PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi pada
iklim yang panas (tropis dan subtropis). Ada beberapa macam variasi klinis dengan
lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya. Variasi ini
akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur.
1.2 Tujuan
1
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan penulisan dari referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi,
patogenesa, penegakkan diagnosis, penatalaksanaan dan laporan kasus tinea
korporis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit tubuh yang tidak berambut
(glabrous skin), kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha.
2.2 Epidemiologi
3
2.3 Etiologi
4
b. Spesies yang terbatas pada letak geografis:
M. ferrugineum (tersebar di Afrika, India, Eropa Timur, Asia, dan
Amerika Selatan)
T. concentricum (tersebar di Pulau Pasifik, India, dan Amerika
Selatan)
T. gourvilii (tersebar di Afrika Tengah dan Afrika Selatan)
T. schoenleinii (tersebar di Eropa, Mediterania, Timur Tengah, Afrika
Selatan, dan secara sporadis di Amerika Serikat)
T. soudanense (tersebar di Afrika Tengah dan Afrika Selatan)
T. violaceum (tersebar di Afrika, Eropa, dan Asia)
3. Geophilic dermatofit; sering ditemukan pada tanah, karena mereka
mendekomposisi rambut, bulu, dan sumber-sumber keratin yang lain. Jenis
dermatofit ini tidak hanya menginfeksi manusia, tetapi juga hewan,
menyebabkan inflamasi yang sedang. Beberapa spesies dermatofit jenis ini,
antara lain:
Trichophyton ajelloi
Trichophyton eboreum
Trichophyton flavescens
Trichophyton gloriae
Trichophyton phaseoliforme
Trichophyton terrestre
Trichophyton thuringiense
Trichophyton vanbreuseghemii
Microsporum cookei
Microsporum fulvum
Microsporum gypseum
Microsporum racemosum
5
ditemukan berdasarkan spesies yang terdapat di daerah tertentu. Namun demikian
yang lebih umum menyebabkan tinea korporis adalah T.rubrum, T.mentagrophytes,
dan M.canis
2.4 Klasifikasi
Terdapat Berbagai variasi gambaran klinis dermatofitosis, hal ini
bergantung pada spesies penyebab, ukuran inokulum jamur, bagian tubuh yang
terkena, dan sistem imun pejamu. Selanjutnya untuk kemudahan diagnosis dan
tatalaksana maka dermatofitosis dibagi menjadi beberapa bentuk, yaitu :
- Tinea capitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
- Tinea barbae, dermatofitosis pada dagu dan jenggot
- Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong,
dan kadang kadang sampai perut bagian bawah
- Tinea pedis at manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan
- Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari, tangan dan kaki
- Tinea korporis, dermatofitosis pada kuilit glabrosa pada bagian lain yang
tidak termasuk bentuk lima tinea diatas.
Selain enam bentuk tinea masih di kenal istilah yang punya arti khusus yaitu :
- Tinea imbrikata : dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris
dan disebabkan Trichophyton concentricum
- Tinea favosa atau favus : dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh
Trichopyton schoenleini : secara klinis antara lain terbentuk skutula dan
berbagai seperti macam seperti tikus (mousy odor)
- Tinea fasialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukkan kelainan
- Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis
Keempat istilah tersebut di angggap sebagai tinea korporis. Selain itu, dikenal
istilah tinea incognito, yang berarti dermatofitosis dengan bentuk klinis yang tidak
khas oleh karena telah di obati dengan steroid topical yang kuat.
6
Gambar 1. Tinea capitis
7
Gambar 3. Tinea Kruris
8
Gambar 6. Tinea Corporis
2.5 Patogenesis
Kulit tubuh sendiri merupakan barrier fisik yang sangat efektif untuk melawan
invasi jamur, dimana aksi neutrofil, proliferasi seluler epidermal, dan keratinisasi
adalah bentuk respon host yang sangat penting untuk melawan mikroorganisme
serta eliminasi dari jamur/fungus. Invasi epidermis oleh dermatofit mengikuti pola
biasa pada infeksi yang diawali dengan pelekatan antara artrokonidia dan
keratinosit yang diikuti dengan penetrasi melalui sel dan antara sel serta
perkembangan dari respon penjamu.
Adhesi; Pada stratum korneum, fase pertama dari invasi dermatofit melibatkan
infeksi artrokonidia ke keratinosit. Dermatofit ini harus bertahan dari efek sinar
ultraviolet, temperatur dan kelembaban yang bervariasi, kompetisi dengan
flora normal, dan dari asam lemak yang bersifat fungistatik. Faktor yang
memediasi perlengkatan/adhesi pada dermatofit masih sedikit diketahui, akan
tetapi terdapat hipotesis adanya protease dermatofitik yang diperlukan untuk
efisiensi adhesi dermatofit.
Penetrasi; Dermatofit mampu mensekresikan multipel serine-subtilisins dan
metalloendoprotease (fungalisin) yang disebut dengan keratinase yang bersifat
9
keratinofilik. Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang
terbentuk tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa cara:
a. Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal,
memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat pada
dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan membentuk
biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat bertahan
terhadap fagositosis.
b. Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan
imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah
kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada dinding
sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3, MAC1) pada
dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan terhambat.
c. Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak
atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau
protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi
protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan
proses invasi oleh jamur, dan memproduksi siderospore (suatu molekul
penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk menangkap zat
besi untuk kehidupan aerobik.
Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi dan
dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi kemampuan dermatofit
dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum.
Pertahanan tubuh dan imunologi; Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial
tetap dapat membangkitkan baik imunitas humoral maupun cell-mediated
immunity (CMI). Pembentukan CMI yang berkorelasi dengan Delayed Type
Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan dengan penyembuhan klinis
dan pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan
CMI dapat mencegah suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi
dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik ini melibatkan antigen
dermatofit dan CMI
10
2.6 Manifestasi Klinis
Pada tinea korporis kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat
atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang kadang dengan
vesikel dan papul di tepi. Daerah tengah biasa nya lebih tenang. Kadang kadang
terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi lesi pada umum nya merupakan bercak
bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi
lesi dengan pinggir yang polisiklik, karna beberapa lesi kulit yang menjadi satu.
Bentuk dan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak anak dari
pada orang dewasa karena umum nya mereka mendapat infeksi baru pertama kali.
Pada tinea korporis yang menahun tanda radang akut biasa nya tak terlihat lagi.
Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama sama dengan kelainan
pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau sebalik nya tinea
cruris et corporis.
Diagnosis tinea di tegak kan melalui anamnesis, dan pemeriksaan fisik dengan
mengidentifikasi tanda dan gejala yang ada dan dapat di bantu dengan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegak kan diagnosis terdiri
atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain, missal nya
pemeriksaan histopatologik, percobaan binatang, dan imunologik tidak
diperlukaan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan
bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut dan kuku. Bahan untuk
pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan sebagai berikut : terlebih dahulu
tempat kelainan dibersihkan dengan spiritus 70%, kemudian untuk :
11
mengetahui lebih jelas daerah yang terkena infeksi dengan kemungkinan
adanya fluoresensi pada kasus kasus tinea kapitis tertentu.
3. Kuku
Bahan di ambil dari bagian kuku yang sakit dan diambil sedalam dalam nya
sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan di bawah kuku di ambil pula.
Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai 2 garis sejajar,
terbagi oleh sekat, dan bercabang-cabang, maupun spora berderet (artrospora) pada
kelainan kulit lama dan / atau sudah diobati. Pada sediaan rambut yang dilihat
adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat tersusun
diluar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut( endotriks). Kadang-kadang dapat
terlihat juga hifa pada sediaan rambut.
12
Gambar 7. Hifa
Ada beberapa penyakit kulit yang gambarannya mirip dengan tinea korporis,
yaitu:
1. Dermatitis seboroik
Kelainan kulit terdiri atas eritema, dan skuama yang berminyak dan agak
kekuningan batasnya agak kurang tegas. Pada daerah supraorbital, skuama-
skuama halus dapat terlihat di alis mata, kulit dibawahnya eritematosa dan
gatal, disertai bercak-bercak skuama kekuningan, dapat terjadi pula
blefaritis, yakni pinggir kelopak mata merah disertai skuama-skuama halus.
13
Gambar 8. Gambaran efloresensi pada dermatitis seboroid.
2. Dermatitis atopik
Pada anak usia 2 bulan, lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema,
papulo - vesikel yang halus.
14
3. Dermatitis kontak
Terbatas pada tempat kontak kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar,
kelainan yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis.
Pinggir kulit berbatas tegas, dan pada umumnya asimetris.
15
Gambar 11. Gambaran klinik pada lupus eritematous menunjukkan bercak
merah yang simetris yang membentuk gambaran seperti kupu-kupu.
5. Rosasea
Tempat predileksi rosasea adalah di sentral wajah, yaitu hidung, pipi, dagu,
kening, dan alis. Gejala utama rosasea adalah eritema, telangiektasia, papul,
edema, dan pustul.
16
2.9 Penatalaksanaan
a. Econazol 1 %
b. Ketoconazol 2 %
c. Clotrinazol 1%
d. Miconazol 2% dll.
17
pada regimen anti jamur topikal untuk menurunkan gejala. Tetapi
steroid hanya diberikan pada beberapa hari pertama dari terapi.
B. Terapi sistemik
1. Griseofulvin
Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap baku
emas pada pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton, Microsporum,
Epidermophyton. Berkerja pada inti sel, menghambat mitosis pada stadium
metafase.
2. Ketokonazol
3. Flukonazol
4) Itrakonazol
18
5. Amfosterin B
2.10 Prognosis
19
BAB III
LAPORAN KASUS
Umur : 45 tahun
Alamat : Bukittinggi
3.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama:
Seorang pasien perempuan datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD
Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi dengan keluhan utama bercak merah gatal
di lengan, kaki, dan paha sejak 3 minggu yang lalu.
b. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS):
Bercak merah gatal di lengan, kaki, dan paha sejak 3 minggu yang lalu.
Bercak merah pertama muncul di paha, lalu menyebar ke bagian tubuh yang
lain, diikuti oleh rasa gatal terutama pada siang hari dan saat berkeringat.
Suami pasien juga menderita penyakit yang sama. Pasien memakai satu
handuk bersama-sama. Dan pasien juga memiliki hewan peliharaan kucing.
Penyakit ini belum pernah diobati.
c. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD):
Pasien tidak pernah menderita penyakit ini sebelumnya.
d. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Suami pasien juga menderita penyakit yang sama dan belum diobati.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis cooperative
Status gizi : Baik
20
Pemeriksaan Thoraks : diharapkan dalam batas normal
Pemeriksaan Abdomen : Diharapkan dalam batas normal
Status Dermatologikus
Distribusi : Regional
Batas : Tegas
Ukuran : Plakat
21
Gambar 13. (a) Tinea coporis di lengan. (b) Tinea korporis di kaki. (c) Tinea
Korporis di paha.
22
Status Venerologikus
3.5 Diagnosis
Tinea Korporis
3.7 Penatalaksanaan
Umum:
Memberikan edukasi tentang penyakit pasien, penyebab, cara penularan dan terapi
23
Khusus:
Topikal :
Sistemik :
Cetirizine 1 x 10 m
24
3.8.Prognosis
Quo ad vitam : bonam.
Quo ad sanationam : bonam.
Quo ad functionam : bonam.
Quo ad cosmetikum : bonam
25
RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
Ruangan poliklinik Kulit dan Kelamin
Dokter: dr. YR
SIP: 3001/SIP/2017
26
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Adhi Juanda , Mochtar Hamzah, Siti Aisah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi ke-7 FKUI 2015.
2. Syarif Amir dkk. Farmakologi dan terapi edisi 5. FKUI. 2011
3. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew's Diseases of The Skin: Clinical
Dermatology. 10th Edition. 2006. Canada: Saunders Elsevier.
4. Khaled A, Chtourou O, Zeglaoui F, Fazaa B, Jones, Kamoun MR. Tinea
Faciei. Acta Dermatoven APA. 2007; 16: p. 170-3.
5. Starova A, Stefanova MB, and Skerlev M. Tinea Faciei - Hypo Diagnosed
Facial Dermatoses. Macedonian Journal of Medical Sciences. 2010;3(1): p.
27-31.
6. Moriarty B, Hay R, and Morris-Jones R. The diagnosis and management of
tinea. BMJ. 2012; 345: p. 1-10.
28