Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,


misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan
golongan jamur dermatofita. Jamur ini dapat menginvasi seluruh lapisan stratum
korneum dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respons imun pejamu. Infeksi
dermatofitosis dikenal dengan nama tinea dan dibagi berdasarkan lokasi.

Dermatofit berkemampuan menginfeksi struktur kulit yang berkeratinisasi,


termasuk stratum korneum, kuku, dan rambut. Istilah tinea digunakan pada
dermatofitosis dan dimodifikasi sesuai dari bagian tubuh yang terinfeksi, misalnya
tinea kapitis, tinea barbe, tinea kruris, sekitar anus, tinea pedis et manum, tinea
unguium, dan tinea korporis.

Pada tinea korporis, manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada


stratum korneum dan tidak berkembang pada jaringan yang hidup. Metabolisme
dari jamur dipercaya menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis
umumnya tersebar pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di daerah tropis.

Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi pada
iklim yang panas (tropis dan subtropis). Ada beberapa macam variasi klinis dengan
lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya. Variasi ini
akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Case report session ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi
dan diharapkan agar dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan
informasi bagi para pembaca, khususnya kalangan medis, tentang tinea korporis.

1
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan penulisan dari referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi,
patogenesa, penegakkan diagnosis, penatalaksanaan dan laporan kasus tinea
korporis.

1.3 Metode Penulisan


Case report session ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang
merujuk pada berbagai literatur.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi

Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit tubuh yang tidak berambut
(glabrous skin), kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha.

2.2 Epidemiologi

Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai didaerah


yang panas, Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum diseluruh
dunia dan sekitar 47 % menyebabkan tinea korporis. Tricophyton tonsuran
merupakan dermatofit yang lebih umum menyebabkan tinea kapitis, dan orang
dengan infeksi tinea kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea korporis..
Walaupun prevalensi tinea korporis dapat disebabkan oleh peningkatan
Tricophyton tonsuran, Microsporum canis merupakan organisme ketiga sekitar
14% menyebabkan tinea korporis.
Tinea korporis mungkin ditransmisikan secara langsung dari infeksi
manusia atau hewan melalui autoinokulasi dari reservoir, seperti kolonisasi
T.rubrum di kaki. Anak-anak lebih sering kontak pada zoofilik patogen seperti
M.canis pada kucing atau anjing. Pakaian ketat dan cuaca panas dihubungkan
dengan banyaknya frekuensi dan beratnya erupsi. Infeksi dermatofit tidak
menyebabkan mortalitas yang signifikan tetapi mereka bisa berpengaruh besar
terhadap kualitas hidup. Tinea korporis prevalensinya sama antara pria dan wanita.
Tinea korporis mengenai semua orang dari semua tingkatan usia tapi prevalensinya
lebih tinggi pada preadolescen. Tinea korporis yang berasal dari binatang umumnya
lebih sering terjadi pada anak-anak. Secara geografi lebih sering pada daerah tropis
daripada subtropis.

Berdasarkan habitatnya dermatofit digolongkan sebagai antropofilik


(manusia), zoofilik (hewan), dan geofilik (tanah). Dermatofit yang antropofilik
paling sering sebagai sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik di
identifikasi (jika mungkin) untuk mencegah reinfeksi manusia.

3
2.3 Etiologi

Dermatofitosis disebabkan oleh jamur yang berasal dari genus Microsporum,


Trichophyton, dan Epidermophyton. Organisme-organisme ini, yang disebut
dermatofit, adalah agen patogenik yang keratinofilik yang dapat menyerang rambut,
kulit dan kuku. Klasifikasi dermatofit, antara lain:
1. Zoophilic dermatofit; sering ditemukan pada hewan tetapi dapat ditransmisikan
ke manusia, dapat menyebabkan inflamasi akut berupa pustul dan vesikel.
Beberapa spesies dermatofit jenis ini, antara lain:
Trichophyton erinacei (landak)
Trichophyton mentagrophytes (hewan pengerat)
Trichophyton interdigitale, zoophilic strains (hewan pengerat)
Trichophyton simii (monyet)
Trichophyton equinum (kuda)
Trichophyton verrucosum (hewan ternak)
Microsporum amazonicum (tikus)
Microsporum canis (kucing, anjing)
Microsporum gallinae (burung hantu dan burung lainnya)
Microsporum nanum (babi)
Microsporum persicolor (tikus dan hewan pengerat lainnya)
Microsporum praecox (kuda)
2. Anthropophilic dermatofit; sering ditemukan pada manusia dan sangat jarang
ditransmisikan ke hewan, menyebabkan inflamasi ringan atau tidak ada
inflamasi sama sekali, bersifat kronik. Beberapa spesies dermatofit jenis ini,
antara lain:
a. Spesies yang terdistribusi di seluruh dunia:
T. rubrumt
T. interdigitale
T. tonsurans
E. floccosum
M. audouinii

4
b. Spesies yang terbatas pada letak geografis:
M. ferrugineum (tersebar di Afrika, India, Eropa Timur, Asia, dan
Amerika Selatan)
T. concentricum (tersebar di Pulau Pasifik, India, dan Amerika
Selatan)
T. gourvilii (tersebar di Afrika Tengah dan Afrika Selatan)
T. schoenleinii (tersebar di Eropa, Mediterania, Timur Tengah, Afrika
Selatan, dan secara sporadis di Amerika Serikat)
T. soudanense (tersebar di Afrika Tengah dan Afrika Selatan)
T. violaceum (tersebar di Afrika, Eropa, dan Asia)
3. Geophilic dermatofit; sering ditemukan pada tanah, karena mereka
mendekomposisi rambut, bulu, dan sumber-sumber keratin yang lain. Jenis
dermatofit ini tidak hanya menginfeksi manusia, tetapi juga hewan,
menyebabkan inflamasi yang sedang. Beberapa spesies dermatofit jenis ini,
antara lain:
Trichophyton ajelloi
Trichophyton eboreum
Trichophyton flavescens
Trichophyton gloriae
Trichophyton phaseoliforme
Trichophyton terrestre
Trichophyton thuringiense
Trichophyton vanbreuseghemii
Microsporum cookei
Microsporum fulvum
Microsporum gypseum
Microsporum racemosum

Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofit seperti


Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Variasi penyebabnya dapat

5
ditemukan berdasarkan spesies yang terdapat di daerah tertentu. Namun demikian
yang lebih umum menyebabkan tinea korporis adalah T.rubrum, T.mentagrophytes,
dan M.canis

2.4 Klasifikasi
Terdapat Berbagai variasi gambaran klinis dermatofitosis, hal ini
bergantung pada spesies penyebab, ukuran inokulum jamur, bagian tubuh yang
terkena, dan sistem imun pejamu. Selanjutnya untuk kemudahan diagnosis dan
tatalaksana maka dermatofitosis dibagi menjadi beberapa bentuk, yaitu :
- Tinea capitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
- Tinea barbae, dermatofitosis pada dagu dan jenggot
- Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong,
dan kadang kadang sampai perut bagian bawah
- Tinea pedis at manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan
- Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari, tangan dan kaki
- Tinea korporis, dermatofitosis pada kuilit glabrosa pada bagian lain yang
tidak termasuk bentuk lima tinea diatas.
Selain enam bentuk tinea masih di kenal istilah yang punya arti khusus yaitu :
- Tinea imbrikata : dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris
dan disebabkan Trichophyton concentricum
- Tinea favosa atau favus : dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh
Trichopyton schoenleini : secara klinis antara lain terbentuk skutula dan
berbagai seperti macam seperti tikus (mousy odor)
- Tinea fasialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukkan kelainan
- Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis
Keempat istilah tersebut di angggap sebagai tinea korporis. Selain itu, dikenal
istilah tinea incognito, yang berarti dermatofitosis dengan bentuk klinis yang tidak
khas oleh karena telah di obati dengan steroid topical yang kuat.

6
Gambar 1. Tinea capitis

Gambar 2. Tinea Barbae

7
Gambar 3. Tinea Kruris

Gambar 4. Tinea Pedis

Gambar 5. Tinea Unguium

8
Gambar 6. Tinea Corporis

2.5 Patogenesis

Kulit tubuh sendiri merupakan barrier fisik yang sangat efektif untuk melawan
invasi jamur, dimana aksi neutrofil, proliferasi seluler epidermal, dan keratinisasi
adalah bentuk respon host yang sangat penting untuk melawan mikroorganisme
serta eliminasi dari jamur/fungus. Invasi epidermis oleh dermatofit mengikuti pola
biasa pada infeksi yang diawali dengan pelekatan antara artrokonidia dan
keratinosit yang diikuti dengan penetrasi melalui sel dan antara sel serta
perkembangan dari respon penjamu.
Adhesi; Pada stratum korneum, fase pertama dari invasi dermatofit melibatkan
infeksi artrokonidia ke keratinosit. Dermatofit ini harus bertahan dari efek sinar
ultraviolet, temperatur dan kelembaban yang bervariasi, kompetisi dengan
flora normal, dan dari asam lemak yang bersifat fungistatik. Faktor yang
memediasi perlengkatan/adhesi pada dermatofit masih sedikit diketahui, akan
tetapi terdapat hipotesis adanya protease dermatofitik yang diperlukan untuk
efisiensi adhesi dermatofit.
Penetrasi; Dermatofit mampu mensekresikan multipel serine-subtilisins dan
metalloendoprotease (fungalisin) yang disebut dengan keratinase yang bersifat

9
keratinofilik. Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang
terbentuk tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa cara:
a. Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal,
memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat pada
dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan membentuk
biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat bertahan
terhadap fagositosis.
b. Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan
imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah
kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada dinding
sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3, MAC1) pada
dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan terhambat.
c. Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak
atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau
protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi
protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan
proses invasi oleh jamur, dan memproduksi siderospore (suatu molekul
penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk menangkap zat
besi untuk kehidupan aerobik.
Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi dan
dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi kemampuan dermatofit
dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum.
Pertahanan tubuh dan imunologi; Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial
tetap dapat membangkitkan baik imunitas humoral maupun cell-mediated
immunity (CMI). Pembentukan CMI yang berkorelasi dengan Delayed Type
Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan dengan penyembuhan klinis
dan pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan
CMI dapat mencegah suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi
dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik ini melibatkan antigen
dermatofit dan CMI

10
2.6 Manifestasi Klinis
Pada tinea korporis kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat
atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang kadang dengan
vesikel dan papul di tepi. Daerah tengah biasa nya lebih tenang. Kadang kadang
terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi lesi pada umum nya merupakan bercak
bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi
lesi dengan pinggir yang polisiklik, karna beberapa lesi kulit yang menjadi satu.
Bentuk dan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak anak dari
pada orang dewasa karena umum nya mereka mendapat infeksi baru pertama kali.
Pada tinea korporis yang menahun tanda radang akut biasa nya tak terlihat lagi.
Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama sama dengan kelainan
pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau sebalik nya tinea
cruris et corporis.

2.7 Penegakkan Diagnosis

Diagnosis tinea di tegak kan melalui anamnesis, dan pemeriksaan fisik dengan
mengidentifikasi tanda dan gejala yang ada dan dapat di bantu dengan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegak kan diagnosis terdiri
atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain, missal nya
pemeriksaan histopatologik, percobaan binatang, dan imunologik tidak
diperlukaan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan
bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut dan kuku. Bahan untuk
pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan sebagai berikut : terlebih dahulu
tempat kelainan dibersihkan dengan spiritus 70%, kemudian untuk :

1. Kulit tidak berambut (glabrow skin)


Dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit diluas kelainan sisi
kulit dan kulit di kerok dengan pisau tumpul steril
2. Kulit berambut
Rambut di cabut pada bagian kulit yang mengalami kelainan. Kulit di
daerah tersebut di kerok untuk mengumpulkan sisik kulit. Pemeriksaan
dengan lampu wood dilakukan sebelum pengumpulan bahan untuk

11
mengetahui lebih jelas daerah yang terkena infeksi dengan kemungkinan
adanya fluoresensi pada kasus kasus tinea kapitis tertentu.
3. Kuku
Bahan di ambil dari bagian kuku yang sakit dan diambil sedalam dalam nya
sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan di bawah kuku di ambil pula.

Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula


mula dengan pembesaran 10x10 kemudian dengan pembesaran 10x45.
Pemeriksaan dengan pembesaran 10x100 biasa nya tidak diperlukan. Sediaan basah
di buat dengan meletak kan bahan diatas gelas alas, kemudian di tambah 1-2 tetes
larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut adalah 10% dan
untuk kulit dan kuku 20 %. Setelah sediaan di campur dengan larutah KOH,
ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk
mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah diatas api
kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaa tersebut, pemanasan sudah cukup. Bila
terjadi penguapan, maka akan terbentuk Kristal KOH, sehingga tujuan yang di
inginkan tidak tercapai. Utnuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan
zat warana pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchroom blue black.

Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai 2 garis sejajar,
terbagi oleh sekat, dan bercabang-cabang, maupun spora berderet (artrospora) pada
kelainan kulit lama dan / atau sudah diobati. Pada sediaan rambut yang dilihat
adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat tersusun
diluar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut( endotriks). Kadang-kadang dapat
terlihat juga hifa pada sediaan rambut.

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan


langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap
paling baik pada waaktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Pada agar
Saboraud dapat ditambah antibiotic saja ( kloramfenikol) atau ditambah pula
klorheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindari kontaminasi
bacterial maupun jamur kontaminan.

12
Gambar 7. Hifa

2.8 Diagnosis Banding

Ada beberapa penyakit kulit yang gambarannya mirip dengan tinea korporis,
yaitu:

1. Dermatitis seboroik
Kelainan kulit terdiri atas eritema, dan skuama yang berminyak dan agak
kekuningan batasnya agak kurang tegas. Pada daerah supraorbital, skuama-
skuama halus dapat terlihat di alis mata, kulit dibawahnya eritematosa dan
gatal, disertai bercak-bercak skuama kekuningan, dapat terjadi pula
blefaritis, yakni pinggir kelopak mata merah disertai skuama-skuama halus.

13
Gambar 8. Gambaran efloresensi pada dermatitis seboroid.
2. Dermatitis atopik
Pada anak usia 2 bulan, lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema,
papulo - vesikel yang halus.

Gambar 9. Gambaran dermatitis atopic pada anak.

14
3. Dermatitis kontak
Terbatas pada tempat kontak kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar,
kelainan yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis.
Pinggir kulit berbatas tegas, dan pada umumnya asimetris.

Gambar 10. Gambaran kontak dermatitis pada orang dewasa dengan


penampakan eritema edema dengan pinggir lesi berbatas tegas.
4. Lupus eritematous
Kelainan biasanya berlokalisasi simetrik dimuka (terutama hidung, pipi),
telinga atau leher. Lesi terdiri dari bercak-bercak (macula merah atau bercak
meninggi). Bila lesi-lesi diatas hidung dan pipi berkonfluensi, dapat
berbentuk seperti kupu-kupu.

15
Gambar 11. Gambaran klinik pada lupus eritematous menunjukkan bercak
merah yang simetris yang membentuk gambaran seperti kupu-kupu.
5. Rosasea
Tempat predileksi rosasea adalah di sentral wajah, yaitu hidung, pipi, dagu,
kening, dan alis. Gejala utama rosasea adalah eritema, telangiektasia, papul,
edema, dan pustul.

Gambar 12. Gambaran efloresensi pada rosasea. Gambar (A)menunjukkan


eritema dan telangiektasis. Gambar (B) menunjukkan gambaran dekat
pada rosasea, yaitu dapat dilihat telangiektasis dan pustul.

16
2.9 Penatalaksanaan

Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya


hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan alilamin tersedia
dalam berbagai formulasi. Dan semuanya memberikan keberhasilan terapi (70-
100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu tergantung agen
yang digunakan. Topikal azol dan allilamin menunjukkan angka perbaikan
perbaikan klinik yang tinggi.

Berikut obat yang sering digunakan :

1. Topical azol terdiri atas :

a. Econazol 1 %

b. Ketoconazol 2 %

c. Clotrinazol 1%

d. Miconazol 2% dll.

Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-alfa-


dimetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur.

2. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3


epoksidase sehingga skualen menumpuk pada proses pembentukan
ergosterol membran sel jamur. yaitu aftifine 1 %, butenafin 1%
Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang mampu
bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-
turut.

3. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja


menghambat masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi
tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang
bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta
berspektrum luas.

4. Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa ditambahkan

17
pada regimen anti jamur topikal untuk menurunkan gejala. Tetapi
steroid hanya diberikan pada beberapa hari pertama dari terapi.

B. Terapi sistemik

Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology


menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus
hiperkeratosis terutama pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis,
pasien imunokompromais, atau pasien tidak responsif maupun intoleran terhadap
OAJ topikal.

1. Griseofulvin

Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap baku
emas pada pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton, Microsporum,
Epidermophyton. Berkerja pada inti sel, menghambat mitosis pada stadium
metafase.

2. Ketokonazol

Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik,


termasuk golongan imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.

3. Flukonazol

Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun


absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.

4) Itrakonazol

Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas, bersifat


fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur
dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan
makanan.

18
5. Amfosterin B

Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh


Streptomyces nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah akan
menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan sebagai obat
pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang membahayakan jiwa dan tidak
sembuh dengan preparat azol.

2.10 Prognosis

Tinea korporis yang telah diberikan pengobatan menunjukkan pembaikan


yang bagus. Penting untuk penderita menjaga kebersihan diri dan mematuhi arahan
pengobatan dari dokter untuk mengelakkan kekambuhan. Untuk tinea korporis
yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat kesembuhan 70-100%
setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau dengan menggunakan
anti jamur sistemik.

19
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama Pasien : Ny.X

Umur : 45 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Bukittinggi

3.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama:
Seorang pasien perempuan datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD
Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi dengan keluhan utama bercak merah gatal
di lengan, kaki, dan paha sejak 3 minggu yang lalu.
b. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS):
Bercak merah gatal di lengan, kaki, dan paha sejak 3 minggu yang lalu.
Bercak merah pertama muncul di paha, lalu menyebar ke bagian tubuh yang
lain, diikuti oleh rasa gatal terutama pada siang hari dan saat berkeringat.
Suami pasien juga menderita penyakit yang sama. Pasien memakai satu
handuk bersama-sama. Dan pasien juga memiliki hewan peliharaan kucing.
Penyakit ini belum pernah diobati.
c. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD):
Pasien tidak pernah menderita penyakit ini sebelumnya.
d. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Suami pasien juga menderita penyakit yang sama dan belum diobati.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis cooperative
Status gizi : Baik

20
Pemeriksaan Thoraks : diharapkan dalam batas normal
Pemeriksaan Abdomen : Diharapkan dalam batas normal

Status Dermatologikus

Lokasi : Lengan kiri, kaki kiri, dan paha kiri

Distribusi : Regional

Bentuk : Tidak khas

Susunan : Tidak khas

Batas : Tegas

Ukuran : Plakat

Efloresensi : skuama, eritema

21
Gambar 13. (a) Tinea coporis di lengan. (b) Tinea korporis di kaki. (c) Tinea
Korporis di paha.

22
Status Venerologikus

Kelainan selaput : Tidak ada kelainan

Kelainan kuku : tidak ditemukan kelainan

Kelainan Rambut : tidak ditemukan kelainan

Kelainan Kelenjer Limfe: Tidak teraba pembesaran KGB

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Anjuran : pemeriksaan kerokan pinggir kulit dengan KOH 20% : diharapkan


ditemukan hifa panjang dikotom dikontour dengan spora berderet (artrospora)

3.5 Diagnosis

Tinea Korporis

3.7 Penatalaksanaan

Umum:

Memberikan edukasi tentang penyakit pasien, penyebab, cara penularan dan terapi

Menjaga daerah yang terinfeksi agar tetap kering


Mencegah peralatan mandi bersama
Mengurangi keringat dan penguapan dari daerah lipat paha seperti penggunaan
pakaian yang menyerap keringat dan longgar agar daerah lipat paha tetap
kering
Daerah lipat paha harus benar benar dikeringkan setelah mandi dan diberikan
bedak
Pencucian rutin pakaian, sprei, handuk yang terkontaminasi
Penurunan berat badan

23
Khusus:
Topikal :

Mikonazol krim 2 % : 2 x sehari ( pada lesi setelah mandi )

Sistemik :

Ketokonazol 200 mg/ hari selama 2 minggu.

Cetirizine 1 x 10 m

Gambar 14. Obat

24
3.8.Prognosis
Quo ad vitam : bonam.
Quo ad sanationam : bonam.
Quo ad functionam : bonam.
Quo ad cosmetikum : bonam

25
RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
Ruangan poliklinik Kulit dan Kelamin
Dokter: dr. YR
SIP: 3001/SIP/2017

Bukittinggi, 19 Agustus 2017


R/ Ketokonazol tab 200 mg No XIV
S1dd tab 1
R/ Mikonazol 2% tube No I
Aplic loc dol
R/ Cetirizine tab 10 mg no VII
S1dd tab 1
Pro : Ny.X
Umur : 45 tahun

26
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Pasien di diagnosa dengan tinea corporis karena dari anamnesis dan


pemeriksaan fisik mendukung kearah diagnosis tersebut. Penyebab terjadinya tinea
korporis tersering adalah Trichophyton. Faktor predisposisi terutama lingkungan
dengan kelembaban yang tinggi dan cuaca panas sangat berperan memudahkan
timbulnya penyakit ini. Penanganan yang diberikan pada pasien ini adalah terapi
medikamentosa dan pemberian komunikassi, informasi dan edukasi. Terapi medika
mentosa yang di berikan yaitu obat topical berupa krim mikonazol 2%, obat
sistemik yang di berikan yaitu ketokonazol oral 200mg /hari dan cetirizine 10
mg/hari. Pemberian edukasi sangat penting dalam kasus ini, hal ini disebabkan
karna kasus ini memerlukan waktu yang cukup lama untuk sembuh dan angka
kekambuhan yang cukup tinggi dan sangat di pengaruhi oleh faktor faktor
predisposisi dan kesabaran serta ketaatan pasien untuk berobat.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Adhi Juanda , Mochtar Hamzah, Siti Aisah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi ke-7 FKUI 2015.
2. Syarif Amir dkk. Farmakologi dan terapi edisi 5. FKUI. 2011
3. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew's Diseases of The Skin: Clinical
Dermatology. 10th Edition. 2006. Canada: Saunders Elsevier.
4. Khaled A, Chtourou O, Zeglaoui F, Fazaa B, Jones, Kamoun MR. Tinea
Faciei. Acta Dermatoven APA. 2007; 16: p. 170-3.
5. Starova A, Stefanova MB, and Skerlev M. Tinea Faciei - Hypo Diagnosed
Facial Dermatoses. Macedonian Journal of Medical Sciences. 2010;3(1): p.
27-31.
6. Moriarty B, Hay R, and Morris-Jones R. The diagnosis and management of
tinea. BMJ. 2012; 345: p. 1-10.

28

Anda mungkin juga menyukai