Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis paru (TB paru) adalah suatu penyakit menular langsung

yang disebabkan oleh kuman Mycrobacterium tuberculosis. Sebagian besar

kuman tuberkulosis menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh

lainnya (Depkes, 2007). Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang

diketahui banyak menginfeksi manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis complex. Penyakit ini biasanya menginfeksi paru. Transmisi penyakit

biasanya melalui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien

yang terinfeksi TB paru (Mario dan Richard, 2005).

A. Epidemiologi

Menurut WHO (2013) dalam Kemenkes (2016), diperkirakan

sebanyak 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%)

adalah pasien dengan HIV positif. Sekitar 75% dari total berada di wilayah

Afrika. Pada tahun 2012 juga telah diperkirakan sebanyak 450.000 orang

yang menderita TB MDR dan 170.000 di antaranya meninggal dunia. Pada

tahun 2012 diperkirakan kasus TB anak secara global mencapai 6% atau

530.000 pasien TB anak pertahun.

Indonesia berpeluang mencapai penurunan angka kesakitan dan

kematian akibat TB menjadi setengahnya di tahun 2015 jika dibandingkan

dengan data tahun 1990. Angka prevalensi TB pada tahun 2015 ditargetkan

1
menjadi 280 per 100.000 penduduk, hal ini diharapkan dapat menurun

dibandingkan pada tahun 1990 dimana penderita TB sebanyak 443 per

100.000 penduduk. Berdasarkan hasil survei TB tahun 2013, prevalensi Tb

paru positif per 100.000 penduduk umur 15 tahun ke atas sebesar 257

(Kemenkes, 2016).

B. Etiologi, Patogenesis, Faktor Predisposisi atau Faktor Resiko

1. Etiologi

Menurut Sudoyo (2009), penyebab tuberculosis adalah

Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan

ukuran panjang 1-4 um dan tebal 0.3-0.6 m. Yang tergolong dengan

kuman Mycobacterium tuberculosis complex adalah:

a. M. tuberculosae

b. Varian Asian

c. Varian African I

d. Varian African II

e. M.bovis

Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid),

kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat

kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri

tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan

fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaaan

dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena

2
kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat

bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi.

Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam

sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula bertugas memfagositasis

benda asing yang masuk ke tubuh justru menyukainya karena banyak

mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini

menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi

kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal

paru-paru lebih tinggi dari bagian lain. Sehingga bagian apikal ini

merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis (Sudoyo, 2009).

2. Patogenesis

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006), patogenesis

tuberkulosis dibagi menjadi:

a. Tuberkulosis Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan

bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang

pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer

ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan

sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran

getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut

diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis

regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional

3
dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami

salah satu nasib sebagai berikut:

1) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad

integrum)

2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang

Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

3) Menyebar dengan cara:

a) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh

adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,

biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar

sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas

bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan

menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang

atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang

atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun

ke paru sebelahnya atau tertelan.

c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini

berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.

Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan

tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini

akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis

4
milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy.

Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat

tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan

sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir

dengan:

(1) Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya

pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat

ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau

(2) Meninggal.

b. Tuberkulosis Postprimer

Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun

kemudian setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40

tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-

macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis,

tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang

terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi

sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini,

yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus

inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil.

Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:

1) Diresorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

5
2) Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan

dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi

pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang

tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan

keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3) Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan

kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju

keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan

menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:

a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang

pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang

disebutkan di atas

b) Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh,

tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti

lagi

c) Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau

kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya

mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus

dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

6
3. Faktor Predisposisi atau Faktor Resiko

Faktor risiko TB dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan:

a. Faktor host

1) Kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok memiliki risiko

yang lebih tinggi untuk terkena TB

2) Status nutrisi, seseorang dengan berat badan kurang memiliki

risiko yang lebih tinggi untuk terkena TB. Vitamin D juga

memiliki peran penting dalam aktivasi makrofag dan membatasi

pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis. Penurunan kadar

vitamin D dalam serum akan meningkatkan risiko terinfeksi TB.

3) Penyakit sistemik, pasien-pasien dengan penyakit-penyakit

seperti keganasan, gagal ginjal, diabetes, ulkus peptikum

memiliki risiko untuk terkena TB.

4) Immunocompromised, seseorang yang terkena HIV memiliki

risiko untuk terkena TB primer ataupun reaktifasi TB. Selain itu,

pengguna obat-obatan seperti kortikosteroid dan TNF-inhibitor

juga memiliki risiko untuk terkena TB.

5) Usia, di Amerika dan negara berkembang lainnya, kasus TB

lebih banyak terjadi pada orang tua daripada dewasa dan anak-

anak (Horsburg, 2009).

7
b. Faktor lingkungan

Orang yang tinggal serumah dengan seorang penderita TB akan

berisiko untuk terkena TB. Selain itu orang yang tinggal di

lingkungan yang banyak terjadi kasus TB juga memiliki risiko lebih

tinggi untuk terkena TB. Selain itu sosioekonomi juga berpengaruh

terhadap risiko untuk terkena TB dimana sosioekonomi rendah

memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena TB (Horsburgh, 2009).

Pada anak, faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain

adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif

(kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang

tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat

penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan

lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi

TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang

dewasa yang infeksius, terutama dengan Basil Tahan Asam (BTA)

positif. Berarti bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif

memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut

dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut

terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius (Kartasasmita,

2009).

8
4. Klasifikasi

Dalam Sudoyo (2009), sampai sekarang belum ada kesepakatan di

antara para klinikus, ahli radiologi, ahli patologi, mikrobiologi, dan ahli

kesehatan masyarajat tentang keseragaman klasifikasi tuberkulosis. Dari

sistem lama diketahui beberapa klasifikasi, seperti:

a. Pembagian secara patologis

1) Tuberkulosis primer

2) Tuberkulosis postprimer

b. Pembagian secara aktivitas radiologi

1) Tuberkulosis paru aktif

2) Tuberkulosis paru non aktif

3) Tuberkulosis quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh)

c. Pembagian secara radiologis

1) Tuberkulosis minimal

Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu paru maupun

kedua paru, tetapi jumlahnya tak melebihi satu lobus.

2) Moderately advanced tuberculosis

Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat

bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya

kasar tidak lebih dari sepertiga bagian paru.

9
3) Far advanced tuberculosis

Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada moderately

advanced tuberculosis.

Sedangkan dalam Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006),

klasifikasi tuberkulosis dibagi menjadi:

a. Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,

tidak termasuk pleura

1) Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak

a) Tuberkulosis paru BTA (+) adalah

(1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan

hasil BTA positif

(2) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA

positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran

tuberkulosis aktif

(3) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA

positif dan biakan positif

b) Tuberkulosis paru BTA (-)

(1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,

gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan

tuberkulosis aktif

10
(2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif

dan biakan M. tuberculosis

2) Berdasarkan tipe pasien

a) Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan

OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

b) Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh

atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan

hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi

dicurigai lesi aktif atau perburukan dan terdapat gejala klinis maka

harus dipikirkan beberapa kemungkinan:

(1) Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur,

keganasan dll)

(2) TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang

berkompeten menangani kasus tuberkulosis

c) Kasus drop out

Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan

tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum

masa pengobatannya selesai.

11
d) Kasus gagal

Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir

pengobatan) atau akhir pengobatan.

e) Kasus kronik

Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif

setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2

dengan pengawasan yang baik

f) Kasus bekas TB

(1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila

ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang

tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang

menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih

mendukung

(2) Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah

mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks

ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi

b. Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang

organ tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput

otak, tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya

didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi.

12
Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen

maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB

ekstraparu aktif.

C. Manifestasi Klinis

Menurut Zumla (2013), manifestasi klinis klasik dari tuberkulosis paru

antara lain adalah:

1. Batuk kronis

2. Produksi sputum

3. Kehilangan nafsu makan

4. Penurunan berat badan

5. Demam

6. Keringat malam

7. Hemoptisis

Dalam Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006),

gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal

dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal

ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat):

1. Gejala respiratorik

a. Batuk 2 minggu

b. Batuk darah

c. Sesak napas

d. Nyeri dada

13
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai

gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien

terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam

proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang

pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan

untuk membuang dahak ke luar.

2. Gejala sistemik

a. Demam

b. Malaise

c. Keringat malam

d. Anoreksia

e. Berat badan menurun

3. Gejala tuberkulosis ekstraparu

Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat,

misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang

lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis

tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis

tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi

yang rongga pleuranya terdapat cairan.

14
D. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006), ada beberapa

pemeriksaan yang dapat digunakan untuk pemeriksaan tuberkulosis paru,

antara lain sebagai berikut:

1. Pemeriksaan bakteriologik

a. Bahan pemeriksaan

Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak,

cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,

kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage atau BAL), urin, faeces

dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus atau BJH)

b. Cara pengumpulan

Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):

1) Sewaktu atau spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

2) Pagi (keesokan harinya)

3) Sewaktu atau spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)

Bahan pemeriksaan atau spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan

atau ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm

atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor.

c. Interpretasi hasil pemeriksaan

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :

1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif

15
2) 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali dan lakukan foto

rontgen

3) Bila 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali dan lakukan

foto rontgen

4) Bila 3 kali negatif BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD

(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against

Tuberculosis and Lung Disease) :

1) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

2) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah

kuman yang ditemukan

3) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)

4) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

5) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

2. Pemeriksaan radiologik

a. Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:

1) Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan

posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah

2) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak

berawan atau nodular

3) Bayangan bercak milier

4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

16
b. Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

1) Fibrotik

2) Kalsifikasi

3) Schwarte atau penebalan pleura

3. Pemeriksaan uji resistensi obat

Menurut Kemenkes (2016), untuk mendiagnosis tuberkulosis

diperlukan pemeriksaan uji resistensi obat. WHO sendiri

merekomendasikan pemerksaan uji resistensi rifampisin atau isoniazid

terhadap beberapa kelompok pasien yang baru mulai melakukan

pnegobatan. Kelompok pasien tersebut antara lain:

a. Semua pasien dengan riwayat OAT. TB resisten ovat banyak didapatkan

pada pasien dengan riwayat gagal terapi.

b. Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif khususnya mereka

yang tinggal di daerah dengan prevalens sedang atau tinggi TB resisten

obat.

c. Pasien dengan TB aktif setelah terpajan dengan pasien TB resisten obat.

d. Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resisten obat primer

> 3 %.

WHO juga merekomendasikan uji resistensi obat selama pengobatan

berlangsung pada situasi berikut ini:

a. Pasien baru atau riwayat OAT dengan apusan dahak BTA tetap positif

pada akhir fase intensif maka sebaiknya melakukan apusan dahak BTA

17
pada bulan berikutnya. Jika apusan BTA tersebut masih positif maka

biakan M.tuberculosis dan uji resistensi obat atau pemeriksaan Xpert

MTB/RIF harus dilakukan.

Dalam Kemenkes (2014), terdapat beberapa metode untuk menguji

apakah terdapat resistensi obat terhadap obat OAT. Metode-metode

tersebut antara lain:

a. Metode konvensional uji resistensi obat

WHO mendukung penggunaan metode biakan media cair dan

identifikasi M.tuberculosis cepat dibandingkan media pada saja. Metode

cair lebih sensitif mendeteksi M.tuberculosis dan meningkatkan temuan

kasus sebesar 10% dibandingkan media padat, selain itu juga lebih cepat

memperoleh hasil yaitu sekitar 10 hari dibandingkan 28-42 hari dengan

media padat.

b. Metode cepat uji resistensi obat (uji diagnostik molekuler cepat)

Xpert assay dapat mengidentifikasi M.tuberculosis dan mendeteksi

resistensi rifampisin dan dahak yang diperoleh dalam beberapa jam.

Akan tetapi konfirmasi TB resistensi obat dengan uji kepekaan obat

konvensional masih digunakan sebagai gold standard. Penggunaan

Xpert MTB/RIF tidak menyingkirkan kebutuhan metode biakan dan uji

resistensi obat konvensional yang penting untuk menegakkan diagnosis

definitif TB pada pasien dengan apusan BTA negatif dan uji resistensi

obat untuk menentukan kepekaan OAT lainnya selain rifampisin.

18
BAB II

TATA LAKSANA

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006), pengobatan

tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase

lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat

utama dan tambahan.

A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Obat yang dipakai:

1. Jenis obat lini pertama yang digunakan

a. INH

b. Rifampisin

c. Pirazinamid

d. Streptomisin

e. Etambutol

2. Jenis obat lini kedua yang digunakan

a. Kanamisin

b. Amikasin

c. Kuinolon

Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam

klavulanat.

19
Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain:

a. Kapreomisin

b. Sikloserino

c. PAS (dulu tersedia)

d. Derivat rifampisin dan INH

e. Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

B. Tujuan Pengobatan Tuberkulosis Paru

Dalam Kemenkes (2014), terdapat beberapa tujuan pengobatan TB.

Tujuan-tujuan tersebut antara lain:

1. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien.

2. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.

3. Mencegah kekambuhan TB.

4. Mengurangi penularan TB kepada orang lain.

5. Mencegah perkembangan dan penularan resistensi obat.

C. Dosis Rekomendasi Obat Anti Tuberkulosis

WHO merekomendasikan obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT) untuk

mengurangi risiko terjadinya TB resistensi obat akibat monoterapi. Dengan

KDT pasien tidak dapat memilih obat yang diminum, jumlah butir obat yang

harus diminum lebih sedikit sehingga dapat meningkatkan ketaatan pasien dan

kesalahan resep oleh dokter juga diperkecil karena berdasarkan berat badan.

Dosis harian KDT di Indonesia distandarisasi menjadi empat kelompok berat

badan, yaitu 30-37 kg BB, 38-54 kg BB, dan > 70 kg BB (Kemenkes, 2014).

20
Tabel 2.1 Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa
(Kemenkes, 2014)
Dosis Rekomendasi
Obat Anti Harian 3 kali per minggu
Tuberkulosis Dosis Maksimum Dosis Maksimum
(mg/kgBB) (BB) (mg/kgBB) (BB)
Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomisin 15 (12-18) - 15 (12-18 1000

D. Panduan Obat Anti Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

2006):

1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi

luas

Paduan obat yang dianjurkan:

a. 2 RHZE / 4 RH, atau

b. 2 RHZE / 6HE, atau

c. 2 RHZE / 4R3H3

2. TB paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks terdapat lesi

minimal

Paduan obat yang dianjurkan:

a. 2 RHZE / 4 RH, atau

b. 6 RHE, atau

21
c. 2 RHZE / 4R3H3

3. TB paru kasus kambuh

Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase

lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil

uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.

4. TB paru kasus gagal pengobatan

Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh

paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan

15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak

memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase

lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil

uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.

a. Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil

yang optimal

b. Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru

5. TB paru kasus putus obat

Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali

sesuai dengan kriteria sebagai berikut:

a. Berobat 4 bulan

1) BTA saat ini negatif

Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan

OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis

22
lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan

mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila

terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat

yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

2) BTA saat ini positif

Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat

dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama

b. Berobat < 4 bulan

1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat

yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan

diteruskan

Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap

OAT.

6. TB paru kasus kronik

a. Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,

berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan

hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif)

ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll.

Pengobatan minimal 18 bulan.

23
b. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup

Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan

penyembuhan.

E. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis

Hampir semua obat memiliki efek samping jika dikonsumsi dalam

jangka waktu yang lama meskipun dalam dosis yang sesuai dengan anjuran

yang berlaku. Begitupun dengan obat anti tuberkulosis yang memiliki

beberapa efek samping yang tidak diinginkan. Efek samping pada OAT dapat

diklasifikasikan mayor dan minor. Pada pasien yang mengalami efek samping

OAT minor sebaiknya melanjutkan pengobatan dan diberikan terapi

simptomatik, tetapi pada pasien yang mengalami efek samping mayor maka

paduan OAT atau OAT penyebab sebaiknya dihentikan (Kemenkes, 2014).

Tabel 2.2 Pendekatan berdasarkan gejala untuk


mengobati efek tidak diinginkan OAT
(Kemenkes, 2014)
Efek tidak Diinginkan Kemungkinan Pengobatan
(ETD) Obat Penyebab
Mayor Hentikan obat penyebab dan
rujuk kepada dokter ahli segera
Ruam kulit dengan atau Streptomisin, Hentikan OAT
tanpa gatal isoniazid,
rifampisin,
pirazinamid
Tuli (tidak terdapat Streptomisin Hentikan streptomisin
kotoran yang menyumbat
telinga pada pemeriksaan
otoskop)
Pusing (vertigo dan Streptomisin Hentikan streptomisin

24
nistagmus)
Jaundice (penyebab lain Isoniazid, Hentikan OAT
disingkirkan), hepatitis pirazinamid,
rifampisin
Bingung (curigai gagal Sebagian besar OAT Hentikan OAT
hati akut terinduksi obat
bila terdapat jaundice)
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
(singkirkan penyebab
lainnya)
Syok, purpura, gagal ginjal Streptomisin Hentikan streptomisin
akut
Minor Lanjutkan OAT dan cek dosis
OAT
Anoreksia, mual, nyeri Pirazinamid, Berikan obat dengan bantuan
perut rifampisin, isoniazid sedikit makanan atau menelan
OAT sebelum tidur, dan
sarankan untuk menelan pil
secara lambat dengan sedikit air.
Bila gejala menetap atau
memburuk, atau muntah
berkepanjangan atau terdapat
tanda-tanda perdarahan,
pertimbangkan kemungkinan
ETD mayor dan rujuk ke dokter
ahli segera
Nyeri sendi Isoniazid Aspirin atau obat antiinflamasi
nonsteroid, atau parasetamol
Rasa terbakar, kebas, atau Isoniazid Piridoksin 50-75 mg/hari
kesemutan di tangan dan
kaki
Rasa mengantuk Isoniazid Pastikan memberi obat sebelum
tidur
Air kencing berwarna Rifampisin Pastikan pasien diberitahukan
kemerahan sebelum mulai minum obat dan
bila hal ini terjadi adalah normal
Sindrom flu (demam, Pemberian Ubah pemberian rifampisin
menggigil, malaise, sakit rifampisin intermitten menjadi setiap hari
kepala, nyer tulang) intermitten

25
BAB III

KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

A. Komplikasi

Dalam Kim, et al (2001), komplikasi TB ini dapat terjadi baik pada

pasien yang diobati ataupun tidak. Secara garis besar, komplikasi TB

dikategorikan menjadi:

1. Lesi parenkim

a. Tuberkuloma dan thin-walled cavity

b. Sikatriks dan destruksi paru.

c. Aspergilloma.

d. Karsinoma bronkogenik.

2. Lesi saluran nafas

a. Bronkiektasis.

b. Stenosis trakeobronkial.

c. Bronkolitiasis

3. Komplikasi vaskular

a. Trombosis dan vaskulitis.

b. Dilatasi arteri bronchial.

c. Aneurisma rassmussen.

4. Lesi mediastinum

a. Kalsifikasi nodus limfa.

26
b. Fistula esofagomediastinal.

c. Tuberkulosis perikarditis.

5. Lesi pleura

a. Chronic tuberculous empyema dan fibrothorax.

b. Fistula bronkopleura.

c. Pneumotoraks.

6. Lesi dinding dada

a. TB kosta.

b. Tuberculous spondylitis.

c. Keganasan yang berhubungan dengan empyema kronis

B. Prognosis

Menurut Varaine & Rich (2014), TB merupakan suatu penyakit

yang parah dan sering menyebabkan kematian jikatidak ditangani. Setelah 5

tahun tanpa pengobatan, hasil dari smear-positive (BTA positif) TB Paru pada

penderita HIV negatif adalah sebagai berikut:

1. 50-60% meninggal (CFR untuk TB yang tidak diobati)

2. 20-25% sembuh (sembuh spontan)

3. 20-25% berlanjut kronis

Dengan pengobatan yang adekuat, Case Fatality Rate (CFR) sering menurun

menjadi kurang dari 2 3% dibawah kondisi optimal. Penurunan CFR serupa

terlihat pada penderita TB paru smear-negative (BTA negatif) dan

ExtraPulmonary Tuberculosis (EPTB) dengan pengobatan adekuat. TB

27
yang tidakdiobati pada penderita infeksi HIV (tanpa antiretroviral) hampir

selalu fatal. Bahkan dengan retroviral pun, CFR-nya selalu lebih tinggi dari

pada penderita non-infeksi HIV.

28
BAB IV

PENCEGAHAN

Menurut Wieslaw, et al (2001), cara terbaik untuk mencegah TB adalah

dengan pengobatan terhadap pasien yang mengalami infeksi TB sehingga rantai

penularan terputus. Tiga topik dibawah ini merupakan topik yang penting untuk

pencegahan TB:

A. Proteksi terhadap paparan TB

Diagnosis dan tatalaksana dini merupakan cara terbaik untuk

menurunkan paparan terhadap TB. Risiko paparan terbesar terdapat di bangsal

TB dan ruang rawat, dimana staf medis dan pasien lain mendapat paparan

berulang dari pasien yang terkena TB. Ada beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi kemungkinan transmisi antara lain:

1. Cara batuk

Cara ini merupakan cara yang sederhana, murah, dan efektif dalam

mencegah penularan TB dalam ruangan. Pasien harus menggunakan sapu

tangan untuk menutupi mulut dan hidung, sehingga saat batuk atau bersin

tidak terjadi penularan melalui udara.

2. Menurunkan konsentrasi bakteri

a. Sinar Matahari dan Ventilasi

Sinar matahari dapat membunuh kuman TB dan ventilasi yang baik dapat

mencegah transmisi kuman TB dalam ruangan.

29
b. Filtrasi

Penyaringan udara tergantung dari fasilitas dan sumber daya yang

tersedia.

c. Radiasi UV bakterisidal

M.tuberculosis sangat sensitifterhadap radiasi UV bakterisidal. Metode

radiasi ini sebaiknya digunakan di ruangan yang dihuni pasien TB yang

infeksius dan ruangan dimana dilakukan tindakan induksi sputum ataupun

bronkoskopi.

3. Masker

Penggunaan masker secara rutin akan menurunkan penyebaran kuman lewat

udara. Jika memungkinkan, pasien TB dengan batuk tidak terkontrol

disarankan menggunakan masker setiap saat. Staf medis juga disarankan

menggunakan masker ketika paparan terhadap sekret saluran nafas tidak

dapat dihindari.

4. Rekomendasi NTP (National TB Prevention) terhadap paparan TB

a. Segera rawat inap pasien dengan TB paru BTA (+) untuk pengobatan fase

intensif, jika diperlukan.

b. Pasien sebaiknya diisolasi untuk mengurangi risiko paparan TB ke pasien

lain.

c. Pasien yang diisolasi sebaiknya tidak keluar ruangan tanpa memakai

masker.

30
d. Pasien yang dicurigai atau dikonfirmasi terinfeksi TB sebaiknya tidak

ditempatkan di ruangan yang dihuni oleh pasien yang

immunocompromised, seperti pasien HIV, transplantasi, atau onkologi.

B. Vaksinasi BCG (Bacillus Calmette Guerin)

BCG merupakan vaksin hidup yang berasal dari M.bovis. Fungsi BCG adalah

melindungi anak terhadap TB diseminata dan TB ekstra paru berat (TB

meningitis dan TB milier). BCG tidak memiliki efek menurunkan kasus TB

paru pada dewasa. BCG diberikan secara intradermal kepada populasi yang

belum terinfeksi.

1. Tes tuberkulin

Neonatus dan bayi hingga berusia 3 bulan tanpa adanya riwayat kontak

dengan TB, dapat diberikan vaksinasi BCG tanpa tes tuberkulin sebelumnya.

2. Vaksinasi rutin

Pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi, WHO merekomendasikan

pemberian vaksinasi BCG sedini mungkin, terutama saat baru lahir. Pada

bayi baru lahir hingga usia 3 bulan, dosisnya adalah 0,05 ml sedangkan

untuk anak yang lebih besar diberikan 0,1 ml.

C. Terapi pencegahan

Tujuan terapi pencegahan adalah untuk mencegah infeksi TB menjadi penyakit,

karena penyakit TB dapat timbul pada 10 % orang yang mengalami infeksi TB.

Kemoprofilaksis dapat diberikan bila ada riwayat kontak dengan tes tuberkulin

positif tetapi tidak ada gejala atau bukti radiologis TB. Obat yang digunakan

31
biasanya adalah isoniazid (5 mg/kg) selama 6 bulan. Jika memungkinkan,

dilakukan dengan pengamatan langsung. Kelompok yang mendapat profilaksis,

yaitu:

1. Bayi dengan ibu yang terinfeksi TB paru.

Bayi yang sedang mendapat ASI dari ibu dengan TB paru, sebaiknya

mendapat isoniazid selama 3 bulan. Setelah 3 bulan, dilakukan tes

tuberkulin. Jika hasil negatif maka diberikan vaksinasi, jika positif maka

dilanjutkan isoniazid selama 3 bulan lagi. Jika terdapat adanya bukti

penyakit, maka perlu diberikan pengobatan penuh.

2. Anak dengan riwayat kontak, tuberkulin negatif, tampak sehat, tanpa riwayat

BCG, sama seperti di atas.

3. Anak dengan riwayat kontak, tuberkulin positif (tanpa riwayat BCG).

4. Anak tanpa gejala sebaiknya diberikan profilaksis isoniazid 6 bulan.

5. Anak dengan gejala dan pemeriksaan yang menunjukkan TB diberikan

pengobatan TB.

6. Anak dengan gejala, tapi pemeriksaan tidak menunjukkan TB, diberikan

profilaksis isoniazid

32
BAB V

PENUTUP

Tuberkulosis (TB) paru merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan

oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar kuman tersebut

menyerang paru. Transmisi melalui droplet yang dihasilkan pasien terinfeksi TB

paru. Kuman M. tuberculosis merupakan bakteri tahan asam (BTA), dapat hidup pada

udara kering maupun dalam keadaan dingin. Tuberkulosis itu sendiri dibagi menjadi

tuberkulosis primer dan tuberkulosis postprimer.faktor resiko dar tuberkulosis itu

sendiri ada faktor host dan faktor lingkungan. Untuk menegakkan diagnosis dari TB,

perlu dilakukan pemeriksaan dahak atau sputum dan juga pemeriksaan radiologik.

Obat lini pertama yang biasanya digunakan dalam pengobatan paru antara lain: INH,

rifampisin, pirazinamid, streptomisin, etambutol. Komplikasi dari TB sendiri ada

yang ke parenkim, saluran nafas, vaskular, mediastinum, pleura, serta dinding dada,

untuk prognosis dari TB sendiri adalah dubia ad bonam dengan pengobatan yang

rutin dan teratur. TB sendiri dapat dicegah yaitu dengan proteksi terhadap paparan

TB, vaksinasi BCG, dan melakukan terapi pencegahan.

33
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI (2007) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen


Kesehatan Republik Indonesia. Edisi 2, Cetakan I.

Horsburgh, C.R. (2009) Epidemiology of Tuberculosis. Available from:


www.uptodate.com [Accesed 15 Oktober 2017].

Kartasasmita, C.B. (2009) Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri : 11 (2) ; 124-


125.

Kemenkes (2014) Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana


Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

Kemenkes (2016) Tuberkulosis: Temukan, Obati sampai Sembuh. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI

Kim, H.Y., (2001) Thoracic Sequelae and Complications of Tuberculosis. Radio


Graphics. 21 (4) ; 839-856

Mario, C.R.& Richard, J.O. (2003) Tuberculosis. Dalam: Kasper, D., L., et al.
Harrison Principles of Internal Medikine. Ed 16. Mc Graw-Hill.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006) Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI

Sudoyo, Aru W. (2009) Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI

Varaine F & Rich ML. (2014) Tuberculosis: Practical guide for clinicians,
nurses,laboratory technicians and medical auxiliaries 2014 edition. Medecins
Sans Frontieres and Partners In Health

34
Wieslaw, J.,et al, (2001) TB Manual National Tuberculosis Programme Guidelines.
Copenhagen: Health Documentation Service WHO

Zumla, et al (2013) Tuberculosis. The Nee Journal England of Medicine ; 745-755

35

Anda mungkin juga menyukai