Anda di halaman 1dari 25

PROSEDUR ISOLASI DAN RESTRAIN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak


Dosen Pengampu :

Disusun Oleh :

1. Ardi Saputra (PO.62.20.1.16.123)


2. Christina (PO.62.20.1.16.126)
3. Desty Natalia Damayanthi (PO.62.20.1.16.129)
4. Ernawati (PO.62.20.1.16.138)
5. Ferdinandus Iliomar Paulus (PO.62.20.1.16.141)
6. Icha Sevemy Febriana (PO.62.20.1.16.144)
7. Julyanto Putra Admaja (PO.62.20.1.16.148)
8. Selestia Rahmah (PO.62.20.1.16.160)
9. Yoga Deswantono (PO.62.20.1.16.166)
10. Zulfi Anan Winaldi (PO.62.20.1.16.169)

PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN REGULER 3


POLTEKKES KEMENKES PALANGKA RAYA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur, penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan

rahmat penulis dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Anak yang berjudul Prosedur

Restrain dan Isolasi. Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak lepas dari bantuan

berbagai pihak.

Penulis menyadari, makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi

sempurnanya makalah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi

pembaca.

Palangka Raya, November 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Depan ............................................................................................................. i


Kata Pengantar ............................................................................................................. ii
Daftar Isi ........................................................................................................................ iii
BAB I Pendahuluan ..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 1
BAB II Pembahasan .................................................................................................... 1
A. Pengertian ................................................................................................................ 1
B. Jenis Restraint ......................................................................................................... 1
1. Pembatasan Fisik ................................................................................................ 1
2. Pembatasan Mekanis ............................................................................................ 3
3. Surveilans Teknologi ........................................................................................... 5
4. Pembatasan Kimia ............................................................................................... 5
5. Pembatasan Psikologis ......................................................................................... 6
C. Indikasi ..................................................................................................................... 6
D. Dampak Negatif Penggunaan Restraint ................................................................... 8
1. Dampak fisik ........................................................................................................ 8
2. Dampak psikologis............................................................................................... 8
E. Aspek Etis ................................................................................................................. 9
F. Panduan..................................................................................................................... 10
G. Evaluasi Panduan / Kebijakan.................................................................................. 18
BAB III Penutup .......................................................................................................... 21
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 21
B. Saran ........................................................................................................................ 21
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Panduan ini dapat diaplikasikan pada semua sarana kesehatan yang mempunyai
layanan/ fasilitas keperawatan. Panduan ini biasanya diterapkan oleh perawat
penanggungjawab pasien, mahasiswa keperawatan, dan asisten tenaga kesehatan. Panduan ini
diaplikasikan kepada pasien dewasa, geriatri, dan sebagainya. Pengambilan keputusan untuk
pengaplikasian restraint sebaiknya dibicarakan didiskusikan bersama (kapanpun
memungkinkan) dengan pasien, kerabat, keluarga, dan dokter penanggungjawab pasien;
kecuali pada kondisi emergensi. Perlu diingat akan pentingnya melibatkan suatu tim
multidisiplin, termasuk profesional kesehatan lainnya yang terkait, yang dapat membantu dan
mendukung perawatan pasien.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari restraint ?
2. Apa saja kondisi atau situasi yang memperbolehkan penggunaan restraint secara legal
dan etis ?
3. Bagaimana cara untuk meminimalisasi risiko yang dapat terjadi akibat penggunaan
restraint ?

C. Tujuan Penulisan
1. Membantu staf untuk memahami akan arti restraint.
2. Membantu memberikan layanan kesehatan yang terbaik untuk pasien.
3. Menyediakan pelayanan yang terpusat kepada pasien, memastikan keselamatan pasien
dan meminimalisasi penggunaan restraint.
4. Memahami kondisi / situasi yang memperbolehkan penggunaan restraint secara legal
dan etis.
5. Memahami cara untuk meminimalisasi risiko yang dapat terjadi akibat penggunaan
restraint.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Pengertian dasar restraint merupakanmembatasi gerak atau membatasi kebebasan.
Pengertian secara internasional: restraint adalah suatu metode / cara pembatasan / restriksi
yang disengaja terhadap gerakan / perilaku seseorang. Dalam hal ini, perilaku yang
dimaksudkan adalah tindakan yang direncanakan, bukan suatu tindakan yang tidak disadari /
tidak disengaja / sebagai suatu refleks. Pengertian lainnya: restraint adalah suatu tindakan
untuk menghambat / mencegah seseorang melakukan sesuatu yang diinginkan.
Definisi restraint ini berlaku untuk semua penggunaan restraint di unit dalam rumah sakit.
Pada umumnya, jika pasien dapat melepaskan suatu alat yang dengan mudah, maka alat
tersebut tidak dianggap sebagai suatu restraint.
Isolasi / pengasingan adalah suatu tindak pengasingan terhadap pasien di dalam suatu
ruangan dimana pasien tinggal sendiri dan dicegah secara fisik untuk meninggalkan ruangan
tersebut. Isolasi hanya digunakan untuk tujuan penanganan tindakan yang membahayakan
diri sendiri dan atau orang lain. Ruang isolasi ini harus dipastikan untuk selalu terkunci.
Seorang pasien yang dipisahkan sendirian dalam suatu ruangan yang tidak dikunci
tidak tergolong sebagai isolasi. Pengasingan pasien di suatu unit / ruang rawat yang dikunci
bersama-sama dengan pasien lainnya juga tidak tergolong isolasi. Timeout tidak dianggap
sebagai isolasi. Timeout adalah suatu intervensi dimana pasien setuju untuk ditempatkan
sendirian dalam suatu area / ruangan dalam kurun waktu tertentu dan pasien tidak dicegah
secara fisik untuk meninggalkan ruangan. Pasien dapat meninggalkan ruangan dengan bebas.

B. Jenis Restraint
1. Pembatasan Fisik
a. Melibatkan satu atau lebih staf untuk memegangi pasien, menggerakkan pasien,
atau mencegah pergerakan pasien.
b. Jika pasien dapat dengan mudah meloloskan diri / melepaskan diri dari pegangan
staf, maka hal ini tidak dianggap sebagai suatu restraint.
c. Pemegangan fisik: biasanya staf memegangi pasien dengan tujuan untuk
melakukan suatu pemeriksaan fisik / tes rutin. Namun, pasien berhak untuk
menolak prosedur ini.
i. Memegangi pasien dengan tujuan untuk membatasi pergerakan pasien dan
berlawanan dengan keinginan pasien termasuk suatu bentuk restraint.
ii. Pemegangan pasien secara paksa saat melakukan prosedur pemberian obat
(melawan keinginan pasien) dianggap suatu restraint. Sebaiknya, kalaupun
terpaksa memberikan obat tanpa persetujuan pasien, dipilih metode yang
paling kurang bersifat restriktif / sesedikit mungkin menggunakan
pemaksaan.
iii. Pada beberapa keadaan, dimana pasien setuju untuk menjalani prosedur /
medikasi tetapi tidak dapat berdiam diri / tenang untuk disuntik / menjalani
prosedur, staf boleh memegangi pasien dengan tujuan prosedur / pemberian
medikasi berjalan dengan lancar dan aman. Hal ini bukan emrupakan
restraint.
iv. Pemegangan pasien, biasanya anak / bayi, dengan tujuan untuk menenangkan
/ memberi kenyamanan kepada pasien tidak dianggap sebagai suatu restraint.
2. Pembatasan Mekanis
a. Melibatkan penggunaan suatu alat.
b. Misalnya:
i. Penggunaan sarung tangan khusus di ruang rawat intensif (Intensive Care
Unit ICU)
ii. peralatan sehari-hari: ikat pinggang / sabuk untuk mencegah pasien jatuh dari
kursi, penggunaan pembatas di sisi kiri dan kanan tempat tidur (bedrails)
untuk mencegah pasien jatuh/ turun dari tempat tidur.
a) Penggunaan side rails dianggap berisiko, terutama untuk pasien geriatri
dan disorientasi. Pasien geriatri yang rentan berisiko terjebak diantara
kasur dan side rails. Pasien disorientasi dapat menganggap ide rails
sebagai penghalang untuk dipanjati dan dapat bergerak ke ujung tempat
tidur untuk turun dari tempat tidur. Saat pasien berusaha turun dari tempat
tidur dengan menggunakan segala cara, pasien berisiko terjebak,
tersangkut, atau jatuh dari tempat tidur dengan kemungkinan mengalami
cedera yang lebih berat dibandingkan tanpa menggunakan side rails.
b) Penggunaan side rails harus mempunyai keuntungan yang melebihi
risikonya.
c) Namun, jika pasien secara fisik tidak mampu turun dari tempat tidur,
penggunaan side rails bukan merupakan restraint karena penggunaan side
rails tidak berdampak pada kebebeasan bergerak pasien
d) Penggunaan restraint pada pasien yang memerlukan mobilisasi rutin
(untuk melancarkan sirkulasi dan mencegah ulkus dekubitus) merupakan
suatu intervensi untuk melindungi pasien dari risiko jatuh, dan hal ini
tidak dianggap sebagai restraint.
e) Penggunaan side rails pada pasien kejang untuk mencegah pasien jatuh /
cedera tidak dianggap sebagai restraint
iii. Pengontrolan kebebasan gerak pasien: penggunaan kunci, penyekat, tombol
pengatur, dan sebagainya.
c. Berikut adalah alat dan metode yang tidak termasuk sebagai restraint. Metode /
alat ini sering digunakan pada perawatan medis atau bedah.
i. Penggunaan papan fiksasi infus di tangan pasien, bertujuan untuk stabilisasi
jalur intravena (IV). Namun, jika papan fiksasi ini diikat ke tempat tidur atau
keseluruhan lengan pasien diimobilisasi sehingga pasien tidak dapat
mengakses bagian tubuhnya secara bebas, maka penggunaan papan ini
dianggap sebagai restraint
ii. Penggunaan alat pendukung mekanis untuk memperoleh posisi tubuh tertentu
pada pasien, membantu keseimbangan / kesegarisan sehingga mempermudah
mobilitas pasien. Misalnya: penyangga kaki, leher, kepala, atau punggung
iii. Alat untuk memposisikan atau mengamakan posisi pasien, membatasi
pergerakan pasien, atau secara temporer mengimobilisasi pasien selama
menjalani prosedur medis, gigi, diagnostik, atau bedah.
iv. Pemulihan dari pengaruh anestesia yang terjadi saat pasien berada dalam
perawatan ICU atau ruang perawatan pasca anestesi dianggap sebagai bagian
dari prosedur pembedahan sehingga penggunaan alat seperti bedrails untuk
kondisi pasien tidak dianggap bukan suatu restraint.
v. Beragam jenis sarung tangan untuk pasien tidak dianggap sebagai suatu
restraint. Namun, jika sarungt angan ini diikat / ditempelkan ke tempat tidur /
menggunakan fiksator pergelangan tangan bersamaan dengan sarung tangan
dapat dianggap sebagai suatu restraint. Jika sarung tangan tersebut dipakai
dengan cukup ketat/ kencang hingga menyebabkan tangan / jari pasien tidak
dapat bergerak, hal ini dapat dianggap sebagai restraint. Penggunaan sarung
tangan yang tabal / besar juga dianggap sebagai restraint jika menghambat
pasien dalam menggunakan tangannya.
3. Surveilans Teknologi
a. Teknologi yang digunakan dapat berupa: balut tekan (pressure pads), gelang
pengenal, televisi sirkuit tertutup, atau alarm pada pintu. Kesemuanya ini sering
digunakan oleh staf untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap pasien yang
mencoba untuk keluar / kabur atau untuk memantau pergerakan pasien.
b. Metode ini sering diterapkan dalam program perencanaan keperawatan pasien,
yang disesuaikan dengan kebijakan organisasi dan mempunyai asesmen risiko
serta panduan yang jelas
4. Pembatasan Kimia
a. Melibatkan penggunaan obat-obatan untuk membatasi pasien.
b. Obat-obatan dianggap sebagai suatu restraint hanya jika penggunaan obat-obatan
tersebut tidak sesuai dengan standar terapi pasien dan penggunaan obat-obatan ini
hanya ditujukan untuk mengontrol perilaku pasien / membatasi kebebasan
bergerak pasien.
c. Obat-obatan ini dapat merupakan obat-obatan yang secara rutin diresepkan,
termasuk obat yang dijual bebas
d. Pemberian obat-obatan sebagai bagian dari tata laksana pasien tidak dianggap
sebagai restraint. Misalnya obat-obatan psikotik untuk pasien psikiatri, obat
sedasi untuk pasien dengan insomnia, obat anti-ansietas untuk pasien dengan
gangguan cemas, atau analgesik untuk mengatasi nyeri.
e. Kriteria untuk menentukan suatu penggunaan obat dan kombinasinya tidak
tergolong restraint adalah:
i. Obat-obatan tersebut diberikan dalam dosis yang sesuai dan telah disetujui
oleh Food and Drug Administration (FDA) dan sesuai dengan indikasinya
ii. Penggunaan obat mengikuti / sesuai dengan standar praktik kedokteran yang
berlaku
iii. Penggunaan obat untuk mengobati kondisi medis tertentu pasien didasarkan
pada gejala pasien, keadaan umum pasien, dan pengetahuan klinisi / dokter
yang merawat pasien.
iv. Penggunaan obat tersebut diharapkan dapat membantu pasien mencapai
kondisi fungsionalnya secara efektif dan efisien
v. Jika secara keseluruhan efek obat tersebut menurunkan kemampuan pasien
untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya secara efektif, maka obat
tersebut tidak digunakan sebagai terapi standar untuk pasien.
f. Tidak diperbolehkan menggunakan pembatasan kimia (obat sebagai restraint)
untuk tujuan kenyamanan staf, untuk mendisiplinkan pasien, atau sebagai metode
untuk pembalasan dendam.
g. Efek samping penggunaan obat haruslah dipantau secara rutin dan ketat
h. Contoh kasus: seorang pasien menjalani program detoksifikasi. Selama terapi ini,
pasien menjadi agresif dan agitatif. Staf meresepkan obat yang bersifat pro re
nata(kalau perlu) untuk mengatasi perilaku agitasi pasien. Penggunaan obat ini
membantu pasien untuk berinteraksi dengan orang lain dan berfungsi dengan
lebih efektif. Obat untuk mengatasi perilaku agitasi pasien ini merupakan standar
terapi untuk menangani kondisi medis pasien (misalnya: gejala withdrawal akibat
alkohol / narkotika). Dalam kasus ini, penggunaan obat tidak dianggap sebagai
restraint.
5. Pembatasan Psikologis
a. Dapat meliputi: pemberitahuan secara konstan / terus-menerus kepada pasien
mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan atau memberitahukan bahwa pasien
tidak diperbolehkan melakukan hal-hal yang mereka inginkan karena tindakan
tersebut berbahaya.
b. Pembatasan ini dapat juga berupa pembatasan pilihan gaya hidup pasien, seperti:
memberitahukan kepada pasien mengenai waktu tidur dan waktu bangunnya.
c. Contoh lainnya: pembatasan benda-benda / peralatan milik pasien, seperti:
mengambil alat bantu jalan pasien, kacamata, pakaian sehari-hari, atau
mewajibkan pasien menggunakan seragam rumah sakit dengan tujuan mencegah
pasien untuk kabur / keluar

C. Indikasi
1. Pasien menunjukkan perilaku yang berisiko membahayakan dirinya sendiri dan atau
orang lain
2. Tahanan pemerintah (yang legal / sah secara hukum) yang dirawat di rumah sakit
3. Pasien yang membutuhkan tata laksana emergensi (segera) yang berhubungan dengan
kelangsungan hidup pasien
4. Pasien yang memerlukan pengawasan dan penjagaan ketat di ruangan yang aman
5. Restraint atau isolasi digunakan jika intervensi lainnya yang lebih tidak restriktif tidak
berhasil / tidak efektif untuk melindungi pasien, staf, atau orang lain dari ancaman
bahaya
Indikasi ini diaplikasikan untuk:
1. Semua rumah sakit: rumah sakit layanan akut (acute care), layanan jangka panjang,
rumah sakit jiwa, rumah sakit anak dan bunda, dan rumah sakit kanker
2. Semua lokasi di dalam rumah sakit: semua jenis perawatan, termasuk ruang rawat
inap biasa, unit bedah/medis, ICU, IGD, forensik, ruang rawat psikiatri, ruang rawat
anak, dan sebagainya
3. Semua pasien di rumah sakit, tanpa melihat usia, yang memenuhi indiaksi.
4. Rumah perawatan di luar rumah sakit (rumah sendiri atau panti jompo).

Indikasi ini tidak spesifik terhadap prosedur medis tertentu, namun disesuaikan dengan
setiap perilaku individu dimana terdapat pertimbangan mengenai perlunya menggunakan
restraint atau tidak. Keputusan penggunaan restraint ini tidak didasarkan pada diagnosis,
tetapi melalui asesmen pada setiap individu secara komprehensif. Asesmen ini digunakan
untuk menentukan apakah penggunaan metode yang kurang restriktif memiliki risiko yang
lebih besar daripada risiko akibat penggunaan restraint. Asesmen komprehensif ini harus
meliputi pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi masalah medis yang dapat menyebabkan
timbulnya perubahan perilaku pada pasien. Misalnya: peningkatan suhu tubuh, hipoksia,
hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, interaksi obat, dan efek samping obat dapat
menimbulkan kondisi delirium, agitasi, dan perilaku yang agresif. Penanganan masalah medis
ini dapat mengeliminasi atau meminimalisasi kebutuhan akan restraint / isolasi.
Dalam banyak kasus, restraint dapat dihindari dengan melakukan perubahan yang positif
terhadap pemberian/ penyediaan pelayanan kesehatan dan menyediakan dukungan pada
pasien baik secara fisik maupun psikologis. Perlu dicatat bahwa pasien yang berkapasitas
mental baik dapat meminta sesuatu, seperti penggunaan sabuk / ikat pengaman atau bedrails
untuk meningkatkan rasa aman mereka. Meskipun hal ini mungkin tidak sejalan dengan
rekomendasi perawat, pilihan pasien haruslah dihormati dan diikutsertakan dalam
penyusunan / pembuatan rencana keperawatan pasien dan asesmen risiko.
Jika pasien tidak dapat memberikan persetujuan (consent), perawat seyogianya selalu
menjelaskan tindakan yang akan dilakukan, berikut membantu pasien untuk memahami dan
menyetujui tindakan tersebut. Suatu studi menyarankan bahwa penggunaan restraint pasien
yang delirium sekalipun, pasien tersebut akan sangat menghargai dan mengingat penjelasan
perawat mengenai kondisi pasien dan alasan pasien dilakukan restraint, terutama untuk
meyakinkan bahwa tindakan tersebut ditujukan untuk keselamatan pasien.
Salah satu cara untuk membantu tenaga kesehatan menghindari penggunaan restraint
adalah dengan menyediakan lingkungan perawatan yang berkesan positif. Berikut adalah
beberapa cara untuk menyediakan lingkungan yang positif:
1. Perawatan yang berpusat pada pasien, terutama yang mempunyai kebutuhan
dukungan
2. psikologis
3. Tingkat kebebasan dan risiko perawatan di rumah
4. Pencegahan kekerasan dan agresi
5. Pencegahan ide / tindakan bunuh diri dan melukai diri sendiri
6. Pengalaman pasien di ruang rawat intensif (ICU)
7. Pemenuhan kebutuhan pasien demensia di ruang rawat RS
8. Pencegahan dan penanganan delirium
9. Menjaga harga diri dan martabat pasien selama asuhan keperawatan
10. Pencegahan risiko jatuh

D. Dampak Negatif Penggunaan Restraint


1. Dampak fisik
a. Atrofi otot
b. Hilangnya / berkurangnya densitas tulang
c. Ulkus decubitus
d. Infeksi nosocomial
e. Strangulasi
f. Penurunan fungsional tubuh
g. Stress kardiak
h. Inkontinensia
2. Dampak psikologis
a. Depresi
b. Penurunan fungsi kognitif
c. Isolasi emosional
d. Kebingungan (confusion) dan agitasi
E. Aspek Etis
Setiap pasien berhak menerima pelayanan dalam kondisi lingkungan yang aman.
Keselamatan pasien, staf, atau orang lain merupakan dasar dalam menginisiasi dan
menghentikan penggunaan restraintatau isolasi. Semua pasien mempunyai hak kebebasan
bergerak dan terbebas dari kekerasan fisik / emosional. Semua pasien berhak untuk bebas dari
pengekangan (restraint) atau isolasi yang dipaksakan dalam bentuk apapun, seperti
pemaksaan, disiplin, atau sebagai wujud pembalasan dendam oleh staf. Pembatasan
(restraint) atau isolasi hanya boleh diterapkan untuk menjamin keamanan fisik pasien,
anggota staf, atau orang lain dan harus diberhentikan sesegera mungkin jika kondisi telah
memadai yang didasarkan pada asesmen per-individu dan re-evaluasi.
Dalam memenuhi kebutuhan setiap staf akan pentingnya minimalisasi penggunaan
restraint, saat initelah dikembangkan suatu strategi etika komprehensif. Strategi ini
mengharuskan tenaga kesehatan untuk memikirkan juga aspek etika dalam pengambilan
keputusan penggunaan restraint, dan bahwa aspek etika ini diaplikasikan dalam semua aspek
asuhan keperawatan di setiap fasilitas kesehatan.
Konsep etika dasar yang mendasari praktik keperawatan meliputi:
1. Kewajiban dan tugas: identifikasi kewajiban moral tenaga kesehatan terhadap orang
lain dapat membantu dalam menentukan tindakan terbaik apa yang seharusnya
dilakukan dalam situasi tersebut
2. Hindari bahaya: merupakan salah satu konsep etika yang paling penting dan menjadi
dasar
3. dalam mencapai praktik yang baik (ideal)
4. Asesmen terhadap konsekuensi tindakan: suatu tindakan yang diterima secara etis
dapat
5. ditentukan dengan melakukan kalkulasi terhadap keuntungan dan kerugiannya.
6. Otonomi dan hak pasien: menghargai hak pasien untuk membuat keputusan sendiri
dan
7. menghargai hak orang lain
8. Kepentingan yang terbaik: identifikasi dan bertindak yang terbaik sesuai dengan
kepentingan
9. orang lain merupakan suatu tindakan atau keputusan yang etis
10. Nilai moral dan kepercayaan: dari kedua hal ini dapat diformulasikan / disusun suatu
prinsip etik
Penyelesaian masalah etika dapat merupakan suatu hal yang sulit dan menantang. Dalam
pembuatan keputusan untuk melakukan pembatasan fisik (physical restraint), seringkali
sulit untuk mengindari bahaya (harm) karena baik dilakukan restraint atau tidak, hal ini
dapat membahayakan pasien. Perawat memiliki tanggungjawab terhadap seluruh pasien yang
berada dalam asuhan keperawatan mereka, dan jika ternyata pemberian izin kebebasan
bertindak kepada satu pasien dapat menyebabkan kerugian / membahayakan orang lain, maka
pengambil keputusan harus mempertimbangkan konsekuensi terhadap pengaplikasian
restraint atau tidak mengaplikasikan restraint.
Penggunaan restraint sebagai respons lini pertama tidaklah kondusif untuk lingkungan
sosial yang positif. Jika seseorang merasa mampu untuk melakukan sesuatu dan mereka tidak
dibatasi / dicegah untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan, maka mereka akan berada
dalam kondisi emosional yang lebih baik dalam jangka waktu yang cukup lama. Pembuatan
keputusan mengenai pilihan tindakan terbaik kepada pasien dapat menyulitkan tenaga
kesehatan. Sebagai bagian dari pelatihan dan pengembangan profesionalitas
berkesinambungan, perawat perlu mendiskusikan mengenai dilema yang terjadi antara teoritis
dan praktiknya. Kecuali dalam situasi emergensi, keputusan pengaplikasian restraint dan
kebijakan/ panduannya harus didiskusikan dengan tim multidisiplin dan melibatkan pasen
serta keluarganya, jika memungkinkan.

F. Panduan
1. Yang berwenang untuk membuat keputusan mengenai penggunaan restraint adalah
dokter penanggungjawab pasien.
a. Jika rumah sakit menggunakan protokol yang mencakup juga mengenai
penggunaan restraint / isolasi, instruksi spesifik dari dokter penanggungjawab
pasien tetap diperlukan setiap kali hendak mengaplikasikan restraint/ isolasi.
b. Jika dokter penanggungjawab pasien tidak hadir saat dibutuhkan instruksi, maka
tanggung jawab ini harus didelegasikan kepada dokter lainnya. Dokter yang
menerima delegasi nantinya akan mengkonsultasikan pasien kepada dokter
penangunggjawab via telepon.
2. Restraint / isolasi merupakan suatu hal yang tidak terjadi setiap waktu,bukanlah hal
yang rutin terhadap kondisi / perilaku tertentu pasien.
3. Setiap pasien harus dinilai dan intervensi yang diberikan haruslah sesuai dengan
kebutuhan dan kepentingan pasien
4. Restraint / isolasi ini berperan sebagai cara / alternatif terakhir jika metode yang
kurang restriktif lainnya tidak berhasil / tidak efektif untuk memastikan keselamatan
pasien, staf, atau orang lain. Oleh karena itu, restraint ini tidak boleh dianggap sebagai
prosedur / respons standar dalam penanganan pasien.
5. Instruksi mengenai penggunaan restraint / isolasi ini tidak boleh diberlakukan
sebagai instruksi pro re nata (jika perlu).
a. Setiap episode penggunaan restraint / isolasi harus dinilai dan dievaluasi serta
berdasarkan instruksi dokter.
b. Jika pasien akhir-akhir ini baru terbebas dari penggunaan restraint / isolasi dan
kemudian menunjukkan perilaku yang membahayakan dan hanya dapat diatasi
oleh re-aplikasi restraint / isolasi, diperlukan instruksi baru untuk melakukan re-
aplikasi.
c. Staf tidak boleh memberhentikan penggunaan restraint isolasi dan kemudian me-
reaplikasikannya kembali di bawah instruksi yang sama (sebelumnya).
6. Pengecualian:
a. Penggunaan side rails yang diindikasikan di rekam medis pasien. Jika status
pasien memerlukan penggunaan keempat side rails selama pasien di tempat tidur,
tidak diperlukan instruksi pro re nata. Tidak diperlukan instruksi baru setiap kali
pasien keluar / kembali ke tempat tidurnya.
b. Perilaku membahayakan diri sendiri. Jika pasien mengalami kondisi medis dan
psikiatri kronis, seperti Sindrom Lesch-Nyham, dimana pasien menunjukkan
perilaku membahayakan diri sendiri, suatu instruksi penggunaan restraint tidak
perlu diperbaharui setiap kalinya. Tujuan penggunaan restraint ini adalah untuk
mencegah cedera/bahaya pada diri sendiri.
7. Tidak terdapat kriteria mengenai perilaku apa saja yang dianggap membahayakan.
Keputusan mengenai perilaku berbahaya ini dibuat berdasarkan penilaian oleh dokter
(clinical judgement).
8. Instruksi penggunaan restraint / isolasi yang bertujuan untuk manajemen perilaku
destruktif/ membahayakan harus dievaluasi dalam kurun waktu tertentu, seperti
tercantum di bawah ini:
a. 4 jam untuk dewasa 18 tahun ke atas
b. 2 jam untuk anak dan remaja usia 9-17 tahun
c. 1 jam untuk anak < 9 tahun
9. Perlu diketahui: batas waktu evaluasi seperti yang disebutkan di atas tidak berlaku
pada kasus penggunaan restraint dengan tujuan manajemen perilaku non-destruktif.
10. Staf harus menilai dan memantau kondisi pasien secara berkala untuk memastikan
bahwapasien dapat dibebaskan dari restraint / isolasi pada waktu yang sedini
mungkin.
11. Restraint atau isolasi hanya boleh dilanjutkan selama kondisi membahayakan tersebut
masih berlangsung
12. Jika kondisi membahayakan tersebut telah teratasi, penggunaan restraint atau isolasi
harus segera dihentikan
13. Keputusan untuk menghentikan restraint harus berdasarkan pada pertimbangan
bahwa restraint / isolasi tidak lagi dibutuhkan atau bahwa kebutuhan pasien dapat
dipenuhi dengan metode yang kurang restriktif.
14. Suatu kondisi pembebasan restraint sementara yang diawasi secara langsung oleh staf
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien (seperti pergi ke kamar mandi,
makan, atau latihan gerak tubuh) tidak dianggap sebagai pemberhentian restraint.
Selama pasien berada dalam pengawasan langsung oleh staf, tidaklah dianggap
sebagai pemberhentian restraint karena pengawasan staf secara langsung dianggap
memiliki tujuan serupa dengan penggunaan restraint.
15. Pimpinan rumah sakit bertanggungjawab dalam menciptakan suatu budaya yang
mendukung hak pasien untuk terbebas dari restraint / isolasi. Pimpinan harus
memastikan sistem berjalan dengan baik, diimplementasikan, dan dievaluasi secara
rutin. Sistem ini membantu menetapkan standar pelayanan pasien sehingga jika secara
tidak langsung dapat meminimalisasi penggunaan restraint yang tidak tepat.
16. Penggunaan restraint disesuaikan dengan kebutuhan pasien, kondisi medis, riwayat
penyakit, daktor lingkungan, dan preferensi pasien.
17. Dalam mengaplikasikan restraint, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi,
yaitu:
a. Pengunaan restraint harus mempunyai batas waktu pemberlakuannya (maksimal
24 jam).
b. Pasien harus dievaluasi mengenai kondisi dan perlunya penggunaan restraint ini
untuk
dilanjutkan atau tidak. Batas waktu berlakunya restraint ini ditetapkan oleh rumah
sakit.
18. Jika batas waktu berlakunya instruksi restraint hampir berakhir, perawat yang
bertugas harus menghubungi dokter untuk melaporkan mengenai keadaan / kondisi
kinis serta hasil asesmen dan evaluasi terkini pasien, sekaligus menanyakan apakah
instruksi restraint ini akan dilanjutkan atau tidak (diperbaharui).
19. Untuk kasus aplikasi restraint pada pasien dengan perilaku destruktif:
a. Pasien harus ditemui dan dievaluasi secara langsung dalam waktu 1 jam setelah
diberlakukannya instruksi restraint oleh:
i. Dokter yang bertugas
ii. Perawat / asisten dokter yang terlatih
b. Dokter yang bertanggungjawab terhadap pasien harus menemui pasien secara
langsung dan melakukan asesmen dan evaluasi terhadap pasien sebelum menulis
instruksi baru mengenai penggunaan restraint / isolasi (dalam 24 jam). Evaluasi
ini berupa:
i. Kondisi umum pasien saat itu
ii. Anamnesis: riwayat penyakit pasien, riwayat obat-obatan
iii. pemeriksaan fisik
iv. hasil pemeriksaan penunjang
v. reaksi / respon pasien terhadap restrant / isolasi
vi. kondisi medis dan perilaku pasien
vii. perlu atau tidaknya untuk menghentikan / melanjutkan tindakan restraint /
isolasi
c. Evaluasi ini dilakukan untuk menentukan apakah restraint perlu dilanjutkan atau
tidak, faktor-faktor apa saja yang berkontribusi terhadap perilaku destruktif
pasien(misalnya interaksi obat, ketidakseimbangan elektrolit, hipoksia, sepsis),
dan apakah aplikasi restraint ini telah sesuai dengan indikasi.
d. Jika dalam suatu kondisi tidak tersedia dokter, makan evaluasi ini dapat dilakukan
oleh perawat / asisten dokter yang terlatih. Setelah evaluasi dilakukan, perawat /
asisten dokter harus segera menghubungi dokter yang bertanggungjawab terhadap
pasien.
Pelaporan ini harus meliputi (minimal):
i. hasil evaluasi pasien
ii. temuan-temuan terbaru mengenai kondisi pasien
iii. diskusi mengenai perlu atau tidaknya untuk melanjutkan aplikasi restraint
isolasi /
iv. diskusi mengenai perlunya intervensi / tata laksana lainnya
20. Kesemuanya ini harus dicatat dalam rekam medis pasien, termasuk hasil asesmen dan
evaluasi pasien dan alasan penggunaan restraint/isolasi.
21. Aplikasi restraint / isolasi harus sejalan / sesuai dengan modifikasi tertulis dalam
rencana asuhan keperawatan pasien.
a. Penggunaan restraint / isolasi (termasuk obat dan alat) harus didokumentasikan
dalam rencana perawatan / tata laksana pasien
b. Keputusan untuk menggunakan restraint / isolasi haruslah dicatat berikut alasan
yang mendasarinya. Pengambilan keputusan ini didasarkan pada asesmen dan
evaluasi pasien.
c. Rencana perawatan pasien harus ditinjau ulang dan diperbaharui dalam rekam
medis
d. sesuai dengan tanggal spesifik diberlakukannya suatu restraint / isolasi.
22. Penggunaan restraint / isolasi harus diimplementasikan dengan teknik yang benar dan
aman.
23. Penggunaan restraint / isolasi ini tidak boleh menjadi penghalang / penghambat
dalam pemberian penanganan / intervensi lai yang juga diperlukan oleh pasien.
24. Penggunaan restraint / isolasi harus sesuai dengan instruksi dari dokter yang
bertanggungjawab terhadap pasien Pada kondisi emergensi dimana penggunaan
restraint diperlukan segera sehingga akan terlalu lama jika menunggu instruksi/izin
dari dokter terlebih dahulu, instruksi tersebut harus diperoleh segera (dalam hitungan
menit) selama / setelah restraintdiaplikasikan.
25. Sebaiknya dipilih metode yang paling tidak restriktif dalam pengaplikasikan restraint,
tetapi harus tetap menjamin keselamatan pasien, staf, dan orang lain dari ancaman
bahaya.
26. Penggunaan restraint untuk mengontrol perilaku pasien tidak boleh dianggap sebagai
bagian dari pelayanan yang bersifat rutin
27. Penggunaan restraint untuk pencegahan jatuh tidak boleh dianggap sebagai bagian
yang rutin dalam program pencegahan jatuh.
28. Tidak ada bukti bahwa penggunaan mechanical restraint (termasuk bedrails) akan
mencegah atau mengurangi jatuh. Bahkan, kejadian jatuh yang terjadi pada pasien
yang dilakukan pembatasan mekanis sering menimbulkan cedera yang lebih berat.
Faktanya, di beberapa instansi, pengurangan dalam penggunaan pembatasan
mekanis dapat mengurangi risiko jatuh.
Contoh: pasien sindrom Sundowner, dimana gejala demensia pasien menjadi
lebih jelas dan nyata di sore hari daripada di pagi hari. Pasien tidak berperilaku agresif
atau berbahaya, namun pasien mengalami gangguan gaya berjalan yang tidak stabil
dan terus-menerus berusaha untuk turun dari tempat tidur bahkan setelah staf
menggunakan beberapa alternatif untuk menjaga pasien tetap berada di tempat
tidurnya. Tidak ada bahaya signifikan yang dihasilkan dari perilaku berkeliaran
pasien. Staf meminta dokter untuk meresepkan sedatif dosis tinggi untuk
menidurkan pasien dan menjaganya tetap di tempat tidur. Pasien tidak mempunyai
gejala / kondisi medis yang mengindikasikan perlunya menggunakan sedatif. Selain
itu, pada tempat tidur pasien juga dipasang bedrails. Penggunaan sedatif pada kasus
ini tergolong suatu restraint untuk pasien Pemberian obat sedasi (sebagai restraint)
dengan alasan bahwa pasien dapat jatuh akibat perilaku berkeliarannya ini bukanlah
suatu indikasi yang kuat. Sebenarnya, pada kasus ini, sedasi yang diberikan (restraint)
bertujuan untuk kenyamanan staf rumah sakit. Oleh karena itu, pemberian sedasi ini
dianggap kurang tepat. Saat menilai risiko jatuh pada pasien dan merencanakan
asuhan keperawatan, staf harus mempertimbangkan apakah pasien mempunyai
kondisi medis yang mengindikasikan kebutuhan akan intervensi protektif untuk
mencegah pasien berkeliaran atau turun dari tempat tidur. Riwayat jatuh tanpa adanya
penyakit medis yang mendasari tidak cukup kuat untuk mengindikasikan kebutuhan
akan restraint. Penting diingat bahwa unsur kenyamanan bukanlah alasan yang dapat
diterima untuk melakukan restraint terhadap pasien.
29. Restraint tidak boleh dianggap sebagai pengganti pemantauan pasien
30. Untuk menentukan perlu atau tidaknya menggunakan restraint, diperlukan suatu
asesmen pada setiap individu secara komprehensif untuk menentukan kebutuhan
akan restraintberikut jenis yang dipilih.
Asesmen ini harus meliputi pertanyaan di bawah ini (minimal):
a. Apakah terdapat intervensi / tindakan pencegahan yang aman (selain restraint)
yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko pasien mengalami cedera / berada
dalam kondisi yang membahayakan (misalnya terpeleset, tersandung, atau jatuh
jika pasien turun dari tempat tidur) ?
b. Apakah terdapat cara yang memungkinkan pasien untuk dapat bergerak dengan
aman?
c. Apakah terdapat alat bantu yang dapat mengingkatkan kemampuan pasien untuk
mandiri?
d. Apakah terdapat kondisi / obat-obatan pada pasien yang menyebabkan
ketidakseimbangan berjalan?
e. Apakah pasien bersedia untuk berjalan sambil dipapah / ditemani oleh staf?
f. Dapatkah pasien ditempatkan di kamar yang lebih dekat dengan pos perawat
dimana pasien tersebut dapat diobservasi dengan lebih baik?
31. Jika dalam asesmen terdapat suatu kondisi medis yang mengindikasikan perlunya
intervensi untuk melindungi pasien dari ancaman bahaya, sebaiknya menggunakan
metode yang paling tidak restriktif tetapi efektif.
32. Penggunaan restraint harus sesuai dengan prinsip etis seperti di bawah ini:
a. Beneficence: bertujuan untuk kepentingan pasien (bersifat menguntungkan
pasien)
b. Non-maleficence: tidak membahayakan pasien / merugikan pasien
c. Justice: memperlakukan semua pasien dengan setara dan adil
d. Autonomy: menghargai hak pasien dalam mengambil keputusan terhadap dirinya
sendiri
33. Dalam menggunakan restraint, harus dipertimbangkan antara risiko yang dapat timbul
akibat penggunaan restraint dengan risiko yang dapat timbul akibat perilaku pasien.
34. Permintaan keluarga / pasien untuk menggunakan restraint (yang dianggap
menguntungkan) bukanlah suatu hal yang dapat mendasari diaplikasikannya restraint.
Permintaan iniharuslah mempertimbangkan kondisi pasien dan asesmen pasien.
35. Jika telah diputuskan bahwa restraint diperlukan, dokter harus menentukan jenis
restraint apa yang akan dipilih dan dapat memenuhi kebutuhan pasien dengan risiko
yang paling kecil dan pilihan yang paling menguntungkan untuk pasien.
36. Staf harus mencatat di rekam medis pasien mengenai keputusan penggunaan restraint
dan jenisnya. Dituliskan juga bahwa restraint yang digunakan merupakan intervensi
yang paling tidak restriktif namun efektif untuk melindungi pasien dan penggunaan
restraint diputuskan berdasarkan asesmen per-individu.
37. Selama penggunaan restraint, pasien harus dipastikan memperoleh asesmen,
pemantauan, tata laksana, dan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
38. Prosedur yang harus diobservasi sebelum dan setelah aplikasi restraint:
a. Inspeksi tempat tidur, tempat duduk, restraint, dan peralatan lainnya yang akan
digunakan selama proses restraint mengenai keamanan penggunaannya
b. Jelaskan kepada pasien mengenai alasan penggunaan restraint
c. Semua objek / benda yang berpotensi membahayakan (seperti sepatu, perhiasan,
selendang, ikat pinggang, tali sepatu, korek api) harus disingkirkan sebelum
restraintdiaplikasikan
d. Setelah aplikasi restraint, pasien diobservasi oleh staf
e. Kebutuhan pasien, seperti makan, minum, mandi, dan penggunaan toilet akan
tetap dipenuhi
f. Secara berkala, perawat akan menilai tanda vital pasien, posisi tubuh pasien,
keamanan restraint, dan kenyamanan pasien.
g. Dokter harus diberitahu jika terdapat perubahan signifikan mengenai perilaku
pasien
39. Aplikasi restraint dan isolasi secara bersamaan:
a. Hanya diperbolehkan jika pasien dipantau secara terus-menerus oleh:
i. Staf bertugas yang berpengalaman dan terlatih
ii. Staf terlatih dan digunakan pemantauan dengan video dan audio atau
observasi secara langsung. Alat pantau ini harus berjarak dekat dengan
pasien.
b. Harus ada dokumentasi tertulis yang jelas mengenai alasan penggunaannya.
40. Dokumentasi meliputi:
a. Deskripsi kondisi pasien
b. Deskripsi perilaku pasien
c. Deskripsi alasan dan jenis penggunaan restraint / isolasi
d. Evaluasi perilaku dan kondisi medis pasien setelah pengaplikasian restraint /
isolasi
e. Intervensi alternatif / yang bersifat kurang restriktif yang telah dilakukan
f. Respons pasien terhadap intervensi yang digunakan, termasuk rasionalisasi
penggunaan restraint/ isolasi
41. Penggunaan borgol, atau alat restriktif lainnya yang dilakukan oleh petugas keamanan
pemerintah (non-rumah sakit) untuk tujuan penahanan, detensi, dan alasan keamanan
publik; dianggap sebagai alat pertahanan/ penegakan hukum dan tidak dianggap
sebagai suatu intervensi restraint dalam layanan kesehatan yang digunakan oleh staf
ruamh sakit untuk mengekang pasien.Petugas keamanan pemerintah yang bertugas
mengawasi secara langsung tahanan yang dirawat di rumah sakit bertanggungjawab
dalam penggunaan, aplikasi, dan pemantauan alat restriksi ini, disesuaikan juga
dengan hukum setempat yang berlaku. Namun, rumah sakit juga tetap
bertanggungjawab terhadap asesmen pasien yang adekuat dan tetap memperhatikan
keselamatan pasien serta menjaga pemberian tata laksana yang sesuai standar.
42. Rumah sakit sebaiknya mewajibkan staf yang terlibat (staf yang mengaplikasikan
restraint/ isolasi, staf yang bertugas memantau, menilai, atau memberikan pelayanan
kepada pasien) memiliki pengetahuan dan memperoleh pelatihan mengenai :
a. teknik untuk mengidentifikasi perilaku pasien, faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi, dan kejadian kejadian yang membutuhkan restraint / isolasi.
b. Cara untuk memilih intervensi apa yang paling tidak bersifat restriktif tapi efektif,
berdasarkan pada asesmen kondisi medis / perilaku pasien
c. Cara mengaplikasikan restraint dengan aman
d. Cara mengidentifikasi perubahan perilaku spesifik yang mengindikasikan bahwa
restraint / isolasi tidak lagi diperlukan
e. Pemantauan kondisi fisik dan psikologis pasien yang mengalami restraint /
diisolasi, termasuk status respirasi dan sirkulasi, integritas kulit, dan tanda vital
f. Teknik melakukan resusitasi jantung paru
43. Rumah sakit harus melaporkan kasus kematian yang berkaitan dengan penggunaan
restraint/ isolasi kepada pusat layanan kesehatan setempat. Pelaporan tersebut berupa:
a. Laporan kasus kematian yang terjadi saat pasien dilakukan restraint / isolasi
b. Laporan kasus kematian yang terjadi dalam 24 jam setelah pasien dibebaskan dari
restraint / isolasi.
c. Setiap kematian yang terjadi dalam waktu 1 minggu setelah pengaplikasian
restraint/ isolasi dimana terdapat pertimbangan bahwa restraint / isolasi ini
berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kematian
pasien.

G. Evaluasi Panduan / Kebijakan


1. Evaluasi kebijakan restraint / isolasi ini dilakukan untuk melihat apakah setidaknya
hal-hal di bawah ini terlaksana dengan baik:
a. Siapa yang berwenang untuk menghentikan penggunaan restraint / isolasi
b. Kondisi-kondisi dimana restraint / isolasi harus dihentikan
2. Peninjauan terhadap rekam medis pasien yang menjalani restraint dengan tujuan
untuk mengontrol perilaku yang membahayakan diri sendiri atau orang lain mencakup
hal-hal berikut ini:
a. Pasien yang pernah atau saat ini menggunakan restraint selama dirawat di rumah
sakit
b. Alasan-alasan sehingga penggunaan restraint disepakati, dan pertimbangan apa
yang ada untuk memutuskan bahwa cara/ metode lain yang lebih tidak restriktif
kurang efektif dibandingkan restraint
c. Wawancara staf yang terlibat secara langsung dengan pasien untuk mengetahui
sejauh apa yang mereka ketahui dan pahami mengenai kebijakan restraint dan
isolasi. Jika terdapat pasien yang saat itu menggunakan restraint, pastikan bahwa
telah sesuai dengan indikasi. Tanyakan juga mengenai kapan pasien dimonitor
dan diperiksa terakhir kali.
d. Apakah selama ini penggunaan restraint / isolasi tela sejalan dengan kebijakan
dan prosedur restraint yang berlaku di rumah sakit serta sesuai dengan kebijakan
pemerintah setempat?
e. Evaluasi mengenai laporan insidens yang terjadi di rumah sakit untuk
menentukan apakah cedera yang dialami oleh pasien terjadi sebelum atau selama
restraintdigunakan. Apakah insidens tersebut terjadi lebih sering pada pasien yang
dilakukan restraint?
f. Jika suatu tinjauan ulang terhadap rekam medis mengindikasikan bahwa pasien
yang menerima restraint mengalami cedera, tentukan apa yang telah dilakukan
oleh rumah sakit untuk mencegah terjadinya cedera berulang / berikutnya.
Tentukan apakah rumah sakit telahmelakukan modifikasi terhadap kebijakan
restraint / isolasi.
3. Kumpulkan data mengenai penggunaan restraint dan isolasi dalam kurun waktu yang
spesifik (misalnya 3 bulan) untuk melihat pola penggunaan restraint di unit-unit
tertentu, setiap pergantian jaga, serta pola tiap minggunya.
4. Perhatikan pula apakah jumlah pasien yang menggunakan restraint / diisolasi
meningkat di akhir pekan, saat hari libur, saat malam hari, saat jam pergantian jaga
tertentu, saat digunakan jasa perawat honorer, memiliki kecenderungan di satu unit
tertentu daripada unit lainnya.Pola seperti ini dapat membantu untuk melihat adanya
penggunaan restraint yang tuidak sesuai dengan kepentingan / kebutuhan pasien,
tetapi lebih kepada aspekkenyamanan, kurangnya staf, atau kurangnya staf yang
berpengalaman/ terlatih. Peroleh pula jadwal piket perawat selama bekerja di rumah
sakit untuk melihat apakah terdapat pengaruh meningkatnya penggunaan restraint di
tingkat staf
5. Lakukan juga wawancara secara acak dengan pasien yang menjalani restraint. Apakah
alasan digunakannya restraint ini dijelaskan kepada pasien dengan kata-kata yang
dapat dimengerti?
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tindakan restrain merupakan salah satu tindakan yang seringkali dilakukan di rumah
sakit yang diberikan untuk memberikan keamanan dan kenyamanan, baik bagi pasien, staf di
rumah sakit dan lingkungan. Tindakan ini melibatkan semua tim pelayanan kesehatan di
rumah sakit dan dengan dukungan managerial dari direksi rumah sakit. Yang diutamakan
dalam tindakan restrain ini adalah staf harus mempertimbangkan besarnya manfaat dan risiko
yang timbul dari tindakan restrain dengan mempertimbangkan juga aspek etis dan legal.

B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini tetapi
kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan
masih minimnya pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA

Royal College of Nursing. Lets talk about restraint: rights, risks and responsibility. London:
Royal College of Nursing; 2008.
Guidelines for restraint or seclusion. 2012.Irish Nurses Organisation. Guidelines on the use of
restraint in the care of the older person.
Dublin: Irish Nurses Organisation; 2003.Nurses Board South Australia. Restraints: guideline
for nurses and midwives in South Australia. 2008.
Sower WP, Wharton E, Weaver A. Restraints, seclusion, and patient rights standards for
hospitals under the Medicare /Medicaid program.
National Council for Community Behavioral Healthcare. Policy resources: restraints and
seclusion rules chart. CMS revised rules (key provisions). 2012.
Manohar R. Manual of operations restraints policy. 2008.South Eastern Syndey Illawarra.
Restraint policy use of (adult patient). 2006.
Joint Commission standards on restraint and seclusion / nonviolent crisis intervention training
program. Nonviolent crisis intervention: a CPI specialized offering. 2009.
Hilo Medical Center. Restraint / seclusion / physician order sheet patient care plan. 2009.

Anda mungkin juga menyukai