PENDAHULUAN
e. Bronchus
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira vertebrata
torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan dilapisi oleh.jenis sel yang
sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru.
Bronckus kanan lebih pendek dan lebih lebar, dan lebih vertikal daripada yang kiri, sedikit
lebih tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah
arteri, disebut bronckus lobus bawah. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang
kanan, dan berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelurn di belah menjadi beberapa cabang
yang berjalan ke lobus atas dan bawah.
Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus lobaris dan
kernudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronchus yang
ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu saluran
udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkhiolus terminalis
memiliki garis tengah kurang lebih I mm. Bronkhiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang
rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran
udara ke bawah sampai tingkat bronkbiolus terminalis disebut saluran penghantar udara
karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.
Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan respiratorius yang
terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya.
Gambar 4: Anatomi trakea dan bronkus
2.1.2 Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi
udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapatnya mukosa
olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi
fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk
meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.
(Soetjipto D & Wardani RS,2007).
2.2 Drug Delivery System Intranasal
Drug Delivery System Intranasal (DDS Intranasal) merupakan sistem penghantar obat
melalui hidung. Mukosa hidung telah dianggap sebagai rute pemberian obat untuk mencapai
absorpsi yang lebih cepat dan lebih tinggi karena dapat mengurangi aktivitas dari saluran
pencernaan, mengurangi aktivitas pankreas, dan aktivitas enzimatik lambung, PH netral pada
mukus hidung akan mengurangi aktivitas gastrointestinal. Beberapa tahun terakhir banyak
obat telah terbukti mencapai bioavailabilitas yang lebih baik ke sistemik melalui rute
pemberian hidung dibandingkan dengan rute pemberian oral.
2.3 Faktor yang mempengaruhi Absorpsi DDS Intranasal
Faktor yang mempengaruhi penyerapan obat secara intranasal, yaitu :
2.3.1 Faktor Fisiologis Nasal
a. Aliran darah
Mukosa hidung disuplai oleh banyak aliran darah dan terdapat area permukaan yang
besar sehingga menjadikannya sebagai tempat absorpsi obat yang optimal. Laju aliran darah
secara signifikan mempengaruhi absorpsi sistemik obat di hidung, sehingga lebih banyak obat
yang melewati membrane dan mencapai sirkulasi darah. Mengingat bahwa kebanyakan
absorpsi obat terjadi melalui difusi, aliran darah penting untuk menjaga gradient konsentrasi
dari tempat absorpsi ke darah. Oleh karena itu, vasokontriksi dan vasodilatasi pembuluh
dapat mempengaruhi aliran darah serta kecepatan obat diabsorpsi. Beberapa penelitian
dilakukan untuk mengevaluasi pengaruhnya. Sebagai contoh, Huang et al menyatakan bahwa
fenilefrin, suatu agen vasokontriktor, menghambat absorpsi asam asetil salisilat di rongga
hidung. Penelitian lain oleh Kao et al menetapkan bahwa absorpsi nasal dopamine relative
lambat dan tidak sempurna kemungkinan disebabkan oleh efek vasokontriktornya.
Berdasarkan observasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa vasokontriksi menurunkan
absorpsi obat secara nasal dengan mengurangi jumlah darah yang mengalir.
b. Klirens mukosiliar
Klirens Mukosiliaris (mucociliar clearance, MCC) adalah mekanisme klirens pada
bronkus. Lapisan mukus hidung berperan penting dalam pertahanan saluran pernafasan
karena dapat menjaga paru-paru dari zat asing, patogen dan partikel yang dibawa oleh udara
yang terhirup. Zat-zat tersebut melekat pada lapisan mukus dan akan ditranspor ke nasofaring
dan pada akhirnya ke saluran pencernaan. Eliminasi ini ditetapkan MCC dan mempengaruhi
secara signifikan absorpsi obat secara nasal. sistem MCC digambarkan sebagai conveyer
belt dimana silia memberikan kekuatan pendorong sedangkan mukus bertindak sebagai
cairan lengket yang mengumpulkan dan membuang partikel asing. Efisiensi MCC tergantung
pada panjang, densitas dan frekuensi gerakan silia serta jumlah dan sifat viskoelastik dari
mukus. Secara singkat, semua faktor yang meningkatkan produksi mukus, dapat menurunkan
kekentalan mukus atau meningkatkan frekuensi gerakan silia dapat meningkatkan MCC.
Pada kondisi fisiologi, mukus diangkut dengan kecepatan 5 nm/menit dan waktu transit
mukus dalam rongga hidung manusia dilaporkan 15-20 menit. Nilai yang melebihi batas
tersebut berarti abnormal dan menandakan gangguan MCC. Demikian jika kerja MCC
menurun, maka lamanya obat berada di mukosa nasal akan meningkat dan memperbesar
permeasi obat. Efek yang berlawanan teramati saat MCC meningkat. Pada kasus terakhir,
penghentian dini dari pemberian obat secara nasal dari rongga hidung ke arah nasofaring,
menurunkan jumlah absorpsi obat. Klirens produk obat dari rongga hidung juga dipengaruhi
oleh tempat endapan. Suatu obat yang terakumulasi di bagian posterior hidung akan
dikeluarkan lebih cepat dari rongga nasal dibandingkan obat yang terakumulasi di bagian
anterior. Hal ini dikarenakan MCC lebih rendah di bagian anterior hidung dibandingkan di
bagian posterior yang lebih bersilia. Di sisi lain, tempat akumulasi obat di hidung sangat
tergantung pada bentuk dosis. Obat semprot (nasal spray) menyimpan obat di bagian anterior
dibandingkan obat tetes (nasal drop), sehingga menghasilkan klirens yang lebih rendah untuk
obat yang diberikan dalam bentuk formulasi spray.
Obat yang polar banyak dipengaruhi oleh MCC, karena obat tersebut kelarutannya sangat
tinggi dalam mukus dan melewati membrane sangat rendah. Sehingga semua faktor yang
mempengaruhi efikasi dan langkah MCC memungkinkan modifikasi profil absorpsi obat.
Sebagai contoh, faktor lingkungan mempunyai pengaruh penting dalam MCC. Temperature
dan sulfur dioksida menyebabkan reduksi yang signifikan dalam MCC, namun mekanisme
tersebut tidak diketahui pasti. Asap rokok menurunkan MCC karena dapat meningkatkan
kekentalan mukus dan atau mengurangi sejumlah silia. Selain itu, terdapat beberapa kondisi
patologi dimana MCC tidak dapat bekerja dengan baik, seperti yang terdapat dalam tabel
berikut. Beberapa komponen dari formulasi obat juga dapat mengubah sistem MCC seperti
bahan pengawet dan peningkat absorpsi nasal.
c. Degradasi enzim
Obat yang diberikan secara nasal tidak melalui saluran gastrointestinal dan tidak
mengalami efek eliminasi pertama di hati. Namun, obat nasal dimetabolisme pada lumen
rongga hidung atau dalam perjalanan menmbus barrier di epitel hidung karena adanya
berbagai enzim metabolik dalam jaringan hidung.
b. Stabilitas
Lingkungan rongga hidung memiliki berbagai enzim yang dapat memetabolisme obat
sehingga menurunkan stabilitas biologis obat yang diberikan melalui rute nasal. Untuk
mengatasi hal ini, berbagai strategi telah digunakan seperti penggunaan prodrug dan inhibitor
enzim. Selain itu, banyak obat yang tidak stabil secara fisikokimia melalui reaksi hidrolisis,
oksidasi, dekomposisi fotokimia atau polimerasi pada pemberian nasal.
c. Solubilitas/Kelarutan
Obat harus terdisolusi sebelum diabsorpsi karena hanya bentuk yang terdispersi secara
molekular di situs absorpsi yang dapat menembus biomembran. Jadi sebelum diabsorpsi di
daerah nasal, obat harus terdisolusi dalam cairan rongga hidung yang berbasis air. Obat yang
relatif larut dalam air dapat melakukan kontak yang cukup dengan mukosa hidung. Namun,
profil absorpsi tidak hanya dipengaruhi oleh kelarutan tetapi juga karakter sediaan farmasetik
yang menjamin penghantaran obat pada dosis terapeutik. Karena rongga hidung berukuran
relatif kecil, volume larutan obat harus sedikit pada pemberian intranasal. Jadi obat yang
kurang larut dalam air dan atau memiliki dosis terapeutik yang tinggi akan mengalami
masalah saat diberikan secara intranasal sehingga kelarutannya harus dimodifikasi dengan
peningkat kelarutan.
2.4 Mekanisme Absorpsi Obat Nasal
Beberapa mekanisme telah diusulkan tetapi ada 2 mekanisme penyerapan obat yang
digunakan:
1) Mekanisme pertama
Melibatkan rute berair transportasi, yang juga dikenal sebagai rute paracellular. Rute ini
lambat dan pasif. Ada korelasi log-log terbalik antara intranasal penyerapan dan berat
molekul senyawa larut dalam air. Kurang bioavailabilitas diamati untuk obat dengan berat
molekul lebih besar dari 1000 Dalton.
2) Mekanisme kedua
Melibatkan transportasi melalui rute lipoidal juga dikenal sebagai proses transelular dan
bertanggung jawab untuk pengangkutan lipofilik obat yang menunjukkan tingkat
ketergantungan pada lipofilisitas mereka. Obat juga lintas membran sel dengan rute transpor
aktif melalui carrier-dimediasi berarti atau transportasi melalui pembukaan persimpangan
ketat. Sebagai contoh, kitosan, suatu biopolimer alami dari kerang, membuka sambungan
yang erat antara epitel sel untuk memfasilitasi transportasi obat. Adapun perjalanan sistem
penghantaran obat ( DDS ) intranasal dalam tubuh, adalah sebagai berikut:
a) Bentuk sediaan obat nasal dengan zat aktif
Sediaan nasal diformulasikan atau dirancang dengan sedemikian rupa untuk penggunaan efek
lokal.
b) Fase biofarmasetik
Obat dihisap melalui rongga hidung masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Fase ini meliputi
waktu mulai penggunaan sediaan obat melalui hidung hingga pelepasan zat aktifnya ke dalam
cairan tubuh.
c) Ketersediaan farmasi
Obat siap untuk diabsorbi obat dalam bentuk zat aktif terlarut siap untuk diabsorpsi yang
selanjutnya zat aktif akan di distribusikan keseluruh tubuh (sistemik).
d) Fase farmakokinetik
Tidak terjadi ADME fase ini meliputi waktu selama obat diangkut ke organ yang ditentukan
setelah obat dilepas dari bentuk sediaan.
e) Ketersediaan hayati
Obat untuk memberi efek pada tahap ini obat mulai memberikan efek pada pasien dengan
cara berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada pada tubuh.
f) Fase farmakodimanik
Interaksi dengan reseptor ditempat kerjabila obat telah berinteraksi dengan sisi reseptor
biasanya protein membrane akan menimbulkan respon biologik. Tujuan utama pada fase ini
adalah optimisasi dari efek biologik.
g) Efek terapi
Obat pada akhirnya memberikan efek terapi atau pengobatan pada pasien.Yang diharapkan
dapat memberikan kesembuhan pada pasien
2.5 Kelebihan dan Kekurangan DDS Intranasal
Seperti halnya obat yang diberikan secara intranasal adalah untuk efek lokal seperti
obat tetes hidung atau dalam bentuk spray yang biasa digunakan penderita untuk
menghentikan serangan sebagai tindakan pencegahan dengan cara pemberian obat secara
langsung kedalam saluran nafas melalui penghisapan yang memungkinkan obat langsung
mencapai sistemik sehingga memberikan efek lebih cepat untuk mengatasi serangan. Selain
itu dosis yang diperlukan lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama efek samping obat
minimal karena konsentrasi obat di dalam rendah. Lain halnya jika pemberian obat secara
parenteral atau oral sering menimbulkan efek samping seperti gangguan gastrointestinal atau
efek samping lainnya.
Melihat mekanisme kerja obat seperti uraian diatas tersebut, maka kelebihan dan
kekurangan penghantaran untuk lokal pada pemberian obat intranasal, adalah sebagai berikut:
Kelebihan:
Dosis yang diperlukan untuk efek farmakologinya dapat dikurangi
Konsentrasi rendah dalam sirkulasi sistemik dapat mengurangi efek samping sistemik
Area permukaan untuk absorpsi luas ( 160 cm3 )
Onset of action yang cepat
Aktivitas metabolisme yang rendah dibandingkan peroral, menghindari reaksi saluran cerna
metabolisme hati
Bentuk sediaan alternative, jika tidak dapat digunakan obat saluran cerna
Mudah diakses untuk penghantaran obat
Kekurangan :
Difusi obat terhalang oleh mucus dan ikatan mucus
Mukosa nasal dan sekresinya dapat mendegradasi obat
Iritasi lokal dan sensitivisasi obat harus diperhatikan
Mucociliary clearance mengurangi waktu retensi obat dalam rongga hidung
Kurang reproduksibilitas pada penyakit yang berhubungan dengan rongga hidung
Hanya untuk obat yang poten (dosis kecil) dengan ukuran partikel 5 10 m
Biasanya penbawa obat intranasal berupa spray dengan menggunakan motered dosis
spraymisalnya berupa aerosol yaitu system koloid bahan padat atau cair dalam gas,
sedangkan dropmenggunakan penetes.