212
Ind
p
ISBN 978-602-235-645-5
1. Judul I. HEALTH STATISTICS
ii
TIM PENYUSUN
Pengarah
dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS
Sekretaris Jenderal Kemenkes RI
Ketua
drg. Oscar Primadi, MPH
Kepala Pusat Data dan Informasi
Editor
drg. Vensya Sitohang, M.Epid
Dr. drh. Didik Budijanto, M.Kes
Boga Hardhana, S.Si, MM
drg. Titi Aryati Soenardi, M.Kes
Anggota
Farida Sibuea, SKM, MScPH; Ir. Zulfi, MM;
Marlina Indah Susanti, SKM, M.Epid; Supriyono Pangribowo, SKM, MKM;
Budi Prihantoro, S.Si ; Margiyono, SKom;
Dewi Roro Kumbini, S.Pd, MKM; Annisa Harpini, SKM, MKM;
Sarinah Bintang, SKM, Eka Satriyani Sakti, SKM;
B.B. Sigit; Hellena Maslinda; Hadi Nuramsyah
Kontributor
Biro Perencanaan dan Anggaran; Biro Kepegawaian; Biro Keuangan dan BMN;
Pusat Promosi Kesehatan;Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan;
Set. Ditjen Bina Gizi dan KIA; Dit. Bina Kesehatan Ibu; Dit. Bina Kesehatan Anak;
Dit. Bina Gizi; Set. Ditjen Bina Upaya Kesehatan; Dit. Bina Upaya Kesehatan Dasar;
Dit. Bina Upaya Kesehatan Rujukan; Set. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan;
Set. Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; Dit. Surveilans Imunisasi,
Karantina, dan Kesehatan Matra; Dit. Pengendalian Penyakit Menular Langsung;
Dit. Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang; Dit. Pengendalian Penyakit Tidak Menular;
Set. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; Set. Badan PPSDM Kesehatan;
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan
iii
KATA PENGANTAR
SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN RI
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
kami dapat menyelesaikan Profil Kesehatan Indonesia 2013 ini
dengan baik. Profil Kesehatan Indonesia merupakan salah satu media
publikasi data dan informasi yang terkait dengan situasi dan kondisi
kesehatan yang relatif komprehensif.
Data yang ditampilkan pada Profil Kesehatan Indonesia dapat membantu kita dalam
membandingkan capaian pembangunan kesehatan antara satu provinsi dengan provinsi
lainnya, mengukur capaian pembangunan kesehatan di Indonesia, serta sebagai dasar untuk
perencanaan program pembangunan kesehatan selanjutnya.
Terdapat perbedaan Profil Kesehatan Indonesia 2013 dibandingkan dengan Profil Kesehatan
Indonesia yang diterbitkan pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu perubahan sistematika bab.
Pada Profil Kesehatan Indonesia terdahulu, sistematika bab secara berurutan terdiri dari ;
Pendahuluan, Gambaran Umum, Situasi Derajat Kesehatan, Upaya Kesehatan, Sumber Daya
Kesehatan, dan Perbandingan antara negara. Sedangkan pada Profil Kesehatan Indonesia 2013
urutan bab terdiri dari Demografi, Sarana Kesehatan, Tenaga Kesehatan, Pembiayaan
Kesehatan, Kesehatan Keluarga (Kesehatan Ibu & Kesehatan Anak), serta Pengendalian
Penyakit dan Kesehatan Lingkungan.
Buku Profil Kesehatan Indonesia 2013 ini disajikan dalam bentuk cetakan dan soft copy (CD)
serta dapat diunduh di website www.kemkes.go.id. Semoga publikasi ini dapat berguna bagi
semua pihak, baik pemerintah, organisasi profesi, akademisi, sektor swasta dan masyarakat
serta berkontribusi secara positif bagi pembangunan kesehatan di Indonesia. Kritik dan saran
kami harapkan sebagai penyempurnaan profil yang akan datang.
Kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan Profil Kesehatan Indonesia
2013 ini, kami mengucapkan terima kasih.
iv
KATA SAMBUTAN
MENTERI KESEHATAN RI
Profil Kesehatan Indonesia 2013 sebagai media publikasi data dan informasi kesehatan terus
melakukan perbaikan dan pembenahan sehingga dapat menyajikan data dan informasi yang
lebih berkualitas, valid, dan konsisten. Pemenuhan kelengkapan data dan ketepatan waktu
pengiriman data baik dari segi cakupan wilayah maupun indikator merupakan masalah utama
yang ditemui dalam proses penyusunan Profil Kesehatan Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan
penguatan komitmen terhadap integrasi data dan informasi serta koordinasi antara pusat dan
daerah.
Apresiasi yang setinggi-tingginya Saya berikan kepada semua pihak yang berperan dalam
proses penyusunan Profil Kesehatan Indonesia 2013 dari hulu sampai hilir. Saya sangat
berharap publikasi ini bisa menjadi acuan dalam hal data dan informasi bagi semua pihak yang
berkepentingan terhadap upaya pembangunan kesehatan di Indonesia.
v
DAFTAR SINGKATAN
xvi
vi
ASEAN : Association of Southeast Asian Nations
ASI Eksklusif : Pemberian Air Susu Ibu saja tanpa tambahan makanan
dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai usia
6 bulan.
BABS : Buang Air Besar Sembarangan
vii
DJJ : Denyut Jantung Janin
EKG : Elektrokardiogram
Hb : Hemoglobin
IR : Incidence Rate
viii
ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut
ix
maupun kunjungan rumah.
KOMNAS : Komisi Nasional
MA : Madrasah Aliyah
MB : Multi Basiler
x
datang ke fasilitas rawat jalan pelayanan kesehatan
dasar maupun yang dikunjungi oleh tenaga kesehatan
pada saat kunjungan neonatal.
xi
PKK : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
PP : Peraturan Pemerintah
xii
Renstra : Rencana Strategis
SD : Sekolah Dasar
xiii
SPM : Standar Pelayanan Minimal
TB : Tuberkulosis
TB : Tinggi Badan
TT : Tetanus Toksoid
xiv
UKBM : Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat;
Bentuk UKBM yang adalah Poskesdes, Polindes, Pos
UKK, Poskestren, TOGA, Saka Bhakti Husada, dan lain-
lain.
UKGS : Usaha Kesehatan Gigi Sekolah
xv
DAFTAR GAMBAR
BAB I. DEMOGRAFI
GAMBAR 1.1 JUMLAH PENDUDUK INDONESIA MENURUT JENIS KELAMIN
TAHUN 2010 2013 ............................................................................................................. 3
GAMBAR 1.5 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2009 2013 (%) ............ 9
xvi
BAB II. SARANA KESEHATAN
GAMBAR 2.1 JUMLAH PUSKESMAS TAHUN 2009 2013 ............................................................. 28
GAMBAR 2.2 RASIO PUSKESMAS PER 30.000 PENDUDUK TAHUN 2009 2013 ............ 28
GAMBAR 2.3 RASIO PUSKESMAS PER 30.000 PENDUDUK TAHUN 2013 ............................ 29
GAMBAR 2.4 JUMLAH PUSKESMAS RAWAT INAP DAN NON RAWAT INAP TAHUN
2009 2013 .............................................................................................................................. 30
GAMBAR 2.10 RASIO TEMPAT TIDUR RUMAH SAKIT PER 1.000 PENDUDUK DI
INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................................................. 38
GAMBAR 2.11 PERSENTASE RUMAH SAKIT MENURUT KELAS DI INDONESIA TAHUN
2013 .............................................................................................................................................. 38
GAMBAR 2.12 JUMLAH SARANA PRODUKSI KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
DI INDONESIA TAHUN 2013 ............................................................................................ 40
GAMBAR 2.13 JUMLAH SARANA DISTRIBUSI KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
DI INDONESIA TAHUN 2013 ............................................................................................ 41
xvii
BAB III. TENAGA KESEHATAN
GAMBAR 3.1 RASIO DOKTER UMUM TERHADAP 100.000 PENDUDUK DI INDONESIA
TAHUN 2013 ............................................................................................................................. 52
GAMBAR 3.7 JUMLAH DOKTER UMUM PTT, DOKTER GIGI PTT DAN BIDAN PTT
AKTIF MENURUT KRITERIA WILAYAH DI INDONESIA TAHUN 2013 ....... 57
xviii
GAMBAR 5.3 CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN IBU HAMIL K1 DAN K4 IDEAL DI
INDONESIA, TAHUN 2013 ................................................................................................. 75
xix
GAMBAR 5.22 CAKUPAN KUNJUNGAN NEONATAL LENGKAP DI INDONESIA TAHUN
2013 .............................................................................................................................................. 91
GAMBAR 5.23 CAKUPAN KUNJUNGAN NEONATAL LENGKAP DI INDONESIA TAHUN
2009-2013 .................................................................................................................................. 92
GAMBAR 5.24 CAKUPAN KUNJUNGAN BAYI DI INDONESIA TAHUN 2013 ............................ 93
GAMBAR 5.25 PERSENTASE BAYI MULAI MENDAPAT ASI KURANG DARI 1 JAM
PERTAMA (INISIASI MENYUSU DINI) PADA ANAK UMUR 0-23 BULAN
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS TAHUN 2013 .................................................. 95
GAMBAR 5.26 CAKUPAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI 0-6 BULAN MENURUT PROVINSI
TAHUN 2013 ............................................................................................................................. 96
GAMBAR 5.27 PERSENTASE PEMBERIAN KAPSUL VITAMIN A PADA ANAK UMUR (6-
59 BULAN) MENURUT PROVINSI, RISKESDAS TAHUN 2013 ......................... 99
GAMBAR 5.28 PERSENTASE PEMBERIAN KAPSUL VITAMIN A PADA ANAK UMUR (6-
59 BULAN) SELAMA ENAM BULAN TERAKHIR MENURUT PROVINSI,
RISKESDAS TAHUN 2013 ................................................................................................... 100
GAMBAR 5.29 CAKUPAN PENIMBANGAN BALITA (D/S) DI INDONESIA TAHUN 2013 101
xx
GAMBAR 5.42 PERSENTASE KELEBIHAN BERAT BADAN PADA PENDUDUK DEWASA
BERDASARKAN KATEGORI INDEKS MASA TUBUH MENURUT
PROVINSI, RISKESDAS, TAHUN 2013 .......................................................................... 122
GAMBAR 6.7 JUMLAH KASUS BARU HIV POSITIF DI INDONESIA SAMPAI TAHUN
2013 .............................................................................................................................................. 133
GAMBAR 6.8 PETA EPIDEMI HIV DI INDONESIA TAHUN 2012 ................................................ 134
GAMBAR 6.9 JUMLAH KASUS BARU DAN KUMULATIF PENDERITA AIDS YANG
TERDETEKSI DARI BERBAGAI SARANA KESEHATAN DI INDONESIA
SAMPAI TAHUN 2013 .......................................................................................................... 134
GAMBAR 6.10 PROPORSI KASUS BARU AIDS MENURUT JENIS KELAMIN DI
INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................................................. 135
GAMBAR 6.16 ANGKA PREVALENSI DAN ANGKA PENEMUAN KASUS BARU KUSTA
(NCDR) TAHUN 2008-2013 .............................................................................................. 141
GAMBAR 6.17 ANGKA PENEMUAN KASUS BARU KUSTA PER 100.000 PENDUDUK
MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013 ............................................. 141
xxi
GAMBAR 6.18 ANGKA CACAT TINGKAT II PER 1.000.000 PENDUDUK TAHUN 2008-
2013 .............................................................................................................................................. 142
GAMBAR 6.19 ANGKA CACAT TINGKAT II KUSTA PER 1.000.000 PENDUDUK PER
PROVINSI TAHUN 2013 ...................................................................................................... 142
GAMBAR 6.20 PROPORSI KUSTA MB DAN PROPORSI KUSTA PADA ANAK TAHUN
2008-2013 .................................................................................................................................. 143
GAMBAR 6.21 PERIOD PREVALENCE DIARE (> 2 MINGGU 1 BULAN SEBELUM
WAWANCARA)MENURUT GEJALA, RISKESDAS 2013 ........................................ 144
GAMBAR 6.22 INCIDENCE RATE (IR) CAMPAK PER 100.000 PENDUDUK MENURUT
PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013 ..................................................................... 145
GAMBAR 6.23 PROPORSI KASUS CAMPAK MENURUT KELOMPOK UMUR DI
INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................................................. 146
GAMBAR 6.24 PROPORSI KASUS DIFTERI MENURUT KELOMPOK UMUR DI
INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................................................. 147
GAMBAR 6.25 NON POLIO AFP RATE PER 100.000 ANAK < 15 TAHUN DI INDONESIA
TAHUN 2013 ............................................................................................................................ 147
GAMBAR 6.26 PERSENTASE SPESIMEN ADEKUAT AFP MENURUT PROVINSI TAHUN
2013 .............................................................................................................................................. 148
GAMBAR 6.37 SEBARAN KASUS GHPR DAN KEMATIAN AKIBAT RABIES (LYSSA) DI
INDONESIA TAHUN 2013 ................................................................................................. 156
GAMBAR 6.38 SITUASI LEPTOSPIROSIS DI INDONESIA TAHUN 2008 2013 ..................... 157
GAMBAR 6.39 JUMLAH KASUS DAN CFR ANTRAKS DI INDONESIA TAHUN 2008-2013 158
xxii
GAMBAR 6.40 JUMLAH KASUS, KEMATIAN, DAN CASE FATALITY RATE (CFR) FLU
BURUNG DI INDONESIA TAHUN 2005-2013 ........................................................... 159
GAMBAR 6.46 PREVALENSI PPOK PADA UMUR > 30 TAHUN BERDASARKAN GEJALA
(%) MENURUT PROVINSI TAHUN 2013 .............................................................. 170
GAMBAR 6.47 PETA PREVALENSI PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIS PADA UMUR
15 TAHUN DI INDONESIA TAHUN 2013 .................................................................... 170
GAMBAR 6.48 PREVALENSI PENYAKIT ASMA BERDASARKAN GEJALA (%) MENURUT
ROVINSI TAHUN 2013 ......................................................................................................... 171
GAMBAR 6.49 PROPORSI PENDUDUK BERDASARKAN USIA PERTAMA KALI
MEROKOK TIAP HARI DI INDONESIA TAHUN 2013 .......................................... 172
GAMBAR 6.50 PROPORSI PENDUDUK BERUMUR 10 TAHUN YANG MEROKOK TIAP
HARI MENURUT PROVINSI TAHUN 2013 ................................................................. 172
GAMBAR 6.51 PROPORSI RUMAH TANGGA BERDASARKAN JENIS SUMBER AIR
MINUM DI INDONESIA, RISKESDAS 2013 ................................................................. 174
GAMBAR 6.52 PROPORSI RUMAH TANGGA YANG MENGOLAH AIR MINUM SEBELUM
DIMINUM DI INDONESIA, RISKESDAS 2013 ............................................................ 175
GAMBAR 6.53 PROPORSI RUMAH BERDASARKAN CARA PENGOLAHAN AIR MINUM
SEBELUM DIMINUM DI INDONESIA, RISKESDAS 2013 ..................................... 176
GAMBAR 6.54 PROPORSI RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI AKSES TERHADAP
SUMBER AIR MINUM IMPROVED BERDASARKAN KRITERIA JMP WHO-
UNICEF 2006, RISKESDAS 2013 ..................................................................................... 177
GAMBAR 6.55 PROPORSI RUMAH TANGGA BERDASARKAN PENGGUNAAN FASILITAS
BUANG AIR BESAR DI INDONESIA, RISKESDAS 2013 ........................................ 178
GAMBAR 6.56 PROPORSI RUMAH TANGGA BERDASARKAN JENIS TEMPAT BUANG
AIR BESAR DI INDONESIA, RISKESDAS 2013 ......................................................... 179
GAMBAR 6.57 PROPORSI RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI AKSES TERHADAP
FASILITAS SANITASI IMPROVED BERDASARKAN KRITERIA JMP WHO-
UNICEF 2006, RISKESDAS 2013 ..................................................................................... 180
xxiii
DAFTAR TABEL
TABEL 6.2 PERSENTASE WANITA UMUR 15-49 TAHUN DAN PRIA KAWIN 15-54
TAHUN1 YANG PERNAH MENDENGAR TENTANG HIV AIDS MENURUT
KARAKTERISTIK LATAR BELAKANG TAHUN 2012 ............................................ 137
TABEL 6.3 PERSENTASE WANITA UMUR 15-49 TAHUN DAN PRIA KAWIN 15-541
TAHUN TENTANG CARA MENGURANGI RISIKO TERKENA HIV AIDS
MENURUT KARAKTERISTIK LATAR BELAKANG TAHUN 2012 .................... 138
TABEL 6.4 DISTRIBUSI KASUS LEPTOSPIROSIS DI 9 PROVINSI DI INDONESIA
TAHUN 2005 2013 ............................................................................................................. 157
****
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I. DEMOGRAFI
Lampiran 1.1 Pembagian Wilayah Administrasi Pemerintahan Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 1.2 Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia Menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin Tahun 2013
Lampiran 1.3 Estimasi Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 1.4 Estimasi Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Luas Wilayah dan
Kepadatan Penduduk Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 1.5 Estimasi Jumlah Lahir Hidup, Jumlah Bayi (0 Tahun), Jumlah Batita (0-2
Tahun), Jumlah Anak Balita (1 - 4 Tahun), Jumlah Balita (0 - 4 Tahun)
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 1.6 Estimasi Jumlah Penduduk Menurut Penduduk Usia Muda, Usia Produktif dan
Usia Non Produktif Menurut Jenis Kelamin Provinsi Tahun 2013
Lampiran 1.7 Estimasi Jumlah Wanita Usia Subur (15 - 49 Tahun), WUS Imunisasi (15 - 39
Tahun), Ibu Hamil, Ibu Bersalin Dan Ibu Nifas Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 1.8 Estimasi Jumlah Anak Pra Sekolah, Jumlah Anak Usia Kelas 1 SD/Setingkat,
dan Jumlah Anak Usia SD/Setingkat Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 1.9 Indeks Gini Menurut Provinsi Tahun 2010 - 2013
Lampiran 1.10 Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan
Tahun 2000 - 2013
Lampiran 1.11 Garis Kemiskinan, Jumlah, dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi
dan Tipe Daerah Tahun 2013
Lampiran 1.12 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 1.13 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Pendidikan Menurut Provinsi Tahun 2010
2012
Lampiran 1.14 Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Menurut Provinsi Tahun 2010
2012
Lampiran 1.15 Angka Partisipasi Murni (APM) Pendidikan Menurut Provinsi Tahun 2010-
2012
Lampiran 1.16 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Melek Huruf Menurut
Provinsi dan Jenis Kelamin Tahun 2010 - 2012
Lampiran 1.17 Indeks Pembangunan Manusia dan Komponen Menurut Provinsi Tahun 2011-
2012
Lampiran 1.18 Jumlah dan Persentase Kabupaten Tertinggal Menurut Provinsi Tahun 2010
2013
xxv
BAB II. SARANA KESEHATAN
Lampiran 2.1 Jumlah Puskesmas dan Rasionya Terhadap Penduduk Menurut Provinsi
Tahun 2009 2013
Lampiran 2.2 Jumlah Puskesmas Perawatan Rawat Inap dan Non Rawat Inap Menurut
Provinsi Tahun 2009 - 2013
Lampiran 2.3 Jumlah Puskesmas dan Rumah Sakit dengan Pelayanan Pengembangan
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 2.4 Jumlah Kabupaten/Kota dengan Puskesmas yang Nakesnya Dilatih Kesehatan
Tradisional, Alternatif Dan Komplementer Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 2.5 Jumlah Rumah Sakit di Indonesia Menurut Pengelola dan Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 2.6 Jumlah Rumah Sakit Umum dan Tempat Tidur Menurut Pengelola
Tahun 2009 - 2013
Lampiran 2.7 Jumlah Rumah Sakit Khusus dan Tempat Tidur Menurut Jenis Rumah Sakit
Tahun 2009 - 2013
Lampiran 2.8 Jumlah Rumah Sakit dan Tempat Tidur Menurut Kelas Rumah Sakit dan
Provinsi Tahun 2013
Lampiran 2.9 Jumlah Tempat Tidur di Rumah Sakit Menurut Kelas Perawatan dan Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 2.10 Jumlah Sarana Produksi Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan Menurut
Provinsi Tahun 2011-2013
Lampiran 2.11 Jumlah Sarana Distribusi Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan Menurut
Provinsi Tahun 2011-2013
Lampiran 2.12 Jumlah Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) Menurut
Provinsi Tahun 2013
Lampiran 2.13 Jumlah RW, Desa dan Kelurahan Siaga Aktif Serta Posyandu Menurut Provinsi
dan Tingkatan (Strata) di Indonesia Tahun 2013
Lampiran 2.14 Jumlah Program Studi Diploma IV Institusi Politeknik Kesehatan (Poltekkes)
Menurut Provinsi Sampai dengan Desember Tahun 2013
Lampiran 2.15 Jumlah Jurusan/Program Studi Diploma III Institusi Politeknik Kesehatan
(Poltekkes) Menurut Jurusan dan Provinsi Tahun 2013
Lampiran 2.16 Jumlah Perserta Didik Diploma III Poltekkes Menurut Jenis Tenaga Kesehatan
Tahun Ajaran 2011/2012 Sampai Dengan 2013/2014
Lampiran 2.17 Jumlah Peserta Didik Program Diploma III Poltekkes Berdasarkan Jenis
Tenaga Kesehatan Tahun 2013
Lampiran 2.18 Jumlah Lulusan Program Studi Diploma III Poltekkes Menurut Jenis Tenaga
Kesehatan Tahun 2011-2013
Lampiran 2.19 Jumlah Lulusan Program Studi Diploma III Poltekkes Menurut Jenis Program
Studi Tahun 2013
xxvi
Lampiran 2.20 Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di Indonesia Sampai Dengan Bulan
November 2013
Lampiran 2.21 Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di Indonesia Sampai Dengan Bulan
November 2013
Lampiran 2.22 Penggunaan Obat Generik pada Sarana Pelayanan Kesehatan Menurut
Provinsi Tahun 2013
xxvii
Lampiran 3.16 Jumlah Pengangkatan Tenaga Residen Dan Tenaga Penugasan Khusus D-III
Kesehatan di Kabupaten Prioritas DTPK dan DBK Menurut Provinsi Tahun
2013
xxviii
Lampiran 5.11 Proporsi Pelayanan Kesehatan Masa Nifas Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.12 Cakupan Peserta KB Baru dan KB Aktif Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.13 Persentase Peserta KB Baru Menurut Metode Kontrasepsi dan Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 5.14 Persentase Peserta KB Baru Menurut Tempat Pelayanan dan Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 5.15 Persentase Peserta KB Aktif Menurut Metode Kontrasepsi dan Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 5.16 Persentase pemakaian Alat/Cara KB pada Wanita Usia Subur (15 49)
Tahun) Yang Berstatus Kawin Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.17 Persentase pemakaian Alat/Cara KB pada Wanita Usia Subur (15 49)
Tahun) Yang Berstatus Kawin Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.18 Proporsi WUS Kawin yang Menggunakan Alat/Cara KB Modern Berdasarkan
Jenis dan Jangka Waktu Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.19 Jumlah Kunjungan Peserta Jaminan Persalinan (JAMPERSAL) Menurut
Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.20 Persentase Balita (0-59 Bulan) Menurut Berat Badan Lahir dan Provinsi,
Riskesdas Tahun 2013
Lampiran 5.21 Persentase Proses Mulai Mendapat ASI pada Anak Umur 0-23 Bulan Menurut
Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.22 Cakupan Kunjungan Neonatal Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.23 Cakupan Penanganan Neonatal Dengan Komplikasi Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 5.24 Cakupan Imunisasi Dasar Pada Bayi Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.25 Cakupan Imunisasi Dasar Pada Anak Umur 12-23 Bulan Menurut Provinsi,
Riskesdas 2013
Lampiran 5.26 Drop Out Rate Cakupan Imunisasi Dpt/Hb(1) - Campak dan Cakupan
Imunisasi DPT/HB(1) DPT/HB(3) pada Bayi Menurut Provinsi Tahun 2011-
2013
Lampiran 5.27 Cakupan Pelayanan Kesehatan Bayi Dan Anak Balita Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 5.28 Persentase Imunisasi Dasar Lengkap Pada Anak Umur 12-23 Bulan Menurut
Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.29 Cakupan Desa/Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) Menurut
Provinsi Tahun 2010-2013
Lampiran 5.30 Cakupan Imunisasi Anak Sekolah Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.31 Cakupan Pemberian Kapsul Vitamin A Pada Balita 6-59 Bulan Menurut
Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.32 Persentase Anak Umur 6-59 Bulan yang Menerima kapsul Vitamin A selama
Enam Bulan Terakhir Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
xxix
Lampiran 5.33 Cakupan Pemberian Asi Eksklusif Pada Bayi 0-6 Bulan Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 5.34 Cakupan Balita Ditimbang Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.35 Kasus Gizi Buruk Pada Balita Ditemukan Dan Mendapat Perawatan Menurut
Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.36 Persentase Kabupaten/Kota Dengan Minimal 2 Puskesmas Mampu
Tatalaksana Kasus Kekerasan Terhadap Anak Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.37 Persentase Kabupaten/Kota Dengan Minimal 4 Puskesmas Mampu Laksana
Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.38 Jumlah Puskesmas Yang Melakukan Pembinaan Kesehatan Anak Di Panti
Anak Terlantar Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.39 Cakupan Sekolah Dasar (SD) Yang Melaksanakan Penjaringan Siswa SD/MI
Kelas 1 menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.40 Puskesmas Membina Lapas/Rutan Anak Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 5.41 Puskesmas Membina Kesehatan Anak Penyandang Cacat Melalui Program
UKS di Sekolah Luar Biasa Sampai Dengan Tahun 2013
Lampiran 5.42 Prevalensi Status Gizi Balita Berdasarkan Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.43 Prevalensi Status Gizi Balita Berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur
(TB/U) Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.44 Prevalensi Status Gizi Balita Berdasarkan Berat Badan Menurut Tinggi Badan
(BB/TB) Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 5.45 Prevalensi Status Gizi Balita Berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur Dan
Berat Badan Menurut Tinggi Badan (TB/U Dan BB/TB) Menurut Provinsi,
Riskesdas 2013
Lampiran 5.46 Prevalensi Status Gizi Penduduk Dewasa (>18 Tahun) Berdasarkan Kategori
Indeks Massa Tubuh (IMT) Dan Provinsi, Riskesdas 2013
xxx
Lampiran 6.6 Jumlah Kasus Baru Aids dan Kasus Kumulatif Aids Menurut Provinsi sampai
dengan Desember 2013Lampiran 6.7 Jumlah Kasus Baru Infeksi HIV Menurut
Provinsi Tahun 2011 - 2013
Lampiran 6.8 Jumlah Dan Persentase Kasus Aids pada Pengguna Napza Suntikan (IDU)
Menurut Provinsi Sampai Dengan Desember 2013
Lampiran 6.9 Jumlah Layanan dan Kunjungan Konseling Dan Tes HIV Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 6.10 Jumlah Kasus Pneumonia Pada Balita Menurut Provinsi Dan Kelompok Umur
Tahun 2013
Lampiran 6.11 Case Fatality Rate Pneumonia pada Balita Menurut Provinsi dan Kelompok
Umur Tahun 2013
Lampiran 6.12 Period Prevalence ISPA, Pneumonia, Pneumonia Balita, dan Prevalensi
Pneumonia Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 6.13 Insiden Diare dan Diare Balita serta Period Prevalence Diare Menurut
Provinsi, Riskesdas Tahun 2013
Lampiran 6.14 Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare Menurut Provinsi Tahun 2011 - 2013
Lampiran 6.15 Penemuan Kasus Diare Ditangani Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.16 Jumlah Kasus Baru Kusta dan Case Detection Rate (CDR) Per 100.000
Penduduk Menurut Provinsi dan Jenis Kelamin Tahun 2013
Lampiran 6.17 Proporsi Kecacatan Kusta Tingkat 2 dan Kasus Kusta pada Anak 0-14 Tahun
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.18 Jumlah Kasus Tetanus Neonatorum dan Faktor Risiko Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 6.19 Jumlah Kasus, Meninggal, dan Incidence Rate (IR) Campak Menurut Provinsi
Tahun 2013
Lampiran 6.20 Jumlah Kasus Campak dan Kasus Campak yang Divaksinasi Menurut
Kelompok Umur dan Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.21 Frekuensi KLB Dan Jumlah Kasus pada KLB Campak
Lampiran 6.22 KLB Campak Berdasarkan Konfirmasi Laboratorium Menurut Provinsi Tahun
2013
Lampiran 6.23 Jumlah Kasus Difteri Menurut Kelompok Umur Dan Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.24 Non Polio AFP Rate Per 100.000 Penduduk Usia < 15 Tahun dan Persentase
Spesimen Adekuat Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.25 Jumlah Kasus dan Angka Kesakitan Malaria Per 1.000 Penduduk Berisiko
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.26 Insiden dan Prevalensi Malaria Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 6.27 Annual Parasite Insidence (API) Malaria Menurut Provinsi Tahun 2010-2013
Lampiran 6.28 Proporsi Penderita Malaria yang Diobati Dengan Pengobatan Sesuai Program
dan Penderita Malaria yang Mengobati Sendiri Menurut Provinsi, Riskesdas
2013
xxxi
Lampiran 6.29 Jumlah Penderita, Incidence Rate Per 100.000 Penduduk, Kasus Meninggal,
dan Case Fatality Rate (%)Demam Berdarah Dengue Lampiran 6.38
Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Sumber Air Menurut Provinsi
Tahun 2013 (DBD/DHF) Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.30 Jumlah Kabupaten/Kota Yang Terjangkit Demam Berdarah Dengue Menurut
Provinsi Tahun 2011 - 2013
Lampiran 6.31 Situasi Rabies Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2011-2013
Lampiran 6.32 Jumlah Penderita Filariasis Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2009-2013
Lampiran 6.33 Jumlah Kasus, Meninggal, dan Case Fatality Rate (CFR) Leptospirosis Menurut
Provinsi Tahun 2011 2013; Situasi Antraks Pada Manusia Menurut Provinsi
Tahun 2011 2013
Lampiran 6.34 Prevalensi Penyakit asma, PPOK, dan Kanker Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.35 Prevalensi Diabetes, Hipertiroid, dan Hipertensi pada Umur 18 Tahun
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.36 Prevalensi Penyakit Jantung Koroner, Gagal Jantung, dan Stroke Pada Umur
15 Tahun Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.37 Prevalensi Penyakit Gagal ginjal Kronis, Batu Ginjal, dan Sendi pada Umur
15 Tahun Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.38 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Pengolahan Air Minum Sebelum
Diminum Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.39 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Kualitas Fisik Air Minum Menurut
Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.40 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Pengolahan Air Minum Sebelum
Diminum Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 6.41 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Cara Pengolahan Air Minum Sebelum
Diminum Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 6.42 Proporsi Rumah Tangga Yang Memiliki Akses Terhadap Sumber Air Minum
Berdasarkan Kriteria JMP WHO - Unicef 2006 Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.43 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Penggunaan Fasilitas Buang Air Besar
Menurut Provinsi Tahun 2013
Lampiran 6.44 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Tempat Buang Air Besar Menurut
Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 6.45 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Tempat Pembuangan Akhir Tinja
Menurut Provinsi, Riskesdas 2013
Lampiran 6.46 Proporsi Rumah Tangga Yang Memiliki Akses Terhadap Fasilitas Sanitasi
Berdasarkan Kriteria Jmp Who - Unicef 2006 Menurut Provinsi, Riskesdas
2013
Lampiran 6.47 Jumlah Lokasi Desa Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Tahun 2013
Lampiran 6.48 Pencapaian Rumah Tangga Berperilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS)
Tahun 2013
xxxii
Lampiran 6.49 Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Lokasi Rumah Menurut Provinsi,
Riskesdas 2013
Lampiran 6.50 Jumlah Kabupaten/Kota Penyelenggara Kabupaten/Kota Sehat (KKS) di
Indonesia Tahun 2013
Lampiran 6.51 Peraturan Tentang Kawasan Tanpa Rokok Tingkat Provinsi dan Kabupaten/
Kota Tahun 2013
***
xxxiii
DAFTAR ISI
xxxiv
BAB 4 PEMBIAYAAN KESEHATAN ....................................................................................................................... 63
A. ANGGARAN KEMENTERIAN KESEHATAN ......................................................................................... 63
B. ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) BIDANG KESEHATAN ... 64
C. JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT ................................................................................................. 65
D. BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN .............................................................................................. 67
xxxv
j. Malaria ...................................................................................................................................... 153
k. Rabies........................................................................................................................................ 155
l. Leptospirosis......................................................................................................................... 156
m. Antraks ..................................................................................................................................... 158
n. Flu Burung .............................................................................................................................. 158
2. PENYAKIT TIDAK MENULAR .................................................................................................... 159
a. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah .................................................................. 161
b. Penyakit Kanker .................................................................................................................. 164
c. Penyakit Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik ......................................... 166
d. Penyakit Kronis dan Degeneratif ............................................................................... 167
B. KESEHATAN LINGKUNGAN ........................................................................................................................ 173
1. Air Minum............................................................................................................................................ 173
2. SanitasiLayak ..................................................................................................................................... 178
3. Sanitasi Total Berbasis Masyarakat ....................................................................................... 181
4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ............................................................................................ 181
5. Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat ........................................................................... 182
xxxvi
DEMOGRAFI
Secara geografis Indonesia terletak di antara dua benua, Benua Asia dan Australia, di
antara dua samudera, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Secara astronomis Indonesia
terletak antara 6o Lintang Utara sampai 11o Lintang Selatan dan 95o sampai 141o Bujur Timur
yang meliputi rangkaian pulau antara Sabang sampai Merauke. Data yang bersumber dari
Badan Informasi Geospasial, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan
jumlah pulau sebesar 13.466, luas daratan sebesar 1.922.570 km2 dan luas perairan sebesar
3.257.483 km2.
Tahun 2013, secara administratif wilayah Indonesia terbagi atas 33 provinsi, 497
kabupaten/kota (399 kabupaten dan 98 kota), 6.994 kecamatan, 8.309 kelurahan dan 72.944
desa. Kondisi ini berdasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2013
tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, Kementerian Dalam Negeri.
Pembagian wilayah Indonesia secara administratif menurut provinsi pada tahun 2013 dapat
dilihat pada Lampiran 1.1.
A. KEADAAN PENDUDUK
Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan dengan bimbingan dari Badan Pusat
Statistik menghitung estimasi penduduk dengan metode geometrik. Metode ini menggunakan
prinsip bahwa parameter dasar demografi yaitu parameter fertilitas, mortalitas, dan migrasi per
tahun tumbuh konstan. Metode ini lebih mudah dilakukan dengan mengkaji pertumbuhan
penduduk di dua atau lebih titik waktu yang berbeda.
GAMBAR 1.1
JUMLAH PENDUDUK INDONESIA MENURUT JENIS KELAMIN TAHUN 2010 - 2013
Hasil estimasi jumlah penduduk pada tahun 2013 sebesar 248.422.956 jiwa, yang terdiri
atas jumlah penduduk laki-laki sebesar 125.058.484 jiwa dan jumlah penduduk perempuan
Demografi 3
123.364.472 jiwa. Jumlah penduduk di Indonesia meningkat dengan relatif cepat. Diperlukan
kebijakan untuk mengatur atau membatasi jumlah kelahiran agar kelahiran dapat dikendalikan
dan kesejahteraan penduduk makin meningkat. Rasio jenis kelamin pada tahun 2013 sebesar
101. Angka ini berarti bahwa terdapat 101 laki-laki diantara 100 perempuan. Rincian jumlah
penduduk menurut jenis kelamin dan provinsi dapat dilihat pada Lampiran 1.3.
GAMBAR 1.2
JUMLAH PENDUDUK MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2013, Hasil Estimasi
Pada Gambar 1.2, berdasarkan hasil estimasi, jumlah penduduk tertinggi di Indonesia
terdapat di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk sebesar 45.472.830, Jawa Timur
sebesar 38.268.825 dan Jawa Tengah sebesar 32.684.579. Sedangkan jumlah penduduk
terendah terdapat di Provinsi Papua Barat dengan jumlah penduduk sebesar 846.711,
Gorontalo sebesar 1.110.294 dan Maluku Utara sebesar 1.114.917.
Struktur umur penduduk menurut jenis kelamin dapat digambarkan dalam bentuk
piramida penduduk. Berdasarkan estimasi jumlah penduduk yang telah dilakukan, dapat
disusun sebuah piramida penduduk tahun 2013. Dasar piramida menunjukkan jumlah
penduduk, badan piramida bagian kiri menunjukkan banyaknya penduduk laki-laki dan badan
piramida bagian kanan menunjukkan jumlah penduduk perempuan. Piramida tersebut
merupakan gambaran struktur penduduk yang terdiri dari struktur penduduk muda, dewasa,
dan tua. Struktur penduduk ini menjadi dasar bagi kebijakan kependudukan, sosial, budaya, dan
ekonomi.
Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2013, Hasil Estimasi
Pada Gambar 1.3 ditunjukkan bahwa struktur penduduk di Indonesia termasuk struktur
penduduk muda. Hal ini dapat diketahui dari banyaknya jumlah penduduk usia muda yang
masih tinggi. Badan piramida besar, ini menunjukkan banyaknya penduduk usia produktif
terutama pada kelompok umur 25-29 tahun dan 30-34 tahun, baik laki-laki maupun
perempuan. Jumlah golongan penduduk usia tua juga cukup besar, terutama perempuan. Hal ini
dapat dimaknai dengan semakin tingginya usia harapan hidup, terutama perempuan. Kondisi ini
menuntut kebijakan terhadap penduduk usia tua. Bertambahnya jumlah penduduk tua dapat
dimaknai sebagai meningkatnya tingkat kesejahteraan, meningkatnya kondisi kesehatan tetapi
juga dapat dimaknai sebagai beban karena kelompok usia tua ini sudah tidak produktif lagi.
Rincian jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur di Indonesia tahun 2013
dapat dilihat pada Lampiran 1.2.
Konsentrasi penduduk disuatu wilayah dapat di pelajari dengan menggunakan
kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk menunjukkan rata-rata jumlah penduduk per 1
kilometer persegi. Semakin besar angka kepadatan penduduk menunjukkan bahwa semakin
padat penduduk yang mendiami wilayah tersebut. Kepadatan rata-rata penduduk di
Indonesia berdasarkan hasil estimasi sebesar 130 penduduk per km2. Kepadatan penduduk
berguna sebagai acuan dalam rangka mewujudkan pemerataan dan persebaran penduduk.
Kepadatan penduduk menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 1.4.
Demografi 5
GAMBAR 1.4
PETA PERSEBARAN KEPADATAN PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2013
Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2013, Hasil Estimasi
Laki-laki dan
No Usia Laki-laki Perempuan
Perempuan
Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2013, Hasil Estimasi
Pada Tabel 1.1, Angka Beban Tanggungan penduduk Indonesia pada tahun 2013 sebesar
51,3. Hal ini berarti bahwa 100 penduduk Indonesia yang produktif, di samping menanggung
dirinya sendiri, juga menanggung 51,3 orang yang belum/sudah tidak produktif lagi. Apabila
dibandingkan antar jenis kelamin, maka Angka Beban Tanggungan laki-laki sedikit lebih besar
jika dibandingkan dengan perempuan. Pada tahun 2013, angka beban tanggungan laki-laki
sebesar 51,5, yang berarti bahwa 100 orang penduduk laki-laki yang produktif, di samping
menanggung dirinya sendiri, akan menanggung beban 51,5 penduduk laki-laki yang
belum/sudah tidak produktif lagi.
Penduduk sebagai determinan pembangunan harus mendapat perhatian yang
serius. Program pembangunan, termasuk pembangunan dibidang kesehatan, harus didasarkan
pada dinamika kependudukan. Upaya pembangunan di bidang kesehatan tercermin dalam
program kesehatan melalui upaya promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif.
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Pencapaian derajat kesehatan yang optimal bukan hanya menjadi tanggung jawab
dari sektor kesehatan saja, namun sektor terkait lainnya seperti sektor penididikan, sektor
ekonomi, sektor sosial dan pemerintahan juga memiliki peranan yang cukup besar. Untuk
mendukung upaya tersebut diperlukan ketersediaan data mengenai penduduk sebagai sasaran
program pembangunan kesehatan.
Demografi 7
TABEL 1.2
PENDUDUK SASARAN PROGRAM PEMBANGUNAN KESEHATAN
DI INDONESIA TAHUN 2013
Jenis Kelamin
Kelompok
No Sasaran Program Jumlah
Umur/Formula
Laki-Laki Perempuan
Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2013, Hasil Estimasi
Data penduduk sasaran program sangat diperlukan bagi pengelola program terutama
untuk menyusun perencanaan (tahunan, lima tahunan) serta evaluasi hasil pencapaian upaya
kesehatan yang telah dilaksanakan. Dalam perencanaan biasanya diperlukan untuk menghitung
sasaran, menyusun rencana kegiatan serta kebutuhan sumber daya dalam pelaksanaan
kegiatan.
GAMBAR 1.5
PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2009 2013 (%)
Gambar 1.5, data BPS menunjukkan bahwa Pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahun
2013 meningkat sebesar 5,78% terhadap tahun 2012. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada
tahun 2013 ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada
tahun 2012 dan 2011. Hal ini disebabkan terjadinya krisis pada perekonomian global, sehingga
mempengaruhi pendapatan dari sektor ekspor dan kunjungan wisatawan di Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia tahun 2009-2013 belum stabil, yang antara lain
dipengaruhi oleh kondisi politik dan iklim investasi yang ada.
Besarnya pendapatan yang diterima rumah tangga dapat menggambarkan
kesejahteraan suatu masyarakat. Namun data pendapatan yang akurat sulit diperoleh, sehingga
dilakukan pendekatan melalui data pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga yang
terdiri dari pengeluaran makanan dan bukan makanan dapat menggambarkan bagaimana
penduduk mengalokasikan kebutuhan rumah tangganya. Walaupun harga antar daerah
berbeda, namun nilai pengeluaran rumah tangga masih dapat menunjukkan perbedaan tingkat
kesejahteraan penduduk antar provinsi khususnya dilihat dari segi ekonomi.
Demografi 9
GAMBAR 1.6
PERSENTASE RATA-RATA PENGELUARAN PER KAPITA/BULAN INDONESIA TAHUN 2013
Pada Gambar 1.6, berdasarkan hasi Susenas Modul Konsumsi Triwulan I tahun 2013,
persentase pengeluaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan non makanan lebih
rendah jika dibandingkan dengan pengeluaran untuk makanan. Kondisi ini mencerminkan ciri
dari suatu negara berkembang. Pengeluaran untuk non makanan sebesar 49,34% dan
pengeluaran untuk makanan sebesar 50,66%. Pengeluaran makanan terbesar untuk makanan
jadi, padi-padian dan tembakau/sirih. Pengeluaran non makanan terbesar untuk perumahan
dan fasilitas rumah tangga, barang dan jasa serta barang-barang tahan lama. Biaya kesehatan
per kapita sebulan hanya sebesar 3,44% dari total pengeluaran per kapita sebulan. Nilai ini
masih lebih kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan terhadap pengeluaran untuk tembakau
dan sirih sebesar 6,24%.
Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan kesempatan kerja di Indonesia. Penduduk
dilihat dari sisi ketenagakerjaan merupakan suplai bagi pasar tenaga kerja, namun tidak semua
penduduk mampu melakukannya karena hanya penduduk yang masuk usia kerja yang dapat
menawarkan tenaganya di pasar kerja. Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua golongan yaitu
yang termasuk angkatan kerja dan yang bukan angkatan kerja. Angkatan kerja sendiri terdiri
dari mereka yang aktif bekerja dan mereka yang sedang mencari pekerjaan. Mereka yang
sedang mencari pekerjaan, sedang mempersiapkan suatu usaha dan mereka yang sudah
memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja itulah yang dinamakan sebagai pengangguran
terbuka.
Jumlah Angkatan
119.399.375 117.370.485 120.417.046 118.053.110 121.191.712 118.192.778
Kerja
Tingkat
Partisipasi
69,96 68,34 69,66 67,88 69,21 66,90
Angkatan Kerja
(%)
Jumlah penduduk
111.281.744 109.670.399 112.802.805 110.808.154 114.021.189 110.804.041
yang bekerja
Pengangguran
8.117.631 7.700.086 7.614.241 7.244.956 7.170.523 7.388.737
terbuka
Tingkat
pengangguran 6,80 6,56 6,32 6,14 5,92 6,25
terbuka (%)
Pada Tabel 1.3 dapat diketahui keadaan ketenagakerjaan di Indonesia pada Tahun 2013.
Kondisi Agustus 2013 terjadi penurunan jumlah angkatan kerja, penduduk yang bekerja dan
terjadi peningkatan jumlah pengangguran terbuka dibandingkan dengan kondisi Februari 2013.
Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2013 mencapai 118,2 juta orang, lebih rendah
jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja Februari 2013 sebanyak 121,2 juta orang.
Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Agustus 2013 mencapai 110,8 juta orang,
lebih sedikit jika dibandingkan keadaan pada Februari 2013. Berdasarkan tingkat partisipasi
angkatan kerja pada bulan Agustus 2013 menurun jika dibandingkan dengan periode bulan
Februari 2013 maupun bulan Agustus 2012.
Berdasarkan publikasi data BPS, pada bulan Agustus 2013 terjadi kenaikan angka
pengangguran. Jumlah pengangguran pada Agustus 2013 mencapai 7,4 juta orang, meningkat
dari kondisi Agustus 2012. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) kondisi Agustus 2013 sebesar
6,25% meningkat jika dibandingkan dengan kondisi Agustus 2012 dan Februari 2013. Proporsi
pengangguran terbuka dari angkatan kerja berguna untuk acuan pemerintah dalam pembukaan
lapangan kerja baru di masa mendatang..
Pembahasan yang cukup menarik tentang pengangguran adalah pengangguran
berdasarkan tingkat pendidikan. Persentase pengangguran terbuka adalah perbandingan antara
jumlah pencari kerja dengan jumlah angkatan kerja. Pengangguran terbuka di sini didefinisikan
sebagai orang yang sedang mencari pekerjaan atau yang sedang mempersiapkan usaha atau
juga yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin lagi mendapatkan pekerjaan,
termasuk juga mereka yang baru mendapat kerja tetapi belum mulai bekerja. Pengangguran
terbuka tidak termasuk orang yang masih sekolah atau mengurus rumah tangga
Demografi 11
GAMBAR 1.7
PERSENTASE TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA MENURUT PENDIDIKAN
DI INDONESIA KONDISI AGUSTUS 2013
Pada Gambar 1.7, dapat ditunjukkan bahwa pengangguran tertinggi ada pada penduduk
yang pendidikan pada tingkat SLTA sebesar 43,11%. Pengangguran tertinggi kedua ada pada
penduduk dengan tingkat pendidikan SLTP sebesar 22,76%. Tingkat pengangguran tertinggi
ketiga adalah penduduk dengan tingkat pendidikan SD sebesar 18,12%. Tingkat pengangguran
pada tingkat pendidikan diploma/universitas sebesar 8,50%. Hal ini menunjukkan bahwa pada
tahun 2013 masih terdapat pengangguran yang berpendidikan relatif tinggi (SLTA ke atas).
Pengukuran kemiskinan dari BPS menggunakan konsep memenuhi kebutuhan dasar
(basic need approach). Kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau
sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Distribusi pendapatan merupakan salah satu
aspek kemiskinan yang perlu dilihat karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan
relatif. Karena data pendapatan sulit diperoleh, pengukuran distribusi pendapatan selama ini
didekati dengan menggunakan data pengeluaran. Kemiskinan dipahami sebagai
ketidakmampuan ekonomi penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan maupun non
makanan yang diukur dari pengeluaran.
Pengukuran kemiskinan dilakukan dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan
minimum, baik untuk makanan maupun untuk non makanan yang harus dipenuhi seseorang
untuk hidup secara layak. Nilai standar kebutuhan minimum tersebut digunakan sebagai garis
pembatas untuk memisahkan antara penduduk miskin dan tidak miskin. Garis pembatas
tersebut yang sering disebut dengan garis kemiskinan.Kategori penduduk miskin adalah
penduduk dengan tingkat pengeluaran per kapita per bulan kurang dari garis kemiskinan.
Gambar 1.8 menunjukkan peningkatan garis kemiskinan di Indonesia. Pada tahun 2013,
jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah penduduk dengan tingkat pengeluaran per kapita
per bulan kurang dari Rp 292.951,00 lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2012 sebesar
Rp 259.520,00 per kapita per bulan. Perhitungan garis kemiskinan dilakukan 2 kali pengukuran
penduduk miskin, yaitu bulan Maret dan September. Pengukuran dibedakan atas wilayah desa,
kota serta desa dan kota. Pada perhitungan kondisi September 2013, kategori penduduk miskin
di desa adalah mereka dengan tingkat pengeluaran per kapita per bulan kurang dari Rp
275.779,00 dan penduduk miskin di kota adalah mereka dengan tingkat pengeluaran per kapita
per bulan kurang dari Rp 308.826,00. Rincian lengkap mengenai garis kemiskinan per tahun
desa dan kota dapat dilihat pada Lampiran 1.11.
Untuk meningkatkan efektifitas upaya penanggulangan kemiskinan, Presiden telah
mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan, yang bertujuan untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan hingga delapan
s.d. sepuluh persen pada akhir tahun 2014. Pada tahun 2013, jumlah penduduk miskin
berjumlah 28,55 jiwa, turun jika dibandingkan dengan tahun 2012 yang berjumlah 28,59 jiwa.
Secara persentase, penduduk miskin tahun 2013 sebesar 11,47%. Persentase ini masih cukup
tinggi bila dibandingkan dengan target yang telah dicanangkan pada tahun 2014, yaitu sebesar
delapan s.d. sepuluh persen. Secara persentase kemiskinan semakin turun jika dibandingkan
per tahun, tetapi jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup besar. Secara lengkap
jumlah dan persentase penduduk miskin terdapat pada Lampiran 1.11.
Demografi 13
GAMBAR 1.9
PETA PERSEBARAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN DI INDONESIA TAHUN 2013
TABEL 1.4
PERSEBARAN JUMLAH DAN PROPORSI PENDUDUK MISKIN
MENURUT KELOMPOK BESAR PULAU DI INDONESIA TAHUN 2011 2013
2011 2012 2013
No Kelompok Pulau
Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(ribu) (ribu) (ribu)
4 Bali dan Nusa Tenggara 2.073,9 6,9 1.989,6 7,0 1.998,1 7,0
Jumlah dan proporsi penduduk miskin antar pulau menunjukkan perbedaan. Tabel 1.4
memperlihatkan bahwa lebih dari separuh penduduk miskin di Indonesia berada di Pulau Jawa.
GAMBAR 1.10
PETA PERSEBARAN PERSENTASE KABUPATEN TERTINGGAL DI INDONESIA TAHUN 2013
Demografi 15
Kesehatan Berbasis Perdesaan di Daerah Tertinggal. Rincian kabupaten tertinggal per provinsi
dapat dilihat pada Lampiran 1.18.
Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar juga
memprioritaskan pembangunan pada Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK).
Salah satu agenda kegiatan adalah pembangunan kesehatan di 45 Kabupaten Prioritas Nasional
di Perbatasan dengan Negara Tetangga. Dengan menggunakan skala prioritas, terdapat 45
kabupaten prioritas dan 101 puskesmas prioritas kabupaten prioritas nasional di perbatasan
dengan negara tetangga.
C. KEADAAN PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan salah satu indikator yang kerap ditelaah dalam mengukur
tingkat pembangunan manusia suatu negara. Pendidikan berkontribusi terhadap perubahan
perilaku masyarakat. Pendidikan menjadi pelopor utama dalam rangka penyiapan sumber daya
manusia dan merupakan salah satu aspek pembangunan yang merupakan syarat mutlak untuk
mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Untuk peningkatan peran pendidikan dalam
pembangunan, maka kualitas pendidikan harus ditingkatkan salah satunya dengan
meningkatkan rata-rata lama sekolah.
GAMBAR 1.11
RATA-RATA LAMA SEKOLAH PENDUDUK BERUMUR 15 TAHUN KE ATAS
MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013
Pada Gambar 1.11, berdasarkan perhitungan dari Susenas Triwulan I tahun 2013, rata-
rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia adalah 8,14 tahun. Walaupun
rata-rata lama sekolah dari tahun ke tahun semakin meningkat, tetapi angka ini belum
memenuhi tujuan program wajib belajar 9 tahun. Rata-rata lama sekolah tertinggi terdapat di
provinsi DKI Jakarta sebesar 10,62 tahun dan terendah di provinsi Papua sebesar 6,1 tahun.
GAMBAR 1.12
PERSENTASE PENDUDUK USIA 15 TAHUN KEATAS MENURUT STTB
TERTINGGI YANG DIMILIKI TAHUN 2013
Pada Gambar 1.12, berdasarkan perhitungan dari Susenas Triwulan I tahun 2013,
ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki tertinggi pada tingkat pendidikan SD/MI/Paket A dan
SMP/MTs/Paket B. Penduduk dengan ijazah/STTB tertinggi Diploma/Akademi/Sarjana sebesar
6,78%. Penduduk yang tidak memiliki ijazah/STTB masih cukup tinggi, yaitu 19,34%. Apabila
dibandingkan per jenis kelamin, persentase penduduk laki-laki yang mempunyai ijazah/STTB
SD ke atas relatif lebih tinggi daripada penduduk perempuan.
Kemampuan membaca dan menulis merupakan keterampilan dasar yang dibutuhkan
oleh penduduk untuk menuju kehidupan yang lebih sejahtera. Kemampuan membaca dan
menulis tercermin dari angka melek huruf dan angka buta huruf. Kemampuan baca tulis
tercermin dari penduduk 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin, huruf
arab, dan huruf lainnya. Angka buta huruf berkorelasi dengan angka kemiskinan, penduduk
yang tidak dapat membaca secara tidak langsung mendekatkan mereka pada kebodohan,
sedangkan kebodohan itu sendiri mendekatkan mereka pada kemiskinan.
Demografi 17
Secara nasional persentase penduduk yang buta huruf pada tahun 2013 sebesar 5,86%
lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 6,75%. Persentase penduduk
yang buta huruf terkecil terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 0,81% dan tertinggi terdapat
di Provinsi Papua sebesar 32,4%. Apabila dibandingkan antar perdesaan dan perkotaan, angka
buta huruf lebih tinggi di kawasan perdesaan. Hal ini dimungkinkan karena kesempatan belajar
yang didukung dengan banyaknya fasilitas belajar mengajar lebih banyak di kawasan
perkotaan.
Indikator pendidikan lainnya adalah Angka Melek Huruf (AMH) yaitu persentase
penduduk berumur 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis serta mengerti sebuah
kalimat sederhana dalam hidupnya sehari-hari. Penggunaan AMH adalah untuk :
1. Mengukur keberhasilan program-program pemberantasan buta huruf, terutama di daerah
perdesaan yang masih tinggi jumlah penduduk yang tidak pernah bersekolah atau tidak
tamat SD;
2. Menunjukkan kemampuan penduduk di suatu wilayah dalam menyerap informasi dari
berbagai media;
3. Menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis.
Angka melek huruf mencerminkan potensi perkembangan intelektual sekaligus
kontribusi terhadap pembangunan daerah. Semakin besar angka melek huruf diharapkan dapat
mengurangi tingkat kemiskinan sehingga tingkat kesejahteraan dapat semakin meningkat.
GAMBAR 1.13
PERSENTASE PENDUDUK BERUMUR 15 TAHUN KE ATAS YANG MELEK HURUF
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
Pada Gambar 1.13, persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang melek huruf
secara nasional sebesar 94,14% lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2012 yang
GAMBAR 1.14
PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH PENDIDIKAN MENURUT USIA SEKOLAH
DI INDONESIA TAHUN 2008 2013
Gambar 1.14 menunjukkan nilai APS Pendidikan Indonesia menurut usia sekolah dari
tahun 2008 s.d. 2013. Semakin tinggi kelompok umur maka tingkat partisipasi sekolahnya
semakin kecil. Hal ini dimungkinkan pada kelompok umur 16-18 tahun dan 19-24 tahun telah
masuk dalam angkatan kerja dan bekerja. APS pada kelompok umur 712 tahun dan 1315
tahun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa program
pendidikan sembilan tahun semakin baik dijalankan. Rincian APS menurut provinsi dan
kelompok umur dari tahun 2008 s.d. 2013 dapat dilihat pada Lampiran 1.13.
Analisis tentang kondisi pendidikan di Indonesia dapat menggunakan dua indikator
partisipasi sekolah, yaitu Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM).
Kedua ukuran tersebut mengukur partisipasi penduduk usia sekolah oleh sektor pendidikan.
Perbedaan di antara keduanya adalah penggunaan kelompok usia "standar" di setiap jenjang
pendidikan. Usia standar yang dimaksud adalah rentang usia yang dianjurkan pemerintah dan
umum dipakai untuk setiap jenjang pendidikan.
Demografi 19
APK adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat
pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang
pendidikan tertentu. APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu
jenjang pendidikan. Angka ini merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur
daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan. Hasil perhitungan APK
ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan
tertentu pada wilayah tertentu. Semakin tinggi APK menunjukkan semakin banyak anak usia
sekolah yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan pada suatu wilayah.
APK membagi jumlah siswa dengan tingkat pendidikan tanpa menggunakan batasan
kelompok umur. Hal ini memungkinkan nilai APK yang melebihi 100%. Kondisi ini sering terjadi
pada jenjang pendidikan SD/MI. Nilai diatas 100% ini terjadi karena terdapat penduduk dengan
umur dibawah 7 tahun yang sudah bersekolah ditingkat sekolah dasar, atau penduduk yang
berusia lebih dari 12 tahun yang masih bersekolah pada tingkat SD/MI.
GAMBAR 1.15
PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI KASAR PENDIDIKAN
DI INDONESIA TAHUN 2008 2013
Pada Gambar 1.15 diketahui nilai APK untuk SD/MI melebihi 100%, sedangkan untuk
pendidikan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA lebih rendah dari nilai APK SD. Pada tahun 2013 nilai
APK untuk SD/sederajat sebesar 107,69%, SMP/sederajat sebesar 89,98% dan SMA/sederajat
sebesar 68,34%. Kondisi pada tahun 2013 ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2012
pada semua jenjang pendidikan. Rincian persentase APK per provinsi dapat dilihat pada
Lampiran 1.14.
Nilai APK ini kurang bagus untuk mencerminkan kondisi pendidikan, karena
memasukkan semua penduduk dalam jenjang pendidikan tanpa dibatasi dengan kelompok
umur yang sesuai dengan tingkat pendidikannya. Sehingga diperlukan indikator yang lebih
mencerminkan partisipasi sekolah, yaitu APM.
APM didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah siswa kelompok usia sekolah
pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk usia sekolah yang sesuai dengan usianya.
Indikator APM ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang bersekolah
pada suatu jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya. Semakin tinggi APM menandakan
semakin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah. Jika dibandingkan APK,
APM merupakan indikator pendidikan yang lebih baik karena memperhitungjkan juga
GAMBAR 1.16
PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI MURNI PENDIDIKAN
DI INDONESIA TAHUN 2008 2013
APM membagi jumlah siswa dengan jenjang pendidikan dengan menggunakan batasan
kelompok umur. Kondisi ini tidak memungkinkan nilai APM yang melebihi 100%, sehingga nilai
APM lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai APK. Pada Gambar 2.16, tahun 2012 nilai APM
untuk tingkat SD/MI sebesar 92,49%, SMP/MTs 70,84% dan SMA/SMK 51,46%. Nilai APM ini
jika dibandingkan dengan tahun 2011 mengalami kenaikan pada semua jenjang pendidikan.
Kondisi APM ini lebih mencerminkan kondisi partisipasi sekolah. Rincian APM per provinsi
dapat dilihat pada Lampiran 1.15.
Demografi 21
GAMBAR 1.17
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA INDONESIA TAHUN 2008 - 2012
Nilai IPM Indonesia tahun 2012 sebesar 73,29 lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kondisi tahun 2011 yang sebesar 72,77. Nilai ini masuk dalam kategori nilai IPM sedang.
Peningkatan ini dikarenakan meningkatnya nilai dari komponen pembuat IPM ini, yaitu
kenaikan pada komponen angka harapan hidup dan angka melek huruf. Pada tahun 2008 nilai
IPM Indonesia sebesar 71,17 dan nilai ini meningkat menjadi 71,76 pada tahun 2009, dan pada
tahun 2012 sebesar 73,29.
GAMBAR 1.18
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA MENURUT PROVINSI TAHUN 2012
GAMBAR 1.19
ANGKA HARAPAN HIDUP WAKTU LAHIR (DALAM TAHUN)
INDONESIA TAHUN 2008 - 2012
Gambar 1.19 menunjukkan peningkatan AHH yang terjadi di Indonesia selama tahun
2008-2012. Pada tahun 2012, nilai AHH Indonesia mencapai 69,87 tahun lebih tinggi jika
dibandingkan dengan nilai AHH tahun 2011 yang sebesar 69,65 tahun. Provinsi dengan nilai
AHH tertinggi terdapat di DKI Jakarta dengan nilai 73,49 dan DI Yogyakarta sebesar 73,33.
Provinsi dengan nilai AHH terendah terdapat di Nusa Tenggara Barat sebesar 62,73 dan
Kalimantan Selatan sebesar 64,52. Rincian lengkap mengenai nilai AHH dan IPM dapat dilihat
pada Lampiran 1.17.
***
Demografi 23
Pedoman pelaksanaan kegiatan
Sarana Kesehatan 27
GAMBAR 2.1
JUMLAH PUSKESMAS TAHUN 2009 2013
Gambar di atas menunjukkan peningkatan jumlah puskesmas dari tahun 2009 sampai
dengan tahun 2013. Peningkatan jumlah puskesmas tidak mengindikasikan secara langsung
seberapa baik keberadaan puskesmas mampu memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan
primer di masyarakat. Indikator yang mampu menggambarkan secara kasar tercukupinya
kebutuhan pelayanan kesehatan primer oleh puskesmas adalah rasio puskesmas terhadap
30.000 penduduk. Rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk pada tahun 2013 sebesar 1,17
puskesmas per 30.000 penduduk. Rasio ini menunjukkan kecenderungan peningkatan
setidaknya sejak tahun 2009 sampai dengan 2013, yaitu 1,13 puskesmas per 30.000 penduduk
menjadi 1,17 puskesmas per 30.000 penduduk. Kecenderungan peningkatan ini ditampilkan
pada gambar berikut.
GAMBAR 2.2
RASIO PUSKESMAS PER 30.000 PENDUDUK TAHUN 2009 2013
GAMBAR 2.3
RASIO PUSKESMAS PER 30.000 PENDUDUK DI INDONESIA TAHUN 2013
Pada gambar di atas nampak bahwa selain Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur juga
memiliki rasio rendah yaitu sebesar 0,69 dan 0,75 per 30.000 penduduk. Selain 3 provinsi
tersebut, seluruh provinsi di Pulau Jawa memiliki rasio puskesmas yang rendah. Hal ini
disebabkan karena jumlah dan kepadatan populasi yang tinggi. Jika dilihat dari rasio terhadap
jumlah penduduk, memang seluruh provinsi di Jawa memiliki angka yang rendah, namun
demikian dalam hal keberadaan pelayanan kesehatan dasar, provinsi di Jawa memiliki kondisi
baik yang berasal dari penyedia sektor swasta. Kondisi seperti ini sebetulnya tetap harus
diperhatikan, karena meskipun kebutuhan pelayanan kesehatan dasar dapat dipenuhi oleh
sektor swasta, suatu wilayah tetap membutuhkan entitas yang berperan sebagai
penanggungjawab upaya kesehatan masyarakat.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan dasar,
puskesmas melaksanakan pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan
masyarakat. Pelayanan kesehatan perorangan yang diberikan terdiri dari pelayanan rawat jalan
dan rawat inap untuk puskesmas tertentu jika dianggap diperlukan. Meskipun pelayanan
kesehatan masyarakat merupakan inti dari puskesmas, pelayanan kesehatan perorangan juga
menjadi perhatian dari Pemerintah. Bagi daerah yang termasuk DTPK, Dana Alokasi Khusus
Sarana Kesehatan 29
(DAK) digelontorkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota untuk, pembangunan pustu dan
puskesmas serta peningkatan puskesmas non rawat inap menjadi puskesmas rawat inap. Bagi
daerah di luar kategori DTPK, DAK bisa digunakan untuk rehabilitasi puskesmas/rumah dinas,
dan peningkatan PONED
Berikut ini disajikan perkembangan jumlah puskesmas rawat inap dan non rawat inap
dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013.
GAMBAR 2.4
JUMLAH PUSKESMAS RAWAT INAP DAN NON RAWAT INAP
TAHUN 2009 2013
Pada gambar di atas diketahui bahwa jumlah puskesmas non rawat inap meningkat dari
6.033 unit pada tahun 2009 menjadi 6.338 unit pada tahun 2013. Meskipun demikian, terjadi
penurunan dari 6.358 unit pada tahun 2012 menjadi 6.338 unit pada tahun 2013. Hal ini dapat
disebabkan karena adanya perubahan status dari puskesmas non rawat inap menjadi
puskesmas rawat inap. Peningkatan jumlah juga terjadi pada puskesmas rawat inap yaitu dari
2.704 unit pada tahun 2009 menjadi 3.317 unit pada tahun 2013.
Selain enam upaya kesehatan wajib yang harus diberikan, puskesmas juga
menyelenggarakan upaya kesehatan pengembangan. Upaya kesehatan pengembangan
puskesmas dapat berupa berupa pelayanan obstetrik dan neonatal emergensi dasar (PONED),
pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR), upaya kesehatan kerja, upaya kesehatan olahraga,
dan tatalaksana kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA). Upaya kesehatan pengembangan
diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan yang ada di wilayah kerja. Sebagai contoh upaya
kesehatan kerja dibutuhkan pada puskesmas dengan wilayah kerja yang memiliki banyak pusat
industri. Gambaran lebih rinci tentang jumlah dan jenis puskesmas menurut provinsi terdapat
pada Lampiran 2.1 dan Lampiran 2.2.
GAMBAR 2.5
PERSENTASE KABUPATEN/KOTA
YANG MEMENUHI SYARAT MINIMAL 4 PUSKESMAS PONED
DI INDONESIA TAHUN 2013
Konsep rawat inap yang digunakan dalam Puskesmas PONED berbeda dengan konsep
yang digunakan puskesmas rawat inap. Konsep rawat inap pada Puskesmas PONED adalah
perawatan inap kepada pasien pasca tindakan emergensi (one day care). Dengan demikian,
puskesmas non rawat inap yang memiliki tempat tidur dan mampu melakukan tindakan
emergensi obstetri dan neonatal dasar, dapat menyelenggarakan PONED.
Sarana Kesehatan 31
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan menetapkan indikator persentase puskesmas
rawat inap yang mampu PONED dengan target pada tahun 2013 sebesar 90%. Jumlah
puskesmas rawat inap yang mampu PONED pada tahun 2013 sebanyak 2.782 puskesmas
dengan persentase sebesar 95,86%. Angka ini telah memenuhi target 90% pada tahun 2013.
GAMBAR 2.6
JUMLAH PUSKESMAS YANG MELAKSANAKAN PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA
DI INDONESIA TAHUN 2013
Sarana Kesehatan 33
5. Puskesmas dengan Tatalaksana Kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA)
Anak merupakan salah satu aset berharga dalam pembangunan kesehatan. Tindak
kekerasan terhadap anak sangat berdampak pada kesehatan anak yang menjadi korban. Dengan
demikian, dibutuhkan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan berkualitas. Pelayanan
kesehatan bagi korban KtA dapat diberikan melalui pelayanan di tingkat dasar, salah satunya
puskesmas. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan telah menetapkan agar setiap
kabupaten/kota harus memiliki minimal 2 (dua) puskesmas mampu tatalaksana kasus
kekerasan terhadap anak.
Jumlah puskesmas mampu tatalaksana KtA sampai dengan tahun 2013 sebesar 1.526
unit yang telah tersebar di 33 Provinsi di Indonesia. Namun demikian, hanya 76,26%
kabupaten/kota yang telah memiliki minimal 2 puskemas yang mampu tatalaksana kasus
kekerasan terhadap anak. Informasi lebih rinci mengenai jumlah puskesmas yang mampu
tatalaksana kasus kekerasan terhadap anak menurut provinsi terdapat pada Lampiran 2.3.
B. RUMAH SAKIT
Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat juga diperlukan upaya
kuratif dan rehabilitatif selain upaya promotif dan preventif. Upaya kesehatan yang bersifat
kuratif dan rehabilitatif dapat diperoleh melalui rumah sakit yang juga berfungsi sebagai
penyedia pelayanan kesehatan rujukan.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147/Menkes/PER/I/2010 tentang Perizinan
Rumah Sakit mengelompokkan rumah sakit berdasarkan kepemilikan, yaitu rumah sakit publik
dan rumah sakit privat. Rumah sakit publik adalah rumah sakit yang dikelola Pemerintah,
TABEL 2.1
PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT MENURUT KEPEMILIKAN
DI INDONESIA TAHUN 2011 2013
1 Publik
Kementerian Lain 3 3 3
2 Privat
BUMN 77 75 67
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengelompokkan rumah sakit
berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan menjadi rumah sakit umum dan rumah sakit
khusus. Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada
semua bidang dan jenis penyakit. Adapun rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang
memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan
disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
Jumlah rumah sakit umum dan rumah sakit khusus pada tahun 2013 adalah 1.725 unit
dan 503 unit. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2012 yang masing-masing
Sarana Kesehatan 35
sebesar 1.608 dan 475. Gambar berikut ini menggambarkan perkembangan jumlah rumah sakit
umum dan rumah sakit khusus dalam lima tahun terakhir.
GAMBAR 2.7
PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT UMUM DAN RUMAH SAKIT KHUSUS
DI INDONESIA TAHUN 2009 2013
Jumlah RSK pada tahun 2013 sebagain besar adalah rumah sakit ibu dan anak berjumlah
159 unit dengan persentase 31,61%. Proporsi jenis RSK di Indonesia pada tahun 2013 terdapat
pada gambar berikut.
GAMBAR 2.8
PERSENTASE RUMAH SAKIT KHUSUS (RSK)
MENURUT JENIS DI INDONESIA TAHUN 2013
GAMBAR 2.9
RASIO JUMLAH TEMPAT TIDUR RUMAH SAKIT
PER 1.000 PENDUDUK DI INDONESIA TAHUN 2009 2013
Jika dilihat secara nasional pada tahun 2013 memang nampaknya jumlah tempat tidur
telah mencukupi, namun masih terdapat beberapa provinsi dengan rasio kurang dari 1 tempat
tidur per 1.000 penduduk.
Pada tingkat provinsi terdapat 13 provinsi dengan dengan rasio kurang dari 1 per 1.000
penduduk. Rasio tertinggi terdapat di Provinsi DI Yogyakarta sebesar 2,92, DKI Jakarta sebesar
2,19, dan Sulawesi Utara sebesar 2,16. Sedangkan provinsi dengan rasio terendah adalah Nusa
Tenggara Barat sebesar 0,65, Sulawesi Barat sebesar 0,67, dan Banten sebesar 0,72.
Sarana Kesehatan 37
GAMBAR 2.10
RASIO TEMPAT TIDUR RUMAH SAKIT
PER 1.000 PENDUDUK DI INDONESIA TAHUN 2013
Rumah sakit juga dikelompokkan menurut kelas berdasarkan fasilitas dan kemampuan
pelayanan menjadi Kelas A, Kelas B, Kelas C, dan Kelas D. Pada tahun 2013, terdapat 57 unit RS
kelas A, 293 unit kelas B, 741 unit RS kelas C, 517 unit RS kelas D, dan sebanyak 620 unit RS
belum ditetapkan kelasnya.
GAMBAR 2.11
PERSENTASE RUMAH SAKIT MENURUT KELAS
DI INDONESIA TAHUN 2013
Sarana Kesehatan 39
dimiliki dan kebutuhan pada wilayah setempat. Kondisi ini dapat dijadikan sebagai salah satu
acuan dalam kebijakan untuk mengembangkan jumlah sarana produksi dan distribusi
kefarmasian dan alat kesehatan di Indonesia bagian Tengah dan Timur, sehingga terjadi
pemerataan jumlah sarana tersebut di seluruh Indonesia. Selain itu, hal ini bertujuan untuk
membuka akses terhadap keterjangkauan masyarakat terhadap sarana kesehatan di bidang
kefarmasian dan alat kesehatan.
Jumlah sarana produksi pada tahun 2013 sebesar 3.828 sarana. Jumlah ini lebih tinggi
dibandingkan tahun 2012 yang sebanyak 2.958 sarana produksi. Pada tahun 2013 terdapat 8
provinsi yang tidak memiliki ke-enam jenis industri kefarmasian dan alat kesehatan yang
disebutkan di atas. Provinsi dengan jumlah sarana produksi terbanyak adalah Jawa Barat
sebesar 1.031 sarana. Hal ini dapat disebabkan karena Jawa Barat memiliki populasi yang besar
dan wilayah yang luas. Jumlah sarana produksi kefarmasian dan alat kesehatan pada tahun
2013 terdapat pada gambar berikut.
GAMBAR 2.12
JUMLAH SARANA PRODUKSI KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
DI INDONESIA TAHUN 2013
Sumber: Ditjen. Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI, 2014
Sarana distribusi kefarmasian dan alat kesehatan yang dipantau jumlahnya oleh Ditjen
Binfar dan Alkes antara lain yaitu : Pedagang Besar Farmasi (PBF), Apotek, Toko Obat dan
Penyalur Alat Kesehatan (PAK). Jumlah sarana distribusi kefarmasian dan alat kesehatan pada
tahun 2013 sebesar 33.731 sarana. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan tahun 2012 yaitu
sebesar 29.137 sarana. Gambar berikut menyajikan jumlah sarana distribusi kefarmasian pada
tahun 2013. Data lebih rinci menurut provinsi mengenai jumlah sarana produksi dan distrbusi
kefarmasian terdapat pada Lampiran 2.10 dan Lampiran 2.11.
Sumber: Ditjen. Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI, 2013
Sarana Kesehatan 41
Indikator persentase ketersediaan obat dan vaksin tahun 2013 memiliki target sebesar
95%, dari data dan perhitungan yang dilakukan oleh Ditjen Binfar dan Alkes didapatkan
persentase ketersediaan rata-rata nasional pada tahun 2013 sebesar 96,93%. Dengan demikian
apabila dibandingkan dengan target tahun 2013, maka capaian kinerja indikator persentase
ketersediaan obat dan vaksin tersebut adalah sebesar 102,03%. Data dan informasi lebih rinci
mengenai ketersediaan obat dan vaksin 144 item terdapat pada Lampiran 2.20 dan 2.21.
GAMBAR 2.14
PERSENTASE RATA-RATA PENGGUNAAN OBAT GENERIK
DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA TAHUN 2013
Sumber : Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI, 2014
Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar provinsi telah memenuhi
target 75%, yaitu 31 provinsi (93,94%). Provinsi dengan rata-rata penggunaan tertinggi adalah
Maluku Utara sebesar 96,31% diikuti oleh Sumatera Barat sebesar 95,11% dan Aceh sebesar
95%. Sedangkan provinsi dengan persentase terendah adalah Riau sebesar 73,04% diikuti oleh
Jawa Timur sebesar 74,21% dan Lampung sebesar 76,11%. Data dan informasi lebih rinci
menurut provinsi mengenai penggunaan obat generik terdapat pada Lampiran 2.22.
GAMBAR 2.15
PERSENTASE DESA DAN KELURAHAN SIAGA AKTIF DI INDONESIA TAHUN 2013
Jenis UKBM lainnya adalah Poskesdes, yaitu UKBM yang dibentuk di desa untuk
mendekatkan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa sehingga mempermudah akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar. Kegiatan utama poskesdes yaitu pelayanan
kesehatan bagi masyarakat desa berupa pelayanan kesehatan ibu hamil, pelayanan kesehatan
ibu menyusui, pelayanan kesehatan anak, pengamatan dan kewaspadaan dini (surveilans
penyakit, surveilans gizi, surveilans perilaku berisiko, surveilans lingkungan dan masalah
kesehatan lainnya), penanganan kegawatdaruratan kesehatan serta kesiapsiagaan terhadap
bencana. Jumlah poskesdes yang beroperasi pada tahun 2013 sebanyak 54.731 unit. Jumlah ini
meningkat dibandingkan tahun 2012 sebesar 54.142 unit.
Sarana Kesehatan 43
bencana. Jumlah poskesdes yang beroperasi pada tahun 2013 sebanyak 54.731 unit. Jumlah ini
meningkat dibandingkan tahun 2012 sebesar 54.142 unit.
Salah satu UKBM yang memiliki peran signifikan dalam pemberdayaan masyarakat
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah posyandu. Posyandu dikelola dan
diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, untuk memberdayakan dan
memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar
bagi masyarakat terutama ibu, bayi dan anak balita. Posyandu memiliki 5 program prioritas
yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, imunisasi, gizi serta pencegahan dan
penanggulangan diare.
Terdapat 280.225 Posyandu pada tahun 2013 di Indonesia. Dari jumlah tersebut,
posyandu pratama sebanyak 32,7%, madya sebanyak 29,1%, purnama sebanyak 29,9%, dan
mandiri sebanyak 8,3%.
GAMBAR 2.16
PERSENTASE POSYANDU MENURUT STRATA DI INDONESIA TAHUN 2013
Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa proporsi tertinggi adalah posyandu pratama
dan proporsi terendah adalah posyandu mandiri. Dengan demikian diperlukan upaya intensif
untuk meningkatkan jumlah posyandu mandiri. Dalam menjalankan fungsinya, perlu diketahui
rasio kecukupan posyandu terhadap masyarakat yang ada. Pada tahun 2013, rasio posyandu
terhadap jumlah desa/kelurahan adalah 3,35. Pada tingkat nasional, rasio posyandu terhadap
jumlah desa/keluarahan memang nampak telah mencukupi yaitu lebih dari satu. Namun jika
dilihat pada tingkat provinsi terdapat dua provinsi yang memiliki rasio kurang dari satu, yaitu
Papua dan Papua Barat.
Gambar di atas menunjukkan bahwa Jawa Barat memiliki rasio tertinggi sebesar 8,29.
Papua dan Papua Barat memiliki rasio kurang dari satu, masing-masing sebesar 0,62 dan 0,72.
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan juga memerlukan peran serta kader dan tokoh
masyarakat/agama. Sampai dengan dengan tahun 2013 terdapat 336.586 kader/toma/toga
terlatih. Rasio kader/toga/toma terlatih terhadap desa/kelurahan di Indonesia sebesar 4,02.
Terdapat 11 provinsi dengan rasio kader/toga/toma terlatih terhadap desa/kelurahan kurang
dari satu. Data/informasi lebih rinci mengenai jumlah UKBM menurut provinsi tahun 2013
terdapat pada Lampiran 2.12, dan Lampiran 2.13.
Sarana Kesehatan 45
GAMBAR 2.18
JUMLAH PROGRAM STUDI POLTEKKES DIPLOMA III DAN IV
DI INDONESIA TAHUN 2013
2. Peserta Didik
Peserta didik pada Diploma III yang dimiliki oleh Poltekkes di Indonesia pada tahun
2013 terdiri dari peserta didik tingkat I (tahun ajaran 2011/2012), tingkat II (tahun ajaran
2012/2013), dan tingkat III (tahun ajaran 2013/2014) yaitu berjumlah 208.363 orang. Jumlah
tersebut terdiri 66.699 peserta didik tingkat I, 70.890 peserta didik tingkat II, dan 70.774
peserta didik tingkat III. Jumlah peserta didik terbanyak berasal dari Program Studi
Keperawatan sebanyak 135.017 peserta didik atau 64,8% dari seluruh peserta didik. Sedangkan
jumlah peserta didik terendah berasal dari program studi keterapian fisik sebanyak 4.388
peserta didik atau 2,11% dari seluruh peserta didik.
GAMBAR 2.19
JUMLAH PESERTA DIDIK DIPLOMA III POLTEKKES
DI INDONESIA TAHUN 2013
3. Lulusan
Peserta didik yang telah selesai menempuh pendidikan akan menjadi lulusan Poltekkes.
Jumlah lulusan pada tahun 2013 adalah sebanyak 22.797 orang. Jumlah ini meningkat
dibandingkan tahun 2012 yaitu sebanyak 21.630 orang. Sesuai dengan jumlah peserta didik
yang memiliki jumlah terbesar dari program studi keperawatan, hal serupa juga terjadi pada
jumlah lulusan dengan jumlah lulusan terbanyak adalah program studi keperawatan sebanyak
15.781 orang atau 69,22% dari total lulusan.
GAMBAR 2.20
JUMLAH LULUSAN DIPLOMA III POLTEKKES
DI INDONESIA TAHUN 2013
Pada tingkat provinsi, terdapat 3 provinsi yang menghasilkan jumlah lulusan terbanyak
dari Poltekkes yaitu Jawa Tengah sebanyak 2.398 lulusan, Jawa Timur sebanyak 2.124 lulusan,
dan DKI Jakarta sebanyak 1.365 lulusan. Tiga provinsi tersebut memang memiliki jumlah
Poltekkes lebih dari satu. Jumlah lulusan Poltekkes menurut program studi terdapat pada
Lampiran 2.18 dan 2.19.
***
Sarana Kesehatan 47
Pemeriksaan kadar gula darah
Tenaga Kesehatan 51
gigi/dokter gigi spesialis yang mempunyai Surat Tanda Registrasi (STR). Berdasarkan hal
tersebut, jumlah dokter umum di Indonesia berjumlah 94.727. Berdasarkan jumlah dokter dan
jumlah penduduk disusun rasio dokter per 100.000 penduduk. Rasio dokter umum di Indonesia
pada tahun 2013 sebesar 38,1 dokter umum per 100.000 penduduk. Rasio dokter umum
terhadap jumlah penduduk menurut provinsi pada tahun 2013 terlihat pada Gambar 3.1 berikut
ini.
GAMBAR 3.1
RASIO DOKTER UMUM TERHADAP 100.000 PENDUDUK DI INDONESIA
TAHUN 2013
Provinsi dengan rasio dokter umum terhadap 100.000 penduduk tertinggi terdapat di
Provinsi DKI Jakarta sebesar 155,5 dan Sulawesi Utara sebesar 83,3. Sedangkan rasio dokter
umum per 100.000 penduduk terendah terdapat di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 8,8 dan
Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 10,5 dokter umum per 100.000 penduduk. Jumlah
dokter gigi pada tahun 2013 tercatat sebanyak 24.598 dan jumlah dokter gigi spesialis sebesar
2.182 orang. Rasio dokter gigi per 100.000 penduduk sebesar 9,9 dokter gigi per 100.000
penduduk. Rincian lengkap mengenai jumlah tenaga dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan
dokter gigi spesialis yang mempunyai STR dapat dilihat pada Lampiran 3.5.
Jenis tenaga kesehatan berikutnya adalah tenaga keperawatan, yang terdiri dari tenaga
perawat dan bidan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.02/MENKES/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat, perawat
adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jumlah perawat pada
tahun 2013 tercatat sebanyak 288.405 orang. Rasio perawat terhadap jumlah penduduk
menurut provinsi pada tahun 2013 terlihat pada Gambar 3.2 berikut ini.
Rasio perawat terhadap penduduk sebesar 116,1 perawat per 100.000 penduduk.
Provinsi dengan rasio tertinggi terdapat di Papua Barat sebesar 320,1 perawat per 100.000
penduduk, Maluku sebesar 305,2 perawat per 100.000 penduduk dan Maluku Utara sebesar
280,1 perawat per 100.000 penduduk. Provinsi dengan rasio perawat terendah terdapat di
Sumatera Utara sebesar 65,7 perawat per 100.000 penduduk, Jawa Barat sebesar 68,2 perawat
per 100.000 penduduk dan Banten sebesar 68,4 perawat per 100.000 penduduk.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 369/MENKES/SK/III/2007
tentang Standar Profesi Bidan, bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan
bidan yang diakui oleh pemerintah dan organisasi profesi di wilayah negara Republik Indonesia
serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk di register, sertifikasi dan atau secara sah
mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan. Bidan diakui sebagai tenaga
profesional yang bertanggung jawab dan akuntabel, yang bekerja sebagai mitra perempuan
untuk memberikan dukungan, asuhan dan nasihat selama hamil, masa kehamilan dan masa
nifas, memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan asuhan kepada bayi
baru lahir dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal,
deteksi komplikasi pada ibu dan anak, akses bantuan medis atau bantuan lain yang sesuai, serta
melaksanakan tindakan kegawatdaruratan.
Jumlah bidan di Indonesia pada tahun 2013 tercatat sebanyak 137.110 orang, dengan
rasio bidan terhadap penduduk sebesar 55,2 bidan per 100.000 penduduk. Rasio bidan
terhadap jumlah penduduk menurut provinsi pada tahun 2013 terlihat pada Gambar 3.3.
Provinsi dengan rasio bidan terhadap penduduk tertinggi tertinggi terdapat di Aceh
sebesar 204,3 bidan per 100.000 penduduk, Bengkulu sebesar 141,7 bidan per 100.000
penduduk dan Papua Barat sebesar 105,7 bidan per 100.000 penduduk. Rasio bidan terhadap
penduduk terendah terdapat di DKI Jakarta sebesar 28,8 bidan per 100.000 penduduk, Jawa
Barat sebesar 29,2 bidan per 100.000 penduduk dan Banten sebesar 30,5 bidan per 100.000
Tenaga Kesehatan 53
penduduk. Jumlah sumber daya manusia kesehatan tahun 2013 menurut provinsi dapat dilihat
pada Lampiran 3.1.
GAMBAR 3.3
RASIO BIDAN TERHADAP 100.000 PENDUDUK DI INDONESIA
TAHUN 2013
Jumlah dokter spesialis di puskesmas di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 135 orang.
Jumlah tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 34 orang dan Jawa Timur sebesar 31
orang. Jumlah dokter gigi yang bertugas di puskesmas pada tahun 2013 sebanyak 6.883 orang.
Bila dibandingkan dengan jumlah seluruh puskesmas di Indonesia (9.655) maka dapat diartikan
bahwa belum seluruh puskesmas memiliki dokter gigi. Sedangkan jumlah perawat gigi di
Indonesia sebesar 10.150 orang. Jumlah tenaga kesehatan di puskesmas di sajikan dalam
Gambar 3.5 berikut.
GAMBAR 3.5
JUMLAH TENAGA KESEHATAN MENURUT JENIS DI PUSKESMAS
DI INDONESIA TAHUN 2013
Tenaga Kesehatan 55
Jumlah perawat di seluruh puskesmas sebanyak 115.747 orang, sehingga rata-rata tiap
puskesmas memiliki 12 orang perawat. Jumlah perawat gigi sebesar 10.150 orang perawat gigi.
Jumlah tenaga bidan sebanyak 102.176 orang, sehingga rata-rata tiap puskesmas memiliki 11
orang bidan. Rincian jumlah tenaga kesehatan di puskesmas dapat dilihat pada Lampiran 3.2.
GAMBAR 3.6
JUMLAH TENAGA KESEHATAN MENURUT JENIS DI RUMAH SAKIT
DI INDONESIA TAHUN 2013
Dari seluruh jumlah tenaga kesehatan, dokter spesialis yang bertugas di rumah sakit
sebanyak 36.081 orang, dengan rata-rata 16 dokter spesialis per rumah sakit; dokter umum
yang bertugas di rumah sakit sebanyak 21.283 orang, dengan rata-rata 10 dokter umum per
rumah sakit dan dokter gigi yang bertugas di rumah sakit sebanyak 4.295 orang, dengan rata-
rata 2 dokter gigi per rumah sakit. Perawat yang bertugas di rumah sakit sebanyak 164.309
orang, dengan rata-rata 74 perawat per rumah sakit dan bidan yang bertugas di rumah sakit
sebanyak 31.254 orang, dengan rata-rata 14 bidan per rumah sakit. Rincian jumlah tenaga
kesehatan di rumah sakit pemerintah dapat dilihat pada Lampiran 3.4.
GAMBAR 3.7
JUMLAH DOKTER UMUM PTT, DOKTER GIGI PTT DAN BIDAN PTT AKTIF
MENURUT KRITERIA WILAYAH DI INDONESIA TAHUN 2013
Pada Gambar 3.7, tahun 2013 dapat dilihat jumlah tenaga PTT terutama untuk dokter
umum dan dokter gigi terbesar ada pada daerah dengan kriteria sangat terpencil dan terpencil.
Dokter PTT di di daerah sangat terpencil berjumlah 1.815 orang, daerah terpencil berjumlah
1.112 orang dan dokter PTT di daerah biasa hanya 226 orang. Jumlah dokter gigi PTT aktif di
daerah sangat terpencil dan terpencil juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah di
daerah biasa. Jumlah dokter gigi di daerah sangat terpencil berjumlah 628 orang, daerah
terpencil berjumlah 495 orang sedangkan di daerah biasa hanya berjumlah 45 orang.
Hal berbeda terjadi pada tenaga bidan PTT aktif. Jumlah bidan PTT di daerah biasa lebih
besar jika dibandingkan dengan daerah terpencil atau daerah sangat terpencil. Jumlah bidan di
daerah biasa berjumlah 21.452 orang, sedangkan jumlah bidan di daerah terpencil berjumlah
11.991 orang dan daerah sangat terpencil berjumlah 8.692 orang. Rincian lengkap mengenai
jumlah dokter/dokter gigi spesialis PTT, dokter umum PTT, dokter gigi PTT, bidan PTT aktif
menurut kriteria wilayah dan provinsi di Indonesia tahun 2013 dapat dilihat di Lampiran 3.7
s.d. 3.10.
Pada tahun 2013 telah diangkat tenaga kesehatan PTT untuk daerah dengan kriteria
biasa, terpencil, dan sangat terpencil sebanyak 15.931 orang, yang terdiri dari dokter spesialis
Tenaga Kesehatan 57
dan dokter gigi spesialis PTT sejumlah 57 orang, dokter umum PTT sejumlah 3.075 orang,
dokter gigi PTT sebanyak 1.169 orang dan bidan PTT sejumlah 11.630 orang.
GAMBAR 3.8
JUMLAH PENGANGKATAN DOKTER/DOKTER GIGI SPESIALIS, DOKTER UMUM,
DOKTER GIGI DAN BIDAN SEBAGAI PEGAWAI TIDAK TETAP (PTT)
MENURUT KRITERIA WILAYAH DI INDONESIA TAHUN 2013
Gambar 3.8 menunjukkan jumlah pengangkatan tenaga kesehatan PTT didaerah biasa,
terpencil dan sangat terpencil pada tahun 2013 untuk tenaga dokter/dokter gigi spesialis,
dokter umum, dokter gigi dan bidan. Jumlah pengangakatan dokter/dokter gigi spesialis hanya
ada pada daerah terpencil, sebesar 57 orang. Jumlah pengangkatan dokter umum dan dokter
gigi terbesar pada daerah sangat terpenci. Pada pengangkatan bidan, lebih banyak di daerah
biasa dibandingkan dengan daerah terpencil dan sangat terpencil. Rincian lengkap mengenai
jumlah pengangkatan dokter/dokter gigi spesialis, dokter umum, dokter gigi dan bidan dapat
dilihat pada Lampiran 3.12 s.d. 3.15.
Tenaga Kesehatan 59
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Surat
Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dan Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian
(STRTTK) berlaku selama 5 (lima) tahun. Surat tanda registrasi juga diperlukan untuk apoteker
warga negara asing lulusan luar negeri yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian di
Indonesia (surat tanda registrasi apoteker khusus/STRA Khusus). STRA, STRTTK dan STRA
Khusus dikeluarkan oleh Komite Farmasi Nasional.
***
GAMBAR 4.1
ALOKASI DAN REALISASI ANGGARAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TAHUN 2008 2013
Pembiayaan Kesehatan 63
Distribusi anggaran Kementerian Kesehatan RI menurut unit kerja eselon I
menunjukkan bahwa alokasi terbesar terdapat pada Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
(Ditjen BUK) sebesar 25,27 trilyun rupiah, sedangkan alokasi terendah untuk Inspektorat
Jenderal sebesar 96,08 miliar rupiah. Anggaran yang dialokasikan pada Ditjen BUK tersebut
didistribusikan pada 429 satuan kerja (kantor pusat, kantor daerah, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan), sedangkan anggaran yang dialokasikan pada Inspektorat Jenderal hanya untuk
satu Satuan Kerja (Satker). Unit Eselon I dengan persentase realisasi anggaran tertinggi adalah
Badan Litbangkes sebesar 95,01%, sedangkan realisasi terendah adalah Inspektorat Jenderal
dengan persentase realisasi sebesar 79,66%. Data dan Informasi mengenai alokasi dan realisasi
anggaran Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2013 terdapat pada Lampiran 4.1.
GAMBAR 4.2
PERSENTASE ANGGARAN KESEHATAN TERHADAP APBD
MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013
Pembiayaan Kesehatan 65
GAMBAR 4.3
JUMLAH KUNJUNGAN
RJTP, RITP, RJTL & RITL DI INDONESIA TAHUN 2013
Pada gambar di atas nampak bahwa jumlah kunjungan rawat jalan pada tingkat pertama
jauh lebih besar dibandingkan rawat inap. Pola yang sama juga nampak pada layanan kesehatan
tingkat lanjut di rumah sakit, yaitu jumlah kunjungan rawat jalan lebih besar dibandingkan
rawat inap.
Pada tahun 2013, terdapat 76,29 juta kunjungan peserta jamkesmas ke pelayanan
kesehatan rawat jalan, yang terdiri dari 69,51 juta kunjungan rawat jalan tingkat pertama dan
6,78 juta kunjungan rawat jalan tingkat lanjut. Sedangkan gambaran pada pelayanan kesehatan
rawat inap adalah sebanyak 5,12 juta yang terdiri dari 3,48 juta kunjungan rawat inap tingkat
pertama dan 1,64 juta kunjungan rawat inap tingkat lanjut. Jumlah kunjungan di pelayanan
kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjut pada tahun 2013 lebih tinggi dibandingkan jumlah
kunjungan pada tahun 2012 seperti yang terdapat pada gambar berikut.
GAMBAR 4.4
JUMLAH KUNJUNGAN
RJTP, RITP, RJTL & RITL DI INDONESIA TAHUN 2009-2013
Pembiayaan Kesehatan 67
GAMBAR 4.5
PERSENTASE PENYERAPAN DANA BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN (BOK)
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa Provinsi Bengkulu memiliki penyerapan
dana BOK tertinggi sebesar 99,92% dan Provinsi Kalimantan Timur memiliki penyerapan
terendah sebesar 89,6%. Pada tahun 2013, terdapat 8 provinsi dengan realisasi lebih rendah
dari persentase penyerapan nasional. Data dan informasi mengenai alokasi serta realisasi dana
BOK menurut provinsi tahun 2013 terdapat pada Lampiran 4.3..
BOK merupakan salah satu program strategis Kementerian Kesehatan RI disamping
Jamkesmas/Jampersal sehingga terus diupayakan perbaikan agar BOK dimanfaatkan dengan
optimal oleh Puskesmas. Dinas kesehatan provinsi sebagai perpanjangan tangan Kementerian
Kesehatan juga memiliki peran serta yaitu melakukan pembinaan dan evaluasi pelaksanaan
BOK di kabupaten/kota. Dengan kehadiran BOK diharapkan petugas kesehatan/kader
kesehatan tidak lagi mengalami kendala dalam melakukan kegiatan untuk mendekatkan akses
pada masyarakat. Hal penting yang perlu dipahami, BOK bukan merupakan dana utama
penyelenggaraan upaya kesehatan di kabupaten/kota, namun hanya dana tambahan yang
bersifat bantuan sehingga tidak dapat menjawab semua permasalahan kesehatan. Sumber
pembiayaan kesehatan yang utama tetap harus disediakan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota.
***
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari sekelompok orang
yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dan biasanya memiliki
hubungan darah atau perkawinan, dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga memiliki
fungsi yang sangat strategis dalam mempengaruhi status kesehatan diantara anggotanya.
Diantara fungsi keluarga dalam tatanan masyarakat yaitu memenuhi kebutuhan gizi dan
merawat serta melindungi kesehatan para anggotanya.
Anak dan ibu merupakan dua anggota keluarga yang perlu mendapatkan prioritas
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Penilaian terhadap status kesehatan dan kinerja
upaya kesehatan ibu dan anak penting untuk dilakukan. Hal tersebut disebabkan Angka
Kematian Ibu dan Anak merupakan dua indikator yang peka terhadap kualitas fasilitas
pelayanan kesehatan. Kualitas fasilitas pelayanan kesehatan yang dimaksud termasuk
aksesibilitas terhadap fasilitas pelayanan kesehatan itu sendiri.
A. KESEHATAN IBU
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka
kematian ibu (yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas) sebesar 359 per
100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih cukup tinggi apalagi jika dibandingkan dengan
negaranegara tetangga.
Sejak tahun 1990 upaya strategis yang dilakukan dalam upaya menekan Angka
Kematian Ibu (AKI) adalah dengan pendekatan safe motherhood, dengan menganggap bahwa
setiap kehamilan mengandung risiko, walaupun kondisi kesehatan ibu sebelum dan selama
kehamilan dalam keadaan baik. Di Indonesia Safe Motherhood initiative ditindaklanjuti dengan
peluncuran Gerakan Sayang Ibu di tahun 1996 oleh Presiden yang melibatkan berbagi sektor
pemerintahan di samping sektor kesehatan. Salah satu program utama yang ditujukan untuk
mengatasi masalah kematian ibu adalah penempatan bidan di tingkat desa secara besar-
besaran yang bertujuan untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir
ke masyarakat. Di tahun 2000, Kementerian Kesehatan RI memperkuat strategi intervensi
sektor kesehatan untuk mengatasi kematian ibu dengan mencanangkan strategi Making
Pregnancy Safer. Pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program Expanding
Maternal and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan
neonatal sebesar 25%. Program ini dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah
kematian ibu dan neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi-provinsi tersebut dikarenakan
52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia berasal dari enam provinsi tersebut.
Sehingga dengan menurunkan angka kematian ibu di enam provinsi tersebut diharapkan akan
dapat menurunkan angka kematian ibu di Indonesia secara signifikan.
Upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian neonatal melalui program
EMAS dilakukan dengan cara:
Kesehatan Keluarga 71
Meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir minimal di 150
rumah sakit (PONEK) dan 300 Puskesmas/Balkesmas (PONED).
Memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar Puskesmas dan Rumah Sakit.
Selain itu, pemerintah bersama masyarakat juga bertanggung jawab untuk menjamin
bahwa setiap ibu memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas, mulai dari
saat hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih, dan perawatan pasca
persalinan bagi ibu dan bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi komplikasi, dan
memperoleh cuti hamil dan melahirkan serta akses terhadap keluarga berencana. Di samping
itu, pentingnya melakukan intervensi lebih ke hulu yakni kepada kelompok remaja dan dewasa
muda dalam upaya percepatan penurunan AKI.
Pada gambar 5.1 di atas terlihat bahwa secara umum cakupan pelayanan kesehatan ibu
hamil K1 dan K4 mengalami kenaikan. Cakupan K1 dan K4 yang secara umum mengalami
kenaikan tersebut menunjukkan semakin baiknya akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan ibu hamil yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Dari gambar tersebut juga dapat
dilihat bahwa kenaikan cakupan K1 dari tahun ke tahun relatif lebih stabil jika dibandingkan
dengan cakupan K4. Cakupan K1 selalu mengalami peningkatan, kecuali di tahun 2013 dimana
angkanya mengalami penurunan dari 96,84% pada tahun 2012 menjadi 95,25% pada tahun
2013. Hal itu sedikit berbeda dengan cakupan K4 yang pernah mengalami kenaikan yang cukup
signifikan dari 80,26% pada 2007 menjadi 86,04% pada 2008, namun setelah itu mengalami
penurunan menjadi 84,54% di tahun berikutnya. Kemudian setelah terus mengalami kenaikan,
cakupan K4 kembali menurun pada 2013 menjadi 86,85% dari 90,18% pada tahun sebelumnya.
Secara nasional, indikator kinerja cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K4 pada
tahun 2013 belum dapat mencapai target Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan
tahun yang sama, yakni sebesar 93%. Meski demikian, terdapat 4 (empat) provinsi yang
angkanya telah dapat mencapai target tersebut. Keempat provinsi tersebut adalah DKI Jakarta
(95,76%), Jambi (93,61%), Sumatera Selatan (93,21%), dan Bali (93,06%). Capaian pelayanan
kesehatan ibu hamil K4 dari masing-masing provinsi dapat dilihat pada gambar 5.2.
Kesehatan Keluarga 73
GAMBAR 5.2
CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN IBU HAMIL K4 MENURUT PROVINSI, TAHUN 2013
Pada gambar 5.2 dapat diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) provinsi yang memiliki
cakupan pelayanan ibu hamil K4 relatif rendah, yakni Papua (31,90%), Papua Barat (50,09%),
dan Nusa Tenggara Timur (61,78%). Secara nasional, cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil
K4 pada tahun 2013 adalah sebesar 86,85%.
Berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan untuk
semakin mendekatkan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat hingga
ke pelosok desa, termasuk untuk meningkatkan cakupan pelayanan antenatal. Dari segi sarana
dan fasilitas pelayanan kesehatan, hingga bulan Desember 2013, tercatat terdapat 9.655
Puskesmas di seluruh Indonesia. Dengan demikian rasio Puskesmas terhadap 30.000 penduduk
sudah melampaui rasio ideal 1:30.000 penduduk. Demikian pula dengan Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) seperti Poskesdes dan Posyandu. Sampai dengan tahun
2013, tercatat terdapat 54.731 Poskesdes yang beroperasi dan 280.225 Posyandu di Indonesia.
Upaya meningkatkan cakupan pelayanan antenatal juga makin diperkuat dengan adanya
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010 dan diluncurkannya Jaminan
Persalinan (Jampersal) sejak tahun 2011, dimana keduanya saling bersinergi. BOK dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan luar gedung, seperti pendataan, pelayanan di Posyandu,
kunjungan rumah, sweeping kasus drop out, pelaksanaan kelas ibu hamil serta penguatan
kemitraan bidan dan dukun. Sementara itu Jampersal mendukung paket pelayanan antenatal,
termasuk yang dilakukan pada saat kunjungan rumah atau sweeping, baik pada kehamilan
normal maupun kehamilan dengan risiko tinggi.
Semakin kuatnya kerja sama dan sinergi berbagai program yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat termasuk sektor swasta diharapkan dapat
mendorong tercapainya target cakupan pelayanan antenatal.
Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, dan Badan Litbangkes, Kemenkes RI, 2014
Gambar 5.3 di atas memperlihatkan perbedaan antara hasil pencatatan rutin dan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan
Pengambangan Kesehatan. Untuk cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K1 ideal, data
menurut pencatatan rutin adalah 95,25%, sedangkan menurut Riskesdas 81,6%. Untuk cakupan
K4 idealnya, menurut pencatatan rutin adalah sebesar 86,85%, sedangkan menurut Riskesdas
adalah 70,4%. Perbedaan ini dikarenakan pada Riskesdas 2013, sampel penelitian adalah ibu
yang pernah hamil anak terakhir sejak 1 Januari 2010 hingga pada saat wawancara dilakukan.
Selain itu, masih terdapat perbedaan persepsi di daerah mengenai definisi operasional dari
cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K1 dan K4. Data dan informasi terkait pelayanan
kesehatan ibu hamil disajikan pada lampiran 5.1 5.6.
Kesehatan Keluarga 75
sebelumnya, dua provinsi yang lain mengalami kenaikan. Cakupan pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan di provinsi Papua pada 2013 adalah 33,31%, sedangkan capaian pada tahun
sebelumnya adalah sebesar 43,54%. Selengkapnya tentang cakupan pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan di Indonesia menurut provinsi tahun 2013 disajikan pada gambar 5.5.
GAMBAR 5.4
CAKUPAN PERTOLONGAN PERSALINAN OLEH TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA
TAHUN 2004 2013
GAMBAR 5.5
CAKUPAN PERTOLONGAN PERSALINAN OLEH TENAGA KESEHATAN MENURUT PROVINSI
TAHUN 2013
GAMBAR 5.6
PROPORSI KELAHIRAN BERDASARKAN TEMPAT BERSALIN DI INDONESIA, RISKESDAS 2013
Kesehatan Keluarga 77
Seperti terlihat pada gambar 5.6 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar
kelahiran dilakukan di Rumah Bersalin/Klinik/Praktek Tenaga Kesehatan yakni sebesar 38,0%.
Terbanyak ke dua adalah di rumah (29,6%), kemudian di Rumah Sakit (21,4%). Dari data
tersebut terlihat bahwa persalinan yang dilakukan di rumah masih cukup tinggi, dimana rumah
merupakan tempat ke dua terbanyak sebagai tempat melahirkan. Sedangkan
Polindes/Poskesdes merupakan tempat bersalin yang paling sedikit, dimana hanya 3,7% saja
yang memanfaatkannya sebagai tempat bersalin. Selain itu, sebesar 7,3% kelahiran dilakukan di
Puskesmas/Pustu.
GAMBAR 5.7
CAKUPAN PELAYANAN IBU HAMIL K4 DAN CAKUPAN PERTOLONGAN PERSALINAN
OLEH TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA TAHUN 2004 2013
Dari gambar 5.7 dapat dilihat bahwa meski cakupan pelayanan ibu hamil K4 secara
nasional mengalami penurunan, namun cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
mengalami kenaikan. Persentasenya bahkan melebihi cakupan K4. Hal ini menjadi tantangan
tersendiri bagi Pemerintah. Pelayanan antenatal memiliki peranan yang sangat penting, di
antaranya agar dapat dilakukan deteksi dan tata laksana dini komplikasi yang dapat timbul
pada saat persalinan. Apabila seorang ibu datang langsung untuk bersalin di tenaga kesehatan
tanpa adanya riwayat pelayanan antenatal sebelumnya, maka faktor risiko dan kemungkinan
komplikasi saat persalinan akan lebih sulit diantisipasi.
GAMBAR 5.8
PROPORSI PENOLONG PERSALINAN DENGAN KUALIFIKASI TERTINGGI
DI INDONESIA, RISKESDAS TAHUN 2013
GAMBAR 5.9
PROPORSI PERSALINAN SESAR DARI KELAHIRAN PERIODE 1 JANUARI 2010
SAMPAI SAAT WAWANCARA MENURUT KARAKTERISTIK DI INDONESIA, RISKESDAS 2013
Kesehatan Keluarga 79
e) Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kesehatan ibu nifas dan bayi
baru lahir, termasuk keluarga berencana;
f) Pelayanan keluarga berencana pasca persalinan.
Keberhasilan upaya kesehatan ibu nifas diukur melalui indikator cakupan pelayanan
kesehatan ibu nifas (Cakupan KF3). Indikator ini menilai kemampuan negara dalam
menyediakan pelayanan kesehatan ibu nifas yang berkualitas sesuai standar.
GAMBAR 5.10
CAKUPAN KUNJUNGAN NIFAS (KF3) DI INDONESIA TAHUN 2008 2013
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa capaian cakupan kunjungan nifas (KF3) di
Indonesia dalam kurun waktu 6 tahun terakhir mengalami kenaikan. Capaian indikator KF
lengkap yang meningkat dalam 6 tahun terakhir merupakan hasil dari berbagai upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat termasuk sektor swasta. Program penempatan
Pegawai Tidak Tetap (PTT) untuk dokter dan bidan terus dilaksanakan. Selain itu, dengan
diluncurkannya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010, Puskesmas,
Poskesdes, dan Posyandu lebih terbantu dalam mengintensifkan implementasi upaya kesehatan
termasuk di dalamnya pelayanan kesehatan ibu nifas, di antaranya kegiatan sweeping atau
kunjungan rumah bagi yang tidak datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. Dukungan
Pemerintah makin meningkat sejak diluncurkannya Jampersal pada tahun 2011, dimana
pelayanan nifas termasuk paket manfaat yang dijamin oleh Jampersal. Data dan informasi
terkait pelayanan kesehatan ibu nifas disajikan pada lampiran 5.11.
GAMBAR 5.11
CAKUPAN PENANGANAN KOMPLIKASI KEBIDANAN DI INDONESIA TAHUN 2008 2013
Pada gambar 5.11 di atas dapat diketahui bahwa secara umum, cakupan penanganan
komplikasi kebidanan di Indonesia selama kurun waktu 6 tahun terakhir mengalami kenaikan,
meski pada tahun 2009 sempat mengalami penurunan. Cakupan penanganan komplikasi
kebidanan secara nasional pada tahun 2013 ialah 73,31%.
GAMBAR 5.12
CAKUPAN PENANGANAN KOMPLIKASI KEBIDANAN MENURUT PROVINSI
TAHUN 2013
Kesehatan Keluarga 81
Gambaran mengenai cakupan penanganan komplikasi kebidanan pada tahun 2013
menurut provinsi yang disajikan pada gambar 5.12 menunjukkan bahwa cakupan penanganan
komplikasi kebidanan tertinggi yaitu di Provinsi Jawa Tengah (102, 2%). Angka cakupan yang
melebihi 100% ini dimungkinkan karena jumlah sasaran yang digunakan adalah perkiraan,
yakni diperkirakan pada kurun waktu 1 tahun sebanyak 20% dari jumlah sasaran ibu hamil di
suatu wilayah kerja akan mengalami komplikasi kebidanan. Cakupan tertinggi ke dua dan ke
tiga berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (98%) dan DIY (87,3%). Sedangkan cakupan
terendah berturut-turut yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat (19,2%), serta Sumatera Utara
(30,3%).
Lima penyebab kematian ibu terbesar adalah perdarahan, hipertensi dalam kehamilan
(HDK), infeksi, partus lama/macet dan abortus. Kematian ibu di Indonesia tetap didominasi
oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), dan
infeksi. Proporsi ketiga penyebab kematian ibu telah berubah, dimana perdarahan dan infeksi
cenderung mengalami penurunan sedangkan HDK proporsinya semakin meningkat. Lebih dari
30% kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 disebabkan oleh HDK.
GAMBAR 5.13
PENYEBAB KEMATIAN IBU DI INDONESIA TAHUN 2010
Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, Hasil Analisis Lanjut
Sensus Penduduk Tahun 2010
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa diperkirakan 20% kehamilan akan mengalami
komplikasi. Sebagian komplikasi ini dapat mengancam jiwa, tetapi sebagian besar komplikasi
dapat dicegah dan ditangani bila : 1) ibu segera mencari pertolongan ke tenaga kesehatan; 2)
tenaga kesehatan melakukan prosedur penanganan yang sesuai, antara lain penggunaan
partograf untuk memantau perkembangan persalinan, dan pelaksanaan manajemen aktif kala
III (MAK III) untuk mencegah perdarahan pasca-salin; 3) tenaga kesehatan mampu melakukan
identifikasi dini komplikasi; 4) apabila komplikasi terjadi, tenaga kesehatan dapat memberikan
pertolongan pertama dan melakukan tindakan stabilisasi pasien sebelum melakukan rujukan;
5) proses rujukan efektif; 6) pelayanan di RS yang cepat dan tepat guna.
Terdapat tiga jenis area intervensi yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian
dan kesakitan ibu dan neonatal yaitu melalui : 1) peningkatan pelayanan antenatal yang mampu
mendeteksi dan menangani kasus risiko tinggi secara memadai; 2) pertolongan persalinan yang
bersih dan aman oleh tenaga kesehatan terampil, pelayanan pasca persalinan dan kelahiran;
serta 3) pelayanan emergensi obstetrik dan neonatal dasar (PONED) dan komprehensif
(PONEK) yang dapat dijangkau.
5. Pelayanan Kontrasepsi
Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu strategi untuk mengurangi
kematian ibu khususnya ibu dengan kondisi 4T; terlalu muda melahirkan (di bawah usia 20
tahun), terlalu sering melahirkan, terlalu dekat jarak melahirkan, dan terlalu tua melahirkan (di
atas usia 35 tahun). Keluarga berencana (KB) merupakan salah satu cara yang paling efektif
untuk meningkatkan ketahanan keluarga, kesehatan, dan keselamatan ibu, anak, serta
perempuan. Pelayanan KB menyediakan informasi, pendidikan, dan cara-cara bagi laki-laki dan
perempuan untuk dapat merencanakan kapan akan mempunyai anak, berapa jumlah anak,
berapa tahun jarak usia antara anak, serta kapan akan berhenti mempunyai anak.
Baik suami maupun istri memiliki hak yang sama untuk menetapkan berapa jumlah
anak yang akan dimiliki dan kapan akan memiliki anak. Melalui tahapan konseling pelayanan
Kesehatan Keluarga 83
KB, pasangan usia subur (PUS) dapat menentukan pilihan kontrasepsi sesuai dengan kondisi
dan kebutuhannya berdasarkan informasi yang telah mereka pahami, termasuk keuntungan
dan kerugian, risiko metode kontrasepsi dari petugas kesehatan.
Program Keluarga Berencana (KB) dilakukan dalam rangka mengatur jumlah kelahiran
atau menjarangkan kelahiran. Sasaran program KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang
lebih dititikberatkan pada kelompok Wanita Usia Subur (WUS) yang berada pada kisaran usia
15-49 tahun.
GAMBAR 5.14
PERSENTASE PEMAKAIAN ALAT/CARA KB PADA WANITA USIA SUBUR (15-49 TAHUN)
YANG BERSTATUS KAWIN DI INDONESIA, RISKESDAS 2013
Dari gambar 5.14 dapat kita lihat bahwa sebagian besar WUS saat ini menggunakan
kontrasepsi, yakni sebanyak 59,7%. Dimana sebanyak 59,3% wanita usia subur menggunakan
kontrasepsi modern, dan hanya 0,4% nya yang menggunakan kontrasepsi cara tradisional.
Selain itu, dapat diketahui pula bahwa sebanyak 24,8% dari wanita usia subur mengaku pernah
menggunakan kontrasepsi, meski saat ini tidak sedang menggunakannya. Sedangkan 15,5%
wanita usia subur mengaku tidak pernah menggunakan kontrasepsi.
GAMBAR 5.15
PERSENTASE PESERTA KB AKTIF MENURUT METODE KONTRASEPSI DI INDONESIA TAHUN 2013
GAMBAR 5.16
PERSENTASE PESERTA KB AKTIF MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
Gambar 5.16 di atas menunjukkan bahwa provinsi dengan persentase peserta KB aktif
tertinggi ialah Provinsi Aceh (89,9%), kemudian DIY (89,08%), dan Bali (86,16%). Sedangkan
provinsi dengan persentase peserta KB aktif terendah ialah Provinsi Papua Barat (4,80%) dan
Provinsi Papua (16,09%). Secara nasional, persentase peserta KB aktif pada tahun 2013 ialah
sebesar 76,73%.
Sedangkan pada peserta KB baru, persentase metode kontrasepsi yang terbanyak
digunakan adalah suntikan, yakni sebesar 48,56%. Metode terbanyak ke dua adalah pil, sebesar
26,60%. Metode yang paling sedikit dipilih oleh para peserta KB baru adalah metode operasi
pria (MOP) sebanyak 0,25%, kemudian metode operasi wanita (MOW) sebanyak 1,52%, dan
kondom (6,09%). Gambaran mengenai persentase peserta KB baru menurut metode
kontrasepsi tahun 2013 selengkapnya dapat dilihat pada gambar 5.17. Selain itu, persentase
peserta KB baru menurut provinsi tahun 2013 disajikan pada gambar 5.18.
Kesehatan Keluarga 85
GAMBAR 5.17
PERSENTASE PESERTA KB BARU MENURUT METODE KONTRASEPSI TAHUN 2013
GAMBAR 5.18
CAKUPAN PESERTA KB BARU MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
Dari gambar 5.18 di atas dapat dilihat bahwa provinsi dengan persentase peserta KB
baru tertinggi ialah Provinsi DKI Jakarta (36,35%), kemudian Bengkulu (28,79%), dan Sumatera
Selatan (24,9%). Sedangkan provinsi dengan persentase peserta KB baru terendah ialah
Provinsi Papua (8,85%), Bali (11,21%), dan Papua Barat (11,59%). Secara nasional, persentase
peserta KB baru pada tahun 2013 adalah sebesar 18,49%. Data dan informasi terkait
kontrasepsi selengkapnya disajikan pada lampiran 5.12 5.18.
Kesehatan Keluarga 87
GAMBAR 5.19
PERSENTASE BERAT BAYI LAHIR RENDAH
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS 2013
Hasil Riskesdas tahun 2013 menyatakan bahwa persentase balita (0-59 bulan) dengan
BBLR sebesar 10,2%. Persentase BBLR tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Tengah (16,8%)
dan terendah di Sumatera Utara (7,2%).
Masalah pada bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) terutama pada prematur terjadi
karena ketidakmatangan sistem organ pada bayi tersebut. Bayi berat lahir rendah mempunyai
kecenderungan ke arah peningkatan terjadinya infeksi dan mudah terserang komplikasi.
Masalah pada BBLR yang sering terjadi adalah gangguan pada sistem pernafasan, susunan saraf
pusat, kardiovaskular, hematologi, gastro intestinal, ginjal, termoregulasi.
GAMBAR 5.20
CAKUPAN PENANGANAN KOMPLIKASI NEONATAL
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
Kesehatan Keluarga 89
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia sampai dengan 28 hari, dimana terjadi
perubahan yang sangat besar dari kehidupan di dalam rahim menjadi di luar rahim. Pada masa
ini terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem. Bayi hingga usia kurang satu bulan
merupakan golongan umur yang memiliki risiko gangguan kesehatan paling tinggi. Pada usia
yang rentan ini, berbagai masalah kesehatan bisa muncul. Tanpa penanganan yang tepat, bisa
berakibat fatal. Beberapa upaya kesehatan dilakukan untuk mengendalikan risiko pada
kelompok ini diantaranya dengan mengupayakan agar persalinan dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan di fasilitas kesehatan serta menjamin tersedianya pelayanan kesehatan sesuai
standar pada kunjungan bayi baru lahir.
Masalah utama penyebab kematian pada bayi dan balita adalah pada masa neonatus
(bayi baru lahir umur 0-28 hari). Menurut hasil Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa 78,5%
dari kematian neonatal terjadi pada umur 0-6 hari. Komplikasi yang menjadi penyebab
kematian terbanyak adalah asfiksia, bayi berat lahir rendah dan infeksi.
Dengan melihat adanya risiko kematian yang tinggi dan berbagai serangan komplikasi
pada minggu pertama, maka setiap bayi baru lahir harus mendapatkan pemeriksaan sesuai
standar lebih sering (minimal 2 kali) dalam minggu pertama. Langkah ini dilakukan untuk
menemukan secara dini jika terdapat penyakit atau tanda bahaya pada neonatus sehingga
pertolongan dapat segera diberikan untuk mencegah penyakit bertambah berat yang dapat
menyebabkan kematian. Kunjungan neonatus merupakan salah satu intervensi untuk
menurunkan kematian bayi baru lahir.
Terkait hal tersebut, pada tahun 2008 ditetapkan perubahan kebijakan dalam
pelaksanaan kunjungan neonatal, dari 2 kali yaitu satu kali pada minggu pertama dan satu kali
pada 8-28 hari, menjadi 3 kali yaitu dua kali pada minggu pertama dan satu kali pada 8 28
hari. Dengan demikian, jadwal kunjungan neonatal yang dilaksanakan saat ini adalah pada umur
6-48 jam, umur 3-7 hari dan umur 8-28 hari. Indikator ini mengukur kemampuan manajemen
program Kesehatan Ibu Anak (KIA) dalam menyelenggarakan pelayanan neonatal yang
komprehensif.
Kunjungan neonatal pertama (KN1) adalah cakupan pelayanan kesehatan bayi baru
lahir (umur 6 jam - 48 jam) di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu yang ditangani
sesuai standar oleh tenaga kesehatan terlatih di seluruh sarana pelayanan kesehatan. Pelayanan
yang diberikan saat kunjungan neonatal adalah pemeriksaan sesuai standar Manajemen
Terpadu Bayi Muda (MTBM) dan konseling perawatan bayi baru lahir termasuk ASI eksklusif
dan perawatan tali pusat. Pada kunjungan neonatal pertama (KN1), bayi baru lahir
mendapatkan vitamin K1 injeksi dan imunisasi hepatitis B0 bila belum diberikan pada saat
lahir. Cakupan indikator kunjungan neonatal pertama menurut provinsi, digambarkan pada
gambar 5.17.
Selain KN1, indikator yang menggambarkan pelayanan kesehatan bagi neonatal adalah
KN lengkap yang mengharuskan agar setiap bayi baru lahir memperoleh pelayanan Kunjungan
Neonatal minimal 3 kali, yaitu 1 kali pada 6-48 jam, 1 kali pada 3-7 hari, 1 kali pada 8-28 hari
sesuai standar di satu wilayah kerja pada satu tahun
Capaian KN lengkap di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 87,23%. Capaian ini telah
memenuhi target program tahun 2013 sebesar 84%. Terdapat 27 provinsi telah memenuhi
target tersebut. Gambaran cakupan kunjungan KN lengkap menurut provinsi di Indonesia
terdapat pada gambar 5.18 berikut ini.
GAMBAR 5.22
CAKUPAN KUNJUNGAN NEONATAL LENGKAP
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
Kesehatan Keluarga 91
Pada gambar di atas terlihat bahwa pencapaian indikator KN lengkap cukup baik di
Indonesia yang dapat dilihat dari capaian yang cukup tinggi di sebagian besar provinsi.
Terdapat 26 provinsi telah mencapai Renstra 2013, yaitu 84%, dimana capaian tertinggi
terdapat di Provinsi Jawa Tengah sebesar 95,41%, diikuti oleh Kepulauan Bangka Belitung
sebesar 94,47%, dan DI Yogyakarta sebesar 94,33%. Sedangkan provinsi dengan capaian
terendah adalah Papua sebesar 25,41%, diikuti oleh Papua Barat sebesar 51,79%, dan Sumatera
Utara sebesar 68,22%.
Capaian KN lengkap secara nasional mengalami penurunan dibandingkan tahun 2012,
yaitu dari 87,79% menjadi 87,23% pada tahun 2013. Gambar berikut ini menampilkan cakupan
KN lengkap dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013. Pada tahun 2008, mulai ditetapkan
kebijakan KN lengkap yang mensyaratkan 3 kali kunjungan.
GAMBAR 5.23
CAKUPAN KUNJUNGAN NEONATAL LENGKAP
DI INDONESIA TAHUN 2009-2013
Cakupan KN lengkap nampak mengalami sedikit penurunan dari 78,04% pada tahun
2009 menjadi 71,5% pada tahun 2010. Cakupan ini kembali meningkat menjadi 84,14% pada
tahun 2011. Kemudian cakupan KN lengkap menunjukkan kecenderungan peningkatan seiring
dengan pemberlakuannya kebijakan KN lengkap tahun 2008 yang mensyaratkan 3 kali
kunjungan diimplementasikan.
Informasi lebih lanjut mengenai kunjungan neonatal dapat dilihat pada lampiran 5.22.
GAMBAR 5.24
CAKUPAN KUNJUNGAN BAYI MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
Pada gambar 5.20 di atas dapat dilihat bahwa terdapat 18 provinsi (54,5%) dengan
capaian melebihi 87%. Provinsi DKI Jakarta memiliki capaian tertinggi sebesar 97,29% diikuti
oleh Bali sebesar 96,39% dan Jawa Timur sebesar 95,76%. Provinsi Kepulauan Riau memiliki
capaian terendah sebesar 31,72% diikuti oleh Papua sebesar 35,12%, dan Papua Barat sebesar
56,39%. Informasi lebih rinci menurut provinsi terkait pelayanan kesehatan pada bayi tahun
2013 terdapat pada lampiran 5.27.
Kesehatan Keluarga 93
Dua puluh empat jam pertama setelah ibu melahirkan adalah saat yang sangat penting
untuk keberhasilan menyusui selanjutnya. Pada jam-jam pertama setelah melahirkan
dikeluarkan hormon oksitosin yang bertanggung jawab terhadap produksi ASI.
Waktu pertama kali mendapatkan ASI segera setelah lahir secara bermakna
meningkatkan kesempatan hidup bayi. Jika bayi mulai menyusui dalam waktu 1 jam setelah
lahir, 22 % bayi yang meninggal dalam 28 hari pertama (setara dengan sekitar satu juta bayi
baru lahir setiap tahun di dunia) sebenarnya dapat dicegah. Jika proses menyusui ini dimulai
dalam satu hari pertama, maka hanya 16 % bayi yang dapat diselamatkan.
Inisiasi menyusu dini adalah proses bayi menyusu segera setelah dilahirkan, dimana
bayi dibiarkan mencari puting susu ibunya sendiri (tidak disodorkan ke puting susu).
Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya.,
bagi bayi kehangatan saat menyusu menurunkan risiko kematian karena hypothermia
(kedinginan). Selain itu juga, bayi memperoleh bakteri tak berbahaya dari ibu, menjadikannya
lebih kebal dari bakteri lain di lingkungan. Dengan kontak pertama, bayi memperoleh
kolostrum, yang penting untuk kelangsungan hidupnya, dan bayi memperoleh ASI (makanan
awal) yang tidak mengganggu pertumbuhan, fungsi usus, dan alergi sehingga bayi akan lebih
berhasil menyusu ASI eksklusif dan mempertahankan menyusui. Sedangkan manfaat bagi ibu
adalah menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena proses menyusui akan
merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum).
Pemerintah Indonesia mendukung kebijakan WHO dan Unicef yang merekomendasikan
inisiasi menyusu dini sebagai tindakan penyelamatan kehidupan, karena inisiasi menyusu dini
dapat menyelamatkan 22% dari bayi yang meninggal sebelum usia satu bulan. Maka diharapkan
semua tenaga kesehatan di semua tingkatan pelayanan kesehatan dapat mensosialisasikan
program tersebut.
Hasil Riskesdas 2013 menyatakan bahwa persentase proses mulai mendapat ASI kurang
dari satu jam (inisiasi menyusu dini) pada anak umur 0-23 bulan di Indonesia pada tahun 2013
sebesar 34,5%. Persentase proses mulai mendapat ASI antara 1 6 jam sebesar 35,2%,
persentase proses mulai mendapat ASI antara 7 23 jam sebesar 3,7%, sedangkan persentase
proses mulai mendapat ASI antara 24 47 jam sebesar 13,0% dan persentase proses mulai
mendapat ASI lebih dari 47 jam sebesar 13,7%.
Persentase proses mulai mendapat ASI kurang dari satu jam (inisiasi menyusu dini)
tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Barat sebesar 52,9% diikuti oleh Sulawesi Selatan sebesar
44,9%, dan Sumatera Barat sebesar 44,2%. Sedangkan persentase inisiasi menyusu dini
terendah terdapat di provinsi Papua Barat sebesar 21,7%, diikuti oleh provinsi Riau sebesar
22,1%, dan Kepulauan Riau sebesar 22,7%. Gambaran proses mulai mendapat ASI kurang dari
satu jam (inisiasi menyusu dini) menurut provinsi disajikan pada gambar 5.25.
Data dan Informasi mengenai persentase proses mulai mendapat ASI pada anak umur 0-
23 bulan pada tahun 2013 terdapat pada lampiran 5.21.
Kesehatan Keluarga 95
25,21%, diikuti oleh Jawa Barat sebesar 33,65% dan Sulawesi Utara sebesar 34,67%. Gambaran
pemberian ASI eksklusif menurut provinsi disajikan pada gambar berikut ini.
GAMBAR 5.26
CAKUPAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI 0-6 BULAN
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
Kesehatan Keluarga 97
prevalensi kekurangan vitamin A (KVA) pada balita. Cakupan yang tinggi dari pemberian kapsul
vitamin A dosis tinggi terbukti efektif untuk mengatasi masalah KVA pada masyarakat.
Di beberapa negara dimana kekurangan vitamin A telah terjadi secara luas, dan anak
sering meninggal karena diare, dan campak, vitamin A dalam bentuk kapsul dosis tinggi
dibagikan dua kali dalam setahun kepada anak usia enam bulan hingga lima tahun. Diare dan
campak dapat menguras vitamin A dari tubuh anak. Anak yang menderita diare atau campak,
atau menderita kurang gizi harus diobati dengan suplemen vitamin A dosis tinggi yang bisa
diperoleh dari petugas kesehatan terlatih.
Masalah vitamin A pada balita secara klinis bukan lagi masalah kesehatan masyarakat
(prevalensi xeropthalmia < 0,5%). Hasil studi masalah gizi mikro di 10 kota pada 10 provinsi
tahun 2006, diperoleh prevalensi xeropthalmia pada balita 0,13%, sedangkan hasil survey
vitamin A pada tahun 1992 menunjukkan prevalensi xeropthalmia sebesar 0,33%.
Namun demikian KVA subklinis, yaitu tingkat yang belum menampakkan gejala nyata,
masih ada pada kelompok balita. KVA tingkat subklinis ini hanya dapat diketahui dengan
memeriksa kadar vitamin A dalam darah di laboratorium. Selain itu, sebaran cakupan
pemberian vitamin A pada balita menurut provinsi masih ada yang dibawah 75%. Dengan
demikian kegiatan pemberian vitamin A pada balita masih perlu dilanjutkan, karena bukan
hanya untuk kesehatan mata dan mencegah kebutaan, namun lebih penting lagi, vitamin A
meningkatkan kelangsungan hidup, kesehatan dan pertumbuhan anak.
Pemberian kapsul vitamin A dilakukan terhadap bayi (6-11 bulan) dengan dosis
100.000 SI, anak balita (12-59 bulan) dengan dosis 200.000 SI, dan ibu nifas diberikan kapsul
vitamin A 200.000 SI, sehingga bayinya akan memperoleh vitamin A yang cukup melalui ASI.
Pemberian Kapsul Vitamin A diberikan secara serentak setiap bulan Februari dan Agustus pada
balita usia 6-59 bulan.
Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada balita usia 6-59 bulan di Indonesia tahun
2013 mencapai 83,9%. Capaian ini sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2012 yang sebesar
82,8%. Dengan peningkatan yang tidak terlalu tinggi, maka masih diperlukan upaya untuk
meningkatkan cakupan pemberian kapsul vitamin A. Upaya tersebut antara lain melalui
peningkatan integrasi pelayanan kesehatan anak, sweeping pada daerah yang cakupannya
masih rendah dan kampanye pemberian kapsul vitamin A.
Provinsi dengan cakupan pemberian vitamin A tertinggi pada tahun 2013 adalah DI
Yogyakarta sebesar 98,88%, diikuti oleh Jawa Tengah sebesar 98,61% dan Bali sebesar 96,79%.
Sedangkan cakupan terendah terdapat di Provinsi Papua sebesar 45,92%, diikuti oleh Papua
Barat sebesar 50,70% dan Maluku sebesar 62,91%. Cakupan pemberian kapsul vitamin A
menurut provinsi ditampilkan pada gambar 5.27.
Data dan informasi tentang pemberian vitamin A pada balita yang dirinci menurut
provinsi pada tahun 2013 dapat dilihat pada lampiran 5.31.
Menurut data Riskesdas 2013, persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul
vitamin A selama enam bulan terakhir tahun 2013 di Indonesia tahun 2013 mencapai 75,5%.
Provinsi dengan cakupan pemberian vitamin A tertinggi berdasarkan Riskesdas 2013
adalah Nusa Tenggara Barat sebesar 89,20%, diikuti oleh DI Yogyakarta sebesar 84,40% dan
Jawa Tengah sebesar 84,00%. Sedangkan cakupan terendah terdapat di Provinsi Sumatera
Utara sebesar 52,30%, diikuti oleh Papua sebesar 53,10% dan Sulawesi Barat sebesar 59,60%.
Cakupan pemberian kapsul vitamin A menurut provinsi dari hasil Riskesdas tahun 2013
ditampilkan pada gambar berikut ini.
Kesehatan Keluarga 99
GAMBAR 5.28
PERSENTASE PEMBERIAN KAPSUL VITAMIN A PADA ANAK UMUR (6-59 BULAN)
SELAMA ENAM BULAN TERAKHIR
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS TAHUN 2013
Data dan informasi tentang pemberian vitamin A pada balita selama enam bulan
terakhir yang dirinci menurut provinsi pada tahun 2013 dari hasil Riskesdas dapat dilihat pada
lampiran 5.32.
GAMBAR 5.29
CAKUPAN PENIMBANGAN BALITA (D/S)
DI INDONESIATAHUN 2013
Pada gambar diatas diketahui bahwa provinsi yang memiliki capaian tertinggi adalah
Jawa tengah sebesar 89,43%, diikuti oleh Gorontalo sebesar 88,42%, dan Jawa Timur sebesar
88,36%. Sedangkan capaian terendah terdapat di Provinsi Papua sebesar 38,85%, diikuti oleh
DKI Jakarta sebesar 54,37% dan Papua Barat sebesar 56,50%.
Setiap anak harus memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS) yang terdapat dalam buku KIA
agar dapat dipantau pertumbuhannya. Dengan KMS terlihat apakah anak tumbuh dengan baik
sesuai usianya. KMS diberikan pada orang tua pada saat kunjungan balita ke Posyandu. Maka
kunjungan balita ke Posyandu sangat berkaitan dengan indikator D/S.
Namun demikian terdapat beberapa kendala yang dihadapi terkait dengan kunjungan
balita ke posyandu. Permasalahan tersebut antara lain : dana operasional dan sarana prasarana
untuk menggerakkan kegiatan Posyandu, tingkat pengetahuan kader dan kemampuan petugas
dalam pemantauan pertumbuhan dan konseling, tingkat pemahaman keluarga dan masyarakat
terhadap manfaat Posyandu, serta pelaksanaan pembinaan kader. Data dan informasi tentang
penimbangan balita di posyandu pada tahun 2013 terdapat pada lampiran 5.34.
Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki capaian
tertinggi sebesar 109,37% diikuti oleh Nusa Tenggara Barat sebesar 107,9% dan Jambi sebesar
104,86%. Sedangkan provinsi dengan cakupan terendah adalah Papua sebesar 66,93%, diikuti
oleh Papua Barat sebesar 76,59% dan Nusa Tenggara Timur sebesar 80,69%.
Sedangkan berdasarkan laporan Riskesdas 2013, persentase imunisasi campak secara
pada anak 12 23 bulan secara nasional sebesar 82,1%. Capaian tersebut belum memenuhi
target 90% yang menjadi komitmen Indonesia pada lingkup regional. Menurut Riskesdas 2013,
GAMBAR 5.31
CAKUPAN IMUNISASI CAMPAK
PADA ANAK UMUR 12-23 BULAN MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa yang memiliki capaian tertinggi adalah
Provinsi DI Yogyakarta sebesar 98,1% diikuti oleh Gorontalo sebesar 94,9% dan Sulawesi Utara
sebesar 94,4%%. Sedangkan provinsi dengan cakupan terendah adalah Papua sebesar 56,8%,
diikuti oleh Aceh sebesar 62,4% dan Banten sebesar 66,7%.
Program imunisasi pada bayi mengharapkan agar setiap bayi mendapatkan kelima jenis
imunisasi dasar lengkap. Keberhasilan seorang bayi dalam mendapatkan 5 jenis imunisasi dasar
tersebut diukur melalui indikator imunisasi dasar lengkap. Capaian indikator ini di Indonesia
pada tahun 2013 sebesar 90,00%. Angka ini telah memenuhi target Renstra pada tahun 2013
yang sebesar 88%. Dengan demikian terdapat 15 provinsi (45,45%) yang telah memenuhi
target Renstra tahun 2013.
Tiga provinsi dengan capaian imunisasi dasar lengkap pada bayi yang tertinggi pada
tahun 2013 adalah di Provinsi Jawa Tengah sebesar 100,73% diikuti oleh Nusa Tenggara Barat
sebesar 99,47%, dan Jawa Timur sebesar 99,31%. Sedangkan tiga provinsi dengan capaian
terendah adalah Papua sebesar 66,57%, diikuti oleh Papua Barat sebesar 67,66%, dan Sulawesi
Tenggara sebesar 69,90%. Data dan informasi terkait imunisasi dasar pada bayi yang dirinci
menurut provinsi tahun 2013 terdapat pada lampiran 5.24.
Pada Gambar 5.14 dapat diketahui bahwa terdapat tiga provinsi memiliki capaian
tertinggi sebesar 100%, yaitu DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Jambi. Kemudian diikuti oleh
Lampung sebesar 99,27%. Sedangkan Provinsi Papua memiliki capaian terendah sebesar
13,05%, diikuti oleh Papua Barat sebesar 41,21%, dan Sulawesi Tenggara sebesar 56,50%.
Informasi terkait capaian desa UCI pada tahun 2011 - 2013 menurut provinsi terdapat pada
lampiran 5.29.
Imunisasi dasar pada bayi seharusnya diberikan pada anak sesuai dengan umurnya.
Pada kondisi ini, diharapkan sistem kekebalan tubuh dapat bekerja secara optimal. Namun
demikian, pada kondisi tertentu beberapa bayi tidak mendapatkan imunisasi dasar secara
lengkap. Kelompok inilah yang disebut dengan drop out (DO) imunisasi. Bayi yang
mendapatkan imunisasi DPT/HB1 pada awal pemberian imunisasi, namun tidak mendapatkan
imunisasi campak, disebut Drop Out Rate DPT/HB1- Campak. Indikator ini diperoleh dengan
menghitung selisih penurunan cakupan imunisasi campak terhadap cakupan imunisasi
DPT/HB1.
Drop Out Rate imunisasi DPT/HB1-Campak pada tahun 2013 sebesar 3,3%. Angka ini
lebih rendah dibandingkan tahun 2011 sebesar 3,6%. DO Rate DPT/HB1-Campak menunjukkan
kecenderungan penurunan sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 yang artinya semakin
sedikit bayi yang tidak mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap. Kecenderungan
penurunan tersebut dijelaskan pada gambar berikut.
DO rate DPT/HB1-campak diharapkan agar tidak melebihi 5%. Batas maksimal tersebut
telah berhasil dipenuhi sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2013. Pada tahun 2013 terdapat
19 provinsi dengan DO rate 5%. Data dan informasi lebih rinci mengenai drop out rate
cakupan imunisasi pada tahun 2013 DPT/HB1-campak tahun 2013 terdapat pada lampiran
5.26.
GAMBAR 5.35
CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN ANAK BALITA
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
Penurunan terjadi dari kondisi pada tahun 2012 dimana terdapat 7 provinsi yang
memiliki capaian kurang dari target 81%, pada tahun 2013 tampak hanya 4 provinsi yang
memiliki capaian melebihi target 83%, yaitu DKI Jakarta, Bali, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah,
seperti yang tampak pada gambar 5.2.9 diatas. DKI Jakarta memiliki capaian tertinggi yaitu
sebesar 93,80%, diikuti oleh Bali sebesar 87,98%, dan DI Yogyakarta sebesar 85,46%.
Sedangkan provinsi dengan capaian terendah adalah Papua sebesar 8,43%, diikuti oleh
Kepulauan Riau sebesar 25,23%, dan Sulawesi Tengah sebesar 38,60%. Data dan informasi
menurut provinsi terkait upaya pelayanan kesehatan anak balita disajikan pada lampiran 5.27
Dari gambar 5.30 diketahui bahwa sebagian besar provinsi belum memenuhi target
94%, hanya 6 provinsi yang telah mencapai target Renstra 2013 yaitu Bali, DI Yogyakarta,
Kepulauan Bangka Belitung, DKI Jakarta, Sumatera Barat, dan Riau. Ada dua provinsi dengan
capaian 100%, yakni provinsi Bali dan DI Yogyakarta. Kemudian diikuti oleh Kepulauan Bangka
Belitung sebesar 99,63%, DKI Jakarta sebesar 99,07%, Sumatera Barat sebesar 96,83%, dan
Riau sebesar 94,98%. Sedangkan capaian terendah terdapat di Provinsi Maluku sebesar
13,69%, diikuti oleh Nusa Tenggara Timur sebesar 17,81%, dan Papua sebesar 17,85%.
Sedikitnya jumlah provinsi yang telah memenuhi target Renstra Kemenkes berarti sulit
terpenuhinya target penjaringan SD/MI. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa masalah.
Masalah utama yang sering ditemukan di daerah adalah kurangnya tenaga di Puskesmas
sedangkan jumlah SD/MI cukup banyak, sehingga untuk melaksanakan penjaringan kesehatan
membutuhkan waktu lebih lama. Selain itu juga manajemen pelaporan belum terintegrasi
dengan baik. Walaupun kegiatan penjaringan kesehatan telah dilaksanakan di Puskesmas
namun di beberapa Provinsi, pengelola program UKS di Kabupaten/Kota berada pada struktur
organisasi yang berbeda sehingga menjadi penyebab koordinasi pencatatan dan pelaporan
tidak berjalan dengan baik . Data dan informasi tentang cakupan penjaringan siswa
SD/sederajat kelas 1 menurut provinsi terdapat pada lampiran 5.39.
Berdasarkan target tahun 2013 yang ditentukan oleh program yaitu 70%, terdapat 27
provinsi telah melampaui target tersebut. Hanya 6 provinsi yang belum mencapai target tahun
2013. Persentase kabupaten/kota dengan minimal 4 puskesmas mampu tata laksana PKPR di
Indonesia tahun 2013 sebesar 81,6%, mengalami peningkatan dari tahun 2012 yang sebesar
77,67%.
Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2013 terdapat 81,69%
kabupaten/kota di Indonesia yang telah memiliki 4 puskesmas mampu laksana PKPR. Pada
tahun 2013 terdapat 11 provinsi dengan persentase 100%, jumlah ini lebih tinggi dibandingkan
tahun 2012 yang sebanyak 10 provinsi. Provinsi dengan persentase 100% artinya seluruh
kabupaten telah memiliki sedikitnya 4 Puskesmas mampu PKPR. Jumlah kab/kota yang
memiliki minimal 4 puskesmas PKPR pada tahun 2013 sebanyak 406 kab/kota. Jumlah
puskesmas PKPR tahun 2013 sebesar 3.077 puskesmas tersebar di 33 provinsi. Data dan
informasi lebih rinci menurut provinsi terkait persentase kabupaten/kota dengan puskesmas
mampu laksana PKPR disajikan pada lampiran 5.37.
Untuk keberhasilan dalam pengembangan pelaksanaan PKPR digunakan strategi
sebagai berikut:
1. Peningkatan Akses dan Kualitas Penyelenggaraan PKPR
Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan terlatih tentang penyelenggraan PKPR
khususnya dalam memberikan konseling. Pelatihan di tingkat provinsi didukung oleh
dana dekon terutama untuk provinsi yang belum mencapai target indikator
Kabupaten/Kota yang memiliki minimal 4 puskesmas mampu laksana PKPR.
GAMBAR 5.38
PERSENTASE KABUPATEN/KOTA
DENGAN MINIMAL 2 PUSKESMAS MAMPU TATA LAKSANA KTA
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
Pada gambar 5.32 di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2013 terdapat 76,26%
kabupaten/kota di Indonesia yang telah memiliki 2 puskesmas mampu laksana KtA. Pada tahun
2013 terdapat 14 provinsi dengan persentase 100%, jumlah ini sama dengan kondisi pada
tahun 2012 yaitu sebanyak 13 provinsi. Provinsi dengan persentase 100% artinya seluruh
kabupaten/kota di provinsi tersebut telah memiliki sedikitnya 2 Puskesmas mampu
Tatalaksana KtA. Provinsi tersebut yaitu Papua Barat, Maluku, Sulawesi Tenggara, Kalimantan
Timur, Kalimantan Selatan, NTB, Bali, Banten, DIY, Jakarta, Sumatera Selatan, Jambi dan
Sulawesi Utara. Sedangkan provinsi yang capaiannya dibawah target (75 %) adalah Papua,
Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Maluku Utara, Kepulauan Riau, Bengkulu, Sulawesi barat dan
Kalimantan Barat. Data dan informasi lebih rinci menurut provinsi terkait persentase
kabupaten/kota dengan puskesmas mampu laksana KtA disajikan pada lampiran 5.36.
C. STATUS GIZI
1. Status Gizi Balita
Setiap tahun lebih dari sepertiga kematian anak di dunia berkaitan dengan masalah
kurang gizi, yang dapat melemahkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Ibu yang mengalami
kekurangan gizi pada saat hamil, atau anaknya mengalami kekurangan gizi pada usia 2 tahun
pertama, pertumbuhan serta perkembangan fisik dan mentalnya akan lambat.
Salah satu indikator kesehatan yang dinilai pencapaiannya dalam MDGs adalah status
gizi balita. Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan
GAMBAR 5.39
PERSENTASE BALITA KEKURANGAN GIZI
BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR BB/U
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS TAHUN 2013
GAMBAR 5.40
PERSENTASE BALITA DENGAN TINGGI BADAN DI BAWAH NORMAL
BERDASARKAN TINGGI BADAN MENURUT UMUR TB/U
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS, TAHUN 2013
GAMBAR 5.41
PERSENTASE BALITA KURUS BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT TINGGI BADAN (BB/TB)
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS TAHUN 2013
Angka ini menurun dibandingkan tahun 2010 dengan persentase 13,3%. Prevalensi
sangat kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3 %, terdapat penurunan
dibandingkan tahun 2010 (6,0 %) dan tahun 2007 (6,2%). Demikian pula halnya dengan
prevalensi kurus sebesar 6,8 persen juga menunjukkan adanya penurunan dari 7,3 persen
(tahun 2010) dan 7,4 % (tahun 2007).
Terdapat 17 provinsi dimana prevalensi balita kurus diatas angka nasional, dengan
urutan dari prevalensi tertinggi, adalah: Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Riau, Nusa Tenggara
GAMBAR 5.42
PERSENTASE KELEBIHAN BERAT BADAN PADA PENDUDUK DEWASA
BERDASARKAN KATEGORI INDEKS MASA TUBUH
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS, TAHUN 2013
***
A. PENGENDALIAN PENYAKIT
Selain membahas pengendalian penyakit yang menjadi prioritas pembangunan
kesehatan nasional, pada subbab ini juga dibahas pengendalian penyakit di daerah tropis yang
salah satunya disebabkan oleh nyamuk, juga neglected disease seperti filariasis.
1. Penyakit Menular
a. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi
basil tuberkulosis.
Beban penyakit yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat diukur dengan case notification rate
(CNR) dan prevalensi (didefinisikan sebagai jumlah kasus tuberkulosis pada suatu titik waktu
tertentu) dan mortalitas/kematian (didefinisikan sebagai jumlah kematian akibat tuberkulosis dalam
jangka waktu tertentu).
Kasus baru BTA+ pada kelompok umur 0-14 tahun merupakan proporsi yang paling
rendah. Dari Gambar 6.1 terlihat bahwa kasus tuberkulosis rata-rata terjadi pada orang dewasa.
GAMBAR 6.2
PROPORSI BTA+ DI ANTARA SELURUH KASUS TB PARU
DI INDONESIA TAHUN 2008-2013
GAMBAR 6.3
PROPORSI BTA+ DI ANTARA SELURUH KASUS TB PARU
MENURUT PROVINSITAHUN 2013
INDONESIA 60
Sulawesi Tenggara 95
Sulawesi Utara 92
Jambi 90
Gorontalo 89
Sulawesi Barat 88
Kalimantan Barat 83
Aceh 82
Sumatera Utara 77
Lampung 77
Sulawesi Tengah 75
Bengkulu 75
Sulawesi Selatan 73
Nusa Tenggara Timur 72
Sumatera Barat 70
Maluku Utara 68
Kalimantan Selatan 67
Sumatera Selatan 67
Riau 67
Nusa Tenggara Barat 65
Kep. Bangka Belitung 63
Kalimantan Timur 58
Banten 58
Kalimantan Tengah 57
Maluku 57
Jawa Timur 56
Jawa Barat 54
Jawa Tengah 51
Bali 49
DI Yogyakarta 48
Kepulauan Riau 44 target
Papua 38 minimal 65%
DKI Jakarta 36
Papua Barat 35
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
(%)
Gambar 6.5 berikut memperlihatkan besarnya angka notifikasi atau CNR BTA+ menurut
provinsi tahun 2013.
GAMBAR 6.5
ANGKA NOTIFIKASI KASUS TB PARU BTA+
PER 100.000 PENDUDUK MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
GAMBAR 6.6
ANGKA KESEMBUHAN DAN KEBERHASILAN PENGOBATAN TB BTA+
DI INDONESIA TAHUN 2008-2013
Pada Gambar 6.6 terlihat perkembangan angka keberhasilan pengobatan tahun 2008-2013.
Pada tahun 2013 angka keberhasilan pengobatan sebesar 90,5%. WHO menetapkan standar angka
keberhasilan pengobatan sebesar 85%. Dengan demikian pada tahun 2013, Indonesia telah
mencapai standar tersebut.
Sementara Kementerian Kesehatan menetapkan target Renstra minimal 87% untuk angka
keberhasilan pengobatan pada tahun 2013. Berdasarkan hal tersebut, capaian angka keberhasilan
pengobatan tahun 2013 yang sebesar 90,5% juga telah memenuhi target Renstra.
Informasi mengenai Tuberkulosis menurut provinsi secara rinci dapat dilihat pada Lampiran
6.1-6.5.
v. Prevalensi tuberkulosis
Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi Tb berdasarkan diagnosis sebesar 0,4% dari
jumlah penduduk. Dengan kata lain, rata-rata tiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 400
orang yang didiagnosis kasus Tb oleh tenaga kesehatan. Penyakit Tb paru ditanyakan pada
responden untuk kurun waktu 1 tahun berdasarkan diagnosis yang ditegakkan oleh tenaga
kesehatan melalui pemeriksaan dahak, foto toraks atau keduanya. Hasil Riskesdas 2013
tersebut tidak berbeda dengan Riskesdas 2007 yang menghasilkan angka prevalensi TB paru
0,4%.
TABEL 6.1
PREVALENSI TB PARU BERDASARKAN DIAGNOSIS DAN GEJALA TB PARU MENURUT KARAKTERISTIK,
RISKESDAS 2013
Prevalensi TB paru pada laki-laki sebesar 0,4%, lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuan yang sebesar 0,3%. Prevalensi TB paru pada penduduk di perkotaan sebesar 0,4%,
lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk di perdesaan yang sebesar 0,3%.
Sebelum memasuki fase AIDS, penderita terlebih dulu dinyatakan sebagai HIV positif. Jumlah
HIV positif yang ada di masyarakat dapat diketahui melalui 3 metode, yaitu pada layanan Voluntary,
Counseling, and Testing(VCT), sero survey, dan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP).
Setelah tiga tahun berturut-turut (2010-2012) cukup stabil, perkembangan jumlah kasus
baru HIV positif pada tahun 2013 kembali mengalami peningkatan secara signifikan, dengan
kenaikan mencapai 35% dibanding tahun 2012. Perkembangan HIV positif sampai tahun 2013
disajikan pada Gambar 6.7 berikut ini.
GAMBAR 6.7
JUMLAH KASUS BARU HIV POSITIF
DI INDONESIA SAMPAI TAHUN 2013
Pemetaan epidemi HIV di Indonesia dibagi menjadi lima kategori, yaitu <90 kasus, 90-
206 kasus, 207-323 kasus, 324-440 kasus, dan >440 kasus. Gambar 6.8 berikut ini
memperlihatkan distribusi HIV di Indonesia.
Pada gambar 6.8, terlihat bahwa lebih dari dua per lima provinsi (14 provinsi) di
Indonesia memiliki jumlah kasus HIV > 440, meliputi seluruh provinsi di Pulau Papua dan Pulau
Jawa Bali serta beberapa provinsi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Jumlah kasus HIV
pada kelompok tersebut menyumbang hampir 90% dari seluruh jumlah kasus HIV di Indonesia.
Provinsi dengan jumlah HIV tertinggi yaitu DKI Jakarta, Papua, dan Jawa Timur.
Sebanyak 6 provinsi memiliki jumlah kasus HIV kurang dari 90 kasus. Bahkan Sulawesi
Barat tidak dilaporkan adanya kasus baru HIV positif pada tahun 2013.
Gambar berikut ini menampilkan kasus baru dan kumulatif penderita AIDS yang terjadi
sampai dengan tahun 2013.
GAMBAR 6.9
JUMLAH KASUS BARU DAN KUMULATIF PENDERITA AIDS
YANG TERDETEKSI DARI BERBAGAI SARANA KESEHATAN
DI INDONESIA SAMPAI TAHUN 2013
Menurut jenis kelamin, persentase kasus baru AIDS tahun 2013 pada kelompok laki-laki
1,9 kali lebih besar dibandingkan pada kelompok perempuan seperti digambarkan berikut ini.
GAMBAR 6.10
PROPORSI KASUS BARU AIDS MENURUT JENIS KELAMIN
DI INDONESIA TAHUN 2013
Penderita AIDS pada laki-laki sebesar 55,1% dan pada perempuan sebesar 29,7%.
Sebesar 15,2% penderita AIDS tidak diketahui jenis kelaminnya. DKI Jakarta merupakan
provinsi yang tidak melaporkan jenis kelamin penderita AIDS.
Pada Gambar 6.11 berikut ini disajikan penderita AIDS menurut kelompok umur.
GAMBAR 6.11
PERSENTASE KASUS BARU AIDS MENURUT KELOMPOK UMUR
DI INDONESIA TAHUN 2013
20-29 tahun
25,3%
6 0 tahun
0,7%
50-59 tahun
4,0%
30-39 tahun
26,0%
40-49 tahun
11,6%
Gambaran kasus baru AIDS menurut kelompok umur menunjukkan bahwa sebagian
besar kasus baru AIDS terdapat pada usia 20-29 tahun, 30-39 tahun, dan 40-49 tahun.
HIV/AIDS dapat ditularkan melalui beberapa cara penularan, yaitu hubungan seksual
lawan jenis (heteroseksual), hubungan sejenis melalui Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL),
penggunaan alat suntik secara bergantian, transfusi darah dan dari ibu ke anak. Berikut ini
disajikan persentase kasus AIDS menurut cara penularan tersebut.
GAMBAR 6.12
PERSENTASE KASUS AIDS MENURUT FAKTOR RISIKO
DI INDONESIA TAHUN 2013
Pada gambar di atas nampak bahwa hubungan heteroseksual masih merupakan cara
penularan dengan persentase tertinggi pada kasus AIDS yaitu sebesar 78%, diikuti oleh
penasun atau Injecting Drug User (IDU) sebesar 9,3% dan homoseksual sebesar 4,3%.
GAMBAR 6.13
ANGKA KEMATIAN AKIBAT AIDS YANG DILAPORKAN
DI INDONESIA TAHUN 2004-2013
Hasil SDKI 2012 menunjukan bahwa persentase wanita umur 15-49 tahun yang pernah
mendengar tentang HIV AIDS sebesar 76,7%. Sedangkan pria kawin umur 15-54 tahun yang
pernah mendengar tentang HIV AIDS sebesar 82,3%. Tabel berikut ini memperlihatkan
persentase responden yang pernah mendengar tentang HIV AIDS menurut karakteristik latar
belakang.
TABEL 6.2
PERSENTASE WANITA UMUR 15-49 TAHUN DAN PRIA KAWIN 15-54 TAHUN1 YANG PERNAH MENDENGAR
TENTANG HIV AIDS MENURUT KARAKTERISTIK LATAR BELAKANG
TAHUN 2012
Kelompok Umur (Tahun)
Karakteristik latar belakang
Wanita Pria
Umur
15-24 84,4 83,8
15-19 84,8 79,6
20-24 84,0 84,1
25-29 82,2 85,4
30-39 78,3 88,9
40-49 62,8 79,6
50-54 t.a.d 68,2
Status perkawinan
Belum kawin 88,2 t.a.d
Pernah berhubungan seks 82,6 t.a.d
Tidak pernah berhubungan seks 88,3 t.a.d
Kawin atau hidup bersama 74,3 82,3
Cerai/janda/duda 62,6 t.a.d
Tempat tinggal
Perkotaan 87,0 91,5
Perdesaan 65,6 72,8
Pendidikan
Tidak sekolah 88,2 t.a.d
Tidak tamat SD 82,6 t.a.d
Tamat SD 88,3 t.a.d
Tidak tamat SMTA 74,3 82,3
Tamat SMTA+ 62,6 t.a.d
Data pada Tabel 6.2 memperlihatkan bahwa persentase penduduk yang oernah
mendengan tentang HIV AIDS di perkotaan lebih tinggi dibanding di perdesaan baik pada
wanita maupun pria kawin. Persentase wanita yang pernah mendengar tentang HIV-AIDS
meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan.
Hasil SDKI 2012 juga menunjukkan bahwa persentase wanita umur 15-49 tahun yang
memiliki pengetahuan tentang cara mengurangi risiko HIV AIDS dengan menggunakan kondom
dan membatasi berhubungan seks dengan satu pasangan sebesar 37,3%. Sedangkan pria kawin
umur 15-54 tahun yang memiliki pengetahuan yang sama sebesar 49,1%. Tabel berikut ini
TABEL 6.3
PERSENTASE WANITA UMUR 15-49 TAHUN DAN PRIA KAWIN 15-541 TAHUN
TENTANG CARA MENGURANGI RISIKO TERKENA HIV AIDS
MENURUT KARAKTERISTIK LATAR BELAKANG TAHUN 2012
Persentase wanita yang mengatakan HIV-AIDS Persentase pria yang mengatakan HIV-AIDS
dapat dihindari dengan: dapat dihindari dengan:
Menggunaka
Menggunakan
n kondom
Karakteristik Membatasi Membatasi kondom dan
dan
latar belakang berhubungan berhubungan membatasi
Menggunakan membatasi Menggunakan
seks hanya seks hanya berhubungan
kondom2 berhubungan kondom2
dengan satu dengan satu seks hanya
seks hanya
pasangan3 pasangan3 dengan satu
dengan satu
pasangan3
pasangan3
Umur
15-24 44,5 62,5 38,2 53,2 63,2 44,2
15-19 40,5 61,0 34,3 61,1 62,3 58,4
20-24 49,0 64,0 42,5 52,6 63,3 43,0
25-29 47,6 62,5 41,4 60,9 63,8 50,4
30-39 45,9 60,4 40,5 65,8 69,6 55,8
40-49 34,6 45,8 30,0 56,3 60,1 47,3
50-54 t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d 49,8 35,8
Status perkawinan
Belum kawin 46,4 65,9 40,0 t.a.d t.a.d t.a.d
Pernah
berhubungan
seks
50,9 62,5 46,2 t.a.d t.a.d t.a.d
Tidak pernah
berhubungan
seks 46,3 66,0 39,9 t.a.d t.a.d t.a.d
Kawin atau hidup
bersama 42,5 56,0 37,1 58,0 62,1 48,3
Cerai/janda/duda 32,5 44,7 27,9 t.a.d t.a.d t.a.d
Tempat tinggal
Perkotaan 51,5 68,2 45,4 68,2 72,0 57,2
Perdesaan 33,5 46,0 28,4 48,4 53,2 40,6
Pendidikan
Tidak sekolah 5,9 8,1 4,1 15,7 14,5 10,9
Tidak tamat SD 14,0 22,6 10,6 25,6 31,8 20,6
Tamat SD 28,6 41,2 23,8 49,3 51,6 38,2
Tidak tamat 43,0 60,7 36,1 62,8 68,1 52,7
SMTA
Tamat SMTA+ 63,9 80,6 57,8 77,3 81,9 67,3
Pengetahuan pria mengenai HIV-AIDS relatif lebih tinggi dibanding wanita Sebanyak
37,3% wanita dan 49,1% pria kawin mengetahui cara mengurangi risiko penularan HIV AIDS
dengan menggunakan kondom dan membatasi seks hanya dengan satu partner (pasangan).
c. Pneumonia
Pneumonia adalah penyakit yang disebabkan kuman pneumococcus, staphylococcus,
streptococcus, dan virus. Gejala penyakit pneumonia yaitu menggigil, demam, sakit kepala,
batuk, mengeluarkan dahak, dan sesak napas. Populasi yang rentan terserang pneumonia
adalah anak-anak usia kurang dari 2 tahun, usia lanjut lebih dari 65 tahun dan orang yang
memiliki masalah kesehatan (malnutrisi, gangguan imunologi).
Dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007 yang sebesar 2,13%, period prevalence
pneumonia berdasarkan diagnosis/gejala pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi
1,8%.Pada balita, period prevalence berdasarkan diagnosis sebesar 2,4 per 1.000 balita dan
berdasarkan diagnosis/gejala sebesar 18,5 per 1.000 balita.
GAMBAR 6.14
PERIOD PREVALENCE PNEUMONIA BERDASARKAN DIAGNOSIS/GEJALA
MENURUT PROVINSI, RISKESDAS 2007 DAN 2013
Pada Gambar 6.14 terlihat bahwa sebagian besar provinsi mengalami penurunan period
prevalence pneumonia pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2007. Terdapat 11 provinsi
(33,3%) yang mengalami kenaikan period prevalence pneumonia pada tahun 2013.
Menurut umur, period prevalence pneumonia tertinggi terjadi pada kelompok umur
balita terutama usia <1 tahun. Menurut daerah tempat tinggal, di perdesaan period prevalence
pneumonia (2,0%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (1,6%). Sedangkan menurut status
ekonomi dengan menggunakan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah kuintil indeks
kepemilikan semakin tinggi period prevalence pneumonia.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini yaitu dengan
meningkatkan penemuan pneumonia pada balita. Perkiraan kasus pneumonia pada balita di
GAMBAR 6.15
CAKUPAN PENEMUAN PNEUMONIA PADA BALITA
DI INDONESIA TAHUN 2008-2013
Sampai dengan tahun 2013, angka cakupan penemuan pneumonia balita tidak
mengalami perkembangan berarti yaitu berkisar antara 23%-27%. Selama beberapa tahun
terakhir cakupan penemuan pneumonia tidak pernah mencapai target nasional, termasuk
target tahun 2013 yang sebesar 80%.
Angka kematian akibat pneumonia pada balita sebesar 1,19%. Pada kelompok bayi
angka kematian lebih tinggi yaitu sebesar 2,89% dibandingkan pada kelompok umur 1-4 tahun
yang sebesar 0,20%. Cakupan penemuan pneumonia dan kematiannya menurut provinsi dan
kelompok umur dapat dilihat pada Lampiran 6.10 dan 6.11.
d. Kusta
Penyakit Kusta disebut juga sebagai penyakit Lepra atau penyakit Hansen disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini mengalami proses pembelahan cukup lama
antara 23 minggu. Daya tahan hidup kuman kusta mencapai 9 hari di luar tubuh manusia.
Kuman kusta memiliki masa inkubasi 25 tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5
tahun. Penatalaksanaan kasus yang buruk dapat menyebabkan kusta menjadi progresif,
menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota gerak, dan mata.
Selama periode 2008-2013, angka penemuan kasus baru kusta pada tahun 2013
merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka
prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per 10.000 (7,9 hingga 9,6 per 100.000
penduduk) dan telah mencapai target < 1 per 10.000 penduduk (< 10 per 100.000 penduduk).
Pada tahun 2013 dilaporkan 16.856 kasus baru kusta, lebih rendah dibandingkan tahun
2012 yang sebesar 18.994 kasus. Sebesar 83,4% kasus di antaranya merupakan tipe Multi
Basiler. Sedangkan menurut jenis kelamin, 35,7% penderita berjenis kelamin perempuan.
9,4 9,6
10 9,1 9,1
8,4
7,9
(per 100.000 penduduk)
8
8,30
7,60 7,49 7,76
6
7,22
6,79
2
Angka prevalensi kusta per 100.000 penduduk
Angka penemuan kasus baru kusta per 100.000 penduduk
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Berdasarkan bebannya, kusta dibagi menjadi 2 kelompok yaitu beban kusta tinggi (high
burden) dan beban kusta rendah (low burden). Provinsi disebut high burden jika NCDR (new
case detection rate: angka penemuan kasus baru)> 10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah
kasus baru lebih dari 1.000, sedangkan low burden jika NCDR < 10 per 100.000 penduduk dan
atau jumlah kasus baru kurang dari 1.000 kasus.
Pada Gambar 6.17 terlihat bahwa sebanyak 14 provinsi (42,4%) termasuk dalam beban
kusta tinggi. Sedangkan 19 provinsi lainnya (57,6%) termasuk dalam beban kusta rendah.
Hampir seluruh provinsi di bagian timur Indonesia merupakan daerah dengan beban kusta
tinggi.
GAMBAR 6.17
ANGKA PENEMUAN KASUS BARU KUSTA PER 100.000 PENDUDUK
MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013
Pengendalian kasus kusta antara lain dengan meningkatkan deteksi kasus sejak dini.
Indikator yang digunakan untuk menunjukkan keberhasilan dalam mendeteksi kasus baru
kusta yaitu angka cacat tingkat II. Angka cacat tingkat II pada tahun 2013 sebesar 6,82 per 1 juta
penduduk, menurun dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 8,71 per 1 juta penduduk.
Berikut grafik angka cacat tingkat 2 selama enam tahun terakhir.
Provinsi dengan angka cacat tingkat II per 1 juta penduduk tertinggi pada tahun 2013
yaitu Papua (26,88), Aceh (18,62), dan Papua Barat (17,72). Hal itu menunjukkan kemampuan
mendeteksi kasus baru kusta di ketiga provinsi tersebut masih rendah.
GAMBAR 6.19
ANGKA CACAT TINGKAT II KUSTA PER 1.000.000 PENDUDUK
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
INDONESIA 6,82
Kalimantan Barat 0,00
DI Yogyakarta 0,00
Riau 0,16
Kalimantan Tengah 0,43
Bali 0,48
Lampung 1,02
Kepulauan Riau 1,03
Sumatera Utara 1,72
Kalimantan Timur 1,76
Nusa Tenggara Timur 1,81
DKI Jakarta 2,70
Jambi 2,70
Kepulauan Bangka Belitung 2,99
Sulawesi Barat 3,19
Sumatera Barat 3,38
Nusa Tenggara Barat 4,94
Kalimantan Selatan 5,47
Banten 5,55
Jawa Barat 5,78
Jawa Tengah 6,03
Bengkulu 6,11
Sulawesi Tenggara 6,33
Maluku 7,82
Sulawesi Tengah 8,25
Sumatera Selatan 8,27
Maluku Utara 10,76
Sulawesi Selatan 13,24
Jawa Timur 13,61
Gorontalo 14,41
Sulawesi Utara 14,86
Papua Barat 17,72
Aceh 18,62
Papua 26,88
0 10 20 30 40 50 60
(per 1.000.000 penduduk)
Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014
Indikator lain yang digunakan pada penyakit kusta yaitu proporsi kusta MB dan
proporsi penderita kusta pada anak (0-14 tahun) di antara penderita baru yang
GAMBAR 6.20
PROPORSI KUSTA MBDAN PROPORSI KUSTA PADA ANAK
TAHUN 2008-2013
100
90
80
70 82,15 82,43 80,73 80,4 82,69 83,42
60
(%) 50
40
30
20 11,39 12,01 11,19 12,25 10,78 11,88
10
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Proporsi kusta MB Proporsi kusta pada anak
Menurut provinsi, Kalimantan Selatan, DKI Jakarta, dan Riau merupakan tiga provinsi
dengan proporsi kusta MB tertinggi pada tahun 2013 yaitu masing-masing sebesar 93,79%,
92,93%, dan 92,59%.
Provinsi dengan proporsi kusta pada anak tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur
(43,40%), Papua Barat (30,15%), dan Sumatera Utara (28,57%). Data/informasi terkait
penyakit kusta menurut provinsi terdapat pada Lampiran 6.16 dan Lampiran 6.17.
e. Diare
Penyakit Diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan penyakit
potensial KLB yang sering disertai dengan kematian. Menurut hasil Riskesdas 2007, Diare
merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%),
sedangkan pada golongan semua umur merupakanpenyebab kematianyang ke empat (13,2%).
Menurut Riskesdas 2013, insiden diare ( 2 minggu terakhir sebelum wawancara)
berdasarkan gejala pada seluruh kelompok umur sebesar 3,5% (kisaran menurut provinsi
1,6%-6,3%) dan insiden diare pada balita sebesar 6,7% (kisaran provinsi 3,3%-10,2%).
Sedangkan period prevalence diare pada seluruh kelompok umur (>2 minggu-1 bulan terakhir
sebelum wawancara) berdasarkan gejala sebesar 7% dan pada balita sebesar 10,2%. Gambar
6.21 berikut ini menggambarkan period prevalencediare menurut provinsi.
Jumlah penderita pada KLB diare tahun 2013 menurun secara signifikan dibandingkan
tahun 2012 dari 1.654 kasus menjadi 646 kasus pada tahun 2013. KLB diare pada tahun 2013
terjadi di 6 provinsi dengan penderita terbanyak terjadi di Jawa Tengah yang mencapai 294
kasus. Sedangkan angka kematian (CFR) akibat KLB diare tertinggi terjadi di Sumatera Utara
yaitu sebesar 11,76%.
Secara nasional angka kematian (CFR) pada KLB diare pada tahun 2013 sebesar 1,08%.
Sedangkan target CFR pada KLB Diare diharapkan <1%. Dengan demikian secara nasional, CFR
KLB diare hampir memenuhi target program.
i. Tetanus Neonatorum
Tetanus Neonatorum disebabkan oleh basil Clostridium tetani, yang masuk ke tubuh
melalui luka. Penyakit ini menginfeksi bayi baru lahir yang salah satunya disebabkan oleh
pemotongan tali pusat dengan alat yang tidak steril. Kasus Tetanus Neonatorum banyak
ditemukan di negara berkembang khususnya dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan
yang rendah.
Pada tahun 2013, dilaporkan terdapat 78 kasus Tetanus Neonatorum dengan jumlah
meninggal 42 kasus. Dengan demikian, Case Fatality Rate (CFR) Tetanus Neonatorum pada
tahun 2013 sebesar 53,8%, meningkat dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 49,6%. Kasus
yang meninggal tersebut dilaporkan dari 11 provinsi.
Gambaran kasus menurut faktor risiko status imunisasi menunjukkan bahwa sebagian
besar kasus terjadi pada kelompok yang tidak diimunisasi yaitu 51 kasus (65,4%). Sebanyak 55
kasus (70,5%) melakukan pemeriksaan kehamilan dengan bidan/perawat. Namun, menurut
faktor penolong persalinan, 56 kasus (71,8%) ditolong oleh penolong persalinan tradisional,
misalnya dukun. Untuk pemotongan tali pusat, sebagian besar kasus dilakukan pemotongan tali
ii. Campak
Penyakit campak disebabkan oleh virus campak, golongan Paramyxovirus. Penularan
dapat terjadi melalui udara yang telah terkontaminasi oleh droplet (ludah) orang yang telah
terinfeksi. Sebagian besar kasus campak menyerang anak-anak usia pra sekolah dan usia SD.
Jika seseorang pernah menderita campak, maka dia akan mendapatkan kekebalan terhadap
penyakit tersebut seumur hidupnya.
Pada tahun 2013, dilaporkan terdapat 11.521 kasus campak, lebih rendah dibandingkan
tahun 2012 yang sebesar 15.987 kasus. Jumlah kasus meninggal sebanyak 2 kasus, yang
dilaporkan dari Provinsi Aceh dan Maluku Utara. Incidence rate (IR) campak pada tahun 2013
sebesar 4,64 per 100.000 penduduk, menurun dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 6,53 per
100.000 penduduk.
GAMBAR 6.22
INCIDENCE RATE (IR) CAMPAK PER 100.000 PENDUDUK
MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013
Gambar 6.22 menyajikan IR campak menurut provinsi. Nusa Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat, dan Sumatera Utara merupakan provinsi dengan IR campak terendah. Bahkan
di NTT hanya dilaporkan satu kasus campak. Sedangkan Kepulauan Riau, Aceh, dan DI
Yogyakarta merupakan provinsi dengan IR campak tertinggi.
GAMBAR 6.23
PROPORSI KASUS CAMPAK MENURUT KELOMPOK UMUR
DI INDONESIA TAHUN 2013
< 1 tahun
9,7%
> 14 tahun
21,6%
1-4 tahun
27,5%
10-14 tahun
14,3%
5-9 tahun
26,9%
Campak dinyatakan sebagai KLB apabila terdapat 5 atau lebih kasus klinis dalam waktu
4 minggu berturut-turut yang terjadi mengelompok dan dibuktikan adanya hubungan
epidemiologis. Pada tahun 2013, jumlah KLB campak yang terjadi sebanyak 128 KLB dengan
jumlah kasus sebanyak 1.677 kasus. Berdasarkan konfirmasi laboratorium, 24 kejadian (18,8%)
diantaranya merupakan rubella.
Frekuensi KLB campak tertinggi terjadi di Banten sebanyak 36 kejadian dengan 247
kasus. Namun provinsi dengan jumlah kasus terbanyak terjadi di Lampung yaitu sebesar 309
kasus pada 8 KLB. Diikuti Jawa Barat sebanyak 18 KLB dengan 205 kasus dan Sumatera Barat
serta Jawa Tengah masing-masing 9 KLB. Jumlah kasus yang meninggal pada KLB campak
tersebut hanya satu kasus yang dilaporkan dari Maluku Utara.
iii. Difteri
Penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae yang menyerang
sistem pernapasan bagian atas. Penyakit difteri pada umumnya menyerang anak-anak usia 1-10
tahun.
Jumlah kasus difteri pada tahun 2013 sebanyak 778 kasus dengan jumlah kasus
meninggal sebanyak 39 kasus sehingga CFR difteri sebesar 5,01%. Dari 19 provinsi yang
melaporkan adanya kasus difteri, kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur yaitu sebanyak 610
kasus (78,4%). Dari seluruh kasus tersebut, hampir setengah di antaranya (47,8%) terjadi pada
penderita yang tidak mendapatkan vaksin DPT.
< 1 tahun
1,7%
1-4 tahun
24,0%
> 14 tahun
32,4%
Gambaran kasus menurut kelompok umur pada tahun 2013 menunjukkan jumlah
distribusi kasus tertinggi terjadi pada kelompok umur > 14 tahun, 5-9 tahun, dan1-4 tahun.
Namun kelompok umur 14 tahun memiliki rentang usia yang panjang dibanding kelompok
umur lainnya.
GAMBAR 6.25
NON POLIO AFP RATE PER 100.000 PENDUDUK < 15 TAHUN
DI INDONESIA TAHUN 2013
GAMBAR 6.26
PERSENTASE SPESIMEN ADEKUAT AFP
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
Standar spesimen adekuat yaitu 80%. Pada tahun 2013 spesimen adekuat di Indonesia
sebesar 87,7%. Dengan demikian spesimen adekuat secara nasional telah sesuai standar.
Sebanyak 25 provinsi (75,8%) telah mencapai standar spesimen adekuat tahun 2013.
Sedangkan 8 provinsi lainnya (24,2%) tidak mencapai standar tersebut. Informasi lebih rinci
mengenai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi menurut provinsi dan kelompok umur
dapat dilihat pada Lampiran 6.12-6.24.
GAMBAR 6.27
ANGKA KESAKITAN (IR) DEMAM BERDARAH DENGUE
PER 100.000 PENDUDUK TAHUN 2008-2013
Gambaran angka kesakitan DBD menurut provinsi tahun 2013 dapat dilihat pada
Gambar 6.28 Pada tahun 2013 terdapat sebanyak 26 provinsi (78,8%) yang telah mencapai
target 2013. Provinsi dengan IR DBD tertinggi tahun 2013 yaitu Bali sebesar 168,48, DKI Jakarta
sebesar 104,04, dan DI Yogyakarta sebesar 95,99 per 100.000 penduduk.
Kematian akibat DBD dikategorikan tinggi jika CFR > 2%. Dengan demikian pada tahun
2013 terdapat tiga provinsi yang memiliki CFR tinggi yaitu Provinsi Jambi, Kep. Bangka
Belitung, dan Nusa Tenggara Timur. Pada provinsi tersebut masih perlu upaya peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kesehatan di rumah
sakit dan puskesmas (dokter, perawat, dan lain-lain) termasuk peningkatan sarana-sarana
penunjang diagnostik dan penatalaksanaan bagi penderita di sarana-sarana pelayanan
kesehatan.
GAMBAR 6.29
JUMLAH KABUPATEN/KOTA TERJANGKIT DBD
DI INDONESIA TAHUN 2008-2013
GAMBAR 6.30
ANGKA BEBAS JENTIK
DI INDONESIA TAHUN 2010-2013
Pada tahun 2013 angka bebas jentik di Indonesia sebesar 80,09%. Sampai tahun 2013
angka bebas jentik belum mencapai target nasional yang sebesar 95%. Belum semua provinsi
melaporkan angka bebas jentik.
Informasi lebih rinci menurut provinsi terkait dengan penyakit DBD dapat dilihat pada
Lampiran 6.29 dan Lampiran 6.30.
h. Chikungunya
Demam chikungunya (demam chik) adalah suatu penyakit menular dengan gejala utama
demam mendadak, nyeri pada persendian, terutama pada sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan
tangan serta tulang belakang, serta ruam pada kulit. Demam chik ditularkan oleh nyamuk Aedes
albopictus dan Aedes aegypty yang juga merupakan nyamuk penular penyakit demam berdarah
Dengue (DBD).
Demam chik dijumpai terutama di daerah tropis/subtropis dan sering menimbulkan
epidemi. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya demam chik yaitu rendahnya status
kekebalan kelompok masyarakat dan kepadatan populasi nyamuk penular karena banyaknya
tempat perindukan nyamuk yang biasanya terjadi pada musim penghujan.
Selama tahun 2013 terdapat dua kabupaten/kota dari satu provinsi yang melaporkan
terjadinya KLB Chikungunya yaitu Kabupaten Bandung Barat dan Kota Tasikmalaya di Provinsi
Jawa Barat.
Kejadian Demam Chikungunya mengalami penurunan kasus yang cukup signifikan pada
tahun 2009-2012, namun kembali meningkat secara signifikan pada tahun 2013. Hingga saat ini
belum pernah dilaporkan adanya kematian akibat Chikungunya.
Faktor penyebab turunnya kasus antara lain kondisi cuaca yang relatif kering dengan
curah hujan yang rendah dan adanya imunitas pada daerah yang pernah terjangkit.
i. Filariasis
Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit berupa cacing filaria, yang
terdiri dari tiga spesies yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Penyakit
inimenginfeksi jaringan limfe (getah bening). Filariasis menular melalui gigitan nyamuk yang
mengandung cacing filaria dalam tubuhnya. Dalam tubuh manusia, cacing tersebut tumbuh
menjadi cacing dewasa dan menetap di jaringan limfe sehingga menyebabkan pembengkakan di
kaki, tungkai, payudara, lengan dan organ genital.
GAMBAR 6.32
JUMLAH KASUS KLINIS FILARIASIS
DI INDONESIA TAHUN 2010 2013
15.000
12.714
11.969 12.066 11.902
12.500
(jumlah kasus)
10.000
7.500
5.000
2.500
0
2010 2011 2012 2013
Provinsi dengan kasus klinis filariasis tertinggi pada tahun 2013 yaitu Aceh (2.359
kasus), Nusa Tenggara Timur (2.203 kasus), dan Papua (1.346 kasus).
Pada tahun 2013 terdapat sebanyak 302 kabupaten/kota endemis filariasis. Dari jumlah
tersebut hanya 92 kabupaten/kota (30,5%) yang melaksanakan Pemberian Obat Massal
j. Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup
dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia, ditularkan oleh nyamuk malaria
(Anopheles) betina, dapat menyerang semua orang baik laki-laki ataupun perempuan pada
semua golongan umur dari bayi, anak-anak dan orang dewasa. Berikut gambaran peta
endemisitas malaria per kabupaten/kota di Indonesia.
GAMBAR 6.33
PETA ENDEMISITAS MALARIA DI INDONESIA
TAHUN 2012 DAN 2013
Tahun 2012 Tahun 2013
GAMBAR 6.35
ANGKA KESAKITAN MALARIA (ANNUAL PARACITE INCIDENCE /API)
PER 1.000 PENDUDUK BERISIKO TAHUN 2005-2013
Tiga provinsi dengan API tertinggi yaitu Papua (42,65), Papua Barat (38,44) dan Nusa
Tenggara Timur (16,37). Sedangkan provinsi dengan API terendah yaitu DKI Jakarta, Bali, dan
Jawa Timur. Pada tahun 2013 di DKI Jakarta dan Bali tidak ditemukan kasus positif malara,
sedangkan di Jawa Timur hanya ditemukan 7 kasus. Secara nasional, sebesar 85% sediaan
darah dites dengan pemeriksaan mikroskopis dan 15% lainnya dites dengan Rapid Diagnostic
Test (Lampiran 6.25).
Menurut Riskesdas 2013, insiden malaria berdasarkan diagnosis sebesar 0,35% atau 3,5
per 1.000 penduduk. Pada survei ini 3 provinsi dengan insiden tertinggi sama dengan hasil
laporan rutin yaitu Papua (6,1%), Papua Barat (4,5%), dan Nusa Tenggara Timur (2,6%).
Sementara insiden malaria berdasarkan diagnosis/gejala sebesar 1,9% atau 19 per 1.000
penduduk.
GAMBAR 6.36
SITUASI RABIES DI INDONESIA
TAHUN 2009 2013
Gambar 6.37 berikut ini merupakan sebaran kasus rabies di Indonesia selama tahun
2013.
Pada tahun 2013 terdapat 69.136 kasus gigitan hewan penular rabies. Kasus GHPR
paling banyak terjadi di Bali yaitu sebanyak 37.066 kasus dengan kasus meninggal berdasarkan
tes lyssa yang positif rabies dan mati berjumlah satu orang. Diikuti oleh Riau dengan 5.106
GHPR dan dua belas positif rabies serta Nusa Tenggara Timur sebanyak 5.067 GHPR dan enam
positif rabies.
l. Leptospirosis
Leptospirosis merupakan zoonosis yang diakibatkan bakteri Leptospira sp. Sumber
infeksi pada manusia biasanya akibat kontak secara langsung atau tidak langsung dengan urine
hewan yang terinfeksi. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah yang beriklim sedang masa
puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor
yang mempengaruhi kelangsungan hidup Leptospira, sedangkan didaerah tropis insidens
tertinggi selama musim hujan.
Provinsi yang melaporkan adanya kasus leptopirosis tahun 2013 yaitu Provinsi
Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur, dan
Banten. Selama lima tahun terakhir, Sumatera Selatan baru melaporkan kasus leptospirosis
pada tahun 2013.
Dibandingkan tahun 2012, terdapat kenaikan jumlah kasus yang signifikan yaitu dari
239 kasus menjadi 641 kasus pada tahun 2013. Lonjakan kasus Leptospirosis terjadi di Jawa
Timur, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta. Peningkatan kasus tersebut salah satunya karena KLB di
Kabupaten Sampang Madura yang menyebabkan 96 kasus dengan sembilan kasus meninggal
(CFR=9,37%). KLB terjadi akibat air banjir yang terkontaminasi kencing tikus, lingkungan yang
kurang sehat, dan perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat masih kurang.
Angka kematian akibat leptospirosis selama enam tahun terakhir dapat dilihat pada
Gambar 6.38 berikut ini.
GAMBAR 6.38
SITUASI LEPTOSPIROSIS DI INDONESIA
TAHUN 2008 - 2013
Walaupun jumlah kasus pada tahun 2013 meningkat dibandingkan tahun 2012, namun
angka kematian (case fatality rate/CFR)akibat leptospirosis menurun dari 12,13% pada tahun
2012 menjadi 9,38% pada tahun 2013. Upaya yang dilakukan untuk menekan angka kematian
cukup efektif.
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) leptospirosis ditujukan pada upaya
penemuan dini serta pengobatan segera penderita untuk mencegah kematian, intervensi
m. Antraks
Penyakit antraks disebabkan oleh kuman antraks (Bacillus anthracis). Kuman ini dapat
membentuk spora yang tahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat bertahan hidup
selama 60 tahun didalam tanah, sehingga sulit untuk dimusnahkan. Sumber penularan antraks
adalah hewan peliharaan seperti sapi, kerbau, kambing dan domba yang terinfeksi Bacillus
anthracis.
Pada tahun 2013 telah dilaporkan sebanyak sebelas kasus antraks dari satu provinsi
yaitu Sulawesi Selatan dengan kematian sebanyak satu orang (CFR=9,1%). Tahun 2012
ditemukan 18 kasus antraks di Nusa Tenggara Timur dan empat kasus di Sulawesi Selatan.
Sedangkan pada tahun 2011 sebanyak 27 kasus antraks ditemukan di Jawa Tengah dan empat
belas kasus di Nusa Tenggara Timur. Berikut ini digambarkan distribusi kasus antraks selama
enam tahun terakhir.
GAMBAR 6.39
JUMLAH KASUS DAN CFR ANTRAKS
DI INDONESIA TAHUN 2008-2013
n. Flu Burung
Pengendalian flu burung yang dilakukan secara terpadu secara signifikan telah berhasil
menurunkan jumlah kasus konfirmasi flu burung H5N1 di Indonesia pada tahun 2013.
Dibandingkan tahun 2012 yang sebesar sembilan kasus, jumlah kasus konfirmasi flu burung
menurun pada tahun 2013 menjadi tiga kasus konfirmasi. Ketiga kasus tersebut terjadi di
Provinsi Jawa Barat yaitu dua kasus di Kota Bekasi dan satu kasus di Kabupaten Bekasi.
Namun, keseluruhan kasus konfirmasi flu burung pada tahun 2013 tersebut meninggal.
Gambaran penurunan jumlah kasus konfirmasi flu burung H5N1 dapat dilihat pada grafik
berikut ini.
Sejak dilaporkan kasus pertama pada tahun 2005, penyebaran kasus flu burung H5N1
pada manusia telah terjadi di lima belas provinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan.
Secara kumulatif, jumlah kasus tertinggi ditemukan di Provinsi DKI Jakarta sebesar 52
kasus, Jawa Barat sebesar 51 kasus, dan Banten sebesar 32 kasus.
Berdasarkan hasil Penyelidikan Epidemiologi yang dilakukan oleh Tim terpadu (Ditjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dan Balitbangkes) beberapa hal yang
mempengaruhi tingginya CFR pada tahun 2013 yaitu:
1. Keterlambatan diagnosis dan keterlambatan pemberian Oseltamivir, disamping itu
juga faktor virulensi virus dan hostnya.
2. Dua dari tiga kasus tersebut tidak diberikan Oseltamivir.
3. Beberapa kasus memiliki histori kontak secara tidak langsung dengan faktor risiko,
sehingga petugas kesehatan menjadi kurang waspada terhadap gejala yang
mengarah ke Flu Burung.
Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker, diabetes
melitus, cedera dan penyakit paru obstruktif kronik serta penyakit kronik lainnya merupakan
63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa per tahun (WHO,
2010). Di Indonesia sendiri, penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan penting
dan dalam waktu bersamaan morbiditas dan mortalitas PTM semakin meningkat. Hal tersebut
menjadi beban ganda dalam pelayanan kesehatan, sekaligus tantangan yang harus dihadapi
dalam pembangunan bidang kesehatan di Indonesia. Peningkatan PTM berdampak negatif pada
ekonomi dan produktivitas bangsa. Pengobatan PTM seringkali memakan waktu lama dan
memerlukan biaya besar. Beberapa jenis PTM merupakan penyakit kronik dan/atau katastropik
yang dapat mengganggu ekonomi penderita dan keluarganya. Selain itu, salah satu dampak PTM
adalah terjadinya kecacatan termasuk kecacatan permanen. Secara global, regional, dan
nasional pada tahun 2030 diproyeksikan terjadi transisi epidemiologi dari penyakit menular
menjadi penyakit tidak menular.
1. Posbindu PTM
Kegiatan yang mulai dikembangkan pada tahun 2011 ini merupakan salah satu wujud
peran serta masyarakat dalam kegiatan deteksi dini, monitoring dan tindak lanjut dini
terhadap faktor risiko PTM secara terpadu dan terintegrasi dengan kegiatan rutin di
masyarakat, seperti di lingkungan tempat tinggal dalam wadah desa/kelurahan siaga aktif.
Selain itu, kegiatan tersebut pada saat ini telah dikembangkan pada kelompok khusus
seperti di Perusahaan Outobus (PO), kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH), sekolah, dan
tempat kerja.
3. Pengendalian Tembakau
Pengendalian tembakau di Indonesia merupakan salah satu upaya pengendalian faktor
risiko PTM, guna menurunkan prevalensi penyakit tidak menular. beberapa upaya yang
telah dikembangkan adalah:
a. Pengembangan kawasan tanpa rokok
b. Upaya berhenti rokok di Fasyankes Primer
c. Kebijakan pengendalian rokok
d. Jajak pendapat masyarakat mengenai penerapan larangan total iklan, promosi dan
sponsorship rokok.
Dari gambar 6.41 di atas dapat dilihat bahwa provinsi dengan prevalensi stroke pada
umur 15 tahun menurut diagnosis dokter/gejala yang tertinggi pada tahun 2013 ialah
Provinsi Sulawesi Selatan (17,9), kemudian disusul DI Yogyakarta (16,9), dan Sulawesi
Tengah (16,6). Sedangkan prevalensi terendah terdapat di Provinsi Riau (5,2), kemudian
disusul oleh Jambi (5,3), dan Lampung (5,4). Kenaikan prevalensi tertinggi terdapat di
Provinsi Sulawesi Selatan, yakni dari 7,4 pada tahun 2007 menjadi 17,9 pada 2013.
Sedangkan penurunan prevalensi terbanyak terdapat di Provinsi Kepulauan Riau, yaitu dari
14,9 pada 2007 menjadi 8,5 pada 2013. Data dan informasi mengenai stroke menurut
provinsi pada tahun 2013 disajikan pada lampiran 6.36.
Selain stroke, penyakit jantung koroner juga merupakan salah satu penyakit jantung dan
pembuluh darah. Gambaran prevalensi penyakit jantung koroner hasil Riskesdas tahun 2013 di
Indonesia menurut provinsi disajikan pada gambar 6.42.
Dari gambar 6.42 di atas terlihat bahwa menurut Riskesdas tahun 2013, provinsi
dengan prevalensi penyakit jantung koroner pada umur 15 tahun menurut diagnosis
dokter/gejala tertinggi ialah Provinsi Nusa Tenggara Timur (4,4%). Kemudian disusul oleh
Sulawesi Tengah (3,8%) dan Sulawesi Selatan (2,9%). Sedangkan prevalensi terendah terdapat
di Provinsi Riau (0,3%), Lampung (0,4%), dan Jambi (0,5%).
GAMBAR 6.43
PREVALENSI HIPERTENSI PADA UMUR 18 TAHUN BERDASARKAN WAWANCARA
MENURUT PROVINSI TAHUN 2007 DAN 2013
b. Penyakit Kanker
Program pengedalian penyakit kanker dilakukan untuk semua jenis kanker, tetapi saat
ini masih diprioritaskan pada dua kanker tertinggi di Indonesia yaitu kanker leher rahim dan
kanker payudara. Kegiatan yang dilakukan meliputi pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
Pencegahan primer dilakukan melalui pengendalian faktor risiko dan peningkatan komunikasi,
informasi dan edukasi. Pencegahan sekunder dilakukan melalui deteksi dini dan tatalaksana
yang dilakukan di Puskesmas dan rujukan ke rumah sakit. Deteksi dini kanker leher rahim
menggunakan metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) dan krioterapi untuk IVA (lesi
pra kanker leher rahim) positif, sedangkan deteksi dini kanker payudara menggunakan metode
Clinical Breast Examiniation (CBE). Pencegahan tersier dilakukan melalui perawatan paliatif dan
rehabilitatif di unit-unit pelayanan kesehatan yang menangani kanker dan pembentukan
kelompok survivor kanker di masyarakat.
Selain itu, dilakukan juga pengembangan registrasi kanker sebagai suatu sistem
surveilans dengan menggunakan software SriKanDI (Sistem Registrasi Kanker di Indonesia) di
DKI Jakarta sebagai model, yang akan dikembangkan ke daerah lain di Indonesia. Kegiatan yang
dilakukan dalam rangka pengendalian penyakit kanker antara lain :
1. Pencegahan dan pengendalian faktor risiko.
Sampai dengan tahun 2010 telah disusun Pedoman Pengendalian Penyakit Kanker yang
menjadi acuan bagi petugas kesehatan dan berbagai pihak yang terlibat dalam pengendalian
kanker. Pengendalian faktor risiko kanker juga dilakukan dengan memberikan konseling dan
penyuluhan bagi perempuan yang melakukan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara
di Puskesmas. Sampai tahun 2010 terdapat layanan konseling di 68 kabupaten/kota pada 14
provinsi.
2. Penemuan dan tatalaksana kasus.
Program deteksi dini dan tatalaksana yang dilakukan masih diprioritaskan pada 2 kanker
tertinggi di Indonesia yaitu kanker payudara dan kanker leher rahim. Program ini dimulai
sejak tahun 2007 dan telah dicanangkan sebagai program nasional yang dicanangkan oleh
Ibu Negara pada 21 April 2008. Program tersebut dikembangkan oleh Kementerian
Kesehatan dan Female Cancer Program (FCP).
Sampai dengan tahun 2013 program deteksi dini kanker leher rahim dan payudara sampai
tahun 2013, program deteksi dini kedua kanker tersebut telah berkembang di 207
kabupaten pada 32 provinsi, yang dilaksanakan oleh 717 dari 9500 Puskesmas. Saat ini, telah
ada 405 pelatih atau trainers yang terdiri dari dokter spesialis obstetri ginekologi, dokter
spesialis bedah onkologi, dokter spesialis bedah, dokter umum serta bidan dan diperkuat
oleh 1.682 providers atau pelaksana program terdiri dari dokter umum dan bidan. Jumlah
GAMBAR 6.44
PREVALENSI PENYAKIT KANKER () BERDASARKAN DIAGNOSIS DOKTER/GEJALA
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
GAMBAR 6.47
PETA PREVALENSI PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIS PADA UMUR 15 TAHUN
DI INDONESIA TAHUN 2013
GAMBAR 6.48
PREVALENSI PENYAKIT ASMA BERDASARKAN GEJALA (%)
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
Data dan informasi mengenai prevalensi penyakit asma menurut provinsi berdasarkan
hasil Riskesdas 2013 disajikan di lampiran 6.34.
d. Merokok
Usia pertama kali merokok tiap hari di Indonesia pada tahun 2013 terbanyak berada pada
kelompok umur 15 19 tahun (50%). Terbesar ke dua berada pada kelompok umur 20
24 tahun (27%). Gambaran mengenai usia pertama kali merokok tiap hari di Indonesia
pada tahun 2013 dapat dilihat pada gambar 6.49.
Proporsi penduduk berumur 10 tahun yang merokok tiap hari terbanyak berada di
Provinsi Kepulauan Riau (27,2%), kemudian Provinsi Jawa Barat dan Bengkulu (27,1%).
Sedangkan proporsi yang terendah berada di Provinsi Papua (16,3%), kemudian Bali (18%),
dan Nusa Tenggara Timur (19,7%). Gambaran mengenai Proporsi penduduk berumur 10
tahun yang merokok tiap hari menurut provinsi pada tahun 2013 dapat dilihat pada gambar
berikut.
GAMBAR 6.50
PROPORSI PENDUDUK BERUMUR 10 TAHUN YANG MEROKOK TIAP HARI
MENURUT PROVINSI TAHUN 2013
1. Air Minum
Komitmen pemerintah terhadap Millenium Development Goals (MDGs) yaitu memastikan
kelestarian lingkungan hidup dengan menurunkan target hingga setengahnya proporsi rumah
tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi dasar hingga 2015.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum, air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau
tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.
Penyelenggara air minum dapat berasal dari badan usaha milik negara/badan usaha milik
daerah, koperasi, badan usaha swasta, usaha perorangan, kelompok masyarakat, dan/atau
individual yang melakukan penyelenggaraan penyediaan air minum. Tidak semua air dapat
diminum, syarat-syarat kualitas air minum sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan
dimaksud, diantaranya adalah sebagai berikut :
Syarat Fisik : Tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna;
Parameter Mikrobiologi E Coli dan total Bakteri Kolifrom, kadar maksimum yang di
perbolehkan 0 jumlah per 100 ml sampel;
Syarat Kimia : Kadar Besi : maksimum yang diperbolehkan 0,3 mg/l, Kesadahan (maks
500 mg/l), pH 6,5-8,5;
Syarat Mikrobiologis : Koliform tinja/total koliform (maks 0 per 100 ml air);
Dan parameter tambahan lainnya.
Salah satu parameter air minum adalah parameter fisik. Parameter fisik yang harus
dipenuhi pada air minum yaitu harus jernih, tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna.
Selain itu, air minum tidak menimbulkan endapan. Jika air yang kita konsumsi menyimpang dari
hal ini, maka sangat mungkin air telah tercemar. Secara nasional, berdasarkan hasil Riskesdas
2013, kualitas fisik air minum di Indonesia termasuk dalam kategori baik (tidak keruh, tidak
berwarna, tidak berasa tidak berbusa dan tidak berbau) sebesar 94,1%. Rincian lengkap hasil
Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum dapat
dilihat pada Lampiran 6.39.
Pembahasan air minum meliputi, proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber air
minum, proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum, proporsi rumah tangga
berdasarkan pengolahan air minum sebelum diminum, proporsi rumah tangga berdasarkan
cara pengolahan air minum sebelum diminum, dan proporsi rumah tangga yang memiliki akses
terhadap sumber air minum berdasarkan kriteria JMP WHO-INICEF 2006.
Gambar 6.51 hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga
berdasarkan jenis sumber air minum di Indonesia terbesar pada sumur gali terlindung sebesar
22,5%, kemudian air isi ulang sebesar 21 % dan sumur bor/pompa sebesar 12,8%. Proporsi
rumah tangga yang menggunakan air isi ulang dan air kemasan mempunyai persentase yang
cukup besar. Hal ini terjadi seiring dengan kemajuan teknologi serta semakin tinggi tingkat
kesadaran masyarakat terhadap kesehatan terutama dalam pemenuhan kebutuhan air bersih
untuk minum, sementara itu persediaan air tanah yang selama ini menjadi sumber utama air
minum telah semakin berkurang, rumah tangga kini mulai beralih kepada produk air minum
dalam kemasan/isi ulang. Produk ini merupakan salah satu solusi untuk konsumsi air minum
karena produk dapat langsung diminum karena telah melalui proses produksi. Rincian lengkap
hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber air minum per
provinsi dapat dilihat pada Lampiran 6.38.
Air yang layak diminum, mempunyai standar tertentu yaitu telah memenuhi
persyaratan fisik, kimiawi dan bakteriologis, dan syarat tersebut merupakan satu kesatuan. Jadi
apabila ada satu saja parameter yang tidak memenuhi syarat maka air tesebut tidak layak untuk
diminum. Agar air layak untuk diminum maka diperlukan pengolahan air sebelum diminum.
Gambar 6.52 menunjukkan proporsi rumah tangga yang mengolah air minum sebelum
diminum. Secara nasional proporsi rumah tangga yang mengolah air minum sebelum diminum
sebesar 70,1%. Proporsi terbesar terdapat di Provinsi Maluku Utara sebesar 92,7%, Nusa
Tenggara Timur sebesar 90,6%. Proporsi terendah rumah tangga yang mengolah air minum
sebelum diminum terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 33,5%, Kepulauan Riau
sebesar 36,6%. Provinsi DKI Jakarta mempunyai proporsi rumah tangga yang mengolah air
minum sebelum diminum relatif kecil (41,6%). Hal ini dimungkinkan banyaknya rumah tangga
yang menggunakan air mineral (air kemasan dan air isi ulang). Pengolahan air sebelum
diminum meliputi dimasak, penyinaran matahari, ditambah larutan tawas, disaring dan tambah
larutan tawas, disaring saja. Rincian lengkap hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah
tangga yang mengolah air minum sebelum diminum dapat dilihat pada Lampiran 6.40.
Gambar 6.53 menunjukkan proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air
minum sebelum diminum. Hasil Riskesdas 2013, rumah tangga yang mengolah air minumnya
dengan cara dimasak sebesar 96,5%. Cara ini merupakan yang paling banyak dilakukan oleh
rumah tangga. Persentase tertinggi terdapat di Provinsi Banten sebesar 97,8%, Lampung
sebesar 97,6%. Sedangkan persentase terkecil terdapat di Provinsi Maluku sebesar 90,6% dan
Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 92,6%. Pengolahan air sebelum diminum dengan cara
penyinaran matahari sebesar 2,3%. Cara ini paling banyak dilakukan di Provinsi Bengkulu
sebesar 3,8%. Pengolahan air sebelum diminum dengan cara disaring saja sebesar 0,8%. Cara
ini paling banyak dilakukan di Provinsi Maluku sebesar 6,2%. Pengolahan air sebelum diminum
dengan cara menambah larutan tawas serta disaring dan menambah larutan tawas sebesar
0,2%. Rincian lengkap hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga berdsarkan cara
mengolah air minum sebelum diminum dapat dilihat pada Lampiran 6.41.
Berdasarkan kriteria dari JMP WHO-UNICEF 2006, akses ke sumber air minum
dibedakan menjadi dua, yaitu improved dan unimproved. Improved yaitu rumah tangga yang
mempunyai akses ke sumber air minum air ledeng/PDAM, sumur bor/pompa, sumur gali
terlindung, mata air terlindung, penampungan air hujan, air kemasan (hanya jika sumber air
untuk keperluan rumah tangga lainnya improved). Unimproved yaitu rumah tangga yang
mempunyai akses ke sumber air minum air kemasan, air isi ulang, air ledeng eceran/membeli,
sumur gali tidak terlindung, mata air tidak terlindung, air sungai/danau/irigasi.
Gambar 6.54 menunjukkan hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga yang
memiliki akses terhadap sumber air minum improved. Secara nasional proporsi rumah tangga
yang telah memiliki akses terhadap sumber air minum improved sebesar 66,8%, sedangkan
rumah tangga yang mempunyai akses terhadap sumber air minum unimproved sebesar 33,2%.
Persentase terbesar rumah tangga yang mempunyai akses terhadap sumber air minum
improved terdapat di provinsi Bali sebesar 82% dan DI Yogyakarta sebesar 81,7%. Persentase
terendah rumah tangga yang mempunyai akses terhadap sumber air minum improved terdapat
di Provinsi Kepulan Riau sebesar 24% dan Kalimantan Timur sebesar 35,2%. Rincian lengkap
hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air
minum dilihat pada Lampiran 6.42.
Upaya untuk dapat meningkatkan akses air minum dan kualitas air minum yang layak
secara nasional terus menerus dilakukan, akan tetapi masih banyak kendala dalam
pencapaiannya. Kendala tersebut antara lain :
1. Adanya kecenderungan meningkatnya penggunaan air kemasan dan isi ulang sebagai
sumber air minum, sementara itu air kemasan dan isi ulang tidak termasuk sebagai sumber
air minum layak. Hal ini terjadi disebabkan oleh pendataan yang dilakukan saat ini hanya
memotret akses terhadap sumber air yang digunakan untuk minum, belum
memperhitungkan kondisi rumah tangga yang memiliki lebih dari satu sumber air yang
layak untuk diminum;
2. Penyediaan infrastruktur air minum yang ada belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan
penduduk, maupun faktor urbanisasi dan peningkatan konsumsi;
2. Sanitasi Layak
Akses terhadap sanitasi layak merupakan salah satu fondasi inti dari masyarakat yang
sehat. Sanitasi yang baik merupakan elemen penting yang menunjang kesehatan manusia.
Sanitasi berhubungan dengan kesehatan lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat. Buruknya kondisi sanitasi akan berdampak negatif di banyak aspek kehidupan,
mulai dari turunnya kualitas lingkungan hidup masyarakat, tercemarnya sumber air minum
bagi masyarakat, meningkatnya jumlah kejadian diare dan munculnya beberapa penyakit.
GAMBAR 6.55
PROPORSI RUMAH TANGGA BERDASARKAN PENGGUNAAN
FASILITAS BUANG AIR BESAR DI INDONESIA, RISKESDAS 2013
Gambar 6.55 menunjukkan hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga
berdasarkan penggunaan fasilitas buang air besar. Secara nasional, proporsi rumah tangga yang
menggunakan fasilitas buang air besar milik sendiri sebesar 76,2%, milik bersama 6,7%, umum
4,2% dan buang air besar secara sembarangan sebesar 12,9%. Provinsi yang mempunyai
persentase terbesar rumah tangga yang menggunakan fasilitas buang air besar sendiri terdapat
di Provinsi Riau sebesar 88,4%, menyusul Lampung dan Kepulauan Riau (keduanya sebesar
88,1%) dan terendah terdapat di Provinsi Gorontalo sebesar 50,2%, menyusul Sulawesi Barat
sebesar 52,8% dan Nusa Tenggara Barat sebesar 57,8%. Rincian lengkap hasil Riskesdas 2013
tentang proporsi rumah tangga berdasarkan penggunaan fasilitas buang air besar menurut
provinsi dilihat pada Lampiran 6.43.
Menurut jenis tempat buang air besar yang digunakan, sebagian besar rumah tangga di
Indonesia menggunakan kloset berjenis leher angsa sebesar 84,4%, plengsengan sebesar 4,8%,
cemplung/cubluk/lubang tanpa lantai sebesar 7,2%, dan cemplung/cubluk/lubang dengan
lantai sebesar 3,7%. Rincian lengkap hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga
berdasarkan jenis tempat buang air besar menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 6.44.
Berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja, berdasarkan hasil Riskesdas 2013,
sebesar 66% rumah tangga di Indonesia menggunakan tangki septik sebagai tempat
pembuangan akhir tinja. Rumah tangga yang menggunakan tempat pembuangan akhir tinja
SPAL sebesar 4%, kolam/sawah sebesar 4,4%, sungai/danau/laut sebesar 13,9%, lubang tanah
sebesar 8,6%, pantai/tanah lapang/kebun sebesar 2,7%. Rincian lengkap hasil Riskesdas 2013
tentang proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut provinsi
dapat dilihat pada Lampiran 6.45.
Berdasarkan konsep dan definisi MDGs, akses sanitasi layak apabila penggunaan
fasilitas tempat buang air besar milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis
leher angsa dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau Sarana
Pembuangan Air Limbah (SPAL). Metode pembuangan tinja yang baik yaitu dengan jamban
dengan syarat sebagai berikut :
1. Tanah permukaan tidak boleh terjadi kontaminasi
2. Tidak boleh terjadi kontaminasi pada air tanah yang mungkin memasuki mata air atau
sumur
3. Tidak boleh terkontaminasi air permukaan
4. Tinja tidak boleh terjangkau oleh lalat dan hewan lain
5. Tidak boleh terjadi penanganan tinja segar, atau bila memang benar-benar diperlukan,
harus dibatasi seminimal mungkin
6. Jamban harus bebas dari bau atau kondisi yang tidak sedap dipandang
7. Metode pembuatan dan pengoperasian harus sederhana dan tidak mahal.
Untuk akses terhadap fasilitas tempat buang air besar (sanitasi) digunakan kriteria JMP
WHO - Unicef tahun 2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga yang memiliki akses
GAMBAR 6.57
PROPORSI RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI AKSES TERHADAP FASILITAS SANITASI IMPROVED
BERDASARKAN KRITERIA JMP WHO-UNICEF 2006, RISKESDAS 2013
Pada Gambar 6.57 proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas
sanitasi improved berdasarkan kriterian JMP WHO-UNICEF 2006 di Indonesia sebesar 59,8%.
Proporsi tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 78,2%, Kepulauan Riau sebesar
74,8% dan Kalimantan Timur sebesar 74,1%. Proporsi terendah rumah tangga yang memiliki
akses terhadap fasilitas sanitasi improved terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua
sebesar 30,5%. Rincian lengkap hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga
berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran
6.46.
Upaya untuk dapat meningkatkan sanitasi yang layak secara nasional terus menerus
dilakukan, akan tetapi masih banyak kendala dalam pencapaiannya. Kendala tersebut antara
lain :
1. Pembangunan sanitasi belum menjadi kegiatan prioritas di provinsi dan kabupaten / kota.
2. Masih minimnya investasi sektor sanitasi, karena belum mempunyai nilai ekonomis secara
langsung,
3. Proses peningkatan perubahan perilaku tidak dapat dilakukan secara instan, cenderung
membutuhkan waktu yang relatif lama dan kecukupan pendampingan petugas kepada
masyarakat untuk menerapkan perilaku yang lebih sehat dalam kehidupan sehari-hari
secara berkesinambungan.
***
Badan Pusat Statistik. 2011. Hasil Sensus Penduduk 2010, Data Agregat Per Provinsi. BPS, Jakarta.
Badan Pusat Statistik, BKKBN, Kementerian Kesehatan RI. 2012. Survei Demografi Kesehatan
Indonesia 2012. BPS, Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2012. BPS, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2014. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia,
Februari 2014. BPS, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2014. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Edisi 45, Februari 2014. BPS,
Jakarta.
Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar. 2011. Data 101 Puskesmas Prioritas Nasional DTPK
Tahun 2007-2010 Edisi 5. Kemenkes, Jakarta.
Kementerian Dalam Negeri RI. 2013. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2013
Tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan. Kementerian Dalam
Negeri, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas 2007. Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas 2013. Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas Dalam Angka 2013.
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
Pusat Data dan Informasi. 2011. Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan
2011-2014. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
***