Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

Gejala dan Diagnosis Gangguan Psikosomatik

Pembimbing :

dr. Linda Kartikasari, Sp.KJ

Disusun oleh :

Farella Kartika Huzna (11.2015.233)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

RSJD DR. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG

PERIODE 30 OKTOBER 02 DESEMBER 2017

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

SEMARANG

2017
DAFTAR ISI

Daftar Isi...................................................................................................................................2

BAB I Pendahuluan..................................................................................................................3

BAB II Tinjauan Pustaka..........................................................................................................4

BAB III Kesimpulan................................................................................................................14

Daftar Pustaka..........................................................................................................................15

2
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Hubungan antara psikis (jiwa) dan soma (badan) telah menjadi perhatian para ahli dan
para peneliti sejak dahulu. Keduanya (psikis dan soma) saling terkait secara erat dan tidak
bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Kedua aspek saling mempengaruhi yang
selanjutnya tercermin dengan jelas dalam ilmu kedokteran psikosomatik. 1

Gangguan psikosomatis adalah faktor psikologis yang merugikan, mempengaruhi


kondisi medis pasien. Faktor psikologis tersebut dapat berupa gangguan mental, gejala
psikologis, sifat kepribadian atau gaya mengatasi masalah, dan prilaku kesehatan yang
maladaptif.1 Kurang lebih 400 tahun SM ahli filsafat Hipocrates sudah mengutarakan
pentingnya peran faktor psikis pada penyakit. Pada abad pertengahan Paracelcus seorang ahli
kimia menyatakan bahwa kekuatan batin memiliki pengaruh terhadap kekuatan seseorang.2

Kedokteran psikosomatis menyadari kesatuan dari pikiran dan tubuh serta interaksi
diantara keduanya, dimana faktor psikologis penting dalam perkembangan semua penyakit,
namun apakah peranannya dalam memulai, perkembangan, memperberat dan eksaserbasi
penyakit, predisposisi atau reaksi terhadap suatu penyakit masih dalam perdebatan. Dengan
demikian kedokteran prilaku adalah istilah yang khusus untuk kedokteran psikosomatis.1, 2

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Psikosomatik berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata, yaitu psyche
yang artinya psikis dan soma yang artinya tubuh. Kedokteran psikosomatik
menekankan bahwa terdapat suatu kesatuan dan interaksi antara pikiran dan tubuh.
Ilmu ini menyatakan bahwa terdapat hubungan antara faktor psikologi dengan
fenomena fisiologi secara umum dan patogenesis penyakit secara khusus. Oleh karena
itu, faktor psikologis harus dipertimbangkan dalam setiap penyakit.1
Menurut JC. Heinroth yang dimaksud dengan gangguan psikosomatik ialah
adanya gangguan psikis dan somatik yang menonjol dan tumpang tindih. Berdasarkan
pengertian dan kenyataan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
gangguan psikosomatik adalah gangguan atau penyakit yang ditandai oleh keluhan-
keluhan psikis dan somatik yang dapat merupakan kelainan fungsional suatu organ
dengan ataupun tanpa gejala objektif dan dapat pula bersamaan dengan kelainan
organik/ struktural yang berkaitan dengan stressor atau peristiwa psikososial
tertentu.1,2
Gangguan fungsional yang ditemukan bersamaan dengan gangguan struktural
organis dapat berhubungan sebagai berikut:3
Gangguan fungsional yang lama dapat menyebabkan atau mempengaruhi
timbulnya gangguan struktural seperti asma bronchial, hipertensi, penyakit
jantung koroner, arthritis rheumatoid dan lain-lain
Gangguan atau kelainan struktural dapat menyebabkan gangguan psikis dan
menimbulkan gejala-gejala gangguan fungsional seperti pada pasien penyakit
jantung, penyakit kanker, gagal ginjal dan lain-lain.
gangguan fungsional dan struktural organik berada bersamaan oleh sebab yang
berbeda.
Dalam kenyataannya, di klinik jarang sekali faktor psikis/emosi seperti frustasi,
konflik, ketegangan dan sebagainya dikemukakan sebagai keluhan utama oleh pasien.
Justru keluhan keluhan fisis yang beraneka ragam yang selalu ditonjolkan oleh
pasien. Keluhan-keluhan yang dirasakan pasien umumnya terletak di bidang penyakit

4
dalam seperti keluhan sitem kardiovaskuler, sistem pernapasan, saluran cerna, saluran
urogenital, dan sebagainya.3
Keluhan-keluhan tersebut adalah manifestasi adanya ketidakseimbangan
sistem saraf otonom vegetatif, seperti sakit kepala, pusing, serasa mabuk, cenderung
untuk pingsan, banyak keringat, jantung berdebar-debar, sesak napas, gangguan pada
lambung, dan usus, diare, anoreksia, kaki dan tangan dingin, kesemutan, merasa panas
atau dingin seluruh tubuh dan banyak lagi gejala lainnya. 3

II. Etiologi
Etiologi dari gangguan somatoform melibatkan faktor-faktor psikososial
berupa konflik psikis di bawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu. Faktor genetik
juga dapat ditemukan pada transmisi gangguan ini. Selain itu, gangguan somatoform
juga dapat dihubungkan dengan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme)
suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer non-dominan dari otak manusia.4,5
Secara umum, faktor-faktor penyebab gangguan somatoform dapat
dikelompokkan sebagai berikut (Nevid, dkk, 2005):
1. Faktor-faktor Biologis
Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan adanya pengaruh genetik
(biasanya pada gangguan somatisasi)
2. Faktor Lingkungan Sosial
Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung, seperti peran
sakit yang dapat diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform.
3. Faktor Perilaku
Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah:
Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari
situasi yang tidak nyaman atau menyebabkan kecemasan (keuntungan
sekunder).
Adanya perhatian untuk menampilkan peran sakit
Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau
gangguan dismorfik tubuh dapat secara sebagian membebaskan
kecemasan yang diasosiasikan dengan keterpakuan pada kekhawatiran
akan kesehatanatau kerusakan fisik yang dipersepsikan.

5
4. Faktor Emosi dan Kognitif
Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif,
penyebab ganda yang terlibat adalah sebagai berikut:
Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau gejala fisik sebagai tanda
dari adanya penyakit serius (hipokondriasis).
Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari
impuls-impuls yang tidak dapat diterima dikonversikan ke dalam simtom
fisik (gangguan konversi).
Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin
merupakan suatu strategi self-handicaping (hipokondriasis).

III. Patofisiologi
Patofisiologi timbulnya kelainan fisis yang berhubungan dengan gangguan
psikis/emosi belum seluruhnya dapat diterangkan namun sudah terdapat banyak bukti
dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Gangguan
psikis/konflik emosi yang menimbulkan gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh
perubahan-perubahan fisiologis dan biokimia pada tubuh seseorang. Perubahan
fisiologi ini berkaitan erat dengan adanya gangguan pada sistem saraf autonom
vegetatif, sistem endokrin dan sistem imun.1-4
Patofisiologi gangguan psikosomatik dapat diterangkan melalui beberapa teori
sebagai berikut:1
a. Gangguan Keseimbangan Saraf Autonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks serebri
ke sistem limbik kemudian hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf autonom
vegetatif. Gejala klinis yang timbul dapat berupa hipertoni parasimpatik, ataksi
vegetatif yaitu bila koordinasi antara simpatik dan parasimpatik sudah tidak ada
lagi dan amfotoni bila gejala hipertoni simpatik dan parasimpatik terjadi silih
berganti.1
b. Gangguan Konduksi Impuls Melalui Neurotransmitter
Gangguan konduksi ini disebabkan adanya kelebihan atau kekurangan
neurotransmitter di presinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor-
reseptor postsinaps. Beberapa neurotransmitter yang telah diketahui berupa amin
biogenik antara lain noradrenalin, dopamine, dan serotonin.1

6
c. Hiperalgesia Alat Viseral
Meyer dan Gebhart (1994) mengemukakan konsep dasar terjadinya gangguan
fungsional pada organ visceral yaitu adanya visceral hyperalgesia. Keadaan ini
mengakibatkan respon reflex yang berlebihan pada beberapa bagian alat visceral
tadi. Konsep ini telah dibuktikan pada kasus-kasus non-cardiac chest pain, non-
ulcer dyspepsia dan irritable bowel syndrome.1
d. Gangguan Sistem Endokrin/Hormonal
Perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang disebabkan adanya stress dapat
terjadi akibat gangguan sistem hormonal. Perubahan tersebut terjadi melalui
hypothalamic-pitutary-adrenal axis (jalur hipotalamus-pituitari-adrenal).
Hormone yang berperan pada jalur ini antara lain: hormon pertumbuhan (growth
hormone), prolactin, ACTH, katekolamin.1
e. Perubahan dalam Sistem Imun
Perubahan tingkah laku dan stress selain dapat mengaktifkan sistem endokrin
melalui hypothalamus-pituitary axis (HPA) juga dapat mempengaruhi imunitas
seseorang sehingga mempermudah timbulnya nfeksi dan penyakit neoplastik.
Fungsi imun menjadi terganggu karena sel-sel imunitas merupakan
immunotransmitter mengalami berbagai perubahan. 1
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi imunitas adalah sebagai berikut:
Kualitas dan kuantitas stress yang timbul
Kamampuan individu dalam mengatasi suatu stress secara efektif
Kualitas dan kuantitas rangsang imunitas
Lamanya stress
Latar belakang lingkungan sosio-kultural pasien
Faktor pasien sendiri (umur, jenis kelamin, status gizi)1

IV. Jenis Gangguan Psikosomatik


Untuk klasifikasi jenis gangguan psikosomatik, maka jenis gangguan dibagi
menurut organ yang paling sering terkena, yaitu gangguan gastrointestinal, gangguan
kardiovaskular, gangguan pernapasan, gangguan endokrin, gangguan kulit, gangguan
muskuloskeletal, psiko-onkologi.5-13

7
a. Gangguan Gastrointestinal
1. Dispepsia Fungsional
Merupakan perasaan tidak enak dan sakit pada daerah epigastrium, sering
disebabkan karena kelainan fungsi lambung: sekresi asam lambung yang
berlebihan, motilitas dan tonus yang meninggi pada otot-otot dinding
lambung.2 Legarde dan Spiro (1984) mengatakan bahwa keluhan tidak enak
pada perut bagian atas yang bersifat intermitten sedangkan pada pemeriksaan
tidak didapatkan kelainan organis. Gejala-gejala yang sering dikeluhkan
pasien berupa rasa penuh pada ulu hati sesudah makan, kembung, sering
bersendawa, cepat kenyang, anoreksia, nausea, vomitus, rasa terbakar pada
daerah ulu hati dan regurgitasi.3
Peran faktor psikososial pada dispepsia fungsional sangat penting karena
dapat menyebabkan hal-hal di bawah ini:
- Menimbulkan perubahan fisiologi saluran cerna
- Perubahan penyesuaian terhadap gejala-gejala yang timbul
- Mempengaruhi karakter dan perjalanan penyakitnya
- Mempengaruhi prognosis
Rangsangan psikis/emosi sendiri secara fisiologi dapat mempengaruhi
lambung dengan dua cara:
- Jalur Neurogen: rangsangan konflik emosi pada korteks serebri
mempengaruhi kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke nucleus
vagus, dan kemudian ke lambung
- Jalur Neurohormonal: rangsangan pada korteks serebri diteruskan ke
hipotalamus anterior selanjutnya ke hipofisis anterior yang mengeluarkan
kortikotropin. Hormon ini merangsang korteks adrenal dan kemudian
menghasilkan hormon adrenal yang selanjutnya merangsang produksi
asam lambung.3
Pengobatan melalui pendekatan psikosomatis yaitu dengan memperhatikan
aspek-aspek fisik, psikososial, dan lingkungan. Terhadap keluhan-keluhan
dispepsia dapat diberikan pengobatan simptomatis seperti antasida, obat-obat
H2 antagonis seperti Cimetidin, ranitidine. Obat inhibitor pompa proton
seperti omeprazole, lansoprazole. Yang tidak kalah pentingnya ialah
melakukan psikoterapi dengan beberapa edukasi dan saran agar dapat
mengatasi atau mengurangi stress dan konflik psikososial.3

8
2. Konstipasi Psikogenik
Buang air besar biasanya terjadi setelah timbul rangsangan di hipotalamus
yang diteruskan ke kolon dan sfingter ani melalui susunan saraf autonom.
Pada waktu tertentu kemungkinan rangsangan tersebut tidak timbul. Hal ini
dapat terjadi pada seseorang yang sedang murung, kecewa, putus asa, dan
gangguan jiwa lain. Pasien sering mempunyai keluhan tidak dapat atau
mengalami kesulitan buang air besar. Akibat kelainan tersebut, rangsangan di
hipotalamus ikut menurun sampai tidak ada, sehingga rangsangan di usus
besar pun sangat berkurang. Bila berlangsung terus-menerus akan terjadi atoni
kolon dan konstipasi kronik yang selanjutnya disebut konstipasi psikogenik. 4
Pengelolaan pasien konstipasi psikogenik lebih menitikberatkan pada
psikoterapi. Perlu pendekatan psikomatik dengan memperdulikan faktor-faktor
psikis sebagai penyebabnya. 4

3. Diare Psikogenik
Seseorang yang sedang mengalami ketegangan jiwa, sedang emosi, atau
sedang dalam keadaan stress , hidupnya tidak teratur. Keadaan demikian akan
menyebabkan terangsangnya hipotalamus terus-menerus secara tidak teratur.
Rangsangan di hipotalamus ini akan diteruskan ke susunan saraf autonom.
Susunan saraf yang berulang kali terangsang ini akan menyebabkan timbulnya
hiperperistaltik kolon, sehingga bolus makanan terlalu cepat dikeluarkan
karena hiperperistaltik tersebut, reabsorpsi air di kolon terganggu, dan
timbullah diare. Bila terjadi berulang kali, timbul diare kronik. Keadaan
demikian disebut diare psikogenik kronik. 4
Sifat diare psikogenik pada umumnya memperlihatkan sering buang air
besar yang bersifat lembek, hampir tidak pernah bersifat cair, jarang disertai
lender dan darah, dan tidak pernah disertai demam. Diare yang timbul
biasanya berlangsung beberapa hari, selama masih ada gangguan psikis. 4

4. Obesitas
Pada obesitas yang hebat sering didapati faktor psikologik. Tidak dapat
diterangkan secara memuaskan dengan teori: efisiensi otot-otot yang tinggi,

9
respiratory quotient yang rendah, specific dynamic action dari makanan
atau penyimpanan yang abnormal oleh orang gemuk itu. 2
Faktor psikologik, mulai dari ketegangan yang ringan smapai dengan suatu
nerosa yang hebat dapat menyebabkan makan berlebihan. Kadang-kadang
orang yang merasa tidak bahagia mencari kesenangan dalam makanan.
Mungkin bila ia mengalami banyak kekecewaan dalam pekerjaan atau
kehidupan seksual, makanan bukan saja daoat merupakan pembelaan atau
hiburan, tetapi juga dapat merupakan substitusi. 2
Pengobatan ialah meyakinkan penderita bahwa berat badan itu perlu
diturunkan, mengatur tabiat makanan, diet yang pantas, dan psikoterapi bila
terdapat konflik; dapat juga diberikan obat-obat untuk menekan nafsu makan
beserta vitamin supaya tidak kekurangan bila makan berkurang. 2

b. Gangguan Kardiovaskular
1. Hipertensi
Hipertensi oleh banyak peneliti dianggap sebagai suatu penyakit yang
multifaktorial. Selain faktor psikis yang menstimulasi efek simpatikotonik,
pengaruh lingkungan sekitar dan sosio-kultural juga ikut berperan. Faktor-
faktor psikis stuasional yang menyebabkan kenaikan tekanan darah,
merupakan model outlet yang aman sebagai reaksi normal fisiologis. 5
Menurut Groen, mekanisme utama perkembanghan menjadi hipertensi
yaitu perubahan suatu reaksi fisiologis yang dihubungkan dengan behavior
readiness, oleh suatu reaksi neuroviseral; sebagai ganti aktivitas
neuromuscular yang kuat dan volume semenit jantung yang meningkat, serta
resistensi pembuluh darah yang meningkat pula.5
Karena sifat etiologi yang multifaktorial, kebanyakan pasien
membutuhkan terapi kombinasi. Terapi dengan obat seringkali perlu
diberikan, namun efek samping harus diperhatikan. Reserpine, misalnya, juga
mempunyai efek samping depresif. Latihan autogen (autogenic training)
sebagai latihan rileks pada hakikatnya sangat baik, namun seringkali
menambah rasa takut dan kegelisahan, karena aktivitas defense yang menutup-
nutupi rasa takut dihilangka, sehingga konflik internal malah dialami lebih
jelas. 5

10
2. Gangguan Irama Jantung
Mekanisme regulasi jantung mudah bereaksi terhadap rangsangan pikis
dan penilaiannya dalam hal khayalan dan pengalaman merupakan faktor-
faktor yang menentukan dalam terjadinya penyakit. Faktor-faktor emosional
dapat bekerja dengan 3 cara:
a. Afek seperti rasa takut, sedih, gembira atau ketegangan jiwa
mempengaruhi fungsi somatik secara tidak khas.emosi agresif
mempercepat frekuensi jantung. Pengalaman depresif menekan dan
memperlambatnya.
b. Bila dalam keadaan normal, jantung berdenyut teratur, maka persepsi
gangguan irama dapat menimbulkan kecemasan atau ketidakseimbangan
vegetatif.5
Faktor-faktor psikis berpengaruh pada timbulnya gangguan frekuensi
denyut dan disaritmia jantung. Pada gangguan frekuensi jantung, pengaruh
fisis, toksik, infeksi dan degenerasi, juga faktor piskis.5
Aritmia psikogenik tanpa adanya gangguan struktural pada umumnya tidak
akan menyebabkan kematian, namun dapat memberikan impilkasi yang buruk
terhadap kondisi ppsikis pasien. Maka psikoterapi suportif dan pemberian
ansiolitik dapat mencegah perburukan kondisi psikis dan menghilangkan
ritma.5

c. Gangguan Pernapasan
1. Sindrom Hiperventilasi
Sindrom hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu keadaan ventilasi
berlebihan yang menyebabkan perubahan hemodinamik dan kimia sehingga
menimbulkan berbagai gejala. Mekanisme yang mendasari hingga terjadi
sindrom hiperventilasi belim jelas diketahui.6
Menurut Arautigam (1973) secara psikologis penyebab yang mencetuskan
penyakit ini ialah perubahan pernapasan, yang ia namakan sindrom
pernapasan nervous yang biasanya disebabkan oleh faktor emosional/stress
psikis. Terapat 2 jenis pernapasan yang dapat ditemukan, yaitu: 6
a. Pernapasan yang tidak teratur yang dianggap sebagai pengutaraan rasa
takut yang khas.

11
b. Pernapasan yang dangkal yang diselingi dengan penarikan napas dalam
sebagai pengutaraan situasi pribadi yang bersifat keletihan dan pasrah,
yaitu pertanda tujuan tidak dapat dicapai kendati sudah diusahakan.
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien adalah napas sesak, napas
pendek, dada tertekan, nyeri pada epigastrium, pusing, sakit kepala,mulut dan
tenggorokan kering, disfagi, dan rasa penuh pada lambung.penyebab paling
sering untuk hiperventilasi ialah emosi rasa takut dan kegelisahan. 6
Terapi untuk pasien dengan sindrom hiperventilasi:
a. Pasien disuruh bernapas (inspirasi dan ekspirasi) ke dalam sungkup
kantong plastic bila didapatkan tanda alkalosis agar PCO2 dalam darah
naik.
b. Suntikkan 10 cc larutan kalsium glukonas 10% intravena mempunyai efek
placebo. Pasien merasa hangat dan enak, tetapi kadar ion kalsium tidak
akan naik.
c. Belajar bernapas torako-abdominal dengan menggerakkan diafragma.
d. Psikoterapi: membantu menyelesaikan problem-problem emosional pada
pasien, termasuk melakukan terapi pelaku (Cogntive Behavioral Teraphy)
e. Karena hiperventilasi sering merupakan bagian dari serangan panic (panic
disorder), maka pemberian obat yang tepat adalah golongan benzodizepin
atau golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)

2. Asma Bronkial
Asma merupakan suatu gangguan karena hiperaktivitas yang diikuti
bronkokontriksi yang reversible serta adanya reaksi inflamasi kronik serta
kerusakan epitel. Dalam perkembangannya, pathogenesis asam dipengaruhi
oleh 3 faktor, yaitu faktor genetik , permusuhan, kejengkel(atopi dan
hiperaktivitas bronkus pada keluarga), faktor lingkungan, allergen seperti debu
rumah, serbuk sari bunga, virus dan bakteri, polusi udara; faktor individu,
adanya stressor dan kemampuan untuk mengatasi asma.7
Beberapa keadaan yang merupakan stressor psikososial, sebagai berikut:
- Pengalaman luar biasa: permulaan masuk sekolah, ujian, pertama masuk
kerja, menderita penyakit, berpisah dengan orang tua, dll
- Kejadian-kejadian traumatic: perkelahian/pertentangan dengan orang tua,
permusuhan, kejengkelan dalam kerja.

12
- Pengalaman yang menyedihkan: kematian orang tua, atau anak, kehilangan
harta benda, dan musibah lainnya7
Terhadap gejala asma secara fisik diberikan pengobatan standar yang
sudah baku sesuai dengan tingkat beratnya penyakit (bronkodilator,
kortikosteroid). Sedangkan untuk gangguan psikosomatik seperti adanya
anxietas atau depresi secara bersamaan dilakukan psikoterapi dan
psikoedukasi serta psiokfarmaka yang sesuai. Pada gangguan anxietas yang
menyertai atau mencetuskan asma dapat diberikan golongan benzodiazepine
seperti alprazolam, klobazam. Bila dijumpai adanya presi, maka dapat
diberikan antidepresan yang aman misalnya golongan SRI seperti sertraline,
fluoksetin.7
Cara pengobatan psikosomatik yang khusus pada asma memang belum ada
standar, namun pada umumnya pengobatan meliputi psikoterapi superfisial,
edukasi, instruksi.
- Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok. Mereka diberikan
edukasi mengenai perjalanan penyakit asma, mekanisme timbul, faktor
resiko, pengobatan dan pencegahan. Psikoterapi ini diberikan untuk
meningkatkan daya adaptasi dan kemampuan untuk menyelesaikan atau
menghilangkan stressor psikososial yang dialami pasien.2,7
- Instruksi tentang penatalaksanaan mandiri dengan monitoring PEFR (Peak
Expiratory Flow Rate) di rumah.
- Autogrnic training yaitu latihan untuk dapat bersantai dengan memahami
bahwa faktor psikis dapat menimbulkan reaksi bronkospasme.
- Cara sugestif yaitu mengalihkan atau mencurahkan perhatian diri sendiri
kepada hal-hal yang bermanfaat.
- Psikoterapi analisis yang sederhana.7

d. Gangguan Endokrin
1. Kelainan Tiroid
Pasien tirotoksikosis umumnya datang dengan keluhan yang dianggap
bersifat psiksi belaka. Misalnya rasa cemas, mudah marah, paranoid, rasa
seperti leher tercekik atau terikat, rasa takut tanpa sebab yang jelas, insomnia
dengan mimpi buruk, dan gugup. Keluhan ini sering diikuti dengan

13
hiperaktivitas saraf otonom seperti keringat banyak, mulut kering, pupil lebar,
kulit pucat, nadi cepat, dan sebagainya.8
Pengobatan ialah usaha untuk mengendalikan metabolism dengan obat-
obat dan bila perlu dioperasi. Transquilaizer dapat sangat membantu.
Psikoterapi perlu, terutama pada penderita dengan konflik yang mendalam dan
yang tidak dapat menyesuaikan diri.2

2. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit meabolik yang ditandai
dengan adanya defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.
Hipetglikemia kronik pada pasien diabetes berhubungan dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi atau kegagalan berbagai organ seperti mata, ginjal,
saraf, jantung, dan pembuluh darah serta mempengaruhi kondisi psikis.
Gangguan psikis yang biasa terjadi pada penderita diabetes mellitus adalah
depresi. 9
Depresi terjadi akibat faktor psikologis dan psikososial yang berhubungan
dengan penyakit atau terapinya. Depresi pada diabetes terjadi akibat
meningkatnya tekanan pasien yang dialami dari penyakitnya yang kronik.
Hubungan ketidakmampuan adaptasi dengan gejala depresi ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu:9
a. Pandangan terhadap penyakit yang diderita.
b. Dukungan sosial yang kurang baik
c. Coping strategy, mencegah pikiran untuk lari dari kenyataan dan adaptasi
psikologis menjadi lebih baik sehingga mengurangi kemungkinan gejala
depresi.
Pengobatan depresi dan diabetes dilakukan bersama-sama dengan
psikoterapi, psikoedukasi, psikofarmaka secara serentak. Cognitive Behavioral
Theraphy (CBT) sangat bermanfaat diberikan pada pasien depresi dengan
diabetes mellitus dan dikombinasikan dengan edukasi diabetes. Teknik CBT
tersebut adalah:9
a. Merubah perilaku dengan mengembalikan aktuvitas fisik dan kehidupan
sosial yang menyenangkan pasien.
b. Upaya pemecahan masalah atau stress yang dihadapi.

14
c. Teknik kognitif dengan mengidentifikasi adanya maldaptasi dan
menggantinya dengan pandangan yang akurat, adaptif dan akurat.
Beberapa golongan obat antidepresan yang biasa diberikan untuk penderita
diabetes melitus adalah golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor) dapat mengurangi resistensi insulin sehingga gula darah dapat lebih
terkontrol. Beberapa golongan obat SSRI seperti fluoksetin memiliki efek
menurunkan berat badan sehingga baik diberikan pada penderita diabetes yang
gemuk. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya
hipoglikemia, disfungsi seksual dan pasien yang disertai gangguan ginjal.9
e. Gangguan Muskuloskeletal
Arthritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi kronik dengan pathogenesis
autoimun dan etiologi yang multikompleks. Berbagai faktor yang dapat berperan
penting seperti immunogenetik, kelamin, umur dan stress. Hubungan stress
dengan AR masih belum jelas, meskipun pada berbagai penelitian terdapat
perkembangan bahwa faktor stressor lingkungan, psikologis, dan biologis menjadi
faktor predisposisi.10
Sebelum timbulnya penyakit AR, pasien menunjukkan ciri-ciri psikodinaik
dan kepribadian yang khas, yaitu:
- Ketelitian yang berlebihan, perfeksionisme, kepatuhan, dengan kecenderungan
menekan semua dorongan agresi dan permusuhan.
- Ciri mesokistis-depresif dengan tendensi pengorbanan diri, sifat menolong
yang berlebihan, bermoral tinggi dan cenderung depresif.
- Kebutuhan aktivitas badaniah seperti olahraga, kerja di rumah dan berkebun
sebagai penyaluran agresi.2,10
Kepribadian, stressor psikologis, ancaman terserang AR, kemampuan
menanggulangi nyeri dan menanggulagi ketidakmampuan serta dukungan sosial
telah terbukti berhubungan dengan derajat nyeri, disabilitas dn aktivitas penyakit
AR. Faktor psikososial seperti stress psikologis, penyesuaian, depresi, keyakinan
dalam kemampuan menanggulangi penyakit dan dukungan sosial berperan pada
keadaan sakit dengan mempengaruhi pelepasan hormone stress, yang selanjutnya
berpengaruh pada mekanisme dalam tubuh termasuk kerentanan dan kekambuhan
penyakit AR.10
f. Gangguan Urologi

15
Irritable bladder, yang bukan disebabkan oleh kelainan organik terutama pada
wanita hingga klimakterium, jarang pada pria. Secara psikofisiologis yang
mendasari terjadinya irritable bladder ialah sensibilitas fungsi kandung kemih
yang berlebihan atau ambang rangsang yang rendah yang bersifat psikovegetatif,
yang dapat ditemukan dengan pengukuran tegangan intravesikal. Dengan
demikian perubahan-perubahan pengisian kandung kemih yang berlebihan. Secara
psikodinamik hal ini dapat terjadi pada situasi konflik seksual, rasa malu dan takut
pada percobaan koitus, rasa segan terhadap pasangan.11
Beberapa contoh lain gangguan psikosomatik saluran kemih:
- Fobia mengenai buang air kecil yang tak diinginkan
- Polakisuria tanpa ada kelainan organ
- Retensio urin tidak organik yang sepintas lalu atau residivans
- Bercampur aduknya fungsi berkemih dengan fungsi seksual11

V. Manifestasi Klinis
Proses emosi terdapat di otak dan disalurkan melalui susunan saraf otonom
vegetatif ke alat-alat viseral yang banyak dipersarafi oleh saraf-saraf otonom vegetatif
tersebut, seperti kardiovascular, traktus digestifus, respiratorius, system endokrin dan
traktus urogenital.2 Adapun kriteria klinis penyakit psikosomatis terdiri atas kriteria
yang negatif dan kriteria yang positif.

A. Kriteria yang positif ( yang biasanya tidak ada) 4

1. Tidak didapatkan kelainan-kelainan organik pada pemeriksaan yang teliti sekalipun,


walaupun mempergunakan alat-alat canggih. Bila ada kelainan organic belum tentu
bukan psikosomatik, sebab :
.Bila penyakit psikosomatik tidak diobati, dalam jangka waktu yang cukup lama dapat
menimbulkan kelainan-kelainan organik pada alat-alat yang dikeluhkan.
Secara kebetulan ada kelainan organik, tapi kelainan ini tidak dapat menerangkan
keluhan yang ada pada pasien tersebut, yang dinamakan koinsidensi.
Sebelum timbulnya psikosomatis, telah ada lebih dahulu kelainan organiknya tetapi
tidak disadari oleh pasien. Baru disadari setelah diberitahu oleh orang lain atau
kadang-kadang oleh dokter yang mengobatinya. Hal ini membuatnya menjadi takut,
khawatir dan gelisah, yang dinamakan iatrogen.

16
2. Tidak didapatkan kelainan psikiatri. Tidak ada gejala-gejala psikotik yakni tidak ada
disintegrasi kepribadian, tidak ada distorsi realitas. Masih mengakui bahwa dia sakit,
masih mau aktif berobat.

B. Kriteria positif (yang biasanya ada) 2


1. Keluhan-keluhan pasien ada hubungannya dengan emosi tertentu
2. Keluhan-keluhan tersebut berganti-ganti dari satu sistem ke sistem lain, yang
dinamakan shifting phenomen atau alternasi.
3. Adanya vegetatif imbalance (ketidakseimbangan susunan saraf otonom)
4. Penuh dengan stress sepanjang kehidupan (stress full life situation) yang menjadi
sebab konflik mentalnya.
5. Adanya perasaan yang negatif yang menjadi titik tolak keluhankeluhannya.
6. Adanya faktor pencetus (faktor presipitasi) proksimal dari keluhankeluhannya.
7. Adanya faktor predisposisi yang dicari dari anamnesis longitudinal. Yang membuat
pasien rentan terhadap faktor presipitasi itu.Faktor predisposisi dapat berupa faktor
fisik / somatik, biologi, stigmata neurotik, dapat pula faktor psikis dan sosiokultural.
Kriteria-kriteria ini tidak perlu semuanya ada tetapi bila ada satu atau lebih, presumtif,
indikatif untuk penyakit psikosomatis.

Beberapa manifestasi klinis dari gangguan psikosomatis antara lain:

1. Terdapat suatu kondisi medis umum


2. Faktor psikologis secara merugikan mempengaruhi kondisi medis umumdengan cara:
Faktor psikologis telah mempengaruhi perjalanan kondisi medis umum seperti
yang ditunjukkan oleh hubungan temporal yang erat antara faktorpsikologis
dan perkembangan atau eksaserbasi dari atau keterlambatanpenyembuhan dari
kondisi medis umum.
Faktor psikologis mempengaruhi terapi kondisi medis umum
Faktor psikologis berperan dalam resiko kesehatan individu
Respon psikologis yang berhubungan dengan stres mencetuskan atau
mengeksasebasi gejala kondisi medis umum
Yang dimaksud dengan faktor psikologis tersebut adalah: 3

Gangguan mental mempengaruhi kondisi medis (misalnya gangguandepresi


berat memperlambat penyembuhan infark miokard)

17
Gangguan psikologis mempengaruhi kondisi medis (misalnya gejala depresi
memperlambat pemulihan setelah pembedahan, kecemasanmengeksasebasi
asma)
Sifat kepribadian atau gaya menghadapi masalah mempengaruhi kondisi
medis (misalnya penyangkalan patologis terhadap kebutuhan pembedahan
pada seorang pasien dengan kanker, perilaku bermusuhan dan
tertekanberperan pada penyakit kardiovaskuler)
Gangguan kesehatan maladatif mempengaruhi kondisi medis (misalnya tidak
melakukan olahraga, seks yang tidak aman, makan yang berlebihan)
Respon fisiologis yang berhubungan dengan stres mempengaruhi kondisi
medis (misalnya eksasebasi ulkus, hipertensi, aritmia, atau nyeri kepala yang
berhubungan dengan stres).
Faktor psikologi lain yang tidak ditentukan mempengaruhi kondisi medis
(misalnya faktor personal, kultural atau religius).

VI. Kriteria Diagnosis


Diagnosis pasti gangguan somatisasi berdasarkan PPDGJ III:

1. Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat


dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2
tahun.
2. Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak
ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan- keluhannya.
3. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan
dengan sifat keluhan-keluhan dan dampak dari perilaku.
Kriteria diagnosis gangguan somatisasi berdasarkan DSM IV :

1. Keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun, terjadi selama periode beberapa
tahun yang terjadi selama periode beberapa tahun dan menyebabkan individu
tersebut mencari penanganan atau gangguan yang bermakna pada fungsi social,
pekerjaan dan fungsi penting lainnya.
2. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, yaitu :
4 gejala nyeri : sekurangnnya empat tempat atau fungsi yang berlainan
(misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama
menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi)
18
2 gejala gastrointestinal : sekurangnya dua gejala selain nyeri (misalnya mual,
kembung, muntah selain dari selama masa kehamilan diare, atau intoleransi
terhadap beberapa jenis makanan)
1 gejala seksual : sekurangnya satu gejala selain nyeri (misalnya indiferensi
seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan
menstruasi berlebihan, muntah sepanjang kehamilan).
1 gejala pseudoneurologis : sekurangnya satu gejala atau defisit yang
mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri
(gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis, sulit menelan, retensi urin,
halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian,
kejang : gejala disosiatif seperti amnesia ; atau hilangnya kesadaran selain
pingsan).
3. Salah satu 1) atau 2) :
Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria, 2) tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang di kenal atau
efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau
alkohol)
Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan social
atau pekerjaan yang ditimbulkan adalah melebihi apa yang diperkirakan dari
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
4 . Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuata-buat (sepertiga gangguan
buatan atau pura-pura).4

VII. Diagnosis Banding


1) Gangguan Penyesuaian dengan Afek Cemas
Gangguan penyesuaian merupakan suatu reaksi maladaptif terhadap suatu
stresor yang dikenali dan berkembang beberapa bulan sejak munculnya stresor, yang
ditandai dengan adanya tanda-tanda distres emosional yang lebih dari biasa. Gangguan
ini termasuk kelompok gangguan yang paling ringan yang dapat terjadi pada semua
usia. Ahli psikiatrik menyebut gangguan ini sebagai stresor psikososia.4
Gejala gangguan penyesuaian sangat bervariasi, dengan depresi, kecemasan,
dan gangguan campuran adalah yang paling sering pada orang dewasa.4 Manifestasi
juga termasuk perilaku menyerang dan kebut-kebutan, minum berlebihan, melarikan

19
diri dari tanggung jawab hukum, dan menarik diri. Gangguan penyesuaian memiliki
beberapa suptipe dengan reaksi maladaptif yang bervariasi (dapat dilihat pada Tabel 1).
Dalam PPDGJ-III, gangguan penyesuaian termasuk dalam kriteria diagnosis
Reaksi Terhadap Stres Berat dan Gangguan Penyesuaian. Karekteristik dari kategori ini
adalah tidak hanya di atas identifikasi dasar simtomatologi dan perjalanan penyakit,
akan tetapi juga atas dasar salah satu dari dua faktor pencetus:4

Gangguan Ciri-ciri utama


Gangguan Penyesuaian dengan Mood Kesedihan, menangis, merasa tidak punya harapan.
Depresi
Gangguan Penyesuaian dengan Khawatir, gelisah, dan gugup
Kecemasan
Gangguan Penyesuaian dengan Gejala Kombinasi dari kecemasan dan depresi.
Campuran antara Kecemasan dan Mood
Depresi
Gangguan Penyesuaian dengan Melanggar hak orang lain atau melanggar norma sosial yang
Gangguan Tingkah Laku sesuai usianya. Contoh perilaku meliputi vandalisme, membolos,
berkelahi, mengebut, dan melalaikan kewajiban hukum (misalnya
menghentikan pembayaran tunjangan).
Gangguan Penyesuaian dengan Gejala Gabungan dari gangguan emosi, seperti depresi atau kecemasan,
Campuran antara Gangguan Emosi dan dan gangguan tingkah laku (seperti yang dijelaskan di atas).
Tingkah Laku
Gangguan Penyesuaian Tak Kategori residual yang dapat diterapkan pada kasus-kasus yang
Tergolongkan tidak dapat digolongkan dalam salah satu dari subtipe lainnya.

Tabel 1. Subtipe gangguan penyesuaian4

2) Gangguan Somatoform
Gangguan somatoform adalah gangguan yang bersifat psikologis, tetapi tampil
dalam bentuk gangguan fisik yang melibatkan pola neurotic yang didasari anxiety.
Individu mengeluh simtom simtom jasmaniah yang memberikan tanda seolah olah ada
masalah fisik, tapi pada kenyataannya tidak ada landasan organis yang ditemukan.2,3
Gangguan somatoform merupakan kelompok gangguan yang meliputi symptom
fisik (misalnya nyeri, mual, dan pening) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan
secara medis.2,3

20
Berbagai symptom dan keluhan somatik tersebut cukup serius sehingga menyebabkan stress
emosional dan gangguan dalam kemampuan penderita untuk berfungsi dalam kehidupan
sosial dan pekerjaan. Diagnosis ini diberikan apabila diketahui bahwa faktor psikologis
memegang peranan penting dalam memicu dan mempengaruhi tingkat keparahan serta
lamanya gangguan dialami.1

VIII. Tatalaksana

Di Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter umum tidak
mempunyai gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai gangguan organik tetapi
keluhannya berlebihan.2
Dengan kesabaran dan simpati banyak penderita dengan gangguan psikosomatik
dapat ditolong. Kita dapat menerangkan kepada penderita tidak dapat sesuatu dalam
tubuhnya yang rusak atau yang kurang, tidak terdapat infeksi dan kanker, hanya anggota
tubuhnya bekerja tidak teratur. Untuk menerangkan bagaimana emosi dapat mengganggu
tubuh dapat diambil contoh sehari-hari seperti orang yang malu mukanya akan menjadi
merah, orang yang takut menjadi
bergemetar dan pucat. Dapat dipakai perumpamaan menurut pendidikan dan
pengetahuan penderita.2
Setelah dibuat diagnosis gangguan psikosomatis, terdapat 3 fase terapi yaitu: 2
Fase 1 : ialah fase pemeriksaan dan pemberian ketenangan, penderita dan dokter
bersama-sama berusaha dan saling membantu melalui anamnesis yang baik, pemeriksaan
fisik yang teliti dan tes laboratorium bila perlu. Diusahakan membuktikan bahwa tidak
terdapat penyakit organik dan dijelaskan kepada penderita tentang mekanisme fisiologik
serta keterangan tentang gejala-gejala. Berikan kesempatan kepada penderita untuk
bertanya.
Fase 2 : merupakan fase pendidikan, fase ini dokter lebih banyak bicara. Untuk
memberi keterangan tentang keluhan, meyakinkan serta menenangkan pasien, dapat
dikatakan antara lain :
Bahwa gejala-gejalanya benar ada, dapat dimengerti kalau ia mengeluh
dan menderita
Bahwa gejala-gejalanya sering terdapat juga pada orang lain yang sudah
kita obati
Bahwa tidak ada kanker atau penyakit berbahaya lain

21
Bahwa gejala-gejala itu timbul karena ketegangan sehari-hari dan
gangguan emosional
Bahwa gejala itu tidak akan segera hilang, diperlukan beberapa waktu,
tetapi akan hilang atau berkurang bila diobati dengan baik
Bahwa kita semua mengalami ketegangan, kekecewaan, godaan dan
kecemasan
Bahwa kelelahan fisik atau jiwa dapat mengurangi daya tahan tubuh
sehingga timbul gejala
Bahwa kita apabila terlalu terburu-buru akan timbul ketegangan jiwa
Bahwa tubuh kita bereaksi terhadap ketegangan yang terlalu berat. Sering
gejala merupakan pekerjaan alat tubuh yang bekerja berlebihan
Bahwa ini akan lebih baik bila pasien mengerti akan penyebab gejala.

Fase 3 : ialah fase keinsafan intelektual dan emosional. Pada fase ini pasien yang
lebih banyak bicara. Terjadi pengakuan, katarsis dan wawancara psikiatrik. Hal ini harus
berjalan sangat pribadi, rahasia, tanpa sering terganggu dan dalam suasana penuh
kepercayaaan dan pengertian. Dokter menjelaskan saja agar pembicaraan berjalan
dengan baik, tidak terlalu menyimpang dari pokok pembicaraan. Terdapat 3 golongan
senyawa psikofarmaka2
1. Obat tidur (hipnotik)
Diberikan dalam jangka waktu pendek 2-4 minggu. Obat yang
dianjurkan adalah senyawa benzodiazepine berkhasiat pendek seperti
nitrazepam, flurazepam, dan triazolam. Pada insomnia dengan kegelisahan
dapat diberikan senyawa fenotiazin seperti tioridazin, prometazin.2,12
Kontra-indikasi :
Depresi pernapasan, gangguan hati berat, miastenia gravis,
insufisiensi pulmoner akut, kondisi fobia dan obsesi, psikosis kronik,
glaukoma sudut sempit akut, serangan asma akut, trimester pertama
kehamilan, bayi prematur; tidak boleh digunakan sendirian pada depresi
atau ansietas dengan depresi.2,12

22
2. Obat penenang minor dan mayor
Obat penenang minor
Diazepam merupakan obat yang efektif yang dapat digunakan pada
anxietas,agitasi, spasme otot, delirium, epilepsi. Benzodiazepine hanya
diberikan pada anxietas hebat maksimal 2 bulan sebelum dicoba
dihentikan secara perlahan (tapering off) untuk menghindari toleransi dan
adiksi.2,12
Obat penenang mayor
Yang paling sering digunakan adalah senyawa fenotiazin dan butirofenon
seperti clorpromazin, tioridazin dan haloperidol. Diberikan hanya pada
kasus gejala agitasi , kegelisahan yang berlebihan, agresi dan
kegaduhan.2,12
3. Antidepresan
Yang biasa digunakan adalah senyawa trisiklik dan tetrasiklik seperti
amitriptilin, imipramin, mianserin dan maprotilin yang dimulai dengan dosis kecil
yang kemudian ditingkatkan. Saat ini, golongan trisiklik sudah jarang digunakan
karena efek samping yang banyak akibat kerja anti kolinergiknya. Antidepresan
baru dengan efek samping yang minimal adalah golongan:
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor): sertalin, paroksetin,
fluoksetin, fluvoksamin
SSRE (Selective Serotonin Reuptake Enhancer): Tianeptin
SNRI (Serotonin Nor Epinephrin Reuptake Inhibitor): Venlafaksin
RIMA (Reversible Inhibitory Monoamine Oxidose type A): Moklobemid
NaSSA (Nor-adrenalin ang Serotonin Anti Depressant): Mitrazapin
Atipik: Trazodon, Nefazodon12
Kontra-indikasi :

-
Infark miokard, pemberian bersamaan dengan MAO, gagal jantung,
kerusakan hati yang berat, glaukoma sudut sempit dsb.2,12

23
BAB III

KESIMPULAN
Gangguan psikosomatik merupakan gangguan yang melibatkan antara pikiran dan
tubuh. Hal ini berarti bahwa adanya faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi
medis. Komponen emosional memainkan peranan penting pada gangguan psikosomatik.
Manifestasi penyakit fisik juga sering diturunkan dan kepribadian seseorang. Gangguan
psikosomatik dapat rnelibatkan berbagai sistem organ di dalam tubuh sehingga
memerlukan penanganan secara terintegrasi dari ahli medis dan ahli psikiatri. Tujuan
terapi haruslah mengerti motivasi dan mekanisme gangguan fungsi dan untuk membantu
pasien mengerti sifat penyakitnya. Tilikan tersebut harus menghasilkan pola perilaku
yang berubah dan lebih sehat.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim, Rusdi. Diagnosis gangguan jiwa, Rujukan ringkas PPDGJ-III dan DSM-5.
Jakarta 2013: 70.
2. Maramis, W.F. Gangguan Psikosomatik. Dalam Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Surabaya: Airlangga University Press. p339-72.
3. Elvira, Sylvia D., Hadisukanto, Gitayanti. Faktor Psikologik Yang Mempengaruhi
Kondisi Medis (d/h Gangguan Psikosomatik). Dalam Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2010.p287-93.
4. Kaplan, B.J., Sadock, V.A. 2007, Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition.
5. Mudjaddid, E. Dispepsia Fungsional. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK
UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2014. P3581.
6. Hadi, Sujeno. Psikosomatik Pada Saluran Cerna. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2014. P3585.
7. Halim, S. Budi, dkk. Aspek Psikosomatik Hipertensi. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2014. P3599.
8. Putranto, Rudi. Mudjaddid, E. shatri, Hamzah. Sindrom Hiperventilasi. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2014. P3610.
9. Mudjaddid, E. Aspek Psikosomatik pada Asma Brokhial. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2014. P3613.
10. Djokomoeljanto, R. Psikosomatik Pada Kelainan Tirod. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2014. P3636.
11. Mudjaddid, E. Putranto, Rudi. Aspek Pikosomatik Pasien Diabetes Melitus. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2014. P3639.
12. Budihalim, S. Sukatman, D. Mudjaddid, E. Gangguan Psikosomatik Saluran Kemih.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI.
2014. P3660.
13. Mudjaddid, E. Budihalim, S. Sukatman, D. Psikofarmaka dan Psikosomatik. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2014. P3578.

25

Anda mungkin juga menyukai