Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH PROJECT BASED LEARNING ( PJBL )

BLOK SISTEM IMUNOLOGI

FUNDAMENTAL PATHOPHYSIOLOGY AND NURSING CARE

SLE (SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS)

Dosen Pembimbing :

Dr. Titin Andri, S.Kp., M.Kes

Ns. Ika Setyo Rini, M.Kep

Kelas :

PSIK REGULER 2014

Kelompok : 7

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

TAHUN 2015/2016
BLOK SISTEM IMUN

FUNDAMENTAL PATHOPHYSIOLOGY AND NURSING CARE

SLE ( SYSTEMIC ERYTHEMATOSUS )

Nama Kelompok :

1. Arista Tia Pratiwi (145070201111014)


2. Melita Puspa Nurmala (145070201111016)
3. Zidni Taqwim (145070201111018)
4. Kadek Aryandari (145070201111020)
5. Ni Komang Tri Yasanti (145070201111022)
6. Maya Cintia Melani (145070201111024)
7. Hayatus Saadah Ayu Lestari (145070201111026)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

TAHUN 2015/2016
1. DEFINISI SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
Ada beberapa definisi SLE menurut beberapa ahli yaitu:
SLE merupakan suatu penyakit jaringan ikat dimana terjadi peradangan
kronis yang bisa mengenai persendian, ginjal, kulit, selaput mukosa, dan
bahkan dinding pembuluh darah. (William, 2012)
Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan nama Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun inflamatif
kronik yang belumjelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis
yang beragam serta perjalanan klinis dan prognosisnya beragam.
(Tutuncu, 2007)
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun di mana
organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan yang dimediasi oleh
autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks imun. (Kasper, 2005)

SLE (Systemic Lupus Erythematosus) adalah penyakit autoimun dimana


organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue binding
autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa
menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahui secara
pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungin akut dan fulminan atau kronik,
terdapat remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam
autoantibody dalam tubuh.

Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang
berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai
penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis
antibody yang muncul dan organ yang terkena.

2. EPIDEMIOLOGI
Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia.
Di AS, angka yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 0,1% dari
populasi, namun didapatkan angka yang berbeda pada berbagai laporan.
Beberapa ras, seperti kaum kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan
Hispanik, berisiko lebih tinggi terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang
lebih parah. Prevalensi SLE di seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari
AS; penyakit ini kelihatannya lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara,
dan di antara keturunan kulit hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada
keturunan kulit hitam di Afrika. SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun
sering dimulai pada usia dekade kedua dan ketiga; beberapa studi menunjukkan
puncak kedua kasus baru pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi jenis kelamin
cukup jelas; SLE berkembang pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali
lipat daripada pria dengan usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga
sampai empat kali lebih sering daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan
wanita dan pria adalah 8:1.

3. ETIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan antibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi
ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia
produktif) dan lingkungan (cahaya matahri, luka bakar termal).
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik,
infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh
kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dan sel jaringan tubuh
sendiri. Penyimpangan rekasi imunologi ini akan menghasilkan antibody secara
terus-menerus. Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun
sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik kerusakan multiorgan.
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan
pertahanan tubuh melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya,
sistem pertahanan tubuh, dimana antibody yang dihasilkan menyerang sel
tubuhnya sendiri. Antibody ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh
sehingga terjadi penyakit menahun.
Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa
diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria
maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita. Faktor
hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang
manusia. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/
atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormone (terutama
estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini. Meskipun demikian,
penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada wanita dan pada
masa pra-menstruasi, masih belum diketahui.
4. FAKTOR RESIKO
1) Faktor Genetik
Faktor keturunan ini frekuensinya 20 kali lebih sering dalam
keluarga dimana terdapat anggota keluarga dengan penyakit tersebut.
Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya
10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara
kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik
menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang
akan menderita penyakit ini.
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 9 kali lebih sering
daripada pria dewasa
Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
Etnik, yaitu pada populasi orang kulit putih di Amerika Utara
terdapat hubungan antara SLE dan gen HLA kelas II
Indeks tinggi pada kembar monozigotik (25%) versus kembar
dizigotik (1-3%)

Faktor keturunan mempunyai risiko yang meningkat untuk


penderita SLE, dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang
secara klinis tidak terkena dapat menunjukkan autoantibody. Pada
beberapa pasien SLE (sekitar 6%) mengalami defisiensi komponen
komplemen yg diturunkan. Kekurangan komplemen akan mengganggu
pembersihan komplek imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi
jaringan, yang menimbulkan jejas jaringan.

Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus


dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar
monozigot. Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang
berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang
mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex)
mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%)
mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan
imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -
DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat
multipel, kompleks dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat
merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit
mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.
Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel
apoptosis, sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.

2) Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan sangat berperan sebagai pemicu Lupus, misalnya
: infeksi, stress, makanan, antibiotik (khususnya kelompok sulfa dan
penisilin), cahaya ultra violet (matahari) dan penggunaan obat obat
tertentu.
Sinar matahari adalah salah satu kondisi yang dapat memperburuk
gejala Lupus. Diduga oleh para dokter bahwa sinar matahari memiliki
banyak ekstrogen sehingga mempermudah terjadinya reaksi
autoimmune. Tetapi bukan berarti bahwa penderita hanya bisa keluar
pada malam hari. Pasien Lupus bisa saja keluar rumah sebelum pukul
09.00 atau sesudah pukul 16.00 dan disarankan agar memakai krim
pelindung dari sengatan matahari. Teriknya sinar matahari di negara
tropis seperti Indonesia, merupakan faktor pencetus kekambuhan bagi
para pasien yang peka terhadap sinar matahari dapat menimbulkan
bercak-bercak kemerahan di bagian muka. Kepekaan terhadap sinar
matahari (photosensitivity) sebagai reaksi kulit yang tidak normal
terhadap sinar matahari.
3) Faktor Hormon
Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi
atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon
(terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini
sedangkan hormon androgen mengurangi risiko terjadinya SLE.
Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab
terkuat adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar
(mononucleosis). Sebagian besar odapus tercatat pernah terinfeksi virus
ini dalam riwayat penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa system
imun mulai terganggu saat berusaha menyerang EBV juga menyerang
sel tubuhnya sendiri. Sehingga proses tersebut diduga kuat
berhubungan dengan penyebab lupus.
4) Sistem Imunitas
Pada pasien SLE terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap
sel T.
5) Obat-obatan
Obat yang pasti menyebabkan lupus : obat dengan jenis
klorpromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus : obat dengan
jenis dilantin, penisilinamin, dan kuinidin.
Hubungan yang beluum jelas : garam emas, beberapa jenis
antibiotic dan griseofurvin
6) Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan terkadang
penyakit ini kambuh setelah infeksi. Misal disebabkan oleh agen
infeksius seperti virus, bakteri ( virus Epstein Barr, Streptokokus,
klebsiella).
7) Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini.
8) Zat Kimia
Seperti merkuri dan silikon.
9) Silika Debu dan Merokok
Dapat meningkatkan risiko mengembangkan SLE
10) Makanan
Makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE
akibat senyawa kimia yang dikandungnya (Smeltzer & Bare, 2006).
5. KLASIFIKASI
Jenis-jenis penyakit lupus ada 3, yaitu :
1) Discoid Lupus organ tubuh yang terkena hanya bagian kulit
Dapat dikenali dari ruam yang muncul dimuka, leher, dan kulit
kepala, ruam di sekujur tubuh, berwarna kemerahan, bersisik, kadang
gatal. Pada lupus jenis ini dapat didiagnosa dengan menguji biopsy dari
ruam. Pada discoid lupus hasil biopsy akan terlihat ketidak normalan
yang ditemukan pada kulit tanpa ruam. Dan, jenis ini pada umumnya
tidak melibatkan organ-organ tubuh bagian dalam. Oleh karena itu, tes
ANA (pemeriksaan darah yang digunakan untuk mengetahui
keberadaan sistemik lupus hasilnya bisa saya bersifat negatif pada
pasien pengidap discoid lupus. Akan tetapi pada sebagian besar klien
dengan jenis discoid lupus pemeriksaan ANA-nya positif, tetapi masih
dalam tingkatan atau titer yang rendah.
2) Drug Induced Lupus yang timbul akibat efek samping obat
Pada lupus jenis ini baru muncul setelah odapus menggunakan jenis
obat tertentu dalam jangka waktu yang panjang. Ada 38 jenis obat yang
dapat menyebabkan drug induced. Salah satu contoh faktor yang
mempengaruhi DIL adalah akibat penggunaan obat-obatan hydralazine
(untuk mengobati darah tinggi) dan procainamade (untuk mengobati
detak jantung yang tidak teratur). Tetapi tidak semua penderita yang
menggunakan obat-obatan tersebut yang akan berkembang menjadi
drug induced lupus, hanya sekitar 4% orang-orang yang menggunakan
obat-obatan tersebut yang akan berkembang menjadi drug induced dan
gejala akan mereda apabila obat-obatan tersebut dihentikan. Gejala
dari drug induced lupus (DIL), serupa dengan sistemik lupus. Umumnya
gejala akan hilang dalam jangka waktu 6 bulan setelah obat dihentikan.
Pemeriksaan tes Anti Nuclear Antibody (ANA) dapat tetap positif.
3) Sistemik Lupus Erythematosus
Lupus ini lebih berat dibandingkan discoid lupus, karena gejalanya
menyerang banyak organ tubuh atau system tubuh pasien lupus. Pada
sebagian orang hanya kulit dan sendinya saja yang terkena, akan tetapi
pada sebagian pasien lupus lainnya menyerang organ vital: jantung,
paru-paru, ginjal, syaraf, otak. Namun perlu dicatat: pada umumnya
tidak ditemukan adanya dua orang adapus terkena sistemik lupus
dengan gejala yang persis sama. Lupus sistemik bisa masuk periode
dimana jika ada gejalanya membaik (remisi), dan dilain waktu penyakit
dapat menjadi lebih aktif (flare up). Gejala dari yang paling ringan
sampai yang paling berat.
6. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam dan sering kali pada keadaan
awal tidak dikenali sebagai SLE. Menurut American Collage of Rheumatology
(ARC) ada 11 kriteria SLE dan jika terdapat 4 kriteria maka diagnose SLE dapat
ditegakkan.
1. Ruam malar
2. Ruam discoid
3. Fotosensifitas
4. Ulserasi dimulut atau nasofaring
5. Arthritis
6. Serositis: yaitu pleuritis atau perikarditis
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten >0,5 gr/hari, atau adalah
silinder sel
8. Kelainan neurologic, yaitu kejang-kejang atau psikosis
9. Kelainan hematologic, yaitu anemia hemolitik atau lekopenia atau
limfopenia atau trombositopenia
10. Kelainan immunologic yaitu sel SLE positif atau anti DNA positif, atau anti
Sm positif atau tes serologic untuk sifilis yang positif palsu
11. Antibody antinuclear

Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 atau lebih keterlibatan organ,
seperti:

1. Gender wanita pada rentang usia produktif


2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan
3. Musculoskeletal: nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia), miositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rsh), fotosensitivitas, SLEi
membran mukosa, alopesia, fenomena raynaud, purpura, urtikaria,
vaskulitis
5. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim parenkhim
6. Jantung: pericarditis, miokarditis, endokarditis
7. Ginjal: hematuria, protenuria, cetakan, sindrom nefrotik
8. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
9. Retikulo-endo organomegali (limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leucopenia, dan trombositopenia
11. Neuroprikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organic, mielitis
transfersa, neuropati cranial dan perifer

Kriteria 1982 untuk klasifikasi lupus eritematosus sistemik

1. Ruam malar Eritema menetap, datar atau meninggi, pada tonjolan


pipi
2. Ruam discoid Bercak eritematosa yang meninggi dengan skuama
keratotik lekat dan sumbatan folikel; dapat terjadi
jaringan parut atrofik
3. Fotosensitivitas Ruam yang timbul setelah terpapar sinar ultraviolet
4. Ulkus oral Termasuk oral dan nasofaring; terlihat oleh dokter
5. Artritis Artritis nonerosif yang mengenai dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri, pembengkakan, atau efusi
6. Serositis Pleuritis atau perikarditis yang tercatat dengan EKG
atau terdengar sebagai rub atau bukti efusi perikard
7. Gangguan ginjal Proteinuria yang lebih besar dari 0,5 g/dL atau lebih
dari 3+, atau silinder sel
8. Gangguan neurologik Kejang tanpa sebab lain atau psikosis tanpa sebab lain
9. Gangguan hematologik Anemia hemolitik atau leucopenia (kurang dari
4000/mm3) atau limfopenia (kurang dari 1500/mm3),
atau trobositopenia (kurang dari 100.000/mm3)tanpa
ada obat penyebab
10. Gangguan imunologik Preparat sel LE atau anti-dsDNA atau anti-Sm positif
atau VDRL positif palsu
11. Antibodi antinukleus Titer DNA yang abnormal pada pemeriksaan
imunoflouresensi atau pemeriksaan yang ekivalen pada
setiap saat
Bila empat dari criteria diatas terdapat pada suatu saat selama perjalanan
penyakit; maka diagnosis lupus eritema sistemik dapat ditegakkan dengan
spesifisitas 98 persen dan sensivitas 97 persen.

7. PATOFISIOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang


menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi
ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia
reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa
preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut
terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

Patofisiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu


atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap
sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen.
Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan
induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang
berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang
diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai
macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang
terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat
dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut
partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka
tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi
ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan
antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam
sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE
terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun Uptake
kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear.
Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan
aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi
radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada
organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus
koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini
ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah
autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) Penegakan atau
menyingkirkan suatu diagnosis ; (2) Untuk mengikuti perkembangan penyakit
terutama untuk menandai suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu
organ; (3) Untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan.
Pemeriksaan Autoantibodi
Antibody Prevalensi, % Antigen yang Clinical Utility
dikenali
Antinuclear 98% Multiple Pemeriksaan
antibodies nuclear skrinning terbaik ;
(ANA) hasil negative
berulang
menyingkirkan SLE
Anti-dsDNA 70% DNA (double Jumlah yang tinggi
stranded) spesifik untuk SLE
dan pada
beberapa pasien
berhubungan
dengan aktivitas
penyakit,
nephritis, dan
vasculitis
Anti-Sm 25% Kompleks Spesifik untuk SLE;
protein pada 6 tidak ada korelasi
jenis U1 RNA klinis; kebanyakan
pasien juga
memiliki RNP;
umum pada
African American
dan Asia
disbanding
Kaukasia
Anti-RNP 40% Kompleks Tidak spesifik
protein pada untuk SLE: jumlah
U1 RNA besar berkaitan
dengan gejala
yang overlap
dengan gejala
rematik termasuk
SLE

Secara diagnostik, antibodi yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA
karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala.

Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya penyakit SLE


1) Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibody antinuclear,
yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibody ini
juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan
antibody antinuclear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibody
terhadap DNA rantai ganda.
Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein
yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan
antibody lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan
aktivitas dan lamanya penyakit.
2) Ruam kulit atau lesi yang khas
3) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
4) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya
gesekan pleura pada jantung
5) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
6) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jeni sel
darah
7) Biopsy ginjal
8) Pemeriksaan saraf
9. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada penderita SLE dapat melalui terapi. Terapi pada
penderita SLE meliputi:
1) Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat
dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup
mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE antara lain :
perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah
dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar
matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan
perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia
atau terjadinya osteoporosis.
2) Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan
oleh pasien SLE antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan
terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan
ortotik, dan lain-lain.
3) Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID
( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid dan
imunosupresan.
a) NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE
pada tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi
dan rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan lain. Contoh obat
: aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan
tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada
saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare dan
perdarahan lambung.
b) Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci
utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat
terlalu rendah atau tinggi sesuai tingkat keparahan penyakit
untuk pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid
dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan
intravena. Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan yang sering
terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi, namun tidak
disertai kontrol dan dalam waktu yang lama.14,24 Beberapa
efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari
meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis,
meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan
gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face.
c) Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE
terdiri dari hydroxychloroquinon dan kloroquin.
Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan dibanding
kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih
rendah. Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala
fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa
meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada
mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif,
sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat
kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman
visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata
selama pengobatan.
d) Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi
untuk menekan sistem imun tubuh. Ada beberapa jenis obat
immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien SLE seperti
azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF),
methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan
Rituximab.
10. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita SLE adalah sebagai berikut :
1) Gagal ginjal
Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita
SLE. Gagal ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks antibody-antigen
pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen resulta yang
menyebabkan cedera sel.
2) Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan
kebanyakan menderita arthritis.
3) Kulit
Pada 50% penderita lupus ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang
pipi dan pangkal hidung.
4) Darah
Kelainan darah dapat ditemukan pada 85% penderita lupus.
Biasanya terbentuk bekuan darah didalam vena maupun arteri yang
dapat menyebabkan stroke dan emboli paru
5) Jantung
Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong pericardium yang
mengelilingi jantung)
6) Paru-paru
Peradangan membrane pleura yang mengelilingi paru dapat
membatasi pernapasan. Sering terjadi bronchitis serta efusi pleura yakni
penimbunan cairan antara paru-paru dan pleura. Sehingga sering kali
menyebabkan nyeri dan sesak napas.
7) Dapat terjadi vaskulitis disemua pembuluh serebrum dan perifer.
8) Sistem saraf
Komplikasi sususan saraf pusat termasuk stroke dan kejang.

11. ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
a. Identitas Klien
Nama : Ny. X
Usia : 25 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Status perkawinan : -
Pekerjaan :-
b. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat terekspos sinar radiasi UV yang parah
Riwayat terinfeksi virus
Terekspos bahan kimia
Riwayat pasien wanita yang haid pertama terlalu cepat
Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat keluarga dengan penyakit autoimin
Riwayat keluarga dengan infeksi berulang
Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan:
nyeri sendi karena gerakan
kekakuan pada sendi
kesemutan pada tangan dan kaki
sakit kepala
demam
merasa letih, lemah
limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup,
waktu senggang,pekerjaan
keputusasaan dan ketidakberdayaan
kesulitan untuk makan
nausea, vomitus
sesak nafas
nyeri dada
ancaman pada konsep diri, citra diri
c. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas dan latihan
Keterbatasan rentang gerak
Deformitas
Kontraktur
2) Nyeri dan kenyamanan
Pembengkakan sendi
Nyeri tekan
Perubahan gaya berjalan/ pincang
Gerak otot melindungi yang sakit
3) Kardiovaskuler
Fenomena raynoud
Hipertensi
Edeme
Pericardial friction rub
Aritmia
Murmur
4) Nutrisi dan metabolic
Lesi pada mulut
Penurunan berat badan
5) Pola eliminasi
Peningkatan pengeluaran urin
Konstipasi/ diare
d. Pemeriksaan penunjang
Tes DNA
Tes anti dsDNA
Antibody anti-S (Smith)
Anti-RNP (ribonukleoprotein), anti-ro/anti SS-A, antikoagulan
lupus)/anti-SSB, dan antibodi antikardiolipin
Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
Tes sel LE

B. Analisa Data

DATA ETIOLOGI MASALAH


KEPERAWATAN
Adanya ruam kemerahan pada Bakteri/ virus Kerusakan
kulit penderita, terasa gatal, dan integritas kulit
bintik-bintik merah Kompensasi tubuh b/d penurunan
imunologi
Peningkatan kompleks imun

Peradangan

SLE
Menyerang organ

Sistem integumen

Perubahan barier kulit

Terjadi ruam kemerahan,


gatal, bintik-bintik merah

Kerusakan integritas kulit


te Faktor predisposisi Nyeri akut
Penderita mengeluh nyeri pada
tubuhnya, akibat dari reaksi
tubuh rendah melawan penyakit Gangguan Imunnoregulasi
ini. Nyeri yang terjadi masih
nyeri akut, karena nyeri yang
dirasakan tidak > 6 bulan Meningkatnya antibody

Antibody menyerang organ-


organ tubuh (sel/jaringan)

Menimbulkan sel T supresor


yang abnormal

Penumpukan kompleks imun

Kerusakan dan nyeripada


jaringan bibir dan mulut
Nyeri Akut
Penderita SLE ini dapat Factor Predisposisi Resiko infeksi
terserang penyakit lainnya, berhubungan
dikarenakan sistem imun dalam Gangguan Immunoregulasi dengan
tubuhnya tidak mampu untuk penurunan
melawan pathogen yang pertahanan
berbahaya masuk ke dalam Sistem Imun Melemah tubuh melawan
tubuh. Biasanya, penderita agen-agen asing
mengalami demam yang yang merugikan
merupakan tanda bahwa tubuh Adanya Pathogen yang Masuk tubuh
sedang melawan pathogen asing
tersebut.
Resiko Infeksi

Gangguan citra tubuh tubuh Factor predisposisi Gangguan citra


dirasakan pasien karena tubuh yang
manifestasi klinis dari SLE ini berhubungan
banyak sekali diantaranya ruam Peradangan dengan
kemerahan (malar rash), terasa manifestasi klinis
gatal dan nyeri, demam, rambut yang banyak
rontok, ulkus pada mulut, Menyerang sistem organ dirasakan oleh
vasculitis, dan bahkan tubuh penderita,
menyerang organ-organ tubuh seperti
yang dapat mengancam nyawa Sistem tubuh melemah, perubahan pada
penderitanya. Begitu banyaknya sehingga manifestasi klinis struktur kulit
manifestasi klinis yang terjadi banyak yaitu malar rash
pada penderita lupus,
menyebabkan penderita
menganggap citra tubuhnya Gangguan psikologis
rusak karena berbeda dengan
orang normal lainnya.
Gangguan citra tubuh
Keletihan ditandai dengan Factor predisposisi Keletihan
penderita merasakan bahwa berhubungan
energy yang dimiliki untuk Peradangan dengan adanya
beraktivitas kurang sehingga peningkatan
tubuh terlihat lemah, lemas, dan SLE aktivitas
pucat. penyakit,
depresi, dan
Gangguan fungsi tubuh nyeri yang
dirasakan
penderita
Energi berkurang

Keletihan

C. Asuhan Keperawatan
1) Diagnosa Keperawatan No. 1
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan pasien dapat menunjukkan perilaku/ teknik untuk meningkatkan
penyembuhan dan mencegah komplikasi.
Kriteria Hasil : dapat menjaga kebersihan di daerah lesi dan memakai alat
pelindung kulit yang dapt menyebabkan iritasi atau infeksi berulang.
NOC : Tissue Integrity: Skin & Mucous Membranes

No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Tidak ada eritema pada kulit
2. Tekstur dan ketebalan jaringan normal
3. Perfusi jaringan normal
4. Tidak ada tanda atau gejala infeksi
5. Tidak ada lesi
6. Tidak terjadi nekrosis
Skala penilaian NOC :
1. Bisa dikompromi
2. Signifikan bisa dikompromi
3. Cukup bisa dikompromi
4. Agak bisa dikompromi
5. Tidak bisa dikompromi

NIC : Skin Surveillance


Intervensi :
1. Monitor warna dan suhu kulit
2. Monitor kulit dan membran mukosa pada area yang memar atau
mengalami kerusakan
3. Monitor ruam dan abrasi pada kulit
4. Monitor terjadinya infeksi khususnya pada area edema
5. Dokumentasikan perubahan membran mukosa dan kulit
6. Instruksikan keluarga tentang tanda kerusakan kulit

NIC : Skin Care : Topical Treatments


Intervensi :
1. Bersihkan kulit dengan sabun antibakteri
2. Pijat disekitar area infeksi
3. Jaga kasur tetap bersih dan kering
4. Ajarkan toilet hygiene
5. Gunakan antibiotic topikal disekitar luka

2) Diagnosa Keperawatan No. 2


Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kenyamanan
Intervensi :
1. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan
(kompres hangat ; massage, perubahan posisi, istirahat; kasur usa,
bantal penyangga, bidai; tenik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan
perhatian)
2. Berikan preparat antiinflamasi, alagesik seperti yang dianjurkan
3. Sesuaikan jadwal untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri
4. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri
serta sifat kronik penyakitnya
5. Jelaskan patofisiologi nyeri dan membantu oasien untuk menyadari
bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapu yang
belum terbukti manfaatnya
6. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa
pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti
manfaatnya
7. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri
3) Diagnosa Keperawatan No. 3
Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan tubuh
melawan agen-agen asing yang merugikan tubuh
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
status kekebalan pasien meningkat dengan indilaktor.
Kriteria Hasil : sesuai dengan kriteria.
NOC : Immune Status

No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Respiratory function
2. Body temperature
3. Skin integrity
4. Mucosa integrity
5. Skin test reaction with exposure
6. Absolute white blood count

Keterangan

1 = Severely compromised

2 = substantially compromised

3 =moderately compromised
4 = mildy compromised

5 = not compromised

NIC : Kontrol Infeksi

1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain


2. Pertahankan teknik isolasi
3. Batasi pengunjung bila perlu
4. Instruksikan pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung
dan setelah berkunjung
5. Gunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan
6. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
7. Gunakan universal precaution dan gunakan sarung tangan selma
kontak dengan kulit yang tidak utuh
8. Observasi dan laporkan tanda dan gejal infeksi seperti kemerahan,
panas, nyeri, tumor
9. Catat dan laporkan hasil laboratorium, WB
10. Kaji warna kulit, turgor dan tekstur, cuci kulit dengan hati-hati
4) Diagnosa Keperawatan No. 4
Gangguan citra tubuh yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang
banyak dirasakan oleh penderita, seperti perubahan pada struktur kulit
yaitu malar rash.
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 5x24 jam ruam di wajah
pasien memudar.
Kriteria Hasil : Ditandai dengan kriteria NOC pada level yang diharapkan.

NOC: Body Image & Self Esteem

Body Image

No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Mengatakan perubahan fisik
2. Mengatakan perubahan status kesehatan
3. Mendeskripsikan mengenai bagian tubuh
Self Esteem

No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Malu
2. Tidak mampu dengan dirinya
3. Tidak ada kontak

Keterangan:
1. tidak pernah
2. jarang
3. kadang-kadang
4. sering
5. sering konsisten

NIC: Body Image Enhancement & Self Esteem Enhancement


Body Image Enhacement
1. Menjelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis
penyakit
2. Mengkaji secara verbal dan non verbal respon pasien terhadap
tubuhnya
3. Memfasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil
4. Mendorong pasien mengungkapkan perasaannya

Self Esteem Enhancement

1. Membantu pasien meningkatkan penilaian penghargaan terhadap diri.


2. Menciptakan kestabilan keamanan, membantu pasien beradaptasi
dengan persepsi stressor, perubahan, ancaman yang menghambat
pemenuhan tuntutan dan peran hidup.
3. Meningkatkan persepsi sadar dan tidak sadar pasien serta sikap
terhadap tubuh pasien.
4. Percayakan pada pasien bahwa pasien mampu menghadapi
permasalahan ini.
5) Diagnosa Keperawatan No. 5
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan Kelemahan, keletihan,
paresis obat, spastisitas.
Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan mampu melakukan mobilitas fisik.
Kriteria Hasil: Klien kembali dapat melakukan aktifitas fisik dan
mengurangi rasa letih klien.
Intervensi :
1. Mampu mengidentivikasi factor-faktor resiko dan kekuatan individu
yang mempengaruhi toleransi terhadap akktivitas.
2. Mampu mengidentivikasi beberapa alternatif untuk membantu
mempertahankan tingkat aktivitas saat sekarang.
3. Mampu mendemonstrasiakan teknik/tingkah laku yang dapat
mempertahankan /meneruskan aktivitas Mandiri:
4. Identifiaksi faktor yang mempengaruhi kemampuan untuk aktif
seperti: temperature yang sangat tinggi, pemasukan makanan yang
tidak adekuat, onsomnia, pengguanan obat-obat tertentu.
5. Buat rencana perawatan dengan periode istirshat konsisten
diantara aktivitas.
6. Terima keadaan pasien untuk tidak mapu melakukan aktivitas
tertentu.
7. Evaluasi keampuan untuk melakukan mobilisasi secara aman.
8. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain:
9. Menurunkan kelelahan, kelemahan otot yang berlebihan.
10. Kemampuan bervariasi dari kejadian-kejadian lain.
11. Latihan berjalan dapat meningkatkan kemampuan dan keefektifan
pasien untuk berjalan.
12. Bermanfaat dalam mengembangkan program latihan individual dan
mengidentivikasi kebutuhan alat untuk mengembangkan spasme
otot.
13. Membantu pasien tetap termotivasi pada bagian yang masih aktif
dalm keterbatasan kemapuan /keadaannya kelompok aktivitas ini
perlu diseleksi untuk memenuhi kebutuhan dan kecemasan pasien.
14. Berdasarkan eksperimen digunakan(pada fase awal) untuk
meningkatkan remielinisasi, walaupau hasilnnya sekarang belum
meningkat.
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Nanan,Nuraeny. 2008. Tinjauan Pustaka: Lupus Erimatosus. Universitas Padjajaran


Bandung.

Djoerban, Zubairi. Tanpa tahun. (Online) homepage: http://library.binus.ac.id di akses


pada tanggal 23 Oktober 2015 pukul 22.24 WIB.

Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc, Ed. Revisi Jilid 1. Jogjakarta: MediAction

Perhimpunan Reumatologi Indonesi. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus


Eritematosus Sistemik. (Online) homepage:
www.pbpapdi.org/images/file_guidelines/14_Rekomendasi_Lupus.pdf di akses
pada tanggal 16 Oktober 2015 pukul 08.15 WIB.

Setyohadi B. 2003. Penatalaksanaan lupus eritematosus sistemik.Universitas sumatera


utara : Temu lmiah Rematologi,154-8.

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.

Kumar R. C. 1999. Dasar Patologi Penyakit. Edisi 5. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai