan di masyarakat. Proporsi kusta MB dan proporsi
pada anak periode 2008-2013 ditunjukkan pada grafik berikut ini.

GAMBAR 6.20
PROPORSI KUSTA MBDAN PROPORSI KUSTA PADA ANAK
TAHUN 2008-2013

100
90
80
70 82,15 82,43 80,73 80,4 82,69 83,42
60

(%) 50
40
30
20 11,39 12,01 11,19 12,25 10,78 11,88
10
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Proporsi kusta MB Proporsi kusta pada anak

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Menurut provinsi, Kalimantan Selatan, DKI Jakarta, dan Riau merupakan tiga provinsi
dengan proporsi kusta MB tertinggi pada tahun 2013 yaitu masing-masing sebesar 93,79%,
92,93%, dan 92,59%.
Provinsi dengan proporsi kusta pada anak tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur
(43,40%), Papua Barat (30,15%), dan Sumatera Utara (28,57%). Data/informasi terkait
penyakit kusta menurut provinsi terdapat pada Lampiran 6.16 dan Lampiran 6.17.

e. Diare
Penyakit Diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan penyakit
potensial KLB yang sering disertai dengan kematian. Menurut hasil Riskesdas 2007, Diare
merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%),
sedangkan pada golongan semua umur merupakanpenyebab kematianyang ke empat (13,2%).
Menurut Riskesdas 2013, insiden diare ( 2 minggu terakhir sebelum wawancara)
berdasarkan gejala pada seluruh kelompok umur sebesar 3,5% (kisaran menurut provinsi
1,6%-6,3%) dan insiden diare pada balita sebesar 6,7% (kisaran provinsi 3,3%-10,2%).
Sedangkan period prevalence diare pada seluruh kelompok umur (>2 minggu-1 bulan terakhir
sebelum wawancara) berdasarkan gejala sebesar 7% dan pada balita sebesar 10,2%. Gambar
6.21 berikut ini menggambarkan period prevalencediare menurut provinsi.
Jumlah penderita pada KLB diare tahun 2013 menurun secara signifikan dibandingkan
tahun 2012 dari 1.654 kasus menjadi 646 kasus pada tahun 2013. KLB diare pada tahun 2013
terjadi di 6 provinsi dengan penderita terbanyak terjadi di Jawa Tengah yang mencapai 294
kasus. Sedangkan angka kematian (CFR) akibat KLB diare tertinggi terjadi di Sumatera Utara
yaitu sebesar 11,76%.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 143


GAMBAR 6.21
PERIOD PREVALENCE DIARE (> 2 MINGGU 1 BULAN SEBELUM WAWANCARA)
MENURUT GEJALA, RISKESDAS 2013

Sumber: Balitbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas 2013

Secara nasional angka kematian (CFR) pada KLB diare pada tahun 2013 sebesar 1,08%.
Sedangkan target CFR pada KLB Diare diharapkan <1%. Dengan demikian secara nasional, CFR
KLB diare hampir memenuhi target program.

f. Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)

i. Tetanus Neonatorum
Tetanus Neonatorum disebabkan oleh basil Clostridium tetani, yang masuk ke tubuh
melalui luka. Penyakit ini menginfeksi bayi baru lahir yang salah satunya disebabkan oleh
pemotongan tali pusat dengan alat yang tidak steril. Kasus Tetanus Neonatorum banyak
ditemukan di negara berkembang khususnya dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan
yang rendah.
Pada tahun 2013, dilaporkan terdapat 78 kasus Tetanus Neonatorum dengan jumlah
meninggal 42 kasus. Dengan demikian, Case Fatality Rate (CFR) Tetanus Neonatorum pada
tahun 2013 sebesar 53,8%, meningkat dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 49,6%. Kasus
yang meninggal tersebut dilaporkan dari 11 provinsi.
Gambaran kasus menurut faktor risiko status imunisasi menunjukkan bahwa sebagian
besar kasus terjadi pada kelompok yang tidak diimunisasi yaitu 51 kasus (65,4%). Sebanyak 55
kasus (70,5%) melakukan pemeriksaan kehamilan dengan bidan/perawat. Namun, menurut
faktor penolong persalinan, 56 kasus (71,8%) ditolong oleh penolong persalinan tradisional,
misalnya dukun. Untuk pemotongan tali pusat, sebagian besar kasus dilakukan pemotongan tali

144 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


pusat dengan gunting yaitu 55 kasus (70,5%). Rincian kasus Tetanus Neonatorum beserta
persentase kasus menurut faktor risiko dan provinsi dapat dilihat pada Lampiran 6.18.

ii. Campak
Penyakit campak disebabkan oleh virus campak, golongan Paramyxovirus. Penularan
dapat terjadi melalui udara yang telah terkontaminasi oleh droplet (ludah) orang yang telah
terinfeksi. Sebagian besar kasus campak menyerang anak-anak usia pra sekolah dan usia SD.
Jika seseorang pernah menderita campak, maka dia akan mendapatkan kekebalan terhadap
penyakit tersebut seumur hidupnya.
Pada tahun 2013, dilaporkan terdapat 11.521 kasus campak, lebih rendah dibandingkan
tahun 2012 yang sebesar 15.987 kasus. Jumlah kasus meninggal sebanyak 2 kasus, yang
dilaporkan dari Provinsi Aceh dan Maluku Utara. Incidence rate (IR) campak pada tahun 2013
sebesar 4,64 per 100.000 penduduk, menurun dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 6,53 per
100.000 penduduk.

GAMBAR 6.22
INCIDENCE RATE (IR) CAMPAK PER 100.000 PENDUDUK
MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Gambar 6.22 menyajikan IR campak menurut provinsi. Nusa Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat, dan Sumatera Utara merupakan provinsi dengan IR campak terendah. Bahkan
di NTT hanya dilaporkan satu kasus campak. Sedangkan Kepulauan Riau, Aceh, dan DI
Yogyakarta merupakan provinsi dengan IR campak tertinggi.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 145


Menurut kelompok umur, kasus campak pada kelompok umur 1-4 tahun dan kelompok
umur 5-9 tahun merupakan yang terbesar yaitu masing-masing sebesar 27,5% dan 26,9%.
Namun jika dihitung rata-rata umur tunggal, kasus campak pada bayi <1 tahun, merupakan
yang tertinggi, yaitu sebanyak 1.120 kasus (9,7%). Gambar 6.23 berikut memperlihatkan
proporsi kasus campak per kelompok umur.

GAMBAR 6.23
PROPORSI KASUS CAMPAK MENURUT KELOMPOK UMUR
DI INDONESIA TAHUN 2013

< 1 tahun
9,7%
> 14 tahun
21,6%

1-4 tahun
27,5%
10-14 tahun
14,3%

5-9 tahun
26,9%

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Campak dinyatakan sebagai KLB apabila terdapat 5 atau lebih kasus klinis dalam waktu
4 minggu berturut-turut yang terjadi mengelompok dan dibuktikan adanya hubungan
epidemiologis. Pada tahun 2013, jumlah KLB campak yang terjadi sebanyak 128 KLB dengan
jumlah kasus sebanyak 1.677 kasus. Berdasarkan konfirmasi laboratorium, 24 kejadian (18,8%)
diantaranya merupakan rubella.
Frekuensi KLB campak tertinggi terjadi di Banten sebanyak 36 kejadian dengan 247
kasus. Namun provinsi dengan jumlah kasus terbanyak terjadi di Lampung yaitu sebesar 309
kasus pada 8 KLB. Diikuti Jawa Barat sebanyak 18 KLB dengan 205 kasus dan Sumatera Barat
serta Jawa Tengah masing-masing 9 KLB. Jumlah kasus yang meninggal pada KLB campak
tersebut hanya satu kasus yang dilaporkan dari Maluku Utara.

iii. Difteri
Penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae yang menyerang
sistem pernapasan bagian atas. Penyakit difteri pada umumnya menyerang anak-anak usia 1-10
tahun.
Jumlah kasus difteri pada tahun 2013 sebanyak 778 kasus dengan jumlah kasus
meninggal sebanyak 39 kasus sehingga CFR difteri sebesar 5,01%. Dari 19 provinsi yang
melaporkan adanya kasus difteri, kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur yaitu sebanyak 610
kasus (78,4%). Dari seluruh kasus tersebut, hampir setengah di antaranya (47,8%) terjadi pada
penderita yang tidak mendapatkan vaksin DPT.

146 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 6.24
PROPORSI KASUS DIFTERI MENURUT KELOMPOK UMUR
DI INDONESIA TAHUN 2013

< 1 tahun
1,7%

1-4 tahun
24,0%
> 14 tahun
32,4%

10-14 tahun 5-9 tahun


14,4% 27,5%

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Gambaran kasus menurut kelompok umur pada tahun 2013 menunjukkan jumlah
distribusi kasus tertinggi terjadi pada kelompok umur > 14 tahun, 5-9 tahun, dan1-4 tahun.
Namun kelompok umur 14 tahun memiliki rentang usia yang panjang dibanding kelompok
umur lainnya.

iv. Polio dan AFP (Acute Flaccid Paralysis/Lumpuh Layu Akut)


Polio disebabkan oleh infeksi virus yang menyerang sistem syaraf sehingga penderita
mengalami kelumpuhan. Penyakit yang pada umumnya menyerang anak berusia 0-3 tahun ini
ditandai dengan munculnya demam, lelah, sakit kepala, mual, kaku di leher, serta sakit di
tungkai dan lengan.
AFP merupakan kelumpuhan yang sifatnya flaccid yang bersifat lunglai, lemas atau
layuh (bukan kaku), atau terjadi penurunan kekuatan otot, dan terjadi secara akut (mendadak).
Sedangkan non polio AFP adalah kasus lumpuh layuh akut yang diduga kasus Polio sampai
dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium bukan kasus Polio. Kementerian Kesehatan
menetapkan non polio AFP Rate minimal 2/100.000 populasi anak usia < 15 tahun. Pada tahun
2013, secara nasional non polio AFP Rate sebesar 2.74/100.000 populasi anak < 15 tahun yang
berarti telah mencapai standar minimal penemuan.

GAMBAR 6.25
NON POLIO AFP RATE PER 100.000 PENDUDUK < 15 TAHUN
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 147


Dari 33 provinsi, 29 di antaranya (87,8%) telah mencapai target non polio AFP rate> 2
per 100.000 penduduk pada tahun 2013. Sebanyak empat provinsi yang belum mencapai target
non polio AFP rate yaitu Riau, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.
Setiap kasus AFP yang ditemukan dalam kegiatan intensifikasi surveilans, akan
dilakukan pemeriksaan spesimen tinja untuk mengetahui ada tidaknya virus polio liar. Untuk
itu diperlukan spesimen adekuat yang sesuai dengan persyaratan yaitu diambil 14 hari
setelah kelumpuhan dan suhu spesimen 0C - 8C sampai di laboratorium.

GAMBAR 6.26
PERSENTASE SPESIMEN ADEKUAT AFP
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Standar spesimen adekuat yaitu 80%. Pada tahun 2013 spesimen adekuat di Indonesia
sebesar 87,7%. Dengan demikian spesimen adekuat secara nasional telah sesuai standar.
Sebanyak 25 provinsi (75,8%) telah mencapai standar spesimen adekuat tahun 2013.
Sedangkan 8 provinsi lainnya (24,2%) tidak mencapai standar tersebut. Informasi lebih rinci
mengenai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi menurut provinsi dan kelompok umur
dapat dilihat pada Lampiran 6.12-6.24.

g. Demam Berdarah Dengue (DBD)


Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue, yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes,
misalnya Aedes aegypti atau Aedes albopictus. PenyakitDBD dapat muncul sepanjang tahun dan

148 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


dapat menyerang seluruh kelompok umur. Penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan
dan perilaku masyarakat.
Pada tahun 2013, jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 112.511 kasus
dengan jumlah kematian 871 orang (Incidence Rate/Angka kesakitan= 45,85 per 100.000
penduduk dan CFR/angka kematian= 0,77%). Terjadi peningkatan jumlah kasus pada tahun
2013 dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 90.245 kasus dengan IR 37,27. Target Renstra
Kementerian Kesehatan untuk angka kesakitan DBD tahun 2013 sebesar 52 per 100.000
penduduk, dengan demikian Indonesia telah mencapai target Renstra 2013. Berikut tren IR DBD
selama kurun waktu 2008-2013.

GAMBAR 6.27
ANGKA KESAKITAN (IR) DEMAM BERDARAH DENGUE
PER 100.000 PENDUDUK TAHUN 2008-2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Gambaran angka kesakitan DBD menurut provinsi tahun 2013 dapat dilihat pada
Gambar 6.28 Pada tahun 2013 terdapat sebanyak 26 provinsi (78,8%) yang telah mencapai
target 2013. Provinsi dengan IR DBD tertinggi tahun 2013 yaitu Bali sebesar 168,48, DKI Jakarta
sebesar 104,04, dan DI Yogyakarta sebesar 95,99 per 100.000 penduduk.
Kematian akibat DBD dikategorikan tinggi jika CFR > 2%. Dengan demikian pada tahun
2013 terdapat tiga provinsi yang memiliki CFR tinggi yaitu Provinsi Jambi, Kep. Bangka
Belitung, dan Nusa Tenggara Timur. Pada provinsi tersebut masih perlu upaya peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kesehatan di rumah
sakit dan puskesmas (dokter, perawat, dan lain-lain) termasuk peningkatan sarana-sarana
penunjang diagnostik dan penatalaksanaan bagi penderita di sarana-sarana pelayanan
kesehatan.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 149


GAMBAR 6.28
ANGKA KESAKITAN DEMAM BERDARAH DENGUE PER 100.000 PENDUDUK
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Berbeda dengan peningkatan jumlah penderita/angka kesakitan, jumlah


kabupaten/kota terjangkit DBD mengalami penurunan, dari 417 (83,9%) pada tahun 2012
menjadi 412 Kabupaten/Kota (82,9%) pada tahun 2013. Berikut ini gambaran jumlah
kabupaten/kota terjangkit tahun 2008-2013. Selama periode tahun 2008 sampai tahun 2013
jumlah kabupaten/kota terjangkit DBD cenderung meningkat.

GAMBAR 6.29
JUMLAH KABUPATEN/KOTA TERJANGKIT DBD
DI INDONESIA TAHUN 2008-2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

150 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Salah satu indikator yang digunakan untuk upaya pengendalian penyakit DBD yaitu
angka bebas jentik. Sampai tahun 2013 angka bebas jentik secara nasional belum mencapai
target yang sebesar 95%.

GAMBAR 6.30
ANGKA BEBAS JENTIK
DI INDONESIA TAHUN 2010-2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Pada tahun 2013 angka bebas jentik di Indonesia sebesar 80,09%. Sampai tahun 2013
angka bebas jentik belum mencapai target nasional yang sebesar 95%. Belum semua provinsi
melaporkan angka bebas jentik.
Informasi lebih rinci menurut provinsi terkait dengan penyakit DBD dapat dilihat pada
Lampiran 6.29 dan Lampiran 6.30.

h. Chikungunya
Demam chikungunya (demam chik) adalah suatu penyakit menular dengan gejala utama
demam mendadak, nyeri pada persendian, terutama pada sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan
tangan serta tulang belakang, serta ruam pada kulit. Demam chik ditularkan oleh nyamuk Aedes
albopictus dan Aedes aegypty yang juga merupakan nyamuk penular penyakit demam berdarah
Dengue (DBD).
Demam chik dijumpai terutama di daerah tropis/subtropis dan sering menimbulkan
epidemi. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya demam chik yaitu rendahnya status
kekebalan kelompok masyarakat dan kepadatan populasi nyamuk penular karena banyaknya
tempat perindukan nyamuk yang biasanya terjadi pada musim penghujan.
Selama tahun 2013 terdapat dua kabupaten/kota dari satu provinsi yang melaporkan
terjadinya KLB Chikungunya yaitu Kabupaten Bandung Barat dan Kota Tasikmalaya di Provinsi
Jawa Barat.
Kejadian Demam Chikungunya mengalami penurunan kasus yang cukup signifikan pada
tahun 2009-2012, namun kembali meningkat secara signifikan pada tahun 2013. Hingga saat ini
belum pernah dilaporkan adanya kematian akibat Chikungunya.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 151


GAMBAR 6.31
JUMLAH KASUS CHIKUNGUNYA DI INDONESIA
TAHUN 2009-2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2013

Faktor penyebab turunnya kasus antara lain kondisi cuaca yang relatif kering dengan
curah hujan yang rendah dan adanya imunitas pada daerah yang pernah terjangkit.

i. Filariasis
Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit berupa cacing filaria, yang
terdiri dari tiga spesies yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Penyakit
inimenginfeksi jaringan limfe (getah bening). Filariasis menular melalui gigitan nyamuk yang
mengandung cacing filaria dalam tubuhnya. Dalam tubuh manusia, cacing tersebut tumbuh
menjadi cacing dewasa dan menetap di jaringan limfe sehingga menyebabkan pembengkakan di
kaki, tungkai, payudara, lengan dan organ genital.

GAMBAR 6.32
JUMLAH KASUS KLINIS FILARIASIS
DI INDONESIA TAHUN 2010 2013

15.000
12.714
11.969 12.066 11.902
12.500
(jumlah kasus)

10.000

7.500

5.000

2.500

0
2010 2011 2012 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Provinsi dengan kasus klinis filariasis tertinggi pada tahun 2013 yaitu Aceh (2.359
kasus), Nusa Tenggara Timur (2.203 kasus), dan Papua (1.346 kasus).
Pada tahun 2013 terdapat sebanyak 302 kabupaten/kota endemis filariasis. Dari jumlah
tersebut hanya 92 kabupaten/kota (30,5%) yang melaksanakan Pemberian Obat Massal

152 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Pencegahan (POMP) filariasis dan sebanyak 32 Kabupaten/Kota yang telah selesai POMP
filariasis selama lima tahun berturut-turut. Belum semua kabupaten endemis filariasis
melaksanakan POMP, hal itu disebabkan kurangnya komitmen pemerintah daerah dalam
menyediakan biaya operasional POMP selama minimal lima tahun berturut- turut yang menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah. Sedangkan tanggung jawab pemerintah pusat yaitu
menyediakan obat.

j. Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup
dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia, ditularkan oleh nyamuk malaria
(Anopheles) betina, dapat menyerang semua orang baik laki-laki ataupun perempuan pada
semua golongan umur dari bayi, anak-anak dan orang dewasa. Berikut gambaran peta
endemisitas malaria per kabupaten/kota di Indonesia.

GAMBAR 6.33
PETA ENDEMISITAS MALARIA DI INDONESIA
TAHUN 2012 DAN 2013
Tahun 2012 Tahun 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Dari gambaran peta dan tabel endemisitas malaria di kabupaten/kota terlihat


penurunan jumlah daerah endemis tinggi dimana pada tahun 2011 kabupaten/kota yang
termasuk daerah endemis tinggi sebanyak 18%, pada tahun 2012 sebanyak 16% dan pada
tahun 2012 menjadi 14%. Sebaliknya, persentase kabupaten/kota dengan endemisitas rendah
meningkat. Gambar 6.34 berikut ini memperlihatkan perubahan persentase endemisitas
malaria tahun 2011-2013.
GAMBAR 6.34
PERSENTASE KABUPATEN/KOTA MENURUT TINGKAT ENDEMISITAS
TAHUN 2011-2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 153


i. Angka Kesakitan Malaria
Secara nasional angka kesakitan malaria selama tahun 20052013 cenderung menurun
yaitu dari 4,1 per 1.000 penduduk berisiko pada tahun 2005 menjadi 1,38 per 1.000 penduduk
berisiko pada tahun 2013. Sementara target Rencana Strategi Kementerian Kesehatan untuk
angka kesakitan malaria (API/annual parasite incidence) tahun 2013 <1,25 per 1.000 penduduk
berisiko. Dengan demikian cakupan API 2013 tidak mencapai target Renstra 2013. Penurunan
API tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.

GAMBAR 6.35
ANGKA KESAKITAN MALARIA (ANNUAL PARACITE INCIDENCE /API)
PER 1.000 PENDUDUK BERISIKO TAHUN 2005-2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Tiga provinsi dengan API tertinggi yaitu Papua (42,65), Papua Barat (38,44) dan Nusa
Tenggara Timur (16,37). Sedangkan provinsi dengan API terendah yaitu DKI Jakarta, Bali, dan
Jawa Timur. Pada tahun 2013 di DKI Jakarta dan Bali tidak ditemukan kasus positif malara,
sedangkan di Jawa Timur hanya ditemukan 7 kasus. Secara nasional, sebesar 85% sediaan
darah dites dengan pemeriksaan mikroskopis dan 15% lainnya dites dengan Rapid Diagnostic
Test (Lampiran 6.25).
Menurut Riskesdas 2013, insiden malaria berdasarkan diagnosis sebesar 0,35% atau 3,5
per 1.000 penduduk. Pada survei ini 3 provinsi dengan insiden tertinggi sama dengan hasil
laporan rutin yaitu Papua (6,1%), Papua Barat (4,5%), dan Nusa Tenggara Timur (2,6%).
Sementara insiden malaria berdasarkan diagnosis/gejala sebesar 1,9% atau 19 per 1.000
penduduk.

ii. Pengobatan Malaria


Pengobatan malaria harus dilakukan secara efektif. Pemberian jenis obat harus benar
dan cara meminumnya harus tepat waktu yang sesuai dengan acuan program pengendalian
malaria. Pengobatan efektif adalah pemberian ACT (Artemicin-based Combination Therapy) pada
24 jam pertama pasien panas dan obat harus diminum habis dalam 3 hari. Hasil Riskesdas 2013
menyatakan bahwa proporsi pengobatan efektif Indonesia sebesar 45,5%. Lima provinsi
tertinggi dalam mengobati malaria secara efektif yaitu Kep. Bangka Belitung (59,2%), Sumatera
Utara (55,7%), Bengkulu (53,6%), Kalimantan Tengah (50,5%), dan Papua (50,0%).
Informasi lengkap mengenai jumlah kasus malaria, jenis tes sediaan darah, dan angka
kesakitan serta pengobatannya dapat dilihat pada Lampiran 6.25 sampai dengan Lampiran 6.28.

154 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


k. Rabies
Rabies merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus (golongan Rabdovirus)
yang ditularkan melalui gigitan hewan seperti anjing, kucing, kelelawar, kera, musang dan
serigala yang di dalam tubuhnya mengandung virus.
Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam memantau upaya pengendalian
rabies, yaitu: GHPR (kasus Gigitan Hewan Penular Rabies), PET/Post Exposure Treatment
(penatalaksanaan kasus gigitan), dan kasus yang positif rabies dan mati berdasarkan uji Lyssa.
Pada tahun 2013 terdapat 25 provinsi (termasuk Kalimantan Utara) tertular rabies dari
34 provinsi di Indonesia (sesuai SK Menteri Pertanian). Sedangkan sebanyak sembilan provinsi
bebas rabies, lima diantaranya provinsi bebas historis (Papua, Papua Barat, Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, dan NTB), dan empat provinsi dibebaskan (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa
Timur, dan DKI Jakarta). Provinsi Kalimantan Barat sejak tahun 2006 hingga saat ini tidak
dilaporkan adanya kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) begitu juga tidak ada kasus
Lyssa. Namun, status daerah kasus tertular rabies masih belum dicabut oleh Kementerian
Pertanian.
Kasus kematian karena rabies (Lyssa) di tahun 2013 secara signifikan mengalami
penurunan dari 195 pada tahun 2009 menjadi 119 kasus Lyssa pada tahun 2013. Demikian juga
dengan jumlah kasus Gigitan Hewan Penular Rabies pada tahun 2013 mengalami penurunan
dibandingkan dengan kasus GHPR dalam tiga tahun terakhir. Kasus GHPR di tahun 2013
mengalami penurunan sebesar 18,4% jika dibandingkan dengan kasus GHPR tahun 2012.
Gambar 6.36 memperlihatkan bahwa penatalaksanaan kasus gigitan/Post Exposure
Treatment (PET) menurun, baik secara jumlah dari 74.331menjadi 54.059, maupun persentase
PET/VAR terhadap GHPR dari 87,7% pada tahun 2012 menjadi 78,5% pada tahun 2013.

GAMBAR 6.36
SITUASI RABIES DI INDONESIA
TAHUN 2009 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Gambar 6.37 berikut ini merupakan sebaran kasus rabies di Indonesia selama tahun
2013.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 155


GAMBAR 6.37
SEBARAN KASUS GHPR DAN KEMATIAN AKIBAT RABIES (LYSSA) DI INDONESIA
TAHUN 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Pada tahun 2013 terdapat 69.136 kasus gigitan hewan penular rabies. Kasus GHPR
paling banyak terjadi di Bali yaitu sebanyak 37.066 kasus dengan kasus meninggal berdasarkan
tes lyssa yang positif rabies dan mati berjumlah satu orang. Diikuti oleh Riau dengan 5.106
GHPR dan dua belas positif rabies serta Nusa Tenggara Timur sebanyak 5.067 GHPR dan enam
positif rabies.

l. Leptospirosis
Leptospirosis merupakan zoonosis yang diakibatkan bakteri Leptospira sp. Sumber
infeksi pada manusia biasanya akibat kontak secara langsung atau tidak langsung dengan urine
hewan yang terinfeksi. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah yang beriklim sedang masa
puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor
yang mempengaruhi kelangsungan hidup Leptospira, sedangkan didaerah tropis insidens
tertinggi selama musim hujan.
Provinsi yang melaporkan adanya kasus leptopirosis tahun 2013 yaitu Provinsi
Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur, dan
Banten. Selama lima tahun terakhir, Sumatera Selatan baru melaporkan kasus leptospirosis
pada tahun 2013.

156 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


TABEL 6.4
DISTRIBUSI KASUS LEPTOSPIROSIS DI 9 PROVINSI
DI INDONESIATAHUN 2009 2013
Tahun
Provinsi
2009 2010 2011 2012 2013
Sumatera Selatan 0 0 0 0 1
DKI Jakarta 8 15 11 10 66
Jawa Barat 0 1 29 0 1
Jawa Tengah 232 133 184 129 156
DI Yogyakarta 95 230 626 72 163
Jawa Timur 0 19 5 28 244
Banten 0 0 0 0 10
Kalimantan Timur 0 0 2 0 0
Sulawesi Selatan 0 11 0 0 0
Total 335 409 857 239 641
Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Dibandingkan tahun 2012, terdapat kenaikan jumlah kasus yang signifikan yaitu dari
239 kasus menjadi 641 kasus pada tahun 2013. Lonjakan kasus Leptospirosis terjadi di Jawa
Timur, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta. Peningkatan kasus tersebut salah satunya karena KLB di
Kabupaten Sampang Madura yang menyebabkan 96 kasus dengan sembilan kasus meninggal
(CFR=9,37%). KLB terjadi akibat air banjir yang terkontaminasi kencing tikus, lingkungan yang
kurang sehat, dan perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat masih kurang.
Angka kematian akibat leptospirosis selama enam tahun terakhir dapat dilihat pada
Gambar 6.38 berikut ini.

GAMBAR 6.38
SITUASI LEPTOSPIROSIS DI INDONESIA
TAHUN 2008 - 2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Walaupun jumlah kasus pada tahun 2013 meningkat dibandingkan tahun 2012, namun
angka kematian (case fatality rate/CFR)akibat leptospirosis menurun dari 12,13% pada tahun
2012 menjadi 9,38% pada tahun 2013. Upaya yang dilakukan untuk menekan angka kematian
cukup efektif.
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) leptospirosis ditujukan pada upaya
penemuan dini serta pengobatan segera penderita untuk mencegah kematian, intervensi

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 157


lingkungan untuk mencegah munculnya sarang-sarang atau tempat persembunyaian tikus, dan
vaksinasi hewan peliharaan terhadap Leptospira.

m. Antraks
Penyakit antraks disebabkan oleh kuman antraks (Bacillus anthracis). Kuman ini dapat
membentuk spora yang tahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat bertahan hidup
selama 60 tahun didalam tanah, sehingga sulit untuk dimusnahkan. Sumber penularan antraks
adalah hewan peliharaan seperti sapi, kerbau, kambing dan domba yang terinfeksi Bacillus
anthracis.
Pada tahun 2013 telah dilaporkan sebanyak sebelas kasus antraks dari satu provinsi
yaitu Sulawesi Selatan dengan kematian sebanyak satu orang (CFR=9,1%). Tahun 2012
ditemukan 18 kasus antraks di Nusa Tenggara Timur dan empat kasus di Sulawesi Selatan.
Sedangkan pada tahun 2011 sebanyak 27 kasus antraks ditemukan di Jawa Tengah dan empat
belas kasus di Nusa Tenggara Timur. Berikut ini digambarkan distribusi kasus antraks selama
enam tahun terakhir.

GAMBAR 6.39
JUMLAH KASUS DAN CFR ANTRAKS
DI INDONESIA TAHUN 2008-2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Pengendalian kasus antraks dapat dilakukan dengan peningkatan kegiatan surveilans


yang intensif terhadap kasus antraks dengan fokus daerah endemis atau daerah rawan lainnya.
Kegiatan surveilans diintensifkan pada hari-hari perayaan keagamaan seperti Hari Raya Idul
Fitri, Idul Adha, Natal ataupun perayaan hari besar lainnya dan juga saat dimungkinkan
konsumsi daging meningkat.

n. Flu Burung
Pengendalian flu burung yang dilakukan secara terpadu secara signifikan telah berhasil
menurunkan jumlah kasus konfirmasi flu burung H5N1 di Indonesia pada tahun 2013.
Dibandingkan tahun 2012 yang sebesar sembilan kasus, jumlah kasus konfirmasi flu burung
menurun pada tahun 2013 menjadi tiga kasus konfirmasi. Ketiga kasus tersebut terjadi di
Provinsi Jawa Barat yaitu dua kasus di Kota Bekasi dan satu kasus di Kabupaten Bekasi.
Namun, keseluruhan kasus konfirmasi flu burung pada tahun 2013 tersebut meninggal.
Gambaran penurunan jumlah kasus konfirmasi flu burung H5N1 dapat dilihat pada grafik
berikut ini.

158 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 6.40
JUMLAH KASUS, KEMATIAN, DANCASE FATALITY RATE (CFR)FLU BURUNG
DI INDONESIA TAHUN 2005-2013

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Sejak dilaporkan kasus pertama pada tahun 2005, penyebaran kasus flu burung H5N1
pada manusia telah terjadi di lima belas provinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan.
Secara kumulatif, jumlah kasus tertinggi ditemukan di Provinsi DKI Jakarta sebesar 52
kasus, Jawa Barat sebesar 51 kasus, dan Banten sebesar 32 kasus.
Berdasarkan hasil Penyelidikan Epidemiologi yang dilakukan oleh Tim terpadu (Ditjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dan Balitbangkes) beberapa hal yang
mempengaruhi tingginya CFR pada tahun 2013 yaitu:
1. Keterlambatan diagnosis dan keterlambatan pemberian Oseltamivir, disamping itu
juga faktor virulensi virus dan hostnya.
2. Dua dari tiga kasus tersebut tidak diberikan Oseltamivir.
3. Beberapa kasus memiliki histori kontak secara tidak langsung dengan faktor risiko,
sehingga petugas kesehatan menjadi kurang waspada terhadap gejala yang
mengarah ke Flu Burung.

2. PENYAKIT TIDAK MENULAR

Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker, diabetes
melitus, cedera dan penyakit paru obstruktif kronik serta penyakit kronik lainnya merupakan
63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa per tahun (WHO,
2010). Di Indonesia sendiri, penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan penting
dan dalam waktu bersamaan morbiditas dan mortalitas PTM semakin meningkat. Hal tersebut
menjadi beban ganda dalam pelayanan kesehatan, sekaligus tantangan yang harus dihadapi
dalam pembangunan bidang kesehatan di Indonesia. Peningkatan PTM berdampak negatif pada
ekonomi dan produktivitas bangsa. Pengobatan PTM seringkali memakan waktu lama dan
memerlukan biaya besar. Beberapa jenis PTM merupakan penyakit kronik dan/atau katastropik
yang dapat mengganggu ekonomi penderita dan keluarganya. Selain itu, salah satu dampak PTM
adalah terjadinya kecacatan termasuk kecacatan permanen. Secara global, regional, dan
nasional pada tahun 2030 diproyeksikan terjadi transisi epidemiologi dari penyakit menular
menjadi penyakit tidak menular.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 159


Berbagai faktor risiko PTM antara lain ialah: merokok dan keterpaparan terhadap asap
rokok, minum minuman beralkohol, diet/pola makan, gaya hidup, kegemukan, obat-obatan, dan
riwayat keluarga (keturunan). Prinsip upaya pencegahan tetap lebih baik dari pengobatan.
Upaya pencegahan penyakit tidak menular lebih ditujukan kepada faktor risiko yang telah
diidentifikasi. Kementerian Kesehatan telah mengembangkan program pengendalian PTM sejak
tahun 2005. Upaya pengendalian faktor risiko PTM yang telah dilakukan berupa promosi
Perilaku Bersih dan Sehat serta pengendalian masalah tembakau. Beberapa Pemerintah Daerah
telah menerbitkan peraturan terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan membentuk Aliansi
Walikota/Bupati dalam Pengendalian Tembakau dan Penyakit Tidak Menular. Sedangkan untuk
pengaturan makanan berisiko, ke depan akan dibuat regulasi antara lain tentang gula, garam
dan lemak dalam makanan yang dijual bebas. Upaya pengendalian PTM tidak akan berhasil jika
hanya dilakukan oleh Kementerian Kesehatan tanpa dukungan seluruh jajaran lintas sektor,
baik pemerintah, swasta, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, bahkan seluruh lapisan
masyarakat. Data dan informasi mengenai penyakit tidak menular di Indonesia menurut
provinsi berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 disajikan pada lampiran 6.34 6.37.
Beberapa kegiatan yang telah dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan dalam
upayanya untuk mengendalikan penyakit tidak menular pada tahun 2013 adalah sebagai
berikut.

1. Posbindu PTM
Kegiatan yang mulai dikembangkan pada tahun 2011 ini merupakan salah satu wujud
peran serta masyarakat dalam kegiatan deteksi dini, monitoring dan tindak lanjut dini
terhadap faktor risiko PTM secara terpadu dan terintegrasi dengan kegiatan rutin di
masyarakat, seperti di lingkungan tempat tinggal dalam wadah desa/kelurahan siaga aktif.
Selain itu, kegiatan tersebut pada saat ini telah dikembangkan pada kelompok khusus
seperti di Perusahaan Outobus (PO), kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH), sekolah, dan
tempat kerja.

2. Meningkatkan Upaya Pengendalian PTM di Puskemas


Pada tahun 2013 setiap kabupaten/kota minimal memiliki satu puskesmas dengan
program unggulan pelayanan PTM yang dilengkapi dengan sumber daya manusia yang
terlatih PTM, fasilitas, dan peralatan untuk penatalaksanaan kasus PTM. Upaya tersebut
antara lain peningkatan promosi kesehatan (health promotion) yang dilakukan melalui
gaya hidup sehat, melaksanakan deteksi dini dan monitoring faktor risiko PTM dan Pandu
PTM, dan atau layanan khusus PTM lainnya (jantung, stroke, Cedera, Tisan, skrining
Thalasemia, SLE, kanker anak, layanan upaya berhenti merokok, diet, aktivitas fisik, stres,
Tisan, PAL, IVA + CBE, rehabilitasi dan atau paliatif PTM).

3. Pengendalian Tembakau
Pengendalian tembakau di Indonesia merupakan salah satu upaya pengendalian faktor
risiko PTM, guna menurunkan prevalensi penyakit tidak menular. beberapa upaya yang
telah dikembangkan adalah:
a. Pengembangan kawasan tanpa rokok
b. Upaya berhenti rokok di Fasyankes Primer
c. Kebijakan pengendalian rokok
d. Jajak pendapat masyarakat mengenai penerapan larangan total iklan, promosi dan
sponsorship rokok.

160 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


4. Upaya Pengendalian Kecelakaan Lalu Lintas pada Situasi Mudik Lebaran 2013
Pada musim mudik Hari Raya Idul Fitri tahun 2013, Kemenkes RI menerbitkan Buku
Monitoring Evaluasi Kesehatan Pengemudi yang digunakan untuk mengamati
perkembangan kesehatan para pengemudi angkutan umum.

a. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah


Ruang lingkup pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJPD) yang
menjadi tanggung jawab Sub Direktorat Penyakit Jantung Dan Pembuluh Darah, Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan meliputi hipertensi essensial,
penyakit ginjal hipertensi, penyakit jantung hipertensi, stroke, gagal jantung, Penyakit Jantung
Koroner (PJK), kardiomipathy, penyakit jantung rheumatic, penyakit jantung bawaan, dan
infark miocard akut. Prioritas program pengendalian tahun 2010 memperhatikan pada
pengendalian faktor risiko PJPD berbasis masyarakat, deteksi dini, dan jejaring kerja dengan
tahapan kegiatan sebagai berikut :
Penyusunan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK). Sampai dengan tahun 2010,
NSPK yang telah disusun berupa :
a Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 854/MENKES/SK/IX/2009 Tentang Pedoman
Pengendalian Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
b Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 853/MENKES/SK/IX/2009 Tentang Jejaring
Kerja Nasional
c Buku pedoman Pengendalian Hipertensi pada Ibu Hamil
d Buku Deteksi Dini Faktor Risiko penyakit Jantung dan pembuluh Darah
1. Pengembangan SDM yang terdiri dari Training of Trainers (TOT) di 15 wilayah, dan
kalakarya di lokasi pelaksanaan bimbingan teknis dan sosialisasi.
2. Penyediaan alat stimulan berupa masscrening yang terdiri dari timbangan badan, alat ukur
tinggi badan, lingkar pinggang, tekanan darah, cardiochek, dan EKG yang didistribusikan ke
17 provinsi dan 36 kabupaten/kota.
3. Surveilans Epidemiologi. Kegiatan ini berupa penemuan dan tata laksana penyakit jantung
dan pembuluh darah. Salah satu kegiatan pokok pengendalian penyakit jantung dan
pembuluh darah yaitu penemuan dan tatalaksana yang dilaksanakan melalui deteksi dini
faktor risiko. Lokasi deteksi dini yang dilakukan pada tahun 2010 adalah Bireuen, Kota
Cimahi, Pontianak, Lamongan, Badung, Kota Balikpapan, Kota Pare Pare, dan Kota Banjar
Baru.
4. Pengendalian faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah berbasis masyarakat
melalui peningkatan pemberdayaan peran serta masyarakat. Kegiatan ini dilakukan dengan
melatih kader-kader Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) di 17 provinsi dan 36
kabupaten/kota.
5. Jejaring kerja berdasarkan faktor risiko PJPD. Kegiatan ini dilakukan dengan menjalin
kerjasama dengan lintas sektor, lintas program dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Gambaran prevalensi stroke di Indonesia sebagai salah satu penyakit jantung dan
pembuluh darah hasil Riskesdas tahun 2007 dan 2013 menurut provinsi disajikan pada gambar
berikut.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 161


GAMBAR 6.41
PREVALENSI STROKE PADA UMUR 15 TAHUN () BERDASARKAN DIAGNOSIS DOKTER
MENURUT PROVINSI TAHUN 2007 DAN 2013

Sumber: Riskesdas 2007 dan 2013, Badan Litbangkes Kemenkes RI

Dari gambar 6.41 di atas dapat dilihat bahwa provinsi dengan prevalensi stroke pada
umur 15 tahun menurut diagnosis dokter/gejala yang tertinggi pada tahun 2013 ialah
Provinsi Sulawesi Selatan (17,9), kemudian disusul DI Yogyakarta (16,9), dan Sulawesi
Tengah (16,6). Sedangkan prevalensi terendah terdapat di Provinsi Riau (5,2), kemudian
disusul oleh Jambi (5,3), dan Lampung (5,4). Kenaikan prevalensi tertinggi terdapat di
Provinsi Sulawesi Selatan, yakni dari 7,4 pada tahun 2007 menjadi 17,9 pada 2013.
Sedangkan penurunan prevalensi terbanyak terdapat di Provinsi Kepulauan Riau, yaitu dari
14,9 pada 2007 menjadi 8,5 pada 2013. Data dan informasi mengenai stroke menurut
provinsi pada tahun 2013 disajikan pada lampiran 6.36.

Selain stroke, penyakit jantung koroner juga merupakan salah satu penyakit jantung dan
pembuluh darah. Gambaran prevalensi penyakit jantung koroner hasil Riskesdas tahun 2013 di
Indonesia menurut provinsi disajikan pada gambar 6.42.

162 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 6.42
PREVALENSI PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA UMUR 15 TAHUN BERDASARKAN DIAGNOSIS
DOKTER/GEJALA MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber: Riskesdas 2013, Badan Litbangkes Kemenkes RI, 2014

Dari gambar 6.42 di atas terlihat bahwa menurut Riskesdas tahun 2013, provinsi
dengan prevalensi penyakit jantung koroner pada umur 15 tahun menurut diagnosis
dokter/gejala tertinggi ialah Provinsi Nusa Tenggara Timur (4,4%). Kemudian disusul oleh
Sulawesi Tengah (3,8%) dan Sulawesi Selatan (2,9%). Sedangkan prevalensi terendah terdapat
di Provinsi Riau (0,3%), Lampung (0,4%), dan Jambi (0,5%).

GAMBAR 6.43
PREVALENSI HIPERTENSI PADA UMUR 18 TAHUN BERDASARKAN WAWANCARA
MENURUT PROVINSI TAHUN 2007 DAN 2013

Sumber: Riskesdas 2007 dan 2013, Badan Litbangkes Kemenkes RI

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 163


Dari gambar 6.43 dapat dilihat bahwa secara nasional terjadi peningkatan prevalensi
hipertensi berdasarkan wawancara (apakah pernah didiagnosis nakes dan minum obat
hipertensi) dari 7,6 persen pada tahun 2007 menjadi 9,5 persen pada tahun 2013. Dari gambar
tersebut juga dapat dilihat bahwa provinsi dengan prevalensi hipertensi pada umur 18 tahun
berdasarkan wawancara yang tertinggi pada tahun 2013 ialah Provinsi Sulawesi Utara (15,2%),
kemudian disusul Provinsi Kalimantan Selatan (13,3%), dan DI Yogyakarta (12,9).
Sedangkan prevalensi terendah terdapat di Provinsi Papua (3,3%), kemudian disusul oleh
Papua Barat (5,2%), dan Riau (6,1%). Kenaikan prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi
Sulawesi Barat, yakni dari 4,7% pada tahun 2007 menjadi 9,6% pada 2013. Sedangkan
penurunan prevalensi terbanyak terdapat di Provinsi Riau, yaitu dari 8,2% pada 2007 menjadi
6,1% pada 2013. Data dan informasi mengenai hipertensi menurut provinsi pada tahun 2013
disajikan pada lampiran 6.35.

b. Penyakit Kanker
Program pengedalian penyakit kanker dilakukan untuk semua jenis kanker, tetapi saat
ini masih diprioritaskan pada dua kanker tertinggi di Indonesia yaitu kanker leher rahim dan
kanker payudara. Kegiatan yang dilakukan meliputi pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
Pencegahan primer dilakukan melalui pengendalian faktor risiko dan peningkatan komunikasi,
informasi dan edukasi. Pencegahan sekunder dilakukan melalui deteksi dini dan tatalaksana
yang dilakukan di Puskesmas dan rujukan ke rumah sakit. Deteksi dini kanker leher rahim
menggunakan metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) dan krioterapi untuk IVA (lesi
pra kanker leher rahim) positif, sedangkan deteksi dini kanker payudara menggunakan metode
Clinical Breast Examiniation (CBE). Pencegahan tersier dilakukan melalui perawatan paliatif dan
rehabilitatif di unit-unit pelayanan kesehatan yang menangani kanker dan pembentukan
kelompok survivor kanker di masyarakat.
Selain itu, dilakukan juga pengembangan registrasi kanker sebagai suatu sistem
surveilans dengan menggunakan software SriKanDI (Sistem Registrasi Kanker di Indonesia) di
DKI Jakarta sebagai model, yang akan dikembangkan ke daerah lain di Indonesia. Kegiatan yang
dilakukan dalam rangka pengendalian penyakit kanker antara lain :
1. Pencegahan dan pengendalian faktor risiko.
Sampai dengan tahun 2010 telah disusun Pedoman Pengendalian Penyakit Kanker yang
menjadi acuan bagi petugas kesehatan dan berbagai pihak yang terlibat dalam pengendalian
kanker. Pengendalian faktor risiko kanker juga dilakukan dengan memberikan konseling dan
penyuluhan bagi perempuan yang melakukan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara
di Puskesmas. Sampai tahun 2010 terdapat layanan konseling di 68 kabupaten/kota pada 14
provinsi.
2. Penemuan dan tatalaksana kasus.
Program deteksi dini dan tatalaksana yang dilakukan masih diprioritaskan pada 2 kanker
tertinggi di Indonesia yaitu kanker payudara dan kanker leher rahim. Program ini dimulai
sejak tahun 2007 dan telah dicanangkan sebagai program nasional yang dicanangkan oleh
Ibu Negara pada 21 April 2008. Program tersebut dikembangkan oleh Kementerian
Kesehatan dan Female Cancer Program (FCP).
Sampai dengan tahun 2013 program deteksi dini kanker leher rahim dan payudara sampai
tahun 2013, program deteksi dini kedua kanker tersebut telah berkembang di 207
kabupaten pada 32 provinsi, yang dilaksanakan oleh 717 dari 9500 Puskesmas. Saat ini, telah
ada 405 pelatih atau trainers yang terdiri dari dokter spesialis obstetri ginekologi, dokter
spesialis bedah onkologi, dokter spesialis bedah, dokter umum serta bidan dan diperkuat
oleh 1.682 providers atau pelaksana program terdiri dari dokter umum dan bidan. Jumlah

164 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


diskrining sebanyak 644.951 perempuan atau 1,75% dari target perempuan usia 30-50
tahun, 28.850 (4,47%) IVA positif, curiga kanker leher rahim 840 (1,3 per 1000), benjolan
pada payudara 1.682 (2,6 per 1000).
3. Peningkatan surveilans epidemiologi.
Dalam upaya meningkatkan kualitas surveilans epidemiologi penyakit kanker, agar
diperoleh data kanker yang valid dan tidak ada duplikasi pencatatan di masyarakat, maka
dikembangkan modeling registrasi kanker berbasis populasi di DKI Jakarta. Program
tersebut akan dikembangkan ke daerah lain di Indonesia. Sampai tahun 2010, registrasi di
DKI Jakarta telah dilaksanakan di 79 rumah sakit, 2 klinik, 90 laboratorium patologi, dan 34
Puskesmas kecamatan yang membawahi 301 Puskesmas kelurahan.
4. Peningkatan jejaring kerja dan kemitraan.
Dalam mengembangkan program pengendalian kanker di Indonesia, Kementerian Kesehatan
bekerja sama dengan lintas sektor terkait, pemerintah daerah, organisasi profesi, LSM dalam
dan luar negeri, dan pihak-pihak lainnya. Kerjasama ini diantaranya diwujudkan dalam
penyusunan rencana kerja 5 tahun (2010-2014), yaitu Indonesian Cancer Control Program
(ICCP) yang disusun dari rencana kerja semua pihak yang diintegrasikan. Rencana kerja
tersebut meliputi aspek pencegahan, deteksi dini, diagnosis dan pengobatan, pelayanan
paliatif, surveilans epidemiologi, riset/penelitian, support dan rehabilitasi. Rencana kerja ini
diharapkan menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun rencana kegiatan
pengendalian kanker di masing-masing daerah.
Gambaran mengenai prevalensi penyakit kanker berdasarkan hasil Riskesdas tahun
2013 menurut provinsi dapat dilihat pada gambar 6.44.

GAMBAR 6.44
PREVALENSI PENYAKIT KANKER () BERDASARKAN DIAGNOSIS DOKTER/GEJALA
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber: Riskesdas 2013, Badan Litbangkes Kemenkes RI, 2014

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 165


Berdasarkan gambar 6.44 tersebut, dapat dilihat bahwa prevalensi penyakit kanker
menurut diagnosis dokter/gejala hasil Riskesdas tahun 2013 yang tertinggi adalah di Provinsi
DI Yogyakarta (4,1), kemudian Jawa Tengah (2,1), dan Bali (2,0). Sedangkan prevalensi
terendah terdapat di Provinsi Gorontalo (0,2), disusul oleh Nusa Tenggara Barat, dan Papua
Barat (0,6).

c. Penyakit Diabetes Melitus dan penyakit metabolik


Ruang lingkup pengendalian penyakit diabetes melitus dan penyakit metabolik yang
ditangani oleh Subdirektorat Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik adalah
diabetes melitus, obesitas, gangguan kelenjar tiroid, dislipidemia, gangguan metabolisme
kalsium, gangguan sekresi korteks adrenal, dan gangguan kelenjar hipotalamus.
Diabetes melitus disebabkan oleh pola makan/nutrisi, kebiasaan tidak sehat, kurang
aktifitas fisik, dan stress. Tujuan program pengendalian diabetes melitus dan penyakit
metabolik adalah terselenggaranya peningkatan kemandirian masyarakat dalam pencegahan
dan penanggulangan faktor risiko penyakit tidak menular dengan melibatkan pengelola
program pusat, daerah, UPT, lintas program, lintas sektor, organisasi profesi, LSM dan
masyarakat.
Kegiatan pengendalian diabetes melitus dan penyakit metabolik yang telah
dilaksanakan terdiri dari pokok-pokok kegiatan yakni sebagai berikut.
1. Penyusunan pedoman
Sampai dengan tahun 2010 telah disusun 7 pedoman dengan revisi sebanyak 3 kali.
Sosialisasi dan advokasi sampai dengan tahun 2010 juga telah dilakukan di 33 provinsi.
2. Peningkatan kapasitas SDM
Upaya ini telah dilakukan melalui training of trainer (TOT) deteksi dini dan tatalaksana
diabetes melitus dan penyakit metabolik di 16 provinsi. Selain itu juga dilaksanakan
pelatihan terhadap 180 dokter spesialis penyakit dalam dan 180 dokter umum di 6 kota,
yaitu Medan, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan Makassar.
3. Menjalin kemitraan
Upaya lain terkait pencegahan dan penanggulangan faktor risiko adalah menjalin kemitraan
dengan lintas program/lintas sektor melalui pembentukan jejaring kelompok kerja diabetes
melitus, pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengendalian diabetes dan penyakit
metabolik di 10 provinsi, serta pengembangan Forum Diabetes Melitus di Indonesia. Pada
tahun 2010 di bentuk Project Partnership Agreement (PPA) antara Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia melalui Ditjen PPPL dengan World Diabetes Foundation (WDF) yaitu
lembaga swasta dunia yang berdedikasi dalam pencegahan dan pengobatan diabetes melitus
di negara berkembang. Tujuan dari kerja sama ini adalah melakukan intervensi pada
masyarakat dalam rangka pencegahan dan pengendalian diabetes melitus beserta faktor
risikonya.

166 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 6.45
PREVALENSI DIABETES PADA UMUR 15 TAHUN BERDASARKAN DIAGNOSIS DOKTER/GEJALA
MENURUT PROVINSI TAHUN 2007 DAN 2013

Sumber: Riskesdas 2007 dan 2013, Badan Litbangkes Kemenkes RI

Prevalensi diabetes di Indonesia berdasarkan wawancara tahun 2013 adalah 2,1%.


Angka tersebut lebih tinggi dibanding dengan tahun 2007 (1,1%). Sebanyak 31 provinsi
(93,9%) menunjukkan kenaikan prevalensi DM yang cukup berarti. Prevalensi tertinggi
Diabetes pada umur 15 tahun menurut diagnosis dokter/gejala hasil Riskesdas tahun 2013
adalah di Provinsi Sulawesi Tengah (3,7%). Kemudian disusul Sulawesi Utara (3,6%) dan
Sulawesi Selatan (3,4%). Sedangkan yang terendah ialah di Provinsi Lampung (0,8%), kemudian
Bengkulu dan Kalimantan Barat (1,0%). Provinsi dengan kenaikan prevalensi terbesar adalah
Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu 0,8% pada tahun 2007 menjadi 3,4% pada 2013. Sedangkan
provinsi dengan penurunan prevalensi terbanyak adalah Provinsi Papua Barat, yakni 1,4% pada
tahun 2007 menjadi 1,2% pada 2013.

d. Penyakit Kronis dan Degeneratif


Lingkup pengendalian penyakit kronik dan degeneratif adalah Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK), osteoporosis, asma, gagal ginjal kronik, thalasemia, SLE/Lupus, osteoartritis,
dan rhinitis kronis. Kegiatan pengendalian diabetes melitus dan penyakit metabolik yang telah
dilaksanakan terdiri dari pokok-pokok kegiatan yaitu sebagai berikut.
1. Penyusunan NSPK PPKD
Sampai dengan tahun 2013, NSPK yang telah disusun adalah Pedoman Pengendalian
Penyakit Kronik dan Degeneratif (PPOK), Kepmenkes No. 1022/Menkes/SK/XI/2008 Tgl. 3
Nopember 2008, Modul TOT PPOK, 2007 Pedoman Pengendalian Penyakit Asma,
Kepmenkes No. 1023/Menkes/SK/XI.2008 Tgl. 3 Nopember 2008, Pedoman Pengendalian
Osteoporosis, Kepmenkes No. 1142/Menkes/SK/XII/ 2008 Tgl. 4 Desember 2008, Petunjuk
Teknis Pengendalian Penyakit Ginjal Kronik, 2008, Standar Prosedur Operasional
Penggunaan Alat Penyakit Kronis Degeneratif, 2010, pedoman teknis thalasemia, 2013,
pedoman teknis SLE, 2013, pedoman teknis, upaya berhenti merokok di fasyankes.
2. Deteksi dini PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) melalui pendekatan praktis penyakit
paru-paru (PAL) dalam perawatan kesehatan primer.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 167


3. Pengendalian Tembakau
Pengendalian tembakau di Indonesia merupakan salah satu upaya pengendalian faktor
risiko PTM, guna menurunkan prevalensi penyakit tidak menular. beberapa upaya yang
telah dikembangkan adalah sebagai berikut.
a. Pengembangan kawasan tanpa rokok
Kemenkes RI menetapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sebagai salah satu upaya
untuk melindungi masyarakat terhadap dampak paparan asap rokok terhadap
kesehatan. KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk melakukan
kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi dan penggunaan rokok. Ruang lingkup
KTR meliputi tempat-tempat umum, tempat kerja tertutup, sarana kesehatan,tempat
proses belajar-mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum.
Sampai dengan tahun 2014 (Juni 2014), sebanyak 144 kab/kota di 32 provinsi telah
memiliki kebijakan mengenai KTR.
b. Upaya berhenti rokok di Fasyankes Primer
Penyediakan layanan upaya berhenti merokok khususnya pada pelayanan kesehatan
primer sebagai ujung tombak sarana pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tenaga
kesehatan akan melakukan konseling, bagaimana cara menghindar untuk menjadi
seorang perokok, dan bagi yang sudah terlanjur menjadi perokok adalah bagimana
cara berhenti dari ketergantungan merokok. Tujuan upaya ini adalah melindungi
kesehatan masyarakat dari dampak buruk akibat merokok. Pada tahun 2013 upaya ini
sudah dikembangkan dengan tersedianya buku upaya berhenti merokok di fasyankes
primer, dan pada tahun 2014 akan dilakukan pelatihan tenaga kesehatan pada 33
provinsi.
c. Aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)
untuk membuktikan komitmen Indonesia dalam pengendalian dampak merokok
terhadap kesehatan, Indonesia berkeinginan untuk mengaksesi Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC). Kemenkes sebagai pemprakarsa mengajukan
izin aksesi FCTC kepada presiden melalui Menteri Luar Negeri mengacu pada Undang-
Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan Peraturan Presiden
No.68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, melalui Peraturan Presiden.
Jajak Pendapat masyarakat mengenai penerapan larangan total iklan, promosi dan
sponsorship rokok. Survey ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh
gambaran umum pendapat masyarakat mengenai penerapan larangan total iklan,
promosi dan sponsorship rokok. Survei dilaksanakan di 5 kota, yakni Palembang,
Samarinda, Manado, Yogyakarta, dan Denpasar.
d. Total larangan iklan rokok/tembakau
Pada tahun 2013 telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 109 Tahun
2013 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk
Tembakau bagi Kesehatan yang mengatur peringatan kesehatan bergambar, kawasan
tanpa rokok (KTR), kandungan di dalam rokok (bahan tambahan, nikotin dan tar),
jumlah minimum kemasan, penjualan/peredaran, pengendalian iklan, promosi,
sponsor dan corporate social responsibility (CSR), perlindungan anak dan perempuan
hamil, tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah, serta peran serta
masyarakat.

168 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


4. Pengendalian Systemic lupus erythematosus (SLE)
Penyakit Lupus eritematosus sistemik (Systemic lupus erythematosus/SLE) merupakan
penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya. Penyakit ini terutama
menyerang wanita usia produktif dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor
genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam perjalanan
penyakit ini. Penyakit Lupus ini dikenal juga dengan istilah penyakit seribu wajah, karena
memiliki variasi gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang
beragam. Kekeliruan dalam pengenalan penyakit ini masih sering terjadi, sehingga
seringkali terlambat dalam diagnosis dan penatalaksanaannya. Pengembangan program ini
pada tahun 2013 adalah penyusunan juknis SLE dan pengembangannya pada dua daerah
yaitu di DKI Jakarta dan Jawa Barat.
5. Pengendalian Thalasemia
Program pencegahan thalassemia perlu dilakukan untuk mengurangi jumlah pasien
thalassemia mayor/homozigot di Indonesia. Dari sisi biaya, pencegahan thalassemia
membutuhkan lebih sedikit biaya daripada terapi pasien thalassemia mayor/homozigot
(Thalassemia mayor: thalassemia dengan gejala klinis yang paling berat, melakukan
transfusi darah rata-rata sebulan sekali seumur hidupnya). Konseling dan tes genetik
disarankan untuk keluarga yang membawa sifat Thalasemia. Dengan skrining diharapkan
dapat mengurangi insiden thalassemia, termasuk skrining pranikah dan pra-natal.
Dianjurkan, setiap orang yang belum menikah (Pria dan Wanita) dan setiap pasangan
menikah sebelum rencana kehamilan harus memastikan melakukan skrining untuk
Thalasemia. Pengembangan program pengendalian Thalasemia sampai dengan tahun 2013
adalah penyusunan juknis dan pilot project di dua daerah yaitu Kota Bandung dan Kab.
Garut.
6. Fasilitasi, bantuan teknis dan bimbingan pengembangan Kawasan Tanpa asap Rokok
7. Pengembangan SDM: pelatihan deteksi dini PPOK untuk perawatan kesehatan primer
8. Sosialisasi PPOK
9. Deteksi Dini PPOK melalui uji spirometri dalam kelompok masyarakat berisiko tinggi /
individu secara teratur, yaitu perokok, pekerja pertambangan, ibu rumah tangga yang
menggunakan kayu bakar
10. Membangun dan memperkuat jejaring kemitraan dengan departemen / lembaga dan LSM
Gambaran penyakit kronis dan degeneratif berdasarkan riskesdas 2013 adalah sebagai
berikut.
a. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
Provinsi dengan prevalensi tertinggi PPOK pada umur > 30 tahun berdasarkan gejala
menurut hasil Riskesdas tahun 2013 adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (10,0%),
kemudian Sulawesi Tengah (8,0%), dan Sulawesi Barat (6,7%). Sedangkan prevalensi PPOK
terendah menurut riset yang sama di tahun yang sama adalah Provinsi Lampung (1,4%),
kemudian Provinsi Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau (2,1%). Gambaran mengenai
prevalensi PPOK menurut provinsi pada tahun 2013 dapat dilihat pada gambar 6.46
berikut.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 169


GAMBAR 6.46
PREVALENSI PPOK PADA UMUR > 30 TAHUN BERDASARKAN GEJALA (%)
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber: Riskesdas 2013, Badan Litbangkes Kemenkes RI, 2014

b. Gagal Ginjal Kronis


Peta prevalensi penyakit gagal ginjal kronis di Indonesia menurut hasil Riskesdas tahun
2013 dapat dilihat pada gambar berikut.

GAMBAR 6.47
PETA PREVALENSI PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIS PADA UMUR 15 TAHUN
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Riskesdas 2013, Badan Litbangkes Kemenkes RI, 2014

170 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis pada umur 15 tahun menurut provinsi tahun 2013
ialah antara 0,1% hingga 0,5%. Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah
dan terendah di Provinsi Kalimantan Timur, NTB, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Kepulauan
Bangka Belitung, Sumatera Selatan, dan Riau.
c. Asma
Prevalensi tertinggi penyakit asma berdasarkan gejala tahun 2013 ialah di Provinsi
Sulawesi Tengah (7,8%). Tertinggi ke dua di Provinsi Nusa Tenggara Timur (7,3%),
kemudian di DI Yogyakarta (6,9%). Sementara itu, prevalensi terendah terdapat di Provinsi
Lampung (1,6%), kemudian diikuti Riau, dan Bengkulu (2%). Gambaran mengenai
prevalensi penyakit asma di Indonesia menurut provinsi tahun 2013 dapat dilihat pada
gambar berikut.

GAMBAR 6.48
PREVALENSI PENYAKIT ASMA BERDASARKAN GEJALA (%)
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber: Riskesdas 2013, Badan Litbangkes Kemenkes RI, 2014

Data dan informasi mengenai prevalensi penyakit asma menurut provinsi berdasarkan
hasil Riskesdas 2013 disajikan di lampiran 6.34.
d. Merokok
Usia pertama kali merokok tiap hari di Indonesia pada tahun 2013 terbanyak berada pada
kelompok umur 15 19 tahun (50%). Terbesar ke dua berada pada kelompok umur 20
24 tahun (27%). Gambaran mengenai usia pertama kali merokok tiap hari di Indonesia
pada tahun 2013 dapat dilihat pada gambar 6.49.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 171


GAMBAR 6.49
PROPORSI PENDUDUK BERDASARKAN USIA PERTAMA KALI MEROKOK TIAP HARI
DI INDONESIA TAHUN 2013

Sumber: Riskesdas 2013, Badan Litbangkes Kemenkes RI, 2014

Proporsi penduduk berumur 10 tahun yang merokok tiap hari terbanyak berada di
Provinsi Kepulauan Riau (27,2%), kemudian Provinsi Jawa Barat dan Bengkulu (27,1%).
Sedangkan proporsi yang terendah berada di Provinsi Papua (16,3%), kemudian Bali (18%),
dan Nusa Tenggara Timur (19,7%). Gambaran mengenai Proporsi penduduk berumur 10
tahun yang merokok tiap hari menurut provinsi pada tahun 2013 dapat dilihat pada gambar
berikut.

GAMBAR 6.50
PROPORSI PENDUDUK BERUMUR 10 TAHUN YANG MEROKOK TIAP HARI
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013

Sumber: Riskesdas 2013, Badan Litbangkes Kemenkes RI, 2014

172 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


B. KESEHATAN LINGKUNGAN

Kesehatan lingkungan mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, menurut WHO


(World Health Organization), kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologi yang
harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia.
Menurut WHO, ruang lingkup kesehatan lingkungan diantaranya meliputi penyediaan air
minum serta pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran.
Berdasarkan hal tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan mengadakan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 (Riskesdas 2013). Tujuan dari
Riskesdas 2013 topik kesehatan lingkungan adalah mengevaluasi program yang sudah ada,
menindaklanjuti upaya perbaikan yang akan dijalankan, dan mengidentifikasi faktor risiko
lingkungan berbagai jenis penyakit dan gangguan kesehatan.

1. Air Minum
Komitmen pemerintah terhadap Millenium Development Goals (MDGs) yaitu memastikan
kelestarian lingkungan hidup dengan menurunkan target hingga setengahnya proporsi rumah
tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi dasar hingga 2015.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum, air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau
tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.
Penyelenggara air minum dapat berasal dari badan usaha milik negara/badan usaha milik
daerah, koperasi, badan usaha swasta, usaha perorangan, kelompok masyarakat, dan/atau
individual yang melakukan penyelenggaraan penyediaan air minum. Tidak semua air dapat
diminum, syarat-syarat kualitas air minum sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan
dimaksud, diantaranya adalah sebagai berikut :
Syarat Fisik : Tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna;
Parameter Mikrobiologi E Coli dan total Bakteri Kolifrom, kadar maksimum yang di
perbolehkan 0 jumlah per 100 ml sampel;
Syarat Kimia : Kadar Besi : maksimum yang diperbolehkan 0,3 mg/l, Kesadahan (maks
500 mg/l), pH 6,5-8,5;
Syarat Mikrobiologis : Koliform tinja/total koliform (maks 0 per 100 ml air);
Dan parameter tambahan lainnya.
Salah satu parameter air minum adalah parameter fisik. Parameter fisik yang harus
dipenuhi pada air minum yaitu harus jernih, tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna.
Selain itu, air minum tidak menimbulkan endapan. Jika air yang kita konsumsi menyimpang dari
hal ini, maka sangat mungkin air telah tercemar. Secara nasional, berdasarkan hasil Riskesdas
2013, kualitas fisik air minum di Indonesia termasuk dalam kategori baik (tidak keruh, tidak
berwarna, tidak berasa tidak berbusa dan tidak berbau) sebesar 94,1%. Rincian lengkap hasil
Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum dapat
dilihat pada Lampiran 6.39.
Pembahasan air minum meliputi, proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber air
minum, proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum, proporsi rumah tangga
berdasarkan pengolahan air minum sebelum diminum, proporsi rumah tangga berdasarkan
cara pengolahan air minum sebelum diminum, dan proporsi rumah tangga yang memiliki akses
terhadap sumber air minum berdasarkan kriteria JMP WHO-INICEF 2006.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 173


GAMBAR 6.51
PROPORSI RUMAH TANGGA BERDASARKAN JENIS SUMBER AIR MINUM
DI INDONESIA, RISKESDAS 2013

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes, 2014

Gambar 6.51 hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga
berdasarkan jenis sumber air minum di Indonesia terbesar pada sumur gali terlindung sebesar
22,5%, kemudian air isi ulang sebesar 21 % dan sumur bor/pompa sebesar 12,8%. Proporsi
rumah tangga yang menggunakan air isi ulang dan air kemasan mempunyai persentase yang
cukup besar. Hal ini terjadi seiring dengan kemajuan teknologi serta semakin tinggi tingkat
kesadaran masyarakat terhadap kesehatan terutama dalam pemenuhan kebutuhan air bersih
untuk minum, sementara itu persediaan air tanah yang selama ini menjadi sumber utama air
minum telah semakin berkurang, rumah tangga kini mulai beralih kepada produk air minum
dalam kemasan/isi ulang. Produk ini merupakan salah satu solusi untuk konsumsi air minum
karena produk dapat langsung diminum karena telah melalui proses produksi. Rincian lengkap
hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber air minum per
provinsi dapat dilihat pada Lampiran 6.38.
Air yang layak diminum, mempunyai standar tertentu yaitu telah memenuhi
persyaratan fisik, kimiawi dan bakteriologis, dan syarat tersebut merupakan satu kesatuan. Jadi
apabila ada satu saja parameter yang tidak memenuhi syarat maka air tesebut tidak layak untuk
diminum. Agar air layak untuk diminum maka diperlukan pengolahan air sebelum diminum.

174 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 6.52
PROPORSI RUMAH TANGGA YANG MENGOLAH AIR MINUM SEBELUM DIMINUM
DI INDONESIA, RISKESDAS 2013

Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes, 2014

Gambar 6.52 menunjukkan proporsi rumah tangga yang mengolah air minum sebelum
diminum. Secara nasional proporsi rumah tangga yang mengolah air minum sebelum diminum
sebesar 70,1%. Proporsi terbesar terdapat di Provinsi Maluku Utara sebesar 92,7%, Nusa
Tenggara Timur sebesar 90,6%. Proporsi terendah rumah tangga yang mengolah air minum
sebelum diminum terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 33,5%, Kepulauan Riau
sebesar 36,6%. Provinsi DKI Jakarta mempunyai proporsi rumah tangga yang mengolah air
minum sebelum diminum relatif kecil (41,6%). Hal ini dimungkinkan banyaknya rumah tangga
yang menggunakan air mineral (air kemasan dan air isi ulang). Pengolahan air sebelum
diminum meliputi dimasak, penyinaran matahari, ditambah larutan tawas, disaring dan tambah
larutan tawas, disaring saja. Rincian lengkap hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah
tangga yang mengolah air minum sebelum diminum dapat dilihat pada Lampiran 6.40.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 175


GAMBAR 6.53
PROPORSI RUMAH BERDASARKAN CARA PENGOLAHAN AIR MINUM SEBELUM DIMINUM
DI INDONESIA, RISKESDAS 2013

Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes, 2014

Gambar 6.53 menunjukkan proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air
minum sebelum diminum. Hasil Riskesdas 2013, rumah tangga yang mengolah air minumnya
dengan cara dimasak sebesar 96,5%. Cara ini merupakan yang paling banyak dilakukan oleh
rumah tangga. Persentase tertinggi terdapat di Provinsi Banten sebesar 97,8%, Lampung
sebesar 97,6%. Sedangkan persentase terkecil terdapat di Provinsi Maluku sebesar 90,6% dan
Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 92,6%. Pengolahan air sebelum diminum dengan cara
penyinaran matahari sebesar 2,3%. Cara ini paling banyak dilakukan di Provinsi Bengkulu
sebesar 3,8%. Pengolahan air sebelum diminum dengan cara disaring saja sebesar 0,8%. Cara
ini paling banyak dilakukan di Provinsi Maluku sebesar 6,2%. Pengolahan air sebelum diminum
dengan cara menambah larutan tawas serta disaring dan menambah larutan tawas sebesar
0,2%. Rincian lengkap hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga berdsarkan cara
mengolah air minum sebelum diminum dapat dilihat pada Lampiran 6.41.
Berdasarkan kriteria dari JMP WHO-UNICEF 2006, akses ke sumber air minum
dibedakan menjadi dua, yaitu improved dan unimproved. Improved yaitu rumah tangga yang
mempunyai akses ke sumber air minum air ledeng/PDAM, sumur bor/pompa, sumur gali
terlindung, mata air terlindung, penampungan air hujan, air kemasan (hanya jika sumber air
untuk keperluan rumah tangga lainnya improved). Unimproved yaitu rumah tangga yang
mempunyai akses ke sumber air minum air kemasan, air isi ulang, air ledeng eceran/membeli,
sumur gali tidak terlindung, mata air tidak terlindung, air sungai/danau/irigasi.

176 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 6.54
PROPORSI RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI AKSES TERHADAP SUMBER AIR MINUM IMPROVED
BERDASARKAN KRITERIA JMP WHO-UNICEF 2006, RISKESDAS 2013

Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes, 2014

Gambar 6.54 menunjukkan hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga yang
memiliki akses terhadap sumber air minum improved. Secara nasional proporsi rumah tangga
yang telah memiliki akses terhadap sumber air minum improved sebesar 66,8%, sedangkan
rumah tangga yang mempunyai akses terhadap sumber air minum unimproved sebesar 33,2%.
Persentase terbesar rumah tangga yang mempunyai akses terhadap sumber air minum
improved terdapat di provinsi Bali sebesar 82% dan DI Yogyakarta sebesar 81,7%. Persentase
terendah rumah tangga yang mempunyai akses terhadap sumber air minum improved terdapat
di Provinsi Kepulan Riau sebesar 24% dan Kalimantan Timur sebesar 35,2%. Rincian lengkap
hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air
minum dilihat pada Lampiran 6.42.
Upaya untuk dapat meningkatkan akses air minum dan kualitas air minum yang layak
secara nasional terus menerus dilakukan, akan tetapi masih banyak kendala dalam
pencapaiannya. Kendala tersebut antara lain :
1. Adanya kecenderungan meningkatnya penggunaan air kemasan dan isi ulang sebagai
sumber air minum, sementara itu air kemasan dan isi ulang tidak termasuk sebagai sumber
air minum layak. Hal ini terjadi disebabkan oleh pendataan yang dilakukan saat ini hanya
memotret akses terhadap sumber air yang digunakan untuk minum, belum
memperhitungkan kondisi rumah tangga yang memiliki lebih dari satu sumber air yang
layak untuk diminum;
2. Penyediaan infrastruktur air minum yang ada belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan
penduduk, maupun faktor urbanisasi dan peningkatan konsumsi;

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 177


3. Untuk penyediaan air minum perpipaan, beberapa permasalahan pada tingkat operator air
minum yaitu minimnya biaya operasional dan pemeliharaan, rendahnya tarif, terbatasnya
SDM yang kompeten dan pengelolaan yang kurang efisien;
4. Terdapat kerusakan di berbagai sarana air minum yang dipakai di masyarakat, termasuk
sumber air minum bukan jaringan perpipaan (BJP) yang tidak terlindungi yang mencapai
10,54%.

2. Sanitasi Layak
Akses terhadap sanitasi layak merupakan salah satu fondasi inti dari masyarakat yang
sehat. Sanitasi yang baik merupakan elemen penting yang menunjang kesehatan manusia.
Sanitasi berhubungan dengan kesehatan lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat. Buruknya kondisi sanitasi akan berdampak negatif di banyak aspek kehidupan,
mulai dari turunnya kualitas lingkungan hidup masyarakat, tercemarnya sumber air minum
bagi masyarakat, meningkatnya jumlah kejadian diare dan munculnya beberapa penyakit.

GAMBAR 6.55
PROPORSI RUMAH TANGGA BERDASARKAN PENGGUNAAN
FASILITAS BUANG AIR BESAR DI INDONESIA, RISKESDAS 2013

Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes, 2014

Gambar 6.55 menunjukkan hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga
berdasarkan penggunaan fasilitas buang air besar. Secara nasional, proporsi rumah tangga yang
menggunakan fasilitas buang air besar milik sendiri sebesar 76,2%, milik bersama 6,7%, umum
4,2% dan buang air besar secara sembarangan sebesar 12,9%. Provinsi yang mempunyai
persentase terbesar rumah tangga yang menggunakan fasilitas buang air besar sendiri terdapat
di Provinsi Riau sebesar 88,4%, menyusul Lampung dan Kepulauan Riau (keduanya sebesar
88,1%) dan terendah terdapat di Provinsi Gorontalo sebesar 50,2%, menyusul Sulawesi Barat
sebesar 52,8% dan Nusa Tenggara Barat sebesar 57,8%. Rincian lengkap hasil Riskesdas 2013
tentang proporsi rumah tangga berdasarkan penggunaan fasilitas buang air besar menurut
provinsi dilihat pada Lampiran 6.43.

178 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


GAMBAR 6.56
PROPORSI RUMAH TANGGA BERDASARKAN JENIS TEMPAT BUANG AIR BESAR
DI INDONESIA, RISKESDAS 2013

Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes, 2014

Menurut jenis tempat buang air besar yang digunakan, sebagian besar rumah tangga di
Indonesia menggunakan kloset berjenis leher angsa sebesar 84,4%, plengsengan sebesar 4,8%,
cemplung/cubluk/lubang tanpa lantai sebesar 7,2%, dan cemplung/cubluk/lubang dengan
lantai sebesar 3,7%. Rincian lengkap hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga
berdasarkan jenis tempat buang air besar menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 6.44.
Berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja, berdasarkan hasil Riskesdas 2013,
sebesar 66% rumah tangga di Indonesia menggunakan tangki septik sebagai tempat
pembuangan akhir tinja. Rumah tangga yang menggunakan tempat pembuangan akhir tinja
SPAL sebesar 4%, kolam/sawah sebesar 4,4%, sungai/danau/laut sebesar 13,9%, lubang tanah
sebesar 8,6%, pantai/tanah lapang/kebun sebesar 2,7%. Rincian lengkap hasil Riskesdas 2013
tentang proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut provinsi
dapat dilihat pada Lampiran 6.45.
Berdasarkan konsep dan definisi MDGs, akses sanitasi layak apabila penggunaan
fasilitas tempat buang air besar milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis
leher angsa dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau Sarana
Pembuangan Air Limbah (SPAL). Metode pembuangan tinja yang baik yaitu dengan jamban
dengan syarat sebagai berikut :
1. Tanah permukaan tidak boleh terjadi kontaminasi
2. Tidak boleh terjadi kontaminasi pada air tanah yang mungkin memasuki mata air atau
sumur
3. Tidak boleh terkontaminasi air permukaan
4. Tinja tidak boleh terjangkau oleh lalat dan hewan lain
5. Tidak boleh terjadi penanganan tinja segar, atau bila memang benar-benar diperlukan,
harus dibatasi seminimal mungkin
6. Jamban harus bebas dari bau atau kondisi yang tidak sedap dipandang
7. Metode pembuatan dan pengoperasian harus sederhana dan tidak mahal.
Untuk akses terhadap fasilitas tempat buang air besar (sanitasi) digunakan kriteria JMP
WHO - Unicef tahun 2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga yang memiliki akses

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 179


terhadap fasilitas sanitasi improved adalah rumah tangga yang menggunakan fasilitas buang air
besar milik sendiri, jenis tempat buang air besar jenis leher angsa atau plengsengan, dan tempat
pembuangan akhir tinja jenis tangki septik.

GAMBAR 6.57
PROPORSI RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI AKSES TERHADAP FASILITAS SANITASI IMPROVED
BERDASARKAN KRITERIA JMP WHO-UNICEF 2006, RISKESDAS 2013

Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes, 2014

Pada Gambar 6.57 proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas
sanitasi improved berdasarkan kriterian JMP WHO-UNICEF 2006 di Indonesia sebesar 59,8%.
Proporsi tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 78,2%, Kepulauan Riau sebesar
74,8% dan Kalimantan Timur sebesar 74,1%. Proporsi terendah rumah tangga yang memiliki
akses terhadap fasilitas sanitasi improved terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua
sebesar 30,5%. Rincian lengkap hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga
berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran
6.46.
Upaya untuk dapat meningkatkan sanitasi yang layak secara nasional terus menerus
dilakukan, akan tetapi masih banyak kendala dalam pencapaiannya. Kendala tersebut antara
lain :
1. Pembangunan sanitasi belum menjadi kegiatan prioritas di provinsi dan kabupaten / kota.
2. Masih minimnya investasi sektor sanitasi, karena belum mempunyai nilai ekonomis secara
langsung,
3. Proses peningkatan perubahan perilaku tidak dapat dilakukan secara instan, cenderung
membutuhkan waktu yang relatif lama dan kecukupan pendampingan petugas kepada
masyarakat untuk menerapkan perilaku yang lebih sehat dalam kehidupan sehari-hari
secara berkesinambungan.

180 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


4. Belum meratanya ketersediaan sarana sanitasi yang mudah, murah, dan terjangkau oleh
masyarakat
Upaya terobosan/inovasi dalam rangka akselerasi pencapaian target melalui
pengalokasian dana APBN dalam bentuk kegiatan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat (PAMSTBM) yang diharapkan dapat meningkatkan akses penduduk
terhadap sumber air dan sanitasi yang layak di 158 Kabupaten pada 31 Provinsi melalui
mekanisme Tugas Pembantuan dengan komponen kegiatan Rehabilitasi Sarana Air Minum
Bukan Jaringan Perpipaan dan Pembangunan Sarana Air Minum.
Selain itu dilakukan upaya penguatan Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) yakni
melibatkan LSM Lokal/Nasional/Internasional, CSR (Corporate Social Responsibility), donor
agency internasional, seperti World Bank, ADB yang diimplementasikan melalui kegiatan
Pamsimas dan ICWRMIP, serta kegiatan lain yang berorientasi pada pembinaan, penyediaan
sarana air minum dan sanitasi dasar yang layak serta terbangunnya perilaku hidup bersih dan
sehat bagi masyarakat dengan menggunakan pendekatan STBM.

3. Sanitasi Total Berbasis Masyarakat


Desa STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) adalah desa yang sudah stop BABS
minimal 1 dusun, mempunyai tim kerja STBM atau natural leader, dan telah mempunyai
rencana kerja STBM atau rencana tindak lanjut. STBM menjadi ujung tombak keberhasilan
pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan secara keseluruhan. Sanitasi total
berbasis masyarakat sebagai pilihan pendekatan, strategi dan program untuk mengubah
perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan metode
pemicuan dalam rangka mencapai target MDGs. Dalam pelaksanaan STBM mencakup 5 (lima)
pilar yaitu:
1. Stop buang air besar sembarangan,
2. Cuci tangan pakai sabun,
3. Pengelolaan air minum dan makanan yang aman di rumah tangga,
4. Pengelolaan sampah dengan benar, dan
5. Pengelolaan limbah cair rumah tangga dengan aman.
Jumlah desa STBM mengalami peningkatan dari 6.235 jumlah desa pada tahun 2011
kemudian menjadi 11.165 desa. Pada tahun 2013 dari target desa yang melaksanakan STBM
sebanyak 16.000 desa telah tercapai sebanyak 16.228 desa. Jika dilihat jumlah desanya, maka
yang terbanyak adalah di Jawa Timur yaitu 3.618 desa, diikuti oleh Jawa Tengah, Nusa Tenggara
Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Kegiatan untuk mempercepat pelaksanaan STBM dilakukan bersama penyediaan air
minum dalam satu kegiatan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(PAMSTBM). Kegiatan ini dilaksanakan di 158 kabupaten yang berada di 31 provinsi melalui
mekanisme Tugas Pembantuan. Hasil kegiatan ini berupa pembangunan 119 sarana air
komunal dan 14.865 sarana air bukan jaringan perpipaan yang direhabilitasi serta 4.001 desa
dilakukan pemicuan STBM.

4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


Dalam upaya meningkatkan kesehatan anggota keluarga, Pusat Promosi Kesehatan
Kemenkes berupaya meningkatkan persentase rumah tangga ber-PHBS. PHBS di rumah tangga
adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu
mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 181


di masyarakat. Untuk mencapai rumah tangga ber-PHBS, terdapat perilaku hidup bersih dan
sehat yang dipantau, yaitu
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan merupakan orang yang ahli
dalam membantu persalinan. Jika ada kelainan dapat diketahui dan ditolong. Peralatan
tenaga kesehatan aman, bersih, dan steril.
2. Memberi bayi ASI eksklusif. Keunggulan ASI diantaranya kandungan gizinya sesuai
kebutuhan bayi, mengandung zat kekebalan, melindungi alergi, terjamin kebersihannya,
tidak basi, memperbaiki refleks menghisap, menelan, dan pernapasan bayi.
3. Menimbang balita setiap bulan. Manfaat yang didapatkan diantaranya mengetahui apakah
balita tumbuh sehat, mencegah gangguan pertumbuhan balita, mengetahui balita sakit,
berat badan dibawah garis merah, gizi buruk, kelengkapan imunisasi, penyuluhan gizi.
4. Menggunakan air bersih. Manfaat air bersih yaitu menghindarkan dari gangguan penyakit
seperti diare, kolera thypus dan lain-lain. Sumber air bersih dari mata air, sumur atau
pompa, ledeng, air hujan atau air kemasan.
5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun. Mencuci tangan membunuh kuman yang ada
di tangan, mencegah penularan penyakit seperti diare, ISPA, penyakit kulit.
6. Menggunakan jamban sehat. Syarat jamban sehat yaitu tidak mencemari sumber air
minum, tidak berbau, kotoran tidak dapaat dijamah serangga dan tikus, tidak mencemari
tanah sekitar, aman dan mudah dibersihkan, dilengkapi dinding dan atap, penerangan dan
ventilasi cukup, lantai kedap air dan luas ruangan memadai, tersedia air, sabun dan alat
pembersih.
7. Memberantas jentik di rumah sekali seminggu. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
dengan cara 3M plus (Menguras, Menutup, Mengubur, plus Menghindari gigitan nyamuk).
Menguras dan menyikat tempat penampungan air. Menutup rapat tempat penampungan
air. Mengubur atau menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air.
8. Makan sayur dan buah setiap hari. Manfaat makanan berserat diantaranya mencegah
diabetes, melancarkan buang air besar, menurunkan berat badan, membantu pembersihan
racun, mencegah kanker, mengatasi anemia, membantu perkembangan bakteri baik dalam
usus.
9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari. Dilakukan sedikitnya 30 menit setiap hari berupa
pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga yang penting bagi
pemeliharaan kesehatan fisik, mental, dan mempertahankan kualitas hidup agar tetap
sehat dan bugar sepanjang hari.
Pada tahun 2013, persentase rumah tangga yang ber-PHBS tertinggi di provinsi
Kalimantan Timur sebesar 75,26% diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah sebesar 75,14%.
Sedangkan persentase terendah di Provinsi Papua Barat sebesar 25,50% kemudian Provinsi
Nusa Tenggara Barat sebesar 28,94%.

5. Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat


Kabupaten/Kota Sehat (KKS) merupakan salah satu indikator pelaksanaan kegiatan
penyehatan lingkungan dalam RPJMN dan Renstra 2010-2014. KKS adalah suatu kondisi
kabupaten/kota yang bersih, nyaman, aman dan sehat untuk dihuni penduduk, yang dicapai
melalui terselenggaranya penerapan beberapa tatanan dengan kegiatan yang terintegrasi yang
disepakati masyarakat dan pemerintah kabupaten/kota.
Peraturan bersama antara Menteri Dalam Negeri dengan Menteri Kesehatan Nomor 34
Tahun 2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kab/Kota Sehat (KKS) merupakan dasar
kegiatan penyehatan lingkungan untuk mewujudkan Kabupaten/Kota Sehat yang dimulai sejak

182 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


tahun 1998. Kegiatan tersebut diawali di Cianjur, Balikpapan, Bandar Lampung, Pekalongan,
Malang, dan Jakarta Timur.
Penghargaan bagi daerah yang melaksanakan KKS berupa penghargaan SWASTISABA
dengan tiga kategori yaitu padapa, wiwerda, dan wistara. Pemberian penghargaan ini telah
diselenggarakan sejak tahun 2005 dan dilakukan setiap dua tahun sekali.
Pendekatan KKS tidak hanya mengutamakan pada terselenggaranya upaya peningkatan
lingkungan fisik tapi juga sosial dan budaya, serta perilaku dan pelayanan kesehatan agar
dilaksanakan secara adil, merata, dan terjangkau dengan memaksimalkan seluruh potensi
sumber daya di kabupaten/kota tersebut secara mandiri sehingga diharapkan dapat
mewujudkan kondisi yang kondusif bagi masyarakat untuk meningkatkan produktivitas dan
ekonomi wilayah dan masyarakat dalam meningkatkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Pada tahun 2013, kabupaten/kota yang menyelenggarakan program KKS sebanyak 325
kabupaten/kota. Provinsi yang seluruh kabupaten/kotanya telah mencapai KKS sebanyak 12
provinsi. Terdapat 4 provinsi belum ada kabupaten/kotanya yang mencapai KKS yaitu Maluku,
Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.

***

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 183


Sebagian peserta Pelatihan Teknis Penyusunan Profil Kesehatan tingkat nasional di Bali.

184 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2011. Hasil Sensus Penduduk 2010, Data Agregat Per Provinsi. BPS, Jakarta.

Badan Pusat Statistik, BKKBN, Kementerian Kesehatan RI. 2012. Survei Demografi Kesehatan
Indonesia 2012. BPS, Jakarta

Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2012. BPS, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Indonesia 2013. BPS, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Indonesia 2014. BPS, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2014. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia,
Februari 2014. BPS, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2014. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Edisi 45, Februari 2014. BPS,
Jakarta.

Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar. 2011. Data 101 Puskesmas Prioritas Nasional DTPK
Tahun 2007-2010 Edisi 5. Kemenkes, Jakarta.

Kementerian Dalam Negeri RI. 2013. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2013
Tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan. Kementerian Dalam
Negeri, Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor


369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan. Kementerian Kesehatan RI,
Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


HK.02.02/MENKES/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


1796/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas 2007. Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas 2013. Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas Dalam Angka 2013.
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan 185


Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal RI, 2010. Peraturan Presiden Nomor 5
Tahun 2010, Tentang RPJMN 2010 2014. Jakarta.

Pusat Data dan Informasi. 2011. Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan
2011-2014. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.

Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan

***

186 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013

Anda mungkin juga menyukai