Anda di halaman 1dari 15

TUGAS STASE KULIT KELAMIN

RS. POLRI SARTIKA ASIH BANDUNG

Nama : Farella Kartika Huzna

NIM : 11.2015.233

1. Anatomi kulit ( Adnexa Tengah Bawah ) :

1. Lapisan Epidermis

Lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum, stratum lusidum, stratum


granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.

Stratum Korneum (lapisan tanduk)


Lapisan kulit paling luar yang terdiri dari sel gepeng yang mati, tidak berinti,
protoplasmanya berubah menjadi keratin (zat tanduk)
Stratum Lusidum
Terletak di bawah lapisan korneum, lapisan sel gepeng tanpa inti,
protoplasmanya berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan ini lebih
jelas tampak pada telapak tangan dan kaki.
Stratum Granulosum (lapisan keratohialin)
Merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan
terdapat inti di antaranya. Butir kasar terdiri dari keratohialin. Mukosa biasanya
tidak mempunyai lapisan ini.
Stratum Spinosum (stratum Malphigi) atau prickle cell layer (lapisan akanta)
Terdiri dari sel yang berbentuk poligonal, protoplasmanya jernih karena banyak
mengandung glikogen, selnya akan semakin gepeng bila semakin dekat ke
permukaan. Di antara stratum spinosum, terdapat jembatan antar sel
(intercellular bridges) yang terdiri dari protoplasma dan tonofibril atau keratin.
Perlekatan antar jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut
nodulus Bizzozero. Di antara sel spinosum juga terdapat pula sel Langerhans.
Stratum Basalis
Terdiri dari sel kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal pada perbatasan dermo-
epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Sel basal bermitosis dan berfungsi
reproduktif.
Sel kolumnar protoplasma basofilik inti lonjong besar, di hubungkan oleh
jembatan antar sel.
Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell => sel berwarna muda,
sitoplasma basofilik dan inti gelap, mengandung pigmen (melanosomes)

2. Lapisan Dermis

Lapisan yang terletak dibawah lapisan epidermis adalah lapisan dermis yang jauh
lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri dari elastis dan fibrosa padat
dengan elemen- elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi
menjadi 2 bagian yaitu pars papilare dan pars retikulare.

Pars papilare yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut
saraf dan pembuluh darah.
Pars retikulare yaitu bagian bawahnya yang menonjol kea rah subkutan, bagian
ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin dan
retikulin. Dasar lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan
kondroitin sulfat, di bagian ini terdapat pula fibroblast, membentuk ikatan yang
mengandung hidrksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur
dengan bertambah umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin
mirip kolagen muda. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf
dan mudah mengembang serta lebih elastis.

3. Lapisan Subkutis

Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar,
dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini
membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh trabekula yang
fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adipose, berfungsi sebagai
cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah,
dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung pada
lokasinya. Di abdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, di daerah kelopak mata
dan penis sangat sedikit. Lapisan lemak ini juga merupakan bantalan.
Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di
bagian atas dermis (pleksus superficial) dan yang terletak di subkutis (pleksus
profunda). Pleksus yang di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil
dermis, pleksus yang di subkutis dan di pars retikulare juga mengadakan
anastomosis, di bagian ini pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan
dengan pembuluh darah teedapat saluran getah bening.
4. Adnexa Kulit
Adneksa kulit terdiri atas kelenjar-kelenjar kulit, rambut dan kuku.
Kelenjar kulit terdapat di lapisan dermis, terdiri atas kelenjar keringat dan kelenjar
palit. Ada 2 macam kelenjar keringat, yaitu kelenjar ekrin yang kecil-kecil,
terletak dangkal di dermis dengan sekret yang encer, dan kelenjar apokrin yang
lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental.
Kelenjar enkrin telah dibentuk sempurna pada 28 minggu kehamilan dan
berfungsi 40 minggu setelah kehamilan. Saluran kelenjar ini berbentuk spiral dan
bermuara langsung di permukaan kulit. Terdapat di seluruh permukaan kulit dan
terbanyak di telapak tangan dan kaki, dahi, dan aksila. Sekresi bergantung pada
beberapa faktor dan dipengaruhi oleh saraf kolinergik, faktor panas, dan
emosional.
Kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenergik, terdapat di aksila,
areola mame, pubis, labia minora, dan saluran telinga luar. Fungsi apokrin pada
manusia belum jelas, pada waktu lahir kecil, tetapi pada pubertas mulai besar dan
mengeluarkan sekret. Keringat mengandung air, elektrolit, asam laktat, dan
glukosa, biasanya pH sekitar 4-6,8.
Kelenjar palit terletak di seluruh permukaan kulit manusia kecuali di
telapak tangan dan kaki. Kelenjar palit disebut juga kelenjar holokrin karena tidak
berlumen dan sekret kelenjar ini berasal dari dekomposisi sel-sel kelenjar.
Kelenjar palit biasanya terdapat di samping akar rambut dan muaranya terdapat
pada lumen akar rambut (folikel rambut). Sebum mengandungi trigliserida, asam
lemak bebas, skualen, wax ester, dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi hormone
androgen, pada anak-anak jumlah kelenjar palit sedikit, pada pubertas menjadi
lebih besar dan banyak serta mulai berfungsi secara aktif.
Kuku, adalah bagian terminal stratum korneum yang menebal. Bagian kuku
yang terbenam dalam kulit jari disebut akar kuku, bagian yang terbuka di atas
dasar jaringan lunak kulit pada ujung jari dikenali sebagai badan kuku, dan yang
paling ujung adalah bagian kuku yang bebas. Kuku tumbuh dari akar kuku keluar
dengan kecepatan tumbuh kira-kira 1 mm per minggu. Sisi kuku agak mencekung
membentuk alur kuku. Kulit tipis yang yang menutupi kuku di bagian proksimal
disebut eponikium sedang kulit yang ditutupki bagian kuku bebas disebut
hiponikium.
Rambut, terdiri atas bagian yang terbenam dalam kulit dan bagian yang
berada di luar kulit. Ada 2 macam tipe rambut, yaitu lanugo yang merupakan
rambut halus, tidak mrngandung pigmen dan terdapat pada sbayi, dan rambut
terminal yaitu rambut yang lebih kasar dengan banyak pigmen, mempunyai
medula, dan terdapat pada orang dewasa. Pada orang dewasa selain rambut di
kepala, juga terdapat bulu mata, rambut ketiak, rambut kemaluan, kumis, dan
janggut yang pertumbuhannya dipengaruhi hormon androgen. Rambut halus di
dahi dan badan lain disebut rambut velus. Rambut tumbuh secara siklik, fase
anagen berlangsung 2-6 tahun dengan kecepatan tumbuh kira-kira 0.35 mm per
hari. Fase telogen berlangsung beberapa bulan. Di antara kedua fase tersebut
terdapat fase katagen. Komposisi rambut terdiri atas karbon 50,60%, hydrogen
6,36%, nitrogen 17,14%, sulfur 5% dan oksigen 20,80%.

2. Obat obatan (Cara Kerja dan efek samping ) :

- Antihistamin
FARMAKOKINETIK
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul 15-
30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah
pemberian dosis tunggal kira-kira 4-6 jam, untuk golongan klorsiklizin 8-12 jam.
Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah
setelah kira-kira 2 jam dan menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam berikutnya, kemudian
dieliminasi dengan masa paruh kira-kira 4 jam.
Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot dan
kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati, tetapi dapat juga
pada paru-paru dan ginjal. Tripelenamin mengalami hidroksilasi dan konjugasi sedangkan
klorsiklizin dan siklizin terutama mengalami demetilasi. AH1 diekskresi melalui urin setelah
24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
MEKANISME KERJA
Antihistamin bekerja dengan cara menutup reseptor syaraf yang menimbulkan rasa
gatal, iritasi saluran pernafasan, bersin, dan produksi lendir (alias ingus). Antihistamin ini ada
3 jenis, yaitu Diphenhydramine, Brompheniramine, dan Chlorpheniramine. Yang paling
sering ditemukan di obat bebas di Indonesia adalah golongan klorfeniramin (biasanya dalam
bentuk klorfeniramin maleat). Antihistamin menghambat efek histamin pada reseptor H1.
Tidak menghambat pelepasan histamin, produksi antibodi, atau reaksi antigen antibodi.
Kebanyakan antihistamin memiliki sifat antikolinergik dan dapat menyebabkan kostipasi,
mata kering, dan penglihatan kabur. Selain itu, banyak antihistamin yang banyak sedasi.
Beberapa fenotiazin mempunyai sifat antihistamin yang kuat (hidroksizin dan prometazin).
1. Antihistamin H1
Meniadakan secara kompetitif kerja histamin pada reseptor H1. Selain memiliki kefek
antihistamin, hampir semua AH1 memiliki efek spasmolitik dan anastetik lokal
2. Antihistamin H2
Bekerja tidak pada reseptor histamin, tapi menghambat dekarboksilase histidin sehinnga
memperkecil pembentukan histamin jika pemberian senyawa ini dilakukan sebelum
pelepasan histamin. Tapi jika sudah terjadi pelepasa histamin, indikasinya sama denfan AH 1.

EFEK SAMPING
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat
serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling
sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS atau pasien
yang perlu banyak tidur.
Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi
sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Pengurangan dosis atau
penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin,
loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah,
penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan tremor.
Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual,
muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping ini akan berkurang
bila AH1 diberikan sewaktu makan.
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria,
palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek samping
karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat antihistamin
nonsedatif.
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat
penggunaan lokal berupa dermatitis alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah
dilaporkan terjadi. Selain itu pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien
yang mendapat ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat
memperpanjang interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel.
Hal ini juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan pasien-
pasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien hipokalemia).
Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistamin non sedative dengan
terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut.

INDIKASI
Antihistamin generasi pertama di-approve untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi
tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi
konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan.
Difenhidramin, hidroksizin, dan prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi
alergi. Difenhidramin digunakan sebagai antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion
sickness. Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi umum,
analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum, dan sebagai anti-emetik. Prometazin
digunakan untuk motion sickness, pre- dan postoperative atau obstetric sedation.

KONTRAINDIKASI
Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait
secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle
glaucoma, stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck obstruction,
penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma), pasien yang
menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan pasien tua.
Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus
atau terkait secara struktural.

- VESIKOBULOSA

Berbagai penyakit kulit yang manifestasi kliniknya ditandai terutama oleh adanya
vesikel dan bula, antara lain adalah penyakit yang dermatitis vesikobulosa kronik, yang
termasuk golongan ini ialah :1
1. Pemfigus
Definisi
Istilah Pemfigus, berasal dari kata pemphix (Yunani) yang berarti lepuh atau
gelembung, merupakan kelompok penyakit berbula kronik, menyerang kulit dan membrane
mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal, dimana akibat dari
autoantibodi yang secara langsung menyerang permukaan keratinosit yang mengakibatkan
hilangnya adhesi antara keratinosit melalui proses yang disebut akantolisis. Dan secara
imunopatologik ditemukan antibody terhadap komponen desmosom pada permukaan
keratinosit jenis IgG, baik terikat maupun yang bebas di dalam sirkulasi darah.2
Secara garis besar bentuk pemfigus dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu pemfigus vulgaris,
pemfigus eritematous, pemfigus foliaseus, dan pemfigus vegetans. Menurut letak dan celah
pemfigus di bagi menjadi 2 yaitu di suprabasal ialah pemfigus vulgaris dan pemfigus
vegetans, dan di stratum granulosum ialah pemfigus eritematous dan pemfigus foliaseus.
Semua penyakit tersebut memberikan gejala yang khas yaitu pembentukan bula yang kendur
pada kulit yang terlihat normal dan mudah pecah, pada penekanan, bula tersebut meluas
(tanda Nikolski positif), Akantolisis selalu positif, dan adanya antibody tipe IgG terhadap
antigen interselular di epidermis yang dapat ditemukan di dalam serum, meupun terikat di
epidermis.1
2. Pemfigoid Bulosa
Definisi
Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai oleh adanya
bula subepidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada orang tua dengan erupsi
bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan mukosa, tetapi memiliki
angka morbiditas yang tinggi. Namun presentasinya dapat polimorfik dan dapat terjadi
kesalahan diagnosa, terutama pada tahap awal penyakit atau di varian atipikal, di mana bula
biasanya tidak ada. Dalam kasus ini, penegakan diagnosis PB memerlukan tingkat
pemeriksaan yang tinggi untuk kepentingan pemberian pengobatan awal yang tepat. Antigen
target pada antibodi pasien yang menunjukkan dua komponen dari jungsional adhesi
kompleks-hemidesmosom ditemukan pada kulit dan mukosa.
Pemfigoid Bulosa (PB) ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding
tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3)
pada epidermal basement membrane zone, IgG sirkulasi dan antibody IgG yang terikat pada
basement membrane zone.Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal
terakumulasi di lapisan tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut
"membran basal." Antibodi (imunoglobulin) mengikat protein di membran basal disebut
antigen hemidesmosomal PB dan ini menarik sel-sel peradangan (kemotaksis).
Patogenesis
Pemfigoid Bulosa adalah contoh penyakit autoimun dengan respon imunseluler dan
humoral yang bersatu menyerang antigen pada membran basal.
Antigen P.B. merupakan protein yang terdapat pada hemidesmosom sel basal,
diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian B.M.Z. (basal membrane zone) epitel gepeng
berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel basal dengan membrana basalis,
strukturnya berbeda dengan desmosom. 1,2
Terdapat 2 jenis antigen P.B. ialah yang dengan berat molekul 230 kD disebut PBAgl
(P.B. /Antigen 1) atau PB230 dan 180 kD dinamakan PBAg2 atau PB180. PB230 lebih
banyak ditemukan daripada PB180.1
Terbentuknya bula akibat komplemen yang teraktivasi melalui jalur klasik dan
alternatif kemudian akan dikeluarkan enzim yang merusak jaringan sehingga terjadi
pemisahan epidermis dan dermis.
Autoantibodi pada PB terutama IgG1, kadang-kadang IgA yang menyertai IgG.
Isotipe IgG yang utama ialah IgG1 dan IgG4, yang melekat pada kompelemen hanya IgG1.
Hampir 70% penderita mempunyai autoantibodi terhadap B.M.Z dalam serum dengan kadar
yang sesuai dengan keaktivasi penyakit, jadi berbeda dengan pemfigus.1
Studi ultrastruktural memperlihatkan pembentukan awal bula pada pemfigus bulosa
terjadi dalam lamina lucida, di antara membrane basalis dan lamina densa. Terbentuknya bula
pada tempat tersebut disebabkan hilangnya daya tarikan filament dan hemidesmosom.
Langkah awal dalam pembentukan bula adalah pengikatan antibody terhadap antigen
Pemfigoid Bulosa. Fiksasi IgG pada membran basal mengaktifkan jalur klasik komplemen.
Aktifasi komplemen menyebabkan kemotaksis leukosit serta degranulasi sel mast. Produk-
produk sel menyebabkan kemotaksis dari eosinofil melalui mediator seperti faktor
kemotaktik eosinofil anafilaksis. Akhirnya, leukosit dan protease sel mast mengakibatkan
pemisahan epidermis kulit. Sebagai contoh, eosinofil, sel inflamasi dominan di membran
basal pada lesi Pemfigoid Bulosa, menghasilkan gelatinase yang memotong kolagen
ekstraselular dari PBAG2, yang mungkin berkontribusi terhadap pembentukan bula
Diagnosa
Gambaran Klinis
Fase Non Bulosa
Manifestasi kulit PB bisa polimorfik. Dalam fase prodromal penyakit non-
bulosa, tanda dan gejala sering tidak spesifik, dengan rasa gatal ringan sampai parah
atau dalam hubungannya dengan eksema, papul dan atau urtikaria, ekskoriasi yang
dapat bertahan selama beberapa minggu atau bulan. Gejala non-spesifik ini bisa
ditetapkan sebagai satu-satunya tanda-tanda penyakit.
Fase Bulosa
Tahap bulosa dari PB ditandai oleh perkembangan vesikel dan bula pada kulit
normal ataupun eritematosa yang tampak bersama-sama dengan urtikaria dan infiltrat
papul dan plak yang kadang-kadang membentuk pola melingkar. Bula tampak tegang,
diameter 1 4 cm, berisi cairan bening, dan dapat bertahan selama beberapa hari,
meninggalkan area erosi dan berkrusta. Lesi seringkali memiliki pola distribusi
simetris, dan dominan pada aspek lentur anggota badan dan tungkai bawah, termasuk
perut. Perubahan post inflamasi memberi gambaran hiper- dan hipopigmentasi serta,
yang lebih jarang, miliar. Keterlibatan mukosa mulut diamati pada 10-30% pasien.
Daerah mukosa hidung mata, faring, esofagus dan daerah anogenital lebih jarang
terpengaruh. Pada sekitar 50% pasien, didapatkan eosinofilia darah perifer.
Perjalanan penyakit biasanya ringan dan keadaan umum penderita baik.
Penyakit PB dapat sembuh spontan (self-limited disease) atau timbul lagi secara
sporadik, dapat generalisata atau tetap setempat sampai beberapa tahun. Rasa gatal
kadang dijumpai, walaupun jarang ada. Tanda Nikolsky tidak dijumpai karena tidak
ada proses akantolisis. Kebanyakan bula ruptur dalam waktu 1 minggu, tidak seperti
pemfigus vulgaris, ia tidak menyebar dan sembuh dengan cepat.
Lesi kulit
Eritem, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului pembentukan bula.
Bula besar, tegang, oval atau bulat; mungkin timbul dalam kulit normal atau yang
eritema dan mengandung cairan serosa atau hemoragik. Erupsi dapat bersifat lokal
maupun generalisata, biasanya tersebar tapi juga berkelompok dalam pola serpiginosa
dan arciform.
Tempat Predileksi
Aksila; paha bagian medial, perut, fleksor lengan bawah, tungkai bawah.

Gambar : Pemfigoid Bulosa.


Gambar: Pemfigoid Bulosa

Gambar Pemfigoid Bulosa

Gambar : Pemfigoid Bulosa

3. Dermatitis Herpetiformis
Definisi
Dermatitis herpetiformis (D.H) adalah penyakit menahun dan residif, ruam bersifat
polimorfik terutama berupa vesikel, tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa
sangat gatal.
Empat temuan yang digunakan untuk mendukung diagnosis DH adalah papulovesikel
pruritus atau papula ekskoriasi pada permukaan ekstensor, infiltrasi netrofil pada papilla
dermis disertai formasi vesikel pada epidermal-dermal junction, deposisi granular IgA pada
papilla dermis pada kulit normal di sekitar lesi, respon kulit tetapi bukan penyakit kulit akibat
terapi Dapson.
Patogenesis
Pengetahuan yang ada saat ini tentang patogenesis DH didasarkan pada sejumlah
observasi klinis dan laboratorium. Sampai saat ini, sebuah model binatang dari gangguan ini
belum dikembangkan. Beberapa hal yang berkaitan dengan patogenesis DH adalah :
Hubungan genetik yang sangat kuat dengan HLA DQ * genotipe, 0501 A1 B1 *02 (yang
mengkode heterodimers HLA-DQ2) dan juga gen non-HLA yang tidak teridentifikasi.
Beberapa derajat gluten-sensitive enteropathy pada biopsi usus kecil di hampir semua
pasien, disertai dengan stimulasi sistem imun mukosa usus.
Deposit butiran IgA di dermis pars papilare kulit (ini sangat penting untuk diagnosis dan
terjadi pada tempat peradangan akhirnya).
Infiltrasi neutrofil di papilla dermis.
Perbaikan gejala yang sangat baik dengan terapi dapson dan memburuknyagejala dengan
konsumsi iodida anorganik.
Pada D.H. tidak ditemukan antibodi11IgA terhadap 11papila11 dermis yang
bersirkulasi dalam serum. Komplemen diaktifkan melalui jalur alternative. Fraksi aktif C5a
bersifat sangat kemotaktik terhadap 11eosinofil.
Sebagai antigen mungkin ialah gluten, dan masuknya antigen mungkin di usus halus,
sel efektomya ialah 11acrum11hil. Selain gluten juga yodium dapat mempengaruhi timbulnya
remisi dan eksaserbasi. Tentang hubungan kelainan di usus halus dan kelainan kulit belum
jelas diketahui.
Gambar. Ptogenesis Dermatitis Herpetiformis

Gandum diproses oleh enzim pencernaan menjadi peptide gliadin, yang kemudian
diangkut secara utuh melintasi epitel mukosa. Dalam lamina propria, jaringan
transglutaminase (TG2) melakukan deamidasi residu glutamin dalam peptida gliadin dan
menjadi kovalen cross-linked untuk peptida gliadin melalui obligasi isopeptidyl (terbentuk
antara glutamin-gliadin dan residu lisin TG2). Sel Thelper (CD4+) dalam lamina propria
mengenali peptida gliadin deamidasi dibawaoleh molekul HLA-DQ2 atau -DQ8 pada
antigen-presenting sel, yangmengakibatkan diproduksinya sitokin Th1 dan matrix
metaloproteinase yangmenyebabkan kerusakan sel epitel mukosa dan remodeling jaringan.
Selain itu, selB TG2-spesifik mengambil kompleks TG2-gliadin dan mempresentasikan pada
selT helper gliadin-spesifik, yang merangsang sel B untuk memproduksi IgA anti-TG2. IgA
anti-TG2 yang melintas dalam sirkulasi bereaksi dengantransglutaminase epidermis (TG3)
dan membentuk kompleks imun. Deposisi kompleks imun IgA-TG3 di papila dermis kulit
menyebabkan kemotaksis neutrofil, pembelahan proteolitik dari lamina lucida, dan timbulnya
lesi subepidermal.

Gejala klinis
D.H. mengenai anak dan dewasa. Perbandingan pria dan wanita 3:2, terbanyak pada
umur dekade ketiga. Mulainya penyakit biasanya perlahan-lahan, perjalanannya kronik dan
residif Biasaya berlangsung seumur hidup, remisi sponta terjadi pada 10 15% kasus.
Keadaan umum penderita baik. Keluhannya sangat gatal. Tempat predileksinya ialah
di punggung, daerah sacrum, bokong, daerah ekstensor di lengan atas, sekitar siku, dan lutut.
Ruam berupa eritema, papulovesikel, dan vesikel/bula yang berkelompok dan sistemik.
Kelainan yang utama ialah vesikel, oleh karena itu disebut herpetiformis yang berarti
seperti herpes zoster Vesikel-vesikel tersebut dapat tersusun arsinar atau sirsinar. Dinding
vesikel atau bula tegang.
Gambar Dermatitis Herpetiformis

4. Chronic Bullous Disease of childhood


Definisi
Selain pemfigoid bulosa dan dermatitis hepetiformis rupanya ada bentuk peralihan antara
keduanya yang disebut dermatosis linear IgA. Umumnya penyakit ini terdapat pada anak dan
disebut C.B.D.C oleh karena itu istiah tersebut dipakai sebagai judul.
C.B.D.C. ialah dermatosis autoimun yang biasanya mengenai anak usia kurang dari 5 tahun
ditandai dengan adanya bula dan terdapatnya deposit IgA linear yang homogen pada
epidermal basement membrane.
Gejala klinis
Penyakit mulai pada usia sebelum sekolah, rata-rata berumur 4 tahun. Keadaan umum
tidak begitu gatal. Mulai penyakitnya dapat mengalami remisi dan eksaserbasi. Kelainan kulit
berupa vesikel atau bula, terutama bula, berdinding tegang di atas normal atau eritematosa,
cenderung bergerombol dan generalisata. Lesi tersebut sering tersusun anular disebut sluster
jewels configuration. Mukosa dapat dikenali. Umumnya tidak didapati enteropati seperti pada
dermatitis herpetiformis.

Gambar. Chronic Bullous Disease of Childhood

5. Pemfigoid Sikatrisial
Definisi
Pemfigoid sikatrisial (P.S.) ialah dermatosis autoimun bulosa kronik yang terutama ditandai
oleh adanya bula yang menjadi sikatriks terutama dimukosa mulut dan konjungtiva.
Gejala klinis
Keadaan umum penderita baik. Berbeda lengan pemfigoid bulosa, P.S. jarang
mengalami remisi. Kelainan mukosa yang tersering ialah mulut (90%), disusul oleh
konjungtiva (66%), dapat juga di mukosa lain, misalnya hidung, farings, tarings, esofagus,
dan genitalia. Permulaan penyakit mengenai mukosa bukal dan gingiva, palatum mole dan
durum biasanya juga terkena, kadang-kadang lidah, uvula, tonsil, dan bibir ikut terserang.
Bula umumnya tegang, lesi biasanya terlihat sebagai erosi. Lesi di mulut jarang meng-ganggu
penderita makan.
Simtom okular meliputi rasa terbakar, air mata yang berlebihan, fotofobia, dan sekret
yang mukoid. Kelainan mata ini dapat diikuti simblefaron, dan berakhir dengan kebutaan
disebabkan oleh kekeruhan kornea akibat kekeringan, pembentukan jaringan parut oleh
trikiasis, atau vaskularisasi epitel kornea.
Mukosa hidung dapat terkena dan dapat mengakibatkan obstruksi nasal. Jika farings
terkena, dapat terjadi pembentukan jaringan parut dan stenosis tarings. Esofagus jarang
terkena, pernah dilaporkan terjadinya adesi dan penyempitan yang memerlukan dilatasi. Lesi
di vulva dan penis biasanya berupa bula atau erosi, sehingga dapat mengganggu aktivitas
seksual. Kelainan kulit dapat ditemukan pada 10 -30% penderita, berupa bula tegang di
daerah inguinal dan ekstremitas, dapat pula generalisata. Jarang sekali timbul kelainan tanpa
disertai lesi di membran mukosa.

6. Pemfigoid Gestationis
Definisi
Pemfigoid getationis (P.G.), adalah dermatosis autoimun dengan ruam polimorf yang
berkelompok dan gatal, timbul pada masa kehamilan, dan masa pascapartus.
Etiologi
Etiologinya ialah autoimun. Sering bergabung dengan penyakit autoimun yang lain, misalnya
penyakit Grave, vitiligo, dan alopesia areata.
Gejala klinis
Gejala prodromal, kalau ada, berupa demam malese, mual, nyeri kepala, dan rasa
panas dingin silih berganti. Beberapa hari sebelum timbul erupsi dapat didahului dengan
perasaan sangat gatal seperti terbakar.
Biasanya tertihat banyak papulo-vesikel yang sangat gatal dan berkelompok. Lesinya
polimorf terdiri atas eritema, edema, papul, dan bula tegang. Bentuk intermediate juga dapat
ditemukan, misalnya vesikel yang kecil, plakat mirip urtika, vesikel berkelompok, erosi. dan
krusta. Kasus yang berat menunjukkan semua unsur polimorf, tetapi terdapat pula kasus yang
ringan yang hanya terdiri atas beberapa papul eritematosa, plakat yang edematosa, disertai
gatal ringan.
Tempat predileksi pada abdomen dan ekstremitas, termasuk telapak tangan dan kaki
dapat pula mengenai seluruh tubuh dan tidak si metrik. Selaput lendir jarang sekali terkena.
Erupsi sering disertai edema di muka dan tungkai. Kalau melepuh pecah, maka lesi akan
menjadi lebih merah ; dan terdapat ekskoriasi dan krusta. Sering pula diikuti radang oleh
kuman. Jika lesi sembuh akan meninggalkan hiperpigmentasi, tetapi kalau ekskoriasinya
dalam akan meninggalkan jaringan parut. Kuku kaki dan tangan akan mengalami lekukan
melintang sesuai waktu terjadinya eksaserbasi. Kadang-kadang didapati leukositosis dan
eosinofilia sampai 50%.

Gambar Pemfigoid Gestationis

Anda mungkin juga menyukai