Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penggunaan obat melalui jalur intranasal bukan merupakan pencapaian baru dalam
sistem penghantaran obat. Penghantaran obat nasal, dahulu digunakan secara sistemik
terutama untuk obat golongan psikoterapi. Tetapi dalam perkembangan teknologi farmasetika
modern, penghantaran obat nasal sering kali dipilih untuk terapi dengan efek lokal dari pada
sistemik. Penghantaran obat melalui nasal digunakan untuk terapi seperti alergi nasal,
kongesti nasal, dan efek nasal yang rutin dilakukan.
Kemampuan untuk mencegah eliminasi lintas pertama hepatic dan kenyamanan dalam
penggunaan pada pasien merupakan keunggulan dari tehnik pemberian obat secara intranasal
yang dapat digunakan sebagai alternatif ideal untuk menggantikan sistem penghantaran obat
sistematik parenteral.
Berdasarkan atas latar belakang di atas, maka disusunlah makalah ini untuk
mengetahui tentang biofarmasetika sistem penghantaran obat intranasal dan hal-hal yang
berkaitan dengan penghantaran sediaan tersebut serta berbagai faktor yang mempengaruhi
proses farmakokinetik dan biofarmasetik mulai dari penetrasi hingga menghasilkan efek pada
tubuh.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat beberapa hal yang menjadi rumusan
masalah dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut:
a. Bagaimana Anatomi dan fisiologi nasal?
b. Bagaimana Proses absorpsi obat dari nasal?
c. Apa saja faktor yang mempengaruhi absorpsi obat dari nasal?
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah:
a. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi nasal
b. Untuk mengetahui proses absorpsi obat dari nasal
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat dari nasal
d. Untuk mengetahui keuntungan dan kerugian pemberian obat intranasal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung
2.1.1 Anatomi Hidung
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, farinx, larinx,
trachea, bronkus, dan bronkiolus.
a. Hidung
Nares anterior adalah saluran-saluran di dalam rongga hidung. Saluran-saluran itu
bermuara ke dalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum. Rongga hidung dilapisi sebagai
selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan farinx
dan dengan selaput lendir sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam rongga hidung.
Septum nasi memisahkan kedua cavum nasi. Struktur ini tipis terdiri dari tulang dan tulang
rawan, sering membengkok kesatu sisi atau sisi yang lain, dan dilapisi oleh kedua sisinya
dengan membran mukosa. Dinding lateral cavum nasi dibentuk oleh sebagian maxilla,
palatinus, dan os. Sphenoidale. Tulang lengkung yang halus dan melekat pada dinding lateral
dan menonjol ke cavum nasi adalah: conchae superior, media, dan inferior. Tulang-tulang ini
dilapisi oleh membrane mukosa.
Dasar cavum nasi dibentuk oleh os frontale dan os palatinus sedangkan atap cavum
nasi adalah celah sempit yang dibentuk oleh os frontale dan os sphenoidale. Membrana
mukosa olfaktorius, pada bagian atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan, mengandung
sel saraf khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat saraf melewati lamina
cribriformis os frontale dan kedalam bulbus olfaktorius nervus cranialis I olfaktorius.
Sinus paranasalis adalah ruang dalam tengkorak yang berhubungan melalui lubang kedalam
cavum nasi, sinus ini dilapisi oleh membrana mukosa yang bersambungan dengan cavum nasi
(Paulsen, Waschke. 2012).
Gambar 1: Anatomi hidung
b. Faring
Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
persambungannya dengan oesopagus dan larynx. Faring dibagi menjadi 3 bagian yaitu
nasofarinx (faring yang mengarah ke cavum nasalis), orofarinx (faring yang mengarah ke
cavum oralis) dan laryngofarinx (faring yang mengarah larynx)

Gambar 2: Anatomi faring


c. Laring
Terletak pada garis tengah bagian depan leher, sebelah dalam kulit, glandula tyroidea,
dan beberapa otot kecil, dan di depan laringofaring dan bagian atas esopagus. Laring
merupakan struktur yang lengkap terdiri atas cartilago yaitu cartilago thyroidea, epiglottis,
cartilago cricoidea, dan arytenoidea. Terdapat juga membarana yaitu menghubungkan
cartilago satu sama lain dan dengan os. Hyoideum, membrana mukosa, plika vokalis, dan otot
yang bekerja pada plica vokalis.
Gambar 3: Anatomi laring
d. Trachea
Adalah tabung fleksibel dengan panjang kira-kira 10 cm dengan lebar 2,5 cm. trachea
berjalan dari cartilago cricoidea kebawah pada bagian depan leher dan dibelakang
manubrium sterni, berakhir setinggi angulus sternalis (taut manubrium dengan corpus sterni)
atau sampai kirakira ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini bercabang
mcnjadi dua bronckus (bronchi). Trachea tersusun atas 16 20 lingkaran tak- lengkap yang
berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi
lingkaran disebelah belakang trachea, selain itu juga membuat beberapa jaringan otot.

e. Bronchus
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira vertebrata
torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan dilapisi oleh.jenis sel yang
sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru.
Bronckus kanan lebih pendek dan lebih lebar, dan lebih vertikal daripada yang kiri, sedikit
lebih tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah
arteri, disebut bronckus lobus bawah. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang
kanan, dan berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelurn di belah menjadi beberapa cabang
yang berjalan ke lobus atas dan bawah.
Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus lobaris dan
kernudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronchus yang
ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu saluran
udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkhiolus terminalis
memiliki garis tengah kurang lebih I mm. Bronkhiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang
rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran
udara ke bawah sampai tingkat bronkbiolus terminalis disebut saluran penghantar udara
karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.
Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan respiratorius yang
terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya.
Gambar 4: Anatomi trakea dan bronkus
2.1.2 Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi
udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapatnya mukosa
olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi
fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk
meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.
(Soetjipto D & Wardani RS,2007).
2.2 Drug Delivery System Intranasal
Drug Delivery System Intranasal (DDS Intranasal) merupakan sistem penghantar obat
melalui hidung. Mukosa hidung telah dianggap sebagai rute pemberian obat untuk mencapai
absorpsi yang lebih cepat dan lebih tinggi karena dapat mengurangi aktivitas dari saluran
pencernaan, mengurangi aktivitas pankreas, dan aktivitas enzimatik lambung, PH netral pada
mukus hidung akan mengurangi aktivitas gastrointestinal. Beberapa tahun terakhir banyak
obat telah terbukti mencapai bioavailabilitas yang lebih baik ke sistemik melalui rute
pemberian hidung dibandingkan dengan rute pemberian oral.
2.3 Faktor yang mempengaruhi Absorpsi DDS Intranasal
Faktor yang mempengaruhi penyerapan obat secara intranasal, yaitu :
2.3.1 Faktor Fisiologis Nasal
a. Aliran darah
Mukosa hidung disuplai oleh banyak aliran darah dan terdapat area permukaan yang
besar sehingga menjadikannya sebagai tempat absorpsi obat yang optimal. Laju aliran darah
secara signifikan mempengaruhi absorpsi sistemik obat di hidung, sehingga lebih banyak obat
yang melewati membrane dan mencapai sirkulasi darah. Mengingat bahwa kebanyakan
absorpsi obat terjadi melalui difusi, aliran darah penting untuk menjaga gradient konsentrasi
dari tempat absorpsi ke darah. Oleh karena itu, vasokontriksi dan vasodilatasi pembuluh
dapat mempengaruhi aliran darah serta kecepatan obat diabsorpsi. Beberapa penelitian
dilakukan untuk mengevaluasi pengaruhnya. Sebagai contoh, Huang et al menyatakan bahwa
fenilefrin, suatu agen vasokontriktor, menghambat absorpsi asam asetil salisilat di rongga
hidung. Penelitian lain oleh Kao et al menetapkan bahwa absorpsi nasal dopamine relative
lambat dan tidak sempurna kemungkinan disebabkan oleh efek vasokontriktornya.
Berdasarkan observasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa vasokontriksi menurunkan
absorpsi obat secara nasal dengan mengurangi jumlah darah yang mengalir.

b. Klirens mukosiliar
Klirens Mukosiliaris (mucociliar clearance, MCC) adalah mekanisme klirens pada
bronkus. Lapisan mukus hidung berperan penting dalam pertahanan saluran pernafasan
karena dapat menjaga paru-paru dari zat asing, patogen dan partikel yang dibawa oleh udara
yang terhirup. Zat-zat tersebut melekat pada lapisan mukus dan akan ditranspor ke nasofaring
dan pada akhirnya ke saluran pencernaan. Eliminasi ini ditetapkan MCC dan mempengaruhi
secara signifikan absorpsi obat secara nasal. sistem MCC digambarkan sebagai conveyer
belt dimana silia memberikan kekuatan pendorong sedangkan mukus bertindak sebagai
cairan lengket yang mengumpulkan dan membuang partikel asing. Efisiensi MCC tergantung
pada panjang, densitas dan frekuensi gerakan silia serta jumlah dan sifat viskoelastik dari
mukus. Secara singkat, semua faktor yang meningkatkan produksi mukus, dapat menurunkan
kekentalan mukus atau meningkatkan frekuensi gerakan silia dapat meningkatkan MCC.
Pada kondisi fisiologi, mukus diangkut dengan kecepatan 5 nm/menit dan waktu transit
mukus dalam rongga hidung manusia dilaporkan 15-20 menit. Nilai yang melebihi batas
tersebut berarti abnormal dan menandakan gangguan MCC. Demikian jika kerja MCC
menurun, maka lamanya obat berada di mukosa nasal akan meningkat dan memperbesar
permeasi obat. Efek yang berlawanan teramati saat MCC meningkat. Pada kasus terakhir,
penghentian dini dari pemberian obat secara nasal dari rongga hidung ke arah nasofaring,
menurunkan jumlah absorpsi obat. Klirens produk obat dari rongga hidung juga dipengaruhi
oleh tempat endapan. Suatu obat yang terakumulasi di bagian posterior hidung akan
dikeluarkan lebih cepat dari rongga nasal dibandingkan obat yang terakumulasi di bagian
anterior. Hal ini dikarenakan MCC lebih rendah di bagian anterior hidung dibandingkan di
bagian posterior yang lebih bersilia. Di sisi lain, tempat akumulasi obat di hidung sangat
tergantung pada bentuk dosis. Obat semprot (nasal spray) menyimpan obat di bagian anterior
dibandingkan obat tetes (nasal drop), sehingga menghasilkan klirens yang lebih rendah untuk
obat yang diberikan dalam bentuk formulasi spray.
Obat yang polar banyak dipengaruhi oleh MCC, karena obat tersebut kelarutannya sangat
tinggi dalam mukus dan melewati membrane sangat rendah. Sehingga semua faktor yang
mempengaruhi efikasi dan langkah MCC memungkinkan modifikasi profil absorpsi obat.
Sebagai contoh, faktor lingkungan mempunyai pengaruh penting dalam MCC. Temperature
dan sulfur dioksida menyebabkan reduksi yang signifikan dalam MCC, namun mekanisme
tersebut tidak diketahui pasti. Asap rokok menurunkan MCC karena dapat meningkatkan
kekentalan mukus dan atau mengurangi sejumlah silia. Selain itu, terdapat beberapa kondisi
patologi dimana MCC tidak dapat bekerja dengan baik, seperti yang terdapat dalam tabel
berikut. Beberapa komponen dari formulasi obat juga dapat mengubah sistem MCC seperti
bahan pengawet dan peningkat absorpsi nasal.
c. Degradasi enzim
Obat yang diberikan secara nasal tidak melalui saluran gastrointestinal dan tidak
mengalami efek eliminasi pertama di hati. Namun, obat nasal dimetabolisme pada lumen
rongga hidung atau dalam perjalanan menmbus barrier di epitel hidung karena adanya
berbagai enzim metabolik dalam jaringan hidung.

Beberapa enzim yang ditemukan di daerah hidung antara lain:


- Karboksil esterase, aldehid dehidrogenase, epoksida hidrolase dan glutation S-
transferase terdapat pada sel epitel hidung dan bertanggung jawab atas degradasi
obat di mukosa hidung.
- Isoenzim sitokrom P450 dan diketahui memetabolisme obat seperti kokain,
nikotin, alcohol, progesterone dan dekongestan.
- Enzim proteolitik yang terdapat dalam sel epitel hidung dan diyakini menjadi
penghalang utama terhadap absorpsi obat peptide seperti kalsitonin, insulin dan
desmopressin.
Dengan demikian, enzim metabolisme xenobiotik berada di mukosa hidung
mempengaruhi profil farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat yang diberikan secara
nasal. Dalam konteks ini, meskipun metabolisme pertama di hidung biasanya lebih lemah
dibanding hati dan usus, metabolisme tersebut tidak dapat diabaikan.

d. Sistem transporter dan efluks


Sistem transporter yang terdapat pada jaringan hidung dan pengaruhnya terhadap
absorbsi masih dipelajari dalam berbagai penelitian. Saat ini, resistensi transporter terhadap
banyak obat telah diidentifikasi di pernafasan hidung manusia dan mukosa olfaktori, yang
mungkin terlibat dalam transport berbagai obat hidrofobik dan ampifilik. P-glikoprotein (P-
gp) merupakan efluks transporter yang berada di bagian apikal sel epitel bersilia dan di
pembuluh submukosa dari bagian penciuman (olfaktori) manusia. Beberapa studi
menunjukkan bahwa P-gp mempunyai peran penting dalam mencegah influx obat secara aktif
dari membran hidung.
2.3.2 Faktor Fisikokimia Obat
Karakter fisikokimia obat (bobot molekul, lipofilitas, pKa, stabilitas dan kelarutan)
dapat mempengaruhi absorbsi nasal.
a. Bobot molekul, Lipofilitas, dan pKa.
Membran hidung cenderung bersifat lipofil sehingga absorpsi obat cenderung menurun
dengan berkurangnya lipofilitas obat tersebut. Obat yang bersifat lipofil dan berbobot
molekul <1 kDa diabsorpsi dengan baik di rongga hidung melalui mekanisme transelular.
Profil farmakokinetik obat nasal tersebut menyerupai profil farmakokinetik pemberian
intravenanya dengan bioavabilitas pemberian nasal mendekati 100%. Absorpsi obat lipofil
yang berbobot molekul >1 kDa lebih rendah.
Kecepatan dan derajat absorpsi obat dengan kepolaran rendah sangat tergantung pada
bobot molekul. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa permeasi obat polar dengan bobot
molekul <300 Da relatif tidak dipengaruhi oleh karakter fisikokimianya. Sebaliknya,
kecepatan permeasi obat yang berbobot molekul >300 Da sangat bergantung pada ukuran
molekulnya.
Obat polar juga tidak mudah menembus membran hidung sehingga menstimulasi kinerja
MCC. Namun, jika lipofilitas terlalu tinggi, maka obat tidak mudah larut dalam lingkungan
air (aquaeous environment) rongga hidung sehingga dengan adanya klirens mukosiliaris,
waktu kontak obat dengan membran hidung menurun dan lebih lanjut mengurangi
permeasinya.
Secara umum, transport zat melalui biomembran dipengaruhi oleh lipofilitas dan bentuk
non-ionik. Keberadaan bentuk ionik zat bergantung pada pKa dan pH situs absorpsi (pH
mukosa hidung manusia 5,0 6,5). Menurut teori pH partisi, bentuk non-ionik obat lebih
bersifat permeabel daripada bentuk ionik.
Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa absorpsi nasal elektrolit lemah bergantung
pada derajat ionisasi serta absorpsi terbesar terjadi pada bentuk non-ionik. Namun, beberapa
obat seperti asam asetil salisilat berada dalam bentuk ionik saat menembus membran. Jadi,
untuk obat polar, koefisien partisi adalah faktor utama yang mempengaruhi permeabilitas
melalui mukosa hidung.

b. Stabilitas
Lingkungan rongga hidung memiliki berbagai enzim yang dapat memetabolisme obat
sehingga menurunkan stabilitas biologis obat yang diberikan melalui rute nasal. Untuk
mengatasi hal ini, berbagai strategi telah digunakan seperti penggunaan prodrug dan inhibitor
enzim. Selain itu, banyak obat yang tidak stabil secara fisikokimia melalui reaksi hidrolisis,
oksidasi, dekomposisi fotokimia atau polimerasi pada pemberian nasal.

c. Solubilitas/Kelarutan
Obat harus terdisolusi sebelum diabsorpsi karena hanya bentuk yang terdispersi secara
molekular di situs absorpsi yang dapat menembus biomembran. Jadi sebelum diabsorpsi di
daerah nasal, obat harus terdisolusi dalam cairan rongga hidung yang berbasis air. Obat yang
relatif larut dalam air dapat melakukan kontak yang cukup dengan mukosa hidung. Namun,
profil absorpsi tidak hanya dipengaruhi oleh kelarutan tetapi juga karakter sediaan farmasetik
yang menjamin penghantaran obat pada dosis terapeutik. Karena rongga hidung berukuran
relatif kecil, volume larutan obat harus sedikit pada pemberian intranasal. Jadi obat yang
kurang larut dalam air dan atau memiliki dosis terapeutik yang tinggi akan mengalami
masalah saat diberikan secara intranasal sehingga kelarutannya harus dimodifikasi dengan
peningkat kelarutan.
2.4 Mekanisme Absorpsi Obat Nasal
Beberapa mekanisme telah diusulkan tetapi ada 2 mekanisme penyerapan obat yang
digunakan:
1) Mekanisme pertama
Melibatkan rute berair transportasi, yang juga dikenal sebagai rute paracellular. Rute ini
lambat dan pasif. Ada korelasi log-log terbalik antara intranasal penyerapan dan berat
molekul senyawa larut dalam air. Kurang bioavailabilitas diamati untuk obat dengan berat
molekul lebih besar dari 1000 Dalton.
2) Mekanisme kedua
Melibatkan transportasi melalui rute lipoidal juga dikenal sebagai proses transelular dan
bertanggung jawab untuk pengangkutan lipofilik obat yang menunjukkan tingkat
ketergantungan pada lipofilisitas mereka. Obat juga lintas membran sel dengan rute transpor
aktif melalui carrier-dimediasi berarti atau transportasi melalui pembukaan persimpangan
ketat. Sebagai contoh, kitosan, suatu biopolimer alami dari kerang, membuka sambungan
yang erat antara epitel sel untuk memfasilitasi transportasi obat. Adapun perjalanan sistem
penghantaran obat ( DDS ) intranasal dalam tubuh, adalah sebagai berikut:
a) Bentuk sediaan obat nasal dengan zat aktif
Sediaan nasal diformulasikan atau dirancang dengan sedemikian rupa untuk penggunaan efek
lokal.
b) Fase biofarmasetik
Obat dihisap melalui rongga hidung masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Fase ini meliputi
waktu mulai penggunaan sediaan obat melalui hidung hingga pelepasan zat aktifnya ke dalam
cairan tubuh.
c) Ketersediaan farmasi
Obat siap untuk diabsorbi obat dalam bentuk zat aktif terlarut siap untuk diabsorpsi yang
selanjutnya zat aktif akan di distribusikan keseluruh tubuh (sistemik).
d) Fase farmakokinetik
Tidak terjadi ADME fase ini meliputi waktu selama obat diangkut ke organ yang ditentukan
setelah obat dilepas dari bentuk sediaan.
e) Ketersediaan hayati
Obat untuk memberi efek pada tahap ini obat mulai memberikan efek pada pasien dengan
cara berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada pada tubuh.
f) Fase farmakodimanik
Interaksi dengan reseptor ditempat kerjabila obat telah berinteraksi dengan sisi reseptor
biasanya protein membrane akan menimbulkan respon biologik. Tujuan utama pada fase ini
adalah optimisasi dari efek biologik.
g) Efek terapi
Obat pada akhirnya memberikan efek terapi atau pengobatan pada pasien.Yang diharapkan
dapat memberikan kesembuhan pada pasien
2.5 Kelebihan dan Kekurangan DDS Intranasal
Seperti halnya obat yang diberikan secara intranasal adalah untuk efek lokal seperti
obat tetes hidung atau dalam bentuk spray yang biasa digunakan penderita untuk
menghentikan serangan sebagai tindakan pencegahan dengan cara pemberian obat secara
langsung kedalam saluran nafas melalui penghisapan yang memungkinkan obat langsung
mencapai sistemik sehingga memberikan efek lebih cepat untuk mengatasi serangan. Selain
itu dosis yang diperlukan lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama efek samping obat
minimal karena konsentrasi obat di dalam rendah. Lain halnya jika pemberian obat secara
parenteral atau oral sering menimbulkan efek samping seperti gangguan gastrointestinal atau
efek samping lainnya.
Melihat mekanisme kerja obat seperti uraian diatas tersebut, maka kelebihan dan
kekurangan penghantaran untuk lokal pada pemberian obat intranasal, adalah sebagai berikut:
Kelebihan:
Dosis yang diperlukan untuk efek farmakologinya dapat dikurangi
Konsentrasi rendah dalam sirkulasi sistemik dapat mengurangi efek samping sistemik
Area permukaan untuk absorpsi luas ( 160 cm3 )
Onset of action yang cepat
Aktivitas metabolisme yang rendah dibandingkan peroral, menghindari reaksi saluran cerna
metabolisme hati
Bentuk sediaan alternative, jika tidak dapat digunakan obat saluran cerna
Mudah diakses untuk penghantaran obat
Kekurangan :
Difusi obat terhalang oleh mucus dan ikatan mucus
Mukosa nasal dan sekresinya dapat mendegradasi obat
Iritasi lokal dan sensitivisasi obat harus diperhatikan
Mucociliary clearance mengurangi waktu retensi obat dalam rongga hidung
Kurang reproduksibilitas pada penyakit yang berhubungan dengan rongga hidung
Hanya untuk obat yang poten (dosis kecil) dengan ukuran partikel 5 10 m

Biasanya penbawa obat intranasal berupa spray dengan menggunakan motered dosis
spraymisalnya berupa aerosol yaitu system koloid bahan padat atau cair dalam gas,
sedangkan dropmenggunakan penetes.

Anda mungkin juga menyukai