Anda di halaman 1dari 20

ATRESIA ANI

1. PENGERTIAN.
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya
lubang atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz, dkk. 2002).
Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan,
yaitu:
1) Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus
2) Membran anus yang menetap
3) Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacam-
macam jarak dari peritoneum
4) Lubang anus yang terpisah dengan ujung
Jadi menurut kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan congenital
anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena
terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun
kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa
terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.

2. ETIOLOGI
Penyebab atresia ani belum diketahui secara pasti tetap ini merupakan
penyakit anomaly kongenital (Bets. Ed 3 tahun 2002)
Akan tetapi atresia juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain:
a) Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
b) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
c) Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, Kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan.
d) Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot
dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter mungkin tidak
memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen
autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak
diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan
dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang
sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas
kromosom, atau kelainan kongenital lainjuga beresiko untuk menderita atresia
ani (Purwanto, 2001)..

3. PATOFISIOLOGI
Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :
a) Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara
komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari
tonjolan embrionik
b) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur
c) Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada
kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau
tiga bulan
d) Berkaitan dengan sindrom down
e) Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
f) Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan
abnormalitas pada uretra dan vagina.
g) Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan fecal tidak
dapat dikeluarkan sehingga intenstinal menyebabkan obstruksi.
Terdapat tiga macam letak :
a. Tinggi.
b. Intermediate
c. Rendah
(http://ilmubedah.wordpress.com/2010/02/23/atresia-ani/)

4. KLASIFIKASI
Melbourne membagi berdasarkan garis pubocoxigeus dan garis yang
melewati ischii kelainan disebut :
a) Letak tinggi, (supralevator) rektum berakhir di atas M.Levator ani
(m.puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit
perineum >1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran
kencing atau saluran genital
b) Letak intermediet, rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak
menembusnya.
c) Letak rendah, rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara
kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm. Pada wanita 90% dengan fistula ke
vagina/perineum. Pada laki-laki umumnya letak tinggi, bila ada fistula ke
traktus urinarius.
PATHWAY
5. TANDA DAN GEJALA
Menurut Ngastiyah ( 1997 ) gejala yang menunjukan terjadinya atresia
ani atau anus imperforata terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu dapat
berupa:
1) Perut kembung.
2) Muntah.
3) Tidak bisa buang air besar
4) Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat
sampai dimana terdapat penyumbatan.
5) Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium
(mengeluarkan tinja yang menyerupai pita).
6) Perut membuncit.
Tanda dan gejala Menurut Betz, dkk. 2002 :
a. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
b. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
c. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
d. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada
fistula).
e. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
f. Pada pemeriksaan rectal touch terdapat adanya membran anal.
g. Perut kembung. ( Betz, dkk. 2002)

6. PENATALAKSANAAN
1) Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan
keparahan kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur
pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan kolostomi beberapa lahir,
kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan
perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini
dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis
untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang.
Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badan
dan bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan diatas dengan menarik
kantong rectal melalui afingter sampai lubang pada kulit anal fistula, bila ada
harus tutup kelainan membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan
yang minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau skapel.
2) Pengobatan.
a. Aksisi membran anal (membuat anus buatan)
b. Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan
dilakukan korksi sekaligus (pembuat anus permanen)
3) Keperawatan
Kepada orang tua perlu diberitahukan mengenai kelainan pada
anaknya dan keadaan tersebut dapat diperbaiki dengan jalan operasi. Operasi
akan dilakukan 2 tahap yaitu tahap pertama hanya dibuatkan anus buatan dan
setelah umur 3 bulan dilakukan operasi tahapan ke 2, selain itu perlu
diberitahukan perawatan anus buatan dalam menjaga kebersihan untuk
mencegah infeksi serta memperhatikan kesehatan bayi. (Staf Pengajar FKUI.
205).

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1) Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang


umum dilakukan pada gangguan ini. Pemeriksaan fisik rectum kepatenan
rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
2) Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel
mekonium.
3) Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat
menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada
mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
4) Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.
Ultrasound terhadap abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ
internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor
reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
5) Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum
tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat
jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
6) Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan udara dalam usus berhenti tiba-tiba
yang menandakan obstruksi di daerah tersebut. Tidak ada bayangan udara
dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan gambaran ini harus dipikirkan
kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus
impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.Dibuat
foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan
kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah
antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat
diukur.
7) Sinar X terhadap abdomen, dilakukan untuk menentukan kejelasan
keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum
dari sfingternya.
8) Ultrasound terhadap abdomen, digunakan untuk melihat fungsi organ internal
terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible
seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
9) CT Scan, digunakan untuk menentukan lesi.
10) Pyelografi intra vena, digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
11) Pemeriksaan fisik rectum, kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur
dengan menggunakan selang atau jari.
12) Rontgenogram abdomen dan pelvis, juga bisa digunakan untuk
mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.
8. PROGNOSIS
Sebagian besar prognosis dari atresia ani biasanya baik bila didukung
perawatan yang tepat dan juga tergantung kelainan letak anatomi saat lahir.
Untuk anak-anak yang memiliki hasil yang buruk untuk kontinensia dan sembelit
dari operasi awal, operasi lebih lanjut untuk lebih membentuk sudut antara anus
dan rektum dapat meningkatkan penahanan dan, bagi mereka dengan rektum
besar, operasi untuk mengangkat bahwa segmen membesar secara signifikan
dapat meningkatkan kontrol usus untuk pasien. Mekanisme enema antegrade
dapat dibentuk dengan bergabung lampiran ke kulit (Malone stoma), namun,
mendirikan anatomi lebih normal adalah prioritas.
Biasanya dokter dapat membuat diagnosis visual yang jelas atesia dubur
setelah lahir. Kadang-kadang, bagaimanapun, atresia anus yang tidak terjawab
sampai bayi makan dan tanda-tanda obstruksi usus muncul. Pada akhir hari
pertama atau kedua, perut membengkak dan ada muntah feces. Untuk
menentukan jenis atresia anal dan posisi yang tepat, sinar x akan diambil yang
meliputi menyuntikkan pewarna ke dalam pembukaan buram. Magnetic
Resonance Imaging (MRI) atau computed tomography scan (CT), serta USG,
adalah teknik pencitraan yang digunakan untuk menentukan jenis dan ukuran
atresia anus. USG menggunakan gelombang suara, CT scan sinar x lulus melalui
tubuh pada sudut yang berbeda, dan MRI menggunakan medan magnet dan
gelombang radio.

9. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
1) Asidosis hiperkioremia.
2) Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
3) Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
4) Komplikasi jangka panjang.
- Eversi mukosa anal
- Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis)
5) Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
6) Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
7) Prolaps mukosa anorektal.
8) Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi).
(Ngustiyah, 1997 : 248)

10. PEMERIKSAAN FISIK

Pengkajian pada anak-anak dengan orang dewasa memiliki beberapa perbedaan.

Identitas

1. Nama pasien
2. Nama Ortu
3. Pendidikan (pasien atau orang tua)
4. TTL
5. Umur : bayi-anak-anak
6. Jenis Kelamin : laki-laki >> perempuan
7. Alamat
8. Agama
9. Tanggal Masuk RS
10. Diagnosa Medis : Atresia Ani
o Riwayat kesehatan
11. Riwayat penyakit sekarang

Keluhan yang biasa muncul pada pasien dengan atresia ani : perut kembung, muntah-
muntah, dan tidak bisa BAB

1. Riwayat penyakit terdahulu

Antenatal : nutrisi ibu yang kurang, ibu mengkonsumsi obat-obatan saat trimester 1
kehamilan, ibu jarang tidak melaukan atau jarang melakukan control (ring ANC), dan
trauma fisik ibu.

Intenatal : bayi lahir dengan premature dengan kondisi kaki, badan lalu kepala yang
keluar.

Post natal : pemberian makanan yang kasar dan kurang serat bisa memperparah
kondisi pasien yang mengalami atrsia ani. Karena kondisi anus dengan lubang yang
kecil atau bahkan tidak ada lubang akan menyebabkan meconium keras.

1. Riwayat penyakit keluarga


Apakah ada keluarga yang dulunya pernah mengalami penyakit yang dapat
meningkatkan terjadinya atresia ani. Kejadian atresia ani akan meningkat pada pasien
yang memiliki saudara yang sebelumnya mengalami atresia ani.

1. Riwayat Imunisasi : riwayat imunisasi pada kejadian atresia ani kemungkinan


besar tidak berpengaruh karena atresia ani biasanya berhubungan genetic yang
terjadi pada anak sejak dia dalam kandungan.
2. Riwayat tumbuh kembang : untuk anak yang mengalami atresia ani akan
mengalami gangguan pada tahap tumbuh kembang toileting.
3. Riwayat Tumbang : anak yang mengalami atresia ani akan mengalami
gangguan pada fase anal yang berlangsung pada umur 1-3 tahun. Pengeluaran
feses yang ditandai dengan berkembangan kepuasan (katesis dan
ketidakpuasan (antikateksis) di sekitar fungsi eliminasi. Dengan buang air
besar akan timbul perasaan lega, nyaman, dan puas. Kepuasan tersebut
bersifat egosentrik, artinya anak mampu mengendalikan sendiri fungsi tubuh.
Namun, pada penderita atresia ani tidak akan merasakan lega, nyaman, dan
puas. (Sunaryo, 2004: 39)
4. Genogram : tidak ada anggota keluarga yang menderita atresia ani
sebelumnya

Generasi I: meninggal tidak diketahui penyebabnya oleh klien.

Generasi II: meninggal tanpa sakit.

Dalam keluarga tidak ada penyakit keturunan.

Pola fungsi kesehata

Pola GORDON

1. Pola persepsi terhadap kesehatan

Pasien belum bisa mengucapkan secara verbal apa yang dirasakan saat ini, namun
saat bayi merasa sakit atau nyeri biasa akan menangis.

2. Pola aktifitas kesehatan/latihan

Bayi akan terlihat lemah dan cemas karena atresia ani.


3. Pola istirahat/tidur

Karena pasien bisa mengalami konstipasi dan perut kembung pola istirahatnya
akan terganggu. Terutama pos operasi yang bisa menimbulkan rasa nyeri pada anak
ataupasien. Informasi bisa diperoleh dari keterangan keluarga jika pasiennya bayi

4. Pola nutrisi metabolik

Pasien mengkonsumsi ASI eksklusif atau susu pendamping ASI atau makanan
yang dikonsumsi anak.

5. Pola eliminasi

Klien tidak dapat buang air besar dan atau dalam urin ada mekonium.

6. Pola kognitif perseptual

Pasien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi dengan baik


pada orang lain karena usianya yang masih bayi. Jika pasiennya anak-anak yang
sudah mampu berkomunikasi, bagaimana cara dia mengungkapkan rasa tidak
nyamannya atau nyeri yang dirasakan.

7. Pola konsep diri

Pola ini terdiri dari identitas diri, ideal diri, gambaran diri, peran diri dan harga
diri.

8. Pola seksual Reproduksi

pasien masih bayi dan belum menikah

9. Pola nilai dan kepercayaan

Bayi tidak bisa dikaji pola nilai dan kepercayaannya karena masih ana-anak.

10. Pola peran hubungan

Pasien bayi akan memiliki hubungan yang dekat dengan ibunya. Sehingga saat
berada didekat ibunya pasien akan merasa lebih tenang.
11. Pola koping

Pasien anak-anak akan menangis untuk menunjukan apa yang dirasakan supaya
mendapat bantuan atau pertologan dari sekitarnya.

Head to toe

1. Tanda-tanda vital

Nadi
Respirasi
Suhu axila

2. Kepala

Kepala simetris, tidak ada lesi, kulit kepala bersih, , tidak ada caput succedanium, dan
tidak ada chepal hematom.

3. Mata

Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan pada subkonjungtiva, tidak


ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus, pada pasien atresia ani biasanya
conjungtiva agak pucat.

4. Hidung

Simetris, bersih, tidak ada luka atau secret, tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak
ada pus dan lendir.

5. Mulut

Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak macroglosus, tidak Cheilochisis.

6. Telinga

Telinga simetris dan matur tulang kartilago berbentuk sempurna.

7. Leher

Tidak ada webbed neck.

8. Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel shest, pernafasan
normal.

9. Jantung

Tidak terdengarmur-mur atau suara abnormal lainnya saat auskultasi dan frekuensi
jantung teratur .

10. Abdomen

Simetris, tidak ada massa atau tumor , tidak terdapat perdarahan pada umbilicus,
terdengar suara hiperperistaltik. Pada pemeriksaan palpasi pada daerah usus akan
terdengar pekak (konstipasi).

11. Genitalia

Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis, tidak ada hipospandia pada
penis, tidak ada hernia sorotalis. Pada penderita atresia ani bisa terjadi meconium
keluar bersamaan dengan urin.

12. Anus

Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar, kadang-kadang tampak ileus
obstruksi. Thermometer yang dimasukan kedalam anus tertahan oleh jaringan.

13. Ektrimitas atas dan bawah

Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan maupun kaki dan

kukunya tampak agak pucat.

14. Punggung

Tidak ada penonjolan spina gifid.

15. Pemeriksaan Reflek

Suching +
Rooting +
Moro +
Grip +
Plantar +
11. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi ekskretorik) berhubungan dengan tidak
lengkapnya pembentukan anus.
2) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi.
3) Resiko infeksi beerhubungan dengan prosedur pembedahan
4) Kecemasan keluarga berhubungan dengan prosedur permbedahan dan kondisi
bayi
5) Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kebutuhan keperwatan dirumah
dan pembedahan.

12. INTERVENSI
Menurut NIC ; 2006 dan NOC ; 2006
a. Pra bedah
1. Dx 1 : Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
melalui rute abnormal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses Keperawatan
diharapkan kebutuhan cairan dan elektrolit pasien adekuat.
NOC : Fluid Balance
Kriteria Hasil :
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, Bj urine normal HT
normal
b. TD, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
c. Tidak ada tanda, dehidrasi, alstisitas turgor kulit baik, membrane mukosa
lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
Intervensi :
a. Timbang popok / pembalut jika diperlukan
b. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
c. Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan
darah ortostatik)
d. Monitor TTV
e. Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
f. Kolaborasi pemberian cairan IV
g. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
h. Tawarkan snack / jus buah segar

2. Dx 2 : Kurang pengetahuan berhubunagn dengan keterbatasan paparan


Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan pasien tidak mengalami tanda-tanda infeksi.
NOC : Knowledge : Disease Process
Kriteria Hasil :
a. Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi,
prognosis dan program pengobatan
b. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara
benar.
c. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat /
tim kesehatan lainnya.
Intervensi :
a. Jelaskan patofisiolagi dari penyakit.
b. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit dengan cara yang
benar.
c. Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat..
d. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara yang tepat.
e. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah
komplikasi dimasa yang akan datang dan proses pengontrolan penyakit.

b. Pasca bedah
1. Dx 1 : Resiko infeksi berhubungan dengan trauma post op colostomy.
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan pasien tidak mengalami tanda-tanda infeksi.
NOC : Knowledge : Infection Control
Kriteria Hasil :
a. Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi.
b. Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi
penularan serta penatalaksanaannya.
c. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi.
d. Jumlah leukosit dalam batas normal.
e. Menunjukkan perilaku hidup sehat.
NIC : Infection Control
Intervensi :
a. Batasi pengunjung bila perlu.
b. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan.
c. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
d. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung.
e. Tingkatkan intake nutrisi.
f. Berikan terapi antibiotic bila perlu.

2. Dx 2 : Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik


Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan nyeri berkurang / hilang.
NOC : Pain Control
Kriteria Hasil :
a. Mengenal faktor penyebab
b. Mengenal serangan nyeri
c. Gunakan tindakan preventif
d. Gunakan tindakan pertolongan non analgetik
e. Gunakan analgetik yang tepat
NIC : Pain Management
Intervensi :
a. Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor presipitasi.
b. Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan.
c. Berikan dukungan terhadap pasien dan keluarga.
d. Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab, berapa lama terjadi dan
tindakan pencegahan.
e. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi.
f. Berikan analgetik sesuai anjuran.
g. Tingkatkan tidur istirahat yang cukup.
h. Monitor kenyamanan pasien terhadap management nyeri.
i. Libatkan keluarga untuk mengurangi nyeri.

3. Dx 3 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


ketidakmampuan dalam mencerna makanan
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi.
NOC : Nutritional Status
Kriteria Hasil :
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan.
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan.
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi.
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
NIC : Nutrition Management
Intervensi :
a. Kaji adanya alergi makanan.
b. Anjurkan pasien untuk meningkat intake Fe.
c. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake protein.
d. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
e. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi.
f. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien.

4. Dx 4 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan immobilisasi.


Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan tidak terjadi intoleransi aktivitas.
NOC : Activity Tolerance
Kriteria Hasil :
a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan TD,Nadi,RR.
b. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri
NIC : Activity Theraphy
Intervensi :
a. Kolaborasi dengan tenaga rehabilitas medik dalam merencanakan program terapi
yang tepat.
b. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang dapat dilakukan.
c. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas.
d. Bantu klien membuat jadwal latihan di waktu luang.

5. Dx 5 : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya insisi pembedahan.


Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan integritas kulit kembali baik / normal.
NOC : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
b. Tidak ada luka / lesi pada kulit
c. Perfusi jaringan baik
d. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya
cedera berulang
e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan
alami
NIC : Pressure Management
Intervensi :
a. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
b. Hindari kerutan pada tempat tidur
c. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
d. Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali
e. Monitor kulit akan adanya kemerahan
f. Oleskan lotion / minyak / baby oil pada daerah yang tertekan
g. Mandikan pasien dengan sabun dan air hangat.
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik.
Edisike-3. Jakarta : EGC.
Santosa,Budi . 2005 - 2006. Diagnosa Keperawatan NANDA . Jakarta : Prima
Medika.
Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.
Suriadi dan Yuliani, Rita. (2001). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I. Pt
FAJAR INTERPRATAMA
Wong, Donna L. (2003). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Sri
Kurnianianingsih (ed), Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC.
http://ilmubedah.wordpress.com/2010/02/23/atresia-ani/
http://dokumenperawat.blogspot.com/2012/09/laporan-pendahuluan-atresia-ani.html
http://sufyannanank.blogspot.com/2012/11/atresia-anus.html
http://firwanintianur93.blogspot.com/2013/04/laporan-pendahuluan-atresia-ani-
atau.htmltelah 3 bulan dilakukan korksi sekaligus (pembuat anus permanen)

Anda mungkin juga menyukai