Anda di halaman 1dari 63

Tugas Kulit Kelamin Rs.

Bhayangkara Sartika Asih

Nama : Farella Kartika Huzna

NIM : 11.2015.233

1. Jelaskan Fungsi fungsi kulit

A. Fungsi proteksi
Kulit menyediakan proteksi terhadap tubuh dalam berbagai cara sebagai berikut:

1) Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas, dan zat kimia.
2) Lipid yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari permukaan kulit dan
dehidrasi, selain itu juga mencegah masuknya air dari lingkungan luar tubuh
melalui kulit.
3) Sebum yang berminyak dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan rambut dari
kekeringan serta mengandung zat bakterisid yang berfungsi membunuh bakteri
di permukaan kulit.
4) Pigmen melanin melindungi dari efek dari sinar UV yang berbahaya. Pada
stratum basal, sel-sel melanosit melepaskan pigmen melanin ke sel-sel di
sekitarnya. Pigmen ini bertugas melindungi materi genetik dari sinar matahari,
sehingga materi genetik dapat tersimpan dengan baik. Apabila terjadi
gangguan pada proteksi oleh melanin, maka dapat timbul keganasan.
5) Selain itu ada sel-sel yang berperan sebagai sel imun yang protektif. Yang
pertama adalah sel Langerhans, yang merepresentasikan antigen terhadap
mikroba. Kemudian ada sel fagosit yang bertugas memfagositosis mikroba
yang masuk melewati keratin dan sel Langerhans (Martini, 2006).

B. Fungsi absorpsi
Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material larut-lipid seperti vitamin
A, D, E, dan K, obat-obatan tertentu, oksigen dan karbon dioksida (Djuanda, 2007).
Permeabilitas kulit terhadap oksigen, karbondioksida dan uap air memungkinkan
kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Selain itu beberapa material
toksik dapat diserap seperti aseton, CCl4, dan merkuri (Harien, 2010). Beberapa obat

1
juga dirancang untuk larut lemak, seperti kortison, sehingga mampu berpenetrasi ke
kulit dan melepaskan antihistamin di tempat peradangan (Martini, 2006).
Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi,
kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan dapat berlangsung
melalui celah antarsel atau melalui muara saluran kelenjar, tetapi lebih banyak yang
melalui sel-sel epidermis daripada yang melalui muara kelenjar (Tortora dkk., 2006).

C. Fungsi ekskresi

Kulit juga berfungsi dalam ekskresi dengan perantaraan dua kelenjar eksokrinnya,
yaitu kelenjar sebasea dan kelenjar keringat:

1) Kelenjar sebasea
Kelenjar sebasea merupakan kelenjar yang melekat pada folikel rambut dan
melepaskan lipid yang dikenal sebagai sebum menuju lumen (Harien, 2010). Sebum
dikeluarkan ketika muskulus arektor pili berkontraksi menekan kelenjar sebasea
sehingga sebum dikeluarkan ke folikel rambut lalu ke permukaan kulit. Sebum
tersebut merupakan campuran dari trigliserida, kolesterol, protein, dan elektrolit.
Sebum berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri, melumasi dan memproteksi
keratin (Tortora dkk., 2006).

2) Kelenjar keringat
Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 mL air dapat keluar
dengan cara menguap melalui kelenjar keringat tiap hari (Djuanda, 2007). Seorang
yang bekerja dalam ruangan mengekskresikan 200 mL keringat tambahan, dan bagi
orang yang aktif jumlahnya lebih banyak lagi. Selain mengeluarkan air dan panas,
keringat juga merupakan sarana untuk mengekskresikan garam, karbondioksida, dan
dua molekul organik hasil pemecahan protein yaitu amoniak dan urea (Martini,
2006). Terdapat dua jenis kelenjar keringat, yaitu kelenjar keringat apokrin dan
kelenjar keringat merokrin.

Kelenjar keringat apokrin terdapat di daerah aksila, payudara dan pubis, serta aktif
pada usia pubertas dan menghasilkan sekret yang kental dan bau yang khas
(Djuanda, 2007). Kelenjar keringat apokrin bekerja ketika ada sinyal dari sistem
saraf dan hormon sehingga sel-sel mioepitel yang ada di sekeliling kelenjar
berkontraksi danmenekan kelenjar keringat apokrin. Akibatnya kelenjar keringat

2
apokrin melepaskan sekretnya ke folikel rambut lalu ke permukaan luar (Tortora
dkk., 2006).
Kelenjar keringat merokrin (ekrin) terdapat di daerah telapak tangan dan kaki.
Sekretnya mengandung air, elektrolit, nutrien organik, dan sampah metabolism
(Harien, 2010). Kadar pH-nya berkisar 4,06,8 dan fungsi dari kelenjar keringat
merokrin adalah mengatur temperatur permukaan, mengekskresikan air dan elektrolit
serta melindungi dari agen asing dengan cara mempersulit perlekatan agen asing dan
menghasilkan dermicidin, sebuah peptida kecil dengan sifat antibiotik (Djuanda,
2007).

d. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis (Djuanda,
2007). Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan Ruffini di dermis
dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan Krause yang terletak di
dermis, badan taktil Meissner terletak di papila dermis berperan terhadap rabaan,
demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di epidermis. Sedangkan terhadap
tekanan diperankan oleh badan Paccini di epidermis. Saraf-saraf sensorik tersebut
lebih banyak jumlahnya di daerah yang erotik (Tortora dkk., 2006).

e. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)


Kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) melalui dua
cara: pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran darah di pembuluh kapiler
(Djuanda, 2007). Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat dalam
jumlah banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga panas
akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah, tubuh akan
mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit pembuluh darah
(vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas oleh tubuh (Harien, 2010).

f. Fungsi pembentukan vitamin D


Sintesis vitamin D dilakukan dengan mengaktivasi prekursor 7 dihidroksi kolesterol
dengan bantuan sinar ultraviolet (Djuanda, 2007). Enzim di hati dan ginjal lalu
memodifikasi prekursor dan menghasilkan kalsitriol, bentuk vitamin D yang aktif.
Calcitriol adalah hormon yang berperan dalam mengabsorpsi kalsium makanan dari
traktus gastrointestinal ke dalam pembuluh darah (Tortora dkk., 2006).

3
Walaupun tubuh mampu memproduksi vitamin D sendiri, namun belum memenuhi
kebutuhan tubuh secara keseluruhan sehingga pemberian vitamin D sistemik masih
tetap diperlukan.Pada manusia kulit dapat pula mengekspresikan emosi karena
adanya pembuluh darah, kelenjar keringat, dan otot-otot di bawah kulit (Djuanda,
2007).
2. Jelaskan Effloresensi pada kulit

Efloresensi atau ruam adalah kelainan kulit dan selaput lendir yang dapat dilihat
dengan mata telanjang (secara objektif) dan bila perlu dapat diperiksa dengan perabaan.

Efloresensi kulit dapat merupakan akibat biasa dalam perjalanan proses patologik.
Kadang-kadang perubahan ini dapat dipengaruhi keadaan dari luar, misalnya trauma garukan
dan pengobatan yang diberikan, sehingga perubahan tersebut tidak biasa lagi. Dalam hal ini,
gambaran klinis morfologik penyakit menyimpang dari biasanya dan sulit dikenali. Untuk
mempermudah dalam perbuatan diagnosis, ruam kulit dibagi menjadi beberapa kelompok.

Menurut terjadinya, efloresensi dibagi atas 2:

Efloresensi primer (kelainan kulit yang terjadi pada permulaan penyakit):


o Makula
Makula merupakan lesi datar, secara jelas terlihat sebagai daerah dengan
warna yang berbeda dengan jaringan di sekitarnya atau membrane mukosa.
Contoh: Tinea vesikolor, morbus Hansen, melanoderma, leukoderma, purpura,
petekie, ekimosis.
Makula tidak dapat dipalpasi. Bentuknya bervariasi dan pinggirnya tidak jelas.
Makulo skuamosa merupakan suatu istilah baru untuk menggambarkan
makula yang tidak dapat dipalpasi, yang hanya dapat jelas terlihat setelah
dibuat goresan ringan.
o Papul
Penonjolan di atas permukaan kulit, sirkumskrip, berukuran diameter lebih
kecil dari 1/2 cm, dan berisikan zat padat. Bentuk papul dapat bermacam-
macam, misalnya setenga bola, contohnya pada eksematau dermatitis, kerucut
pada keratosis folikularis, datar pada veruka plana juvenilis, datar dan berdasar
polygonal pada liken planus, berduri pada veruka vulgaris, bertangkai pada
fibroma pendulans dan ada veruka filiformis.

4
Warna papul dapat merah akibat peradangan, pucat, hiperkrom, putih atau
seperti kulit sekitarnya. Beberapa infiltral mempunyai warna sendiri yang
biasanya baru terlihat setelah eritema yang timbul bersamaan ditekan dan
hilang (lupus, sifilis). Letak papul dapat epidermal atau kutan.
o Plak (Plaque)
Peninggian di atas permukaan kulit, permukaannya rata dan berisi zat padat
(biasanya infiltrat), diameternya 2 cm atau lebih. Contohnya papul yang
melebar atau papul-papul yang berkonfluensi pada psoriasis.
o Urtika
Edema setempat yang timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan, tetapi bisa
hilang beberapa jam kemudian merah jambu atau merah suram/luntur.
o Nodus
Massa padat sirkumskrip, terletak di kutan atau subkutan, dapat menonjol, jika
diameternnya lebih kecil daripada 1 cm disebut nodulus. Nodul lebih padat
konsistensinya daripada papul.
o Vesikel
Gelembung berisi cairan serum, beratap, berukuran kurang dari cm garis
tengah, mempunyai dasar dan puncak vesikula dapat bulat, runcing/
umbilikasi; vesikel berisi darah disebut vesikel hemoragik.
o Bula
Vesikel yang berukuran lebih besar. Dikenal juga istilah bula hemoragik, bula
purulent, dan bula hipopion.
o Pustul
Vesikel yang berisi nanah, bila nanah mengendap di bagian bawah vesikel
disebut vesikel hipopion.
o Kista
Ruangan berdinding dan berisi cairan, sel, maupun sisa sel. Kista terbentuk
bukan akibat peradagan, walaupun kemudian dapat meradang. Dinding kista
merupakan selaput yang terdiri atas jaringan ikat dan biasanya dilapisi sel
epitel atau endotel. Kista terbentuk dari kelenjar yang melebar dan tertutup,
saluran kelenjar, pembuluh darah ,saluran getah bening, atau lapisan
epidermis. Isi kista terdiri dari atas hasil dindingnya, yaitu serum, getah
bening, keringat, sebum, sel-sel epitel, lapisan tanduk, dan rambut.
Efloresensi sekunder (kelainan kulit yang terjadi selama perjalanan penyakit):
5
o Skuama
Lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit. Skuama dapat halus sebagai
taburan tepung, maupun lapisan tebal dan luas sebagai lembaran kertas. Dapat
dibedakan, misalnya pitiriasis formis (halus), psoriasis formis (berlapis-lapis),
iktiosiformis (seperti ikan), kutikular (tipis), lamellar (berlapis), membranosa
atau eksfoliativa (lembaran-lembaran), dan keratorik (terdiri atas zat tanduk).
o Krusta
Cairan badan yang mengering. Dapat bercampur dengan jaringan nekrotik,
maupun benda asing (kotoran, obat, dan sebagainya).Warnanya ada beberapa
macam: kuning muda berasal dari serum, kuning kehijauan berasal dari pus,
dan kehitaman berasal dari darah.
o Erosi
Kelainan kulit yang disebabkan kehilangan jaringan yang tidak melampaui
stratum basal. Contoh bila kulit digaruk sampai stratum spinosum makan
keluar cairan sereus dari bekas garukan.
o Ulkus
Hilangnya jarigan yang lebih dalam dari eksoriasi. Ulkus dengan demikian
mempunyai tepi, dinding, dasar, danisi. Termasuk erosi dan ekskoriasi dengan
bentuk liniar fisura atau rhagades, yakni belahan kulit yang terjadi oleh tarikan
jaringan-jaringannya di sekitarnya, terutama terlihat pada sendi dan batas kulit
dengan selaput lendir.
o Sikatriks
Terdiri atas jaringan tidak utuh, relief kulit tidak normal, permukaan kulit
tidak licin dan tidak terdapat adneksa kulit. Sikatriks dapat atrofik, kulit
mencekung dan dapat hipertrofik, yang secara klinis terlihat menonjol karena
kelebihan jaringan ikat. Bila sikatriks hipertrofik menjadi patologik,
pertumbuhan melampaui batas luka disebut keloid ( sikatriks yang
pertumbuhan selnya mengikuti pertumbuhan tumor), dan ada kecenderungan
untuk terus melebar.
Efloresensi khusus:
o Kanalikuli
Ruam kulit berupa saluran-saluran pada stratum korneum, yang timbul sejajar
dengan permukaan kulit, seperti yang terdapat pada scabies.
o Milia (White Head)
6
Penonjolan di atas permukaan kulit yang berwarna putih, yang ditimbul oleh
penyumbatan saluran kelenjar sebasea, seperti pada akne sistika.
o Komedo (Black Head)
Ruam kulit berupa bintik-bintik hitam yang timbul akibat proses oksidasi
udara terhadap sekresi kelenjar sebasea di permukaan kulit, seperti acne.
o Eksantema
Kelainan pada kulit yang timbul serentak pada waktu singkat, dan tidak
berlangsung lama, umumnya didahului oleh demam.
Eksantema Skarlatiniformis
Erupsi yang difus dapat generalisata atau lokalisata, berbentuk eritema
nummular.
Eksantema morbiliformis
Erupsi yang berbentuk eritema yang lentikuler
o Roseola
Eksantema yang lenticular berwarna merah tembaga pada sifilis dan frambusia
o Purpura
Eksantema yang lenticular berwarna merah tembaga pada sifilis dan frambusia
o Lesi Target
Terdiri dari 3 zona yang berbentuk lingkaran, lingkaran pertama mengandung
purpura atau vesikel di bagian tengah yang dikelilingi oleh lingkaran pucat
(lingkaran kedua), lingkaran ketiga adalah lingkaran eritema. Lesi target
biasanya dijumpai di telapak tangan penderita eritema multiforme (gambaran
seperti mata sapi).
o Burrow
Terowongan yang berkelok-kelok yang meninnggi di epidermis superfacial
yang ditimbulkan oleh parasit.
o Telangiektasi
Pelebaran kapiler yang menetap pada kulit.
o Vegetasi
Pertumbuhan berupa penonjolan bulat atau runcing yang menjadi satu.
Vegetasi dapat di bawah permukaan kulit, misalnya pada tubuh. Dalam hal ini
disebut granulasi, seperti pada tukak.

7
Gambar Penampang Berbagai Ruam

Makula:

Hiperpigentasi, pigmen melanin


Biru, bayanganmelanosit
Eritema, vasodilatasikapiler
Purpura, ekstravasasieritrosit

Nodus:

Infiltrat sampai di subkutan


Infitrat di dermis

Papul:

Deposit metabolic
Serbukan sel radang
Hiperplasi sel epidermia

Urtika:

Edema setempat karena pengumpulan serum di dermis bagian atas.

Plak (plaque)

Papul datar
Penampang lebihdari 1 cm

Vesikel:

Subkorneal
Intra epidermal

8
Supra basal

Kista:

Ruangan berisi cairan dan berisi papul

Sikatriks:

Hipertrofi
Hipotrofi

Kerusakan Kulit:

Erosi
Ekskoriasi
Ulkus

Krusta:

Krusta tipis
Krusta tebal dan lekat

Berbagai istilah ukuran. Susunan kelainan/ bentuk serta penyebaran dan lokalisasi
dijelaskan berikut ini.

I. Ukuran
Miliar: Sebesar kepala jarum pentul
Lentikular: Sebesar biji jagung
Numular: Sebesar uang logam 5 rupiah atau 100 rupiah
Plakat: en plaque, lebih besar dari nummular
II. Susunan kelainan/bentuk
Liniar: seperti garis lurus
Sirsinar/anular: seperti lingkaran
Arsinar: berbentuk bulan sabit

9
Polisiklik: bentuk pinggiran yang sambung menyambung
Korimbiformis: Susunan seperti induk ayam yang dikelilingi anak-anaknya.
Bentuk lesi
o Teratur: misalnya bulat, lonjong, seperti ginjal dan sebagainya.
o Tidak teratur: tidak mempunyai bentuk teratur
III. Penyebaran dan lokalisasi
Sirkumskrip: berbatas tegas
Difus: tidak berbatas tegas
Generalisata: tersebar pada sebagian besar bagian tubuh
Regional: mengenai daerah tertentu bagian tubuh badan
Universalis: seluruh atau hamper seluruh tubuh (90%-100%)
Solitar: hanya satu lesi
Herpetiformis: vesikel berkelompok seperti pada herpes zozter
Konfluens: dua atau lebih lesi yang menjadi satu
Diskret: terpisah satu dengan yang lain
Serpiginosa: proses yang menjalar ke satu jurusan diikuti oleh penyembuhan
pada bagian yang ditinggalkan
Irisformis: Eritema berbentuk putar lonjong dengan vesikel yang warna lebih
gelap di tengahnya
Bilateral: Mengenai kedua belah badan
Unilateral: Mengenai sebelah badan

3. Jelaskan tentang obat antijamur pada kulit

I. OBAT ANTI JAMUR TOPIKAL

Obat anti jamur topikal digunakan untuk pengobatan infeksi lokal pada kulit
tubuh yang tidak berambut (glabrous skin), namun kurang efektif untuk pengobatan
infeksi pada kulit kepala dan kuku, infeksi pada tubuh yang kronik dan luas, infeksi
pada stratum korneum yang tebal seperti telapak tangan dan kaki.
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat anti jamur topikal lebih
sedikit dibandingkan obat anti jamur sistemik.
Jenis golongan obat anti jamur topikal yang sering digunakan yaitu :
1. Poliene : Nystatin

10
2. Azole - Imidazol : Klotrimazol, Ekonazol, Mikonazol, Ketokonazol, Sulkonazol,
Oksikonazol, Terkonazol, Tiokonazol, Sertakonazol
3. Alilamin / benzilamin : Naftifin, Terbinafin, Butenafin
4. Obat anti jamur topikal lain : Amorolfin, Siklopiroks, Haloprogin

GOLONGAN POLIENE

Mekanisme kerja golongan poliene yaitu berikatan dengan ergosterol secara


irreversibel. Ergosterol merupakan komponen yang sangat penting dari membrane sel
jamur.

Nystatin

Nystatin merupakan antibiotik yang digunakan sebagai anti jamur, diisolasi


dari Streptomyces nourse pada tahun 1951 dan merupakan antibiotik group poliene.
Untuk pengobatan candida spesies, nystatin dapat digunakan secara topikal
pada kulit atau membran mukosa (rongga mulut, vagina) dan dapat juga diberikan
secara oral untuk pengobatan kandidosis gastrointestinal.
Nystatin biasanya tidak bersifat toksik tetapi kadang-kadang dapat timbul
mual, muntah dan diare jika diberikan dengan dosis tinggi.
Untuk pengobatan kandidosis oral, diberikan tablet nystatin 500000 unit setiap
6 jam dan untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan 1 atau 2 vaginal
suppositories (100000 setiap unit) yang diberikan selama lebih kurang 14 hari..
Suspensi nystatin oral terdiri dari 100000 unit / ml yang diberikan 4 kali sehari
dengan dosis pada bayi baru lahir (newborn) : 1 ml, infant yang usianya lebih tua : 2
ml dan dewasa : 5 ml.

GOLONGAN AZOL IMIDAZOL

Golongan azol imidazol ditemukan setelah tahun 1960, relatif berspektrum


luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat sintesis ergosterol
jamur yang mengakibatkan timbulnya defek pada membran sel jamur. Obat anti jamur
golongan azol seperti klotrimazol, ketokonazol, ekonazol, oksikonazol, sulkonazol
dan mikonazol, mempunyai kemampuan menggangu kerja enzim sitokrom P-450
lanosterol 14-demethylase yang berfungsi sebagai katalisator untuk mengubah
lanosterol menjadi ergosterol.
11
Klotrimazol

Klotrimazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, kandidosis


oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan oral kandidosis, diberikan oral troches
(10 mg) 5 kali sehari selama 2 minggu atau lebih. Untuk pengobatan kandidosis
vaginalis diberikan dosis 500, 200 atau 100 mg yang dimasukkan kedalam vagina
selama 1, 3, atau 6 hari berturu-turut. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit

digunakan klotrimazol cream 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari
kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

Ekonazol

Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis


oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan dosis
150 mg yang dimasukkan ke dalam vagina selama 3 hari berturut-turut. Untuk
pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan ekonazol cream 1%, dosis dan
lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4
minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

Mikonazol

Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor


dan kandidosis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis
diberikan dosis 200 atau 100 mg yang dimasukkan ke dalam vagina selama 7 atau 14
hari berturut-turut. Untuk pengobatan kandidosis oral, diberikan oral gel (125 mg) 4
kali sehari. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan mikonazol cream
2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan
selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

Ketokonazol

Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor,


kutaneous kandidiasis dan dapat juga untuk pengobatan seborrrheic dermatitis. Untuk
pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan ketokonazol 1% cream, dosis dan
lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4
minggu dan dioleskan sekali sehari sedangkan pengobatan seborrrheic dermatitis
12
dioleskan 2 kali sehari. Untuk pengobatan pitiriasis versikolor menggunakan
ketokonazol 2% shampoo dioleskan sekali sehari selama 5 hari sedangkan untuk
pengobatan dandruff digunakan ketokonazol 1% shampoo sebanyak 2 kali seminggu
selama lebih kurang 8 minggu.

Sulkonazol

Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis


kutaneus. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan sulkonazol 1% cream
Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk
pengobatan tinea korporis, tinea kruris ataupun pitiriasis versikolor dioleskan 1 atau 2
kali sehari selama 3 minggu dan untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 4
minggu.

Oksikonazol

Oksikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis


kutaneous. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan oksikonazol 1%
cream ataau lotion. Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien,
biasanya untuk pengobatan tinea korporis dan tinea kruris dioleskan 1 atau 2 kali
sehari selama 2 minggu, untuk tinea pedis dioleskan 1 tatau 2 kali sehari selama 4
mingggu dan pitiriasis versikolor dioleskan 1 kali sehari selama 2 minggu.

Terkonazol

Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis


kutaneous dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis yang disebabkan
Candida albicans, dapat digunakan terkonazol 0,4% vaginal cream (20 gr terkonazol)
yang dimasukkan ke dalam vagina menggunakan applikator sebelum waktu tidur, 1
kali sehari selama 7 hari berturut-turut, terkonazol 0,8% vaginal cream (40 mg
terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina menggunakan applikator sebelum
waktu tidur, 1 kali sehari selama 3 hari berturut-turut dan vaginal suppositoria dengan
dosis 80 mg terkonazol, dimasukkan ke dalam vagina, 1 kali sehari sebelum waktu
tidur selama 3 hari berturut-turut.

Tiokonazol

13
Tiokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis
kutaneous dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan dosis tunggal
sebanyak 300 mg dimasukkan ke dalam vagina. Untuk infeksi pada kulit digunakan
tiokonazol 1% cream, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien,
biasanya untuk pengobatan tinea korporis dan kandidiasis kutaneus dioleskan 2 kali
sehari selama 2-4 minggu, untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 6 minggu,
untuk tinea kruris dioleskan 2 kali sehari selama 2 minggu dan untuk pitiriasis
versikolor dioleskan 2 kali sehari selama 1-4 minggu.

Sertakonazol

Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandida


spesies, digunakan sertakonazol 2% cream, dioleskan 1-2 kali sehari selama 4
minggu.

GOLONGAN ALILAMIN / BENZILAMIN

Golongan alilamin yaitu naftifin, terbinafin dan golongan benzilamin yaitu


butenafin, bekerja dengan cara menekan biosentesis ergosterol pada tahap awal proses
metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan mengambat aktifitas squalene
eposidase. Dengan berkurangnya ergosterol, akan menyebabkan penumpukan
squalene pada sel jamur dan akan mengakibatkan kematian sel jamur. Alilamin dan
benzilamin bersifat fungisidal terhadap dermatofit dan bersifat fungistatik terhadap
Candida albicans.

Naftifin

Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan Candida


spesies. Untuk pengobatan digunakan naftifine hydrochloride 1% cream dioleskan 1
kali sehari selama 1 minggu.

Terbinafin

Terbinafin (Lamisil) dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis,


pitiriasis versikolor dan kandidiasis kutaneus. Digunakan terbinafin 1% cream yang
dioleskan 1 atau 2 kali sehari, untuk pengobatan tinea korporis dan tinea kruris
digunakan selama 1-2 minggu, untuk tinea pedis selama 2-4 minggu, untuk

14
kandidiasis kutaneus selama 1-2 minggu dan untuk pitiriasis versikolor selama 2
minggu.

Butenafin

Butenafin merupkan golongan benzilamin dimana struktur kimia dan aktifitas


anti jamurnya sama dengan golongan alilamin. Butenafine bersifat fungisidal terhadap
dermatofit dan dapat digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris dan
tinea pedis dan bersifat fungisidal. Dioleskan 1 kali sehari selama 4 minggu.

GOLONGAN ANTI JAMUR TOPIKAL YANG LAIN

Amorolfin

Amorolfine merupakan derivat morpolin, bekerja dengan cara menghambat


biosintesis ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya yang luas, dapat digunakan untuk
pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan onikomikosis. Untuk infeksi
jamur pada kulit amorolfin dioleskan satu kali sehari selama 2-3 minggu sedangkan
untuk tinea pedis selama > 6 bulan. Untuk pengobatan onikomikosis digunakan
amorolfine 5% nail laquer, untuk kuku tangan dioleskan satu atau dua kali setiap
minggu selama 6 bulan sedangkan untuk kuku kaki harus digunakan selama 9-12
bulan.

Siklopiroks

Siklopiroks merupakan anti jamur sintetik hydroxypyridone, bersifat


fungisida, sporosida dan mempunyai penetrasi yang baik pada kulit dan kuku.
Siklopiroks efektif untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis,
onikomikosis, kandidosis kutaneus dan pitiriasis versikolor.
Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali sehari
selama 2-4 minggu sedangkan untuk pengobatan onikomikosis digunakan siklopiroks
nail laquer 8%. Setelah dioleskan pada permukaan kuku yang sakit, larutan tersebut
akan mengering dalam waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari
pembawa berdifusi menembus lapisan-lapisan lempeng kuku hingga ke dasar kuku
(nail bed) dalam beberapa jam sudah mencapai kedalaman 0,4 mm dan secara penuh
akan dicapai setelah 24-48 jam pemakaian. Kadar obat akan mencapai kadar fungisida
dalam waktu 7 hari sebesar 0,89 0,25 mikrogram tiap milligram material kuku.
15
Kadar obat akan meningkat terus hingga 30-45 hari setelah pemakaian dan
selanjutnya konsentrasi akan menetap yakni sebesar 50 kali konsentrasi obat minimal
yang berefek fungisidal. Konsentrasi obat yang berefek fungisidal ditemukan di setiap
lapisan kuku.
Sebelum pemakain cat kuku siklopiroks, terlebih dahulu bagian kuku yang
infeksi diangkat atau dibuang, kuku yang terisa dibuat kasar kemudian dioleskan
membentuk lapisan tipis. Lakukan setiap 2 hari sekali selama bulan pertama, setiap 3
hari sekali pada bulan ke dua dan seminggu sekali pada bulan ke tiga hingga bulan ke
enam pengobatan. Dianjurkan pemakaian cat kuku siklopiroks tidak lebih dari 6
bulan.
Haloprogin

Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk pengobatan tinea


korporis, tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan konsentrasi 1%
dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu.

II. OBAT ANTI JAMUR SISTEMIK

Pemberian obat anti jamur sistemik digunakan untuk pengobatan infeksi


jamur superfisial dan sistemik (deep mikosis), obat-obat tersebut yaitu :

D. GRISEOFULVIN
Griseofulvin merupakan antibiotik antijamur yang berasal dari spesies
Penicilium mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai anti jamur pada tumbuhan
dan kemudian diperkenalkan untuk pengobatan infeksi dermatofita pada hewan. Pada
tahun 1959, diketahui griseofulvin ternyata efektif untuk pengobatan infeksi jamur
superfisial pada manusia. Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang pertama
diberikan secara oral untuk pengobatan dermatofitosis.

Mekanisme kerja
Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang bersifat fungistatik, berikatan
dengan protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur.

Aktifitas spektrum
Griseofulvin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas hanya untuk spesies
Epidermophyton floccosum, Microsporum spesies dan Trichophyton spesies, yang

16
merupakan penyebab infeksi jamur pada kulit, rambut dan kuku. Griseofulvin tidak
efektif terhadap kandidosis kutaneus dan pitiriasis versikolor.

Farmakokinetik
Pemberian griseofulvin secara oral dengan dosis 0,5 - 1 gr, akan menghasilkan
konsentrasi puncak plasma sebanyak 1 mikrogram / ml dalam waktu 4 jam dan level
dalam darah bervariasi. Griseofulvin mempunyai waktu paruh di dalam plasma lebih
kurang 1 hari, dan 50 % dari dosis oral dapat di deteksi di dalam urin dalam waktu 5
hari dan kebanyakan dalam bentuk metabolit.
Griseofulvin sangat sedikit diabsorpsi dalam keadaan perut kosong.
Mengkonsumsi griseofulvin bersama dengan makanan berkadar lemak tinggi, dapat
meningkatkan absorpsi mengakibatkan level griseofulvin dalam serum akan lebih
tinggi. Ketika diabsorpsi, griseofulvin pertama kali akan berikatan dengan serum
albumin dan distribusi di jaringan di ditentukan dengan plasma free concentration.
Selanjutnya menyebar melalui cairan transepidermal dan keringat dan akan dideposit
di sel prekusor keratin kulit (stratum korneum) dan terjadi ikatan yang kuat dan
menetap. Lapisan keratin yang terinfeksi, akan digantikan dengan lapisan keratin baru
yang lebih resisten terhadap serangan jamur. Pemberian griseofulvin secara oral akan
mencapai stratum korneum setelah 4 - 8 jam.
Griseofulvin di metabolisme di hepar menjadi 6 desmethyl griseofulvin, dan
akan di ekskresikan melalui urin. Eliminasi waktu paruh 9-21 jam dan kurang dari 1%
dari dosis akan di jumpai pada urin tanpa perubahan bentuk.

Dosis
Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu mikrosize (mikrokristallin) dan
ultramikrosize (ultramikrokristallin). Bentuk ultramikrosize, penyerapannya pada
saluran pencernaan 1,5 kali dibandingkan dengan bentuk mikrosize.
Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk pengobatan tinea
kapitis. Tinea kapitis lebih sering dijumpai pada anak-anak disebabkan oleh
Trychopyton tonsurans.
Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu dewasa 500 -1000 mg / hari
(mikrosize) dosis tunggal atau terbagi dan 330 375 mg / hari (ultramikrosize) dosis
tunggal atau terbagi. Anak - anak 2 tahun 10 - 15 mg / kg BB / hari (mikrosize),
dosis tunggal atau terbagi dan 5,5 - 7,3 mg / kg BB / hari (ultramikrosize) dosis
tunggal atau terbagi. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan kruris selama 2 - 4
17
minggu, untuk tinea kapitis paling sedikit selama 4 - 6 minggu, untuk tinea pedis
selama 4 - 8 minggu dan untuk tinea unguium selama 3 - 6 bulan.
Efek samping
Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual, muntah
dan sakit pada abodominal. Timbunya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat terjadi
pada sebagian pasien.

Interaksi obat
Absorbsi griseofulvin menurun jika diberikan bersama dengan fenobarbital
tetapi efek tersebut dapat di kurangi dengan cara mengkonsumsi griseofulvin bersama
makanan. Griseofulvin juga dapat menurunkan efektifitas warfarin yang merupakan
antikoagulan. Kegagalan kontrasepsi telah dilaporkan pada pasien yang
mengkonsumsi griseofulvin dan oral kontrasepsi.

KETOKONAZOL
Ketokonazol diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1977 dan di
Amerika Serikat pada tahun 1981. Ketokonazol merupakan antijamur golongan
imidazol yang pertama diberikan secara oral.

Mekanisme kerja
Ketokonazol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan
sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel jamur. Bekerja dengan
cara menginhibisi enzim sitokrom P-450, C-14--demethylase yang
bertanggungjawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini akan mengakibatkan
dinding sel jamur menjadi permiabel dan terjadi penghancuran jamur.

Aktifitas spektrum
Ketokonazol mempunyai spekrum yang luas dan efektif terhadap Blastomyces
dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum,
Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif terhadap
dermatofit tetapi tidak efektif terhadap Aspergillus spesies dan Zygomycetes.

Farmakokinetik
Ketokonazol yang diberikan secara oral, mempunyai bioavailabilitas yang luas
antara 37% - 97% di dalam darah. Puncak waktu paruh yaitu 2 jam dan berlanjut 7-10
jam. Ketokonazol mempunyai daya larut yang optimal pada pH dibawah 3 dan akan
lebih mudah diabsorbsi.
18
Pasien yang menderita achlorhydia, harus mengkonsumsi ketokonazol
bersama dengan cairan yang asam dan pada pasien yang mendapat obat - obat seperti
antasid, antikolinergik, antiparkinson dan antagonis H2 reseptor, sebaiknya
mengkonsumsi ketokonazol 2 jam sebelumnya oleh karena dapat mengurangi
absorbsi ketokonazol.
Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai
keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat eccrine. Penghantaran akan
menjadi lebih lambat ketika mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3 - 4
minggu. Konsentrasi ketokonazol masih tetap dijumpai, sekurangnya 10 hari setelah
obat dihentikan.
Ketokonazol mempunyai distribusi yang luas melalui urin, saliva, sebum,
kelenjar keringat eccrine, serebrum, cairan pada sendi dan serebrospinal fluid (CSF).
Namun, ketokonazol 99% berikatan dengan plasma protein sehingga level pda CSF
rendah.
Ketokonazol dimetabolisme di hati dan diubah menjadi metabolit yang tidak
aktif dan diekskresi bersama empedu ke dalam saluran pencernaan.
Dosis
Dosis ketokonazol yang diberikan pada orang dewasa 200 mg / hari, dosis
tunggal dan untuk kasus yang serius dapat ditingkatkan hingga 400 mg / hari
sedangkan dosis untuk anak-anak 3,3 6,6 mg / kg BB, dosis tunggal. Lama
pengobatan untuk tinea korporis dan tinea kruris selama 2 - 4 minggu, tinea versikolor
selama 5 -10 hari sedangkan untuk tinea kapitis dan onikomikosis biasanya tidak
direkomendasikan.

Efek samping
Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering di jumpai.
Ketokonazol juga dapat menimbulkan efek hepatotoksik yang ringan tetapi kerusakan
hepar yang serius jarang terjadi. Peninggian transaminase sementara dapat terjadi
pada 5-10% pasien. Efek samping yang serius dari hepatotoksik adalah idiosinkratik
dan jarang ditemukan yaitu 1:10000 dan 1:15000, biasanya djumpai pada pasien yang
mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu. Untuk pengobatan jangka waktu yang
lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Dosis tinggi ketokonazol (>800
mg/hari) dapat menghambat sintesis human adrenal dan testikular steroid yang dapat
menimbulkan alopesia, ginekomasti dan impoten.

19
Interaksi obat
Konsentrasi serum ketokonazol dapat menurun pada pasien yang
mengkonsumsi obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasid,
antikolinergik dan H2-antagonis sehingga sebaiknya obat ini di berikan setelah 2 jam
pemberian ketokonazol. Ketokonazol dapat memperpanjang waktu paruh seperti
terfenadin, astemizol dan cisaprid sehingga sebaiknya tidak diberikan bersama dan
juga dapat menimbulkan efek samping kardiovaskular seperti pemanjangan Q-T
interval dan torsade de pointes.
Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam dan
triazolam dan dapat meningkatkan level siklosporin dan konsentrasi serum dari
warfarin. Pemberian bersama ketokonazol dengan rifampicin dapat menurunkan
efektifitas ke dua obat.

3. ITRAKONAZOL
Itrakonazol diperkenalkan pada tahun 1992 merupakan sintesis derivat triazol.

Mekanisme kerja
Mekanisme kerja itrakonazol dengan cara menghambat 14--demethylase
yang merupakan suatu enzim sitokrom P-450 yang bertanggung jawab untuk merubah
lanosterol menjadi ergosterol pada dinding sel jamur.

Aktifitas spektrum
Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillosis
spesies, Blastomyces dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes immitis,
Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur,
Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium apiospermum dan Sporothrix schenckii.
Itrakonazol juga efektif terhadap dematiaceous moulds dan dermatofit tetapi tidak
efektif terhadap Zygomycetes.

Farmakokinetik
Absorbsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada saluran gastrointestinal
(55%) tetapi absorbsi tersebut dapat ditingkatkan jika itrakonazol dikonsumsi bersama
makanan. Pemberian oral dengan dosis tunggal 100 mg, konsentrasi puncak plasma
akan mencapai 0,1-0,2 mg/L dalam waktu 2-4 jam.

20
Itrakonazol mempunyai ikatan protein yang tinggi pada serum melebihi 99%
sehingga konsentrasi obat pada cairan tubuh seperti pada CSF jumlahnya sedikit.
Namun sebaliknya konsentrasi obat di jaringan seperti paru-paru, hati dan tulang
dapat mencapai 2 atau 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada serum. Konsentrasi
itrakonazol yang tinggi juga ditemukan pada stratum korneum akibat adanya sekresi
obat pada sebum. Itrakonazol tetap dapat ditemukan pada kulit selama 2-4 minggu
setelah pengobatan dihentikan dengan lama pengobatan 4 minggu sedangkan pada jari
kaki itrakonazol masih dapat ditemukan selama 6 bulan setelah pengobatan dihentikan
dengan lama pengobatan 3 bulan.
Kurang dari 0,03% dari dosis itrakonazol akan di ekskresi di urin tanpa
mengalami perubahan tetapi lebih dari 18% akan di buang melalui feces tanpa
mengalami perubahan. Itrakonazol di metabolisme di hati oleh sistem enzim hepatik
sitokrom P- 450. Kebanyakan metabolit yang tidak aktif akan di ekskresi oleh empedu
dan urin. Metabolit utamanya yaitu hidroksitrakonazol yang merupakan suatu
bioaktif.
Dosis
Dosis pengobatan untuk dermatofitosis adalah 100 mg/hari. Lama pengobatan
untuk tinea korporis atau tinea kruris adalah selama 2 minggu tetapi untuk tinea
manus dan tinea pedis adalah selama 4 minggu. Pengobatan untuk pitirisis versikolor
dengan dosis 200 mg/hari selama 1 minggu.
Untuk pengobatan onikomikosis dengan dosis 200 mg selama 3 bulan atau
menggunakan dosis denyut yaitu kuku jari tangan sebanyak 2 pulsa itrakonazol
dengan dosis 400 mg/hari selama 1 minggu dan 3 minggu tanpa pengobatan
sedangkan kuku jari kaki sebanyak 3 pulsa atau lebih.
Pengobatan kandidosis kutis dengan dosis 100 mg / hari selama 2 minggu,
kandidosis orofaringeal 100 mg / hari selama 2 minggu, kandidosis vaginalis 2x200
mg selama 1 hari atau 200 mg selama 3 hari.
Sedangkan untuk infeksi deep mikosis seperti aspergillosis, blastomikosis dan
histoplasmosis diberikan dosis itrakonazol sebanyak 200-400 mg/hari.
Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, sakit pada abdominal dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit kepala,
pruritus dan ruam allergi.

21
Efek samping yang lain yaitu kelainan test hati yang dilaporkan pada 5%
pasien yang ditandai dengan peninggian serum transaminase, ginekomasti dilaporkan
terjadi pada 1% pasien yang menggunakan dosis tinggi, impotensi dan penurunan
libido pernah dilaporkan pada pasien yang mengkonsums itrakonazol dosis tinggi 400
mg /hari atau lebih.
Interaksi obat
Absorbsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan obat-obat
yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasid, H2-antagonis,
omeprazol dan lansoprazol.

Itrakonazol dan metabolit utamanya merupakan suatu inhibitor dari sistem


enzim human hepatic sitokrom P-450-3A4 sehingga pemberian itrakonazol bersama
dengan obat lain yang metabolismenya melalui sistem tersebut dapat meningkatkan
konsentrasi azol, interaksi obat ataupun ke duanya. Itrakonazol dapat memperpanjang
waktu paruh dari obat-obat seperti terfenadin, astemizol, midazolam, triazolam,
lovastatin, simvastatin, cisaprid, pimozid, quinidin. Itrakonazol juga dapat
meningkatkan konsentrasi serum digoxin, siklosporin, takrolimus dan warfarin.

4. FLUKONAZOL
Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat dalam
bentuk oral dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan di perkenalkan pertama
kali di Eropa kemudian di Amerika Serikat.

Mekanisme kerja
Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol lain yaitu
merupakan suatu inhibitor yang poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja dengan
menghambat sistem enzim sitokrom P-450 14--demethylase dan bersifat fungistatik.

Aktifitas spektrum
Flukonazol paling aktif terhadap Candida spesies, Coccidioides imminitis dan
Cryptococcus neoformans. Mempunyai aktifitas yang terbatas terhadap Blastomyces
dermatitidis, Histoplasma capsulatum dan Sprothrix schenckii. Flukonazol juga
efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif untuk moulds termasuk Aspergillus
spesies dan Zygomycetes. Walaupun flukonazol efektif terhadap Candida spesies
tetapi resisten untuk Candida krusei dan Candida glabrata.

22
Farmakokinetik
Flukonazol secara cepat dan sempurna diserap melalui saluran gastrointestinal.
Bioavailabilitas oral flukonazol melebihi 90 % pada orang dewasa. Konsentrasi
puncak plasma dicapai setelah 1 atau 2 jam pemberian oral dengan eliminasi waktu
paruh plasma 30 jam (20-50 jam) setelah pemberian oral. Absorbsi flukonazol tidak
dipengaruhi oleh kadar asam lambung (pH).
Pemberian secara oral dengan dosis tunggal ataupun multiple lebih dari 14
hari maka flukonazol akan mengalami penetrasi yang luas ke dalam cairan dan
jaringan tubuh. Flukonazol bersifat hidrofilik sehingga lebih banyak ditemukan di
dalam cairan tubuh dan dijumpai di dalam keringat dengan konsentrasi tinggi. Ikatan
flukonazol dengan protein biasanya rendah (12%) sehingga sirkulasi obat yang tidak
berikatan tinggi.
Metabolisme flukonazol terjadi di hepar dan diekskresi melalui urin dimana 80
% dari dosis obat akan di ekskresi tanpa perubahan dan 11% di ekskresi sebagai
metabolit.
Dosis
Untuk pengobatan orofaringeal kandidosis diberikan dosis 200 mg pada hari
pertama dan selanjutnya 100 mg /hari selama 2 minggu. Oesophageal kandidosis
diberikan dosis 200 mg pada hari pertama dan selanjutnya 100 mg /hari selama 3
minggu. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis digunakan dosis tunggal 150 mg.
Flukonazol juga efektif terhadap Cryptococcus neoformans dan merupakan terapi
pilihan utama untuk cryptococcal meningitis pada pasien ADIS diberikan dengan
dosis 6 mg/kg BB atau 400 mg /hari untuk berat badan 70 kg.
Efek samping

Efek samping yang sering di jumpai adalah masalah gastrointestinal seperti


mual, muntah, diare, sakit pada abdominal dan juga sakit kepala. Efek samping lain
yaitu hipersensitiviti, agranulositosis, exfoliatif skin disoders seperti Steven Johnson-
sindrom, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat.

Interaksi obat

Flukonazol dapat meningkatkan efek atau level dari obat yaitu astemizol,
amitriptilin, kafein, siklosporin, fenitoin, sulfonilureas, terfenadin, theofilin, warfarin
dan zidovudin. Pemberian bersama flukonazol dengan cisapride ataupun terfenadin
merupakan kontra indikasi oleh karena dapat menimbulkan disaritmia jantung yang
23
serius dan torsade de pointes. Flukonazol juga dapat berinteraksi dengan tolbutamid,
glipizid dan gliburid yang menimbulkan efek hipoglikemi.
Level atau efek flukonazol dapat menurun oleh karbamazepin, isoniazid,
phenobarbital, rifabutin dan rifampin dan akan meningkat oleh simetidin dan
hidroklorothiazid.

5. VORIKONAZOL

Vorikonazol merupakan sintetik triazol yang berasal dari flukonazol dan


tersedia dalam bentuk oral maupun parenteral.

Mekanisme kerja
Vorikonazol merupakan inhibitor yang poten terhadap biosintesis ergosterol,
bekerja pada enzim sitokrom p-450, lanosterol 14--demethylase. Hal ini
menyebabkan berkurangnya ergosterol dan penumpukan methilat sterols yang
mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi membran jamur.

Aktifitas spktrum
Vorikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus species,
Blastomyces dermatitidis, Candida species, Cryptococcus neoformans, Fusarium
species, Histoplasma capsulatum dan Scedosporium apiospermum. Juga efektif
terhadap dematiaceous moulds, tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes.

Farmakokinetik
Pemberian vorikonazol secara oral di absorbsi dengan cepat dan hampir
sempurna (sekitar 96%). Dua jam setelah mengkonsumsi vorikonazol dengan dosis
400 mg dosis tunggal, diharapkan akan dicapai konsentrasi serum 2 mg/L. Absorbsi
vorikonazol akan berkurang bersama makanan yang mengandung lemak tetapi tidak
dipengaruhi perubahan pH lambung. Vorikonazol mempunyai volume distribusi yang
luas (4,6L/kg BB) yang dapat di lihat pada jaringan dan diperkirakan berikatan
dengan protein sekitar 58%. Vorikonazol di ekskresi dalam bentuk yang tidak
mengalami perubahan melalui urin < 2% dari dosis yang di berikan.Vorikonazol di
metabolisme melalui sistem enzim human hepatik sitokrom p-450 Lebih dari 80%
dosis oral akan dibuang sebagai metabolit melalui urin. Eliminasi waktu paruh
berkisar 6-9 jam dengan dosis parenteral 3 mg/kg atau 200 mg dengan dosis oral.

24
Terdapat 3 sistem enzim hepatik sitokrom yang mempunyai peranan dalam proses
metabolisme vorikonazol yaitu Cyp-2C19, CYP-2C9 dan CYP-3A4.

Dosis
Pengobatan intravenous vorikonazol harus di awali dengan 2 loading dose sebanyak 6
mg/ kg BB dengan jarak 12 jam dan selanjutnya 4 mg/kg BB dengan interval 12 jam.
Setiap dosis harus di infus dengan rata-rata maksimum 3 mg/kg BB/jam selama
periode 1-2 jam. Konsentrasi cairan infus tidak melebihi 5 mg/ml.
Pasien dengan berat badan lebih dari 40 kg dapat diberikan dosis oral
sebanyak 200 mg dengan interval 12 jam sedangkan berat badan yang kurang dari 40
kg dapat diberikan dosis 100 mg dengan interval 12 jam. Obat harus dikonsumsi 1
jam sebelum atau sesudah makan.
Efek samping
Kebanyakan efek samping yang dapat di jumpai pada pasien yaitu demam,
adanya ruam pada kulit, mual, muntah, diare, sakit kepala dan sakit abdominal.
Sekitar 13 % pasien di jumpai peninggian test fungsi hati selama pengobatan.

Interaksi obat
Absorbsi vorikonazol tidak menglami penurunan jika diberikan bersama
dengan obat lain seperti simetidin, ranitidin yang berfungsi mengurangi sekresi asam
lambung.Vorikonazol kurang poten sebagai inhibitor sistim enzim human hepatik
sindrom P-450-3A4 dibandingkan itrakonazol ataupun ketokonazol, namun
vorikonazol dapat meningkatkan konsentrasi serum sirolimus, terfenadin, astemizol,
cisaprid, pimozid dan quinidin sehingga sebaiknya vorikonazol tidak di konsumsi
bersama dengan obat diatas. Vorikonazol dapat menunjukkan penurunan konsentrasi
serum siklosporin dan takrolimus sehingga level dan dosis obat harus di monitor.
Vorikonazol dapat meningkatkan konsentrasi serum warfarin yang berfungsi sebagai
antikoagulan sehingga waktu protrombin pada pasien yang mendapat ke dua obat
tersebut harus di monitor. Vorikonazol dapat menghambat metabolisme lovastatin
sehingga dosis obat tersebut harus disesuaikan. Vorikonazol juga dapat meningkatkan
konsentrasi tolbutamid dan glipizid yang menimbulkan efek hipoglikemik.
Vorikonazol dapat menghambat metabolisme anti-HIV protease inhibitor seperti
saquinavir, amprenavir dan nelfenavir sedangkan ritonavir, amprenavir dan saquinavir
dapat menghambat metabolisme golongan azol. Vorikonazol juga sebaiknya tidak

25
diberikan bersama dengan carbamazepin, phenobarbital, rifabutin dan rifampicin.
TERBINAFIN

Terbinafin merupakan anti jamur golongan alilamin yang dapat diberikan


secara oral. Pertama kali ditemukan pada tahun 1983, di gunakan di Eropa sejak tahun
1991 dan di Amerika Serikat pada tahun 1996.
Mekanisme Kerja
Terbinafin bekerja menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen
sterol yang utama pada membran plasma sel jamur), dengan cara menghambat kerja
squalene epoxidase (merupakan suatu enzim yang berfungsi sebagai katalis untuk
mengubah squalene menjadi squalene-2,3 epoxide). Dengan berkurangnya ergosterol
yang berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan membran sel jamur sehingga
pertumbuhan akan berhenti, disebut dengan efek fungistatik dan dengan adanya
penumpukan squalene yang banyak di dalam sel jamur dalam bentuk endapan lemak
sehingga menimbulkan kerusakan pada membran sel jamur disebut dengan efek
fungisidal.

Aktifitas spektrum
Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap
dermatofit yang bersifat fungisidal dan bersifat fungistatik untuk Candida albicans
tetapi bersifat fungisidal untuk beberapa species candida seperti Candida
parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis species, Blastomyces
dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenckii dan beberapa
dermatiaceous moulds.

Farmakokinetik
Terbinafin di absorbsi dengan baik jika diberikan dengan cara oral yaitu >
70% dan akan tercapai konsentrasi puncak dari serum berkisar 0,8-1,5 mg/L setelah
pemberian 2 jam dengan 250 mg dosis tunggal. Pemberian bersama makanan tidak
mempengaruhi absorbsi obat.
Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas pada pada
dermis, epidermis, jaringan lemak dan kuku. Konsentrasi plasma terbinafin terbagi
dalam tiga fase dimana waktu paruh terbinafin yang terdistribusi di dalam plasma
yaitu 1,1 jam ; eliminasi waktu paruh yaitu 16 dan 100 jam setelah pemberian 250 mg
dosis tunggal ; setelah 4 minggu pengobatan dengan dosis 250 mg /hari terminal

26
waktu paruh rata-rata yaitu 22 hari di dalam plasma. Di dalam dermis- epidermis,
rambut dan kuku eliminasi waktu paruh rata-rata yaitu 24-28 hari.
Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui sebum
kemudian bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi ke dermis-
epidermis tetapi terbinafin di dalam kelenjar keringat ekrine tidak terdeteksi.
Terbinafin yang diberikan secara oral akan menetap di dalam kulit dengan konsentrasi
di atas MIC untuk dermatofit selama 2-3 minggu setelah obat di hentikan. Terbinafin
dapat terdeteksi pada bagian distal dari nail plate dalam waktu 1 minggu setelah
pengobatan dan level obat yang efektif dicapai setelah 4 minggu pengobatan.
Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka waktu yang lama setelah
pengobatan dihentikan.
Terbinafin di metabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan di
ekskresi melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces sebanyak 20%.
Dosis
Terbinafin tersedia dalam bentuk tablet 250 mg tetapi tidak tersedia dalam
bentuk parenteral.

Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada kulit dan kuku.
Dosis terbinafin oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari tetapi pada pasien dengan
ganguan hepar atau fungsi ginjal (kreatinin clearence < 50 ml/menit atau konsentrasi
serum kreatinin > 300 mol/ml) dosis harus diberikan setengah dari dosis diatas.
Pengobatan tinea pedis selama 2-6 minggu, tinea korporis dan kruris selama 2-4
minggu sedangkan infeksi pada kuku tangan selama 3 bulan dan kuku kaki selama 6
bulan atau lebih.

Efek samping
Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dyspepsia, sakit di abdominal
sering dijumpai. Jarang dijumpai pasien yang menderita kerusakan hepar dan
meninggal akibat mengkonsumsi terbinafin untuk pengobatan infeksi kuku.
Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar yang kronik
atau aktif.

Interaksi obat
Terbinafin tidak mempunyai efek clearance terhadap obat lain yang
metabolismenya melalui hepatik sitokrom P-450. Namun konsentrasi darah akan
menurun jika terbinafin di berikan bersama rifampicin yang merupakan suatu inducer
27
yang poten terhadap sistem enzim hepatik sitokrom P-450. Level darah pada
terbinafin dapat meningkat jika pemberiannya bersama cimetidin yang merupakan
sitokrom P-450 inhibitor.

7. AMFOTERISIN B

Amfoterisin B merupakan antibiotik makrosiklik polyene yang berasal dari


Streptomyces nodosus, diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui digunakan
sebagai anti jamur pada manusia di tahun 1960.
Amfoterisin B deoxycholate (formula konvensional) digunakan untuk
pengobatan infeksi deep mikosis, pemberian secara parenteral sering menimbulkan
efek toksik terutama pada ginjal / nefrotoksik sehingga kemudian dikembangkan 3
jenis formula yang kurang toksik terhadap ginjal dengan dasar lemak (lipid-based
formulations) yaitu Liposomal amfoterisin B (AmBisome), obat ini diselubungi
dengan phospholipid yang mengandung liposome. Amfoterisin B lipid kompleks
(Abelcet, ABLC), merupakan suatu kompleks dengan fosfolipid yang membentuk
struktur seperti pita. Amfoterisin B kolloidal dispersion (Amphocil, Amphotec,
ABCD), merupakan suatu kompleks dengan cholesterol sulphate yang membentuk
potongan lemak yang kecil.
Mekanisme kerja
Amfoterisin B berikatan dengan ergosterol sehingga membran sel jamur
menjadi rentan selanjutnya mengakibatkan fungsi barrier membran menjadi rusak,
hilangnya unsur-unsur penting sel, menggangu metabolisme dan matinya sel jamur.
Efek lain pada membran sel jamur yaitu amfoterisin B dapat menimbulkan
kerusakan oksidatif terhadap sel jamur.
Aktifitas spektrum
Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap : Aspergillus
species, Mucorales species, Blastomyces dermatitidis, Candida species, Coccidioides
immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Paracoccidioides
brasiliensis, Penicillium marneffei.
Sedangkan untuk Aspergillus tereus, Fusarium species, Malassezia furfur,
Scedosporium species dan Trichosporon asahii biasanya resisten.

28
Farmakokinetik
Amfoterisin B sangat sedikit diserap dengan cara pemberian oral
(bioavaibilitasnya kurang dari 5%), sehingga untuk tetap mempertahankan
konsentrasi serum yang adekuat diberikan secara intravenous.

Formula konvensional

Pemberian parenteral formula konvensional dengan dosis 1 mg/kgBB akan


menghasilkan konsentrasi serum yang maksimum sebanyak 1,0-2,0 mg/l. Kurang dari
10% dari dosis tersebut akan menetap di dalam darah setelah 12 jam pemberian dan
lebih dari 90% akan berikatan dengan protein. Sebagian besar ditemukan pada hepar
(40% dari dosis), paru-paru (6% dari dosis), ginjal (2% dari dosis) sedangkan pada
cairan cerebrospinal (CSF) kurang dari 5% konsentrasi darah. Formula konvensional
mempunyai waktu paruh fase ke dua 24-48 jam dan waktu paruh fase ke tiga 2
minggu.

Formula dengan dasar lemak (lipid-based formulations)

Sebagian besar struktur formula dengan dasar lemak seperti amfoterisin B


lipid kompleks (ABLC), akan menghilang dengan cepat dari dalam darah tetapi
sebagian kecil liposome akan menetap di sirkulasi untuk jangka waktu yang lama.
Konsentrasi serum maksimum dari liposomal amfoterisin B (AmBisome)
yaitu 10-35 mg/L dengan dosis 3 mg/kgBB dan 25-60 mg/L untuk dengan dosis 5
mg/kgBB. Level 5-10 mg/L dapat di deteksi setelah pemberian 24 jam dengan dosis 5
mg/kg BB. Pemberian liposomal amfoterisin B menghasilkan konsentrasi obat yang
lebih tinggi di dalam hepar dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional
sedangkan konsentrasi obat pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula
konvensional. Waktu paruh liposomal amfoterisin B berakhir waktu 100-150 jam.
Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B lipid kompleks setelah
pemberian parenteral lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional
sehingga distribusi obat pada jaringan lebih cepat, dimana level maksimum dicapai 1-
2 mg/L setelah pemberian dosis 5 mg/ kgBB selama 1 minggu. Pemberian amfoterisin
B lipid kompleks menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar, limpa dan
paru-paru dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi pada
ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formulasi konvensional. Waktu paruh
amfoterisin B lipid kompleks berakhir 170 jam.

29
Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B kolloidal dispersion sekitar 2
mg/L dengan dosis 1 mg/kgBB, tetapi level obat di dalam darah akan segera menurun
setelah pemberian berakhir dan dijumpai distribusi obat yang cepat ke jaringan.
Pemberian Amfoterisin B kolloidal dispersion akan menghasilkan konsentrasi yang
lebih tinggi pada hepar dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional
sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula
konvensional.
Dosis
Formula konvensional

Kebanyakan pasien dengan infeksi deep mikosis diberikan dosis 1-2 gr


amfoterisin B selama 6-10 minggu (tergantung dari kondisi pasien). Orang dewasa
dengan fungsi ginjal yang normal diberikan dosis 0,6-1,0 mg/kg BB.
Sebelum pemberian obat, terlebih dahulu di test dengan dosis 1 mg
amphotericin B di dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2 jam (anak-
anak dengan berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5 mg) kemudian di
observasi dan di monitor suhu, denyut jantung dan tekanan darah setiap 30 menit oleh
karena pada beberapa pasien dapat timbul reaksi seperti hipotensi yang berat atau
reaksi anaphylaxis.
Dosis obat dapat ditingkatkan lebih dari 1 mg/kg BB tetapi tidak melebihi 50
mg. Setelah 2 minggu pengobatan, konsentrasi di dalam darah akan stabil dan level
obat di jaringan makin bertambah dan memungkinkan obat diberikan pada interval 48
atau 72 jam.
Formula dengan dasar lemak (lipid-base formulations)

Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0 mg/kgBB,


tetapi dosis ini dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg/kg BB atau lebih. Formula ini harus
di infus dalam waktu 2 jam, jika dapat diterima maka waktu pemberian dapat di persingkat
menjadi 1 jam. Obat ini telah diberikan pada individu selama 3 bulan dengan dosis
kumulatif 15 g tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah 3
mg/kg BB/hari.
Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid kompleks
yaitu 5 mg/kg BB dan di infuskan dengan rata-rata 2,5 mg/kg BB/jam. Obat ini telah
diberikan pada individu selama 11 bulan dengan dosis kumulatif 50 g tanpa efek
samping toksik yang signifikan.
30
Dosis awal amfoterisin B kolloidal dispersion yaitu 1,0 mg/kg BB dan jika
dibutuhkan dosis dapat ditingkatkan menjadi 3,0-4,0 mg/kg BB. Formula ini di
infuskan dengan rata-rata 1 mg/kg BB/jam. Obat ini telah diberikan pada individu
dengan dosis kumulatif 3 gr tanpa efek samping toksik yang signifikan.
Efek samping
Formula konvensional
Pemberian formula konvensional dengan cara intravenous dapat segera
menimbulkan efek samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi kaku,
biasanya timbul setelah 1-3 jam pemberian obat. Mual dan muntah dapat juga
dijumpai tetapi jarang sedangkan dan lokal phlebitis sering juga dijumpai. Efek
samping toksik yang paling serius adalah kerusakan tubulus ginjal. Kebanyakan
pasien yang mendapat formula konvensional sering menderita kerusakan fungsi ginjal
terutama pada pasien yang mendapat dosis lebih dari 0,5 mg/kg BB/hari. Formula
konvensional dapat juga menyebabkan hilangnya potassium dan magnesium. Pasien
yang mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu, dapat timbul normokromik dan
normositik anemia yang sedang.
Formula dengan dasar lemak (lipid-based formulations)
Prevalensi timbulnya efek samping yang cepat setelah pemberian
amphotericin B lipid kompleks dan amfoterisin B kolloidal dispersion lebih sedikit
dibandingkan dengan formula konvensional. Efek samping yang dapat dijumpai yaitu
demam, menggigil dan hipoksia yang dilaporkan sekitar 25% penderita yang
menggunakan obat tersebut tetapi biasanya tidak menetap. Formula dengan dasar
lemak kurang menimbulkan efek samping pada ginjal dibandingkan formula
konvensional dan dari hasil penelitian (konsentrasi serum kreatinin) menunjukkan :
kerusakan ginjal akibat amfoterisin B lipid kompleks sebanyak 25%, amfoterisin B
kolloidal dispersion sebanyak 15 %, liposomal amfoterisin B sebanyak 20%
sedangkan formula konvensional sebanyak 30-50%. Efek samping yang lain dari
formula dengan dasar lemak yaitu peningkatan liver trasaminase, alkalin phosphatase
dan konsentrasi serum bilirubin. Pasien yang mendapat pengobatan liposomal
amfoterisin B di jumpai test fungsi hati yang tidak normal sekitar 25-50% tetapi
biasanya tidak menetap.
Interaksi obat
Amfoterisin B dapat menambah efek nefrotoksik obat lain seperti antibiotik
aminoglikosida, siklosporin, antineoplastik tertentu sehingga kombinasi obat diatas
31
harus hati-hati. Kombinasi obat amfoterisin B dengan kortikosteroid atau digitalis
glikosid dapat menimbulkan hipokalemi.

8. CASPOFUNGIN
Caspofungin merupakan derivat semi sintetik dari pneumo-candin B0, yang
merupakan hasil fermentasi lipopeptid jamur Glarea lozoyensis.
Mekanisme Kerja
Caspofungin menghambat sintesis -(1,3)-D-glucan yang merupakan
komponen dinding sel jamur.

Aktifitas spektrum
Caspofungin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas. Caspofungin efektif
terhadap Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus dan Aspergillus terreus tetapi tidak
efektif terhadap dermatofit. Caspofungin mempunyai aktifitas yang berubah-ubah
terhadap Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum dan dematiaceous molds.
Caspofungin juga efektif terhadap sebagian besar Candida species dengan efek
fungisidal yang tinggi, tetapi terhadap Candida parapsilosis dan Candida krusei
kurang efektif dan resisten terhadap Cryptococcus neoformans.

Farmakokinetik
Pemberian caspofungin secara parenteral setelah 1 jam dengan dosis 70 mg
akan dicapai konsentrasi serum sebanyak 10 mg/L. Kurang dari 10% dosis obat, akan
menetap di dalam darah setelah pemberian 36-48 jam dan lebih dari 96% akan
berikatan dengan protein. Sebagian besar obat akan di distribusikan ke dalam jaringan
( 92% dari dosis) dengan konsentrasi yang tertinggi di jumpai pada hepar. Sekitar
1% dari dosis akan di ekskresi tanpa ada perubahan melalui urin. Caspofungin di
metabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan dibuang melalui empedu
(35%) dan urin (40%). Waktu paruh di awali sekitar 9-11 jam dan berakhir pada 40-
50 Jam

Dosis
Pada pasien aspergillosis dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama dan
50 mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus di infuskan dalam periode 1
jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang, di rekomendasikan dosis caspofungin
diturunkan menjadi 35 mg dan selanjutnya 70 mg loading dose.

32
Efek samping

Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam pada kulit,
mual dan muntah.

Interaksi obat
Pemberian caspofungin bersama cyclosporin dapat meningkatkan trasaminase
2-3 kali lipat dari batas normal dan akan menurun apabila ke dua obat tersebut
dihentikan.

9. FLUSITOSIN
Flusitosin (5-fluorositosin) merupakan sintetis dari fluorinated pirimidin yang
dapat diberikan secara oral maupun parenteral.

Mekanisme kerja
Flusitosin masuk ke dalam sel jamur disebabkan kerja sitosin permease,
kemudian dirubah oleh sitosin deaminase menjadi 5-flourouracil yang bergabung ke
dalam RNA jamur sehingga mengakibatkan sintesis protein terganggu. Flusitosin
dapat juga menghambat thymidylate sinthetase yang menyebabkan inhibisi sintesis
DNA.

Aktifitas spektrum
Flusitosin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas, efektif terhadap
Candida spesies, Cryptococcus neoformans, Cladophialophora carrionii, Fonsecaea
spesies dan Phialophora verrucosa.

Farmakokinetik
Pemberian flusitosin secara oral absorbsinya cepat dan hampir sempurna. Pada
orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin dosis 25 mg/kg

BB dengan interval 6 jam, akan dicapai konsentrasi puncak plasma 30-40 mg/L dan
untuk pengulangan dosis berikutnya setiap 6 jam, akan dicapai konsentrasi puncak
plasma 70-80 mg/L.
Flusitosin terdistribusi secara luas terutama pada jaringan dan cairan melebihi
50% konsentrasi darah. Flusitosin berikatan dengan protein rendah (sekitar 12%)
sehingga menyebabkan tingginya sirkulasi obat yang tidak berikatan. Lebih dari 90%
flusitosin di ekskresi melalui urin tanpa mengalami perubahan.

33
Dosis

Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin
diawali dengan dosis 50-150 mg/kg BB yang diberi dalam 4 dosis terbagi dengan
interval 6 jam namun jika terdapat gangguan ginjal pemberian flusitosin di awali
dengan dosis 25 mg/kg BB.

Efek samping
Efek samping yang sering di jumpai yaitu mual, muntah dan diare.
Trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi darah meninggi,
menetap (>100 mg/L) dan dapat kembali normal jika obat di hentikan. Peninggian
level transaminase dapat juga dijumpai pada beberapa pasien tetapi dapat kembali
normal setelah obat dihentikan.

Interaksi obat
Efek anti jamur flusitosin dapat dihambat secara kompetitif oleh sitarabin
(sitosin arabinosid) sehingga pemberian flusitosin bersama sitarabin merupakan
kontra indikasi, oleh karena efek myelosupresif dan hepatotoksik flusitosin dapat
bertambah jika diberikan bersama dengan immunosupresif atau sitostatik. Pemberian
zidovudin bersama flusitosin harus hati-hati oleh karena dapat menimbulkan efek
myelosupresif. Kombinasi amphoterisin B dan flusitosin mempunyai efek aditif atau
sinergis terhadap Candida spesies dan Cryptococcus neoformans namun efek
nefrotoksik amphotericin B dapat berkurang ketika flusitosin di ekskresi.

4. Jelaskan tentang obat antibakteri yang sering digunakan untuk kulit

I. Klasifikasi Antibiotik Sistemik


Antibiotik yang terkini bersifat sintetik atau semi-sintetik. Berdasarkan sifat toksisitas
selektif, antibiotik dibagi menjadi dua jenis yaitu yang bersifat menghambat pertumbuhan
mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh mikroba,
dikenal sebagai aktivitas bakterisidal. Walaupun perbedaannya tidak begitu jelas, misalnya
eritromisin dapat bersifat bakteriostatik atau bakterisidal tergantung dari organisme yang
menginfeksi dan konsentrasi obat.

34
Tabel 1. Klasifikasi antibiotik berdasarkan sifat toksisitas selektif.

Bakteriostatik Bakterisidal

Kloramfenikol Aminoglikosida

Klindamisin Basitrasin

Eritromisin Karbapenem

Sulfonamida Monobaktam

Tetrasiklin Penisilin

Trimetoprim Polymyxin B

Kuinolon

Vankomisin

Pada penggunaan klinik, antibiotik dibagi ke dalam kelompok spektrum sempit dan spektrum
luas yang berespon terhadap mikroorganisme Gram-negatif dan Gram-positif. Berdasarkan
mekanisme kerjanya, antibiotik dibagi dalam lima kelompok, yaitu:
1. mengganggu metabolisme sel mikroba (Para-aminobenzoic acid (PABA) antagonis,
2. menghambat sintesis dinding sel mikroba,
3. mengganggu permeabilitas membrane sel mikroba,
4. menghambat sintesis protein sel mikroba, dan
5. menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba.
Tabel 2. Klasifikasi antibiotik sistemik berdasarkan mekanisme kerja.

Tempat Mekanisme Kerja Nama antibiotic

Dinding sel Penisilin

Sefalosporin

Karbapenem

Monobaktam

Vankomisin

-lactamase inhibitor

35
Tempat Mekanisme Kerja Nama antibiotic

Menghambat sintesis asam nukleat Sulfonamida

Trimetoprim

DNA gyrase Kuinolon

Memecah rantai DNA Metronidazol

Subunit Ribosom Aminoglikosida30S

Tetrasiklin30S

Kloramfenikol50S

Klindamisin50S

Makrolid50S

II. Karakteristik Antibiotik Sistemik


1. Penisilin
a. Mekanisme Kerja
Merupakan golongan -laktam, bekerja dengan berikatan secara ireversibel pada target
protein pengikat penisilin (Penicillin-Binding Protein, PCP), seperti karboksipeptidase,
endopeptidase, dan transpeptidase. PCP merupakan suatu enzim yang dibutuhkan untuk
biosintesis dan remodelling peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Penisilin berikatan
dengan PCP oleh kemiripan molekulnya dengan dipeptida D-Ala-D-Ala pada peptidotglikan,
dan membentuk asil-enzim yang memblokir transfer asil selanjutnya.
b. Farmakokinetik
Absorpsi penisilin bervariasi tergantung stabilitas tiap senyawa asam dan jumlah yang terikat
pada makanan. Kebanyakan penisilin harus di konsumsi minimal 1 jam sebelum atau 1 jam
setelah makan. Absorpsi amoksisilin tidak dipengaruhi oleh makanan. Obat ini berdifusi
dengan baik di jaringan dan cairan tubuh, tapi penetrasi ke dalam cairan otak kurang baik
kecuali jika selaput otak mengalami infeksi. Obat ini diekskresi ke urin dalam kadar
terapeutik.
c. Indikasi
1) Sifilis.

36
2) Infeksi kulit dan jaringan lunak oleh Streptococcus sp. (erysipelas, demam
scarlet, impetigo, dll).
3) Antraks (bila sensitif).
4) Aktinomikosis.
5) Gigitan serangga yang terinfeksi.

d. Sediaan dan Dosis


Tabel 3. Sediaan dan dosis antibiotik penisilin
Nama Generik Rute Dosis
Penisilin G IM, IV Dewasa: 2-24 juta unit per hari terbagi 4
dosis(1)
(18-24 juta unit per har untuk
neurosifilis)
Neonatus: 50mg/kg dosis terbagi 2
Bayi: 75mg/kg dosis terbagi 3
Anak 1-12 tahun: 100mg/kg dosis
terbagi 4(9)
Benzatin penisilin G IM Dewasa:(1)
2,4 juta unit x1 (sifilis awal)
2,4 juta unit tiap minggu x3 (sifilis > 1
tahun)
Dicloxacillin Oral Dewasa:(1)
500 mg tiap 6 jam
Anak:(6)
12,5-50 mg/kg/hari terbagi 4 dosis
Nafsilin IM, IV Dewasa:(1)
IM: 500 mg tiap 4-6 jam
IV: 0,5-2 gr tiap 4-6 jam
Oksasilin Oral Dewasa:(1)
1-2 gr tiap 4-6 jam
Amoksisilin Oral Dewasa:(1)
500 mg tiap 8 jam
Anak:(6)

37
20-40 mg/kg/hari terbagi 3 dosis
Amoksisilin/klavulanat Oral Dewasa:(1)
250 mg tiap 12 jam
Anak:(6)
20-40 mg/kg/hari terbagi 2-3 dosis

e. Peringatan
1) Hipersensitivitas terhadap penisilin
2) Peningkatan kadar penisilin dengan probenesid dan disulfiram
3) Peningkatan efek oleh metotreksat dan warfarin
f. Efek Samping
1) Reaksi hipersensitivitas: sering terjadi eksantem dan urtikaria. Pada kasus
jarang dapat terjadi dermatitis eksfoliatif, Sindroma Steven Johnson (SSJ),
vaskulitis, angioedema, reaksi anafilaksis, reaksi anafilaktoid.
2) Diare, pada kasus jarang dapat terjadi kolitis pseudomembranosa.
3) Hepatitis, nefritis intersisiel, neurotoksisitas (pada dosis tinggi), infiltrat
eosinofil pulmonal, serta reaksi hematologis dimediasi imun jarang terjadi.

2. Sefalosporin
a. Mekanisme Kerja
Merupakan golongan -laktam dengan mekanisme kerja yang sama dengan penisilin.(1, 5)

Baik sefalosporin maupun penislin memiliki struktur dasar yang unik yang disebut cincin -
laktam, yang menjadi dasar mekanisme kerja kedua antibiotik.(3) Cincin -laktam pada
keduanya berikatan pada tiazolidin dan membentuk asam nukleat 6-amino-penisilanat (rantai
samping R1). Sefalosporin berbeda dari penisilin secara struktur dimana cincin -laktam juga
terikat pada cincin dihidrotiazin (rantai samping R2).
Sefalosporin terbagi atas 4 generasi, berdasarkan aktivitas spektrum dan perkembangan
evolusinya. Generasi pertama antara lain sefaleksin, sefadroksil, sefazoiln dan sefalotin
parenteral, dimana semuanya memiliki aktivitas yang baik melawan S. Aureus dan
Streptococcus sp yang sensitif-metisilin, serta aktivitas yang sangat terbatas melawan bakteri
gram negatif. Generasi kedua antara lain sefprozil, sefaklor, sefuroksim asetil, dan agen
parenteral sefotetan, sefoksitin, sefuroksim, dapat digunakan lebih luas pada bakteri gram
negatif dibanding generasi pertama, secara spesifik melawan Haemophilus influenzae dan
Moraxella catarrhalis. Generasi ketiga termasuk sefdinir, sefditoren, serta agen prenteral
38
sefotksim, seftriakson, seftazidime, sefoperazon, sangat aktif melawan bakteri gram negatif
dengan spektrum yang luas. Sefalosporin generasi ketiga sangat efektif untuk infeksi
nosokomial bakteri gram negatif. Satu-satunya generasi keempat yang tersedia di Amerika
adalah sefepim, obat parenteral dengan aktivitas yang baik terhadap baik gram positif
maupun gram negatif spektrum luas, termasuk P. Aeruginosa.
b. Farmakokinetik
Dari sifat farmakokinetik, sefalosporin dibedakan menjadi 2 berdasarkan rute pemberian.
Sefaleksin, sefadroksil, sefaklor, sefprozil, asetil sefuroksim, sefdinir, dan sefditoren dapat
diberikan per oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya diberikan
parenteral. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya moksalaktam, sefotaksim,
seftizoksim dan seftriakson mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal. Sefalosporin
juga melewati sawar plasenta, mencapai kadar tinggi dalam cairan sinovial dan cairan
perikardium. Pada pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata
relatif tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi, terutama
sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali
sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu. Sefalosporin generasi pertama,
kedua, dan ketiga dapat diberikan pada ibu menyusui, dan ekskresi pada ASI berbeda-beda
tiap obat.
c. Indikasi
1) Infeksi kulit dan jaringan lunak oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pyogenes tanpa komplikasi dapat diberikan sefalosporin generasi pertama dan
kedua, juga sefdinir dan sefditoren.
2) Gonore
3) Penyakit lyme dapat diberikan seftriakson pada tahap lanjut, dan sefuroksim
pada onset awalnya.
d. Sediaan dan Dosis
Tabel 4. Sediaan dan dosis antibiotik sefalosporin.
Nama generik Dosis anak Dosis dewasa
Sefaleksin 25-100 mg/kg/hari 250-500 mg 4x1
terbagi 2 atau 4 dosis
Sefadroksil 30 mg/kg/hari terbagi 2 1-2 gr per hari
dosis
Sefaklor 40 mg/kg/hari terbagi 2 250-500 mg 3x1
atau 3 dosis
39
Lorakarbef 15-30 mg/kg/hari terbagi 200-400 mg 2x1
2 dosis
Sefprozil 30 mg/kg/hri terbagi 2 250-500 mg per
dosis hari
Seforuksim 20-30 mg/kg/hari terbagi 250-500 mg 2x1
aksetil 2 dosis
Sefpodoksim 10 mg/kg/hari terbagi 2 100-400 mg 2x1
proksetil dosis
Seftibuten 9 mg/kg/hari 400 mg per hari
Sefiksim 8 mg/kg/hari terbagi 1 200 mg 2x1 atau
atau 2 dosis 400 mg 1x1
Seftriakson 50 mg/kg IM (maks. 1 1-4 gr per hari IM;
gr) 250 mg IM (maks.
1 gr) untuk gonore
non komplikata
Sefdinir 14 mg/kg/hari terbagi 1 300 mg 2x1 atau
atau 2 dosis 600 mg 1x1

e. Peringatan
1) Hipersensitivitas terhadap sefalosporin maupun penisilin.
2) Absorpsi sefdinir berkurang dengan antasida dan preparat besi.
3) Kadar siklosporin meningkat dengan seftriakson dan seftazidim.
4) Perubahan efek warfarin dengan sefotetan, sefamandole, sefoperazon,
sefiksim, dan sefaklor.
5) Ekskresi renal terganggu oleh hampir semua sefalosporin bersama
probenesid.
f. Efek Samping
1) Reaksi hipersensitivitas: sering terjadi eksantem dan urtikaria. Pada kasus
jarang dapat terjadi dermatitis eksfoliatif, SSJ, vaskulitis, angioedema,
reaksi anafilaksis, reaksi anafilaktoid.
2) Diare, pada kasus jarang dapat terjadi pseudokolelitiasis. Nekrosis tubular
ginjal, reaski disulfiram-like (spesifik), tromboplebitis (lokasi IV), serum
sickness like reaction (sefaklor, sefprozil).

40
3. Tetrasiklin
Antibiotik golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan ialah klortetrasiklin yang dihasilkan
oleh Streptomyces aureofacien. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari
klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari spesies Streptomyces lain.
Mekanisme Kerja
Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit
terjadi dua proses dalam masuknya antibiotik kedalam ribosom bakteri Gram-negatif pertama
secara difusi pasif. Tetrasiklin diyakini dapat menjadi bakteriostatik, tetapi kemudian
ditemukan bahwa dapat menjadi bakteriostatik dan bakterisidal. Antibiotik ini memiliki dua
mode mekanisme antibiotik. Tetrasiklin memperlihatkan spektrum antibakteri luas yang
meliputi kuman Gram-positif dan negatif, aerobik dan anaerobik, selain itu juga aktif
terhadap spiroket, mikoplasma, riketsia, klamidia, legionela dan protozoa tertentu.
Doxycycline dan minocycline adalah tetrasiklin sistemik generasi kedua yang paling umum
digunakan dalam dermatologi.
b. Farmakokinetik
Tetrasiklin diserap tidak sempurna di lambung dan usus kecil, yang terutama dikonsumsi saat
perut kosong. Doxycycline dan minocycline tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya
makanan dan mempunyai waktu paruh lebih lama dari tetrasiklin, dan membutuhkan dosis
yang sedikit. Tetrasiklin tidak bisa dikonsumsi bersama dengan makanan, terutama yang
mengandung susu. Besi, kalsium dan magnesium dapat mengurangi 50% penyerapan.
Tetrasiklin diekskresikan terutama di ginjal, dan pasien dengan gagal ginjal memerlukan
dosis penyesuaian. Doxycycline diekskresikan dalam tinja dan tidak ada penyesuaian untuk
gagal ginjal atau hati yang diperlukan. Minocycline sebagian besar dimetabolisme sebelum
diekskresi, tapi tidak terakumulasi pada pasien dengan gagal hati. Tetrasiklin melewati
plasenta dan terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam ASI. Antibiotik ini dapat menumpuk
dan mempengaruhi pertumbuhan tulang dan gigi sehingga penggunaan selama kehamilan dan
saat menyusui harus dihindari.
Indikasi
a) Aktinomikosis
b) Gigitan serangga (Pasteurella multocida)
c) Infeksi Anthrax (Bacillus anthracis)
d) Infeksi Chlamydia sp.
e) Ehrlichiosis
f) Penyakit Lyme
41
g) Infeksi MRSA
h) Penyakit riketsia
i) Sifilis (penisilin-alergi granuloma inguinale pasien)
c. Sediaan dan Dosis
Untuk pemberian oral, tetrasiklin tersedia dalam bentuk kapsul dan tablet. Untuk pemberian
parenteral tersedia bentuk larutan obat suntik (oksitetrasiklin) atau bentuk bubuk yang harus
dilarutkan lebih dulu (tetrasiklin HCL, tigesiklin, doksisiklin, minosiklin).

Tabel 5. Sediaan dan dosis antibiotik tetrasiklin.


Derivat Sediaan Dosis

Tetrasiklin Kapsul/tablet 250mg dan 500mg Oral,4 kali 250-500mg

Bubuk obat suntik IM 100mg Parenteral, 300IM mg sehari


dan 200mg/vial yang dibagi dalam 2-3 dosis,
dosis atau 250-500mg IV
Bubuk obat suntik IV 250 dan
diulang 2-4kali sehari.
500mg/vial
Parenteral,untuk pemberian IM
15-25 mg/kgBB/hari sebagai
dosis tunggal atau dibagi dalam
2-3 dosis dan IV 20-
30mg/kgBB/hari dibagi dalam
2-3 dosis.

Doksisiklin Kapsul atau tablet 100mg, tablet Oral, dosis awal 200mg,
50mg selanjutnya 100-200 mg/hari

Sirup 10mg/ml

Minosiklin Kapsul 100mg Oral, dosis awal 200mg,


dilanjutkan 2 kali sehari
100mg/hari

d. Peringatan
a) Pasien dengan gagal ginjal (ekskresi terganggu dan anti anabolik)
b) Fotosensitifitas (doxycycline)
42
c) Menyusui, kehamilan, dan pada anak (< 9 tahun)
d) Gangguan penyerapan oleh kalsium, magnesium, aluminium (kation lainnya),
besi, natrium bikarbonat, dan simetidin
e) Peningkatan metabolisme doxycycline dengan penggunaan fenitoin,
karbamazepin, barbiturat, dan alkohol
f) Kebutuhan insulin berkurang pada pasien diabetes
g) Peningkatan kadar serum digoxin, lithium, dan warfarin
h) Anestesi metoksifluran (gagal ginjal)
e. Efek Samping
Reaksi kulit yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin ialah erupsi
mobiliformis, urtikaria, dan dermatitis eksfoliatif. Reaksi yang lebih hebat ialah edema
angioneutrotik dan reaksi anafilaksis. Pada pemberian minosiklin dapat terjadi
hiperpigmentasi dari kulit dan kuku, iritasi pada lambung serta pada anak- anak dapat terjadi
hiperpigmentasi dari gigi. Terapi dalam waktu lama dapat menimbulkan kelainan darah tepi
seperti leukositosis, limfosit atipi, granulasi toksik pada granulosit dan trombositopenia.
4. Florokuinolon
a. Mekanisme kerja
Florokuinolon adalah derivat kuinolon generasi pertama (nalidixic acid). Golongan kuinolon
menghambat enzim DNA girase pada mikroba yang fungsinya menata kromosom yang
sangat panjang menjadi bentuk spiral hingga bisa muat dalam sel mikroba yang kecil.
Antibiotik ini menghambat kerja enzim topoimerase II (DNA girase) dan IV dimana enzim
ini berfungsi pada replikasi DNA, transkripsi, dan perbaikan DNA.Kuinolon aktif pada
bakteri yang dihambat adalah bakteri aerob gram-negatif, staphylococci, dan streptococci
tetapi tidak cukup aktif pada bakteri anaerob.
Antibiotik ini aktif melawan jenis organisme gram-negatif seperti, Salmonella, Shigella,
Enterobacter, Campylobacter, dan Neisseria. Ciprofloxacin cukup aktif melawan untuk
Pseudomonas aeruginosa. Gemifloksasin dan mofifloksasin terbukti bisa aktif pada
mikroorganisme gram-positif, walaupun secara umum florokuinolon memiliki aktivitas
terbatas untuk organisme gram-positif. Florokuinolon termasuk antibiotik yang poten
berspektrum luas dan sering digunakan pada penyakit infeksi. Florokuinolon menghambat
supercoiling dalam sel bakteri yang akan merusak replikasi DNA (dosis rendah) dan
mematikanj sel (dosis letal). Sel target utama pada bakteri gram-negatif adalah DNA gyrase,
sedangkan sel target utama pada mikroorganisme gram-positif adalah topoimerase IV.

43
Farmakokinetik
Florokuinolon diabsorpsi dengan cepat setelah ingesti oral dengan distribusi volume yang
besar. Kuinolon terdistribusi dengan luas di seluruh tubuh. Penetrasi ke jaringan lebih besar
dari konsentrasi yang dicapai di plasma, feses, cairan empedu, jaringan prostat, dan jaringan
paru-paru. Makanan tidak menghambat absorpsinya dan dapat diberikan dua kali sehari.
Florokuinolon diekskresi oleh ginjal. Mofifloksasin dieliminasi di hati dengan cara
dikonjugasikan dengan glukoronid dan sulfat. Florokuinolon tidak dapat dihilangkan dengan
dialisis. Kebanyakan diekskresi bersama ASI tetapi jarang menimbulkan efek samping pada
bayi. Ciprofloksasin bisa menimbulkan fototoksik, kolitis psudomembran, dan erupsi gigi.
Ketika digunakan dalam kombinasi dengan agen dari kelas antibiotik lain, seperti beta-laktam
dan aminoglikosida, kuinolon diduga tidak sinergis. Ciprofloxacin dan rifampisin bersifat
antagonis terhadap Staphylococcus aureus. Waktu paruh kuinolon bervariasi mulai dari 1,5
jam sampai 16 jam, kebanyakan diberikan setiap 12 jam sampai 24 jam.
b. Indikasi
1) Terapi lini pertama
Antrhax, Skin and sof-tissue infection (SSTIs) akibat mikroorganisme patogen gram-negatif,
infeksi Pseudomonas aeroginosa (otitis eksterna, ektima gangrenosum, SSTI).
2) Terapi lini kedua
Infeksi Bartonella sp, canchroid, chlamydia, , gonorrhea, granuloma inguinale, infeksi
Rickettsia sp.
c. Sediaan dan Dosis

Tabel 6. Sediaan dan dosis antibiotic florokuinolon


Nama generik Rute Dosis pada orang dewasa
Gonore: 500 mg x 1
Gonococcemia: 500 mg tiap 12 jam x 7 hari
PO,
Ciprofloksasin Canchroid: 500 mg tiap 12 jam x 3 hari
IV
Anthrax kutaneus: 10-15 mg/kgBBq 12 jam x
60 hari
PO, Tanpa komplikasi: 500 mg tiap 24 jam
Levofloksasin
IV Dengan komplikasi: 750 mg tiap 24 jam

44
d. Peringatan
Florokuinolon dapat menurunkan bioavaibilitas dengan antasid (aluminium, magnesium,
alum), besi, zinc, dan sucralfat. Siprofloksasin dapat menghambat metabolisme
theophylline/aminophylline. Secara umum kuinolon bisa menyebabkan arthropati pada studi
hewan imatur. Ruptur tendon dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit ginjal,
hemodialisis, atau penggunaan steroid. Florokuinolon bisa menurunkan ambang kejang dan
menurunkan metabolisme silosporin dan warfarin.
e. Efek Samping
Efek samping yang biasa didapatkan pada pasien adalah adanya mual, muntah, sakit kepala,
dan menggigil. Sedangkan efek samping yang jarang didapatkan adalah exanthem,
fotosensitivitas delirium, kejang, rupture pada tendon, artropati, pemanjangan interval QT,
dan hepatitis. Komplikasi yang bermanifestasi pada kulit seperti rash, pruritus, dan reaksi
fotosensitivitas.

5. Trimetoprim/Sulfametoksazol
a. Mekanisme Kerja
Trimetoprim / sulfametoksazol (kotrimoksazol) adalah kombinasi dari trimetoprim (TMP)
dan sulfametoksazol (SMX) dengan perbandingan 1:5. Kedua senyawa ini menghambat
sintesis asam nukleat dengan menghambat dua enzim dalam jalur sintesis asam
tetrahydrofolic bakteri. Bersama-sama, senyawa ini bersifat sinergis yang relatif spesifik
untuk sel-sel bakteri. SMX menghambat produksi dihidrofolat dari komponen prekursor p-
aminobenzoat, pteridin, dan glutamat. TMP bekerja pada metabolisme folat secara kompetitif
dengan menghambat dihidrofolat reduktase, yaitu enzim yang memproduksi tetrahidrofolat
aktif. TMP/SMX adalah antibiotik spektrum luas dengan aktivitas yang baik terhadap banyak
aerobik gram-positif seperti Staphylococcus aureus, S. pyogenes, S. viridans. Obat ini tidak
memiliki aktivitas terhadap mikroorganisme anaerob. TMP dan SMX bila digunakan tunggal
akan bersifat bakteriostatik, sedangkan jika dikombinasikan atau bentuk kotrimoksazol akan
bersifat bakterisidal. Bakteri memerlukan PABA (p-aminobenzeic acid)) untuk membentuk
asam folat yang digunakan untuk sintesis purin dan asam nukleat. Sulfametoksazol
merupakan penghambat bersaing PABA.
b. Farmakokinetik
Trimetoprim dan sulfametoksazol baik diabsorpsi secara oral dengan distribusi ke seluruh
jaringan pada tubuh. Distribusinya juga melalui cairan serebrospinal dan sputum. Absorpsi
melalui saluran cerna terjadi dengan mudah dan cepat. Sekitar 70-100% dosis oral diabsorpsi
45
melalui saluran cerna dan dapat ditemukan dalam urin 30 menit setelah pemberian. Absorpsi
melalui vagina, saluran napas, kulit yang terluka pada umumnya kurang baik, tetapi cukup
menyebabkan reaksi toksik atau hipersensitivitas. Semua terikat pada protein plasma
terutama albumin. Dalam cairan tubuh kadar obat bentuk bebas mencapai 50-80% kadar
dalam darah. Dalam tubuh, terjadi proses asetilasi dan oksidasi. Hasil oksidasi ini yang akan
menyebabkan reaksi toksik sistemik berupa lesi pada kulit dan hipersensitivitas, sedangkan
hasil asetilasi menyebabkan hilangnya aktivitas obat. Hampir semua diekskresi melaui ginjal
dan sebagian kecil diekskresi melalui feses, empedu dan ASI.
Farmakokinetik TMP-SMX tidak berubah secara signifikan dan waktu paruhnya tidak
memanjang jika terjadi gangguan hati. Saat ini belum ada studi yang melaporkan dosis
maksimum TMP-SMX untuk gangguan ginjal.
c. Indikasi
Trimetoprim dan sulfametoksazol digunakan untuk community acquired MRSA, infeksi
Nocardia asteroids, Skin and Soft Tissue Infections (SSTIs) yang tidak berkomplikasi, dan
pada chancroid.
d. Sediaan dan Dosis
Tabel 7. Sediaan dan dosis antibiotik trimetoprim dan sulfametoksazol.
Antibiotik Rute Dosis pada orang dewasa
180 mg/800mg (DS) pemberian
Trimetoprim- PO
setiap 12 jam
sulfametoksazol
5 mg/kgBB pemberian setiap 6-8
(Kotrimoksazol) IV
jam

e. Peringatan
Penggunaan TMP-SMX pada pasien dengan HIV/AIDS dapat terjadi reaksi berat, pasien
dengan terapi warfarin akan terjadi pemanjangan protrombin, dan dikontraindikasikan
terhadap pasien yang mendapat metroteksat.
f. Efek Samping
Efek samping yang biasa didapatkan pada penggunaan antibiotik TMP-SMX adalah adanya
eksantem, fotosensitivitas, mual, muntah, anoreksia, glossitis, stomatitis (sering pada pasien
HIV/AIDS). Sedangkan efek samping yang jarang didapatkan adalah delirium, sindroma
steven johnson, nekrolisis epidermal toksik, vaskulitis, urtikaria, erupsi pustular, Sweet
Syndrome, hepatitis kolestatik, nekrosis hepatik, reaksi hipersensitivitas berat, sefalgia,

46
halusinasi, tremor, nefrolitiasis, dan nefritis intertisiel. Sekitar 8% antibiotik ini juga dapat
menyebabkan reaksi kulit tipikal pada pasien.
6. Klindamisin
Klindamisin adalah antibiotik linkosamid yang diperoleh melalui modifikasi kimia dari
linkomisin. Yang dimana penyerapan dan aktifitas spektrumnya yang lebih baik dari
pendahulunya, yang sekarang sudah ditinggalkan.
a. Mekanisme Kerja
Klindamisin berikatan dengan bakteri subunit ribosom 50s dan menghambat sintesis protein
melalui blokade inisiasi rantai peptida. Klindamisin memudahkan opsonisasi serta fagositosis
dan mengurangi adhesi bakteri (sel inang) dan produksi eksotoksin stafilokokus. Klindamisin
efektif terhadap sebagian besar kokus Gram-positif, anaerob, dan beberapa protozoa. Dalam
bidang dermatologi, klindamisin efektif terhadap sebagian besar jenis streptococcus
(termasuk S. viridans), methicillin-sensitif S. aureus, serta S.epidermidis. Aktifitas spektrum
anaerob termasuk Peptococci, Peptostreptococci, Propionibacteria, Clostridium perfringens,
serta fusobacteria. Toxoplasma gondii seringkali efektif diobati dengan kombinasi termasuk
klindamisin.
b. Farmakokinetik
Klindamisin diserap hampir sempurna pada pemberian oral. Adanya makanan dalam
lambung tidak banyak mempengaruhi absorpsi obat ini. Klindamisin merupakan obat pilihan
dalam kelompok ini karena penetrasi jaringan yang baik kecuali pada SSP. Klindamisin
memiliki daya serap peroral yang baik dan tidak ada persyaratan dosis yang diperlukan jika
terdapat penyakit ginjal, klindamisin juga merupakan alternatif pada pasien yang alergi pada
penisilin. Klindamisin terutama dimetabolisme oleh hati serta diekskresikan di empedu,
meskipun 10% diekskresikan di urin. Dosis harus disesuaikan untuk pasien dengan gagal hati
atau kombinasi gagal hati dengan gagal ginjal.
c. Indikasi
a) Infeksi dalam jaringan: necrotizing fasciitis
b) Profilaksis bedah pada pasien alergi penisilin
c) Profilaksis untuk infeksi stafilokokus berulang
d) Ulkus kaki diabetik (kombinasi dengan infeksi Gram-negatif)
e) Bakterial vaginosis
d. Sediaan dan Dosis

47
Tabel 8. Sediaan dan dosis antibiotik klindamisin
pada orang dewasa.
Rute pemberian Dosis

Klindamisin Oral 150-450 mg per 6 jam


Intravena 600-800 mg per 8 jam

Untuk anak atau bayi berumur lebih dari 1 bulan diberikan 15-25 mg/kgBB sehari. Untuk
infeksi berat dosisnya 25-40 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam beberapa dosis pemberian
e. Peringatan
Penggunaan antibiotik klindamisin harus mendapat perhatian jika pasien dengan gagal hati,
terdapat peningkatan blokade neuromuskular dengan tubocurare dan pancuronium.
Antibiotik ini bersifat antagonis terhadap eritromisin
f. Efek Samping
Diare dilaporkan terjadi pada 2-20% pasien yang mendapat klindamisin. Diperkirakan sekitar
0,01-10% pasien dilaporkan menderita kolitis pseudomembranosa yang ditandai oleh demam,
nyeri abdomen, diare dengan darah dan lendir pada tinja. Bila selama terapi timbul diare atau
kolitis, maka pengobatan harus dihentikan. Obat terpilih untuk keadaan ini adalah
vankomisin yang diberikan 4 kali 125 mg sehari peroral atau IV selama 7-10 hari atau
metronidazole oral 3 x 500 mg/hari.

7. Makrolid
Eritromisin adalah antibiotik prototip makrolid; derivatif termasuk dirithromycin,
klaritromisin, dan azitromisin. Makrolid bervariasi dalam aktivitasnya terhadap patogen
Gram-positif: klaritromisin>eritromisin> azitromisin.(1) Makrolid secara luas digunakan untuk
mengobati infeksi ringan pada jaringan saluran pernapasan. Antibiotik ini aktif terhadap
bakteri Gram-negatif dan Gram-positif, termasuk kuman intraseluler seperti Chlamydia dan
Legionella.
a. Mekanisme Kerja
Golongan makrolid menghambat sintesis protein kuman dengan jalan berikatan secara
reversibel dengan ribosom subunit 50S dan umumnya bersifat bakteriostatik, walaupun
terkadang dapat bersifat bakterisidal untuk kuman yang sangat peka.

48
b. Farmakokinetik
Makrolid terakumulasi secara intraseluler pada leukosit polimorfonuklear dan makrofag,
antara lain beraktivitas untuk melawan bakteri patogen pada intraseluler. Eritromisin diserap
baik oleh usus kecil bagian proksimal, aktivitasnya menurun karena dirusak oleh asam
lambung, eritromisin diberi selaput yang tahan asam atau digunakan dalam bentuk ester
stearat atau etilsuksinat, adanya makanan juga menghambat penyerapan eritromisin.
Dibandingkan dengan eritromisin, klaritromisin dan azitromisin lebih asam stabil dan
memiliki bioavailabilitas oral yang lebih besar.
Konsentrasi makrolid umumnya melewati kadar plasma. Konsentrasi eritromisin dalam ASI
sekitar 50% dari kadar serum. Eritromisin dapat melewati plasenta, kecuali klaritromisin
(kategori kehamilan C), secara umum makrolid adalah Kategori B.
Klaritromisin dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 3A4 (CYP3A4) menjadi bentuk
enzim 14-hidroksi aktif dan enam produk tambahan. Sekitar 30-40% dari dosis oral
klaritromisin diekskresikan dalam urin sebagai 14-hidroksi metabolit yang aktif atau tidak
berubah. Eliminasi Azitromisin terjadi terutama dalam feses sebagai obat yang tidak
mengalami perubahan, dan ekskresi urin minimal. Tidak seperti klaritromisin, azitromisin
tidak berinteraksi dengan sistem sitokrom P450.
c. Indikasi
a) SSTIs tanpa komplikasi (folikulitis, erysipelas, selulitis)
b) Lyme disease
c) Chlamydia
d. Sediaan dan Dosis
Tabel 9. Sediaan dan dosis antibiotik makrolid.
Oral 500mg per 6 jam atau 12 jam
Eritromisin
IV 1gr per 6jam
Klaritromisin Oral 250-500 mg per 12 jam

Makrolid 500 mg hari pertama, lalu 250 mg


Oral setiap hari 2-5 kali untuk
Azitromisin klamidian, 1gr dosis tunggal
IV 500 mg per 24jam

e. Peringatan
1) CYP 3A4 inhibition

49
Meningkatkan toksisitas obat (meningkatkan konsentrasi serum): warfarin, karbamazepin,
buspiron, benzodiazepin, kortikosteroid (methylprednisolon), HMG CoA reductase
inhibitor, kontrasepsi oral, cyclosporine, tacrolimus, disopyramide, felodipin, ergot alkaloid.
2) CYP 1A2 inhibition
Meningkatkan toksisitas obat (meningkatkan konsentrasi serum): theophylline, omeprazol.
3) Lainnya
Digoxin (konsentrasinya meningkat akibat perubahan metabolisme obat oleh gut flora),
Fluconazol (meningkatkan konsentrasi klaritromisin)
f. Efek samping
Pada eritromisin efek samping berat jarang terjadi, reaksi alergi mungkin timbul dalam
bentuk demam, eosinofilia dan eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. Efek
samping klaritromosin adalah iritasi saluran cerna dan peningkatan sementara enzim hati.

V. Korelasi Klinis Penggunaan Antibiotik Sistemik pada Pengobatan Penyakit Kulit

A. Pioderma (impetigo, folikulitis, selulitis, dan erisypelas)


1. Terapi lini pertama
a. Kloksasilin: Dewasa 4 x 250-500 mg per hari per oral. Anak: 50 mg/kg per har
i terbagi dalam 4 dosis selama 5 sampai 7 hari.
b. Pada S.aureus yang resisten terhadap eritromisin dapat diberikan:
1) Amoksisilin dan asam klavulanat: Dewasa 3 x 250 - 500 mg per hari. Anak
: 25 mg/kgBB per ,hari terbagi dalam 3 dosis selama 5 - 7 hari.
2) Sefaleksin 40- 50 mg/kgBB per hari terbagi dalam 4 dosis selama 5-7 hari.
3) Sefaklor: 20 mg/kgBB per hari terbagi dalam 3 dosis.
2. Terapi lini kedua
a. Azitromisin: 1x500 mg per hari (hari pertama), dilanjutkan 1x250 mg (hari ke-
2 sampai hari ke-5).
b. Klindamisin: 15 mg/kgBB per hari terbagi dalam 3 dosis selama 10 hari.
c. Eritromisin: Dewasa 4x250-500 mg per hari. Anak: 20-50 mg/kgBB terbagi da
lam 4 dosis selama 5-7 hari.

B. Antraks
Terapi pilihan untuk antraks adalah kristalin penisilin G parenteral 2 juta unit setiap 6 jam, ya
ng diberikan selama 7-14 hari (sampai edema lokal menghilang atau lesi kulit mengering). A
50
ntibiotik yang direkomendasikan saat ini adalah terapi siprofloksasin dengan dosis 20-30mg/k
gBB dibagi dalam 2 dosis (dosis maksimum untuk dewasa 500mg 2 kali sehari) atau doksisik
lin 100mg 2 kali sehari peroral selama 60 hari.
Untuk anak dan wanita menyusui diberikan amoksisilin dengan dosis 40mg/kgBB (BB kuran
g dari 20kg) dibagi dalam 3 dosis atau 500mg 3x/hari untuk anak BB lebih dari 20kg/dewasa.

C. Acne Vulgaris
Antibiotik oral diberikan pada acne vulgaris derajat sedang sampai berat, diberikan
selama minimal 68 minggu, maksimal 1218 minggu. Antibiotik oral pilihan:
1. Tetrasiklin 500 mg 2x/hari (saat ini penggunaannya jarang digunakan karena
terdapat resistensi terhadap tetrasiklin) (1)
2. Doksisiklin 50-100 mg 2x/hari
3. Minosiklin 50-100 mg 2x/hari
4. Klindamisin 150-300 mg 2-3x/hari

D. Eritrasma
Antibiotik oral diberikan pada eritrasma dengan lesi yang luas, dimana eritromisin terbukti
efektif diberikan 1 gram sehari (4 x 250mg) selama 2-3 minggu dan antibiotik klaritomisisn 1
gram dosis tunggal.
E. Aktinomikosis
Terapi pilihan untuk aktinomikosis adalah penisilin G, 18-24 juta unit secara intravena
selama 2-6 minggu, kemudian diteruskan dengan penisilin atauamoksisilin oral selama 6-12
bulan.
F. Infeksi Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA)
Tabel 10. Dosis Antibiotik pada Penyakit MRSA
Antibiotik Dosis dewasa Dosis anak
30 mg/kg/hari dalam 2 40 mg/kg/hari dalam 4
Vankomisin
dosis terbagi/ IV dosis terbagi/ IV
25-40 mg/kg/hari
Klindamisin 600 mg/8 jam/IV
dalam 3 dosis terbagi
Daptomisin 4 mg/kg/hari/IV Tidak digunakan
Seftarolin 600 mg/12 jam/IV Tidak digunakan
Doksisiklin 100 mg 2x1 PO Tidak

51
direkomendasikan
dibawah 8 tahun
8-12 mg/kg/hari
(berdasarkan
Trimetroprim-
1-2 tablet 2x1 PO trimetoprim) dalam 4
sulfametoksasol
dosis terbagi IV atau 2
dosis terbagi PO

G. Penyakit Lyme
1. Terapi lini pertama (per oral)
a. Doksisiklin 100mg peroral 2 x sehari
b. Amoksisilin 500mg peroral 3 x sehari
c. Cefuroxime 500mg peroral 2 x sehari
2. Terapi alternatif (peroral)
a. Azitromisin 500mg peroral 4 x sehari
b. Eritromisin 500mg peroral 4 x sehari
c. Klaritromisin 500mg peroral 2 x sehari
3. Terapi lini pertama (parenteral)
Ceftriaxone 2gr/intravena 4x/sehari
4. Terapi alternatif (parenteral)
a. Penisilin G (18-24 unit dibagi dalam 6 dosis tiap 4 jam)
b. Cefotaksim 2gr per intravena setiap 8 jam
c. Doksisiklin 200-400mg perhari per intavena dibagi dalam 2 dosis
H. Sifilis
1. Terapi pilihan
a. Stadium dini (stadium I, II, dan laten < 2 tahun): Benzatinpenisilin G 2,4 juta
unit.
b. Stadium lanjut (stadium laten > 2 tahun dan III): Benzatinpenisilin G 7,2 juta
unit (injeksi intramuskular Benzatinpenisilin G 2,4 juta unit/kali dengan interv
al 1 minggu).
2. Terapi alternatif
a. Tetrasiklin 4x500mg/hari
b. Eritromisin 4x500mg/hari
c. Doksisiklin 2x100mg/hari
52
Lama pengobatan 30 hari (stadium dini) atau lebih 30 hari (stadium lanjut).

I. Gonore
1. Terapi pilihan: Sefiksim 400mg per oral.
2. Terapi alternatif
a. Levofloksasin 500mg per oral dosis tunggal
b. Tiamfenikol 3,5gram per oral dosis tunggal
c. Kanamisin 2 gram injeksi IM, dosis tunggal
d. Seftriakson 250mg injeksi intamuskular dosis tunggal (tidak boleh diberikan p
ada ibu hamil, menyusui, atau anak di bawah 12 tahun)

J. Infeksi Chlamydia sp
1. Limfogranuloma venereum(23)
a. Doksisiklin dosis 2x 100mg/hari selama 14-21 hari atau tetrasiklin 2 gr/hari at
au tetrasiklin 2gr/hari atau minosiklin 300mg diikuti 200mg 2x/hari.
b. Sulfonamid: dosis 3-5 gr/hari selama 7 hari.
c. Eritromisin: (pilihan kedua) dosis 4x500mg/ hari selama 21 hari terutama pada
kasus-kasus alergi obat golongan cycline, pada wanita hamil dan menyusui.
d. Kotrimoksasol: 480mg 3x 2 tablet/ hari selama 7 hari.
2. Uretritis Non Gonore(23)
a. Golongan tetrasiklin
1) Tetrasiklin 250-500mg, 4x sehari selama 7-21 hari
2) Doksisiklin 100mg, 2x sehari selama 7-21 hari
3) Minosiklin 100mg, 2x sehari selama 7-21 hari
b. Golongan makrolid
1) Eritromisin 250-500 mg selama 7-21 hari terutama untuk resistensi tetrasik
lin dan untuk wanita hamil
2) Azitromisin 1 gram dosis tunggal
c. Golongan kuinolon
Ofloksasin 200mg 2x sehari selama 7-14 hari

VI. Antibiotik Sistemik untuk Alergi Obat pada Pengobatan Penyakit Kulit
Antibiotik golongan beta laktam penisilin adalah antibiotik yang paling sering digunakan
Antibiotik ini terbukti sebagai antibiotik yang efektif untuk infeksi bakteri. Golongan beta
53
laktam merupakan salah satu terapi pilihan pada pengobatan penyakit kulit. Berdasarkan studi
epidemiologi, dilaporkan bahwa antibiotik sering menyebabkan alergi obat. Dari berbagai
kelas antibiotik, golongan antibiotik beta laktam (penisilin dan sefalosporin) sering
didapatkan kasus alergi obat.
Golongan antibiotik yang termasuk aman adalah vankomisin. Vankomisin merupakan pilihan
terapi untuk pasien dengan alergi obat penisilin maupun sefalosporin. Vankomisin juga aktif
melawan bakteri penyebab MRSA. Vankomisin adalah antibiotik glukopeptida trisiklik yang
diproduksi oleh Stretococcus orientalis yang dapat dibuktikan keamanannya melalui hasil
studi porspektif.
Tabel 11. Dosis antibiotik vankomisin
Nama Generik Rute Dosis
Vankomisin IV Dewasa: 30mg/kgBB dibagi dalam 2-3
dosis per hari
Neonatus (<7 hari): diberikan dosis
dimulai dari15mg/kg kemudian
diteruskan 10mg/kg setiap 12 jam
Bayi (8 hari-30 hari): diberikan dosis
dimulai dari15mg/kg kemudian
diteruskan 10mg/kg setiap 8 jam
Anak: diberikan dosis dimulai
dari15mg/kg kemudian diteruskan
10mg/kg setiap 6 jam

54
Tabel 12. Rekomendasi terapi antibiotik untuk pengobatan penyakit kulit
Organisme Terapi Lini Terapi Alternatif
Pertama

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA TOPIKAL PADA INFEKSI BAKTERI DI KULIT


Berikut ini adalah jenis-jenis antibiotika topikal yang digunakan pada penatalaksaan
untuk berbagai jenis infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri.
A. Terapi Antibiotika Topikal pada Akne Vulgaris dan Rosasea:
Akne Vulgaris adalah kelainan pada kelenjar sebasea dan salurannya yang bersifat
self-limited dan biasanya muncul pada pasien usia awal dewasa.
Antibiotika topikal yang dapat mengurangi jumlah mikroba dalam folikel yang
berperan yang berperan dalam folikel yang berperan dalam etiopatogenesis Akne
Vulgaris, misalnya Oksitetrasiklin 1%, Eritromisin 1% dan Klindamisin Sulfat 1%.5

55
Efektivitas antibiotika topikal pada penatalaksanaan Akne Vulgaris dan Rosasea
tergantung oleh efek langsung dari antibiotika topikal itu sendiri, akan tetapi banyak juga
antibiotika topikal yang bekerja dengan cara menekan neutrophil chemotactic faktor
sehingga meningkatkan anti-inflamasi atau dengan cara lainnya. Penggunaan antibiotika
topikal untuk Akne Vulgaris pun semakin meningkat karena berkurangnya angka
resistensi terhadap antibiotika topikal dibandingkan dengan antibiotika sistemik.
Sementara itu, kombinasi antara antimikroba Benzoyl Peroxide dengan antibiotika
menurunkan angka resistensi bakteri terhadap antibiotika.
1. Eritromisin
Eritromisin merupakan antibiotika yang termasuk ke dalam golongan Makrolid
dan efektif untuk Gram positif berbentuk kokus dan juga Gram negatif yang
berbentuk basil. Eritromisin ini sering digunakan untuk penatalaksanaan pada Akne
Vulgaris.
Cara kerja Eritromisin adalah berikatan dengan ribosom 50S yang ada pada
bakteri, lalu memblokade translokasi molekul tRNA (peptydil-transferase RNA) dari
reseptor menuju donor, mengganggu pembentukan rantai polipeptida, dan juga
menghambat sintesis protein bakteri tersebut. Selain itu juga, Eritromisin dapat
berfungsi sebagai anti-inflamasi.
Sediaan Eritromisin adalah 1.5%-2% dalam bentuk solusio, jel, dan salep sebagai
terapi topikal tunggal. Eritromisin juga tersedia dalam bentuk kombinasi dengan
Benzoyl Peroksida.
2. Klindamisin
Klindamisin adalah antibiotika Linkosamid yang bersifat semisintetik dan
merupakan derivate dari Linkomisin. Mekanisme kerja Klindamisin serupa dengan
Eritromisin, yaitu mengikat ribosom 50S bakteri lalu menghambat sintesa protein
bakteri tersebut.
Sediaan Klindamisin adalah 1% dalam bentuk jel, solusio, suspense atau lotion,
dan bentuk sabun pencuci muka yang biasa digunakan untuk terapi Akne Vulgaris.
Selain itu juga tersedia dalam bentuk kombinasi dengan Benzoyl Peroksida yang
menurunkan perkembangan angka kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotika
Klindamisin. Kolitis Pseudomembranosa pernah dilaporkan sebagai efek samping dari
penggunaan Klindamisin secara topikal, tetapi amat sangat jarang.

56
3. Metronidazol
Metronidazol dalam bentuk topikal adalah Nitroimidazol yang biasanya tersedia
dengan konsentrasi 0.75% dalam bentuk jel, krim, dan lotion. Sedangkan
Nitroimidazole 1% berupa jel atau krim digunakan untuk penatalaksanaan Rosasea.
Pada konsentrasi dengan dosis rendah, Nitroimidazol ini digunakan dua kali dalam
sehari, tetapi jika dengan dosis tinggi maka digunakan cukup satu kali perhari.
Metronidazol oral berfungsi sebagai antibiotika broad-spectrum.
4. Asam Azeleat
Merupakan asam dikarboksilat yang ditemukan pada makanan yaitu sereal
gandum dan juga makanan yang berasal dari hewani. Di dalam plasma darah manusia,
kadar normal Asam Azeleat in adalah 20-80 ng/ml. Mekanisme kerja dari Asam
Azeleat yaitu menormalkan proses keratinisasi dengan cara mengurangi ketebalan
stratum korneum, mengurangi jumlah dan ukuran granula keratohyalin, serta
menurunkan jumlah filagrin. Pada bakteri Propiniobacterium acnes dan
Staphylococcus epidermidis, Asam Azeleat juga dilaporkan berfungsi untuk
menghambat sintesis protein pada bakteri tersebut. Pada mikroorganisme aerob, Asam
Azeleat dapat menghambat enzim oksidoreduktase yaitu tirosinase, 5-alfa reduktase
dan DNA polimerase. Sedangkan pada mikroorganisme anaerob, Asam Azeleat ini
berfungsi untuk menurunkan proses glikolisis. Asam azeleat sering digunakan pada
pengobatan Akne Vulgaris dan Rosasea, meskipun fungsi utamanya adalah untuk
menghilangkan hiperpigmentasi seperti misalnya pada Melasma. Asam Azeleat
tersedia dalam bentuk jel dengan konsentrasi 15% dan dalam bentuk krim dengan
konsentrasi 20%.
Pada sebuah penelitian, efektivitas Klindamisin fosfat topikal dibandingkan
dengan Asam Azeleat topikal yang keduanya telah lazim digunakan pada pengobatan
Akne Vulgaris. Pada penelitian-penelitian sebelumnya disebutkan bahwa terdapat
perkembangan yang signifikan terhadap angka resistensi bakteri terhadap
Klindamisin, tetapi belum pernah dilaporkan adanya resistensi bakteri tersebut
terhadap Asam Azeleat. Pada akhir penelitian tersebut disimpulkan bahwa kedua
antibiotika tersebut sama-sama memiliki efektivitas yang baik pada penatalaksanaan
Akne Vulgaris, tetapi ternyata Asam Azeleat lebih efektif untuk mengurangi derajat
keparahan Akne Vulgaris.

57
5. Sulfonamid (Sulfasetamid)
Sulfasetamid merupakan Sulfonamid topikal yang digunakan untuk pengobatan
Akne Vulgaris dan Rosasea. Pada umumnya, Sulfonamid bekerja sebagai antibakteri
dengan cara menjadi kompetitor bagi PABA (Para-aminobenzoid acid) dalam
pembentukan asam folat pada bakteri tersebut. Akan tetapi mekanisme kerja
Sulfasetamid pada pengobatan Rosasea masih belum dapat diketahui hingga saat ini.
Sulfasetamid tersedia dalam bentuk lotion berkonsentrasi 10%, sedangkan
Sulfasetamid 5% tersedia dalam bentuk jel, krim, suspense, dan masker wajah.

B. Terapi Antibiotika Topikal Pada Infeksi Bakterial Superfisial dan Luka Bakar
Impetigo yang luas, infeksi pada kulit di ekstremitas inferior, atau pasien yang disertai
dengan keadaan immunocompromised, maka terapi yang tepat digunakan adalah
antibiotika topikal untuk menurunkan risiko terjadinya komplikasi yang lebih serius.
Antibiotika topikal juga sering digunakan pada prosedur bedah minor.
Adapun antibiotika topikal yang sering digunakan pada infeksi bacterial superficial
dan juga luka bakar adalah sebagai berikut:

1. Mupirosin
Mupirosin dikenal dengan nama Pseudomonic Acid A, merupakan derivat dari
Pseudomonas fluorescens. Cara kerjanya adalah berikatan dengan iso-leucyl t-RNA
dan mencegah sintesis protein bakteri. Aktivitas Mupirosin hanya terbatas pada Gram
positif, terutama Staphylococci dan juga Streptococcui pada umumnya. Mupirosin
dapat aktif bekerja pada keadaan dengan pH sekitar 5,5 yaitu pada kulit yang
memiliki pH normal misalnya. Karena Mupirosin sangat sensitive pada perubahan
temperature, maka antibiotika ini akan rusak jika pada keadaan suhu yang sangat
tinggi. Salep Mupirosine 2% dioleskan 3x/hari dan terutama diindikasikan untuk
pengobatan Impetigo dengan lesi terbatas, yang disebabkan oleh S.aureus dan
S.pyogenes. tetapi pada penderita immunocompromised terapi yang diberikan harus
secara sistemik untuk mencegah komplikasi serius. Pada tahun 1987 dilaporkan
resistesi Mupirosin karena pemakaian antibiotika topical untuk Methicillin-resistant
S.aureus (MRSA).
Penelitian terakhir di Tennessee Veterans Aggairs Hospital menunjukkan bahwa
penggunaan jangka panjang salep Mupirosine untuk mengontrol MRSA, khususnya
pada penderita ulkus dekubitus,meningkatkan resistensi yang bermakna. Lebih lanjut,
58
peneliti Jepang menemukan bahwa Mupirosin konsentrasi rendah dicapai setelah
aplikasi intranasal dan dipostulasikan bahwa mungkin ini menjelaskan resistensi
terhadapt Mupirosin pada strain S.aureus.
Suatu studi percobaan menggunakan salep antibiotika kombinasi yang
mengandung Basitrasin, Polimiksin B, dan Gramisidin berhasil menghambat
kolonisasi pada 80% (9 dari 11) penderita yang setelah di-follow up selama 2 bulan
tetap menunjukkan dekolonisasi. Semua kasus (6 dari 6) terhadap Mupirosin-sensitive
MRSA dieradikasi, sedangkan 3 dari 5 kasus terhadap Mupirosin-sensitive MRSA
dieliminasi. Formulasi baru yang menggunakan asam kalsium (kalsium membantu
dalam stabilisasi bahan kimia) tersedia untuk penggunaan intranasal dalam bentuk
salep 2% dan krim 2%.
Pelaporan dari seluruh dunia mengenai resistensi S. aureus terhadap mupirosin
adalah sebagai berikut: Spanyol 11,3%, Amerika Serikat 13,2%, Trinidad Tobago
26,1%, Cina 6,6%, India 6%, Turki 45% dan Korea 5%, dan bagaimanapun ini
menunjukkan bahwa peningkatan resistensi S. aureus terhadap mupirosin ini sudah
meluas. Sedangkan berdasarkan 2 penelitian yang dilakukan di Iran, prevalensi S.
aureus yang resisten terhadap mupirosin adalah 2,7% dan 0%.
Adapun resistensi Mupirosin itu dapat diketahui melalui sebuah pemeriksaan
yang disebut E-Test atau Uji E. Melalui pemeriksaan ini didapatkan dua kategori
resistensi Mupirosin, yaitu resistensi tingkat rendah (disebut MupI) dengan MIC 4-
256 g/ml dan resistensi tingkat tinggi (disebut MupR) dengan MIC yang lebih dari
512 g/ml.

2. Basitrasin
Antibiotika polipeptida topikal yang berasal dari isolasi strain Tracy-I Bacillus
subtilis, yang dikultur dari penderita dengan fraktur compound yang terkontaminasi
tanah. Basil ini diturunkan dari Bacillus, dan trasin berasal dari penderita yang
mengalami fraktur compound (Tracy). Basitrasin merupakan polipeptida siklik yang
memiliki banyak komponen yaitu A, B dan C. Basitrasin sering digunakan sebagai
Zinc Salt. Basitrasin menghambat pembentukan dinding sel bakteri dengan cara
berikatan dan menghambat defosforilasi pada lemak pirofosfat. Kebanyakan
organisme Gram negatif dan jamur resisten terhadap obat ini. Sediaan tersedia dalam
bentuk salep Basitrasin dan sebagai Basitrasin Zinc, mengandung 400-500 unit
pergram.
59
Basitrasin topikal efektif untuk pengobatan infeksi bakteri superfisial pada kulit
seperti Impetigo, Furunkulosis, dan Pioderma. Obat ini juga sering dikombinasikan
dengan Polimiksin B dan Neomisin sebagai salep antibiotika tripel yang dipakai
beberapa kali sehari untuk pengobatan dermatitis atopi, numularis, atau stasis yagn
disertai dengan infeksi sekunder. Sayangnya, aplikasi Basitrasin topical memiliki
risiko untuk timbulnya sensitisasi kontak alergi dan meski jarang dapat menimbulkan
syok anafilaktik.

3. Polimiksin B
Adalah antibiotika topikal yang diturunkan dari B.polymyxa, yang asalnya
diisolasi dari contoh tanah di Jepang. Polimiksin B adalah campuran dari polimiksin
B1 dan B2, keduanya merupakan polipeptida siklik. Fungsinya adalah sebagai
detergen kationik yang berinteraksi secara kuat dengan fosfolipid membran sel
bakteri, sehingga menghambat integritas sel membran.
Polimiksin B aktif melawan organism gram negatif secara luas termasuk
P.aeruginosa, Enterobacter, dan E.coli. Polimiksin B tersedia dalam bentuk salep
(5000-10.000 unit pergram) dalam kombinasi Basitrasin atau Neomisin. Cara
pemakaiannya dioleskan 1-3x/hari.

4. Aminoglikosida Topikal (Neomisin dan Gentamisin)


Aminoglikosida adalah kelompok antibiotika yang penting digunakan baik secara
topikal ataupun sistemik untuk pengobatan infeksi yang disebabkan bakteri Gram
negatif. Aminoglikosida memberi efek membunuh bakteri melalui pengikatan subunit
ribosomal 30S dan mengganggu sintesis protein pada bakteri tersebut.
Neomisin sulfat, aminoglikosida yang sering digunakan secara topical adalah hasil
fermentasi Streptomyces fridae. Neomisin sulfat memiliki efek mematikan bakteri
gram negatif dan sering digunakan sebagai profilaksis infeksi yang disebabkan oleh
abrasi superfisial, luka terbuka atau luka bakar. Tersedia dalam bentuk salep (3,5
mg/g) dan dikemas dalam bentuk kombinasi dengan antibiotika lain seperti Basitrasin,
Polimiksin, dan Gramisidin. Bahan lain yang sering dikombinasikan dengan
Neomisin adalah Lidokain, Pramoksin, atau Hidrokortison.
Neomisin tidak direkomendasikan oleh banyak ahli kulit karena dapat
menyebabkan dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak karena pemakaian
Neomisin memiliki angka prevalensi yang tinggi, dan pada 6-8% penderita yang
60
dilakukan Patch Test memberi hasil positif. Neomisin sulfat 20% dalam Petrolatum
digunakan untuk menilai alergi kontak.
Gentamisin sulfat diturunkan dari hasil fermentasi Micromonospora purpurea.
Tersedia dalam bentuk topikal berupa krim atau salep 0.1%. antibiotika ini banyak
digunakan oleh ahli bedah kulit ketika melakukan operasi telinga, terutama pada
penderita DM atau keadaan immunocompromised lain, sebagai profilaksis terhadap
Otitis Eksterna Maligna akibat P.aeruginosa.

5. Sulfonamid (Sulfadiazin Perak dan Mafenid Asetat)


Sulfonamid dapat digunakan untuk pengobatan Akne Vulgaris, Rosasea, dan luka
bakar. Sulfadiazin Perak bekerja dengan cara menghambat pembentukan dinding sel
bakteri dan membrannya. Sedangkan mekanisme kerja Mafenid Asetat berbeda
halnya dengan Sulfadiazin. Jika Mafenid Asetat ini digunakan pada area kulit dengan
luka bakar yang luas, maka akan memiliki risiko terjadinya Asidosis Metabolik.
Sulfadiazin dan Mafenid Asetat ini merupakan antibiotika broad-spectrum. Selain itu,
superinfeksi yang disebabkan oleh Candida pun dapat terjadi pada penggunaan
Mafenid Asetat.

6. Nitrofurazon
Nitrofurazon atau Furacin adalah derivate dari Nitrofuran yang digunakan dalam
penatalaksanaan pasien luka bakar. Mekanisme kerja dari Nitrofurazon adalah
menghambat aktivitas enzim yang berperan dalam degradasi glukosa dan piruvat baik
secara aerob maupun anaerob. Nitrofurazon tersedia dengan konsentrasi 0.2% dalam
bentuk krim, solusio dan juga dalam bentuk pembalut luka. Nitrofurazon sangat baik
aktivitasnya pada Staphylococci, Streptococci, E.coli, Clostridium perfringens dan
Proteus sp.

C. Antibiotika Topikal Lainnya.


1. Gramisidin
Merupakan derivate B. brevis, berupa peptide linier yang membentuk stationery
ion channel pada bakteri yang sesuai. Aktivitas antibiotika Gramisidin terbatas pada
bakteri Gram positif.

61
2. Kloramfenikol
Di Amerika Serikat, penggunaannya terbatas untuk pengobatan infeksi kulit yang
ringan. Mekanisme kerjanya hampir mirip dengan Eritromisin dan Klindamisin, yaitu
menghambat ribosom 50S memblokade translokasi peptidil tRNA dari akseptor ke
penerima. Tersedia dalam krim 1%. Obat ini jarang digunakan karena dapat
menyebabkan Anemia Aplastik yang fatal atau depresi sumsum tulang.

3. Cliquinol/Iodochlorhydroxiquin
Clioquinol adalah antibakteri dan antijamur yang diindikasikan untuk pengobatan
kelainan kulit yang disertai peradangan dan tinea pedis serta infeksi bakteri minor.
Kerugiannya adalah mengotori pakaian, kulit, rambut dan kuku serta potensial
menyebabkan iritasi. Clioquinol mempengaruhi penilaian fungsi tiroid (efek ini dapat
berlangsung hingga 3 bulan setelah pemakaian). Tetapi Clioquinol tidak
mempengaruhi hasil tes untuk pemeriksaan T3 dan T4.

62
5. Berikan gambar anatomi kuku dan rambut

63

Anda mungkin juga menyukai