Anda di halaman 1dari 23

LIVING QURAN : MAKNA FENOMENA HAJI TALANGAN DI MASYARAKAT

MUSLIM INDONESIA

Penelitian ini adalah kajian yang berbasis pada penelitian kepustakaan


dan lapangan, dalam penelitian ini tema yang diangkat adalah kajian
tentang living Quran : makna Fenomena Haji talangan Di masyarakat
Muslim Indonesia, ada tiga pertanyaan pertama bagiaman konsep Haji
talangan ? kedua bagaimana interpretasi ayat haji berkaitan dengan
fenomena Haji talangan ? ketiga pandangan masyarakat terhadap Haji
Talangan ? dengan menggunakan pendektan living Quran dan Iterpertasi
Hermenutika mencoba memberikan gambaran terkait makna Haji di
kalangan dalam pandangan masyarakat muslim Indonesia, hasil riset ini
adalah pertama mengetahui konsep Haji talangan, kedua memaknai
kembali masyarakat terhadap Haji talangan, ketiga, pandangan
Masyarakat terhadap Konsep haji talangan.
Kata kunci : Talangan, Haji, Living quran.

PENDAHULUAN

Ibadah haji telah ada sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw. Ibadah ini diajarkan
pertama kali oleh Nabi Ibrahim As. Beliaulah nabi yang pertama kali diperintahkan oleh
Allah SWT untuk menunaikannya sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu
dengan berjalan kaki atau dengan mengendarai onta yang kurus. Mereka akan datang dari
segenap penjuru yang jauh (QS al-Haj: 27).

Akan tetapi sebagian dari praktik-praktik ibadah haji tersebut pada masa-masa
selanjutnya diselewengkan oleh sebagian umat yang tidak bertanggungjawab sehingga jauh
dari substansi awalnya sebagaimana yang diajarkan oleh Ibrahim As. Dari sini lalu Allah
memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan ibadah tersebut agar
dikembalikan sesuai dengan ajarannya semula. Ibadah ini baru diwajibkan kembali kepada
umat Nabi Muhammad pada tahun ke-6 hijriah (ada juga yang menyebutkan pada tahun ke-3
atau 5 hijriah) melalui firman Allah SWT:

Artinya:Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) makam Ibrahim,


barangsiapa memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji menuju
baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) yang sanggup mengadakan
perjalanan ke sana. Barangsiapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya
Allah Mahakaya dari semesta alam (QS Ali Imran: 97).1

1
(Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata) di antaranya (makam Ibrahim) yakni batu tempat
berpijaknya Ibrahim sewaktu mendirikan Baitullah itu. Kedua telapak kakinya meninggalkan bekas padanya
sampai sekarang dan tetap sepanjang zaman walaupun pemerintahan yang berkuasa sudah silih berganti. Di
antaranya pula dilipatgandakannya pahala kebaikan bagi yang salat di dalamnya dan burung tidak dapat terbang
di atas Kakbah (dan barang siapa memasukinya menjadi amanlah dia) artinya bebas dari ancaman pembunuhan,
Kendati sudah diwajibkan, namun pada tahun tersebut Nabi dan para sahabat belum
dapat menjalankan ibadah haji karena Mekkah ketika itu masih dikuasai oleh kaum musyrik.
Baru setelah Rasulullah Saw. menguasai kota Mekkah pada tanggal 12 Ramadan tahun ke-8
hijriah beliau berkesempatan untuk menunaikannya.
Haji menjadi ritual ibadah yang menyebar dengan menyebarnya agama Islam
keseluruh Belahan Dunia, termasuk di indonesia. Untuk menunjang pelaksanaan
pemberangkatan dari tanah air dan pelaksanaan ibadah haji di Arab Saudi, pemerintah bahkan
telah membuat berbagai macam kebijakan dan aturan petunjuk operasional pelaksanaan
pengurusan jamaah di daerah-daerah. Undang-Undang No.13/2008 bahkan mengatur secara
tegas manajemen pelayanan dan administrasi pelaksanaan ibadah haji di tanah air.
Namun demikian profesionalisme pelaksanaan manajemen haji masih banyak menuai
kritik pedas dari publik. Serangkaian masalah selalu muncul setiap tahunnya. Sementara
pengelolaan manajemen haji ini dilakukan berulang-ulang dan terus-menerus. Banyak pihak
mempertanyakan prosedur operasional, petunjuk teknis, standar manajemen professional,
hingga penjaminan mutu administrasi penyelenggaraan haji kepada pemerintah. Beberapa
permasalahan yang muncul berulangkali mulai dari penetapan kuota haji yang sangat
tergantung kepada pemerintah Arab dan kurang kuatnya lobi negara, akuntabilitas dan
transparansi penetapan dan penggunaan dana jamaah haji, panjangnya antrian
pemberangkatan jamaah haji, hingga terjadinya pembatalan keberangkatan jamaah haji yang
telah menyelesaikan kewajiban pembayaran biaya haji. Tidak hanya itu masalah pelayanana
berupa akomodasi, transportasi, dan katering pun menjadi pekerjaan rumah yang harus
dibenehai oleh pemerintah.
Meningkatnya jamaah haji Indonesia yang meninggal di tahun 2012 dari tahun
2011, menunjukan bahwa lemahnya dan lengahnya perhatian terhadap jamaah haji, terutama
dalam pelayanan kesehatan. Kasus bus yang terbakar akibat kelayakan bus kurang memadai
menjadi masalah bersama anatara pemerintah haji Indonesia dan Arab saudi sebagai tuan
rumah pelaksana ritual keaagamaan yang memang sudah menjadi masalah ekonomi-sosial
dan politik. Penyelenggaraan ibadah haji tidak akan sukses tanpa adanya peran dari
pemerintah dan Negara yang bersangkutan.
Permasalah yang timbul juga adalah tentang jamaah haji yang menggunakan
pendekatan haji talangan dalam melakukan ibadah Haji, Haji talangan haji yang dilakukan
dengan cara pinjam uang untuk menunaikan ibadah Haji. Secara pembacaaan awam ibadah
yang pada awalnya di lakukan bagi orang muslim yang mampu menjadi ibadah yang bisa
dilakukan oleh siapa saja selama dia bisa membayar hutang haji stelah menjalan ibadah haji.
Di sinalah penelitian ini menjadi menarik apakah talangan haji itu niat dari sucinya ibadah
ataukah makna lain yaitu gelar Haji yang menjadi muatan sosila bukan lagi muatan agama
yang suci tetapi belih pada muatan sosial untuk modal sosial ala bordiu.
KONSEP HAJI : SEBUAH PENGANTAR

keaniayaan dan lain-lain. (Mengerjakan haji di Baitullah itu menjadi kewajiban manusia terhadap
Allah) Ada yang membaca hajja dengan makna menyengaja. Lalu sebagai badal dari 'manusia' ialah (yakni
orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya) yang oleh Nabi saw. ditafsirkan dengan adanya
perbekalan dan kendaraan, menurut riwayat Hakim dan lain-lain. (Barang siapa yang kafir) terhadap Allah atau
terhadap kewajiban haji (maka sesungguhnya Allah Maha Kaya terhadap seluruh alam) artinya tidak
memerlukan manusia, jin dan malaikat serta amal ibadah mereka lihat dalam
http://lmron.blogspot.co.id/2012/03/ayat-97.html di akses di tanggal 11 hari sabtu November 2017.
Secara terminologi haji berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti arti qashd,
yakni tujuan, maksud, dan menyengaja, berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi.
Menurut istilah syara', haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk
melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula.2 Prof. Dr. T.M Hasbi Ash
Shiddieqy dalam bukunya Pedoman Haji menyatakan haji menurut bahasa ialah menuju
kesuatu tempat berulang kali atau menuju kepada sesuatu yang dibesarkan3 Menurut Ahmad
Jamil Alim dalam Panduan Ringkas Manasik Haji bahwa haji adalah beribadah kepada Allah
dengan menziarahi Baitul Haram pada waktu tertentu dan dengan tata cara yang tertentu.

Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim
sedunia yang mampu secara material, fisik, dan keilmuan dengan berkunjung dan
melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang
dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah umroh yang
bisa dilaksanakan sewaktu-waktu4

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa haji adalah mengunjungi Baitullah atau
kabah yang wajib dilaksanakan oleh setiap mulsim yang mampu secara material, fisik
maupun keilmuan, dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah di tahun Hijriah dan merupakan rukun
islam yang kelima.Dalam pelaksanaannya haji dibagi menjadi tiga macam yaitu: haji qiran,
haji ifrad dan haji tamathu.Haji Qiran yaitu berihram untuk umroh dan haji sekaligus, dan
terus berihram atau tidak tahalul kecuali pada hari Nahr yaitu tanggal 10 Dzulhijjah. Atau
berihram untuk umroh terlebih dahulu, kemudian sebelum melakukah thawaf umroh maka
berniat untuk haji5 Haji Ifrad, yaitu seorang yang berihram untuk melaksanakan ibadah haji
saja, dia tidak bertahallul dari ihramnya sampai dia selesai melaksanakan manasik hajinya
pada tanggal 10 dzulhijjah. Haji Tamathu', yaitu seorang berihram untuk melaksanakan
umroh pada bulan haji kemudian dia bertahallul dari ihramnya dengan memotong pendek
rambutnya, lalu dia tetap dalam kondisi halal sampai datang hari Tarwiyah yaitu tanggal 8
dzulhijjah maka dia berihram untuk melaksanakan haji.

Dalam kajian kitab Fiqh Ibadah Haji merumakan Ibadah Mahdah yang bisa dilakukan
oleh kalangan umat Muslim yang mampu dalam bahasa fiqh disebut dengan konsep istitoah.6

2
http://id.wikipedia.org
3
Prof. Dr. TM hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Haji, hal.16.
4
Hasbi..........halaman 16.
5
Islam Presentation Commite. Petunjuk Untuk Jamaah Haji dan Umrah serta Peziarah Masjid
Rasulullah, hal. 15.
6
Allah Swt berfirman : Dan diantara kewajiban manusia terhadap Allah Swt adalah mengerjakan haji ke
Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu. (QS. Ali Imran : 97) Ayat di atas menginformasikan kepada
kita, bahwa salah satu kewajiban umat Islam adalah mengerjakan haji ke Baitullah, bagi orang yang mampu
(istithah), baik fisik maupun materi dan aman dalam perjalanan. Istithaah dalam pengertian kebahasaan
berasal dari akar kata ta, yaitu tauan, berarti taat patuh dan tunduk. Istithah berarti keadaan seseorang
untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan syara sesuai dengan kondisinya. Semakin besar kemmapuan
seseorang semakin besar tuntutan untuk mengerjakan suatu perbuatan. Sebagai contoh adalah kifarat sumpah
bagi yang melanggarnya, memberi makan 10 orang miskin, bagi yang mempunyai kemampuan lebih dari itu
memberi pakaiannya, atau bagi orang yang sudah mapan dan berkecukupan dianjurkan untuk memerdekakan
hamba. Jika 1 diantara 3 hal tersebut tidak juga mampu, kewajiban yang terendah adalah puasa selama 3 hari
(lihat Alquran surat Al-Maidah : 89). Namun demikian, Allah tidak memberatkan dan tidak menuntut seseorang
untuk mengerjakan sesuatu di luar kemampuannya. Sejalan dengan hal itu, Allah Swt berfirman : Allah tidak
akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah : 286). Maka dalam
kondisi demikian, sangat diperhatikan itikad baik seseorang dalam melaksanakan perintah Allah Swt sesuai
kadar ketaqwaannya. Allah Swt berfirman : Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupannya. (QS.
At-Talaq : 16) Oleh sebab itu, kajian istithah dalam Fikih Islam menjadi penting karena sangat menentukan
sejauhmana seseorang dibebankan kewajiban dalam melaksanakan perintah Allah Swt, berbeda dalam hal
meninggalkan larangan, tidak dikaitkan dengan istithah. Dengan kata lain, apabila diperintahkan untuk
melaksanakan sesuatu, laksanakanlah sesuai dengan kemampuan. Sebaliknya, jika diperintahkan untuk
meninggalkan sesuatu, tinggalkanlah segera tanpa memandang kepada kemampuan (istithah). Kajian tentang
istithah dibahas hampir ke semua furu (cabang) ibadah, pada masalah shalat, puasa, kifarat, nikah dan lain-
lain. Akan tetapi yang lebih rinci dibicarakan adalah istithah dalam ibadah haji. Hal itu disebabkan karena
dalam persoalan haji menghimpun dua kemampuan, kemampuan fisik dan materi sekaligus. Para ulama berbeda
pendapat dalam menentukan batasan-batasan istithah. Secara umum mereka memahami istithah di dalam
surat Ali Imran ayat 97 di atas adalah, kemampuan seseorang untuk dapat sampai ke Mekah dan menunaikan
haji seperti kemampuan jasmani, biaya dan keamanan dalam perjalanan sesuai dengan penjelasan Nabi Saw
ketika ditanya oleh para sahabat Nabi Saw pengertian sabila dalam ayat di atas, Rasul Saw bersabda : Azzaad
warrahilah, maksudnya perbekalan dan kendaraan. (HR. Dar-quthni) Berdasarkan pemahaman di atas, mazhab
Syafii tidak mensyaratkan kendaraan bagi orang yang menetap tidak mencapai jarak mengqasar shalat yaitu 89
km dari kota Mekah. Dengan kata lain, mereka diwajibkan menunaikan haji meskipun dengan berjalan kaki.
Istithah dalam ibadah haji mempunyai pengertian lebih luas dibanding istithah di dalam ibadah-ibadah lain
seperti shalat, puasa, dan lain-lain. Para ulama menjelaskan makna istithah mencakup dalam beberapa hal,
antara lain pertama, Istithah harta yaitu adanya perbekalan untuk membayar Ongkos Naik Haji (ONH) pergi
dan pulang serta biaya hidup, tempat tinggal, makanan dan minuman yang cukup. Orang yang berangkat haji
dengan cara meminta-minta dan mengajukan proposal untuk mendapatkan ongkos haji atau meminta jatah dari
pemerintah atau dari instansi tertentu. Sebenarnya belum ada kewajiban haji bagi mereka. Namun demikian, bila
haji dilaksanakan dengan biaya pemberian orang lain, hajinya tetap sah dan sudah dianggap melaksanakan
rukun Islam yang kelima. Berangkat haji dengan pemberian atau hadiah orang lain boleh diterima, namun tidak
wajib menerimanya apalagi bila diketahui bahwa biaya yang diberikan bersumber dari yang haram, misalnya
seorang koruptor menghajikan karyawannya atau hasil dari perjudian dan minuman keras atau hasil pajak judi
dan perzinahan dan lain-lain, maka sebaiknya dia tidak menerima pemberian tersebut dan tidak boleh berangkat
dengan uang yang haram. Oleh sebab itu seorang koruptor tidak wajib melaksanakan haji sebelum dia
mengembalikan harta hasil korupsinya kepada pemiliknya, karena haqqul ibadah (hak manusia) berdasarkan
pada perjanjian (kompromi) sedangkan haji adalah hak Allah Swt berdasarkan pada toleransi. Oleh sebab itu
hendaklah mendahulukan hak manusia dari hak Allah karena Alah Maha Mulia lagi Maha Pemaaf.
Diriwayatkan dalam beberapa hadis bahwa ketika orang yang berangkat haji dengan harta yang halal berkata
Labbaik Allahumma labbaik (Ya Allah kami datang menjawab panggilan-Mu, maka Allah menjawab : Allah
menerima permohonan-Mu dan Allah memuliakan-Mu. Sedangkan ketika orang yang berhaji dengan harta yang
haram ketika berteriak dengan ucapan Labbaik Allahumma labbaik, Allah berkata kepadanya : Allah tidak
menjawab permohonanmu dan tidak pula memuliakanmu dan hajimu dikembalikan kepadamu, kembalilah
dengan membawa dosa dan tanpa pahala. Kedua, Istithah dalam kesehatan. Kemampuan fisik salah satu
syarat wajib mengerjakan haji karena pekerjaan ibadah haji berkaitan dengan kemampuan badaniah, hampir
semua rukun dan wajib haji berkaitan erat dengan kemampuan fisik, terkecuali niat (adalah rukun qalbi). Dalam
hal ini seorang yang buta atau seorang yang bodoh (safih) atau idiot jika mempunyai kemampuan harta, maka
syarat wajib haji baginya ada pemandu atau penuntun yang membimbing pelaksanaan hajinya. Dan bagi
seorang Lansia (lanjut usia) yang tidak mempunyai kemampuan untuk duduk lama di dalam kendaraan atau di
perjalanan, boleh mewakilkan hajinya kepada orang lain. Diriwayatkan dalam hadis shahih dari Jamaah dari
Ibnu Abbas ra. bahwa ada seorang perempuan dari Khatsam berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku
punya kemampuan harta untuk mengerjakan haji, namun dia sudah tua renta, tidak mampu duduk lama di
dalam kendaraan (di atas unta), maka Rasulullah Saw bersabda : Hajikanlah dia, dan peristiwa itu ditanyakan
kepada Rasulullah pada Haji Wada. Berdasarkan hadis ini, kemampuan fisik sangat menentukan dan tidak
melihat kepada umur. Oleh sebab itu rencana Kerajaan Arab Saudi untuk memberlakukan batas umur 65 tahun
tidak boleh haji, belum layak untuk diberlakukan, karena ada sebagian orang meskipun umur sudah lebih 65
tahun, akan tetapi masih mempunyai kemampuan fisik untuk berhaji. Ketiga, Kemampuan (istithah) untuk
mendapatkan kendaraan atau alat transportasi sama ada dengan menyewa atau membeli tiketnya merupakan
syarat wajib haji. Jika seseorang sudah mendapatkan visa haji akan tetapi tidak ada tiket pesawat reguler atau
carter yang membawanya ke haji, maka kewajibannya telah gugur, dan demikian pula bagi seorang wanita yang
berangkat tanpa muhrim/mahram, maka belum wajib melaksanakan ibadah haji. Rasul Saw bersabda : Wanita
tidak boleh bepergian lebih dari dua hari kecuali ditemani suami atau mahramnya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Persoalan mahram ini, Kerajaan Arab Saudi telah memberi kemudahan bagi wanita usia lanjut dan
Ulama memberikan berbagai versi pandangan dalam hal menyangkut soal Istitoah yang
di interpretasikan dari ayat surat ali Imran ayat 97.


























Allah Swt berfirman : Dan diantara kewajiban manusia terhadap Allah Swt adalah
mengerjakan haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu. (QS. Ali Imran : 97)
Terjemahan lebih lengkapnya adalah : Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di
antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.(Ali Imran:
97)
Sedangkan menurut Imam As-Syuyuthi dalam Tafsir Al-jalalin menyatakan bahwa
(Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata) di antaranya (makam Ibrahim) yakni batu tempat
berpijaknya Ibrahim sewaktu mendirikan Baitullah itu. Kedua telapak kakinya meninggalkan
bekas padanya sampai sekarang dan tetap sepanjang zaman walaupun pemerintahan yang
berkuasa sudah silih berganti. Di antaranya pula dilipatgandakannya pahala kebaikan bagi
yang salat di dalamnya dan burung tidak dapat terbang di atas Kakbah (dan barang siapa
memasukinya menjadi amanlah dia) artinya bebas dari ancaman pembunuhan, keaniayaan
dan lain-lain. (Mengerjakan haji di Baitullah itu menjadi kewajiban manusia terhadap Allah)
Ada yang membaca hajja dengan makna menyengaja. Lalu sebagai badal dari 'manusia' ialah
(yakni orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya) yang oleh Nabi saw.
ditafsirkan dengan adanya perbekalan dan kendaraan, menurut riwayat Hakim dan lain-lain.
(Barang siapa yang kafir) terhadap Allah atau terhadap kewajiban haji (maka sesungguhnya
Allah Maha Kaya terhadap seluruh alam) artinya tidak memerlukan manusia, jin dan malaikat
serta amal ibadah mereka.7
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsirnya al-Misbah Pesan dan kesan-
kesan dalam al-Quran menyatakan Di dalamnya terdapat petunjuk yang jelas mengenai
kesucian dan keutamaannya. Di antaranya adalah maqm (tempat berdiri) Ibrhm ketika
mengerjakan salat. Barangsiapa yang memasukinya akan merasa aman dan tidak akan terkena
kehinaan. Mendatangi rumah ini untuk tujuan ibadah haji adalah suatu kewajiban bagi orang
yang mampu melaksanakannya. Sedangkan orang yang enggan, melawan dan menentang

berombongan, tidak disyaratkan mahram untuk mendapatkan visa haji dan umrah. Akhirnya, istithah dalam
semua ibadah menjadi syarat terlaksananya semua perintah Allah Swt, semakin tinggi kemampuan, semakin
tinggi pula tuntutan syara kepadanya. Sebaliknya, berkurang kemampuan, berkurang pula tuntutan Allah
kepadanya. Dan Allah Swt tidak membebankan seseorang melainkan sesuai kemampuan. Hikmah dari semua itu
agar ibadah terlaksana dengan ikhlas. Semoga mendapat haji mabrur lihat dalam Fatqul Qarib Mujib, konsep
IstitoahLihatjugahttp://www.waspadamedan.com/index.php?option=com_
7
Jalaudin As-Syuyuthi dan jalaludin al-mahalli, Tafsir Jalalain (Beitu Dar al Kutub al Ilmiah, tt )
halaman 89.
perintah Allah, akan merasakan kerugian diri sendiri. Allah Mahakaya, yang tidak pernah
merasa butuh kepada seluruh manusia.8

Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu
dengan berjalan kaki atau dengan mengendarai onta yang kurus. Mereka akan datang dari
segenap penjuru yang jauh (QS al-Haj: 27).

Akan tetapi sebagian dari praktik-praktik ibadah haji tersebut pada masa-masa selanjutnya
diselewengkan oleh sebagian umat yang tidak bertanggungjawab sehingga jauh dari substansi
awalnya sebagaimana yang diajarkan oleh Ibrahim As. Dari sini lalu Allah memerintahkan
Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan ibadah tersebut agar dikembalikan sesuai
dengan ajarannya semula.Ibadah ini baru diwajibkan kembali kepada umat Nabi Muhammad
pada tahun ke-6 hijriah (ada juga yang menyebutkan pada tahun ke-3 atau 5 hijriah) melalui
firman Allah SWT:

8
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Dan kesan kesan Dalama Al-Quran (Lentera hati Jakarta
2009 ) halaman lihat juga Maqam Ibrahim Ialah tempat Nabi Ibrahim 'alaihis salam berdiri membangun
Ka'bah, yaitu Hijr. Sebelumnya, hijr tersebut menempel dengan dinding Ka'bah, namun pada zaman Umar
radhiyallahu 'anhu, diletakkan di tempat yang ada sekarang. Ada yang mengatakan, bahwa tanda yang terdapat
di sana adalah bekas injakan kedua kaki Nabi Ibrahim 'alaihis salam yang membekas di batu, dan hal itu masih
terlihat sampai di masa-masa pertama umat Islam. Ada pula yang mengatakan, bahwa tanda di dalamnya adalah
apa yang Allah tanamkan ke dalam hati manusia berupa rasa ta'zhim (penghormatan) kepada Baitullah. Ada
pula yang berpendapat, bahwa yang dimaksud maqam Ibrahim di sini adalah maqam-maqam (posisi-posisi)
Beliau di semua tempat manasik, sehingga termasuk di dalamnya semua bagian haji, di mana masing-masingnya
terdapat tanda yang jelas seperti thawaf, sa'i dan tempatnya, wuquf di 'Arafah dan Muzdalifah, melempar jamrah
dan syi'ar-syi'ar lainnya. Sedangkan maksud tanda di sana adalah apa yang Allah tanamkan dalam hati manusia
berupa rasa hormat dan ta'zhim kepadanya, mereka rela mengorbankan jiwa dan harta untuk dapat sampai ke
sana serta siap memikul beban-beban perat untuknya, di samping itu di dalamnya juga terdapat rahasia dan
makna yang tinggi. Bahkan dalam pekerjaan haji pun terdapat hikmah dan maslahat yang sangat banyak.
Termasuk tanda yang jelas juga adalah bahwa orang yang memasukinya akan aman baik secara syara' maupun
taqdir. Secara syara' adalah, bahwa Allah memerintahkan rasul-Nya untuk menghormatinya dan mengamankan
orang yang memasukinya serta tidak boleh diserang, bahkan sampai mengena pula kepada hewan buruannya,
pepohonan dan tumbuh-tumbuhan. Sebagian ulama ada yang berpendapat berdasarkan ayat ini, bahwa barang
siapa yang melakukan tindak pidana di luar tanah haram, lalu ia berlindung ke baitullah, maka ia akan aman dan
tidak ditegakkan had sampai ia keluar daripadanya. Adapun aman secara taqdir adalah, bahwa Allah
Subhaanahu wa Ta'aala dengan taqdir-Nya menetapkan dalam diri manusia, termasuk orang-orang kafir dan
musyrik untuk menghormatinya. Lebih dari itu, orang yang berniat jahat terhadap Baitullah, Allah memberikan
hukuman segera kepadanya sebagaimana yang terjadi pada As-habul Fiil (tentara bergajah yang hendak
menghancurkan ka'bah). Sebelum menyebutkan kewajiban haji, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan
kelebihan-kelebihan Baitullah yang menjadikan hati manusia berkeinginan untuk pergi ke sana, kelebihan itu
adalah: Yaitu: orang yang sanggup mendapatkan perbekalan, alat-alat pengangkutan, sehat jasmani dan
perjalanan pun aman serta kleluarga yang ditinggalkannya terjamin kehidupannya. Lihat https://tafsirq.com/3-
ali-imran/ayat-97#diskusi. Hari Sabtu 11 November 2017.
Artinya: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) makam Ibrahim,
barangsiapa memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji menuju
baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) yang sanggup mengadakan
perjalanan ke sana. Barangsiapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya
Allah Mahakaya dari semesta alam (QS Ali Imran: 97).

Kendati sudah diwajibkan, namun pada tahun tersebut Nabi dan para sahabat belum
dapat menjalankan ibadah haji karena Mekkah ketika itu masih dikuasai oleh kaum musyrik.
Baru setelah Rasulullah Saw. menguasai kota Mekkah pada tanggal 12 Ramadan tahun ke-8
hijriah beliau berkesempatan untuk menunaikannya. Namun lagi-lagi karena ada prioritas lain
yang harus beliau utamakan, pada tahun ini beliau terpaksa menundanya. Baru pada tahun ke-
10 hijriah atau kurang lebih tiga bulan sebelum meninggal dunia, Rasulullah Saw
berkesempatan untuk menunaikannya. Oleh karena itu, haji yang beliau lakukan disebut juga
dengan haji wada (haji perpisahan), karena haji tersebut merupakan haji yang pertama dan
sekaligus yang terakhir bagi beliau. Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Mishbah menilai
bahwa ayat di atas menunjukkan kebijaksanaan Allah terhadap umat manusia. Meskipun Ia
mewajibkan semua umat Islam untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah, akan tetapi Ia
mengecualikannya untuk sebagian manusia yang memang tidak mampu untuk melakukannya.

Hal ini berarti Allah memaafkan dan sangat memaklumi kondisi mereka. Betapa
tidak, karena ibadah yang satu ini merupakan ibadah yang memadukan dua hal secara
sekaligus, yaitu ibadah badaniyah (ibadah yang berwujud fisik) dan ibadah maliyyah (ibadah
yang membutuhkan biaya/harta), sehingga tidak semua orang menyanggupinya, begitu pun
dengan kondisi Rasulullah Saw yang baru bisa menunaikannya pada tahun ke-10
hijriah.Akan tetapi bagi mereka yang sudah memenuhi syarat-syaratnya seperti sehat secara
jasmani maupun rohani, memiliki kelebihan harta yang cukup untuk digunakan sebagai bekal
di perjalanan dan bagi keluarga yang ditinggalkan, serta jalur menuju ke Mekah dan kembali
pun aman, tidak ada perperangan dan wabah penyakit, maka mereka wajib untuk
melaksanakannya. Meskipun kewajiban ini diperselisihkan oleh sebagian ulama apakah
kewajiban itu harus dilakukan pada tahun itu juga seperti yang diyakini oleh Imam Abu
Hanifah atau boleh diundur pada tahun berikutnya sebagaimana disebutkan oleh Imam
Syafii, Malik, dan mayoritas ulama karena berpedoman kepada sikap Rasulullah yang
menangguhkan pelaksanaannya pada tahun ke-10 hijriah, empat tahun setelah diwajibkannya
ibadah tersebut.

Menurut penelitian Ali Mustafa Yaqub dalam beberapa bukunya disebutkan bahwa
alasan Rasulullah menangguhkan ibadah haji beliau adalah karena urusan-urusan sosial yang
saat itu lebih membutuhkan perhatian ketimbang pelaksanakan ibadah haji. Pada saat itu
Rasulullah menghadapi kasus-kasus kemiskinan yang melanda segenap kaum muslimin pasca
perperangan, mengurus para anak yatim yang kehilangan orangtua mereka saat berjihad di
jalan Allah serta menyantuni para mahasiswa shuffah (sebuah tempat di pelataran masjid
Nabi) yang umumnya membutuhkan bantuan dari Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan hal
ini jugalah Ali Mustafa menekankan pentingnya ibadah sosial daripada ibadah individual
(dalam hal ini haji atau umrah) yang dilakukan secara berulang-ulang. Akhirnya setelah
persiapan matang dan beliau siap untuk melaksanakannya barulah Rasulullah Saw beserta
ribuan sahabatnya menunaikan ibadah haji ke baitullah Mekkah pada tahun ke-10 hijriah.
Haji ini adalah haji pertama dan sekaligus yang terakhir kalinya dilakukan oleh Nabi bersama
para sahabat, karena tiga bulan setelah itu Rasulullah Saw dipanggil untuk menghadap Allah
Swt. Segala tata cara serta seluk-beluk ritual ibadah ini direkam secara baik oleh para sahabat
dan diwariskan dari masa ke masa hingga sampai ke zaman kita sekarang ini. Tidak ada
contoh yang lebih baik dan lebih mabrur dari tata cara yang dicontohkan langsung oleh
Baginda Rasulullah Saw bersama sahabat-sahabat beliau.9

HAJI TALANNGAN : FENOMENA HAJI ZAMAN NOW

Dana talangan Haji berasal dari Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) di satu pihak
yang tegas-tegas menghalalkan dana talangan haji ini, lewat fatwanya no 29 tahun 2002.
Dalam fatwanya itu, DSN membolehkan dana talangan haji karena dianggap sebagai ujrah
atau upah atas jasa menalangi biaya haji.Namun di pihak lain kita menemukan ada banyak
suara keberatan dari para ulama yang kurang setuju dengan fatwa DSN ini. Sebab apa yang
disebut ujrah itu tidak lain hanya akal-akalan dan hilah saja. Sebenarnya keuntungan yang
diterima pihak bank tidak lain adalah bunga hasil dari meminjamkan uang. Maka dalam
status khilafiyah ini, kita harus bisa memahami kalau ada pihak-pihak yang punya pendapat
berbeda dengan pendapat kita. Dan perbedaan pendapat ini bukan lahan untuk saling mencaci
atau mencemooh, apalagi bersikap dengan perilaku yang kurang terpuji10.

Walaupun demikian, tentu juga tidak salah apabila kita sendiri mempelajari dan lebih
mendalami latar belakang perbedaan pendapat ini dengan seksama, agar kita tahu dengan
pasti kenapa kita memilih suatu pendapat, dan tahu juga apa kelebihan dan kelemahan
pendapat lain. Sebagaimana kita ketahui, karena banyaknya peminat mereka yang ingin
berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci, maka pihak Kementerian Agama RI
mengharuskan para calon jamaah haji untuk menyetorkan dulu sejumlah dana (kurang lebih
25 juta) sebagai tanda jadi bahwa mereka serius ingin berangkat haji. Tanpa setoran awal
ini, maka seorang jamaah tidak akan tercantum namanya dalam daftar antrian. Memang biaya
naik haji bukan 25 juta, tetapi lebih dari itu, yaitu sekitar 35 jutaan. Uang 25 juta ini sekedar
uang untuk bisa ikut dalam antrian. Tentu buat mereka yang belum punya uang sebesar 25
juta, tidak mungkin ikut antrian. Oleh karena itu agar segera bisa ikut antrian, pihak bank
kemudian menawarkan dana segar pinjaman kepada para calon jamaah haji. Jadi dana
talangan haji adalah sejumlah dana yang dipinjamkan oleh pihak bank kepada masyarakat
calon jamaah haji untuk mendapatkan porsi haji. Dan untuk jasa peminjaman itu, pihak bank
berhak mendapatkan semacam uang jasa, yang tentunya menjadi sebuah transaksi yang
bersifat profit margin tersendiri dalam bisnisnya. Justru yang jadi titik masalah pada bunga
dari pinjaman ini. Logikanya, tidak mungkin sebuah bank, meskipun berembel-embel
syariah, tiba-tiba berbaik hati meminjamkan uang 25 juta begitu saja, kalau tidak pakai
imbalan apa pun. Yang namanya bank, pada hakikatnya adalah sebuah perusahaan. Dan
sebuah perusahaan biar bagaimana pun juga bukan lembaga bantuan sosial. Maka logika
dasar yang bisa kita pahami, bank harus dapat untung. Dan dalam hal ini, keuntungan didapat
dari hasil meminjamkan uang kepada calon jamaah haji. Tinggal dicarikan hilah atau alibi
agar apa yang awalnya riba dan haram kemudian bisa berubah jadi halal.11

Pertama, Dalil Utama Bukan Bunga Tetapi Ujrah. Pihak terdepan yang
menghalalkan dana talangan haji ini adalah Dewan Syariah Nasional (DSN) dengan fatwa
nomor 29 tahun 2002. Dalam hal ini DSN seperti pasang badan untuk menghalalkan apa-apa

9
Lihat Musthafa Yaqub, Haji pengabdi Syaitan (Jakarta Pustaka pelajar 2006 ) halaman 67.
10
Lihat Fatwa DSN no 29 tahun 2002 (MUI WWW.Fatwadsn.com )
11
https://rofiqa.wordpress.com/tanya-jawab/halalkah-dana-talangan-haji-dari-bank-syariah/ lihat
pada tanggal 11 November 2017.
yang selama ini masih dianggap belum memenuhi ketentuan syariah. Dalam pengurusan haji
bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-
Ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000. Apabila diperlukan, LKS dapat
membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh
sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001. Jasa pengurusan haji yang dilakukan
LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji. Besar imbalan jasa al-Ijarah
tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.
Dalam fatwa itu memang tidak secara eksplisit disebutkan bahwa pihak bank boleh menarik
keuntungan dari jasa meminjamkan uang. Yang disebutkan adalah bank boleh mendapatkan
imbalan jasa (ujrah) bukan dari meminjamkan uang, tetapi dari jasa pengurusan haji dengan
prinsip ijarah. Dengan akad ini seolah-olah pihak bank syariah diposisikan seperti pihak yang
berjasa mengurus segala tetek bengek keperluan orang yang mau berangkat haji. Dan atas
jasa pengurusan ini, maka bank berhak mendapatkan fee atau uang jasa dari calon jamaah
haji. Seolah-olah bank itu adalah perusahaan travel atau semacam biro agen perjalanan, yang
yang berjasa mengerjakan sesuatu untuk kita, dan untuk itu kita memberinya upah. Dan
karena memberi upah atas jasa yang dilakukan seseorang dalam hukum Islam memang halal
hukumnya, bahkan wajib ditunaikan, maka hukum memberi uang tambahan itu pun dihukumi
sebagai upah yang halal. Adapun uang dana talangan yang dipinjamkan kepada calon jamaah
haji, semata-mata pinjaman tanpa bunga dan tidak ada pungutan. Akadnya lain lagi dari akad
ujrah di atas, tetapi akad baru yang namanya al-qardh. Maka pihak bank syariah punya dua
akad dengan calon jamaah haji. Pertama akad ujrah, yaitu jamaah memberi upah kepada
bank syariah karena telah membantu mengurus pendaftaran haji. Dan akad ini halal karena
pada dasarnya akad upah (ujrah) ini memang halal. Kedua, akad al-qardh (pinjaman uang)
yang dilakukan tanpa bunga. Sehingga uang yang dipinjamkan 25 juta dan dikembalikan utuh
25 juta tanpa bunga.12

Selain berdasarkan landasan pokok yang bersifat substantif di atas, mereka yang
menghalalkan akad ini juga menggunakan landasan hukum berdasarkan turunan atau dampak
positif yang ditimbulkan darinya. Di antaranya adalah :Dengan adanya fasilitas dana talangan
ini, maka terbuka kesempatan buat mereka yang belum dana cukup untuk berangkat haji.
Cukup dengan dana awal sekitar 2 juta rupiah, seseorang bisa dijamin mendapatkan jatah
untuk berangkat haji.Maka keberadaan dana talangan ini meringankan beban dalam urusan
biaya naik haji dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada khalayak untuk
mewujudkan impian pergi ke tanah suci. Dengan adanya dana talangan ini, masyarakat bisa
mendapatkan jaminan yang pasti untuk menunaikan ibadah. Kepastian itu hanya bisa dicapai
bila seseorang sudah menyetorkan sejumlah dana tertentu yang nilainya cukup besar. Karena
ditalangi oleh pihak bank, maka dana yang cukup besar itu bisa dibayarkan sehingga jaminan
berangkat haji pun dengan mudah bisa didapat. Buat pihak Bank sendiri, dana talangan haji
ini sangat menguntungkan dari sisi bisnis dan menjadi sebuah lahan baru untuk mengeruk
keuntungan. Apalagi mengingat bahwa jumlah jamaah haji tiap tahun tidak akan pernah
berkurang, sebaliknya jumlah calon jamaah ini selalu naik jumlahnya setiap tahun. Bahkan
ada tambahan nilai, yaitu kredit yang dikucurkan dapat jaminan untuk bisa dibayarkan tepat
waktu.

Kedua, adapun pendapat yang tidak boleh Di luar Dewan Syariah Nasional, cukup
banyak ulama dan para ahli fiqih yang menolak kehalalan dana talangan haji ini. Penolakan
ini sah dan tidak dilarang, mengingat kedudukan sebuah fatwa memang tidak mengikat

12
https://rofiqa.wordpress.com/tanya-jawab/halalkah-dana-talangan-haji-dari-bank-syariah/ lihat
lebih lanjut pada buku pedoman Haji talangan halaman 34.
secara hukum.Walau pun yang mengeluarkan fatwa sekelas DSN, namun biar bagaimana pun
sebuah fatwa bukan undang-undang atau qanun. Sehingga sebuah fatwa bisa saja diikuti dan
bisa saja ditinggalkan. Dan dalam fatwa itu, DSN memang memberikan semacam ruang
untuk mengubah substansi fatwa itu kalau dianggap kurang tepat. Silahkan baca bagian akhir
dari fatwa DSN itu : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan JIKA DI
KEMUDIAN HARI TERNYATA TERDAPAT KEKELIRUAN, AKAN DIUBAH DAN
DISEMPURNAKAN SEBAGAIMANA MESTINYA. Salah satu sebab kenapa sebuah
fatwa boleh ditinggalkan, apabila fatwa itu dianggap kurang tepat atau bertentangan dengan
hasil kajian lain yang dianggap lebih dalam dan lebih akurat. Di antara hujjah dan dalil
tentang haramnya dana talangan haji ini karena pada hakikatnya uang pinjaman itu
mengharuskan adanya bunga. Dan bunga pinjaman itu adalah riba yang telah diharamkan.
Pertama, Menurut pihak yang mengharamkan akad ini, meski bunyi akadnya bukan pinjam
uang pakai bunga, namun secara subtantif yang sebenarnya terjadi sebenarnya tidak bisa
lepas dari transaksi pinjam uang pakai bunga. Adapun akad ujrah atau upah atas jasa
pengurusan yang disebut-sebut itu, tidak lain hanya sekedar hilah atau alibi yang dibuat-
buat. Karena jasa pengurusan itu memang tidak pernah dilakukan oleh pihak bank. Sebab
dalam undang-undang dan ketentuannya, bank tidak dibenarkan melakukan jasa-jasa
pengurusan, karena bank bukanlah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa
pengurusan perjalanan. Kalau memang benar bahwa bank telah melakukan jasa pengurusan,
maka seharusnya bank itu benar-benar mengerjakannya. Dan jenis pekerjaan jasa pengurusan
haji ini cukup banyak, diantaranya

Melaksanakan bimbingan ibadah manasik haji buat jamaah sejak di tanah air
Membuatkan passport buat jamaah
Mengurus visa haji di Kedutaan Besar Saudi Arabia.
Mengurus tiket atau menyewa 18 unit pesawat charter khusus haji
Memesan kamar hotel atau penginapan baik di Mekkah, Madinah ataupun Jeddah
Memesan menu makan katering buat jamaah selama di tanah suci
Mengatur petugas handling di airport
Menyiapkan tenaga petugas mutawwif
Memesan kendaraan selama di tanah suci
Menyediakan tenaga kesehatan

Dan tentu masih banyak jenis pekerjaan lain yang terkait dengan jasa pengurusan
jamaah haji yang tidak disebutkan disini. Namun meski mengaku-ngaku telah berjasa
mengurus jamaah haji, ternyata tidak satu pun dari item-item di atas yang benar-benar
dilakukan oleh pihak bank syariah. Satu-satu yang dilakukan cuma meminjamkan uang, plus
memasukkan data jamaah haji ke komputer pusat (siskohaj). Kalau pun memasukkan data
jamaah ke siskohaj ini dianggap jasa, logika akal sehatnya tentu tidak harus sampai bayar
berjuta-juta. Fee atau ujrah yang masuk akal dan bukan akal-akalan misalnya 10 ribu per
orang. Tetapi kalau dikenakan biaya sampai ratusan ribu apalagi pakai juta-jutaan, kita semua
sepakat ini cuma akal-akalan. Anak kecil pun tahu kalau dirinya diakali. Maka meski bunyi
akadnya akad ujrah atau upah, tetapi substansinya tetap saja yang disasar adalah bagaimana
pinjaman atau talangan dana itu bisa menghasilkan keuntungan. Walaupun kewajiban
tambahan itu diganti istilahnya dengan beragam istilah yang diperhalus, seperti uang
administrasi, uang terima kasih, uang pengertian, bahkan termasuk uang atas konsekuensi
inflasi, tetap saja tidak akan mengubah posisi dan status keharamannya. Apalagi kalau diganti
namanya menjadi uang jasa, lebih jelas lagi kepalsuannya. Sebab kalau meminjamkan uang
dianggap sebagai jasa, lalu atas jasa itu boleh diberi upah, maka semua transaksi ribawi
dimana pun akan minta keadilan dan berkilah bahwa mereka pun merasa berjasa. Para
rentenir dan lintah darat pun akan merasa bahwa mereka telah berjasa besar, sebab dengan
uang pinjaman yang mereka berikan itu, banyak orang yang kesulitan uang akan
mendapatkan manfaat. Lantas kalau rentenir itu merasa berhak untuk mendapatkan semacam
imbalan atas jasa meminjamkan uangnya, maka pada akhirnya usaha rentenir pun akan jadi
halal hukumnya. Mereka akan berkilah bahwa mereka tidak makan bunga riba, tetapi mereka
menjual jasa.

Upaya bank meminjamkan calon haji uang sebesar 25 juta tentu sebuah niat baik.
Namun karena sifatnya pinjaman, tetap saja ada kewajiban untuk mengembalikannya, itupun
masih harus dengan tambahannya. Maka pihak yang dipinjamkan itu pada hakikatnya bukan
orang yang mampu untuk berangkat haji. Kalau pun mereka berangkat haji dan menjalankan
semua syarat dan rukunnya, memang hukumnya sah. Tetapi kalau dilihat dari sisi syarat
wajib, sebenarnya mereka ini belum termasuk kelompok yang wajib melaksanakan ibadah
haji. Sementara Al-Quran dengan tegas mensyaratkan bahwa hanya mereka yang mampu saja
yang diperintahkan untuk melaksanakan ibadah haji. Sedangkan mereka yang tidak mampu,
tidak diwajibkan bahkan bisa gugur kewajibannya. Dampak negatifnya adalah bahwa mereka
yang sebenarnya punya uang dan mampu, kalau tidak cepat-cepat mendaftar akan kehilangan
kesempatan. Sebab jatahnya sudah diambil oleh mereka yang sebenarnya belum mampu. Di
satu sisi fasilitas dana talangan ini memang membantu orang yang tidak mampu untuk bisa
mewujudkan impiannya pergi haji ke tanah suci. Tetapi di sisi lain, justru dana talangan ini
malah membuat skala prioritas menjadi acak-acakan. Setidaknya, mereka yang sudah wajib
melaksanakan haji jadi terhambat niatnya gara-gara ada orang yang belum sampai ke level
wajib haji sudah mengambil jatah duluan. Pinjam uang untuk pergi haji bagi mereka yang
memang belum punya uang cukup merupakan sebuah tindakan takalluf atau memaksakan diri
yang bukan pada tempatnya. Padahal isyarat dan pesan dalam Al-Quran menyebutkan bahwa
hanya mereka yang mampu saja yang diperintahkan untuk berangkat haji. Kalau memang
belum punya harta sebesar itu, kewajiban berangkat haji sudah gugur.13

Sementara di balik dari janji kemudahan yang diiming-imingkan, sebenarnya ada


kewajiban untuk membayar biaya haji jauh lebih mahal. Logikanya, tidak mungkin pihak
bank mau bermurah hati bagi-bagi uang secara gratisan. Dan apalah artinya peminjaman itu
kalau sekedar pulang modal tanpa ada keuntungan yang ditarik dari masyarakat. Sayangnya,
hal ini kurang ditonjolkan sejak awal. Masyarakat dibiasakan hidup dengan selalu terlilit
dengan hutang, hutang dan hutang. Dan dalam rumus dasarnya, tidak ada hutang yang
scorenya 0 0 alias tanpa bunga. Beban bunga inilah yang justru ditutup-tutupi sedemikian
rupa sehingga yang lebih dominan hanya sisi fasilitas cairnya dana pinjaman.14

PANDANGAN ULAMA TERHADAP KONSEP HAJI TALANGAN : TELAAH KRITIS


PENDEKATAN STUDI QURAN ATAU LIVING QURAN

Berangkat dari pandangan para Ulama. Ulama memberikan berbagai versi pandangan
dalam hal menyangkut soal Istitoah yang di interpretasikan dari ayat surat ali Imran ayat 97.


























1313
Diskusi Ilmiah Haji talangan Khoirul hadi, Haji Talangan dalam Pandangan Hukum Islam makalah
dalam Acara IMC di IAIN Jember 23 Maret 2017 halaman 12.
14
Ibid halaman 14.
Allah Swt berfirman : Dan diantara kewajiban manusia terhadap Allah Swt adalah
mengerjakan haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu. (QS. Ali Imran : 97)
Terjemahan lebih lengkapnya adalah : Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di
antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.(Ali Imran:
97)
)

)97(



Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah
Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua
manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (di antaranya) maqam Ibrahim; barang
siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Allah Swt. memberitahukan bahwa rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia,
yakni untuk tempat ibadah dan manasik mereka, di mana mereka melakukan tawaf dan salat
serta ber-i'tikaf padanya.
}{
15
ialah Baitullah yang di Bakkah. (Ali Imran: 96)

dalam ayat diatas, Yakni Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim Al-Khalil a.s.
yang diklaim oleh masing-masing dari dua golongan, yaitu orang-orang Yahudi dan orang-
orang Nasrani; bahwa mereka berada di dalam agama Nabi Ibrahim dan tuntunannya, tetapi
mereka tidak mau ber-haji ke Baitullah yang dibangun olehnya atas perintah Allah untuk
tujuan itu, padahal Nabi Ibrahim telah menyerukan kepada manusia untuk melakukan haji ke
Baitullah. Seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
}
{
yang diberkahi. (Ali Imran: 96)
Yaitu diberkahi sejak awal pembangunannya.

{
}
Yang menjadi petunjuk bagi semua manusia. (Ali Imran: 96)
:

:

: ." ":
: ." " :
: : ." ":
."
Artinya : Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-
A'masy, dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari Abu Zar r.a. yang telah menceritakan: Aku

15
Al-Quran Depag, halaman 56.
bertanya, "Wahai Rasulullah, masjid manakah yang mula-mula dibangun?" Nabi Saw.
menjawab, "Masjidil Haram." Aku bertanya, "Sesudah itu mana lagi?" Nabi Saw. menjawab,
"Masjidil Aqsa." Aku bertanya, "Berapa lama jarak di antara keduanya?" Nabi Saw.
menjawab.Empat puluh tahun." Aku bertanya, "Kemudian masjid apa lagi?" Nabi Saw.
bersabda, "Kemudian tempat di mana kamu mengalami waklu salat, maka salatlah padanya,
karena semuanya adalah masjid." (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim )
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Al-A'masy
dengan lafaz yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-
Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman,
dari Syarik, dari Mujahid, dari Asy-Sya'bi, dari Ali r.a. sehubungan dengan firman-Nya:
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah
Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi. (Ali Imran: 96) Memang banyak rumah
yang dibangun sebelum Masjidil Haram, tetapi Baitullah adalah rumah yang mula-mula
dibangun untuk tempat beribadah. (Ibnu Abu Hatim mengatakan pula) dan telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnur Rabi',
telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Sammak, dari Khalid ibnu Ur'urah yang
menceritakan bahwa ada seorang lelaki berdiri, lalu menuju kepada sahabat Ali r.a. dan
bertanya, "Sudikah engkau menceritakan kepadaku tentang Baitullah, apakah ia merupakan
rumah yang mula-mula dibangun di bumi ini?" Sahabat Ali menjawab, "Tidak, tetapi
Baitullah merupakan rumah yang mula-mula dibangun mengandung berkah, yaitu maqam
Ibrahim; dan barang siapa memasukinya, menjadi amanlah dia."16
Pendekatan kebahasaaan juga digunakan dalam memahami ayat tersebut, .Bahwa
penafsiran terhadap ayat ini adalah Allah mewajibkan bagi semua manusia untuk
menjalankan ibadah haji, hal ini terlintas dengan adanya penggalan ayat
) dalam lafadh Kha di baca kasroh itu adalah bacaan yang khusus, dan ada
beberapa ulama yang lain, membaca dengan di fathah huruf kha pendapat tersebut di ikuti
oleh ahli bahasa seperti Abu jafar Hamzah dan Kisai, Haji adalah salah satu rukun Islam hal
ini sejalan dengan hadist Nabi 17

:
" :

16
Kemudian Ibnu Abu Hatim menuturkan asar ini hingga selesai, yaitu menyangkut perihal
pembangunan Baitullah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Kami mengetengahkan asar ini secara rinci di dalam
permulaan tafsir surat Al-Baqarah, hingga tidak perlu diulangi lagi dalam bab ini. As-Saddi menduga bahwa
Baitullah merupakan rumah yang mula-mula dibangun di bumi ini secara mutlak. Akan tetapi, pendapat Ali r.a.-
lah yang benar. Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi di dalam kitabnya yang berjudul
Dalailun Nubuwwah mengenai pembangunan Ka'bah yang ia ketengahkan melalui jalur Ibnu Luhai'ah, dari
Yazid ibnu Habib, dari Abul Khair, dari Abdullah ibnu Amr ibnul As secara marfu yaitu: Allah mengutus Jibril
kepada Adam dan Hawa, membawa perintah kepada keduanya agar keduanya membangun Ka'bah. Maka Adam
membangunnya, kemudian Allah memerintahkan kepadanya untuk melakukan tawaf di sekeliling Ka'bah.
Dikatakan kepadanya, "Engkau adalah manusia pertama (yang beribadah di Baitullah), dan ini merupakan
Baitullah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadah manusia."Maka sesungguhnya hadis ini merupakan
salah satu dari mufradat (hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang) Ibnu Luhai'ah, sedangkan Ibnu
Luhai'ah orangnya dinilai daif. Hal yang mirip kepada kebenaran hanya Allah Yang Maha Mengetahuibila
hadis ini dikatakan mauquf hanya sampai kepada Abdullah ibnu Amr. Dengan demikian, berarti kisah ini
termasuk ke dalam kategori kedua hadis daif lainnya yang keduanya diperoleh oleh Abdullah ibnu Amr pada
saat Perang Yarmuk, yaitu diambil dari kisah Ahli Kitab lihat http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-
surat-ali-imran-ayat-96-97.html cek juga dalam Tafsir Ibnu Kastsir Tafsir Al_Quran Aladhim, (Dar al-Kutub
Islamiyah Bairut, tt ) halaman 456.

17
Lihat http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/baghawy/sura3-aya97.html di akses tanggal 11 November
2017.
Artinya : diriwayatkan oleh Abdul Wahid bin Abdul malakhi, dari Ibnu Umar, Nabi
Muhammad SAW bersabda bahwa Islam dibangun atas lima prinsip, pertama Sahadat, kedua
Sholat ketiga Zakat, dan keempat adalah puasa di bulan Romadhan, dan Terakhir adalah
ibadah haji bagi yang mampu. (Hadist Riawayat Imam Buhkari )
Dalam pandangan Ulama penafsiran yang berkaiatan dengan istihoah dalam ayat
tersebut itu ada dua penafsiran, pertama, adalah kemampuan seorang yang berhadi mulai dari
fisik rohani harta, dan dalam proses rangkaian perjalanan yang akan di tempuh, serta hal yang
di butuhkan oleh keluarga yang di tinggal dalam proses ibadah haji tersebut.


:
: : : " " :
: : " " : : "
Artinya : Umar Bertanya Kepada Nabi, apa yang dimaksud dengan Ibadah Haji wahai
Rasullah, Rasullah SAW menjawab adanya biaya Perjalanan, ada seorang laki-laki langsung
berdiri serta sekaligus bertanya ualang kepada nabi Muhammad, Rasulullah menjawab apa
yang paling utama dalam Haji, Rasul menjawab haji yang paling utama adlah ketika stelah
haji atau dengan haji membuat yang berhaji menjadi lebih baik dari harta, dll.
Pandangan Ulama menyatakan apabil ketika berhaji dapat memberikan mudharat
pada keluarga berkaitan dengan harta yang di gunakan atau harta yang di tinggalkan bagi
keluarga yang ada di rumah maka haji tersebut masih belum setingkat wajib, artinya bahwa
haji adalah ibadah yang totalitas yang membutuhkan kekuatan dan kemampuan yang lebih,
ketika haji misalnya tdak meninggalkan harta yang membuat kelaurga di rumah mudharat,
atau berangkat haji ketika tetanga masih ada yang belum mampu makan, maka membantu
tentangga yang belum mampu tersebuat lebih utama dari pada dia berangkat haji. 18Firman
Allah Swt.:

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata. (ali Imran: 97)

Yaitu tanda-tanda yang jelas menunjukkan bahwa bangunan tersebut dibangun oleh Nabi
Ibrahim, dan Allah memuliakan serta menghormatinya. Kemudian Allah Swt. berfirman:

maqam Ibrahim. (ali Imran: 97)
Yaitu sarana yang dipakai oleh Nabi Ibrahim ketika bangunan Ka'bah mulai meninggi
untuk meninggikan fondasi dan temboknya. Sarana ini dipakai untuk tangga tempat berdiri,
sedangkan anaknya (yaitu Nabi Ismail) menyuplai bebatuan.19
Pada mulanya maqam Ibrahim ini menempel pada dinding Ka'bah, kemudian pada
masa pemerintahan Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. maqam tersebut dipindahkan ke sebelah
timur Ka'bah hingga memudahkan bagi orang-orang yang bertawaf dan tidak berdesak-
desakan dengan orang-orang yang salat di dekatnya sesudah melakukan tawaf. Karena Allah
Swt. telah memerintahkan kepada kita agar melakukan salat di dekat maqam Ibrahim, yaitu
melalui firman-Nya:

18
Ibid
:
: : : " "
: : : " " : : "
Lihat http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/baghawy/sura3-aya97.html lihat di hari sabtu November 2017.
19
http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-ali-imran-ayat-96-97.html hari sabtu 2017.
{
}
Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125)

Dalam pembahasan terdahulu telah kami kemukakan hadis-hadis mengenai hal ini,
maka tidak perlu diulangi lagi dalam bab ini. Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (di antaranya)
maqam Ibrahim. (Ali Imran: 97) Yakni antara lain ialah maqam Ibrahim dan tanda-tanda
lainnya. Menurut Mujahid, bekas kedua telapak kaki Nabi Ibrahim di maqamnya mempakan
tanda yang nyata. Hal yang sama dikatakan pula dalam riwayat lain dari Umar ibnu Abdul
Aziz, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya.
Abu Talib mengatakan dalam salah satu bait syair dari qasidah Lamiyah yang terkenal,
yaitu:20
...


Pijakan kaki Nabi Ibrahim pada batu itu tampak nyata bekas
kedua telapak kakinya yang telanjang tanpa memakai terompah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id dan Amr Al-
Audi; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan
kepada kami Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-
Nya: maqam Ibrahim. (Ali Imran: 97) Bahwa yang dimaksud dengan maqam Ibrahim ialah
tanah suci seluruhnya. Sedangkan menurut lafaz Amr disebutkan bahwa Al-Hijir seluruhnya
adalah maqam Ibrahim.
Telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair bahwa dia pernah mengatakan, "Haji itu
maqam Ibrahim." Demikianlah yang aku lihat di dalam kitab salinannya, barangkali yang
dimaksud ialah Al-Hijir seluruhnya adalah maqam Ibrahim. Hal ini telah diterangkan pula
oleh Mujahid. Pada hari kemenangan atas kota Mekah Nabi Saw. bersabda pula:

"





:
" " :
Sesungguhnya negeri (kota) ini diharamkan oleh Allah sejak Dia menciptakan langit dan
bumi, maka ia haram karena diharamkan oleh Allah sampai hari kiamat. Dan sesungguhnya
tidak dihalalkan melakukan peperangan di dalamnya sebelumku, dan tidaklah dihalalkan
bagiku kecuali hanya sesaat dari siang hari. Maka ia kembali menjadi haram karena
diharamkan oleh Allah hingga hari kiamat; pepohonannya tidak boleh ditebang, binatang
buruannya tidak boleh diburu, barang temuannya tidak boleh dipungut kecuali bagi orang
yang hendak mempermaklumatkannya, dan rerumputannya tidak boleh dicabut. Lalu Al
Abbas berkata mengajukan usulnya, "Wahai Rasulullah, kecuali izkhir, karena sesungguhnya
izkhir digunakan oleh mereka untuk atap rumah mereka." Maka Nabi Saw. bersabda:
Terkecuali izkhir (sejenis rumput ilalang).( Hadist Riwayat Imam Bukhari)21

20
http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-ali-imran-ayat-96-97.html lihat juga Musthafa
Yaqub, haji Pengabdi Syaithan n(Jakarta Pustaka Firdaus 2006 ) halaman 65.
21
Mukhari, Sahih al Bukhari (Beirut, Dar alkutub al Ilmiyah, tt ) halaman 456 juz 2.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang semisal atau yang
sama melalui sahabat Abu Hurairah r.a. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula
dari Abu Syuraih Al-Adawi menurut lafaz yang ada pada Imam Muslim
:





"
:

:



: :"

.
Artinya : bahwa ia pernah berkata kepada Amr ibnu Sa'id yang sedang melantik delegasi-
delegasinya yang akan berangkat ke Mekah, "Izinkanlah kepadaku, wahai Amirui Muminin.
Aku akan menceritakan kepadamu sebuah hadis yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. pada
keesokan harinya setelah kemenangan atas kota Mekah, aku mendengarnya dengan kedua
telingaku ini dan kuhafalkan dalam kalbuku serta aku saksikan dengan mata kepalaku sendiri
ketika beliau Saw. mengucapkannya. Sesungguhnya pada mulanya beliau memanjatkan puja
dan puji kepada Allah Swt., kemudian bersabda: Sesungguhnya Mekah ini diharamkan oleh
Allah dan bukan diharamkan oleh manusia. Karena itu, tidak halal bagi seorang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian mengalirkan darah di dalamnya, atau menebang
suatu pohon padanya. Apabila ada seseorang menghalalkannya dengan alasan bahwa
Rasulullah Saw. pernah melakukan peperangan di dalamnya, maka katakanlah oleh kalian
kepadanya, 'Sesungguhnya Allah telah memberikan izin kepada Nabi-Nya, tetapi Dia tidak
mengizinkan bagi kalian, dan sesungguhnya Allah hanya memberikan izin kepadaku
melakukan peperangan di dalamnya sesaat dari siang hari. Dan sekarang keharaman kota
Mekah telah kembali seperti semula, sama dengan keharaman yang sebelumnya. Maka
hendaklah orang yang hadir menyampaikan berita ini kepada yang gaib (tidak hadir)'."
Ketika ditanyakan kepada Abu Syuraih, "Apa yang dikatakan oleh Amr kepadamu?" Abu
Syuraih menjawab bahwa Amr berkata, "Aku lebih mengetahui hal tersebut daripada kamu,
hai Abu Syuraih. Sesungguhnya Kota Suci Mekah ini tidak memberikan perlindungan kepada
orang yang maksiat, tidak bagi orang yang lari setelah membunuh, tidak pula orang yang lari
karena menimbulkan kerusakan."(Rwayat Hadist Imam Bukhari ) 22
Firman Allah Swt.:



Artinya : mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah. yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (Ali Imran: 97)

Ayat ini mewajibkan ibadah haji, menurut pendapat jumhur ulama. Sedangkan
menurut yang lainnya, ayat yang mewajibkan ibadah haji ialah firman-Nya:

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196)

22
Mukhari, Sahih al Bukhari (Beirut, Dar alkutub al Ilmiyah, tt ) halaman 467 juz 2 .
Akan tetapi, pendapat yang pertama lebih kuat. Banyak hadis yang beraneka ragam
menyatakan bahwa ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam dan merupakan pilar serta
fondasinya. Kaum muslim telah sepakat akan hal tersebut dengan kesepakatan yang tidak
dapat diganggu gugat lagi. Sesungguhnya melakukan ibadah haji itu hanya diwajibkan sekali
dalam seumur hidup berdasarkan keterangan dari nas dan ijma'.23
:

:

:

: ." "
: " :

.
" : ."

."
Artinya : Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun,
telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Muslim Al-Qurasyi, dari Muhammad ibnu
Ziyad, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah berkhotbah
kepada kami (para sahabat) yang isinya mengatakan: "Hai manusia, telah difardukan atas
kalian melakukan ibadah haji. Karena itu, berhajilah kalian." Ketika ada seorang lelaki
bertanya, "Apakah untuk setiap tahun, wahai Rasulullah?" Nabi Saw. diam hingga lelaki itu
mengulangi pertanyaannya tiga kali. Lalu Rasulullah Saw. bersabda, "Seandainya aku
katakan, 'Ya,' niscaya diwajibkan (setiap tahunnya), tetapi niscaya kalian tidak akan
mampu." Kemudian Nabi Saw. bersabda, "Terimalah dariku apa yang aku tinggaikan buat
kalian, karena sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian (umat-umat
terdahulu) karena mereka banyak bertanya dan menentang nabi-nabi mereka. Apabila aku
perintahkan kepada kalian sesuatu hal, maka kerjakanlah sebagian darinya semampu kalian;
dan apabila aku larang kalian terhadap sesuatu, maka tinggalkanlah ia oleh kalian."

Imam Muslim meriwayatkannya dari Zuhair ibnu Harb, dari Yazid ibnu Harun
dengan lafaz yang semisal. Sufyan ibnu Husain, Sulaiman ibnu Kasir, Abdul Jalil ibnu
Humaid, dan Muhammad ibnu Abu Hafsah meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Abu Sinan Ad-
Duali (yang namanya adalah Yazid ibnu Umayyah), dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. berkhotbah kepada kami yang isinya mengatakan:
: ."
"
" :
."
Artinya : "Hai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian ibadah haji."
Maka berdirilah Al-Aqra' ibnu Habis, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah untuk setiap
tahun?" Nabi Saw. bersabda, "Seandainya aku mengatakannya, niscaya akan diwajibkan;
dan seandainya diwajibkan, niscaya kalian tidak dapat mengerjakannya dan kalian tidak
akan dapat melakukannya. Ibadah haji adalah sekali; maka barang siapa yang lebih dari
sekali, maka hal itu haji sunat." (Hadist Riwayat Imam Bukhari )24
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam
Ibnu Majah serta Imam Hakim melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz yang sama. Syarik

23
Lihat dalam Al jazirie, Fiqih empat Mazhab, (Beirut Dar al fikr, tt ) halaman 345.
24
Mukhari, Sahih al Bukhari (Beirut, Dar alkutub al Ilmiyah, tt ) halaman 468 juz 2
meriwayatkannya melalui Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang
semakna. Hal ini diriwayatkan pula melalui hadis Usamah ibnu Zaid. Imam Ahmad
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mansur ibnu Wardan, dari Abdul A'la ibnu
Abdul A'la, dari ayahnya, dari Al-Bukhturi, dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa ketika ayat
berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (Ali Imran: 97)
Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah untuk setiap tahun?" Rasulullah Saw. diam.
Mereka bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apakah untuk setiap tahun?" Nabi Saw. menjawab:
"Tidak, seandainya aku katakan, 'Ya,' niscaya diwajibkan (setiap tahunnya)." Maka Allah
Swt. menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya
menyusahkan kalian. (Al-Maidah: 101 )
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, Ibnu Majah, dan Imam Hakim
melalui hadis Mansur ibnu Wardan. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
hasan garib. Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Imam Turmuzi itu masih perlu
dipertimbangkan, mengingat Imam Bukhari mengatakan bahwa Abul Bukhturi belum pernah
mendengar dari sahabat Ali r.a.

:

: :

: " :
"
Artinya : Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdullah ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Ubaidah, dari
ayahnya, dari Al-A'masy ibnu Abu Sufyan, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan: Mereka
(para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ibadah haji itu setiap tahun?" Nabi Saw.
menjawab, "Seandainya aku kalakan, 'Ya,' niscaya diwajibkan. Dan seandainya diwajibkan,
niscaya kalian tidak dapat melakukannya; dan seandainya kalian tidak dapat melakukannya,
niscaya kalian akan tersiksa.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis melalui Ibnu Juraij, dari Ata, dari
Jabir, dari Suraqah ibnu Malik yang mengatakan:
:
: .""

""
Artinya : "Wahai Rasulullah, apakah engkau mengajak kami ber-tamattu' hanya untuk tahun
kita sekarang ini, ataukah untuk selama-lamanya?" Nabi Saw. menjawab, "Tidak, bahkan
untuk selamanya." Menurut riwayat yang lain disebutkan, "Bahkan untuk selama-lamanya."
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan kitab Sunan Abu Daud dinyatakan melalui
hadis Waqid ibnu Abu Waqid Al-Laisi, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. dalam hajinya
itu berkata kepada istri-istrinya,
" "

Artinya "Kemudian mereka (kaum wanita) menetapi tikar hamparannya,"
maksudnya tetaplah kalian pada tikar kalian dan janganlah kalian keluar dari rumah.
Adapun mengenai istita'ah (yakni berkemampuan), hal ini terdiri atas berbagai macam,
adakalanya seseorang mempunyai kemampuan pada dirinya, dan adakalanya pada yang
lainnya, seperti yang ditetapkan di dalam kitab yang membahas masalah hukum.
:


: :
":
:


" " :
: "
." " : :
Artinya : Abu Isa At-Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdu ibnu
Humaid, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami
Ibrahim ibnu Yazid yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Muhammad ibnu Abbad
ibnu Ja'far menceritakan sebuah hadis dari Ibnu Umar r.a.: Seorang lelaki menghadap kepada
Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang berhaji
sesungguhnya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Orang yang rambutnya awut-awutan dan kusut
pakaiannya (karena lama dalam perjalanannya)." Lalu ada lelaki lain menghadap dan
bertanya, "Wahai Rasulullah, haji apakah yang lebih utama?" Rasulullah Saw. menjawab,
"Mengeraskan bacaan talbiyah dan berkelompok-kelompok." Lalu datang lagi lelaki yang
lainnya dan bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan as-sabil itu?"
Rasulullah Saw. menjawab, "Bekal dan kendaraan." (Hadist Riwayat Imam bukhari )25
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui hadis Ibrahim ibnu Yazid (yaitu
Al-Jauzi). Imam Turmuzi mengatakan, tiada yang me-rafa'-kan hadis ini kecuali hanya
melalui hadisnya (Ibrahim ibnu Yazid). Akan tetapi, sebagian dari ahlul 'ilmi meragukan
perihal kekuatan hafalannya. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Imam Turmuzi
dalam bab ini. Di dalam Kitabul Haj ia mengatakan bahwa hadis ini hasan, tidak diragukan
bahwa sanad ini para perawinya semua terdiri atas orang-orang yang Siqah selain Al-Jauzi.
Mereka membicarakan perihalnya demi hadis ini, tetapi ternyata jejaknya itu diikuti oleh
orang lain. Untuk itu Ibnu Abu Hatim mengatakan:



:

:


:
." " :
Artinya : telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdul
Aziz ibnu Abdullah Al-Amiri, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah
ibnu Ubaid ibnu Umair Al-Laisi, dari Muhammad ibnu Abbad ibnu Ja'far yang menceritakan
bahwa ia duduk di majelis Abdullah Ibnu Umar, lalu Ibnu Umar menceritakan bahwa ada
seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya kepadanya, "Apakah arti sabil itu?"
Nabi Saw. menjawab: Bekal dan kendaraan. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu
Murdawaih melalui riwayat Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair dengan lafaz
yang sama.(hadist Di riwayatkan Imam Bukhari ) 26

25
Mukhari, Sahih al Bukhari (Beirut, Dar alkutub al Ilmiyah, tt ) halaman 500. Juz 2.
26
Imam Bukahri,........ halaman 512, juz 2
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Anas,
Al-Hasan, Mujahid, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah hal yang semisal
dengan hadis di atas. Hadis ini diriwayatkan melalui berbagai jalur lain dari hadis Anas,
Abdullah ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan Siti Aisyah yang semuanya berpredikat
marfu. Akan tetapi, di dalam sanadnya terdapat perbedaan pendapat, seperti yang ditetapkan
di dalam Kitabul Ahkam. Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mempunyai perhatian khusus
terhadap hadis ini dengan mengumpulkan semua jalur periwayatannya.
Imam Hakim meriwayatkan melalui hadis Qatadah, dari Hammad ibnu Salamah, dari
Qatadah, dari Anas r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai makna firman
Allah Swt: yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (Ali
Imran: 97)

Lalu ditanyakan, "Apakah makna sabil itu?" Rasulullah Saw. menjawab:





Bekal dan kendaraan.

Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa predikat hadis ini sahih dengan syarat
Imam Muslim, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak
mengetengahkannya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Yunus, dari Al-Hasan yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. membaca firman-Nya: mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (Ali
Imran: 97) Lalu mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud
dengan sabil itu?" Rasulullah Saw. menjawab: Bekal dan kendaraan.
Waki' meriwayatkan hadis ini di dalam kitab tafsirnya melalui Sufyan dan Yunus dengan
lafaz yang sama.
- :

- - -
-
- " :


:
"
Artinya : Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah
menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Ismail (yaitu Abu Israil Al-Mala-i), dari Fudail
(yakni Ibnu Amr), dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Bersegeralah kalian mengerjakan haji yakni haji
fardu karena sesungguhnya seseorang di antara kalian tidak mengetahui aral yang akan
menghalang-halanginya (di masa mendatang). (hadist Riwayat Imam Bukhari )27

:
" :


:
."

Artinya : Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah,
telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Amr Al-Faqimi, dari Mahran ibnu Abu
Safwan, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Barang siapa yang niat hendak melakukan haji, maka kerjakanlah dengan segera.

27
Imam Bukahri, ...........halaman 519 juz 2.
Abu Daud meriwayatkannya dari Musaddad, dari Abu Mu'awiyah Ad-Darir dengan
lafaz yang sama.Waki' meriwayatkan begitu pula Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah. (Ali Imran: 97) Ibnu Abbas mengatakan, "Barang siapa yang memiliki harta
sejumlah tiga ratus dirham, berarti dia sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah."
Telah diriwayatkan dari maulanya (yaitu Ikrimah) bahwa ia pernah mengatakan, "Yang
dimaksud dengan sabil ialah sehat." Waki' ibnul Jarrah meriwayatkan dari Abu Janab (yakni
Al-Kalbi), dari Ad-Dahhak ibnu Muzahim, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan
dengan firman-Nya: yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
(Ali Imran: 97), Yang dimaksud dengan sabil ialah bekal dan kendaraan unta.
MAKNA HAJI TALANGAN : SEBUAAH PANDANGAN MASYARAKAT KEKINIAN

Meneladani kajian haji dalam buku Musthafa Yaqub Haji Pengabdi Syaithan28

28 Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal, JakartaJamaah haji Indonesia yang pulang ke Tanah Air,
bila mereka ditanya apakah Anda ingin kembali lagi ke Mekkah, hampir seluruhnya menjawab, Ingin. Hanya
segelintir yang menjawab, Saya ingin beribadah haji sekali saja, seperti Nabi SAW. Jawaban itu menunjukkan
antusiasme umat Islam Indonesia beribadah haji. Sekilas, itu juga menunjukkan nilai positif. Karena beribadah
haji berkali-kali dianggap sebagai barometer ketakwaan dan ketebalan kantong. Tapi, dari kacamata agama, itu
tidak selamanya positif.Kendati ibadah haji telah ada sejak masa Nabi Ibrahim, bagi umat Islam, ia baru
diwajibkan pada tahun 6 H. Walau begitu, Nabi SAW dan para sahabat belum dapat menjalankan ibadah haji
karena saat itu Mekkah masih dikuasai kaum musyrik. Setelah Nabi SAW menguasai Mekkah (Fath Makkah)
pada 12 Ramadan 8 H, sejak itu beliau berkesempatan beribadah haji.Namun Nabi SAW tidak beribadah haji
pada 8 H itu. Juga tidak pada 9 H. Pada 10 H, Nabi SAW baru menjalankan ibadah haji. Tiga bulan kemudian,
Nabi SAW wafat. Karenanya, ibadah haji beliau disebut haji wida (haji perpisahan). Itu artinya, Nabi SAW
berkesempatan beribadah haji tiga kali, namun beliau menjalaninya hanya sekali. Nabi SAW juga
berkesempatan umrah ribuan kali, namun beliau hanya melakukan umrah sunah tiga kali dan umrah wajib
bersama haji sekali.Mengapa?Sekiranya haji dan atau umrah berkali-kali itu baik, tentu Nabi SAW lebih dahulu
mengerjakannya, karena salah satu peran Nabi SAW adalah memberi uswah (teladan) bagi umatnya. Selama
tiga kali Ramadan, Nabi SAW juga tidak pernah mondar-mandir menggiring jamaah umrah dari Madinah ke
Mekkah.Dalam Islam, ada dua kategori ibadah: ibadah qashirah (ibadah individual) yang manfaatnya hanya
dirasakan pelakunya dan ibadah mutaaddiyah (ibadah sosial) yang manfaatnya dirasakan pelakunya dan orang
lain. Ibadah haji dan umrah termasuk ibadah qashirah. Karenanya, ketika pada saat bersamaan terdapat ibadah
qashirah dan mutaaddiyah, Nabi SAW tidak mengerjakan ibadah qashirah, melainkan memilih ibadah
mutaaddiyah. Menyantuni anak yatim, yang termasuk ibadah mutaaddiyah, misalnya, oleh Nabi SAW,
penyantunnya dijanjikan surga, malah kelak hidup berdampingan dengan beliau. Sementara untuk haji mabrur,
Nabi SAW hanya menjanjikan surga, tanpa janji berdampingan bersama beliau. Ini bukti, ibadah sosial lebih
utama ketimbang ibadah individual. Di Madinah, banyak mahasiswa belajar pada Nabi SAW. Mereka tinggal
di shuffah Masjid Nabawi. Jumlahnya ratusan. Mereka yang disebut ahl al-shuffah itu adalah mahasiswa Nabi
SAW yang tidak memiliki apa-apa kecuali dirinya sendiri, seperti Abu Hurairah. Bersama para sahabat, Nabi
SAW menanggung makan mereka. Ibadah mutaaddiyah seperti ini yang diteladankan beliau, bukan pergi haji
berkali-kali atau menggiring jamaah umrah tiap bulan. Karenanya, para ulama dari kalangan Tabiin seperti
Muhammad bin Sirin, Ibrahim al-Nakhai, dan alik bin Anas berpendapat, beribadah umrah setahun dua kali
hukumnya makruh (tidak disukai), karena Nabi SAW dan ulama salaf tidak pernah melakukannya.Dalam hadis
qudsi riwayat Imam Muslim ditegaskan, Allah dapat ditemui di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang
kehausan, dan orang menderita. Nabi SAW tidak menyatakan bahwa Allah dapat ditemui di sisi Kabah. Jadi,
Allah berada di sisi orang lemah dan menderita. Allah dapat ditemui melalui ibadah sosial, bukan hanya ibadah
individual. Kaidah fikih menyebutkan, al-mutaaddiyah afdhol min al-qashirah (ibadah sosial lebih utama
daripada ibadah individual). Jumlah jamaah haji Indonesia yang tiap tahun di atas 200.000 sekilas
menggembirakan. Namun, bila ditelaah lebih jauh, kenyataan itu justru memprihatinkan, karena sebagian dari
jumlah itu sudah beribadah haji berkali-kali. Boleh jadi, kepergian mereka yang berkali-kali itu bukan lagi
sunah, melainkan makruh, bahkan haram.Ketika banyak anak yatim telantar, puluhan ribu orang menjadi
tunawisma akibat bencana alam, banyak balita busung lapar, banyak rumah Allah roboh, banyak orang terkena
pemutusan hubungan kerja, banyak orang makan nasi aking, dan banyak rumah yatim dan bangunan pesantren
terbengkalai, lalu kita pergi haji kedua atau ketiga kalinya, maka kita patut bertanya pada diri sendiri, apakah
Jika di tinjau dengan akad Kemudian, jika kita melihat aqad yang digabungkan dalam
praktek talangan haji adalah aqad tabarruat yaitu qardh dan aqad muawwadat yaitu ijarah.
Kedua jenis aqad ini memiliki orientasi yang sangat berbeda. Aqad tabarruat merupakan
aqad sosial, tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. Sementara aqad muawwadat
merupakan aqad komersil, aqad yang digunakan untuk mendapatkan keuntungan. Jika
keduanya digabungkan maka berpotensi menimbulkan riba karena merusak masing-masing
tujuan dari kedua aqad tersebut. Sehingga penggabungan dua aqad dalam dana talangan haji
ini, sudah masuk dalam wilayah pelarangan hadits Nabi saw, sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah:

Kesimpulan dari hadits ini menegaskan bahwa : Tidak dibenarkan menggabungkan antara
aqad komersial dengan aqad sosial. Yang demikian itu karena keduanya(orang yang
beraqad) menjalin aqad sosial karena adanya aqad komersial antara mereka. Dengan
demikian aqad sosial itu tidak sepenuhnya sosial. bahkan aqad sosial secara tidak langsung
menjadi bagian dari nilai transaksi dalam aqad komersial..

Dari kesimpulan yang ditetapkan oleh ibnu Taimiyah, kita dapat mengetahui bahwa
yang menjadi Illat larangan Rasulullah menggabungkan dua aqad, ialah adanya perbedaan
asas aqad tersebut yaitu asas komersial dan asas sosial. Hal ini disebabkan karena
penggabungan itu menyebabkan motif sosialnya tidak murni lagi tapi menjadi mencari
keuntungan, dan keuntungan itulah yang rentan menjadi riba, sehingga selama illat ini ada
maka hukum hadits diatas bisa diterapkan bagi aqad yang lain, semisal penggabungan aqad
Qardh dan Ijarah dalam praktek talangan haji, hal ini berdasarkan kaidah ushul fiqih:

Hukum itu berlaku berdasarkan ada tidak adanya illat

haji kita itu karena melaksanakan perintah Allah? Ayat mana yang menyuruh kita melaksanakan haji berkali-
kali, sementara kewajiban agama masih segudang di depan kita? Apakah haji kita itu mengikuti Nabi SAW?
Kapan Nabi SAW memberi teladan atau perintah seperti itu? Atau sejatinya kita mengikuti bisikan setan melalui
hawa nafsu, agar di mata orang awam kita disebut orang luhur? Apabila motivasi ini yang mendorong kita,
maka berarti kita beribadah haji bukan karena Allah, melainkan karena setan. Sayangnya, masih banyak orang
yang beranggapan, setan hanya menyuruh kita berbuat kejahatan atau setan tidak pernah menyuruh beribadah.
Mereka tidak tahu bahwa sahabat Abu Hurairah pernah disuruh setan untuk membaca ayat kursi setiap malam.
Ibadah yang dimotivasi rayuan setan bukan lagi ibadah, melainkan maksiat. Jam terbang iblis dalam menggoda
manusia sudah sangat lama. Ia tahu betul apa kesukaan manusia. Iblis tidak akan menyuruh orang yang suka
beribadah untuk minum khamr. Tapi Iblis menyuruhnya, antara lain, beribadah haji berkali-kali. Ketika manusia
beribadah haji karena mengikuti rayuan iblis melalui bisikan hawa nafsunya, maka saat itu tipologi haji
pengabdi setan telah melekat padanya lihat https://khaznah.wordpress.com/2010/07/20/haji-pengabdi-setan/ hari
sabtu 2017 .
KESIMPULAN

Maka paper ini dapat menyimpulkan bahwa pertama, mekanisme haji Talangan
mempunyai dua pendekatan boleh apabila itu mengikuti logika Fatwa DSN no 29 tahun 2002,
dengan sebagaiman sudah du jelaskan di atas, atau Kedua Tidak boleh karena secara tafsier
hal itu belum di anggapa Istithoah, kedua, bahwa pergerasan haji hari ini sebagaimana yang
Musthofa Yaqub ungkapkan bahwa hajui lebih pada wilayah ingin mendapatkan ruang sosial
bukan lagi berdasarkan niat ibadah yang tulus, ibadah haji di maknai lebih pada Branding
Sosial, misalnya dengan membuat rumah makan haji tanpa sertifikat halal atau buat Up date
Statsu skeimanan bagi kalangan Artis dll.

DAFTAR PUSTAKA

Jalaudin As-Syuyuthi dan jalaludin al-mahalli, Tafsir Jalalain (Beitu Dar al Kutub al Ilmiah,
tt.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Dan kesan kesan Dalama Al-Quran (Lentera hati
Jakarta 2009
https://rofiqa.wordpress.com/tanya-jawab/halalkah-dana-talangan-haji-dari-bank-syariah/
Diskusi Ilmiah Haji talangan Khoirul hadi, Haji Talangan dalam Pandangan Hukum Islam
makalah dalam Acara IMC di IAIN Jember 23 Maret 2017
Al-Quran Depag, halaman 56.
Ibnu Kastsir Tafsir Al_Quran Aladhim, (Dar al-Kutub Islamiyah Bairut, tt ) halaman 456.
http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/baghawy/sura3-aya97.html di akses tanggal 11 November
2017.
Lihat http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/baghawy/sura3-aya97.html lihat di hari sabtu November
2017.
http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-ali-imran-ayat-96-97.html hari sabtu
2017.
http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-ali-imran-ayat-96-97.html lihat juga
Musthafa Yaqub, haji Pengabdi Syaithan n(Jakarta Pustaka Firdaus 2006 .
Imam Bukhari,i, Sahih al Bukhari (Beirut, Dar alkutub al Ilmiyah, tt .
Al jazirie, Fiqih empat Mazhab, (Beirut Dar al fikr, tt .
https://khaznah.wordpress.com/2010/07/20/haji-pengabdi-setan/ hari sabtu 2017 .

Anda mungkin juga menyukai