PENDAHULUAN
1
Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai
dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. Gejala utama Appendicitis acuta
adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu
menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-
12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi
di RLQ.1
Mortalitas dari Appendicitis di Amerika Serikat menurun terus dari 9,9%
per 100.000 pada tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor-
faktor yang menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis
adalah sarana diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan intravena yang semakin
baik, ketersediaan darah dan plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang
mendapat terapi tepat sebelum terjadi perforasi.1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 1. Intestinum, Colon, Appendix, Caecum, Rectum, Canalis Analis
(Anterior).
4
Gambar 2. Variasi Letak Appendix.
5
Gambar 3. Perdarahan Intestinum, Colon, Appendix, Caecum, Rectum, Canalis
Analis.
2.2 Fisiologi Appendix
Appendix merupakan komponen dari Gut-Associated Lymphoid Tissue
(GALT) yang berperan dalam sekresi imunoglobulin, yaitu imunoglobulin A
(IgA). Immunoglobulin ini sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan Appendix tidak memengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limf disini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. Jaringan limfoid muncul
pertama kali pada Appendix sekitar dua minggu setelah kelahiran dan jumlahnya
terus meningkat hingga usia pubertas, bertahan selama beberapa dekade lalu
mulai menurun seiring bertambahnya usia. Selain itu, lapisan mukosa Appendix
dapat menghasilkan cairan, mucin, dan enzim-enzim proteolitik.3
6
Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis
akibat adanya obstruksi pada lumen Appendix .3
Gambar 5. Appendicitis.
2.3.3 Etiologi
a. Peranan Lingkungan diet dan higiene
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks
dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan
mempermudah timbulnya appendicitis. Diet memainkan peran utama pada
pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian
7
appendicitis jarang di negara yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi
serat dan konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma
kolon adalah penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan
menghasilkan feses dengan konsistensi keras.4
b. Peranan Obstruksi
8
lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam
submukosa. Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi
berupa peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding
yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer
akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding apendiks akan
bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa dinding apendiks.
Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena dan
terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari apendiks,
infark seterusnya melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut
dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi, sehingga pus akan tercurah
kedalam rongga peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada
peritoneum parietale. Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat
tergantung dari kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut,
jika infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-
anak omentum belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif
untuk mengatasi infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami
komplikasi.4
9
2.3.4 Patofisiologi
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari
pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan
tekanan organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat
menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat.
Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata.
Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada
regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ.3
10
terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal
tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya,
peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi
Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark,
dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti
demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena
iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix
berhubungan dengan Peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi
dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc
Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului
nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di
pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai
peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi.
Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau
pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau
pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri
pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat
penyebaran infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau
nyeri seperti terjadi retensi urine.2
2.3.5 Bakteriologi
11
Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix
normal. Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan
bakteri jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi
Appendix yang normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang
menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan
tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normal Colon memainkan
peranan penting pada perubahan Appendicitis acuta ke Appendicitis gangrenosa
dan Appendicitis perforata.3
12
Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis
perforata dan non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur
selesai, seringkali pasien telah mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang
dikultur dan kemampuan laboratorium untuk mengkultur organisme anaerob
secara spesifik sangat bervariasi. Kultur peritoneal harus dilakukan pada pasien
dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat-obatan atau penyakit lain,
dan pasien yang mengalami abscess setelah terapi Appendicitis. Perlindungan
antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus Appendicitis non perforata. Pada
Appendicitis perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga
leukosit normal atau pasien tidak demam dalam 24 jam.2
1. Appendicitis Akut
13
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas
di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri
dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.3
c. Appendicitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda
supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks
berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis akut
gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.3
2. Appendicitis Infiltrat
3. Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal,
dan pelvic.3
4. Appendicitis Perforasi
5. Appendicitis Kronis
14
sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan
virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa
appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks
menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat
infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia,
dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.3
15
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix,
biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh
meningkat hingga lebih dari 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai
Appendicitis. Pada 75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi
satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus.
Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri
perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis
Appendicitis diragukan. Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal
nyeri perut dan banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air
besar. Diare timbul pada beberapa pasien terutama anak-anak.4
Manifestasi Skor
Gejala Rasa nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri tekan RLQ 2
Nyeri lepas (Rebound) 1
Suhu meningkat 1
Hasil laboratorium Leukositosis 2
Shift to the left 1
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis
Tabel 2. Skor Alvarado
16
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor lebih
dari 6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan. Variasi dari lokasi anatomi
Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri.4
Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan
iritasi peritoneum. Sering positif pada Appendicitis namun tidak
spesifik.
Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang
lutut pasien dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian
tungkai kanan pasien digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri
pada manuver ini menggambarkan kekakuan musculus psoas kanan
akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal dari peradangan
Appendix. Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas
abdomen.
Obturator sign
17
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak
kaki kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian
pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan
articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini
positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri
pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi Appendix, abscess
lokal, iritasi M. Obturatorius oleh Appendicitis letak retrocaecal, atau
adanya hernia obturatoria.
18
Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)
Wahl’s sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan
perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada
auskultasi.
Baldwin’s test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat tungkai
kanannya ditekuk.
Defence musculare
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di cavum
Douglasi atau Appendicitis letak pelvis.
Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi lateral. Jika
daerah infeksi dapat dicapai saat dilakukan pemeriksaan ini, akan memberikan
rasa nyeri pada arah jam 9 sampai jam 12. Maka kemungkinan apendiks yang
meradang terletak didaerah pelvis. Pada appendicitis pelvika kunci diagnosis
adalah nyeri terbatas pada saat dilakukan colok dubur. 1,7
19
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai
awal keluhan nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis
apenddicitis akut. Pada pasien dengan apendicitis akut, 70-90% hasil laboratorium
nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang
karakteristik. Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan
gambaran laborotorium yang terkadang sulit dibedakan dengan appendicitis akut
Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada dasarnya
inflamasi merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu jejas. Reaksi
tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler. Pada anak
dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik apenddicitis akut, akan
ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis 11.000-14.000/mm3,
dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%.
Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi
dan peritonitis. Pada metode lain dikatakan penderita appendicitis akut bila
ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi
atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3. Ada juga metode yang
menyatakan bahwa kombinasi antara kenaikan angka lekosit dan granulosit adalah
yang dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa appendicitis akut.3
20
inflamasi akut dan menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan
urinalisis ditemukan jumlah sel lekosit 10-15 sel/lapangan pandang. 3
21
Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan
pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat
menentukan penyakit lain yang menyertai appendicitis. Barium enema adalah
suatu pemeriksaan x-ray dimana barium cair dimasukkan ke kolon dari anus untuk
memenuhi kolon. Tes ini dapat seketika menggambarkan keadaan kolon di sekitar
apendiks dimana peradangan yang terjadi juga didapatkan pada kolon. Impresi
ireguler pada basis sekum karena edema (infiltrasi sehubungan dengan gagalnya
barium memasuki apendiks (20% tak terisi). Terisinya sebagian dengan distorsi
bentuk kalibernya tanda appendicitis akut, terutama bila ada impresi sekum.
Sebaliknya lumen apendiks yang paten menyingkirkan diagnosa appendicitis akut.
Bila barium mengisi ujung apendiks yang bundar dan ada kompresi dari luar yang
besar di basis sekum yang berhubungan dengan tak terisinya apendiks tanda abses
apendiks. Barium enema juga dapat menyingkirkan masalah-masalah intestinal
lainnya yang menyerupai apendiks, misalnya penyakit Chron, inverted appendicel
stump, intususepsi, neoplasma benigna/maligna.3
3. Ultrasonografi
22
Akurasi ultrasonografi sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan
kemampuan pemeriksa. Pada beberapa penelitian, akurasi antara 90 –94%, dengan
nilai sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85 dan 92%. Pemeriksaan dengan
Ultrasonografi (USG) pada appendicitis akut, ditemukan adanya fekalit, udara
intralumen, diameter apendiks lebih dari 6 mm, penebalan dinding apendiks lebih
dari 2 mm dan pengumpulan cairan perisekal. Apabila apendiks mengalami ruptur
atau perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup udara maka
abses apendiks dapat diidentifikasi. 4
“Ultrasonogram showing
longitudinal section (arrows) of
inflamed appendix”
23
4. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan
ini. Gambaran penebalan dinding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang
melekat, mendukung keadaan apendiks yang meradang. CT-Scan mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90–100% dan 96–97%, serta akurasi
94–100%. CT-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau
flegmon. Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat
berguna untuk mendiagnosis appendicitis dan abses periappendikular sekaligus
menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga perut dan pelvis yang
menyerupai appendicitis.4
5. Laparoskopi (Laparoscopy)
24
6. Histopatologi
1. Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.
2. Abses pada kripte dengan sel granulosit di lapisan epitel.
3. Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel.
4. Sel granulosit di atas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler,
dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
5. Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan
keterlibatan lapisan mukosa, bukan appendicitis akut tetapi periappendicitis.
25
sakit tidak dapat ditentukan lokasinya secara tepat seperti pada Appendicitis.
Observasi selama beberapa jam bila ada kemungkinan diagnosis Adenitis
mesenterica, karena Adenitis mesenterica adalah penyakit yang self limited.
Namun jika meragukan, satu-satunya jalan adalah operasi segera.3
2. Gastroenteritis akut
Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan
dengan Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi
akut self limited dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare,
mual, dan muntah. Nyeri hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare.
Hasil pemeriksaan laboratorium biasanya normal. 3
4. Diverticulitis Meckel
5. Intususepsi
26
tahun, sedangkan Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah
umur 2 tahun. Pasien biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir.
Massa berbentuk sosis dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih pada
intususseption bila tidak ada tanda-tanda peritonitis adalah barium enema,
sedangkan terapi pemberian barium enema pada pasien Appendicitis acuta sangat
berbahaya. 3
7. Batu Urethra
8. Kelainan–kelainan ginekologi
27
Pelvic Inflammatory Disease (PID)
Infeksi ini biasanya bilateral tapi bila yang terkena adalah tuba sebelah kanan
dapat menyerupai Appendicitis. Mual dan muntah hampir selalu terjadi pada
pasien Appendicitis. Pada pasien PID hanya sekitar separuhnya.4
2.3.10 Penatalaksanaan
28
pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas
daerah apendiks (Sanyoto, 2007).
Perbaikan keadaan umum dengan infus,
pemberian antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob,
dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan.2
Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah
laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang
dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan
appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih
lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut
diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter
sehingga secara kosmetik lebih baik.2
a. Open Appendectomy
Horizontal Oblique
29
3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara:
a. Pararectal/ Paramedian
sayatan
M.rectus abd. M.rectus abd.
ditarik ke
2 lapis medial
30
Keterangan gambar:
Satu incisi kulit yang rapi dibuat dengan perut mata pisau. Incisi
kedua mengenai jaringan subkutan sampai ke fascia M. Obliquus
abdominis externus.
Keterangan gambar:
Keterangan gambar:
31
Pada saat menarik M. obliquus internus hendaklah berhati-hati agar
tak terjadi trauma jaringan. Dapat ditambahkan, bahwa N.
iliohipogastricus dan pembuluh yang memperdarahinya terletak di
sebelah lateral di antara M. obliquus externus dan internus. Tarikan
yang terlalu keras akan merobek pembuluh dan membahayakan
saraf.
4. Peritoneum dibuka.
Keterangan gambar:
32
Mesoappenddix ditembus dengan sonde kocher dan pada kedua sisinya,
diklem, kemudian dipotong di antara 2 ikatan.
Keterangan gambar:
6. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi
lebih kuat karena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah
Caecum). Klem dipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang
pertama diikat dengan benang yang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga
tidak terbentuk rongga dan bila terbentuk pus akan masuk ke dalam
Caecum).
33
7. Appendix dipotong di antara ikatan dan klem, puntung diberi betadine.
34
9. Bila no.7 tidak dapat dilakukan, maka Appendix dipotong dulu, baru
dilepaskan dan mesenteriolumnya (retrograde).
b. Laparoscopic Appendectomy
35
Gambar 13. Laparoscopic Appendectomy
2.3.11 Komplikasi
A. Komplikasi Appendicitis acuta
Appendicitis perforata
Appendicular infiltrat
Appendicular abscess
Peritonitis
Mesenterial pyemia
Septic shock
B. Komplikasi post operasi
Fistel
Hernia cicatricalis
Ileus
Sumbernya adalah echymosis dan erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin
karena emboli retrograd dari sistem porta ke dalam vena di gaster atau
duodenum.4
2.3.12 Prognosis
Dengan diagnosis dan pembedahan yang cepat, tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Angka kematian lebih tinggi pada anak dan
orang tua. Apabila appendiks tidak diangkat, dapat terjadi serangan berulang.4
36
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
37
Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis
akibat adanya obstruksi pada lumen Appendix.
Gejala klinis Appendicitis meliputi nyeri perut, anorexia, mual, muntah, nyeri
berpindah, dan gejala sisa klasik berupa nyeri periumbilikal, kadang demam yang
tidak terlalu tinggi. Tanda klinis yang dapat dijumpai dan manuver diagnostik
pada kasus Appendicitis adalah Rovsing’s sign, Psoas sign, Obturator sign,
Blumberg’s sign, Wahl’s sign, Baldwin test, Dunphy’s sign, Defence musculare,
nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau
Appendix letak pelvis, nyeri pada pemeriksaan rectal toucher.
DAFTAR PUSTAKA
38
1. Medscape (2014) Appendicitis, February, [Online], Available:
http://www.emedicine.medscape.com/article/773895-overview [20 Juli 2014].
39