Dosen Pembimbing :
Kelas :
Kelompok : 7
FAKULTAS KEDOKTERAN
TAHUN 2015/2016
BLOK SISTEM IMUN
Nama Kelompok :
FAKULTAS KEDOKTERAN
TAHUN 2015/2016
1. DEFINISI SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
Ada beberapa definisi SLE menurut beberapa ahli yaitu:
SLE merupakan suatu penyakit jaringan ikat dimana terjadi peradangan
kronis yang bisa mengenai persendian, ginjal, kulit, selaput mukosa, dan
bahkan dinding pembuluh darah. (William, 2012)
Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan nama Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun inflamatif
kronik yang belumjelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis
yang beragam serta perjalanan klinis dan prognosisnya beragam.
(Tutuncu, 2007)
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun di mana
organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan yang dimediasi oleh
autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks imun. (Kasper, 2005)
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang
berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai
penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis
antibody yang muncul dan organ yang terkena.
2. EPIDEMIOLOGI
Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia.
Di AS, angka yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 0,1% dari
populasi, namun didapatkan angka yang berbeda pada berbagai laporan.
Beberapa ras, seperti kaum kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan
Hispanik, berisiko lebih tinggi terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang
lebih parah. Prevalensi SLE di seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari
AS; penyakit ini kelihatannya lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara,
dan di antara keturunan kulit hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada
keturunan kulit hitam di Afrika. SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun
sering dimulai pada usia dekade kedua dan ketiga; beberapa studi menunjukkan
puncak kedua kasus baru pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi jenis kelamin
cukup jelas; SLE berkembang pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali
lipat daripada pria dengan usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga
sampai empat kali lebih sering daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan
wanita dan pria adalah 8:1.
3. ETIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan antibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi
ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia
produktif) dan lingkungan (cahaya matahri, luka bakar termal).
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik,
infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh
kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dan sel jaringan tubuh
sendiri. Penyimpangan rekasi imunologi ini akan menghasilkan antibody secara
terus-menerus. Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun
sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik kerusakan multiorgan.
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan
pertahanan tubuh melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya,
sistem pertahanan tubuh, dimana antibody yang dihasilkan menyerang sel
tubuhnya sendiri. Antibody ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh
sehingga terjadi penyakit menahun.
Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa
diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria
maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita. Faktor
hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang
manusia. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/
atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormone (terutama
estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini. Meskipun demikian,
penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada wanita dan pada
masa pra-menstruasi, masih belum diketahui.
4. FAKTOR RESIKO
1) Faktor Genetik
Faktor keturunan ini frekuensinya 20 kali lebih sering dalam
keluarga dimana terdapat anggota keluarga dengan penyakit tersebut.
Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya
10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara
kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik
menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang
akan menderita penyakit ini.
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 9 kali lebih sering
daripada pria dewasa
Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
Etnik, yaitu pada populasi orang kulit putih di Amerika Utara
terdapat hubungan antara SLE dan gen HLA kelas II
Indeks tinggi pada kembar monozigotik (25%) versus kembar
dizigotik (1-3%)
2) Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan sangat berperan sebagai pemicu Lupus, misalnya
: infeksi, stress, makanan, antibiotik (khususnya kelompok sulfa dan
penisilin), cahaya ultra violet (matahari) dan penggunaan obat obat
tertentu.
Sinar matahari adalah salah satu kondisi yang dapat memperburuk
gejala Lupus. Diduga oleh para dokter bahwa sinar matahari memiliki
banyak ekstrogen sehingga mempermudah terjadinya reaksi
autoimmune. Tetapi bukan berarti bahwa penderita hanya bisa keluar
pada malam hari. Pasien Lupus bisa saja keluar rumah sebelum pukul
09.00 atau sesudah pukul 16.00 dan disarankan agar memakai krim
pelindung dari sengatan matahari. Teriknya sinar matahari di negara
tropis seperti Indonesia, merupakan faktor pencetus kekambuhan bagi
para pasien yang peka terhadap sinar matahari dapat menimbulkan
bercak-bercak kemerahan di bagian muka. Kepekaan terhadap sinar
matahari (photosensitivity) sebagai reaksi kulit yang tidak normal
terhadap sinar matahari.
3) Faktor Hormon
Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi
atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon
(terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini
sedangkan hormon androgen mengurangi risiko terjadinya SLE.
Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab
terkuat adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar
(mononucleosis). Sebagian besar odapus tercatat pernah terinfeksi virus
ini dalam riwayat penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa system
imun mulai terganggu saat berusaha menyerang EBV juga menyerang
sel tubuhnya sendiri. Sehingga proses tersebut diduga kuat
berhubungan dengan penyebab lupus.
4) Sistem Imunitas
Pada pasien SLE terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap
sel T.
5) Obat-obatan
Obat yang pasti menyebabkan lupus : obat dengan jenis
klorpromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus : obat dengan
jenis dilantin, penisilinamin, dan kuinidin.
Hubungan yang beluum jelas : garam emas, beberapa jenis
antibiotic dan griseofurvin
6) Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan terkadang
penyakit ini kambuh setelah infeksi. Misal disebabkan oleh agen
infeksius seperti virus, bakteri ( virus Epstein Barr, Streptokokus,
klebsiella).
7) Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini.
8) Zat Kimia
Seperti merkuri dan silikon.
9) Silika Debu dan Merokok
Dapat meningkatkan risiko mengembangkan SLE
10) Makanan
Makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE
akibat senyawa kimia yang dikandungnya (Smeltzer & Bare, 2006).
5. KLASIFIKASI
Jenis-jenis penyakit lupus ada 3, yaitu :
1) Discoid Lupus organ tubuh yang terkena hanya bagian kulit
Dapat dikenali dari ruam yang muncul dimuka, leher, dan kulit
kepala, ruam di sekujur tubuh, berwarna kemerahan, bersisik, kadang
gatal. Pada lupus jenis ini dapat didiagnosa dengan menguji biopsy dari
ruam. Pada discoid lupus hasil biopsy akan terlihat ketidak normalan
yang ditemukan pada kulit tanpa ruam. Dan, jenis ini pada umumnya
tidak melibatkan organ-organ tubuh bagian dalam. Oleh karena itu, tes
ANA (pemeriksaan darah yang digunakan untuk mengetahui
keberadaan sistemik lupus hasilnya bisa saya bersifat negatif pada
pasien pengidap discoid lupus. Akan tetapi pada sebagian besar klien
dengan jenis discoid lupus pemeriksaan ANA-nya positif, tetapi masih
dalam tingkatan atau titer yang rendah.
2) Drug Induced Lupus yang timbul akibat efek samping obat
Pada lupus jenis ini baru muncul setelah odapus menggunakan jenis
obat tertentu dalam jangka waktu yang panjang. Ada 38 jenis obat yang
dapat menyebabkan drug induced. Salah satu contoh faktor yang
mempengaruhi DIL adalah akibat penggunaan obat-obatan hydralazine
(untuk mengobati darah tinggi) dan procainamade (untuk mengobati
detak jantung yang tidak teratur). Tetapi tidak semua penderita yang
menggunakan obat-obatan tersebut yang akan berkembang menjadi
drug induced lupus, hanya sekitar 4% orang-orang yang menggunakan
obat-obatan tersebut yang akan berkembang menjadi drug induced dan
gejala akan mereda apabila obat-obatan tersebut dihentikan. Gejala
dari drug induced lupus (DIL), serupa dengan sistemik lupus. Umumnya
gejala akan hilang dalam jangka waktu 6 bulan setelah obat dihentikan.
Pemeriksaan tes Anti Nuclear Antibody (ANA) dapat tetap positif.
3) Sistemik Lupus Erythematosus
Lupus ini lebih berat dibandingkan discoid lupus, karena gejalanya
menyerang banyak organ tubuh atau system tubuh pasien lupus. Pada
sebagian orang hanya kulit dan sendinya saja yang terkena, akan tetapi
pada sebagian pasien lupus lainnya menyerang organ vital: jantung,
paru-paru, ginjal, syaraf, otak. Namun perlu dicatat: pada umumnya
tidak ditemukan adanya dua orang adapus terkena sistemik lupus
dengan gejala yang persis sama. Lupus sistemik bisa masuk periode
dimana jika ada gejalanya membaik (remisi), dan dilain waktu penyakit
dapat menjadi lebih aktif (flare up). Gejala dari yang paling ringan
sampai yang paling berat.
6. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam dan sering kali pada keadaan
awal tidak dikenali sebagai SLE. Menurut American Collage of Rheumatology
(ARC) ada 11 kriteria SLE dan jika terdapat 4 kriteria maka diagnose SLE dapat
ditegakkan.
1. Ruam malar
2. Ruam discoid
3. Fotosensifitas
4. Ulserasi dimulut atau nasofaring
5. Arthritis
6. Serositis: yaitu pleuritis atau perikarditis
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten >0,5 gr/hari, atau adalah
silinder sel
8. Kelainan neurologic, yaitu kejang-kejang atau psikosis
9. Kelainan hematologic, yaitu anemia hemolitik atau lekopenia atau
limfopenia atau trombositopenia
10. Kelainan immunologic yaitu sel SLE positif atau anti DNA positif, atau anti
Sm positif atau tes serologic untuk sifilis yang positif palsu
11. Antibody antinuclear
Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 atau lebih keterlibatan organ,
seperti:
7. PATOFISIOLOGI
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) Penegakan atau
menyingkirkan suatu diagnosis ; (2) Untuk mengikuti perkembangan penyakit
terutama untuk menandai suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu
organ; (3) Untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan.
Pemeriksaan Autoantibodi
Antibody Prevalensi, % Antigen yang Clinical Utility
dikenali
Antinuclear 98% Multiple Pemeriksaan
antibodies nuclear skrinning terbaik ;
(ANA) hasil negative
berulang
menyingkirkan SLE
Anti-dsDNA 70% DNA (double Jumlah yang tinggi
stranded) spesifik untuk SLE
dan pada
beberapa pasien
berhubungan
dengan aktivitas
penyakit,
nephritis, dan
vasculitis
Anti-Sm 25% Kompleks Spesifik untuk SLE;
protein pada 6 tidak ada korelasi
jenis U1 RNA klinis; kebanyakan
pasien juga
memiliki RNP;
umum pada
African American
dan Asia
disbanding
Kaukasia
Anti-RNP 40% Kompleks Tidak spesifik
protein pada untuk SLE: jumlah
U1 RNA besar berkaitan
dengan gejala
yang overlap
dengan gejala
rematik termasuk
SLE
Secara diagnostik, antibodi yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA
karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala.
B. Analisa Data
Peradangan
SLE
Menyerang organ
Sistem integumen
Keletihan
C. Asuhan Keperawatan
1) Diagnosa Keperawatan No. 1
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan pasien dapat menunjukkan perilaku/ teknik untuk meningkatkan
penyembuhan dan mencegah komplikasi.
Kriteria Hasil : dapat menjaga kebersihan di daerah lesi dan memakai alat
pelindung kulit yang dapt menyebabkan iritasi atau infeksi berulang.
NOC : Tissue Integrity: Skin & Mucous Membranes
No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Tidak ada eritema pada kulit
2. Tekstur dan ketebalan jaringan normal
3. Perfusi jaringan normal
4. Tidak ada tanda atau gejala infeksi
5. Tidak ada lesi
6. Tidak terjadi nekrosis
Skala penilaian NOC :
1. Bisa dikompromi
2. Signifikan bisa dikompromi
3. Cukup bisa dikompromi
4. Agak bisa dikompromi
5. Tidak bisa dikompromi
No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Respiratory function
2. Body temperature
3. Skin integrity
4. Mucosa integrity
5. Skin test reaction with exposure
6. Absolute white blood count
Keterangan
1 = Severely compromised
2 = substantially compromised
3 =moderately compromised
4 = mildy compromised
5 = not compromised
Body Image
No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Mengatakan perubahan fisik
2. Mengatakan perubahan status kesehatan
3. Mendeskripsikan mengenai bagian tubuh
Self Esteem
No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Malu
2. Tidak mampu dengan dirinya
3. Tidak ada kontak
Keterangan:
1. tidak pernah
2. jarang
3. kadang-kadang
4. sering
5. sering konsisten
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc, Ed. Revisi Jilid 1. Jogjakarta: MediAction