Anda di halaman 1dari 11

BIOETIKA DALAM KEPERAWATAN

made wardhana

I. PENDAHULUAN
Bioetika berasal dari dua kata yaitu biologi dan ilmu kedokteran yang menyangkut masalah di
bidang kehidupan, tidak hanya memperhatikan masalah-masalah yang terjadi pada masa
sekarang, tetapi juga memperhitungkan kemungkinan timbulnya pada masa yang akan datang.
Di dalam uraian mengenai bio-etika dibedakannya Etika dalam 3 pengertian, yaitu: 1. Etika
sebagai nilai-nilai dan asa-asas moral yang dipakai seseorang atau suatu keloompok sebagai
pegangan bagi tingkah lakunya. 2. Etika sebagai kumpulan asas dan nilai yang berkenaan
dengan moralitas ( apa yang dianggap baik atau buruk) Misalnya: Kode Etik Kedokteran, Kode
Etik Rumah Sakit. 3. Etika sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dari sudut
norma dan nilai-nilai moral. Fransese Abel merumuskan definisi tentang bio-etika yang
diterjemahkan Bertens sebagai berikut: Bio Etika adalah studi interdisipliner tentang problem-
problem yang ditimbulkan oleh perkembanagn di bidang biologi dan ilmu kedokteran baik pada
skala mikro maupun pada skala makro, serta dampaknya terhadap masyarakat luas serta sistim
nilainya kini dan masa mendatang.
Jadi apakah sebenarnya etika itu dan bagaimanakah etika dapat menolong dokter atau
ners berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan sekitar bioetika?
Secara sederhana etika merupakan ilmu/kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap moral
secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku baik pada
masa lampau, sekarang atau masa mendatang. Moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan
dan tindakan yang dilakukan manusia. Bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti ’hak’,
’tanggung jawab’, dan ’kebaikan’ dan sifat seperti ’baik’ dan ’buruk’ (atau ’jahat’), ’benar’ dan
’salah’, ’sesuai’ dan ’tidak sesuai’. Menurut dimensi ini, etika terutama adalah bagaimana
mengetahuinya (knowing), sedangkan moralitas adalah bagaimana melakukannya (doing).
Hubungan keduanya adalah bahwa etika mencoba memberikan kriteria rasional bagi orang
untuk menentukan keputusan atau bertindak dengan suatu cara diantara pilihan cara yang lain.
Dari definisi dan penjelasan tersebut maka dapat kita ketahui bahwa etika kedokteran merupakan
salah satu cabang dari etika yang berhubungan dengan masalah-masalah moral yang timbul
dalam praktek kedokteran. Etika kedokteran berfokus terutama dengan masalah yang muncul
dalam praktik pengobatan sedangkan bioetika merupakan subjek yang sangat luas yang
berhubungan dengan masalah-maslah moral yang muncul karena perkembangan dalam ilmu
pengetahuan biologis yang lebih umum. Bioetika juga berbeda dengan etika kedokteran karena
tidak memerlukan penerimaan dari nilai tradisional tertentu dimana hal tersebut merupakan hal
yang mendasar dalam etika kedokteran. Sebagai seseorang yang profesinya bergelut dibidang
medis, tentu dengan memahami etika kedokteran kita akan siap menghadapi berbagai kasus
yang mengandung refleksi etis tersebut dengan jawaban, sikap, dan tindakan yang tepat.

II. KAIDAH DASAR BIOETIKA


Ada empat kaidah dasar bioetik yang digunakan dalam etika kedokteran yaitu beneficience, non-
maleficence, autonomy, dan justice.
Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai masing-masih kaidah dasar bioetik tersebut :
1. Beneficience
 prinsip berbuat baik
 melakukan tindakanselalu diutamakan untuk kebaikan
 dalam konteks medis berarti berusaha melakukan tindakan medis terbaik kepada pasien

Bioetika Keperawatan/2/6/2018 1
2. Non-maleficence
 prinsip untuk tidak melakuan tindakan berbahaya(buruk) yang merugikan terhadap pasien
 kewajiban dokter untuk tidak mencelakakan pasien
3. Otonomi
 mengakui hak-hak individu untuk menentukan nasib sendiri
 prinsip menghargai hak pasien
4. Justice
 Prinsip keadilan atau bertindak adil terhadap semua pasien

Dalam pelaksanaannya sehari-hari beberapa kaidah dasar tersebut bisa saling bertentangan satu
dengan yang lainnya. Tentu hal itu sangat wajar karena masing-masing kaidah tersebut
mempunyai kekhasan nilai masing-masing. Namun kita harus dapat memilih yang mana lebih
prioritas. Contoh kecil saja yaitu ketika seorang dokter/ners lebih mendahulukan pasien baru,
yang datang dalam keadaan gawat darurat daripada pasien-pasien yang telah antri lama. Hal itu
menunjukkan adanya pertentangan antara kaidah justice dan non-maleficence. Namun tindakan
dokter tersebut dapat dibenarkan karena dalam kasus ini yang menjadi prioritas adalah kaidah
non-malefincence. Dari uraian yang sangat singkat ini maka diharapkan kita akan lebih berusaha
untuk memahami etika kedokteran, karena pada seorang dokter tidak hanya dibutuhkan
ketereampilan teknis dan teori semata tetapi juga kemampuannya dalam menghadapi kasus-
kasus yang berhubungan dengan etik.

III. ETIKA DALAM PROFESI MEDIS


Jika kita memandang istilah bioetika, secara spontan tampak arti ’etika tentang kehidupan’.
Dalam hal ini kata etika barangkali tidak begitu asing bagi telinga kita, tetapi bisa ditanyakan
lagi apa persisnya artinya. Kalau kita menyimak cara kata ini dipakai dalam masyarakat,
terutama ada dua arti. Pertama, sering kita mendengar atau membaca kalimat seperti berikut ini:
“hal itu tidak etis”, “perbuatan itu tidak sesuai dengan etika yang benar”, “kita tidak boleh
memikirkan keuntungan saja, masih ada juga etika”. Jika kalimat-kalimat macam itu dipakai,
etika dimaksudkan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang diterima sebagai pegangan
bagi perilaku kita. Di sini etika sama artinya dengan moral atau moralitas.
Etika ini adalah studi tentang moralitas atau tentang etika dalam arti pertama. Etika ini
mempelajari kehidupan baik atau buruk dalam arti moral dan coba menentukan yang harus
dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika ini termasuk filsafat dan karena itu disebut juga
etika filosofis atau filsafat moral. Sejarahnya sudah amat panjang, kira-kira 25 abad. Tempat
kelahirannya adalah Yunani kuno. Sokrates, Plato, dan Aristoteles dapat dipandang sebagai
pemikir yang meletakkan dasar bagi ilmu etika. Dan dengan trio intelektual yang sangat unik ini,
etika filosofis segera mencapai kualitas pemikiran yang masih dikagumi sampai sekarang.
Aristoteles (384-322 SM) bahkan menciptakan istilah etika dan menulis beberapa buku yang
mencantumkan istilah ini dalam judulnya.
Salah satu bidang di mana etika sudah lama mendapat perhatian khusus adalah profesi
kedokteran (dokter dan ners). Ilmu kedokteran juga merupakan ciptaan Yunani kuno yang khas.
Hippokrates dari Kos (kira-kira 460-370 SM) adalah orang Yunani kuno yang digelari “bapak
ilmu kedokteran” karena untuk kali pertama memberikan suatu dasar ilmiah kepada profesi
kedokteran dengan melepaskannya dari suasana gaib dan penuh mistik yang meliputi profesi ini
sebelumnya. Yang sangat mengagumkan adalah bahwa Hippokrates yang sama sekaligus
memberikan juga dasar etika kepada profesi medis ini dengan merumuskan “Sumpah
Hippokrates”. Karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa etika kedokteran (etika dalam
arti: nilai-nilai dan norma-norma moral) seumur dengan profesi kedokteran itu sendiri. Lebih
mengagumkan lagi bahwa hubungan antara etika (bahkan langsung dalam bentuk Sumpah

Bioetika Keperawatan/2/6/2018 2
Hippokrates ini) dan profesi medis tidak pernah dilepaskan sepanjang masa. Walaupun pasti ada
juga banyak ups and downs, Sumpah Hipokrates tahan terus dalam sejarah kedokteran dan
memberi kontribusi besar guna menegakkan profesi medis sebagai profesi yang terhormat dalam
masyarakat.
Contoh yang mencolok mata adalah penelitian biomedis yang mengikutsertakan subyek
manusia. Seusai Perang Dunia II, baru diketahui eksperimen-eksperimen kejam yang dilakukan
dokter-dokter Nazi selama rezim Hitler di Jerman dengan korban-korban mereka yang
kebanyakan keturunan Yahudi. Pengalaman mengejutkan ini memicu perhatian besar untuk
etika penelitian biomedis yang sejak saat itu menjadi bagian penting dari etika biomedis. Perlu
diperhatikan lagi bahwa di antara peneliti-peneliti biomedis itu terdapat semakin banyak ahli
dari luar profesi kedokteran, seperti ahli-ahli biologi, yang juga tidak terdidik dalam tradisi etika
kedokteran dan tidak pernah mengucapkan Sumpah.
Contoh lain adalah problem-problem baru yang muncul berhubungan dengan pengembangan
intensive care unit (ICU) yang memakai alat-alat canggih seperti respirator, mulai dasawarsa
1950-an dan 1960-an. Dengan teknologi baru ini dimungkinkan bahwa fungsi pernapasan dan
peredaran darah diambil alih oleh mesin. Bila mesin dihentikan, pasien langsung meninggal
karena ia tidak lagi bisa bernapas secara spontan. Namun, jika pasien hanya bernapas dengan
bantuan mesin, apakah dapat dikatakan bahwa ia masih “hidup” dalam arti yang sebenarnya?
Perbatasan antara hidup dan mati menjadi kacau! Permasalahan ini agak cepat mengakibatkan
munculnya pengertian baru tentang kematian, yaitu mati otak: manusia adalah mati jika seluruh
otaknya mati atau tidak memiliki aktivitas lagi. Kalau pasien dengan kondisi itu sudah sungguh
mati otak, kita boleh mengambil organ-organnya untuk ditransplantasi pada pasien lain yang
membutuhkan. Demikian memang prosedurnya dalam transplantasi jantung, umpamanya.
Selain mengubah definisi kematian itu sendiri, pemakaian alat bantu hidup dalam ICU
menimbulkan banyak masalah etis baru lagi. Misalnya, kalau kita menghentikan alat bantu
hidup seperti respirator, apakah kita tidak membunuh pasien? Atau, sebaliknya, kita menyiksa
pasien terminal dengan memakai terus alat-alat bantu hidup itu, sedang pasien sudah tidak dapat
disembuhkan dengannya? Pertanyaan-pertanyaan ini memang menyangkut hubungan dokter-
pasien, tetapi dalam perspektif baru yang tidak dibayangkan sebelumnya.
Bioetika adalah refleksi etis atas pertanyaan-pertanyaan baru yang ditimbulkan oleh life
sciences dan teknologi biomedis sejak kira-kira pertengahan abad ke-20. Perkembangan yang
begitu cepat dan kadang-kadang sungguh revolusioner mengundang kalangan ilmiah untuk juga
memikirkan implikasi-implikasi etisnya. Karena itu, bioetika dapat dipandang sebagai perluasan
etika kedokteran/kesehatan yang tradisional.

IV. MASALAH BIOETIKA DALAM PELAYANAN KESEHATAN


1. Bioetika dan Eutanasia
Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai kini
masih jadi kontroversi. Pembunuhan legal ini pun ada beragam jenisnya. Secara umum,
kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian tidak terjadi di
dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah
selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu
yang definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut
terjadi.
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika
tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu
yang akan mengakhiri hidupnya. Ada empat metode euthanasia:
 Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian.
 Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena
faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini adalah

Bioetika Keperawatan/2/6/2018 3
menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan
vegetatif (koma).
 Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan
persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan
untuk melanjutkan perawatan ditolak.
 Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal ini
terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya
sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri
tersebut. Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‘bunuh diri
atas pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr. Jack
Kevorkian.

Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif:


 Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk
menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Hal ini ilegal
di Britania Raya dan Indonesia.
 Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan
medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian nutrisi, air, dan ventilator. Ada
kasus ketika meningkatkan dosis pengurang rasa sakit, seperti pemberian Morfin, dapat
memperpendek umur pasien. Namun pemberian morfin tidak dimaksukan untuk
menimbulkan kematian, sehingga dipandang secara moral berbeda.

Argumen Pro Euthanasia


Kelompok pro euthanasia, yang termasuk juga beberapa orang cacad, berkonsentrasi untuk
mempopulerkan euthanasia dan bantuan bunuh diri. Mereka menekankan bahwa pengambilan
keputusan untuk euthanasia adalah otonomi individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang
tidak dapat disembuhkan atau berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus
diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang
diperlukan. Mereka mengklaim bahwa perbaikan teknologi kedokteran merupakan cara untuk
meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup. Dalam beberapa kasus, perpanjangan
umur ini melawan kehendak mereka.
Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer, berargumentasi
bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide tradisional seperti kesucian hidup
telah dijungkir balikkan oleh praktek kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup
dengan bantuan instrumen.

Oposisi terhadap Euthanasia


Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau sekuler, bahwa
setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil hidup seseorang dalam
kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika
euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk
menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan
kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih mudah dihasut dengan
provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini.

2. Bioetika dan Aborsi


Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tertulis : “Setiap dokter senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.” Namun dalam sumpah dokter,
terdapat pernyataan: “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.”
Dalam pernyataan ini, yang dimaksud makhluk insani masih belum dapat ditentukan dengan
jelas dan pasti, mulai kapan awal kehidupan ditentukan, sehingga menimbulkan pertentangan.

Bioetika Keperawatan/2/6/2018 4
Karena itu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) masih mengadakan perundingan
tentang lafal sumpah dokter Indonesia melalui hasil referendum dari anggota IDI untuk memilih
apakah kata “mulai dari saat pembuahan” hendak dihilangkan atau diubah. (MKEK, 2002).
Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai standar, melaksanakan advokasi, menjamin
keselamatan pasien, menghormati terhadap hak-hak pasien. Kriteria perilaku profesional antara
lain mencakup bertindak sesuai keahlian dan didukung oleh keterampilan, bermoral tinggi,
memegang teguh etika profesi, serta menyadari ketentuan hukum yang membatasi gerak.
(Wahyuningsih, et. al., 2005).
Seluruh peraturan tentang kegiatan yang terkait dengan perihal kesehatan termasuk
dalam hukum kesehatan. Dalam KUHP, pasal 346 hingga pasal 350 mengatur batasan-batasan
aborsi. Namun dalam KUHP, kesengajaan aborsi sangat tidak dibenarkan. (KUHP, 2008)
Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 15, dinyatakan bahwa dalam
upaya menyelamatkan Ibu dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan tertentu. Namun,
tindakan tertentu ini belum dijelaskan lebih detil, seperti apa dan kriteria tertentu dalam
pelaksanaan tindakan medis yang dimaksud. (UU Kesehatan, 1992)
Secara umum, agama apapun melarang aborsi. Depresi pada ibu hamil sedikit banyak
mempengaruhi perkembangan janin, bahkan masih berpengaruh dalam tahap perkembangan
awal bayi setelah kelahiran. Peningkatan hormon stres pada ibu juga mengakibatkan hal yang
sama pada janin. Hal ini tidak membahayakan nyawa ibu, hanya dapat mengakibatkan bayi lahir
prematur dan berat badan dibawah normal. Selain itu, respon bayi terhadap lingkungannya
kurang peka bila dibandingkan dengan bayi dari ibu yang tidak mengalami depresi. (Field, et.al.,
2004)
Menurut etika kedokteran, setiap dokter harus menghormati setiap makhluk insani.
Namun karena masih terdapat pertentangan maksud pasal dan sumpah dokter yang berkaitan
dengan waktu dimulainya suatu awal kehidupan, maka dalam etika kedokteran, pelaksanaan
aborsi dalam kasus ini diserahkan kembali kepada hati nurani masing-masing dokter.
Dalam etika profesionalisme, apabila seorang dokter tidak memberanikan dirinya untuk
melaksanakan tindakan aborsi, maka dokter tersebut dapat merekomendasikan pelaksanaan
aborsi tersebut kepada dokter lain yang jelas kompeten di bidangnya, dengan tetap memantau
dan bertanggung jawab atas keselamatan dan perkembangan pasien selanjutnya.
Republik Indonesia yang berdasarkan hukum telah membuat hukum yang mengatur
aborsi, dalam KUHP dan UU Kesehatan. KUHP menyatakan segala macam bentuk aborsi
dilarang, bahkan dengan tujuan menyelamatkan nyawa Ibu. Sementara UU Kesehatan
menyatakan pembolehan aborsi apabila nyawa Ibu dapat terancam apabila kehamilan diteruskan
lebih lanjut.

3. Isu Bioetika Kloning Manusia


Teknologi kedokteran tak disangkal lagi melaju pesat, hingga para pasien yang semula tanpa
harapan, kini dapat ditolong dengan sangat memuaskan. Tidak ketinggalan teknologi
transplantasi pun makin berkembang sehingga penderita penyakit jantung, ginjal, dan lain-lain
dapat bernafas lega. Masalah baru muncul, karena pasokan dan peminatnya sungguh tidak
seimbang, sehingga teknologi kloning diraa dapat menjawab permasalahan itu. Namun, muncul
pula problem moral atau etis setelahnya.
Salah satu fiksi ilmiah yang menjadi kenyataan dalam bidang teknologi kedokteran adalah soal
kloning. Sejak keberhasilan kloning mamalia dewasa (domba Dolly) diumumkan tanggal 23
Februari 1997 yang lalu, laju perkembangan sejarah medis berubah arah. Sel somatis dewasa
yang tadinya dipikir tidak mungkin menjadi sebuah mahluk hidup utuh, ternyata dengan teknik
terbaru dapat dibuat menjadi mahluk utuh. Banyak pengharapan disematkan pada kepada
penemuan baru tersebut untuk semakin menyejahterakan umat manusia dengan memproduksi
kebutuhan pangan dan obat-obatan secara lebih memadai, untuk mencegah penyakit, dan

Bioetika Keperawatan/2/6/2018 5
memperpanjang harapan hidup manusia. Akan tetapi, teknologi ini menimbulkan permasalahan
besar manakala manusia menjadi objek teknologi itu. Dengan teknik kloning manusia merasa
mampu menciptakan kehidupan baru dalam laboratorium kehidupannya.
Dengan demikian kita dapat memahami permasalahan kloning manusia dan menempatkan diri
kita pada posisi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etis sehingga kita dapat
mengambil sikap yang sepantasnya sebagai manusia yang bermartabat dan berbudaya.
Prespektif Ilmiah
Pada tahun 1932, Aldous Huxley menulis sebuah buku fiksi ilmiah dengan judul Brave New
World yang menggambarkan semua proses reproduksi manusia dijalankan dalam sebuah
laboratorium besar di mana masing-masing bayi diklon dari seorang induk. Dari satu induk
master ini, lalu dibuat berbagai macam tipe kasta manusia pekerja, yang bekerja sesuai bidang-
bidang pekerjaannya. Caranya adalah dengan menetop pertumbuhan normal embrio itu yang dia
sebut sebagai proses Bokanovsky, lalu embrio itu pertama-tama dipecah dengan sinar X menjadi
delapan dan kemudian masing-masing dipecah menjadi dua belas, sampai mencapai 96 sel yang
berasal dari satu embrio (Kusmaryanto, 2001: xiii). Lalu masing-masing sel dimasukkan ke
dalam bnotol yang berfungsi sebagi rahim dan dihubungkan dengan tabung oksigen, yang
menjadi penentu nasib dan intelligent embrio tersebut.Akhirnya, muncul beberapa macam kasta,
mulai dari Epsilon (kasta terendah) dan tidak punya otak serta mengerjakan pekerjaan kasar. Di
atasnya ada kasta Delta, sampai kasta yang lebih baik dan tinggi lagi setelahnya yakni Gamma,
Betta, dan Alpha (Ibid, hlm xiv).
Pada waktu buku Huxley tersebut ditulis, masalah ini memang masih merupakan fiksi ilmiah
daripada kenyataan yang sudah terjadi. Huxley, mungkin, memprediksi bahaya dari boteknologi
bagi masyarakat luas, terutama masalah yang saat ini dikenal dan disebut dengan kloning.

Sekilas tentang Kloning


Kloning berasala dari kata Klon (Yunani) yang berarti: tunas. Dari bahasa Yunani, kemudian
masuk ke bahasa Inggris menjadi Clone (kata kerja: mengklon). Kata kloning selama ini sudah
dipergunakan dalam banyak bidang yang secara umum dipergunakan untuk menunjukkan cara
reproduksi aseksual (reproduksi tanpa hubungan seks), misalnya cara menanam singkong
dengan setek (menyetek), atau cara reproduksi sel dengan membelah diri. Selain itu kata kloning
juga dipergunakan untuk menunjukkan rekayasa genetika, ada juga yang menggunakannya
dalam proses yang disebut dengan ”twinning” (kembar), yakni bilamana sebuah sel telur yang
dibuahi opleh sebuah sela sperma dan dalam perkembangannya memecah diri menjadi dua
embrio atau lebih.
Dalam bioetika istilah kloning dipergunakan secara umum untuk menunjukkan segala macam
prosedur yang menghasilkan replika genetik yang sama persis dari induk biologis, termasuk
DNA sequence, sel atau organisme. Oleh karena organisme dibuat dari satu sel dan dengan
demikian mendapatkan faktor-faktor keturunan yang sama persis dengan induk biologisnya.Ada
tiga macam cara guna mendapatkan replika genetik yang sama persis (kloning): pertama berasal
dari embrio yang biasa, yakni hasil pembuahan sel telur dengan sperma. Pada salah satu tahap
perkembangannya, yakni sebelum embrio itu tinggal di dalam dinding rahim, embrio tersebut
berada dalam tahap yang disebut totipotenti, yakni sampai dengan tiga hari sesudah pembuahan
dan embrio itu terdiri dari 2-8 sel. Yang selanjutnya akan berkembang menjadi seorang individu
(embryo splitting). Mereka akan memiliki kesamaan genetis dengan induknya, sebab
kesemuanya mendapat faktor keturunan dari ayah dan ibunya.
Embryo splitting ini pengembangannya dilakukan bersamaan dengan program ”pembuahan
artifisial” atau banyak dikenal istilah bayi tabung dengan tujuan utama, yakni menyediakan
sebanyak mungkin embrio untuk ditanam di dalam rahim sehingga dengan demikian si
perempuan tidak harus menjalani seluruh proses perawatan untuk mendapatkan sel telur
manakala embrio yang sudah ditanam gagal berkembang di dalam rahim. Melalui teknik seperti

Bioetika Keperawatan/2/6/2018 6
ini biaya pengadaan embrio dapat diminimalisasi hingga 90%. Tujuan yang kedua adalah untuk
memperoleh dua atau lebih embrio yang kembar identik agar salah satunya dapat dipakai untuk
penyelidikan kemungkinan penyimpangan genetis dan memperbaikinya pada embrio yang
lainnya. Bila kita memperhatikan secara lebih seksama, proses embryo splitting ini sebenarnya
juga terjadi secara natural dalam kasus bayi kembar identik melalui pembuahan n dan proses
reproduksi normal.
Ada cara lain untuk memperoleh replika genetika yang sama atau persis, yakni dengan
”Recombinant DNA Technology” atau juga disebut dengan ”gene cloning”. Cara ini dibuat
pertama-tama dengan menggabungkan gen yang akan diklon dengan sebuah vektor. Organisme
yang biasanya digunakan untuk mengklon DNA manusia ialah bakteri Escherrichia Coli (E.
Coli), yakni bakteri yang ada di dalam sistem pencernaan manusia. Teknik recombinant DNA
ini telah lama digunakan guna menghasilkan banyak sekali bahan farmasi kedokteran.

Manfaat Kloning
Ada beberapa manfaat kloning bagi dunia bioteknologi, yakni:
1. Memproduksi organ tubuh untuk keperluan transplantasi
Permasalahan suplai organ yang kurang untuk transplantasi menjadi sangat mendesak untuk
diselesaikan pada masa sekarang ini. Kekurangan organ transplantasi menjadi perhatian
serius para ahli. Misalnya, jenis penyakit leukimia tertentu yang hanya dapat disembuhkan
secara total dengan cangkok sumsum tulang belakang. Kloning, karenanya menjadi sumber
alternatif yang cukup memungkinkan untuk produksi sekaligus suplai organ tubuh.
2. Menghindarkan atau menolak penyakit
Terdapat banyak sekali penyakit keturunan yang diturunkan dari orang tua ke anak yang
diakibatkan oleh tidak normalnya gen yang dimiliki oleh orang tuanya. Baik yang
terkandung di dalam nukleus (inti sel) maupun diluarnya, misalnya mitokondria – struktur-
struktur kecil yang berfungsi sangat krusial di luar nukleus. Problem penyakit keturunan
akibat gen yag tidak normal ini dapat dipecahkan dengan praktek kloning. Melalui cara
membuang mitokondria dari sel telur yang mengandung abnormalitas gen tersebut dan
memasukkannya nukleusnya ke dalam sel telur yang sehat, mitokondrianya dikembangkan
didalamnya sebelum akhirnya diimplantasikan ke dalam rahim.
3. Menciptakan manusia unggul
Tujuan ini lebih didasarkan pada keinginan atau impian untuk memperoleh ras/manusia
unggul. Contoh keinginan untuk mengklon Einstein. Meskipun demikian, hingga saat ini
banyak para ahli sangat meragukan efektivitas dari dari metode ini, seandainya Einstein
dapat diklon, apakah klonnya dapat memiliki kejeniusan layaknya Einstein? Sebab, hingga
saat ini otak tidak dapat diklon.
4. Seleksi jenis kelamin
5. Memecahkan masalah reproduksI (tidak dapat memiliki keturunan)
6. Menyediakan bahan riset
7. Immortalitas (ingin tetap abadi)
8. Bisnis para ahli bioteknologi

Problem Bioetika Kloning


a. Manusia adalah manusia
Bagaimanapun juga manusia adalah manusia yangmemiliki hak hidup tanpa proses artifisial.
Dalam satu dasawarsa ini, banyak sekali perdebatan tentang kapan sebuah embrio dapat
dikatakan sebagai manusia dan mendapatkan perlindungan hukum dan moral. Beberapa
berpendapat bahwa manusia itu dibedakan dengan ciptaan lain karena otaknya, maka sebuah
embrio dapat diklasifikasikan ke dalam golongan manusia dan oleh karenanya emndapatkan
perlindungan hukum dan moral ketika telah terbentuk jaringan pada otaknya tersebut
(Kusmaryanto, 2001: 33) Sebagian lain berpendapat bahwa embrio baru dmemperoleh

Bioetika Keperawatan/2/6/2018 7
perlindungan hukum dan moral ketika telah menjadi individu manusia yang sempurna.
Berdasarkan pada pengertian individu dari bahasa latin: in + dividere (membagi), yang berarti
tidak dapat dibagi lagi ke dalam bagian-bagian lebih kecil. Kemanusiaan manusia bukanlah
sesuatu yang ditambahkan dari luar, melainkan sebagai sesuatu yang intrinsik, yang ada bersama
adanya manusia. Ia ada dan hilang bersama dengan ada dan hilangnya (matinya) manusia.
Singkat kata: Anak domba adalah anak domba dan anak manusia adalah anak manusia. Tanpa
merujuk terlebih dahulu kepada ajaran suatu agama tertentu pun, kita telah mengetahui bahwa
sel telur yang sudah dibuahi adalah manusia utuh, yang telah ada informasi dan aspek-aspek
genetisnya dan tinggal memerlukan waktu untuk proses perkembangan lebih lanjut.

b. Martabat kehidupan manusia


Apa konsekuensi dari hak hidup sebagai hak mendasar bagi manusia? Dalam kloning, kita
berhadapan dengan embrio yang juga merupakan ”manusia” sehingga ia tidak dapat
dikorbankan dengan dalih apa pun tanpa persetujuan dari orang yang mempunyai hidup itu,
yakni tanpa izin dari si embrio itu sendiri.

c. Persinggungan dengan masalah teknologi


Problematika teknik yang selalu berhubungan dengan harkat dan martabat manusia adalah: tidak
semua teknik yang mungkin selalu valid secara moral.Jangan sampai teknik (teknologi) yang
keberadaannya dimaksudkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia justru
merusaknya. Salah satu keberatan terhadap kloning dalam hal ini adalah masalah teknik. Sampai
saat ini, teknik yang dipakai sangat tidak aman untuk manusia dan sangat tidak efektif. Terdapat
banyak kemungknan kegagalan dalam proses kloning, seperti kasus yang terjadi pada kloning
domba Dolly. Dengan kata lain dapat dikatakan kloning adalah tidak etis karena hasil yang akan
dicapai melaluinya masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kerusakan yang akan
dihasilkan oleh teknik kloning tersebut.

d. Risiko Kesehatan
Karena teknik (teknologinya) yang belum aman, maka akan sangat berimplikasi terhadap
kesehatan olah orang yang lahir melalui praktek kloning ini. Kesalahan fatal yang dapat
diakibatkan oleh kloning dapat mengakibatkan cacat atau penyakit keturunan seumur hidup.
Tidak sebanding dengan upaya untuk menghindari penyakit dengan melakukan proses kloning
tersebut.

e. Hak manusia untuk lahir secara natural


f. Identitas individu dan keunikannya
Manusia yang diklon adalah manusia yang tidak memiliki kebebasan secara utuh, dalam arti
kebebasan bertindak menurut pertimbangan akal budi dan kehendaknya. Manusia hasil klon
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Karena ia bertindak tidak atas
kehendaknya sendiri, melainkan ia dipakas untuk bertindak demikian.
g. Masalah ketidakadilan sosial

4. Bioetika Cangkok Organ


Transplantasi organ tubuh bisa dilakukan dengan dua cara. Mengambil organ dari tubuh manusia
yang masih hidup dan dari tubuh yang sudah mati. Hanya, definisi mati secara medis dan hukum
positif berbeda. Anggota tim transplantasi Rumah Sakit dr Soetomo dr Tommy Sunartomo SpAn
menjelaskan, definisi meninggal dari sisi medis dan hukum positif berbeda. Seseorang
dinyatakan meninggal secara medis belum tentu sama jika dilihat secara hukum.
Menurut dia, secara medis seseorang dikatakan mati ketika batang otak tidak berfungsi. Saat itu,
bagian tubuh yang lain, khususnya jantung, bisa jadi masih berdenyut. "Namun, lambat laun

Bioetika Keperawatan/2/6/2018 8
akan ikut mati secara bertahap," tuturnya. Nah, sebelum semua organ itu mati, proses
transplantasi bisa dilakukan.
Pada saat itulah, dokter berkesempatan untuk mengambil organ tubuh yang akan didonorkan.
Sebab, organ masih bisa disambungkan ke bagian tubuh penerima donor. Waktunya tidak lama,
sekitar 30 menit. Tapi, kalau menggunakan mesin respirator, bisa bertahan sampai beberapa hari.
Sementara, menurut hukum positif di Indonesia, kematian seseorang dilihat dari detak
jantungnya. Ketika jantung berhenti berdenyut, seseorang dinyatakan telah mati. Hal tersebut
mengacu pada penerapan hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Definisi mati, menurut KUHP, sangat tidak sejalan dengan kebutuhan transplantasi. Menurut
Prof Dr dr Diany Yogiantoro SpM(K), ahli transplantasi kornea, ketika jantung berhenti
berdenyut, seluruh organ tubuh telah mati. Karena itulah, organ tubuhnya tidak bisa
ditransplantasikan ke orang lain. "Kala itu, tubuh telah menjadi bangkai. Kecuali kornea mata,"
jelasnya.
Perbedaan itulah, menurut ahli liver RSU dr Soetomo dr Poernomo Boedi SpPD, yang
membahayakan dokter. Dokter bisa dituntut secara hukum karena dianggap melukai atau bahkan
membunuh seseorang. Yaitu, ketika dokter mengambil organ tubuh dari tubuh seseorang yang
telah dinyatakan mati secara medis, tapi secara hukum, dia belum dianggap mati karena
jantungnya masih berfungsi.
Karena itu, transplantasi yang diambilkan dari orang yang dinyatakan mati secara medis (batang
otak tak berfungsi) potensial dipersoalkan. Dokter bisa disalahkan dan dijerat hukuman. "Ini
akan menjadi mainan bagi pengacara-pengacara," katanya.
Akhirnya, para dokter tidak bisa leluasa dan takut melakukan transplantasi organ tubuh.
Sebab, bisa jadi keluarga si mayat tidak terima jika organ pada jasad saudaranya diambil. Ini
bisa terjadi kendati sebelumnya pemilik telah merelakan organ tubuhnya didonorkan. "Kasus ini
banyak terjadi di Indonesia," kata Boedi.
Karena itulah, lanjut Boedi, dokter membutuhkan regulasi yang mendukung dan memayungi
terobosan-terobosan ilmu kedokteran, seperti transplantasi. Menurut dia, peraturan-peraturan
yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman seharusnya bisa diubah sehingga tidak
membatasi gerak ilmu pengetahuan.
Sementara itu, konsep mati menurut Islam mirip dan bahkan sama dengan konsep mati secara
medis.

Kebolehan intrinsik pencangkokan


Di sini pertanyaannya adalah kebolehan atau ketidakbolehan secara intrinsik teknologi ini
maupun dampak-dampak negatif yang dipersepsi akan ditimbulkannya. Misalnya, ada beberapa
pandangan keagamaan tertentu yang melihat upaya ini sebagai melanggar kesakralan tubuh atau
martabat manusia yang merupakan ciptaan Tuhan. Berhakkah manusia mengintervensi
kehidupan manusia? Sebagian besar agama akan memberikan jawaban afirmatif terhadap
pertanyaan ini, namun biasanya dengan kualifikasi-kualifikasi tertentu. Maka persoalannya
adalah: sampai sejauh apa intervensi itu bisa dilakukan? Ini adalah pertanyaan mengenai batas-
batas intervensi yang diperbolehkan, dengan mempertimbangkan upaya mempertahankan
martabat manusia maupun upaya menghindari “playing god”. Di bagian akhir tulisan ini nanti
akan disinggung mengenai masalah ini lebih jauh.

Sumber Organ Donor


Salah satu persoalan terbesar, khususnya di negara maju seperti AS, muncul karena jauh lebih
tingginya permintaan akan organ ketimbang suplai yang ada. Di AS, pada 2003 lebih dari
19,000 pencangkokan organ dilakukan; organ-organ tersebut diambil dari 9,800 donor. Namun
angka ini menjadi amat kecil jika dibandingkan dengan daftar tunggu: pada tahun itu, ada
83,000 orang yang menunggu; sehingga rata-rata ada 17 orang setiap harinya yang meninggal
karena tak beruntung mendapat organ pada waktunya.

Bioetika Keperawatan/2/6/2018 9
Secara garis besar, ada dua cara memperoleh organ: melalui donor hidup dan donor mati.
Menyangkut donor hidup, bolehkah organ ditukar dengan sejumlah uang? Atau haruskah
sumbangan organ didasarkan pada motif yang sepenuhnya altruistik? Etiskah jual-beli organ?
Tidakkkah ini akan menjadikan kedokteran menjadi semacam pasar bebas untuk organ?
Bolehkah orang—dengan kemauannya sendiri—menjual organnya, dan orang lain membelinya?
Saat ini, organ trafficking sudah menjadi masalah global. Meski secara resmi pemerintah-
pemerintah di dunia melarang ini dengan hukuman yang cukup keras, nyatanya perdagangan
organ terus berlangsung.
Di sini ada masalah etis lain, biasanya penyuplai organ datang dari negara-negara dengan amat
banyak orang miskin (seperti India , Bangladesh , China , dan sebagainya), sedangkan penerima
organ adalah negara-negara maju (AS, sebagian negara Eropa, Singapura, dan sebagainya).
Tidakkah ini menunjukkan bahwa seakan-akan orang kaya memiliki hak lebih atas hidup dan
kesehatan (dan kehidupan) dibanding orang miskin? Bagaimana tanggapan etis kita
terhadapnya?
Bagaimana dengan narapidana? Bolehkah ia—sebagai orang yang pernah melakukan
kejahatan terhadap masyarakat—menerima kebaikan hati anggota masyarakat lain? Di negara
seperti AS, ada isu yang pernah menjadi kontroversi: bolehkah imigran ilegal menerima
cangkok organ? Atau, bolehkah orang yang tak berhati-hati menjaga kesehatannya menerima
organ baru (pecandu alkohol menerima hati baru; atau perokok berat menerima paru-paru)?
Pertanyaan-pertanyaan ini terkesan mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu yang pernah
melakukan kesalahan sosial ataupun personal. Bolehkah diskriminasi semacam ini
diberlakukan? Secara lebih umum, adakah situasi yang memungkinkan diperbolehkannya
(secara etis) diskriminasi?
Persoalan-persoalan di atas muncul karena desakan kekurangan organ yang luar biasa,
dibandingkan dengan yang membutuhkannya, sehingga siapa yang berhak mendapatkan organ,
atau mendapatkan prioritas untuk itu, menjadi persoalan yang amat mendesak. Masalah-masalah
seperti ini biasanya dibahas dalam konteks keadilan distributif (secara sempit). Yaitu, dalam
suatu masyarakat, apakah semua anggota masyarakat punya hak yang sama ( equal access ) atas
organ? Ada beberapa kriteria lain yang biasa dipakai—misalnya berdasarkan asas kebutuhan
(siapa yang paling membutuhkan), kontribusi pada masyarakat, atau pasar-bebas (siapa yang
dapat membayar, dia akan mendapatkan)—namun tak ada yang bersifat mutlak keberlakuannya.

5. Bioetika Kontrasepsi
Sebagai dokter yang profesional, dalam bekerja dokter harus berpedoman pada etika dan hukum
profesi. Etika dan hukum menjaga tindakan dokter agar tetap berada di jalur yang benar.
Menurut kaidah dasar bioetik, dalam membuat keputusan dokter selalu membuat pertimbangan
dari beberapa alternatif, untuk ditentukan satu pilihan yang akan diberikan pada pasiennya.
Perrtimbangan ini berdasar pada beneficence (tanpa pamrih), autonomy (pasien mempunyai
otoritas sendiri), non-maleficence (menolong pasien emergensi), dan justice (adil,
memperlakukan sesuatu secara universal).
Kontrasepsi adalah pencegahan konsepsi atau kehamilan. (Dorland, 2002). Sejak KB
(Keluarga Berencana) menjadi program nasional RI pada tahun 1970, berbagai cara kontrasepsi
telah ditawarkan dalam pelayanan KB, mulai dari cara tradisional, barier, hormonal, (pil,
suntikan, susuk KB), Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), dan kontrasepsi mantap (kontap)
berupa vasektomi dan tubektomi. (Hanafiah, et. al., 1999).
Dalam keputusan Menkes RI No.369/MENKES/SK/III/2007 tentang standar profesi
bidan, jenis dan indikasi, cara pemberian, cara pencabutan dan efek samping berbagai
kontrasepsi yang digunakan antara lain pil, suntik, AKDR, alat kontrasepsi bawah kulit
(AKBK), kondom, tablet vagina dan tisu vagina. (Supari, 2007).
Kontrasepsi mantap (kontap) dilakukan dengan cara mengikat atau memotong saluran
telur (pada wanita, disebut tubektomi) atau saluran sperma (pada pria, disebut vasektomi).

Bioetika Keperawatan/2/6/2018 10
(Anonim, 2008). Vasektomi adalah pengangkatan duktus (vas) deferens atau sebagian darinya
secara bedah. (Dorland, 2002). Vasektomi berguna untuk menghalangi transport spermatozoa di
pipa-pipa sel mani pria. (Anonim, 2008). Tubektomi adalah pengangkatan bedah tuba uterina.
(Dorland, 2002). Kontra indikasi bagi vasektomi adalah radang di sekitar skrotum, hernia,
diabetes melitus, kelainan mekanisme pembekuan darah, dan kejiwaan tidak stabil. Kontra
indikasi bagi tubektomi adalah penderita dengan penyakit jantung, paru-paru, hernia, pernah
dioperasi di daerah perut, berat badan lebih dari 70 kg, dan pasangan yang masih ragu
menggunakan metode ini. (Anonim, 2008).
Alat kontrasepsi hormonal mengandung hormon-hormon reproduksi wanita. Alat
kontrasepsi hormonal mencegah proses pematangan sel telur sehingga tidak bisa dibuahi.
Metode kontrasepsi ini terdiri dari jenis pil, suntikan, dan susuk. (Anonim, 2008). Kontra
indikasi pil adalah penderita sakit kuning, kelainan jantung, varises, hipertensi, diabetes,
migrainm, dan pendarahan tanpa sebab yang jelas. Kontra indikasi suntik adalah ibu hamil,
penderita tumor/kanker, penyakit jantung, hati, hipertensi, diabetes, dan penyakit paru-paru.
Kontra indikasi susuk adalah penderita tumor, gangguan jantung, hati, hipertensi, diabetes, usia
>35 tahun, dan pendarahan tanpa sebab yang jelas. Wanita yang belum mempunyai anak tidak
dianjurkan menggunakan susuk KB. (Anonim, 2008).
Menurut etika kedokteran, pelaksanaan kontrasepsi dapat dilaksanakan, walaupun
penggunaan AKDR dan kontap menimbulkan berbagai pertentangan. Belakangan, AKDR
terutama yang mengandung copper berfungsi sebagai kontrasepsi, bukan hanya mencegah
nidasi. Dari segi hukum, kontap dapat dianggap melanggar KUHP pasal 354 yang melarang
usaha pencegahan kehamilan dan melanggar pula pasal 351 karena merupakan mutilasi alat
tubuh. Namun, karena KB telah menjadi program pemerintah, maka terhadap hal ini dapat
dibuat pengecualian. (Hanafiah et. al., 1999).
Pemilihan metode kontrasepsi yang tepat sebaiknya didasarkan pada tujuan berkontrasepsi,
kontra indikasi, dan hak autonomi pasien berdasarkan Kaidah Dasar Bioetik. Pasien dapat
memilih sendiri metode kontrasepsi yang diinginkan, sedangkan dokter hanya dapat
menyarankan.
Sejalan dengan perkembangan ilmu kedokteran, metode KB steril ini ternyata tidak sepenuhnya
permanen, karena saluran yang diikat masih mempunyai kemungkinan rekanalisasi seperti
semula, baik buatan maupun spontan.
Menurut etika, hukum, dan agama, kontrasepsi steril / kontrasepsi mantap (kontap)
diperbolehkan, dan tidak mempunyai ganjalan baik dari segi etika, hukum, dan agama.
Penggunaan metode kontrasepsi dilakukan berdasarkan tujuan penggunaan KB, kontra
indikasi metode kontrasepsi, dan hak autonomi pasien berdasarkan Kaidah Dasar bioetik (KDB).
Calon akesptor KB dalam kasus ini berniat untuk tidak mempunyai anak lagi, bukan mengatur
waktu dan jarak kelahiran, sehingga dokter menyarankan agar calon akseptor menggunakan
metode kontap (steril). Disamping itu, calon akseptor KB dalam kasus ini mungkin saja
mempunyai kontra indikasi terhadap metode kontrasepsi hormonal, sehingga dokter
menyarankan agar calon akseptor menggunakan metode KB steril (kontap).

Daftar Pustaka
1. Anonymous. 2009. Medical Ethics. Diakses dari Wikipedia tanggal 18 Juni 2009
2. Husairi, A. 2008. Materi Kuliah Kaidah Dasar Bioetik dan Pemecahan Masalah/Dilema Etik Menggunakan
Prima Facie. Banjarmasin : Bagian EHK FK Unlam
3. William, JR. 2006. Medical Ethics Manual(Panduan Etika Medis Disertai dengan Studi Kasus Etika Pelayanan
Medis Sehari-hari). Yogyakarta : Pusat Studi Kedokteran Islam Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.

Bioetika Keperawatan/2/6/2018 11

Anda mungkin juga menyukai