PENDAHULUAN
1
1.3 Manfaat Penulisan
1. Sebagai sumber media informasi mengenai fraktur secara umum.
2. Sebagai laporan kasus yang menyajikan analisis kasus tentang fraktur .
3. Untuk memenuhi tugas Referat kepaniteraan klinik senior di Bagian
Bedah RSUD Solok 2017.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan
menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z
Fraktur oleh karena remuk
Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendo akan menarik sebagian
tulang
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma
tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang. Dua faktor mempengaruhi
terjadinya fraktur: 9
4
Fraktur berasal dari:
(A) cedera
Dengan tenaga langsung tulang patah pada titik kejadian; jaringan lunak
juga rusak. Pukulan langsung biasanya mematahkan tulang secara transversal atau
membengkokkan tulang melebihi titik tupunya sehingga terjadi patahan dengan
fragmen “butterfly”. Kerusakan pada kulit diluarnya sering terjadi; jika crush
injury terjadi, pola faktur dapat kominutif dengan kerusakan jaringan lunak
ekstensif. 1
Dengan tenaga tidak langsung, tulang patah jauh dari dimana tenaga
dierikan; kerusakan jaringan lunak pada tempat fraktur jarang terjadi. Walaupun
sebagian besar fraktur disebabkan oleh kombinasi tenaga (perputaran,
pembengkokkan, kompresi, atau tekanan), pola x-ray menunjukkan mekanisme
yang dominan:
5
2.4 Tipe Fraktur 1
Menurut garis fraktur, Fraktur untuk alasan praktis dibagi menjadi beberapa
kelompok.
A. Fraktur komplit
Tulang terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Pola fraktur pada rontgen
dapat membantu memprediksi tindakan setelah reduksi: jika fraktur transversal
patahan biasanya akan tetap pada tempatnya setelah reduksi; jika fraktu oblique
atau spiral, tulang cenderung memendek dan kembali berubah posisi walaupun
tulang dibidai. Jia terjadi fraktur impaksi, fragmen terhimpit bersama dan garis
fraktur tidak jelas. Fraktur kominutif dimana terdapat lebih dari 2 fragmen tulang;
karena jeleknya hubungan antara permukaan tulang, cenderung tidak stabil.
B. Faktur inkomplit
Disini tulang tidak secara total terbagi dan periosteum tetap intak. Pada fraktur
greenstick tulang membengkok; hal ini terjadi pada anak-anak yang tulangnya
lebih lentur dibandingkan dewasa. Anak-anak juga dapat bertahan terhadap cedera
dimana tulang berubah bentuk tanpa terlihat retakan jelas pada foto rontgen.
6
2.5 Klasifikasi Fraktur3,7,8
Klasifikasi etiologis
o Fraktur traumatik : terjadi karena trauma yang tiba-tiba
o Fraktur patologis : terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya
akibat kelainan patologis di dalam tulang
o Fraktur stres : terjadi karena adanya trauma yang terus menerus
pada suatu tempat tertentu
Klasifikasi klinis
o Fraktur tertutup (simple fracture) : suatu fraktur yang tidak
mempunyai hubungan dengan dunia luar, disebut dengan fraktur
bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur
tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
o Fraktur terbuka (compound fracture) : fraktur yang mempunyai
hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan
lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from without
(dari luar).
Fraktur terbuka dibagi berdasarkan klasifikasi Gustilo-Anderson,
yang pertama kali diajukan pada tahun 1976 dan modifikasi pada
tahun 1984.5
7
Tabel. 1. Derajat Patah Tulang Terbuka Menurut Gustillo dan Anderson
8
Klasifikasi Nicol
Anamnesis
Biasanya pasien datang dengan suatu trauma, baik yang hebat maupun
trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan
anggota gerak. Pasien biasanya datang karena adanya nyeri yang
terlokalisir dimana nyeri tersebut bertambah bila digerakkan,
pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan
gerak, krepitasi atau dengan gejala-gejala lain.
Pemeriksaan fisik
9
Pada pemeriksaan awal pasien, perlu diperhatikan adanya :
1. Syok, anemia atau pendarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang
belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul, dan
abdomen
3. Faktor predisposisi misalnya pada fraktur patologis
Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)
a) Ekspresi wajah karena nyeri
b) Bandingkan dengan bagian yang sehat
c) Perhatikan posisi anggota gerak
d) Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi, dan
kependekan
e) Perhatikan adanya pembengkakan
f) Perhatikan adanya gerakan yang abnormal
g) Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka
h) Ekstravasasi darah subkutan (ekimosis) dalam beberapa jam sampai
beberapa hari
i) Perhatikan keadaan vaskular
2. Palpasi (Feel)
10
d) Pemeriksaan vaskular pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan
anggota gerak yang terkena. Dinilai juga refilling (pengisian) arteri
pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma, dan
temperatur kulit.
e) Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui
adanya perbedaan panjang tungkai
3. Pergerakan (Move)
4. Pemeriksaan neurologis
5. Pemeriksaan radiologis
11
f) Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler
g) Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang
h) Untuk melihat adanya benda asing, misalnya peluru
Penatalaksanaan awal
Sebelum dilakukan pengobatan definitif pada satu fraktur, maka
diperlukan :
1. Pertolongan pertama
Pada pasien dengan fraktur yang penting dilakukan adalah
membersihkan jalan nafas, menutup luka dengan verban yang bersih,
dan imobilisasi fraktur pada anggota gerak yang terkena agar pasien
merasa nyaman dan mengurangi nyeri sebelum diangkut dengan
ambulans. Bila terdapat pendarahan dapat dilakukan pertolongan
dengan penekanan setempat.
2. Penilaian klinis
Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis,
apakah luka itu luka tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/
saraf ataukah ada trauma alat-alat dalam yang lain.
3. Resusitasi
Kebanyakan pasien dengan fraktur multipel tiba di rumah sakit dengan
syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada
frakturnya sendiri berupa pemberian transfusi darah dan cairan lainnya
serta obat-obat anti nyeri.
12
pasien ke rumah sakit yang baik, dan mencegah terjadinya infeksi dan
kerusakan jaringan yang lebih parah.
13
Pada kebanyakan fraktur, proses penyatuan tulang merupakan
proses penyembuhan yang terjadi secara alami. Namun pada beberapa
kasus, misalnya dengan robekan periosteum berat dan jaringan lunak atau
dengan nekrosis avaskular pada satu atau dua fragmen, proses penyatuan
tulang harus dengan autogenous bone grafts, pada tahap penyembuhan
awal atau lanjut.
14
a) Recognition; diagnosis dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur
dengan anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal
pengobatan perlu diperhatikan lokalisasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan, dan komplikasi yang
mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
15
Tujuan pengobatan fraktur yaitu :
a. Reduksi,
– Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi
terbuka. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera
mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi
karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mengalami penyembuhan.
16
Traksi, dapat digumnakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
b. Imobilisasi,
17
Tabel 3. Perkiraan waktu imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan tulang
fraktur
18
c. Rehabilitasi,
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu :1,3
1. Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil
yang melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada
daerah fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur.
Hematoma yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan
dapat mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat
terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak.
Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu
reaksi penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel
19
osteogenik yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna
serta pada daerah endosteum membentuk kalus interna sebagai aktifitas seluler
dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum,
maka penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak
berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan
fraktur ini terjadi pertambahan jumlah dari sel-sel osteogenik yang memberi
pertumbuhan yang cepat pada jaringan osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari
tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler tidak terbentuk dari organisasi
pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa minggu, kalus dari
fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan osteogenik. Pada
pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga merupakan
suatu daerah radiolusen.
20
5. Fase remodelling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian
yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada
fase remodelling ini, perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap
terjadi proses osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan
menghilang. Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi
sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk
membentuk ruang sumsum.
21
Gambar 6. Fase Remodeling
22
lanjut dapat dilihat adanya medulla atau ruangan dalam daerah fraktur.
Pada proses penyembuhan patah tulang ini dapat mengalami beberapa gangguan,
diantaranya adalah :
23
1. Terjadi perlambatan penyembuhan patah tulang, disebut juga “pertautan
lambat”dan dengan berlalunya waktu pertautan akan terjadi.
3. Terjadi pertautan namun dalam posisi yang salah, keadaan ini disebut juga
“salah-taut”.
2. Infeksi
3. Interposisi
Interposisi jaringan seperti otot atau tendo antara kedua fragmen patah
tulang dapat menjadi halangan perkembangan kalus antara ujung patahan tulang.
Penyebab yang lain, karena distraksi yang mungkin disebabkan oleh kelebihan
traksi atau karena tonus dan tarikan otot.
24
4. Gangguan perdarahan setempat
6. Kehilangan tulang
8. Keganasan local
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat
penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik.1,2
25
a. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan
gangguan fungsi pernafasan. Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat
terjadi dalam 24 jam pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu
akan terjadi gangguan metabolisme, berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi
umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau
gas gangren.
b. Komplikasi Lokal
Komplikasi dini
• Pada Tulang
1. Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial
karena edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan
melakukan pemasangan elastik.
• Pada Otot
26
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut
terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut
yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit
dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush atau thrombus.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis.
Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan
mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan
intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri
yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh
vena yang putus perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal
lesi.
• Pada saraf
27
Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada
pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau
perpanjangan.
• Delayed union
• Non union
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang
luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang
tidak memadai, implant atau gips yang tidak memadai, distraksi interposisi,
infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis).
• Mal union
28
• Osteomielitis
• Kekakuan sendi
29
BAB III
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
31