Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Herpes zoster (HZ) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Varisela-zoster yang
bersifat terlokalisir, terutama menyerang orang dewasa dengan ciri berupa nyeri radikuler,
unilateral, dan gerombolan vesikel yang tersebar sesuai dermatom yang diinervasi oleh satu
ganglion saraf sensoris.
Insidennya meningkat seiring bertambahnya usia, di mana lebih dari 2/3 kasus terjadi
pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20 tahun. Meningkatnya insidensi
pada usia lanjut ini berkaitan dengan menurunnya respon imun dimediasi sel yang dapat pula
terjadi pada pasien imunokompromais seperti pasien HIV-AIDS, pasien dengan keganasan, dan
pasien yang mendapat obat imunosupresi. Namun, insidensinya pada pasien imunokompeten pun
besar.
Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia dan dapat muncul sepanjang tahun
karena tidak dipengaruhi oleh musim. Tidak ada perbedaan dalam morbiditas antara pria dan
wanita. Berdasarkan studi di Eropa dan Amerika Utara, diperkirakan ada sekitar 1,5-3 per 1000
orang per tahun pada segala usia dan kejadian meningkat tajam pada usia lebih dari 60 tahun
yaitu sekitar 7-11 per 1000 orang per tahun.
Sejauh ini, prevalensi herpes zoster dari 13 rumah sakit pendidikan di Indonesia sepanjang
2011 hingga 2013 mencapai 2.232 kasus. Puncak kasus terjadi pada penderita berusia 45-64
tahun dengan jumlah 851 kasus atau 37,95 persen dari total kasus herpes zoster.
Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi yang terbanyak
adalah Neuralgia Pasca Herpetik (NPH) yaitu nyeri yang terjadi setelah lesi sembuh yang
menimbulkan masalah jangka panjang. Nyeri dapat bertahan beberapa bulan hingga beberapa
tahun. Komplikasi tersebut terjadi pada 10-50% pasien dengan HZ dan prevalensinya meningkat
sebanding dengan peningkatan usia pasien (terutama pada usia lebih dari 50 tahun).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Herpes Zoster


2.1.1. Defenisi
Herpes zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi erupsi
vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular unilateral yang
umumnya terbatas disatu dermatom. Herpes zoster merupakan manifestasi reaktivasi infeksi
laten endogen virus varisela zoster didalam neuron ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion
saraf kranialis atau ganglion sarag autonomik yang menyebar ke seluruh jaringan saraf dan kulit
dengan segmen yang sama.

2.1.2. Epidemiologi
Penyakit herpes zoster terjadi sporadis sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Insidens
nya 2-3 kasus per 1000 orang/tahun. Insidens dan kepatahan penyakitnya meningkat dengan
bertambahnya usia. Lebih dari setengah jumlah keseluruhan kasus dilaporkan terjadi pada usia
lebih dari 60 tahun dan komplikasi terjadi hampir 50% di usia tua. Jarang dijumpai pada usia dini
(anak dan dewasa muda), bila terjadi kemungkinan dihubungkan dengan varisela maternal saat
kehamilan. Risiko penyakit meningkat dengan adanya keganasan, dan atau transplantasi sumsum
tulang/ginjal atau infeksi HIV. Tidak terdapat predileksi gender. Penyakit ini bersifat menular
namun daya tularnya kecil bila dibandingkan dengan varisela.

2
2.1.3. Etiopatogenesis
Varisela sangat menular dan biasanya menyebar melalui droplet respiratori. VVZ
bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh selama kurang lebih 2 minggu sebelum
perkembangan kulit yang erupsi. Pasien infeksius sampai semua lesi dari kulit menjadi krusta.
Selama terjadi kulit yang erupsi, VVZ menyebar dan menyerang saraf secara retrograde untuk
melibatkan ganglion akar dorsalis di mana ia menjadi laten. Virus berjalan sepanjang saraf
sensorik ke area kulit yang dipersarafinya dan menimbulkan vesikel dengan cara yang sama
dengan cacar air. Zoster terjadi dari reaktivasi dan replikasi VVZ pada ganglion akar dorsal saraf
sensorik. Latensi adalah tanda utama virus Varisela zoster dan tidak diragukan lagi peranannya
dalam patogenitas. Sifat latensi ini menandakan virus dapat bertahan seumur hidup hospes dan
pada suatu saat masuk dalam fase reaktivasi yang mampu sebagai media transmisi penularan
kepada seseorang yang rentan. Reaktivasi mungkin karena stres, sakit immunosupresi, atau
mungkin terjadi secara spontan. Virus kemudian menyebar ke saraf sensorik menyebabkan gejala
prodormal dan erupsi kutaneus dengan karakteristik yang dermatomal. Infeksi primer VVZ
memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam mempertahankan latensi, imunitas seluler
lebih penting pada herpes zoster. Keadaan ini terbukti dengan insidensi herpes zoster meningkat
pada pasien HIV dengan jumlah CD4 menurun, dibandingkan dengan orang normal.

2.1.4. Klasifikasi
Klasifikasi herpes zoster menurut lokasi lesinya dibagi atas :
a. Herpes zoster oftalmikus, merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian
ganglion gaseri yang menerima serabut saraf dari cabang oftalmik dari saraf trigeminus
(N.V).
b. Herpes zoster fasialis, merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian
ganglion gaseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII).
c. Herpes zoster brachialis, merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
brachialis.
d. Herpes zoster thorakalis, merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
thorakalis.
e. Herpes zoster lumbalis, merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
lumbalis.

3
f. Herpes zoster sakralis, merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
sakralis.

2.1.5. Dermatom
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis. Masing
masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke otak. Dermatom pada
dada dan perut seperti tumpukan cakram yang dipersarafi oleh saraf spinal yang berbeda,
sedangkan sepanjang lengan dan kaki, dermatom berjalan secara longitudinal sepanjang anggota
badan.
Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan tempat
kerusakan saraf saraf spinalis. Virus yang menginfeksi saraf tulang belakang seperti infeksi
herpes zoster (shingles), dapat mengungkapkan sumbernya dengan muncul sebagai lesi pada
dermatom tertentu.

Gambar. Gambaran dermatom sensorik tubuh manusia.

4
2.1.6. Gejala Klinis
Herpes zoster dapat dimulai dengan timbulnya gejala prodromal berupa sensasi abnormal
atau nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, parestesia sepanjang dermatom, gatal, rasa terbakar dari
ringan sampai berat. Gejala prodromal dapat berlangsung beberapa hari (1-10 hari, rata-rata 2
hari).
Setelah awitan gejala prodromal, timbul erupsi kulit yang biasanya gatal atau nyeri
terlokalisata (terbatas disatu dermatom) berupa macula kemerahan. Kemudian berkembang
menjadi papul, vesikel jernih berkelompok selama 3-5 hari. Selanjutnya isi vesikel menjadi
keruh dan akhirnya pecah menjadi krusta (berlangsung selama 7-10 hari). Erupsi kulit
mengalami involusi setelah 2-4 minggu. Sebagian besar kasus herpes zoster, erupsi kulit nya
menyembuh secara spontan tanpa gejala sisa.
Pada sebagaian kecil pasien dapat terjadi komplikasi berupa kelaianan mata (10-20%
penderita) bila menyerang di daerah mata, infeksi sekunder, dan neuropati motorik. Komplikasi
yang tersering adalah neuralgia pasca herpes (NHP), yaitu nyeri yang masih menetap di area
yang terkena walaupun kelainan kulitnya sudah mengalami resolusi.
Perjalanan penyakit herpes zoster pada penderita imunokompromais sering rekuren,
cenderung kronik persisten, lesi kulitnya lebih berat (terjadi bula hemoragik), nekrotik, dan
sangat nyeri, tersebar diseminata, dan dapat disertai dengan keterlibatan organ dalam. Proses
penyembuhan juga berlangsung lebih lama. Dikenal beberapa variasi klinis herpes zoster, antara
lain :
a. Zoster sine herpete, bila terjadi nyeri segmental yang tidak diikuti dengan erupsi kulit.
b. Herpes zoster abortif, bila erupsi kulit hanya berupa eritema dengan atau tanpa vesikel
yang langsung mengalami resolusi sehingga perjalanan penyakitnya berlangsung singkat.
c. Herpes zoster aberans, bila erupsi kulitnya melalui garis tengah.

Bila virusnya menyerang nervus fasialis dan nervis auditorius terjadi sindrom Ramsay-
Hunt yaitu erupsi kulit timbul diliang telinga luar atau membrane timpani disertai paresis fasialis,
gangguan lakrimasi, gangguan pengecap 2/3 bagian depan lidah, tinnitus, vertigo, dan tuli.
Terjadi herpes zoster oftalmikus bila virus menyerang cabang pertama nervus trigeminus.
Bila mengenai anak cabang nasosiliaris (timbul vesikel dipuncak hidung yang dikenal sebagai
tanda Hutchinson).

5
2.1.7. Diagnosis
Diagnosis penyakit herpes zoster sangat jelas, karena gambaran klinisnya memiliki
karateristik tersendiri. Untuk kasus-kasus yang tidak jelas, deteksi antigen atau nucleic acid
varicella zoster virus, isolasi virus dari sediaan hapus lesi atau pemeriksaan antibody IgM
spesifik diperlukan. Pemeriksaan dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan
tes diagnostik yang paling sensitiv dan spesifik (dapat mendeteksi DNA virus varisela zoster dari
cairan vesikel).
Pemeriksaan kultur virus mempunyai sensitifitas yang rendah karena virus herpes labil
dan sulit to recover dari cairan vesikel. Pemeriksaan direct immunofluorecent antigen-staining
lebih cepat serta mempunyai sensitifitas yang lebih tinggi daripada kultur dan dipakai sebagai tes
diagnostik alternatif bila pemeriksaan PCR tidak tersedia.

2.1.8. Diagnosis Banding


Herpes zoster awal dapat didiagnosis banding dengan dermatitis venenata atau dermatitis
kontak. Herpes zoster yang timbul didaerah genitalia mirip dengan herpes simpleks, sedangkan
herpes zoster diseminata dapat mirip dengan varisela.

2.1.9. Penatalaksanaan
Prinsip dasar pengobatan herpes zoster adalah menghilangkan nyeri secepat mungkin
dengan cara membatasi replikasi virus, sehingga mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut.
Tatalaksana herpes zoster dibagi atas :
1. Sistemik
a. Obat Antivirus
Obat antivirus terbukti menurunkan durasi herpes zoster dan derajat
keparahan nyeri herpes zoter akut. Efektifitasnya dapat mencegah NPH masih
kontroversial.
Tiga antivirus oral yang disetujui oleh Food and Drug Adsministration (FDA)
untuk terapi herpes zoster yaitu, famsiklovir (Famvir), Valasiklovir
hidroklorida (Valtrex), dan asiklovir (Zovirax). Bioavibilitas asiklovir hanya
15-20%, lebih rendah dibandingkan valasiklovir (65%), dan famsiklovir

6
(77%). Dosis antivirus famsiklovir 3x500 mg, valasiklovir 3x1000 mg, dan
asiklovir 5x800 mg diberikan sebelum 72 jam awitan lesi selama 7 hari.
b. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral sering dilakukan. Prednisone yang digunakan
bersama dengan asiklovir dapat mengurangi nyeri akut. Hal ini disebabkan
penurunan derajat neuritis akibat infeksi virus dan kemungkinan juga
menurunkan derajat kerusakan pada saraf yang terlibat.
Akan tetapi, pada penelitian lain, penambahan kortikosteroid hanya
memberikan sedikit manfaat dalam memperbaiki nyeri dan tidak bermanfaat
untuk mencegah NPH , walaupun memberikan perbaikan kualitas hidup.
Resiko komplikasi terapi kortikosteroid lebih berat daripada keuntungan nya,
sehingga tidak dianjurkan pemberian kortikosteroid pada herpes zoster.
c. Analgetik
Pasien dengan nyeri akut ringan menunjukkan respons baik terhadap AINS
(asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenac), atau analgetik nonopioid
(paracetamol, tramadol, asam mefenamat). Kadang-kadang dibutuhkan opioid
(kodein, morfin, atau oksikodon) untuk pasien dengan nyeri kronik hebat.
Pernah dicoba pemakaian kombinasi paracetamol dengan kodein 30-60 mg.
d. Antidepresan dan antikonvulsan
Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa kombinasi terapi asiklovir
dengan antidepresan trisiklik atau gabapentin sejak awal mengurangi
prevalensi NPH.

2. Topikal
A. Analgetik topikal
o Kompres
Kompres terbuka dengan solusio Burowi dan solusio Calamin (Caladryl)
dapat digunakan dengan lesi akut untuk mengurangi nyeri dan pruritus.
Kompres dengan solusio Burowi (alumunium asetat 5%) dilakukan 4-6
kali/hari selama 30-60 meni. Kompres dingin atau cold pack juga sering
digunakan.

7
o Antiinflamasi non steroid (AINS)
Berbagai AINS topikal seperti bubuk aspirin dalam klorofom atau etil eter,
krim indometasin dan diklofenak banyak dipakai. Balakrishan S dkk.(2001),
melaporkan asam asetil topikal dalam pelembab lebih efektif dibandingkan
aspirin oral dalam memperbaiki nyeri akut. Aspirin dalam etil eter atau
kloroforom dilaporkan aman dan bermanfaat menghilangkan nyeri untuk
beberapa jam. Krim indometasin sama efektifnya dengan aspirin, dan
aplikasinya lebih nyaman. Penggunaannya pada area luas dapat menyebabkan
gangguan gastrointestinal akibat absopsi perkutan. Penelitian lain melaporkan
bahwa krim indometasin dan diklofenak tidak lebih baik dari plasebo.
B. Anestetik lokal
Pemberian anastetik lokal pada berbagai lokasi sepanjang jaras syaraf yang
terlibat dalam herpes zoster telah banyak dilakukan untuk menghilangkan nyeri.
Pendekatan seperti infiltrasi lokal subkutan, blok saraf perifer, ruang paravertebral
atau epidural, blok simpatis untuk nyeri yang berkepanjangan sering digunakan.
Akan tetapi, dalam studu prospektif dengan kontrol berskala besar, efikasi blok
saraf terhadap pencegahan NPH belum terbukti dan berpotensi menimbulkan
risiko.
C. Kortikosteroid
Krim/losio yang mengandung kortikosteroid tidak digunakan pada lesi akut
herpes zoster dan juga tidak dapat mengurangi risiko terjadinya NPH.

2.1.10. Pencegahan
Pemberian booster vaksin varisela strain Oka terhadap orang tua harus dipikirkan untuk
meningkatkan kekebalan spesifik terhadap virus varisela zoster sehingga dapat memodifikasi
perjalanan penyakit herpes zoster.

2.1.11. Komplikasi
a. Neuralgia Pasca Herpetika
Didefinisikan sebagai nyeri yang terus berlangsung selama 3 bulan setelah
lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri yang terus berlangsung selama 120 hari

8
sejak timbulnya lesi herpes zoster. Neuralgia pasca herpetik dapat diklasifikasikan
menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit),
neuralgia herpetik subakut (30-120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit).
Pasien mengeluhkan nyeri seperti terbakar atau nyeri tumpul yang terus
menerus dengan atau tanpa nyeri tajam (seperti disayat) paroksismal. Keduanya
dapat muncul spontan dan dapat diperberat hanya dengan sentuhan ringan seperti
kontak kulit dengan pakaian atau seprai atau karena terkena hembusan angin.
Aktivitas fisik, perubahan suhu dan emosi dapat mengeksaserbasi nyeri. Kualitas
hidup pasien dapat sangat terpengaruh sampai mengalami depresi.
Neuralgia pasca herpetik memiliki patofisiologi yang berbeda dengan
nyeri herpes zoster akut, dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster
yang disebabkan oleh replikasi jumlah virus varicella zoster yang besar dalam
ganglia yang ditemukan selama masa laten. Oleh karena itu, mengakibatkan
inflamasi atau kerusakan pada serabut saraf sensoris yang berkelanjutan, hilang
dan rusaknya serabut-serabut saraf atau impuls abnormal, serabut saraf
berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor hilang atau rusak dan
mengalami kerusakan terparah. Akibatnya, impuls nyeri ke medulla spinalis
meningkat sehingga pasien merasa nyeri yang hebat.

9
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. A
Umur : 30 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Bukittinggi
Pekerjaan : Security
Status : Menikah

3.2. Anamnesa
Keluhan Utama
Timbul gelembung-gelembung berair disertai kulit kemerahan dengan rasa nyeri di
punggung, lengan dan dada kanan.

Riwayat Penyakit Sekarang


Timbul gelembung-gelembung berair disertai kulit kemerahaan dengan rasa nyeri di
punggung, lengan dan dada kanan. Awalnya berupa bintik merah lalu muncul
gelembung ber air di rusuk kanan dan menyebar ke arah punggung lengan. Pasien
merasakan nyeri badan pegal-pegal dan agak demam.

Riwayat penyakit dahulu


Pasien tidak ingat apakah dulu pernah menderita cacar air atau tidak.

Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama.

Riwayat Kebiasaan
Pasien seorang satpam bekerja tiap malam sampai pagi.

10
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
KeadaanUmum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis Cooperatif
Staus Gizi : Sedang
Pemeriksaan Thoraks : Diharapkan dalam batas normal
Pemeriksaan Abdomen : Diharapkan dalam batas normal

Status Dermatologikus
Lokasi : Rusuk kanan, punggung kanan
Distribusi : Regional
Bentuk : Khas
Ukuran : Miliar-lentikuler
Batas : Tegas
Efloresensi : Plak eritem, papul, vesikel

11
Status Venereologikus
Kelainan selaput lendir : Tidak ditemukan kelainan
Kelainanrambut : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan kuku : Tidak ditemukan kelainan
Kelenjar Limfa : Tidak ditemukan pembesaran KGB

3.4. Diagnosa Kerja


Herpes zoster thorakalis setinggi Dermatom T3-T5

3.5. Diagnosa Banding


Dermatitis kontak.
Varisela.

3.6. Pemeriksaan Anjuran


Tidak dilakukan.
3.7. Penatalaksanaan
Umum
o Memberikan edukasi tentang penyakit pasien, penyebab, cara penularan dan
terapi.
o Edukasi kepada pasien agar minum obat secara rutin dan tepat waktu.

o Istirahat dan makan yang cukup.


o Menjaga kebersihan lesi agar tidak terjadi infeksi sekunder.
o Dilarang menggaruk lesi karena garukan dapat menyebabkan lesi lebih sulit
untuk sembuh atau terbentuk skar jaringan parut, serta berisiko terjadi infeksi
sekunder.
o Edukasi kepada pasien saat mandi jangan menggosok terlalu keras pada luka
di tangan agar tidak pecah dan lecet pada pasien agar selalu menjaga
higienitas diri.

12
Khusus
o Sistemik :
Antivirus oral, Asiklovir tablet 5x800 mg selama 7 hari.
Analgetik, Asam mefenamat tablet 3x500 mg.
o Topikal :
Salisil talk 2%.

3.8. Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
- Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam
- Quo ad functionam : Dubia ad Bonam
Resep

RSUD Acmad Mochtar


Ruangan/poliklinik: Kulit dan Kelamin
Dokter: dr. YR
SIP No: 1808/SIP/2017
Bukittinggi, 24 Agustus 2017

R/ Asyclovir tab 400 mg No. LXX


S5dd tab 2
R/ Asam mefenamat 500 mg No. XX
S3dd tab 1
R/ Salisil Talk No. I
Sue

Pro : Tn. A
Umur : 30 tahun
Alamat : Bukittinggi

13
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Herpes zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi erupsi
vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular unilateral yang
umumnya terbatas disatu dermatom.
Pada laporan kasus pasien mengeluhkan timbul gelembung-gelembung berair disertai
kulit kemerahaan dengan rasa nyeri di punggung, lengan dan dada kanan. Awalnya berupa bintik
merah lalu muncul gelembung ber air di rusuk kanan dan menyebar ke arah punggung lengan.
Pasien merasakan nyeri badan pegal-pegal dan agak demam. Pada status dermatologikus
ditemukan lokasi di rusuk kanan, punggung kanan, distribusi regional, bentuk khas, ukuran
miliar-lentikuler, batas tegas, efloresensi plak eritem, papul, vesikel. Sehingga dapat di
diagnosis Herpes Zoster thorakalis setinggi Dermatom T3-T5, dan ditatalaksana dengan
pengobatan sistemik dan topikal, serta diberikan edukasi yang tepat untuk pasien.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham AL, Breuer J, Dwyer DE, et al, The Prevention and Management of Herpes
Zoster.MJA .February 2008;188(3):171-6.
2. Schmader KE, Dworkin RH. Natural history and Treatment of Herpes Zoster. The journal
of pain.2008;9(1):S3-9
3. Schamder KE,Oxman MN, Schmader KE. Varicella and Herpes Zoster. In: Goldsmith
LA, katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ,Wollf K,editor.Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine;8 ed.New York: Mc-Graw-Hill;2012.p 2384-401
4. Cohen KR, Salbu RL, Frank J, Israel Igor.Presentation and Management of Herpes Zoster
(Shingles) in the Geriatric Population and Management of Herpes Zoster(Shingles)in the
GerIATRIC Population. P&T.2003;38(04): p 217-27

15

Anda mungkin juga menyukai