Anda di halaman 1dari 9

RMK

MATA KULIAH PERPAJAKAN 1 (EKU 216 A1)


PERTEMUAN KE-8
SUBJEK DAN OBJEK PAJAK

Oleh :
Kelompok 3
Ni Wayan Dhevi Sukma D. (1506305062)
Ni Made Sri Pawitri (1506305097)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
2016
8.1. Subjek Pajak
a. Subjek Pajak Penghasilan
Secara umum, pengertian subjek pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. UU PPh
menegaskan ada tiga kelompok yang menjadi subjek PPh, yaitu sebagai berikut :
1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan
yang berhak
2. Badan yang terdiri atas Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Badan Usaha
Milik Negara Dan Badan Usaha Milik Daerah, Persekutuan, Perkumpulan, Firma,
Kongsi, Koperasi, Yayasan, Lembaga Dana Pensiun, dan badan usaha lainnya.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT), adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak
berkedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia.
Subjek pajak dibedakan antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
Subjek pajak dalam negeri adalah sebagai berikut:
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang
dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia
2. Badan yang didirikan atau bertempat berkedudukan di Indonesia
3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
Sementara itu, yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri adalah sebagai berikut :
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui BUT di Indonesia
2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Perbedaan penting antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri
diketahui terutama dalam hal pemenuhan kewajiban pajaknya, yaitu :
1. Subjek pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia, sedangkan subjek pajak luar negeri dikenakan pajak
berdasarkan penghasilan yang bersumber dari Indonesia,
2. Subjek pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif
umum, sedangkan subjek pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan
bruto dengan tariff pajak proporsional,
3. Subjek pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT
Tahunan) sebagai sarana menghitung pajak yang terutang, sedangkan subjek pajak
luar negeri tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan karena kewajiban pajaknya
sudah dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

b. Subjek Pajak Pertambahan Nilai


Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP adalah
pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN, tidak termasuk pengusaha
kecil yang batasannya ditetapkan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil tersebut
memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010, ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan
penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto
tidak lebih dari Rp. 600.000.000. Pengusaha kecil tersebut tidak wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor dan
melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau PKP yang dilakukannya.
Dilihat dari ketentuan-ketentuan sebelumnya, berdasarkan Pasal 18 UU PPN mengenai
ketentuan peralihan, beberapa contoh yang termasuk Pengusaha Kena Pajak sebagai subjek
PPN, yaitu pabrikan, importir, indentor, agen atau penyalur utama, pengusaha pemegang hak
BKP, pedagang besar, pedagang besar eceran, eksportir, kontraktor, dan pengusaha lain yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

c. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan


Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah orang atau badan yang mempunyai
kewajiban untuk melunasi PBB sesuai dengan ketentuan UU PBB. Subjek PBB baru akan
melunasi utang PBB apabila subjek PBB tersebur secara nyata mempunyai suatu hak atas
bumi dan bangunan dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan. Hak-hak atas
bumi dan bangunan dalam PBB adalah mengacu pada ketentuan UU agrarian, yaitu hak
milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan hak pengelolaan.
Apabila suatu objek pajak belum jelas diketahui siapa Wajib Pajaknya, maka Direktur
Jenderal Pajak mempunyai wewenang untuk menetapkan siapa subjek pajak yang harus
bertanggung jawab untuk melunasi utang pajak. Jika subjek pajak yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak merasa bahwa penetapan itu tidak benar, subjek pajak dapat
mengajukan keberatan dengan memberikan keterangan secara tertulis. Beberapa contoh
subjek Wajib Pajak yang harus melunasi pajak karena status kepemilikan objek yang tidak
jelas yaitu:
1. Subjek pajak A memanfaatkan bumi dan/atau bangunan milik B bukan karena
suatu hak berdasarkan UU atau bukan karena perjanjian, maka subjek pajak A
tersebut yang akan ditetapkan sebagai wajib pajak.
2. Suatu objek pajak ternyata masih dalam suatu sengketa kepemilikan di pengadilan,
maka orang atau badan yang memanfaatkan objek pajak tersebut yang akan
ditetapkan sebagai wajib pajak
3. Subjek pajak dalam waktu lama berada di luar wilayah letak objek pajak, sedangkan
untuk merawat objek pajak tersebut telah dikuasakan kepada orang lain, maka orang
atau badan yang diberi kuasa akan ditunjuk sebagai wajib pajak.

d. Subjek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan


Dalam UU No. 20 Tahun 2000 disebutkan bahwa yagn menjadi subjek pajak dalam
BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Hak
atas tanah dan bangunan yang dimaksud adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.
Subjek pajak yang telah memperoleh hak atas tanah dan bangunan, akan terutang pajak
saat mereka memperolehnya. Saat yang menentukan terutangnya pajak terutang tersebut
diatur dalam Pasal 9, yang mana beberapa diantaranya yaitu untuk:
1. Jual beli adalah sejak tanggal ditandatanganinya akta;
2. Tukar menukar adalah sejak tanggal ditandatanganinya akta;
3. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
4. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal
ditandatanganinya akta;
5. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal ditandatanganinya
akta;
6. Lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang;
7. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mem[unyai kekuatan
hukum tetap;
8. dan lainnya.
Apabila wajib pajak tidak melunasi utang pajak, maka dalam jangka waktu 5 tahun
sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
BPHTB Kurang Bayar, yang mana kekurangan akan ditambah dengan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan sejak saat
terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB
Kurang Bayar.

e. Subjek Bea Meterai


Pengaturan masalah Bea Materai diatur dalam UU No. 13 Tahun 1985. Dalam UU
tersebut, dijelaskan bahwa Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap suatu
dokumen. Dokumen yang dikenakan Bea Meterai hanyalah dokumen yang disebutkan dalam
UU tersebut. Pihak yang menggunakan dokumen-dokumen yang disebutkan dalam UU
adalah subjek pajak dari Bea Meterai.
Apabila suatu dokumen belum dibubuhi Bea Meterai, namun apabila akan digunakan
sebagai alat bukti di pengadilan, maka pihak yang akan menggunakan dokumen tersebut
sebagai bukti, dibebani kewajiban untuk melunasi Bea Meterainya terlebih dahulu. Pelunasan
dilakukan melalui pejabat pos yang disebut pemeteraian kemudian.
Dalam UU Bea Meterai No. 13 Tahun 1985 ditegaskan bahwa bea meterai terutang oleh
pihak yang menerima atau pihak yang mendapatkan manfaat dari suatu dokumen, kecuali
pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain. Lebih jelasnya diberikan contoh
sebagai berikut:
1. Dalam hal suatu dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, maka bea meterai
terutang oleh penerima kuitansi
2. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 pihak atau lebih, misalnya surat perjanjian di
bawah tangan, masing-masing pihak terutang bea meterai atau dokumen yang
diterimanya
3. Dan lainnya
8.2. Objek Pajak
a. Objek Pajak Penghasilan
Objek PPh adalah penghasilan. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh, dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang
digunakan untuk investasi maupun konsumsi.
1. PPh Pasal 21
Pasal 21 UU PPh mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui
pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, yang dilakukan oleh
pemberi kerja, bendahara pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara
kegiatan. Objek PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan yang diterima secara teratur berupa gaji, uang pensiunan bulanan,
upah, honorarium, berbagai tunjangan, beasiswa dan lain sebagainya.
b. Penghasilan yang diterima secara tidak teratur berupa jasa produksi, tunjangan
cuti, bonus, dan sebagainya
c. Upah harian, mingguan, satuan dan borongan
d. Uang tebusan pensiun, tunjangan hari tua
e. Honorarium, uang saku, komisi, dan pembayaran lain sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri
f. Gaji dan tunjangan lainnya yang terkait dengan gaji yang diterima pejabat Negara,
PNS, serta uang pensiun.
2. PPh Pasal 22
Pasal 22 UU PPh mengatur mengenai pemungutan pajak sehubungan dengan
pembayaran atas penyerahan barang dan adanya kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha lainnya. Objek PPh Pasal 22 adalah :
a. Penyerahan barang dan/atau jasa kepada institusi pemerintah
b. Kegiatan impor ke dalam daerah pabean
3. PPh Pasal 23
Pasal 23 UU PPh mengatur mengenai pemotongan pajak atas penghasilan yang
diterima Wajib Pajak dalam negeri dan BUT yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau
penyelenggaraan kegiatan yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek
pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya. Objek PPh Pasal 23 adalah :
a. Dividen;
b. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c. Royalty;
d. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
e. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, manajemen, konstruksi dan jasa lain
selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
4. PPh Pasal 26
Pasal 26 UU PPh mengatur mengenai pemotongan atas penghasilan yang bersumber
dari Indonesia yang diterima Wajib Pajak luar negeri dan BUT. Pada dasarnya, objek PPh
Pasal 26 sama dengan objek PPh Pasal 23, hanya saja dalam PPh Pasal 26 yang menerima
penghasilan tersebut adalah Wajib Pajak luar negeri, bukan Wajib Pajak dalam negeri. Selain
itu, sifat pemotongan PPh Pasal 26 adalah bersifat final sedangkan pemotongan PPh Pasal 23
sifatnya tidak final.

b. Objek Pajak Pertambahan Nilai


Objek dalam PPN adalah penyerahan atau kegiatan yang dilakukan oleh pengusaha kena
pajak. Ada enam kegiatan yang ditegaskan dalan UU PPN sebagai objek PPN, yaitu sebagai
berikut:
1. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
2. Impor BKP;
3. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan Pengusaha;
4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean;
5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean;
6. Ekspor BKP Berwujud dan Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
7. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau oleh
pihak lain;
8. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya
tidak dapat dikreditkan

c. Objek Pajak Bumi dan Bangunan


Objek PBB adalah benda tidak bergerak, yaitu berupa bumi dan bangunan. Bumi adalah
permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan
perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia.
Sementara itu, bangunan adalah suatu konstruksi teknik yang ditanam atau dilihatkan
secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Termasuk pengertian bangunan yaitu : jalan
lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan, jalan tol, kolam renang, pagar
mewah, tempat olahraga, dermaga, galangan kapal, taman mewah, kilangan minyak dan gas,
serta fasilitas lain yang memberikan manfaat.

d. Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan


Objek dari BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dapat berupa
tanah (termasuk tanaman di atasnya), tanah dan bangunan, atau bangunan. Perolehan hak atas
tanah bangunan tersebut meliputi hal-hal seperti :
1. Pemindahan hak; yang dapat terjadi karena adanya jual beli, tukar menukar, hibah,
hibah wasiat, waris, pemasukkan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak
yang mengakibatkan peralihan, penunjukkan pembeli dalam lelang, dan lain sebagainya
2. Pemberian hak baru.

e. Objek Bea Meterai


Objek bea meterai adalah dokumen. Pengenaan bea meterai bukanlah pada perbuatan
hukumnya melainkan pada ada atau tidaknya dokumen yang dibuat untuk membuktikan
adanya perbuatan itu. Jika suatu peristiwa dibuatkan suatu dokumen, maka atas dokumen
tersebut akan terkena bea meterai dan sebaliknya. Beberapa dokumen yang wajib dikenakan
bea meterai adalah sebagai berikut:
1. Surat perjanjian atau surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai suatu perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat
perdata. Contohnya, surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan dan surat pengakuan utang;
2. Akta-akta notaris;
3. Akta-akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah (PPAT) termasuk rangkap-
rangkapnya;
4. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000 baik itu menyebutkan
penerimaan uang, pembukuan uang, berisi pemberitahuan rekening bank, maupun berisi
pengakuan pelunasan uang.
Pada umumnya surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan dibuat dengan tidak
dimaksudkan untuk tujuan sebagai alat bukti, tidak terutang bea meterai. Namun apabila,
surat-surat tersebut akan dipakai sebagai alat pembuktian di muka pengadilan, surat-surat
tersebut harus terlebih dahulu dilunasi bea meterainya, baru kemudia dapat dipakai sebagai
alat bukti di pengadilan. Pemeteraian ini dilakukan oleh pejabat pos dan giro (di kantor pos).
REFERENSI
Mardiasmo. 2011. Pepajakan Edisi Revisi 2011. ANDI: Yogyakarta.

B. Ilya, Wirawan dan Burton, Richard. 2014. HUKUM PAJAK. Teori, Analisis dan
Perkembangannya Edisi 6. Salemba Empat: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai