Anda di halaman 1dari 16

II.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sirosis hepatis adalah fase lanjut dari penyakit hati kronik yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatis yang berlangsung secara progresif, yang ditandai dengan
distorsi struktur hepar dan pembentukan nodul regeneratif. Sirosis hepatis ditandai oleh
proses radang difus menahun pada hati, nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan proliferasi
jaringan fibrous dimana seluruh jaringan hati menjadi rusak disertai dengan pembentukan
regenerasi nodul. Sirosis hepatis pada akhirnya dapat menggangu sirkulasi darah
intrahepatik dan pada kasus lanjut dapat menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertahap
(Nurdjanah, 2009).

B. Epidemiologi dan Insidensi


Sirosis hepatis merupakan penyakit yang banyak dijumpai, baik di negara maju
maupun di negara berkembang. Berdasarkan laporan kesehatan tahunan WHO tahun 2002,
diketahui bahwa estimasi angka mortalitas penduduk di dunia akibat sirosis hepatis sebesar
1,4% (World Health Organization, 2004). Di negara maju, sirosis hepatis merupakan
penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45 46 tahun (setelah penyakit
kardiovaskuler dan kanker) (Sutadi, 2003).
Penelitian Mary (2010) di Inggris menunjukkan insidensi dan prevalensi sirosis hepatis
di Inggris meningkat 45%. Selama setahun sebanyak 25 % meninggal pada penderita sirosis
dekompensata. Kematian pada subyek penderita sirosis kompensata dan dekompensata
adalah 93 dan 178 per 1000 orang pertahun. Pada penderita sirosis hepatis di Amerika
Serikat, terjadi sekitar 35.000 kematian setiap tahunnya. Sirosis merupakan penyebab
kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab atas 1,2% dari seluruh
kematian. Setiap tahun, 2000 kematian bertambah karena penyakit ini. Hal ini dikaitkan
dengan adanya komplikasi sirosis yaitu fulminant hepatic failure (FHF) yang memiliki
angka kematian 50-80 % kecuali jika dilakukan transplantasi hati (Wolf, 2010). Di Indonesia
data prevalensi sirosis hepatis didapat melalui laporan dari beberapa pusat pendidikan. Di
RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis berkisar 4,1 % dari pasien yang
dirawat di bagian penyakit dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004). Di Medan dalam kurun

8
waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 pasien dari seluruh pasien penyakit
di bagian penyakit dalam (Nurdjanah, 2009).
Menurut Hadi (2000), jumlah rata-rata penderita sirosis hepatis sekitar 3,4 % dari total
penderita penyakit hati dan berada di peringkat kedua sebagai faktor penyebab penyakit hati,
setelah hepatitis virus akut Penderita sirosis hepatis lebih banyak dijumpai pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita sekitar 1,6:1 dengan usia terbanyak antara golongan 30-59
tahun dengan puncak usia sekitar 40-49 tahun.

C. Etiologi
Etiologi sirosis dapat diidentifikasi dengan riwayat pasien yang dikombinasikan
dengan evaluasi serologis dan histologis. Penyakit hati alkoholik dan hepatitis C merupakan
penyebab utama pada negara-negara Barat, sedangkan hepatitis B merupakan penyebab
utama pada wilayah Asia dan sub-sahara Afrika. Etiologi sirosis penting untuk diketahui,
karena hal tersebut dapat memprediksi komplikasi dan pemilihan treatment. Selain itu
pengetahuan tentang etiologi juga bermanfaat dalam tindakan preventif. Berbagai faktor
etiologi dapat berakibat pada sirosis hati, diantaranya konsumsi alkohol, umur diatas 50
tahun, dan jenis kelamin pria merupakan faktor resiko hepatitis C kronis. Obesitas pada usia
tua, resistensi insulin/DM tipe 2, hipertensi dan hiperlipidemia merupakan faktor resiko
NASH (nonalcoholic steatohepatitits). Selain itu Etiologi sirosis hati dapat disebabkan oleh
(Sutadi, 2003):
1. Virus hepatitis (B,C,dan D)
2. Alkohol
3. Kelainan metabolik :
a. Hemakhromatosis (kelebihan beban besi)
b. Penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga)
c. Defisiensi Alphal-antitripsin
d. Glikonosis type-IV
e. Galaktosemia
f. Tirosinemia

9
4. Kolestasis
Saluran empedu membawa empedu yang dihasilkan oleh hati ke usus, dimana
empedu membantu mencerna lemak. Pada bayi penyebab sirosis terbanyak adalah akibat
tersumbatnya saluran empedu yang disebut biliary atresia. Pada penyakit ini empedu
memenuhi hati karena saluran empedu tidak berfungsi atau rusak. Bayi yang menderita
biliary berwarna kuning (kulit kuning) setelah berusia satu bulan. Kadang bisa diatasi
dengan pembedahan untuk membentuk saluran baru agar empedu meninggalkan hati,
tetapi transplantasi diindikasikan untuk anak-anak yang menderita penyakit hati stadium
akhir. Pada orang dewasa, saluran empedu dapat mengalami peradangan, tersumbat, dan
terluka akibat Primary Biliary Sirosis atau Primary Sclerosing Cholangitis. Secondary
Biliary Cirrosis dapat terjadi sebagai komplikasi dari pembedahan saluran empedu
(Sutadi, 2003).
5. Sumbatan saluran vena hepatica
a. Sindroma Budd-Chiari
b. Payah jantung
6. Penyakit autoimun hepar (Hepatitis Lupoid)
7. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotrexat, amiodaron,INH, dan lain lain)
8. Malnutrisi

D. Patogenesis
Jaringan hati memiliki kemampuan regenerasi, dan dalam keadaan normal mengalami
pertukaran sel yang bertahap. Apabila sebagian jaringan rusak, jaringan yang rusak tersebut
diganti melalui peningkatan kecepatan pembelahan sel yang sehat. Namun, seberapa cepat
hepatosis dapat diganti, tetap memiliki batas. Selain hepatosit, juga ditemukan beberapa
fibroblas (sel jaringan ikat) yang membentuk jaringan penunjang bagi hati. Jika hati
berulangkali terpajan oleh bahan toksik, misalnya alkohol atau virus, menyebabkan hepatosit
baru tidak dapat beregenerasi cukup cepat untuk mengganti sel-sel yang rusak, fibroblas
yang lebih kuat akan memanfaatkan situasi dan melakukan proliferasi berlebih. Tambahan
jaringan ikat ini menyebabkan ruang untuk pertumbuhan kembali hepatosit berkurang.
Karena nodulus-nodulus pada hepatosit yang berhasil melakukan regenerasi seringkali
kurang berfungsi dan terpisah dari jaringan pembuluh darah oleh pita jaringan ikat yang

10
tebal, hepatosit yang baru tumbuh pun kemudian dapat mati kembali (Sherwood, 2001).
Kelainan ini merupakan suatu kerusakan arsitektur sel hepar yang ireversibel yang mengenai
seluruh hepar dan ditandai dengan adanya fibrosis dan regenerasi noduler. Jumlah jaringan
fibrosa sangat banyak dibandingkan dengan hepar normal dan sel hepar tidak lagi
membentuk asinus atau lobulus, tetapi mengalami regenerasi menjadi pola noduler setelah
cedera berkali-kali. Regenerasi nodul menyebabkan struktur zona/daerah hepar bentuk
lobulus atau asinus menjadi kurang terorganisasi (Kumar, 2004).
Dalam keadaan normal, sel stelata berperan dalam keseimbangan pembentukan
matriks ekstraselular dan proses degenerasi. Pembentukan fibrosis menunjukkan perubahan
proses keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung terus-menerus
(hepatitis virus), maka sel stelata akan menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses
berjalan terus maka fibrosis akan berjalan terus di dalam sel stelata, dan jaringan hati yang
normal akan diganti oleh jaringan ikat (Nurdjanah, 2009)
Fibrosis merupakan enkapsulasi atau penggantian jaringan yang rusak oleh jaringan
kolagen. Fibrosis hati merupakan hasil perpanjangan respon penyembuhan luka normal yang
mengakibatkan abnormalitas proses fibrogenesis (produksi dan deposisi jaringan ikat).
Fibrosis berlangsung dalam berbagai tahap, tergantung pada penyebab kerusakan,
lingkungan, dan faktor host. Sirosis hati merupakan tahapan lanjut dari fibrosis hati, yang
juga disertai dengan kerusakan pembuluh darah. Sirosis hati menyebabkan suplai darah dari
arteri yang menuju hati, berbalik ke pembuluh vena, merusak pertukaran antara hepatik
sinusoid dan jaringan parenkim yang berdekatan, contohnya hepatosit. Hepatik sinusoid
dilapisi oleh endotel berfenestrasi yang berada pada lapisan jaringan ikat permeabel (ruang
Disse) yang mengandung sel stelat hepatik (HSC) dan beberapa sel mononuklear. Bagian
lain dari ruang Disse dilapisi oleh hepatosit yang menjalankan sebagian besar fungsi hati.
Pada kondisi sirosis, ruang Disse terisi oleh jaringan parut dan fenestrasi endotel
menghilang, proses ini disebut kapilarisasi sinusoidal. Secara histologis, sirosis dicirikan
oleh septa fibrotik tervaskularisasi yang menghubungkan portal tract satu dengan yang
lainnya dan dengan vena sentral, membentuk pulau hepatosit yang dikelilingi oleh septa
fibrotik yang tidak memiliki vena sentral. Akibat klinis yang utama dari sirosis adalah
terganggunya fungsi hati, meningkatnya resistensi intrahepatik (portal hipertensi) dan
perkembangan yang mengarah pada hepatoselular karsinoma (HCC). Abnormalitas sirkulasi

11
general yang terjadi pada sirosis (splachnic vasodilatation, vasokonstriksi dan hiperfusi
ginjal, retensi air dan garam, meningkatnya output kardiak) sangar erat kaitannya dengan
perubahan vaskularisasi hati dan portal hipertensi. Sirosis dan gangguan vaskular yang
diakibatkannya bersifat irreversibel, namun penyembuhan sirosis masih mungkin terjadi.

E. Klasifikasi
1. Klasifikasi Morfologi
a. Sirosis mikronoduler Nodul yang berbentuk uniform, diameter kurang dari tiga
milimeter dimana penyebabnya antara lain: alkoholisme, hemokromatosis,
obstruksi bilier, obstruksi venahepatika, pintasan jejuno-ileal sirosis pada anak
india. Sirosis mikronoduler sering berkembang menjadi sirosis makronoduler.
b. Sirosis makronoduler Nodul bervariasi dengan diameter lebih dari tiga milimeter.
Penyebabnya antara lain: hepatitis kronik B, hepatitis kronik C, dan defisiensi -1-
antitripsin.
c. Sirosis campuran Yaitu golongan mikronudular dan makronudular. Nodul
terbentuk dengan ukuran < 3mm dan ada nodul yang berukuran >3 (Nurdjanah,
2009).

2. Klasifikasi Fungsional
a. Sirosis hepatis kompensata
Sering disebut dengan latent cirrosis hepar. Pada stadium ini belum terlihat gejala-
gejala nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan skrining.
b. Sirosis hepatis dekompensata
Dikenal dengan active cirrocis hepar. Pada stadium ini biasanya disertai dengan
gejala-gejala yang sudah jelas seperti asites, edema, dan ikterik (Sutadi, 2003).

F. Manifestasi Klinis
Pada stadium awal (kompensata), dimana kompensasi tubuh terhadap kerusakan hati
masih baik, sirosis seringkali muncul tanpa gejala sehingga sering ditemukan pada waktu
pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin. Gejala-gejala awal sirosis meliputi perasaan
mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan
menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil dan dada membesar, serta

12
hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut, (berkembang menjadi sirosis
dekompensata) gejala-gejala akan menjadi lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi
kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi kerontokan rambut badan, gangguan tidur, dan
demam yang tidak begitu tinggi. Selain itu, dapat pula disertai dengan gangguan pembekuan
darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna
seperti teh pekat, hematemesis, melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar
konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma (Nurdjanah, 2009).
Akibat dari sirosis hepatis, maka akan terjadi 2 kelainan yang fundamental yaitu
kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta. Manifestasi dari gejala dan tanda-tanda klinis ini
pada penderita sirosis hati ditentukan oleh seberapa berat kelainan fundamental tersebut
(Wolf, 2012).
Tabel 3. Gejala kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta

Kegagalan fungsi hati akan ditemukan dikarenakan terjadinya perubahan pada


jaringan parenkim hati menjadi jaringan fibrotik dan penurunan perfusi jaringan hati
sehingga mengakibatkan nekrosis pada hati. Hipertensi porta merupakan gabungan hasil
peningkatan resistensi vaskular intra hepatik dan peningkatan aliran darah melalui sistem
porta. Resistensi intra hepatik meningkat melalui 2 cara yaitu secara mekanik dan dinamik.
Secara mekanik resistensi berasal dari fibrosis yang terjadi pada sirosis, sedangkan secara

13
dinamik berasal dari vasokontriksi vena portal sebagai efek sekunder dari kontraksi aktif
vena portal dan septa myofibroblas, untuk mengaktifkan sel stelata dan sel-sel otot polos.
Tonus vaskular intra hepatik diatur oleh vasokonstriktor (norepineprin, angiotensin II,
leukotrin dan trombioksan A) dan diperparah oleh penurunan produksi vasodilator (seperti
nitrat oksida). Pada sirosis peningkatan resistensi vaskular intra hepatik disebabkan juga oleh
ketidakseimbangan antara vasokontriktor dan vasodilator yang merupakan akibat dari
keadaan sirkulasi yang hiperdinamik dengan vasodilatasi arteri splanknik dan arteri sistemik.
Hipertensi porta ditandai dengan peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi
vaskular sistemik (Wolf, 2012).

G. Penegakan Diagnosis
Diagnosis sirosis hepatis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
a. Mudah lelah dan lemas
b. Nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan
c. Perut kembung, mual
d. Penurunan berat badan
e. Gangguan tidur (Nurdjanah, 2009)

2. Pemeriksaan Fisik
a. Kegagalan fungsi hati (spidernavi, alopesia pectoralis ginekomasti, atrofi testis,
gangguan siklus haid, eritema palmaris, white nail)
b. Hipertensi porta (tekanan sistem porta >10mmHg) ditandai dengan splenomegali,
asites, perdarahan saluran pencernaan seperti BAB hitam dan muntah hitam atau darah.
c. Ikterus dengan air kemih seperti teh
d. Epistaksis, gusi berdarah (Wolf, 2012).

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Fungsi Hati
1) SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat aminotransferase) dan
SGPT (serum glutamil piruvat transferase) atau ALT (alanin aminotransferase)

14
meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST lebih meningkat dibanding ALT, namun
bila enzim ini normal, tidak menyingkirkan kecurigaan adanya sirosis
2) Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan
sirosis bilier primer.
3) Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama dengan ALP. Namun,
pada penyakit hati alkoholik kronik, konsentrasinya meninggi karena alkohol dapat
menginduksi mikrosomal hepatik dan menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.
4) Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata dan meningkat pada
sirosis yang lebih lanjut (dekompensata)
5) Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari pintasan, antigen bakteri
dari sistem porta masuk ke jaringan limfoid yang selanjutnya menginduksi
immunoglobulin.
6) Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis faktor koagulan.
7) Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.
8) Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan
hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
9) Seromarker hepatitis (Nurdjanah, 2009)

b. Pemeriksaan penunjang lain :


1) Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya hipertensi porta
2) USG, untuk untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta untuk melihat
adanya asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena porta, dan
sebagai skrinning untuk adanya karsinoma hati pada pasien sirosis.
3) Kolesistografi/kolangiografi : Memperlihatkan penyakit duktus empedu yang
mungkin sebagai faktor predisposisi.
4) Esofagoskopi : Dapat melihat adanya varises esophagus
5) Portografi Transhepatik perkutaneus : Memperlihatkan sirkulasi sistem vena
portal,

15
6) Scan/biopsy hati : Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati
(Nurdjanah, 2009).

H. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan sirosis hepatis dipengaruhi etiologinya. Tujuan terapi
mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan
hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Secara umum, penatalaksanaan sirosis hepatis
adalah dengan :
1. Bed rest sampai gejala membaik
2. Diet tinggi protein, tinggi karbohidrat (diet hati III: protein 1g/kgBB, 2000-3000 kkal).
Jika ada asites diberikan diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1000-
2000 mg)
Terdapat ascites:
1. Bed rest
2. diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet rendah garam
dan penderita dapat berobat jalan.
3. Diuretik
Pemberian diuretik hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam
dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari.
Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal
ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic, maka pilihan utama diuretic adalah
spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap
tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat kita
kombinasikan dengan furosemid. Bila pengobatan konservatif tidak berhasil, dapat
dilakukan parasintesis cairan asites, dapat dilakukan 5 - 10 liter / hari, dengan catatan
harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan (Sutadi,
2003).
Untuk memberikan terapi terhadap penderita sirosis perlu ditinjau apakah sudah ada
hipertensi portal dan kegagalan faal hati atau belum.
1. Sirosis tanpa kegagalan faal hati dan hipertensi portal.
a. Diet tinggi protein dan karbohidrat. Lemak tidak perlu dibatasi

16
b. Diberikan vitamin: B12, essensial phosfolipid (EPL), cursil dan obat yang
mengandung protein tinggi seperti superton.
c. Hindari minuman beralkohol, zat hepatotoksik, dan makanan yang disimpan lama
diudara terbuka lebih dari 24 jam.
2. Sirosis dengan kegagalan faal hati dan hipertensi portal.
a. Istirahat
Aktifitas fisik dibatasi, dianjurkan untuk istirahat ditempat tidur lebih kurang setengah
hari setiap harinya.
b. Diet
Bila tidak ada tanda-tanda koma hepatikum diberikan diet 1500-2000 kal dengan
protein sekurang-kurangnya 1 gr/kgBB/hr. Perlu juga diberikan roboransia. Makanan
dan minuman yang mengandung alkohol dihentikan secara mutlak. Hindari makanan
yang lebih dari 24 jam di udara bebas. Menurut Gabuzzda (1970) pada penderita asites
dan edema sedikit dapat hilang dengan diet kaya protein (1-2 gr/ kgBB/hr), rendah Na
(200-500 mg Na/hr) dan pembatasan cairan 1-1,5 liter/ hr.
c. Diuretik
Dilakukan jika selama 4 hari diet tidak ada respon, diberikan spironolakton 100-200
mg/hari. Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa
edem kaki) atau 1,0 kg/hari (dengan edema kaki). Bila pemberian spironolakton tidak
adekuat, dapat dikombinasi dengan furosemide 20-40 mg/hari (dosis max.160
mg/hari). Sebagai pengganti spironolakton dapat dipakai triamterene atau amiloride
yang mempunyai fungsi sama, yaitu bekerja ditubuli distal dan tidak mengeluarkan K.
pemberian spironolacton dimulai dengan dosis rendah mis 25 mg/hr, bila selama 3 hari
tidak ada respons baru dosis ditingkatkan sedikit demi sedikit sampai memperoleh
respons yang cukup. Kontraindikasi pemberian diuretik ialah: perdarahan
gastrointestinal, penderita dengan muntah-muntah atau diare, prekoma atau koma
hepatikum. Sebagai akibat pemberian diuretik akan timbul:
1) Hipokalemi: maka pemberian diutretik dihentikan, dan diberikan penambahan KCl.
2) Hiponatremi: diatasi dengan pemberian cairan yang dibatasi 500 cc/hr atau
pemberian 2 L manitol 20% intravena bekerja sebagai diuretik osmotik.

17
3) Alkalosis hipokloremik; karena kehilangan Na dan Cl, dan dapat dibatasi dengan
pemberian klorida.
4) Koma hepatikum sekunder; karena hipokalemi, kehilangan cairan. Bila terlihat
tanda-tanda prekoma atau koma sebaiknya pemberian diuretik dihentikan.
d. Obat-obatan
Prednison hanya diberikan pada penderita yang diduga dengan posthepatik sirosis,
hepatitis aktif kronis dimana masih terdapat ikterus, gama globulin dan transaminase
yang masih meninggi.
e. Peritoneo-venous shunt
Le veen dkk (1974-1976) melakukan operasi kecil peritoneous shunt untuk
mengurangi cairan asites secara teratur dan memasukkan melalui suatu pipa yang
diberi katub, sehingga memberikan satu arah kedalam vena jugularis pada penderita
dengan asites yang tidak berhasil diobati dengan diuretik. Hasilnya 76,5% pasien dapat
dihilangkan asitesnya, bahkan kadar serum protein dan ratio albumin-globulin kembali
normal, hal ini disebabkan karena kadar protein yang ada didalam cairan asites
dialirkan kembali ke tubuh penderita. Juga kadar ureum yang tinggi kembali normal.
f. Parasintesis
Dikenal 2 tujuan parasintesis: (1) Diagnostik : tujuan untuk mengevaluasi cairan asites,
kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap jumlah sel dan hitung jenis, protein, macam
mikroorganisme, (2) Terapi : untuk mengeluarkan cairan asites yang sangat banyak
sehingga dapat menggangu pernapasan penderita. Bila terlalu sering dilakukan akan
menimbulkan komplikasi yaitu infeksi luka bekas parasintesis, kebocoran cairan asites
pada luka bekas tusukan, hiponatremi, koma hepatikum karena gangguan
keseimbangan elektrolit, kehilangan protein tubuh, gangguan faal ginjal, perdarahan,
perforasi usus.

Pengobatan sirosis hati berdasarkan etiologi juga seringkali dilakukan seperti pada
pasien dengan infeksi virus Hepatitis C :
a. Terapi kombinasi IFN 3 juta unit 3 x seminggu dan Ribavirin 1000-2000 mg/hari
tergantung berat badan (1000 mg untuk berat badan kurang dari 75 kg) dalam jangka
waktu 24-48 minggu.

18
b. Terapi induksi Interferon dengan dosis yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk
2-4 minggu, dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu dengan atau
tanpa kombinasi dengan Ribavirin.
c. Terapi dosis interferon setiap hari dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit sampai HCV-RNA
negatif di serum dan jaringan hati.

Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati yang diberikan jika telah terjadi komplikasi
lain seperti :
1. Spontaneous bacterial peritonitis
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime), secara
parenteral selama lima hari, atau Qinolon secara oral. Mengingat akan rekurennya tinggi
maka untuk Profilaxis dapat diberikan Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu.
2. Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus
Prinsip penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien stabil,
dalam keadaan ini maka dilakukan :
a. Pasien diistirahatkan dan dipuasakan
b. Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi
c. Diberikan obat penyekat beta (propanolol)
d. Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau oktriotide,
antifibrinolitik, vitamin K
e. Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali kegunaannya yaitu
: untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan, evaluasi
darah
f. Lakukan Pemasangan Ballon Tamponade, tindakan skleroterapi dan Ligasi atau
Oesophageal Transection untuk menghentikan perdarahan
3. Sindroma Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif. Oleh karena itu, pencegahannya harus
mendapat perhatian utama berupa hindari pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites,
dan restriksi cairan yang berlebihan.
4. Ensefalophaty hepatic
a. Pengobatan dengan pemberian laktulosa untuk mengeluarkan amonia.

19
b. Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia.
c. Diet rendah protein 0,5 gram/kgBB/hari, terutama diberikan yang kaya asam amino
rantai cabang (Sutadi, 2003)

I. Komplikasi
1. Ensepalopati Hepatikum
Ensepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan neuropsikiatri yang bersifat reversibel
dan umumnya didapat pada pasien dengan sirosis hati setelah mengeksklusi kelainan
neurologis dan metabolik. Derajat keparahan dari kelainan ini terdiri dari derajat 0
(subklinis) dengan fungsi kognitif yang masih bagus sampai ke derajat 4 dimana pasien
sudah jatuh ke keadaan koma. Patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik diduga oleh
karena adanya gangguan metabolisme energi pada otak dan peningkatan permeabelitas
sawar darah otak. Peningkayan permeabelitas sawar darah otak ini akan memudahkan
masuknya neurotoxin ke dalam otak. Kelainan laboratoris pada pasien dengan
ensefalopati hepatik adalah berupa peningkatan kadar amonia serum (Wolf, 2012).
2. Varises Esophagus
Varises esophagus merupakan komplikasi yang diakibatkan oleh hipertensi porta yang
biasanya akan ditemukan pada kira-kira 50% pasien saat diagnosis sirosis dibuat.
3. Peritonitis Bakterial Spontan (PBS)
Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi yang sering dijumpai yaitu infeksi
cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa adanya bukti infeksi sekunder intra abdominal.
Biasanya pasien tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen. PBS sering
timbul pada pasien dengan cairan asites yang kandungan proteinnya rendah (<1 g/dL )
yang juga memiliki kandungan komplemen yang rendah, yang pada akhirnya
menyebabkan rendahnya aktivitas opsonisasi. Diagnosis PBS berdasarkan pemeriksaan
pada cairan asites, dimana ditemukan sel polimorfonuklear lebih dari 250 sel/mm3
dengan kultur cairan asites yang positif (Wolf, 2012).
4. Sindrom Hepatorenal
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oligouri,
peningkatan ureum, kreatinin, tanpa adanya kelainan organic ginjal. Kerusakan hati lanjut

20
menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi
glomerulus.
5. Sindrom Hepatopulmonal
Pada sindrom ini dapat timbul hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal (Nurdjanah,
2009).

J. Prognosis
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor, meliputi
etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai sirosis.
Klasifikasi Child-Turcotte berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan
hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C berturut-turut 100%, 80%
dan 45% (Nurdjanah, 2009).

Tabel 4. Sistem Klasifikasi Child-Turcotte-Pugh

21
III. KESIMPULAN

1. Sirosis hepatis adalah fase lanjut dari penyakit hati kronik yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatis yang berlangsung secara progresif, yang ditandai dengan distorsi struktur hepar
dan pembentukan nodul regeneratif. Sirosis hepatis ditandai oleh proses radang difus menahun
pada hati, nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan proliferasi jaringan fibrous dimana seluruh
jaringan hati menjadi rusak disertai dengan pembentukan regenerasi nodul.
2. Etiologi sirosis dapat diidentifikasi dengan riwayat pasien yang dikombinasikan dengan
evaluasi serologis dan histologis
3. Pada stadium awal (kompensata), dimana kompensasi tubuh terhadap kerusakan hati masih
baik, sirosis seringkali muncul tanpa gejala sehingga sering ditemukan pada waktu pasien
melakukan pemeriksaan kesehatan rutin.
4. Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor, meliputi etiologi,
beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai sirosis.

22
DAFTAR PUSTAKA

Kumar V, Cotran RS, Robbins SL, 2004. Hati dan saluran empedu Dalam : Hartanto H,
Darmaniah N, Wulandari N. Robbins Buku Ajar Patologi. 7th Edition. Volume 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal.671-2.
Nurdjanah Sitti, 2006. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI.
hal. 443-53.
Sutadi, S.M., 2003, Sirosis Hepatitis, diunduh dari:
http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-srimaryani5.pdf, diakses pada : 26 Mei
2012
Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI 2012, Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 7th edition,
Mc Graw Hill, New York.

23

Anda mungkin juga menyukai