Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan mood bipolar (GB) sudah dikenai sejak zaman Yunani kuno.
Emil Kraepelin, seorang psikiater Jerman, menyebut GB sebagai manik-depresif.
la melihat adanya perbedaan antara manik- depresif dengan skizofrenia. Awitan
manik-depresif tiba-tiba dan perjalanan penyakitnya berfluktuasi dengan keadaan
yang relatif normal di antara episode, terutama di awal-awal perjalanan penyakit.
Sebaliknya, pada skizofrenia, bila tidak diobati, terdapat penurunan yang
progresif tanpa kembali ke keadaan sebelum sakit. Walaupun demikian, pada
keadaan akut kedua penyakit terlihat serupa yaitu adanya waham dan halusinasi
(Amir, 2010).
Gangguan bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik
dan ditandai oleh gejala-gejala manik, depresi, dan campuran, biasanya rekuren
serta dapat berlangsung seumur hidup. Angka morbiditas dan mortalitasnya cukup
tinggi. Tingginya angka mortalitas disebabkan oleh seringnya terjadi
komorbiditas antara GB dengan penyakit fisik, misalnya, dengan diabetes melitus,
penyakit jantung koroner, dan kanker. Komorbiditas dapat pula terjadi dengan
penyakit psikiatrik lainnya misalnya, dengan ketergaotungan zat dan alkohol yang
juga turut berkontribusi dalam meningkatkan mortalitas. Selain itu, tingginya
mortalitas juga dapat disebabkan oleh bunuh diri. Sekitar 25% penderita
gangguan bipolar pemah melakukan percobaan bunuh diri, paling sedikit satu kali
dalam kehidupannya. Oleh karena itu, penderita GB harus diobati dengan segera
dan mendapat penanganan yang tepat (Konsensus Nasional Terapi Bipolar, 2010).
Gangguan ini bersifat berulang (sekurang-kurangnya dua episode)
dimana afek pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada waktu tertentu
terdiri dari peningkatan afek disertai pengurangan energi dan aktivitas (depresi).
Yang khas adalah bahwa biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode.

1
Episode manik biasanya mulai dengan tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu
sampai 4-5 bulan, episode depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata
sekitar 6 bulan) meskipun jarang yang melebihi 1 tahun kecuali pada orang usia
lanjut (Muslim, 2013).
Ada empat jenis GB tertera di dalam Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders IV-Text Revision (DSM-IV TR) yaitu GB I, GB II. gangguan
siklotimia, dan GB yang tak dapat dispesifikasikan (Sadock, 2010). Gangguan
Bipolar I adalah suatu perjalanan klinis yang dikarakteristikkan oleh terdapatnya
satu atau lebih episode manik atau campuran, dimana individu tersebut juga
mempunyai satu atau lebih episode depresi mayor. Kekambuhan ditunjukkan
oleh perpindahan polaritas dari episode atau terdapatnya interval diantara
episode-episode paling sedikit 2 bulan tanpa adanya gejala-gejala mania (Amin,
2010).
A. Epidemiologi
Gangguan mood merupakan gangguan mental yang paling umum
dalam populasi dewasa dengan beberapa bukti yang mengarah pada
peningkatn prevalensinya. Diproyeksikan bahwa pada tahun 2020, depresi
mayor merupakan gangguan yang paling banyak, juga dari segi beban pada
kesejahteraan manusia yang paling besar. Sementara itu, bukti yang
menunjukan bahwa gangguan bipolar mulai lebih sering terdapat dari pada
yang diduga sebelumnya, dalam lingkup gangguan spektrum bipolar
(Maramis, 2009).
Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena
depresi, 60 juta orang terkena bipolar. World Mental Health Survey (WMH)
mengamati prevalensi gangguan bipolar pada 11 negara di Amerika, Eropa
dan Asia. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan bahwa prevalensi
gangguan Bipolar I adalah 0, 6 % dan Bipolar II adalah 0,4 %. Keparahan
gejala lebih besar untuk depresi dari pada episode manik, dengan responden

2
depresi sekitar 75 % dan responden mania 50 %. (Merikangas et al., 2011).
Orang-orang di Asia dan Latin memiliki prevalensi gangguan bipolar I lebih
tingi dibandingkan orang Kaukasian. Masing-masing 58,8% dan 60,0%
dibandingkan 37,2%. (Sophia et al., 2010). Sedangkan prevalensi gangguan
bipolar di Indonesia belum tercatat dalam Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013 (Depkkes, 2016).
Gangguan bipolar I terjadi sama pada pria dan wanita, sedangkan
bipolar II gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita. Perbandingan pria
dan wanita adalah sekitar 3:2. Episode mania lebih terjadi terutama pada
orang muda, sedangkan episode depresi mendominasi dalam kelompok usia
yang lebih tua. Usia onset gangguan bipolar sangat bervariasi. Rentang usia
baik untuk bipolar I dan bipolar II adalah dari masa kanak-kanak sampai 50
tahun, dengan usia rata-rata sekitar 21 tahun. Kebanyakan kasus dimulai
ketika mereka berusia 15-19 tahun (Ikawati, 2014).
Menurut National Institute of Mental Health (2012), gangguan bipolar
mengurangi 9, 2 tahun dari rentang hidup yang diharapkan. Setidaknya 25-
50% pasien dengan gangguan bipolar pernah mencoba bunuh diri setidaknya
satu kali. Bunuh diri adalah penyebab nomor satu kematian dini di kalangan
pasien dengan gangguan bipolar, 15-17% bunuh diri sebagai akibat dari
gejala negatif yang berasal dari penyakit yang tidak diobati.
B. Etiologi, Patofisiologi, Faktor Resiko
1. Etiologi
a. Faktor Biologis
Beberapa bahan kimia di dalam otak dan tubuh memiliki
peranan yang penting dalam mengendalikan emosi kita. Dalam otak
terdapat substansi biokimiawi yaitu neurotransmitter yang berfungsi
sebagai pembawa pesan komunikasi antarneuron di otak. Jika
neurotransmiter ini berada pada tingkat yang normal, otak akan bekerja

3
secara harmonis. Berdasarkan riset, kekurangan neurotransmiter
serotonin,norepinefrin dan dopamin dapat menyebabkan depresi. Di satu
sisi, jika neurotransmiter ini berlebih dapat menjadi penyebab gangguan
manik. Selain itu anti depresan trisiklik dapat memicu mania.6
Serotonin adalah neurotransmiter aminergic yang paling sering
dihubungkan dengan depresi. Penurunan serotonin dapat menyebabkan
depresi.
Pada beberapa pasien yang bunuh diri memiliki konsentrasi
metabolit serotonin yang rendah dicairan serebro spinalnya. Pada
penggunaan antidepresan jangka panjang terjadipenurunan jumlah
tempat ambilan kembali serotonin. Dopamin juga diperkirakan memiliki
peranan dalam menyebabkan depresi. Data menunjukkan aktivitas
dopamin yang menurun pada depresi dan meningkatpada mania. Obat
yang menurunkan kadar dopamin seperti reserpine dan padapenyakit
yang mengalami penurunan dopamin seperti parkinson disertai juga
dengan gejala depresi. Obat-obat yang meningkatkan kadar dopamin
seperti tyrosine,amphetamine dan bupropion menurunkan gejala depresi.
Disfungsi jalur dopamine mesolimbik dan hipoaktivitas reseptor
dopamin tipe 1 (D1) terjadi pada depresi. Obat-obatan yang
mempengaruhi sistem neurotransmiter seperti kokain akan
memperparah mania. Agen lain yang dapat memperburuk mania
termasuk L-dopa,yang berpengaruh pada reuptake dopamin dan
serotonin. Calsium channel blockeryang digunakan untuk mengobati
mania dapat mengganggu regulasi kalsium dineuron. Gangguan regulasi
kalsium ini dapat menyebabkan transmisi glutaminergikyang berlebihan
dan iskemia pembuluh darah. Neurotransmiter lain seperti GABA dan
peptida neuroaktif seperti vasopresindan opiat endogen juga berperan
dalam patofisiologi gangguan mood.

4
Beberapa penelitian menyatakan bahwa sistem pembawa kedua
(second messenger) sepertiadenylate cyclase, phosphatidylinositol dan
regulasi kalsium mungkin memiliki relevansi dengan penyebab
gangguan mood. Regulasi abnormal pada sumbu neuroendokrin
mungkin dikarenakan fungsi abnormal neuron yang mengandung amine
biogenik. Secara teoritis, disregulasi pada sumbu neuroendokrin seperti
sumbu tiroid dan adrenal terlibat dalam gangguan mood. Pasien dengan
gangguan mood mengalami penurunan sekresi melatonin nokturnal,
penurunan pelepasan prolaktin, penurunan kadar FSH dan LH serta
penurunan kadar testosteron pada laki-laki (Sadock, 2010).
b. Faktor Genetik
Seseorang yang memiliki keluarga dengan gangguan mood
memiliki resiko lebih besar menderita gangguan mood dari pada
masyarakat pada umumnya. Tidak semua orang yang dalam keluarganya
terdapat anggota keluarga yang menderita depresi secara otomatis akan
terkena depresi, namun diperlukan suatu kejadian atau peristiwa yang
dapat memicu terjadinya depresi. Pengaruh gen lebih besar pada depresi
berat dibandingkan depresi ringan dan lebih berpengaruh pada individu
muda dibanding individu yang lebih tua. (Maramis, 2009).
Keluarga derajat pertama daripenderita gangguan bipolar I
kemungkinan 8 sampai 18 kali lebih besar untuk menderita gangguan
bipolar I dan 2 sampai 10 kali lebih besar untuk menderita gangguan
depresi berat dibanding kelompok kontrol. Keluarga derajat pertama
pasien dengan gangguan depresif berat kemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali
lebih besar untuk menderita gangguan bipolar I dan 2 sampai 3 kali
lebih besar untuk menderita gangguan depresif berat dibanding
kelompok kontrol. Kemungkinan untuk menderita gangguan mood
menurun jika derajat hubungan keluarga melebar. Contohnya, keluarga

5
derajat kedua seperti sepupu lebih kecil kemungkinannya daripada
keluarga derajat pertama seperti kakak misalnya untuk menderita
gangguan mood. Sekitar 50% pasien dengan gangguan bipolar I
memiliki orang tua dengan gangguan mood terutama depresi. Jika orang
tuamenderita gangguan bipolar I maka kemungkinan anaknya menderita
gangguan mood sebesar 25%. Jika kedua orang tua menderita gangguan
bipolar I maka kemungkinananaknya menderita gangguan mood adalah
50-75% (Semium, 2006).
Pada penelitian adopsi, anak biologis dari orang tua dengan
gangguan moodtetap beresiko terkena gangguan mood walaupun
mereka telah dibesarkan oleh keluarga angkat yang tidak menderita
gangguan mood. Orang tua biologis dari anakadopsi dengan gangguan
mood mempunyai prevalensi gangguan mood yang samadengan orang
tua dari anak dengan gangguan mood yang tidak diadopsi.
Prevalensigangguan mood pada orang tua angkat sama dengan
prevalensi pada populasi umumnya. Pada penelitian saudara kembar,
angka kejadian gangguan bipolar I padakedua saudara kembar
monozigot adalah 33-90% dan untuk gangguan depresif berat,angka
kejadian pada kedua saudara kembar monozigot adalah 50%. Pada
kembardizigot angkanya berkisar 5-25% untuk menderita gangguan
bipolar I dan 10-25%untuk penderita gangguan depresif berat (Semium,
2006).
c. Faktor Psikososial
Telah lama diamati bahwa peristiwa kehidupan yang
menyebabkan stress sering mendahului episode pertama pada gangguan
mood. Beberapa klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan
memainkan peranan penting dalam depresi. Beberapa artikel
menjelaskan hubungan antara fungsi keluarga dengan onsetserta

6
perjalanan gangguan mood khususnya gangguan depresif berat. Ada
bukti bahwa individu yang kehilangan ibu saat masih muda memiliki
resiko lebih besarterkena depresi. Pada pola pengasuhan, orang tua yang
menuntut dan kritis,menghargai kesuksesan dan menolak semua
kegagalan membuat anak mudah terserang depresi di masa depan. Anak
yang menderita penyiksaan fisik atau seksual membuat seseorang
mudah terkena depresi sewaktu dewasa. Aspek-aspek kepribadian juga
mempengaruhi kerentanan terhadap depresi dan tinggi rendahnya
depresi yang dialami seseorang. Tipe kepribadian tertentu seperti
dependen, obsesif kompulsif, histerikal, antisosial dan paranoid
beresikomengalami depresi (Feist dam Gregory, 2010).
Menurut Gordon Parker, seseorang yang mengalami
kecemasan tingkat tinggi,mudah terpengaruh, pemalu, suka mengkritik
diri sendiri, memiliki harga diri yang rendah, hipersensitif, perfeksionis
dan memusatkan perhatian pada diri sendiri (self focused) memiliki
resiko terkena depresi. Sigmund Freud menyatakan suatu hubungan
antara kehilangan objek dengan melankolia. Ia menyatakan bahwa
kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal
karena identifikasi terhadap objek yang hilang. Menurut Melanie Klein,
siklus manik depresif merupakan pencerminan kegagalan pada masa
kanak-kanak untuk mendapat introjeksi mencintai. Pasien depresi
menderita karena mereka memiliki objek cinta yang dihancurkan oleh
mereka sendiri. Klein memandang maniasebagai tindakan defensif yang
disusun untuk mengidealisasi orang lain, menyangkal adanya agresi atau
destruktivitas terhadap orang lain dan mengembalikan objek cintayang
hilang.E Bibring memandang depresi sebagai suatu afek yang berasal
dariketegangan dalam ego antara aspirasi seseorang dengan kenyataan
yang ada. Pasien yang terdepresi menyadari bahwa mereka tidak hidup

7
dengan ideal sehingga mereka merasa putus asa dan tidak berdaya.
Menurut Heinz Kohut, orang yang terdepresi merasakan suatu
ketidaklengkapan dan putus asa kerena tidak menerima respon yang
diinginkan. Menurut teori kognitif, interpretasi yang keliru dalam
menilai pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimis dan
keputusasaan yang terus-menerus berhubungan dengan depresi.
Pandangan negatif yang terus dipelajari selanjutnya akan menimbulkan
perasaan depresi. (Nevid et al., 2009).
2. Patofisiologi
Stress akan merangsang hipotalamus untuk menghasilkan
corticotropic-releasing hormone (CRH) yang menyebabkan pelepasan
adreno corticotroprin hormone (ACTH) di hipofisis. Pelepasan ACTH akan
menimbulkan perangsangan korteks adrenal dan pada akhirnya dilepaskan
kortisol (Lukman, 2008).\
Peran kortisol dalam membantu tubuh mengatasi stress,
diperkirakan berkaitan dengan efek metaboliknya. Kortisol mempunyai
efek metabolic yaitu meningkatkan konsentrasi glukosa darah dengan
menggunakan simpanan protein dan lemak. Suatu anggapan yang logis
adalah bahwa peningkatan simpanan glukosa, asam amino dan asam lemak
tersedia untuk digunakan bila diperlukan, misalnya dalam keadaan stress
(Lukman, 2008). Efek dari kortisol adalah sebagai berikut :
1. Kalorigenik, kortisol meningkatkan pembentukan energy dari
pemecahan cadangan karbohidrat, lemak dan protein, ini akan
menyebabkan penurunan berat badan yang cukup bermakna.
2. Meningkatkan respon simpatis, respon ini akan meningkatkan curah
jantung yang akan memberikan keluhan berupa dada berdebar-debar.

8
3. Menurunkan akumulasi sel darah putih dan reaksi peradangan pada
tempat cedera. Hal ini akan menyebabkan kerentanan terjadinya
infeksi dan memperlama penyembuhan luka.
4. Merangsang sekresi lambung, hal ini menyebabkan rusaknya mukosa
lambung, biasanya terbentuk ulkus peptikum.
5. Menurunkan hormone gonadotropin releasing factor, pada wanita akan
menghambat ovulasi, libido sedangkan pada laki-laki menghambat
spermatogenesis dan libido.
6. Merangsang somatostatin, hal ini menyebabkan gangguan
pertumbuhan.
Selain itu stress yang berkepanjangan akan menurunkan cadangan
endofrin yaitu peptide kecil yang dilepaskan oleh hipotalamus atau
hipofisis anterior serta jaringan lain sebagai respon stress fisik dan mental.
Endofrin merupakan opiate endogen yang berfungsi untuk mengurangi
persepsi nyeri, memperbaiki suasana hati, dan meningkatkan perasaan
sejahtera. Stress yang berkepanjangan akan meningkatkan persepsi nyeri
yang membuat orang mengeluh nyeri dan rasa putus asa (Lukman, 2008).
Stress akan meningkatkan pembentukan katekolamin di medulla
adrenal. Pelepasan katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) akan
menyebabkan :
1. Peningkatan aliran darah ke otak, jantung dan otot rangka yang
meningkatkan resiko stroke dan gangguan jantung.
2. Relaksasi otot polos usus yang menyebabkan konstipasi.
3. Glukoneogenesis yang meningkatkan pemecahan cadangan energy
sehingga membuat lebih kurus.
4. Peningkatan denyut dan kontraktilitas jantung yang memberikan
keluhan dada berdebar-debar.

9
Epinephrine mempengaruhi metabolisme glukosa, menyebabkan
cadangan makanan di otot diubah menjadi energi untuk aktivasi yang
cepat. Aktivasi hormone juga menyebabkan aliran darah ke otot menjadi
lebih cepat, dan tekanan darah menjadi lebih tinggi yang bila terjadi dalam
jangka waktu yang lama dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler.
Penyakit kardiovaskuler adalah penyakit jantung dan pembuluh darah.
Penyakit ini dapat menyebabkan serangan jantung dan stroke. Serangan
jantung terjadi bila pembuluh darah yang melayani jantung buntu,
sedangkan penyakit stroke melibatkan pembuluh darah ke otak. Faktor
resiko penyakit kardiovaskuler yang penting adalah tekanan darah tinggi
dan konsentrasi kolesterol yang tinggi di dalam darah (Lukman, 2008).
Selain bertindak sebagai hormone stress, norepinefrin disekresikan
di otak dan bertindak sebagai neurotransmitter. Dengan tekhnik
mikrodialisa, didapatkan bahwa situasi stress meningkatkan pelepasan
morepinefrin di hipotalamus, korteks frontal dan lateral basal forebrain.
Pelepasan norepinefrin di otak, mungkin dihasilkan oleh jalur dari central
nucleus of amygdale ke daerah yang memproduksi norepinefrin di batang
otak (Lukman, 2008).
Hormone stress lainnya adalah kortisol, yaitu steroid yang
diproduksi oleh korteks adrenal. Kortisol disebut juga dengan hormone
glukokortikoid, karena mempunyai pengaruh besar terhadap metabolisme
glukosa, sedangkan aldosteron adalah steroid yang dihasilkan oleh korteks
adrenal dan disebut dengan mineralokortikoid karena pengaruhnya
terhadap metabolisme sodium (Lukman, 2008).
Pengaruh buruk stress disebabkan oleh sekresi glukokortikoid
yang terus menerus. Walaupun pengaruh glukokortikoid dalam jangka
pendek adalah bermanfaat, pengaruhnya jangka panjang ternyata
merugikan. Pengaruh jangka panjang berupa antara lain peningkatan

10
tekanan darah, kerusakan jaringan otot, tidak subur, menghambat
pertumbuhan, menghambat reaksi peradangan dan menekan system
kekebalan tubuh, Tekanan darah tinggi bisa mengakibatkan serangan
jantung dan stroke, Hambatan pertumbuhan pada anak yang mengalami
stress dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan, Hambatan reaksi peradangan akan menyebabkan tubuh sulit
sembuh setelah cedera (Lukman, 2008).
3. Faktor Resiko
a. Faktor psikososial (Sadock, 2011)
1) Stress dari lingkungan dan peristiwa dalam hidup seseorang
2) Faktor kepribadian, tidak ada bukti yang mengindikasikan bahwa
gangguan kepribadian tertentu berhubungan dengan
berkembangnya gangguan bipolar
b. Genetik (Sadock, 2011)
Riwayat keluarga gangguan bipolar dapat meningkatkan risiko untuk
gangguan mood secara umum dan lebih spesifik pada kemungkinan
munculnya bipolar.
C. Manifestasi Klinis
Terdapat dua pola gejala dasar pada Gangguan bipolar yaitu, episode depresi
dan episode mania (Amir, 2010).
1. Episode manic
Paling sedikit satu minggu (bisa kurang, bila dirawat) pasien mengalami
mood yang elasi, ekspansif, atau iritabel. Pasien memiliki, secara menetap,
tiga atau lebih gejala berikut (empat atau lebih bila hanya mood iritabel)
yaitu: (Amir, 2010; Muslim, 2013; Elvira, 2014)
a. Grandiositas atau percaya diri berlebihan
b. Berkurangnya kebutuhan tidur
c. Cepat dan banyaknya pembicaraan

11
d. Lompatan gagasan atau pikiran berlomba
e. Perhatian mudah teralih
f. Peningkatan energy dan hiperaktivitas psikomotor
g. Meningkatnya aktivitas bertujuan (social, seksual, pekerjaan dan
sekolah)
h. Tindakan-tindakan sembrono (ngebut, boros, investasi tanpa
perhitungan yang matang).
Gejala yang derajatnya berat dikaitkan dengam penderitaan, gambaran
psikotik, hospitalisasi untuk melindungi pasien dan orang lain, serta adanya
Gangguan fungsi sosial dan pekerjaan. Pasien hipomania kadang sulit
didiagnosa sebab beberapa pasien hipomania justru memiliki tingkat
kreativitas dan produktivitas yang tinggi. Pasien hipomania tidak memiliki
gambaran psikotik (halusinasi, waham atau perilaku atau pembicaraan
aneh) dan tidak memerlukan hospitalisasi (Amir, 2010; Muslim, 2013;
Elvira, 2014).
2. Episode Depresi Mayor
Paling sedikit dua minggu pasien mengalami lebih dari empat symptom
atau tanda yaitu : (Amir, 2010; Muslim, 2013; Elvira, 2014)
a. Mood depresif atau hilangnya minat atau rasa senang
b. Menurun atau meningkatnya berat badan atau nafsu makan
c. Sulit atau banyak tidur
d. Agitasi atau retardasi psikomotor
e. Kelelahan atau berkurangnya tenaga
f. Menurunnya harga diri
g. Ide-ide tentang rasa bersalah, ragu-ragu dan menurunnya konsentrasi
h. Pesimis
i. Pikiran berulang tentang kematian, bunuh diri (dengan atau tanpa
rencana) atau tindakan bunuh diri.

12
Gejala-gejala diatas menyebabkan penderitaan atau mengganggunya fungsi
personal, sosial, pekerjaan (Amir, 2010; Muslim, 2013; Elvira, 2014).
3. Episode Campuran
Paling sedikit satu minggu pasien mengalami episode mania dan depresi
yang terjadi secara bersamaan. Misalnya, mood tereksitasi (lebih sering
mood disforik), iritabel, marah, serangan panic, pembicaraan cepat, agitasi,
menangis, ide bunuh diri, insomnia derajat berat, grandiositas,
hiperseksualitas, waham kejar dan kadang-kadang bingung. Kadang-
kadang gejala cukup berat sehingga memerlukan perawatan untuk
melindungi pasien atau orang lain, dapat disertai gambaran psikotik, dan
mengganggu fungsi personal, sosial dan pekerjaan (Amir, 2010; Muslim,
2013; Elvira, 2014)
4. Episode Hipomanik
Paling sedikit empat hari, secara menetap, pasien mengalami peningkatan
mood, ekspansif atau irritable yang ringan, paling sedikit terjadi gejala
(empat gejala bila mood irritable) yaitu: (Amir, 2010; Muslim, 2013;
Elvira, 2014)
a. Grandiositas atau meningkatnya kepercayaan diri
b. Berkurangnya kebutuhan tidur
c. Meningkatnya pembicaraan
d. Lompat gagasan atau pemikiran berlomba
e. Perhatian mudah teralih
f. Meningkatnya aktifitas atau agitasi psikomotor
g. Pikiran menjadi lebih tajam
h. Daya nilai berkurang
Tidak ada gambaran psikotik (halusinasi, waham, atau prilaku atau
pembicaraan aneh) tidak membutuhkan hospitalisasi dan tidak
mengganggu fungsi personal, sosial, dan pekerjaan. Sering kali dilupakan

13
oleh pasien tetapi dapat dikenali oleh keluarga (Amir, 2010; Muslim, 2013;
Elvira, 2014).
5. Sindrom Psikotik
Pada kasus berat, pasien mengalami gejala psikotik. Gejala psikotik yang
paling sering yaitu: (Amir, 2010; Muslim, 2013; Elvira, 2014)
a. Halusinasi (auditorik, visual, atau bentuk sensasi lainnya)
b. Waham
Misalnya, waham kebesaran sering terjadi pada episode mania sedangkan
waham nihilistic terjadi pada episode depresi. Ada kalanya simtom psikotik
tidak serasi dengan mood. Pasien dengan Gangguan bipolar sering
didiagnosis sebagai skizofrenia. Ciri psikotik biasanya merupakan tanda
prognosis yang buruk bagi pasien dengan Gangguan bipolar. Faktor berikut
ini telah dihubungkan dengan prognosis yang buruk seperti: durasi episode
yang lama, disosiasi temporal antara Gangguan mood dan gejala psikotik,
dan riwayat penyesuaian social pramorbid yang buruk. Adanya ciri-ciri
psikotik yang memiiki penerapan terapi yang penting, pasien dengan
symptom psikotik hampir selalu memerlukan obat anti psikotik di samping
anti depresan atau anti mania atau mungkin memerlukan terapi
antikonvulsif untuk mendapatkan perbaikan klinis (Amir, 2010; Muslim,
2013; Elvira, 2014).
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah lengkap
Darah lengkap dengan diferensiasi digunakan untuk mengetahui anemia
sebagai penyebab depresi. Penatalaksanaan, terutama dengan
antikonvulsan, dapat mensupresi sumsum tulang, oleh karena itu
diperlukan pemeriksaan sel darah merah dan sel darah putih untuk
mengecek supresi sumsum tulang. Lithium dapat menyebabkan
peningkatan sel darah putih yang reversibel (Simon, 2009).

14
2. Elektrolit
Konsentrasi elektrolit serum diukur untuk membantu masalah diagnostic,
terutama dengan natrium, yang berkaitan dengan depresi. Hiponatremi
dapat bermanifestasi sebagai depresi. Penatalaksanaan dengan lithium
dapat berakibat pada masalah ginjal dan gangguan elektrolit. Kadar
natrium rendah dapat berakibat pada peningkatan kadar lithium dan
toxisitas lithium. Oleh karena itu, skrining kandidat untuk terapi litium
maupun yang sedang dalam terapi lithium, mengecek elektrolit
merupakan indikasi (Simon, 2009).
3. Kalsium
Kalsium serum untuk mendiagnosis hiperkalsemi dan hipokalsemi yang
berkaitan dengan perubahan status mental (e.g hiperparatiroid).
Hiperparatiroid, yang dibuktikan dengan peningkatan kalsium darah,
mencetuskan depresi. Beberapa antidepresan, seperti nortriptyline,
mempengaruhi jantung, oleh karena itu, mengecek kadar kalsium sangat
penting (Simon, 2009).
4. Protein
Kadar protein yang rendah ditemukan pada pasien depresi sebagai hasil
dari tidak makan. Kadar protein rendah, menyebabkan meningkatkan
bioavailabilitas beberapa medikasi, karena obat-obat ini hanya memiliki
sedikit protein untuk diikat (Simon, 2009).
5. Hormon tiroid
Tes tiroid dilakukan untuk menentukan hipertiroid (mania) dan hipotiroid
(depresi). Pengobatan dengan lithium dapat menyebabkan hipotiroid,
yang berkontribusi pada perubahan mood secara cepat (Simon, 2009).
6. Kreatinin dan blood urea nitrogen (BUN)

15
Gagal ginjal dapat timbul sebagai depresi. Pengobatan dengan lithium
dapat mempengaruhi klirens ginjal, dan serum kreatinin dan BUN dapat
meningkat (Simon, 2009).
7. Skrining zat dan alkohol
Penyalahgunaan alkohol dan berbagai macam obat dapat memperlihatkan
sebagai mania atau depresi. Contohnya, penyalahgunaan amfetamin dan
kokain dapat timbul sebagai mania, dan penyalahgunaan barbiturate dapat
timbul sebagai depresi (Simon, 2009).
8. EKG
Banyak antidepresan, terutama trisiklik dan beberapa antipsikotik, dapat
berefek pada jantung dan membuat masalah konduksi. Lithium juga dapat
berakibat pada perubahan reversibel flattening atau inversi pada T wave
pada EKG (Simon, 2009).
9. EEG
Alasan untuk penggunaan EEG pada pasien bipolar: (Simon, 2009)
a. EEG menyediakan garis dasar dan membantu mengesampingkan
masalah neurologi. Menggunakan tes ini untuk mengesampingkan
kejang dan tumor otak.
b. Bila dilakukan ECT. Monitoring EEG saat ECT digunakan untuk
mendeterminasi timbulnya dan durasi kejang.
c. Beberapa studi memperlihatkan abnormalitas dari penemuan EEG
sebagai indikasi efektivitas antikonvulsan. Lebih spesifik, penemuan
abnormal dari EEG dapat memprediksi respons dari asam valproate.
d. Beberapa pasien dapat mengalami kejang saat pengobatan, terutama
antidepresan.

E. Kriteria Diagnosis dan Klasifikasi

16
1. Menurut DSM IV
a. Gangguan mood bipolar I
1) Gangguan mood bipolar I, episode manic tunggal
a) Hanya mengalami satu kali episode manic dan tidak ada riwayat
depresi mayor sebelumnya.
b) Tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform,
skizoafektif, Gangguan waham, atau dengan Gangguan psikotik
yang tidak dapat diklasifikasikan.
c) Gejala-gejala tidak disebabkan efek fisiologik langsung zat atau
kondisi medic umum
d) Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan dan
aspek fungsi penting lainnya.
2) Gangguan mood bipolar I, episode manic sekarang ini
a) Saat ini dalam episode manic
b) Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu kali episode
manik, depresi, atau campuran.
c) Episode mood pada kriteria A dan B bukan skizoafektif dan tidak
bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform, Gangguan
waham, atau dengan Gangguan psikotik yang tidak dapat
diklasifikasikan.
d) Gejala-gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung zat
atau kondisi medik umum.
e) Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan dan
aspek fungsi penting lainnya.

3) Gangguan mood bipolar I, episode campuran saat ini

17
a) Saat ini dalam episode campuran
b) Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami episode manik,
depresi atau campuran
c) Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan
skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia,
skizifreniform, Gangguan waham, atau Gangguan psikotik yang
tidak diklasifikasikan
d) Gejala-gejala tidak disebabkan efek oleh fisiologik langsung zat
atau kondisi medik umum
e) Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan,
atau aspek fungsi penting lainnya.
4) Gangguan mood bipolar I, episode hipomanik saat ini
a) Saat ini dalam episode hipomanik
b) Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu episode manic
atau campuran
c) Gejala mood menyebabkan penderita yang secara klinik cukup
bermakna atau hendaya social, pekerjaan atau aspek fungsi
penting lainnya
d) Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan
sebagai skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan
skizofrenia, skizofreniform, Gangguan waham, dan dengan
Gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan.
5) Gangguan mood bipolar I, episode depresi saat ini
a) Saat ini dalam episode depresi mayor
b) Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami episode manik dan
campuran

18
c) Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan
sebagai skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan
skizofrenia, skizofreniform, Gangguan waham, dan dengan
Gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan.
d) Gejala-gejala tidak disebabkan efek fisiologik langsung zat atau
kondisi medik umum
e) Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan,
atau aspek fungsi penting lainnya.
6) Gangguan mood bipolar I, Episode Yang tidak dapat diklasifikasikan
saat ini
a) Kriteria, kecuali durasi, saat ini, memenuhi kriteria untuk manik,
hipomanik, campuran atau episode depresi.
b) Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu episode manik
atau campuran.
c) Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan
sebagai skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan
skizofrenia, skizofreniform, Gangguan waham, atau dengan
Gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan di tempat
lain.
d) Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan,
atau aspek fungsi penting lainnya.
b. Gangguan mood bipolar II
Satu atau lebih episode depresi mayor yang disertai dengan paling
sedikit satu episode hipomanik.

19
c. Gangguan siklotimia
1) Paling sedikit selama dua tahun, terdapat beberapa periode dengan
gejala-gejala hipomania dan beberapa periode dengan gejala-gejala
depresi yang tidak memenuhi criteria untuk Gangguan depresi
mayor. Untuk anak-anak dan remaja durasinya paling sedikit satu
tahun.
2) Selama periode dua tahun di atas penderita tidak pernah bebas dari
gejala-gejala pada kriteria A lebih dari dua bulan pada suatu waktu.
3) Tidak ada episode depresi mayor, episode manik, episode campuran,
selama dua tahun Gangguan tersebut
Catatan: setelah dua tahun awal, siklotimia dapat bertumpang tindih
dengan manic atau episode campuran (diagnosis GB I dan Gangguan
siklotimia dapat dibuat) atau episode depresi mayor (diagnosis GB II
dengan Gangguan siklotimia dapat ditegakkan)
4) Gejala-gejala pada criteria A bukan skizoafektif dan tidak
bertumpangtindih dengan skizofrenia, skizofreniform, gangguan
waham, atau dengan Gangguan psikotik yang tidak dapat
diklasifikasikan.
5) Gejala-gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung zat atau
kondisi medic umum
6) Gejala-gejala di atas menyebabkan penderitaan yang secara klinik
cukup bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan
atau aspek fungsi penting lainnya.
d. Gangguan bipolar YTT
Gejala-gejala yang dialami penderita tidak memenuhi kriteria Gangguan
bipolar I dan II. Gejala-gejala tersebut berlangsung tidak lama atau
gejala terlalu sedikit sehingga tidak dapat didiagnosa Gangguan bipolar
I dan II.

20
2. Menurut PPDGJ III
a. F31 Gangguan Afek bipolar
1) Gangguan ini tersifat oleh episode berulang (sekurang-kurangnya dua
episode) dimana afek pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu,
pada waktu tertentu terdiri dari peningkatan afek disertai
penambahan energi dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada
waktu lain berupa penurunan afek disertai pengurangan energi dan
aktivitas (depresi). Yang khas adalah bahwa biasanya ada
penyembuhan sempurna antar episode. Episode manik biasanya
mulai dengan tiba-tiba dan berlangsug antara 2 minggu sampai 4-5
bulan, episode depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata
sekitar 6 bulan) meskipun jarang melebihi 1 tahun kecuali pada
orang usia lanjut. Kedua macam episode itu seringkali terjadi setelah
peristiwa hidup yang penuh stress atau trauma mental lainnya
(adanya stress tidak esensial untuk penegakan diagnosis).
2) Termasuk: gangguan atau psikosis manik-depresif
3) Tidak termasuk: Gangguan bipolar, episode manic tunggal (F30)
b. F31.0 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Hipomanik
1) Episode yang sekarang harus memenuhi criteria untuk hipomania
(F30); dan
2) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik,
manik , depresif, atau campuran) di masa lampau.
c. F31.1 Gangguan afektif Bipolar, Episode kini Manik Tanpa Gejala
Psikotik
1) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania tanpa
gejala psikotik (F30.1); dan
2) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik,
manik, depresif, atau campuran) di masa lampau.

21
d. F31.2 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik dengan gejala
psikotik
1) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania dengan
gejala psikotik (F30.2); dan
2) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik,
manik, depresif atau campuran) di masa lampau
e. F31.3 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Ringan
atau Sedang
1) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode
depresi ringan (F32.0) atau pun sedang (F32.1); dan
2) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik,
manik, atau campuran di masa lampau
f. F31.4 gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa
gejala psikotik
1) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode
depresif berat tanpa gejala psikotik (F32.2); dan
2) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik,
manik, atau campuran di masa lampau
g. F31.5 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat
dengan Gejala Psikotik
1) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode
depresif berat dengan gejala psikotik (F32.3);dan
2) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik,
manik, atau campuran dimasa lampau
h. F31.6 Gangguan Afektif Bipolar Campuran
1) Episode yang sekarang menunjukkan gejala-gejala manik,
hipomanik, dan depresif yang tercampur atau bergantian dengan
cepat (gejala mania/hipomania dan depresif yang sama-sama

22
mencolok selama masa terbesar dari episode penyakit yang sekarang,
dan telah berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu); dan
2) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik,
manik, atau campuran di masa lampau
i. F31.7 Gangguan Afektif Bipolar, kini dalam Remisi
Sekarang tidak menderita gangguan afektif yang nyata selama beberapa
bulan terakhir ini, tetapi pernah mengalami sekurang-kurangnya satu
episode afektif hipomanik, manik atau campuran di masa lampau dan
ditambah sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik,
manik, depresif atau campuran)
j. F31.8 Gangguan Afektif Bipolar Lainnya
k. F31.9 Gangguan Afektif Bipolar YTT
l. Gangguan Bipolar pada Anak-anak
Kebanyakan kasus gangguan bipolar didiagnosis pada usia dewasa,
tetapi penelitian membuktikan bahwa sebagian anak yang didiagnosa
dengan depresi sebenarnya menderita gangguan bipolar. Anak-anak
dengan gangguan bipolar sebaiknya tidak diberikan “label” tertentu
yang dapat membuat mereka terhindar dari pergaulannya. Anak-anak
tersebut juga beresiko tinggi menderita gangguan kecemasan dan juga
Attention Deficit-Hyperactivity Disorder (ADHD)

23
BAB II
TATA LAKSANA

A. Farmakoterapi
Pendekatan farmakoterapeutik terhadap gangguan bipolar telah menimbulkan
perubahan besar dalam pengobatannya dan secara dramatis telah
mempengaruhi perjalanan gangguan bipolar dan menurunkan biaya bagi
penderita (Amir, 2010; Konsensus Nasional Terapi Gangguan Bipolar, 2010).
Episode mania atau hipomania Episode depresi
1. Mood Stabilizer 1. Antidepresan
2. Antipsikotik atipikal 2. Mood stabilizer
3. Mood stabilizer + antipsikotik 3. Antipsikotik atipikal
atipikal 4. Mood stabilizer + antidepresan
5. Antipsikotik atipikal +
antidepresan

1. Mood Stabilizer (Amir, 2010; Konsensus Nasional Terapi Gangguan


Bipolar, 2010)
a. Lithium
Litium sudah digunakan sebagai terapi mania akut sejak 50
tahun yang lalu. Memiliki efek akut dan kronis dalam pelepasan
serotonin dan norepineprin di neuron terminal sistem saraf pusat.
Farmakologi
Sejumlah kecil litium terikat dengan protein. Litium
diekskresikan dalam bentuk utuh hanya melalui ginjal.
Indikasi
Episode mania akut, depresi, mencegah bunuh diri, dan
bermanfaat sebagai terapi rumatan GB.

24
Dosis
Respons litium terhadap mania akut dapat dimaksimalkan
dengan menitrasi dosis hingga mencapai dosis terapeutik yang berkisar
antara 1,0-1,4 mEq/L. Perbaikan terjadi dalam 7-14 hari. Dosis awal
yaitu 20 mg/kg/hari. Dosis untuk mengatasi keadaan akut lebih tinggi
bila dibandingkan dengan terapi rumatan. Untuk terapi rumatan, dosis
berkisar antara 0,4-0,8 mEq/L. Dosis kecil dari 0,4 mEq/L, tidak efektif
sebagai terapi rumatan. Sebaliknya, gejala toksisitas litium dapat terjadi
bila dosis 1,5 mEq/L.
Perbaikan klinis
7-14 hari
Efek samping
Efek samping yang dilaporkan adalah mual, muntah, tremor,
somnolen, penambahan berat badan, dan penumpulan kognitif.
Neurotoksisitas, delirium, dan ensefalopati dapat pula terjadi akibat
litium. Neurotoksisitas bersifat irreversible. Akibat intoksikasi litium,
deficit neurologi permanen dapat terjadi misalnya, ataksia, deficit
memori, dan gangguan pergerakan. Untuk mengatasi intoksikasi litium,
hemodialisis harus segera dilakukan. Litium dapat merusak tubulus
ginjal. Factor resiko kerusakan ginjal adalah intoksikasi litium,
polifarmasi dan adanya penyakit fisik yang lainnya. Pasien yang
mengkonsumsi litium dapat mengalami poliuri. Oleh karena itu, pasien
dianjurkan untuk banyak meminum air.
Pemeriksaan laboratorium
Sebelum memberikan litium, fungsi ginjal (ureum dan
kreatinin) dan fungsi tiroid, harus diperiksa terlebih dahulu. Untuk
pasien yang berumur di atas 40 tahun, pemeriksaan EKG harus
dilakukan. Fungsi ginjal harus diperiksa Setiap Setiap 2-3 bulan dan

25
fungsi tiroid dalam enam bulan pertama. Setelah enam bulan, fungsi
ginjal dan tiroid diperiksa sekali dalam 6-12 bulan atau bila ada indikasi.
Wanita hamil
Penggunaan litium pada wanita hamil dapat menimbulkan
malformasi janin. Kejadiannya meningkat bila janin terpapar pada
kehamilan yang lebih dini. Wanita dengan GB yang derajatnya berat,
yang mendapat rumatan litium, dapat melanjutkan litium selama
kehamilan bila ada indikasi klinis. Kadar litium darahnya harus dipantau
dengan seksama. Pemeriksaan USG untuk memantau janin, harus
dilakukan. Selama kehamilannya, wanita tersebut harus disupervisioleh
ahli kebidanan dan psikiater. Sebelum kehamilan terjadi, risiko litium
terhadap janin dan efek putus litium terhadap ibu harus didiskusikan.
b. Valproat
Valproat merupakan obat antiepilepsi yang disetujui oleh FDA
sebagai antimania. Valproat tersedia dalam bentuk:
1) Preparat oral;
a. Sodium divalproat, tablet salut, proporsi antara asam valproat dan
sodium valproat adalah sama (1:1)
b. Asam valproat
c. Sodium valproat
d. Sodium divalproat, kapsul yang mengandung partikel-partikel
salut yang dapat dimakan secara utuh atau dibuka dan ditaburkan
ke dalam makanan.
e. Divalproat dalam bentuk lepas lambat, dosis sekali sehari.
2) Preparat intravena
3) Preparat supositoria

26
Farmakologi
Terikat dengan protein. Diserap dengan cepat setelah pemberian
oral. Konsentrasi puncak plasma valproat sodium dan asam valproat
dicapai dalam dua jam sedangkan sodium divalproat dalam 3-8 jam.
Awitan absorbsi divalproat lepas lambat lebih cepat bila dibandingkan
dengan tablet biasa. Absorbsi menjadi lambat bila obat diminum
bersamaan dengan makanan. Ikatan valproat dengan protein meningkat
bila diet mengandung rendah lemak dan menurun bila diet mengandung
tinggi lemak.
Dosis
Dosis terapeutik untuk mania dicapai bila konsentrasi valproat
dalam serum berkisar antara 45 -125 mg/mL. Untuk GB II dan siklotimia
diperlukan divalproat dengan konsentrasi plasma < 50 mg/mL. Dosis
awal untuk mania dimulai dengan 15-20 mg/kg/hari atau 250 – 500
mg/hari dan dinaikkan setiap 3 hari hingga mencapai konsentrasi serum
45- 125 mg/mL. Efek samping, misalnya sedasi, peningkatan nafsu
makan, dan penurunan leukosit serta trombosit dapat terjadi bila
konsentrasi serum > 100 mg/mL. Untuk terapi rumatan, konsentrasi
valproat dalam plasma yang dianjurkan adalah antara 75-100 mg/mL.
Indikasi
Valproat efektif untuk mania akut, campuran akut, depresi mayor
akut, terapi rumatan GB, mania sekunder, GB yang tidak berespons
dengan litium, siklus cepat, GB pada anak dan remaja, serta GB pada
lanjut usia.
Efek Samping
Valproat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dapat
terjadi, misalnya anoreksia, mual, muntah, diare, dispepsia, peningkatan
(derajat ringan) enzim transaminase, sedasi, dan tremor. Efek samping

27
ini sering terjadi pada awal pengobatan dan bekurang dengan penurunan
dosis atau dengan berjalannya waktu. Efek samping gastrointestinal lebih
sering terjadi pada penggunaan asam valproat dan valproat sodium bila
dibandingkan dengan tablet salut sodium divalproat.
c. Lamotrigin
Lamotrigin efektif untuk mengatasi episode bipolar depresi. Ia
menghambat kanal Na+. Selain itu, ia juga menghambat pelepasan
glutamat.
Farmakokinetik
Lamotrigin oral diabsorbsi dengan cepat. Ia dengan cepat
melewati sawar otak dan mencapai konsentrasi puncak dalam 2-3 jam.
Sebanyak 10% lamotrigin dieksresikan dalam bentuk utuh.
Indikasi
Efektif untuk mengobati episode depresi, GB I dan GB II, baik
akut maupun rumatan. Lamotrigin juga efektif untuk GB, siklus cepat.
Dosis
Berkisar antara 50-200 mg/hari.
Efek Samping
Sakit kepala, mual, muntah, pusing, mengantuk, tremor, dan
berbagai bentuk kemerahan di kulit.
2. Antipsikotika Atipik (Amir, 2010; Konsensus Nasional Terapi Gangguan
Bipolar, 2010)
a. Risperidone
Risperidon adalah derivat benzisoksazol. Ia merupakan
antipsikotika atipik pertama yang mendapat persetujuan FDA setelah
klozapin.

28
Absorbsi
Risperidon diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian oral. Ia
dimetabolisme oleh enzim hepar yaitu CYP 2D6.
Dosis
Untuk preparat oral, risperidon tersedia dalam dua bentuk
sediaan yaitu tablet dan cairan. Dosis awal yang dianjurkan adalah 2
mg/hari dan besoknya dapat dinaikkan hingga mencapai dosis 4
mg/hari. Sebagian besar pasien membutuhkan 4-6 mg/hari. Risperidon
injeksi jangka panjang (RIJP) dapat pula digunakan untuk terapi
rumatan GB. Dosis yang dianjurkan untuk orang dewasa atau orang tua
adalah 25 mg setiap dua minggu. Bila tidak berespons dengan 25 mg,
dosis dapat dinaikkan menjadi 37,5 mg - 50 mg per dua minggu.
Indikasi
Risperidon bermanfaat pada mania akut dan efektif pula untuk terapi
rumatan.
Efek Samping
Sedasi, fatig, pusing ortostatik, palpitasi, peningkatan berat
badan, berkurangnya gairah seksual, disfungsi ereksi lebih sering terjadi
pada risperidon bila dibandingkan dengan pada plasebo. Meskipun
risperidon tidak terikat secara bermakna dengan reseptor kolinergik
muskarinik, mulut kering, mata kabur, dan retensi urin, dapat terlihat
pada beberapa pasien dan sifatnya hanya sementara. Peningkatan berat
badan dan prolaktin dapat pula terjadi pada pemberian risperidon.
b. Olanzapine
Olanzapin merupakan derivat tienobenzodiazepin yang memiliki
afinitas terhadap dopamin (DA), D2, D3, D4, dan D5, serotonin 2 (5-
HT2); muskarinik, histamin 1(H1), dan a1- adrenergik.

29
Indikasi
Olanzapin mendapat persetujuan dari FDA untuk bipolar episode
akut mania dan campuran. Selain itu, olanzapin juga efektif untuk terapi
rumatan GB.
Dosis
Kisaran dosis olanzapin adalah antara 5-30 mg/hari. 1,2
Efek Samping
Sedasi dapat terjadi pada awal pengobatan tetapi berkurang
setelah beberapa lama. Efek antikolinergik dapat pula terjadi tetapi
kejadiannya sangat rendah dan tidak menyebabkan penghentian
pengobatan. Risiko terjadinya diabetes tipe-2 relatif tinggi bila
dibandingkan dengan antipsikotika atipik lainnya. Keadaan ini dapat
diatasi dengan melakukan psikoedukasi, misalnya merubah gaya hidup,
diet dan latihan fisik.
c. Quetiapine
Quetiapin merupakan suatu derivat dibenzotiazepin yang
bekerja sebagai antagonis 5-HT1A dan 5 -HT2A, dopamin D1, D2,
histamin H1 serta reseptor adrenergik a1 dan a2. Afinitasnya rendah
terhadap reseptor D2 dan relatif lebih tinggi terhadap serotonin 5-HT2A.
Dosis
Kisaran dosis pada gangguan bipolar dewasa yaitu 200-800
mg/hari. Tersedia dalam bentuk tablet IR (immediate release) dengan
dosis 25 mg, 100 mg, 200 mg, dan 300 mg, dengan pemberian dua kali
per hari. Selain itu, juga tersedia quetiapin-XR dengan dosis 300 mg,
satu kali per hari.
Indikasi
Quetiapin efektif untuk GB I dan II, episdoe manik, depresi,
campuran, siklus cepat, baik dalam keadaan akut maupun rumatan.

30
Efek Samping
Quetiapin secara umum ditoleransi dengan baik. Sedasi
merupakan efek samping yan sering dilaporkan. Efek samping ini
berkurang dengan berjalannya waktu. Perubahan dalam berat badan
dengan quetiapin adalah sedang dan tidak menyebabkan penghentian
pengobatan. Peningkatan berat badan lebih kecil bila dibandingkan
dengan antipsikotika tipikal.
d. Aripiprazole
Aripiprazol adalah stabilisator sistem dopamin-serotonin.
Farmakologi
Aripiprazol merupakan agonis parsial kuat pada D2, D3, dan 5-
HT1A serta antagonis 5- HT2A. Ia juga mempunyai afinitas yang
tinggi pada reseptor D3, afinitas sedang pada D4, 5-HT2c, 5-HT7, a1-
adrenergik, histaminergik (H1), dan serotonin reuptake site (SERT),
dan tidak terikat dengan reseptor muskarinik kolinergik.
Dosis
Aripiprazol tersedia dalam bentuk tablet 5,10,15,20, dan 30 mg.
Kisaran dosis efektifnya per hari yaitu antara 10-30 mg. Dosis awal
yang direkomendasikan yaitu antara 10 - 15 mg dan diberikan sekali
sehari. Apabila ada rasa mual, insomnia, dan akatisia, dianjurkan untuk
menurunkan dosis. Beberapa klinikus mengatakan bahwa dosis awal 5
mg dapat meningkatkan tolerabilitas.
Indikasi
Aripiprazol efektif pada GB, episode mania dan episode
campuran akut. Ia juga efektif untuk terapi rumatan GB. Aripiprazol
juga efektif sebagai terapi tambahan pada GB I, episode depresi.

31
Efek Samping
Sakit kepala, mengantuk, agitasi, dispepsia, anksietas, dan mual
merupakan kejadian yang tidak diinginkan yang dilaporkan secara
spontan oleh kelompok yang mendapat aripiprazol. Efek samping
ekstrapiramidalnya tidak berbeda secara bermakna dengan plasebo.
Akatisia dapat terjadi dan kadang-kadang dapat sangat mengganggu
pasien sehingga sering mengakibatkan penghentian pengobatan.
Insomnia dapat pula ditemui. Tidak ada peningkatan berat badan dan
diabetes melitus pada penggunaan aripiprazol. Selain itu, peningkatan
kadar prolaktin juga tidak dijumpai. Aripiprazol tidak menyebabkan
perubahan interval QT.
3. Antidepresan (Amir, 2010; Konsensus Nasional Terapi Gangguan
Bipolar, 2010)
a. Derivat trisiklik
1) Imipramin (dosis lazim : 25-50 mg 3x sehari bila perlu dinaikkan
sampai maksimum 250-300 mg sehari)
2) Amitriptilin ( dosis lazim : 25 mg dapat dinaikan secara bertahap
sampai dosis maksimum 150-300 mg sehari).
b. Derivat tetrasiklik
Maproptilin, Mianserin ( dosis lazim : 30-40 mg malam hari, dosis
maksimum 90 mg/ hari).
c. Derivat MAOI
Moclobemide (dosis lazim : 300 mg/ hari terbagi dalam 2-3 dosis dapat
dinaikkan sampai dengan 600 mg/ hari).
d. Derivat SSRI
1) Sertralin (dosis lazim : 50 mg/hari bila perlu dinaikkan maksimum
200 mg/hr)

32
2) Fluoxetine ( dosis lazim : 20 mg sehari pada pagi hari, maksimum 80
mg/hari dalam dosis tunggal atau terbagi)
3) Fluvoxamine (dosis lazim : 50mg dapat diberikan 1x/hari sebaiknya
pada malam hari, maksimum dosis 300 mg)
4) Paroxetine, Citalopram (dosis lazim : 20 mg/hari, maksimum 60 mg
/hari).
e. Derivat SNRI
Venlafaxine (dosis lazim : 75 mg/hari bila perlu dapat ditingkatkan
menjadi 150-250 mg 1x/hari), Duloxetine
B. Non Farmakoterapi (Terapi Psikososial)
1. Terapi kognitif (Aaron Beck)
Tujuannya :
a. Menghilangkan episode depresi dan mencegah rekurennya dengan
membantu pasien mengidentifikasi dan uji kognitif negatif.
b. Mengembangkan cara berpikir alternatif, fleksibel dan positif, serta
melatih kembali respon kognitif dan perilaku yang baru (Elvira, 2014).
2. Terapi interpersonal (Gerrad Kleman)
Memusatkan pada masalah interpersonal yang sekarang dialami oleh pasien
dengan anggapan bahwa masalah interpersonal sekarang mungkin terlibat
dalam mencetuskan atau memperberat gejala depresi sekarang. Terapi ini
difokuskan pada problem interpersonal yang ada. Diasumsikan bahwa,
pertama, problem interpersonal yang ada saat ini merupakan akar
terjadinya disfungsi hubungan interpersonal. Problem interpersonal saat ini
berperan dalam terjadinya gejala depresi. Biasanya sesi berlangsung antara
12 sampai 16 minggu dan ditandai dengan pendekatan terapeutik yang
aktif. Tidak ditujukan pada fenomena intrapsikik seperti mekanisme
defensi dan konflik internal. Keterbatasan asertif, gangguan kemampuan

33
sosial, serta penyimpangan pola berpikir hanya ditujukan bila memang
mempunyai efek pada hubungan interpersonal tersebut (Elvira, 2014).
3. Terapi perilaku
Terapi didasarkan pada hipotesis bahwa pola perilaku maladaptif
menyebabkan seseorang mendapatkan sedikit umpan balik positif dari
masyarakat dan kemungkinan penolakan yang palsu. Dengan demikian
pasien belajar untuk berfungsi di dunia dengan cara tertentu dimana mereka
mendapatkan dorongan positif (Elvira, 2014).
4. Terapi berorientasi-psikoanalitik
Mencapai kepercayaan dalam hubungan interpersonal, keintiman,
mekanisme penyesuaian, kapasitas dalam merasakan kesedihan serta
kemampuan dalam merasakan perubahan emosional secara luas (Elvira,
2014).
5. Terapi keluarga
Diindikasikan untuk gangguan yang membahayakan perkawinan pasien
atau fungsi keluarga atau jika gangguan mood dapat ditangani oleh situasi
keluarga. Terapi keluarga meneliti peran suasana hati teratur dalam
keseluruhan kesejahteraan psikologis dari seluruh keluarga, tetapi juga
mengkaji peran seluruh keluarga dalam pemeliharaan gejala pasien. Pasien
dengan gangguan mood memiliki tingkat tinggi perceraian, dan sekitar 50
persen dari semua pasangan melaporkan bahwa mereka tidak akan menikah
atau memiliki anak jika mereka tahu bahwa pasien akan mengembangkan
gangguan mood (Elvira, 2014).
6. Rawat Inap
Yang pertama dan paling penting keputusan dokter harus dibuat adalah
apakah untuk memutuskan pasien rawat inap atau pasien rawat jalan. Jelas
indikasi untuk rawat inap adalah risiko bunuh diri atau pembunuhan, pasien
yang sangat berkurang kemampuannya untuk makan dan kebutuhan untuk

34
prosedur diagnostik. Suatu onset yang berkembang cepat gejala juga dapat
menjadi indikasi untuk rawat inap. Seorang dokter dapat dengan aman
mengobati depresi ringan atau hypomania dengan rawat jalan jika evaluasi
pasien terus rutin dilakukan. Tanda-tanda klinis dari gangguan penilaian,
penurunan berat badan, atau insomnia harus minimal. Sistem pendukung
pasien harus kuat, tidak ada menarik diri dari pasien. Setiap perubahan
negatif dalam gejala-gejala pasien atau perilaku mungkin cukup untuk
menjadi indikasi rawat inap rawat inap. Pasien dengan gangguan mood
sering tidak mau masuk rumah sakit secara sukarela, dan mungkin harus
sengaja dimasukan. Pasien-pasien ini sering tidak dapat membuat
keputusan karena pemikiran mereka melambat, Weltanschauung negatif
(pandangan dunia), dan keputusasaan. Pasien yang manik sering memiliki
seperti kurangnya wawasan gangguan mereka yang rawat inap tampaknya
benar-benar tidak masuk akal bagi mereka (Elvira, 2014).
7. Terapi Fisik : Electro Convulsive Therapy (ECT)
Terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak melalui 2 elektrode yang
ditempatkan pada bagian temporal kepala. Sering digunakan pada kasus
depresif berat atau mempunyai risiko bunuh diri yang besar dan respon
terapi dengan obat antidepresan kurang baik (dengan dosis yang sudah
adekuat) (Elvira, 2014).

35
BAB III
KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

A. Komplikasi
1. Gangguan emosi atau gangguan neurologik, seperti gangguan panik dan
gangguan fobia.
2. 10-15% pasien dengan Bipolar I melakukan percobaan bunuh diri. Risiko
suicide pada pasien dengan bipolar II lebih tinggi dibanding bipolar I atau
depresi berat.
3. Pasien dengan bipolar bisa memiliki masalah yang bervariasi pada ingatan
jangka pendek dan panjang, kecepatan memproses informasi, dan
fleksibilitas mental. Masalah seperti ini bahkan dapat muncul diantara
episode. Masalah ini cenderung lebih parah ketika seseorang memiliki
episode manik lebih sering.
4. Mengeluarkan uang dengan ceroboh, yang dapat menghancurkan finansial
5. Mengamuk, paranoid, dan bahkan kekerasan
6. Perilaku keinginan untuk sex terhadap banyak orang
7. Penyalahgunaan zat, seperti merokok, alkohol, serta kokain (Simon, 2013;
Elvira, 2014)
B. Prognosis
Pasien dengan gangguan bipolar I memiliki prognosis yang kurang
baik dibandingkan depresi mayor. Sekitar 40-50% pasien dengan bipolar 1
memiliki kemungkinan mengalami episode manik kedua dalam 2 tahun
episode pertama. Walaupun dnegan penggunaan litium sebagai profilaksis
meningkatkan prognosis bipolar I, kemungninan hanya 50-60% pasien
mencapai control signifikan akan gejala mereka dengan litium. Pasien bipolar
I dengan premorbid status pekerjaan yang tidak mendukung, ketergantungan
alkohol, gejala psikotik, gejala depresi dan jenis kelamin laki-laki juga

36
mempengaruhi prognosis yang kurang baik. Durasi pendek dari manik, usia
yang tidak terlalu muda saat onset menghasilkan prognosis yang lebih baik.
Sekitar 7% pasien dengan gangguan bipolar tidak memiliki gejala rekuren;
45% memilii lebih dari 1 episode, dan 40% memiliki gangguan kronik. Pasien
mungkin memiliki 2 hingga 30 episode, walaupun angka rata-ratanya adalah 9
episode. Sekitar 40% dari keseluruhan pasien mengalami lebih dari 10
episode. Pada follow up jangka panjang 15% dari seluruh pasien dengan
bipolar I dapat hidup dengan baik, 45% hidup dengan baik namun memiliki
multirelaps, 30% pasien dengan remisi parsial, dan 10% pasien dengan sakit
kronis (Sadock, 2010).
Untuk prognosis bipolar II, sampai saat ini masih dilakukan penelitian.
Bipolar II adalah penyakit kronik dimana memerlukan strategi penatalaksana
jangka panjang (Sadock, 2010).

37
BAB V
PENUTUP

Gangguan bipolar merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik dan


ditandai oleh gejala-gejala manik, depresi, dan campuran, biasanya rekuren serta
dapat berlangsung seumur hidup. Angka morbiditas dan mortalitasnya cukup tinggi.
Gangguan mood ini disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya faktor genetik,
biologik, dan psikososial. Dalam perjalanan penyakitnya, gangguan bipolar ini
berbeda-beda, tergantung pada tipe dan waktunya. Gangguan bipolar bermacam-
macam, menurut DSM IV terdapat 4 macam gangguan bipolar, sedangkan menurut
PPDGJ III terdapat 12 macam gangguan bipolar. Untuk penatalaksanaan gangguan
bipolar, tergantung pada jenis bipolarnya sendiri, apakah itu fase manik, fase depresi,
fase campuran. Diperlukan teknik wawancara dan pendekatan yang baik sehingga
dapat menegakkan diagnosis bipolar dan membedakan bipolar dari gangguan jiwa
maupun penyakit lainnya. Penegangkan diagnosis penting untuk memberikan
penatalaksaan yang tepat bagi pasien.

38
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association (2005). Mood Disorders. Dalam: Diagnostic and


Statistical Manual of Mental Disorders, 4th Ed, Text Revision, DSM-IV-TR,
Washington DC

Amir N (2010). Gangguan Mood Bipolar: Kriteria Diagnostic dan Tatalaksana


dengan Obat Antipsikotik Atipik. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Elvira, S. & Hadisukanto, G. (2014) Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI

Feist, Jess & Gregory J. Feist, (2010) Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika

Ikawati, Z. (2014) Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta: Bursa


Ilmu.

Kemenkes RI. (2016) Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013. Jakarta: Kemenkes RI

Konsesus Nasional Terapi Gangguan Bipolar (2010) Panduan Tatalaksana


Gangguan Bipolar. Jakarta: Konsesus Nasional Terapi Gangguan Bipolar.

Lukman, Aprizal (2008) Mekanisme dan Regulasi Hormone Glukokortikoid pada


Manusia. Jambi: Universitas Jambi

Maramis, Willy F. (2009) Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa edisi 2. Surabaya:


Airlangga University Press

Maslim, Rusdi. (2004). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III). Jakarta :
FK Jiwa Unika Atmajaya

Merikangas, K. R., Jin, R., He, J.-P., Kessler, R. C., Lee, S., Sampson, N. A, et al.
(2011). Prevalence and Correlates of Bipolar Spectrum Disorder in the World
39
Mental Health Survey Initiative. Archives of General Psychiatry, 68(3), 241–
251. http://doi.org/10.1001/archgenpsychiatry.2011.12

Muslim, Rusdi (2013) Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III &
DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya

National Institute of Mental Health (NIMH) (2012) Bipolar Disorder in Adults, NIH
Publication No. 12-3679

Nevid, Jefferey, Rayhus, Spencer A, Greence (2009) Psikologi Abnormal. Jakarta:


Erlangga

Sadock, B. J. Kaplan (2010) Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri


Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara

Semium, Yutinus (2006) Kesehatan Mental. Yogyakarta: Penerbit Kaninus

Shopia, H.J., Hwang, M.S. Po, W., Jennifer, Y. Kristine, L., Shelley, J. et al., (2010)
Higher prevalence of bipolar I disorder among Asian and Latino compared to
Caucasian patients receiving treatment, Asia-Pasific Psychiatry 2 (3) ,117-
171.

Simon H, Zieve D. Bipolar Disorder. 22 Januari 2009. Diunduh dari www.umm.edu,


13 Maret 2018

40

Anda mungkin juga menyukai