Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan.1 Gejala dan batasan aliran udara secara khas bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya. Variasi ini sering dipicu oleh faktor-faktor seperti olah raga, paparan alergi atau iritasi, perubahan cuaca, atau infeksi pernapasan virus.1 Gejala dan pembatasan aliran udara bisa sembuh secara spontan atau sebagai respons terhadap pengobatan, dan kadang kala tidak ada selama berminggu- minggu atau berbulan-bulan pada suatu waktu. Di sisi lain, pasien dapat mengalami serangan episodik (eksaserbasi) asma yang mungkin mengancam jiwa dan membawa beban yang signifikan bagi pasien dan masyarakat. Asma biasanya dikaitkan dengan responsivitas saluran napas terhadap rangsangan langsung atau tidak langsung, dan dengan peradangan saluran napas kronis.2 Saat ini penyakit Asma masih menunjukan prevalensi yang tinggi. Berdasarkan data dari WHO 2013 di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita Asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien Asma mencapai 400 juta. Jumlah ini dapat saja lebih besar mengingat Asma merupakan penyakit yang underdiagnosed. Buruknya kualitas udara dan berubahnya pola hidup masyarakat diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya penderita Asma.3 Data dari berbagai negara menunjukan bahwa prevalensi penyakit Asma berkisar antara 1-18%. Sedangkan untuk nasional prevalensi penyakit Asma menurut provinsi tahun 2007 ada 18 provinsi yang mempunyai prevalensi penyakit Asma melebihi angka nasional.3 Pada tahun 2013 dilakukan survey kembali mengenai prevalensi asma menurut provinsi, didapatkan 18 provinsi yang
1 2
mempunyai prevalensi penyakit Asma melebihi angka nasional, dari 18 provinsi
tersebut lima provinsi teratas adalah Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, D I Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan.3 Jika prevalensi pada tahun 2007 dibandingkan dengan tahun 2013 didapat kenaikan prevalensi penyakit Asma secara nasional sebesar 1%. Akan tetapi terdapat perbedaan dalam mendiagnosis penyakit Asma di Riskesdas 2007 melalui wawancara berdasarkan diagnosa oleh tenaga kesehatan atau dengan gejala, sedangkan Riskesdas 2013 melalui wawancara semua umur berdasarkan gejala.3 Pada pasien asma seringkali dijumpai adanya tanda dan gejala GERD. GERD berhubungan erat dengan berbagai gejala dan kelainan saluran napas termasuk batuk kronik serta asma.4 Hubungan penyakit GERD dan asma dipikirkan oleh William Osler pertama kali pada tahun 1912. Osler memperkirakan bahwa serangan asma mungkin disebabkan oleh iritasi langsung mukosa bronkus atau tidak langsung oleh pengaruh refleks lambung.5 Gastroesophageal Refluks Diseases (GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan seluran napas.6 Gejala yang timbul seperti heartburn (rasa terbakar di dada yang kadang disertai rasa nyeri dan pedih) serta gejala-gejala lain seperti regurgitasi (rasa asam dan pahit di lidah), nyeri epigastrium, disfagia, dan odinofagia.7 Data epidemiologi di Amerika Serikat menunjukan satu dari lima orang dewasa mempunyai gejala refluks esophageal (heartburn) dan atau regurgutasi asam satu kali seminggu, dan sekitar 40% dari mereka memiliki gejala setidaknya sekali dalam sebulan.8 Studi terbaru mengenai prevalensi di Jepang mengungkapkan nilai rata-rata 11,5% dan GERD di definisikan sebagai rasa sensasi terbakar di daerah dada dirasakan paling tidak dua kali dalam seminggu.9 Indonesia sampai saat ini belum mempunyai data epidemiologi yang lengkap mengenai kondisi ini. Laporan yang ada dari penelitian Lelosutan SAR dkk di FKUI/RSCM-Jakarta menunjukkan bahwa dari 127 subyek penelitian yang menjalani endoskopi SCBA, 22,8% (30%) subyek di antaranya menderita 3
esofagitis.10 Penelitian lain, dari Syam AF dkk, juga dari RSCM/FKUI-Jakarta,
menunjukkan bahwa dari 1718 pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi SCBA atas indikasi dispepsia selama 5 tahun (1997-2002) menunjukkan adanya peningkatan prevalensi esofagitis, dari 5,7% pada tahun 1997 menjadi 25,18% pada tahun 2002 (rata-rata 13,13% per tahun).11 Ada beberapa faktor yang berperan menimbulkan refluks gastroesofagus pada pasien asma. Faktor-faktor tersebut adalah disregulasi otonom, perbedaan tekanan antara rongga toraks dan abdomen, serta penggunaan obat-obat asma.12-14 Terjadinya penyakit refluks gastroesofagus pada asma secara pasti tidak diketahui, diperkirakan antara 34-89%.13-15 Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin meneliti hubungan kontrol asma bronkial dengan kejadian GERD di Rumah Sakit Dustira.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat disusun klasifikasi masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana gambaran kontrol asma bronkial di Poli Paru Rumah Sakit Dustira tahun 2017? 2. Apakah terdapat hubungan tingkat kontrol asma bronkial dengan kejadian GERD di Rumah Sakit Dustira tahun 2017? 3. Apakah jenis kelamin dan usia mempengaruhi kejadian GERD pada pasien asma bronkiale? 4. Apakah lamanya pasien menderita asma bronkiale mempengaruhi terjadinya GERD?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kontrol asma bronkial dengan kejadian gastroesophageal refluks disease (GERD) di Rumah Sakit Dustira tahun 2017. 4
1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian
1. Mengetahui kontrol asma bronkiale di Rumah Sakit Dustira tahun 2017. 2. Mengetahui hubungan tingkat kontrol asma bronkiale dengan kejadian GERD di Rumah Sakit Dustira tahun 2017. 3. Mengetahui pengaruh kejadian GERD pada pasien asma bronkiale berdasarkan usia dan jenis kelamin. 4. Mengetahui pengaruh terjadinya GERD pada pasien asma bronkiale berdasarkan lama menderita.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis 1. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi data untuk mengetahui hubungan kontrol asma bronkial dengan kejadian GERD. 2. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penelitian berikutnya. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran awal tentang hubungan kontrol asma bronkial dengan kejadian GERD dan menambah informasi kepada masyarakat dan institusi pelayanan kesehatan.