Anda di halaman 1dari 8

PURA BESAKIH

OLEH

NAMA : I Nyoman Agus Blayu Ari Putra

KELAS: VII G

NO : 09
KATA PENGANTAR

Pengetahuan Agama Hindu dibali kini sudah mengalami suatu peningkatan dari segi
pemahaman dan kreatifitas orang hindu sudah mulai muncul, ini diakibatkan karma pada masa
ini dengan banyaknya berbagai bencana dan hal hal yang diluar pemikiran manusia yang
menjadi landasan kesadaran manusia untuk memahami lebih dalam tentang ajaran Agama.
Dengan banyak bimbingan maupun darmawacana dari bebrbagai orang suci umat hindu di Bali
khususnya mendapatkan banyak kesadaran bahwa kita tidak hanya sekedar memeluk tetapi
memahami apa makna,maupun dapat melakukan sutu perbuatan yang tercermin ke Dharmaan di
dalam beragama Hindu.
Kita orang Hindu harus berbangga, karma Hindu merupakan agama tertua di dunia,
bahkan untuk saat ini sudah banyak muncul bukti bukti sejarah keberadaan Agma Hindu di
Indonesia dan Di bali khususnya. Agar kita sebagai umat hindu dapat menjaga dan melestarikan
warisan budaya dan banyak tempat suci sebagai simbolisasi keagungan Hindu di bali yang
menjadi pulau seribu pura yang menjadi kebanggaan umat hindu. Dengan demikian kita sebagai
umat hindu yang memiliki kemauan untuk menjaga keajegan bali agar dapat menjaga dan
melestrikan tempat suci ( Pura ) dan mengetahui apa makna maupun filosfi dari berdirinya
tempat suci tersebut untuk dapat menambah keyakinan kita untuk memeluk agama Hindu.
Dibawaha ini saya akan uraikan salah satu tempat suci yang menjadi simbol kebessaran
bagi umat hindu dibali, di Indonesia maupun didunia, pura tersebur adalah Pura Besakih yang
merupakan pura Sad Khayangan yang dipercayai oleh umat hindu.
SEJARAH PURA

Pura adalah istilah untuk tempat ibadah agama Hindu di Indonesia. Pura di
Indonesia terutama terkonsentrasi di Bali sebagai pulau yang mempunyai
mayoritas penduduk penganut agama Hindu. Kata "Pura" sesungguhnya berasal
dari akhiran bahasa Sansekerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya
adalah kota, kota berbenteng, atau kota dengan menara atau istana. Dalam
perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk
tempat ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para
raja dan bangsawan.
Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan
serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat
Bali). Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan
oleh laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di
Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi
atau pertapa yang bernama Resi Markandeya.
Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya
disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan
kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada mulanya Sang Yogi Markandeya
bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung
Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG).
Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa
agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai,
agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.
Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah
timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang.
Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para
pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana
mestinya.
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu
mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan
upacara yadnya (bebanten / sesaji)
Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali
lagi ke tempat pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur.
Selama beberapa waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada
suatu hari yang dipandang baik (Dewasa Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan
perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan
pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Hyang
Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah
4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan
membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam
di hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi
Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya
dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya.
Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan
perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan
selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka
berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya
memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan
pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing
dijadikan sawah, tegal dan perumahan.
Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya
menanam kendi (payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak,
tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan
upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci).
Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama BASUKI. Sejak saat itu
para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu berikutnya
serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana
sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari lontar
Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti
disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian
sampai hari ini bernama Besakih.
Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang
tercantum dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini
setiap kali umat Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung,
kantor-kantor sampai kepada pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja
di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan
upakara yadnya seperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu barulah
pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan secara
spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan
tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya
memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula
dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini
tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan
subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah
tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur
mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya dalam
bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula mengembangkan ajaran-ajaran
agama Hindu.
PENUTUP

Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar tempat ibadah terbesar di
pulau Bali, namun didalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna
Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai
arwah serta alam para Dewata. Terdapatnya pura besakih di bali adalah sebagai
tempat penyerahan dan rasa syukur umat hindu ke pada para dewa dan juga kepada
para leluhur yang sudah memberikan kemakmuran. Dan juga sebagai tempat
menyadarkan diri manusia akan jati dirinya tentang bagaimana kebesaran tuhan
untuk melindungi umatnya dan memeliharanya, dengan demikian pura besakih
akan disebut sebagai tempat menjalin hubungan yang harmonis baik itu kepada
tuhan , manusia, dan lingkungan. Dan hanya Dengan dharma sebagai landasan
filosofi membangun SDM yang berkualitas dan dengan Rta sebagai landasan
filosofi menjaga sistem alam yang lestari sepanjang masa. Tanpa dharma dan Rta
manusia dan alam akan saling menghancurkan. Tentunya yang akan paling
merasakan derita itu adalah manusia itu sendiri. Karena itu marilah makna lebih
nyata pemujaan kita pada Tuhan untuk meningkatkan keseimbangan antara gaya
hidup kita dengan daya dukung alam demi kelangsungan hidup ini.

Anda mungkin juga menyukai