Anda di halaman 1dari 68

LAPORAN KASUS

Seorang Pria 42 Tahun dengan Rhinis Alergi, Rhinosinusitis Kronik,


dan Polip Nasi

Penyusun:
Mutiara Lirendra
406162115

Pembimbing:
dr. Siti Nurhikmah, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROKAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RAA SOEWONDO PATI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 25 September 28 Oktober 2017
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn Rukun
Usia : 42 tahun
Alamat : Mojoluhur 2/3 Jaken, Pati
Tgl Lahir : 16/06/1975
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Kuli Bangunan
Status : Menikah
Suku : Jawa
No RM : 170942

II. ANAMNESIS

Autoanamnesis dan alloanamnesis pada pasien dan istri pasien pada


hari Jumat tanggal 29 September 2017 di Bangsal Mawar RSUD RAA
Soewondo Pati

Keluhan Utama

Pilek berulang sejak 5 tahun

Keluhan Tambahan

Pilek dengan meler awalnya bening encer


Bersin-bersin
1 bulan terakhir, hidung menjadi bau dan mengeluarkan ingus kuning berbau
Hidung tersumbat
Nyeri wajah daerah kanan, khususnya dahi dan tulang pipi
Ada yang mengalir dari hidung ke tenggorokan
Penurunan penghidu/penciuman
Suara bindeng
Gangguan tidur karena hidung tersumbat
Batuk dengan dahak kekuningan

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Soewondo Pati dengan rujukan dr


Ardhian SpTHT-KL dengan polip nasi. Awalnya pasien berobat ke poliklinik
dr Ardhian SpTHT-KL dengan keluhan utama pilek yang berulang sejak 5
tahun. Pasien sering bersin-bersin dan hidung sering meler dengan ingus yang
awalnya bening encer. Tetapi 1 bulan terakhir, ingus berwarna kekuningan dan
berbau. Pasien juga merasakan hidungnya bau. Pasien mengalami hidung
tersumbat pada kanan-kiri bergantian dan makin parah dalam 1 bulan terakhir.
Hal ini menyebabkan pasien mengalami gangguan tidur.

Pasien nyeri pada wajah kanan, khususnya daerah dahi dan tulang pipi
serta merasa ada yang mengalir dari hidung ke tenggorokan. Suara pasien
terdengar bindeng dan pasien mengalami penurunan penghidu/penciuman.
Pasien juga batuk sejak 1 bulan lalu dengan dahak kekuningan.

Riwayat mimisan atau keluar ingus bercampur darah (-), gangguan


penglihatan, penglihatan ganda, nyeri gigi, nyeri menelan, baal pada pipi, dan
sakit kepala disangkal. Riwayat demam, sesak napas dan gangguan pada
telinga juga disangkal.

Pasien memiliki riwayat alergi debu dan dingin yang membuat hidung
tersumbatnya bertambah parah ketika pagi hari dan terkena debu. Pasien
riwayat gigi berlubang pada molar 2 kanan kiri bawah.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat ISPA :Diakui


- Riwayat alergi :Diakui, yaitu dingin dan debu
- Riwayat keluhan serupa : Diakui sejak 5 tahun yll
- Riwayat gigi berlubang : Diakui pada gigi molar 2 kanan-kiri
bawah tapi sudah tidak sakit
- Riwayat hipertensi :Disangkal
- Riwayat asma : Disangkal
- Riwayat sakit gigi : Disangkal
- Riwayat DM :Disangkal
- Riwayat operasi sebelumnya :Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat ISPA : Disangkal
- Riwayat alergi : Pasien tidak tahu
- Riwayat asma : Disangkal
- Riwayat hipertensi :Disangkal
- Riwayat DM :Disangkal
- Tidak ada keluhan serupa pada keluarga

Riwayat Kebiasaan:
Pasien seorang kuli bangunan yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun
Pasien perokok aktif yang mengkonsumsi rokok 1 bungkus sehari
selama 30 tahun
Tempat tidur dan bantal pasien dari kapuk
Konsumsi minuman keras (-)
Area lingkungan rumah kurang ventilasi (+)

Riwayat Pengobatan:
Pasien sering berobat teratur ke puskesmas karena keluhan pileknya.
Pasien ada minum obat rutin dari puskesmas untuk pileknya sehari 3
kali tetapi pasien lupa nama obatnya
Pasien sudah didiagnosis polip nasi dextra sejak 1 tahun lalu oleh
dokter THT-KL tetapi pasien membiarkan

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
BB : 63 kg
Status gizi : Normal
Tekanan darah : 120/80mmHg
Nadi : 80 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Suhu : 360C

Kepala dan Leher


Kepala :Normosefal
Wajah :Simetris

Status Lokalis :

1. Telinga

DEKSTRA SINISTRA
Aurikula Bentuk (N) Bentuk (N)
Benjolan (-) Benjolan (-)
Nyeri tarik (-) Nyeri tarik (-)
Nyeri tekan tragus (-) Nyeri tekan tragus (-)
Preaurikula Fistula (-) Fistula (-)
Abses (-) Abses (-)
Retroaurikula Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Edema (-) Edema (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
CAE Sekret (-) Sekret (-)
Serumen (+) Serumen (+)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Corpus allienum (-) Corpus allienum (-)

MEMBRAN TIMPANI
Perforasi (-), MT intak (-), MT intak
Cone of Light (+) cone of light arah (+)cone of light arah jam 7
jam 5
Warna Putih seperti mutiara Putih seperti mutiara
Bentuk Cekung Cekung
2. Hidung

HIDUNG DEKSTRA SINISTRA


BAGIAN HIDUNG LUAR
Bentuk Normal Normal
Pelebaran ke arah kanan Deformitas (-)
minimal
Udara pernafasan (+) minimal (+)
RHINOSKOPI ANTERIOR
Konka Media Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Konka Inferior Edema (+) Edema (+)
Livide/pucat (+) Livide/Pucat (-)
Meatus Nasi Media Sekret (+) bening Sekret (+) bening
Tampak polip lonjong Massa AbN (-)
permukaan licin
berwarna pucat
keabuan
Meatus Nasi Sekret (+) bening Sekret (+)bening
Inferior Massa AbN (-) Massa AbN (-)

Massa Tampak polip di mearus (-)


nasi media dgn
permukaan licin,
tunggal, berbentuk
lonjong, berwarna pucat
keabuan, nyeri -
Corpus Alienum (-) (-)
Septum Deviasi (-)
Palatal Phenomenon : (-)

Pemeriksaan Sinus Paranasal

LOKASI DEKSTRA SINISTRA


Infraorbita Nyeri tekan (+) Nyeri tekan (-)
Nyeri ketuk (-) Nyeri ketuk (-)

Glabela Nyeri tekan (+) Nyeri tekan (-)


Nyeri ketuk (-) Nyeri ketuk (-)

Supraorbita Nyeri tekan (+) Nyeri tekan (-)


Nyeri ketuk (-) Nyeri ketuk (-)
3. Tenggorok

Pemeriksaan Tenggorok

Mukosa buccal Warna


: warnamerah
merahmuda
muda
Ginggiva Warna merah muda
Gigi geligi Karies (-),gigi berlubang (+) pada
molar 2 kanan kiri bawah
Palatum durum dan mole Warna merah muda
Lidah 2/3 anterior Merah muda,
Ulkus (-)
Stomatitis (-)

Tonsil

Tonsil Dekstra Sinistra


Ukuran T1 T1
Kripta Tidak melebar Tidak melebar
Permukaan Rata Rata
Warna Merah muda Merah muda
Detritus (-) (-)
Peritonsil Abses (-) Abses (-)
Pilar anterior Merah muda Merah muda

Orofaring

Arkus faring Simetris, hiperemis (-)


Palatum Merah muda
Mukosa Merah muda
Dinding posterior orofaring Hiperemis (-)
Post nasal drip (+)
Tidak tampak massa

IV. Pemeriksaan Penunjang


1. Foto Rontgen Waters
Tampak kesuraman pada sinus maksilaris
Dextra dan sinistra
Tampak penebalan mukosa cavum nasi
Tak tampak septum deviasi
Kesan : sinusitis maksilaris duplex
DD : Mukosa polipoid
2. Darah Lengkap & Kimia Klinik: pre op
- HEMATOLOGI Nilai Rujukan 28/09/17
ANALYZER
Leukosit 3,8 10,6 8,7
Eritrosit 4,7 6,1 4,65
Hemoglobin 11 15 13,9
Hematokrit 40 52 39,8
MCV 82 92 85,6
MCH 27 31 29,9
MCHC 32 36 34,9
Trombosit 150 400 245
RDW-CV 11,5 14,5 12,5
RDW-SD 35 47 12,5
PDW 9.0 13.0 9
MPV 6.8 10.0 8,4
P-LCR 13,7
HITUNG JENIS
Netrofil 50.0 70.0 55,30
Limfosit 25.0 40.0 34,70
Monosit 2.0 8.0 6,40
Eosinofil 24 3,30
Basofil 01 0,30
KIMIA KLINIK
Glukosa ACC 70 160 91
SGOT <35 24
SGPT <45 36
Ureum 10-50 30,8
Creatinin 0,60-1,20 0,83
LED 2 jam 0-10 12
PT 10-14 PT 12,2
INR 0,87
APTT 20-40 APTT 30,2
LED 1 jam 0-10 6
3 Foto Toraks : Cor & pulmo dalam batas normal (pre op)
4. EKG : borderline irama sinus dgn RBBB QRS 118 AXIS 58 PR 132 (pre op)

V. RESUME

Telah diperiksa seorang pasien laki-laki dengan usia 42 tahun dengan


keluhan utama pilek yang berulang sejak 5 tahun. Pasien sering bersin-bersin
dan hidung meler dengan ingus bening encer. Ingus menjadi kekuningan dan
berbau sejak 1 bulan terahir. Pasien merasakan hidungnya bau dan mengalami
hidung tersumbat pada kanan-kiri bergantian dan makin parah dalam 1 bulan
terakhir yang menyebabkan pasien mengalami gangguan tidur.

Pasien nyeri pada wajah kiri, khususnya daerah dahi dan tulang pipi
serta merasa ada yang mengalir dari hidung ke tenggorokan. Suara pasien
bindeng dan pasien mengalami penurunan penghidu/penciuman. Pasien juga
batuk sejak 1 bulan lalu dengan dahak kekuningan.

Pasien memiliki riwayat alergi debu dan dingin yang membuat hidung
tersumbatnya bertambah parah ketika pagi hari dan terkena debu. Pasien
riwayat gigi berlubang pada molar 2 kanan kiri bawah. Pasien perokok aktif
sejak 30 tahun yang menghabiskan 1 bungkus sehari.

Dari PF didapatkan pada inspeks bentuk hidungi tampak pelebaran ke


arah kanan minimal, udara pernapasan kanan + minimal konka inferior kanan-
kiri edema dan livide, meatus nadi inferior dan media terdapat sekret bening,
dan terdapat massa polip dengan permukaan licin, tunggal, berbentuk lonjong,
berwarna pucat, keabuan dan tidak nyeri di daerah meatus nasi media kanan.
Pada sinus paranasal terdapat nyeri tekan + pada glabela, supra dan infraorbita
dextra. Terdapat post nasal drip dinding posterior faring. Pada pemeriksaan
penunjang foto rontgen waters tampak kesuraman pada sinus maksilaris dx
dan sn, tampak penebalan mukosa cavum nasi dengan kesan sinusitis
maksilaris duplex dd mukosa polipoid.
VI. DIAGNOSIS BANDING

1. Tumor Hidung
2. Konka Polipoid

VII. DIAGNOSIS

1. Rhinitis Alergi
2. Rhinosinusitis kronik
3. Polip Nasi Dextra

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Biopsi-PA

IX. PENATALAKSANAAN

1. Polipektomi (ekstraksi polip) dan CWL/Cadwell-Luc telah dilakukan pada 30


Sep 17
2. Irigiasi Hidung dan aff tampon pada H+2 op, H+4 op, H+7 op, H+11 op
3. Medikamentosa
- Clindamisin 300 mg 3 dd 1
- Metilprednisolon 8 mg 2 dd 1 tab
- Na diclofenca 2 dd 1 tab
- Bufacetin kloramfenicol salep
- Arrays nasal spray 2 dd puff 2
4. Menghindari faktor pencetus alergi

X. Edukasi

1. Menjelaskan mengenai penyakit polip hidung, rhinosinusitis kronik, dan


rinitis alergi

2. Menghindari faktor pencetus alergi, memakai masker, berhenti merokok

XI. Prognosis

Ad vitam : dubia ad vitam

Ad fungsionam : dubia ad vitam

Ad sanationam : dubia ad malam


BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Hidung

Gambar 1. Anatomi Hidung 1

A. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke bawah :
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M.
Nasalis pars allaris. Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan
menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar),
antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada
bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :1,2
- Superior : os frontal, os nasal, os maksila
- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris
mayorb dan kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi
fleksibel.
Perdarahan :
1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A.
Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris
interna, cabang dari A. Karotis interna)
3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :1-3
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)

B. Kavum Nasi2
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini
berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media. Batas batas kavum nasi : 2
Posterior : berhubungan dengan nasofaring
Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus
sfenoidale dan sebagian os vomer
Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir
horisontal, bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih
lebar daripada bagian atap. Bagian ini dipisahnkan dengan
kavum oris oleh palatum durum.
Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua
ruangan (dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks
nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan subkutan dan
kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari
kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa =
kolumna = kolumela.
Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima,
os etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang
etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan
di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang
berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema dan
meatus nasi suprema terletak di bagian ini.2,3
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah
A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior
yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang
terletak submukosa yang berjalan bersama sama arteri.4

Persarafan :1
1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus
yaitu N. Etmoidalis anterior
2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion
pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi
N. Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.

C. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang kadang
terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous
blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel
goblet.3,4
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan
dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam
rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret
terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat
obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk
oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah
mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

Fisiologi Hidung
Untuk fisiologi hidung terkait dengan polip, pertama kita harus
memahami Kompleks Osteomeatal (KOM), dimana struktur ini tersusun dari
prosessus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi, dan ressesuss frontalis. KOM ini merupakan unit fungsional yang
merupakan tempat ventilasi dan drainase dasri sinus-sinus anterior (maksila,
etmoid anterior dan frontal). Karena fungsinya tersebut maka seandainya terjadi
obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan yang
signifikan pada sinus-sinus terkait serta perubahan pada mukosa yang menjadi
salah satu predisposisi terjadinya polip hidung.1
Beberapa fungsi hidung juga antara lain : 1-4
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara:
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah
di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah
melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung3,4
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh:
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
Transpor benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke faring di sebelah
posterior, di mana kemudian akan ditelan atau diekspektorans, merupakan kerja silia
yang menggerakan lapisan mukus dengan partikel yang terperangkap. Aliran turbulen
dalam hidung memungkinkan paparan yang sangat luas antara udara inspirasi dengan
epitel hidung dan lapisan mukusnya,lapisan mukus berupa selubung sekret kontinyu
yang sangat kental, meluas ke seluruh ruang dan sudut hidung, sinus, tuba eustakius,
faring, dan seluruh cabang bronkus.
Mukus hidung disamping berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang
tertimbun dari udara inspirasi, juga memindahkan panas, normalnya mukus
menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan ekpirasi, serta melembabkan udara
isnpirasi dengan lebih dari satu liter uap setiap harinya. Namun, bahkan dengan
jumlah uap demikian sering kali tidak memadai untuk melembabkan udara yang
sangat kering, sering kali terdapat di rumah-rumah dengan pemanasan selama musim
dingin. Hal ini dapat berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai ganguan
hidung. Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada
kelenjar seromukosa pada submukosa hidung.2
Arah gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang. Karena silia lebih aktif
pada meatus media dan inferior yang terkandung, maka cenderung menarik lapisan
mukus dari lapisan meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Arah gerakan septum
adalah kebelakang dan agak ke bawah menuju dasar. Pada dasar hidung, arahnya
kebelakang dengan kecenderungan bergerak di bawah konka inferior ke dalam meatus
inferior. Pada sisi medial konka, arah gerakan kebelakang dan kebawah, lewat
dibawah tepi inferior dari meatus yang bersesuaian. Drainase dari daerah tak bersilia
pada sepertiga anterior hidung sebelumnya praktis lewat meatus. Ini merupakan
daerah yang paling banyak mengumpulkan kontaminan udara.3
Lapisan mukus, disamping menangkap dan mengeluarkan partikel lemah, juga
merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri. Akan tetapi walaupun
organisme hidup mudah dibiak dari segmen hidung anterior, sulit untuk mendapat
suatu biakan postnasal yang positif. Lisozim, yang terdapat pada lapisan mukus,
bersifat destruktif terhadap dindiong sebagian bakteri. Fagositosis aktif dalam
membran hidung merupakan bentuk proteksi di bawah permukaan. Membran sel
pernapasan juga memberikan imunitas induksi seluler.2
Sejumlah imunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sesuai kebutuhan
fisiologik, telah diamati adanya IgG, IgA dan IgE. Rinitis alergika terjadi bila alergen
yang terhirup berkontak dengan antibodi IgE sehingga antigen tersebut terfiksasi pada
mukosa hidung dan sel mast submukosa. Selanjutnya dihasilkan dan dilepaskan
mediator radang yang menimbulkan perubahan mukosa hidung yang khas.3
4. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik
nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara4
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran
udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung menyebabkan
refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung dan pankreas.3,4
D. Sinus Paranasal

Polip nasi sering dihubungkan dengan sinusitis. Sinus paranasal ada empat
buah yaitu sinus maksila, sinus etmoid, sinus frontal, dan sinus sphenoid. 1

1. Sinus maksila terdapat dilateral hidung, dasar sinus maksila adalah processus
alveolaris gigi, atap sinus maksila berhubungan dengan dasar orbita. Pstium
sinus maksila berhubungan dengan meatus media. 2
2. Sinus etmoid seperti sarang tawon (honeycomb). Dibagi menjadi dua bagian
anterior dan posterior. Terletak antara dinding lateral hidung dan dinding
medial orbita (lamina papirasea). Atap sinus etmoid berhubungan dengan
sinus frontal dan fossa kranii anterior. Di inferolateral sinus etmoid
berhubungan dengan sinus maksila. Sinus etmoid posterior berhubungan
dengan sinus sphenoid.1
3. Sinus frontal terletak pada tulang frontal. Dinding posterior sinus frontal
membentuk dinding anrerir fosa kranii. Di inferior sinus ini berbatasan dengan
orbita dan sinus etmoid. Drainase sinus ini melalui duktus nasofrontal
langsung ke hidung atau melalui infundibulum etmoid.2
4. Sinus sphenoid terletak di garis tengah. Dibagi dua oleh septum. Di superior
berbatasan dengan hipofisa, lobus frontal dan sinus kavernosus. Di posterior
terletak pons cerebri dan arteri basilaris, di inferior terletak nasofaring. Arteri
karotis terletak di lateral sinus ini. 1-3

Gambar 2 : Anatomi sinus2


RINITIS ALERGI

Rinitis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah


paparan alergen melalui inflamasi yang diperantarai IgE pada mukosa hidung. 5

Sebelumnya dibagi berdasarkan waktu pajanan menjadi rinitis alergi musiman


(seasonal), sepanjang tahun (perenial) dan akibat kerja (occasional). Rinitis alergi
5,6
musiman hanya ada di negara yang memiliki empat musim. Alergen penyebabnya
spesifik, yaitu tepungsari dan spora jamur. Gejala ketiganya hampir sama, hanya sifat
berlangsungnya yang berbeda. Gejala rinitis alergi sepanjang tahun timbul terus
menerus atau intermiten. 6,7

Namun sekarang klasifikasi rinitis alergi menggunakan parameter gejala dan


kualitas hidup, berdasarkan lamanya dibagi menjadi intermiten dengan gejala 4 hari
perminggu atau 4 minggu dan persisten dengan gejala >4 hari perminggu dan >4
minggu. Berdasarkan beratnya penyakit dibagi dalam ringan dan sedang-berat
tergantung dari gejala dan kualitas hidup. Dikatakan ringan yaitu tidak ditemukan
gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, olah raga, belajar, bekerja dan
lain-lain yang mengganggu. Dikatakan sedang-berat jika terdapat satu atau lebih
gangguan tersebut di atas.6,-9

Intermiten Persisten
Gejala Gejala
4 hari per minggu > 4 hari per minggu
atau 4 minggu dan > 4 minggu

Ringan Sedang-Berat
tidur normal Satu atau lebih gejala
aktivitas sehari-hari, saat olah tidur terganggu
raga dan santai normal aktivitas sehari-hari, saat olah
bekerja dan sekolah normal raga dan santai terganggu
tidak ada keluhan yang masalah dalam sekolah dan
mengganggu bekerja
ada keluhan yang mengganggu
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC)
yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung
2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung 24-48 jam.7-10

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag


atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. 6,7

Patofisiologi rhinitis alergika7


IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit
B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 7,8

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus


sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1). 9-10

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik


yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,
IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.11

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)


dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-
menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:6-10

a. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

b. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.

c. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe
3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di
bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi. 9-11

2.6. Gambaran Histologik


Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang inter seluler
dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada
jaringan mukosa dan submukosa hidung.10

2.7. Klasifikasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi :6,7
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari
(pollen), rerumputan, dan spora jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul intermiten
atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah
alergen inhalan dan alergen ingestan.

Berdasarkan WHO Initiative ARIA, rinitis alergi berdasarkan sifat


berlangsungnya dibagi menjadi:11
1. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:9
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.
2.8. Gejala Klinis
Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari, keluar
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).7-11
Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin, mata
atau palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat.11 Pada mata
dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa
terbakar, dan lakrimasi.8 Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi
telinga bagian tengah.6,
2.9. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:7
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin yang berulang. Bersin ini
merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai akibat
dilkepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).1
Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga perlu
ditanya gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti asma, eczema,
urtikaria, atau sensitivitas obat. Keadaan lingkungan kerja dan tempat tinggal juga
perlu ditanya untuk mengaitkan awitan gejala. 8

b. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertofi.10
Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap di daerah
bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Gejala ini disebut allergic shiner. Selain itu juga tampak anak menggosok-gosok
hidung, karena gatal dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergig salute.
Menggosok-gosok hidung mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum
nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka
dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler
dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah
tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).7,8
c. Pemeriksaan Penunjang1
Invitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal.

Invivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/
SET). SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam
berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.

Untuk allergen makanan, uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test
(IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test)
.
2.10. Penatalaksanaan
a. Terapi yang paling ideal dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab
dan eliminasi.8,11
b. Medikamentosa6
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-
1 (klasik) dan generasi-2 (non-sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik
sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin,
klorfeniramin, prometasin, siproheptadin. Antihistamin generasi-2 bersifat
lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat
reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan
efek pada SSP minimal.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.
c. Operatif8
Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured, inferior
turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berta dan tidak
berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor
asetat.

d. Imunoterapi ,6,8
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan.

e. Edukasi Pasien 3,11


Memberikan edukasi pada pasien utnuk menghindari bahan-bahan yang
merupakan allergen.

2.12. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:,7
1. Polip hidung.
2. Otitis media
3. Sinusitis paranasal
4. Gangguan fungsi tuba eustachius

RHINOSINUSITIS KRONIK

Rhinosinusitis adalah peradangan pada selaput lendir hidung dan sinus

paranasal. Sinus-sinus terbentuk oleh evaginasi membran mukosa hidung dan

pelapis sinus merupakan epitelium pernapasan.12 Patofisiologi dasar penyakit

rinosinusitis kronis ini suatu gangguan mukosa di dan sekitar ostium di regio

meatus medius akibat reaksi radang pada hidung yang berkelanjutan. Setiap

infeksi traktus respiratorius atas biasanya mengenai mukosa sinus karena

epitel sinus merupakan epitelium kuboid bertingkat bersilia yang mirip dengan
epitelium kolumner bertingkat bersilia pada hidung sehingga hal-hal yang

terjadi di hidung biasanya terjadi pula di sinus-sinus.13 Hidung akan

mengeluarkan ingus yang dapat menghasilkan superinfeksi bakterial yang

kemudian bakteri tersebut dapat masuk melalui ostium menuju ke dalam

rongga-rongga sinus dan berkembangbiak didalamnya.12

Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu

sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan maka akan

terjadi gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena

gangguan ventilasi maka akan terjadi penurunan pH dalam sinus sehingga silia

menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga

merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen 14

Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik yang

merupakan perluasan infeksi dari hidung. Walaupun gejala klinis yang

dominan merupakan manifestasi gejala infeksi dari sinus frontal dan maksila

tetapi kelainan dasarnya tidak pada sinus-sinus itu sendiri melainkan pada

dinding lateral rongga.15

Kompleks ostiomeatal (KOM) atau celah sempit di etmoid anterior

yang merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang

peranan penting dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah

KOM seperti peradangan, udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan

gangguan drainase sehingga terjadi sinusitis.16 Bila ada kelainan anatomi

seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau hipertrofi konka media

maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga memperberat

gangguan yang ditimbulkannya.17


Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan

akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi

mukos dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi Bakteri

dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya sesuai. Bila

sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga

bakteri anaerob akan berkembang baik.15-17

Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak silia.

Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau

terbentuk polip dan kista.18

Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum

ostium tertutup ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus. 19

Virus dan bakteri yang masuk kedalam mukosa akan menembus

kedalam submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel

mast dan limfosit kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti

histamin dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi

kapiler. sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah

udema di submukosa .17

Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, udema/hipertrofi

konka, rinitis alergi/rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan

sebagainya. Sedang faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi adalah:

infeksi saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah,

malnutrisi, DM yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar. 12-18


Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi peradangan

pada mukosa hidung, mukosa sinus termasuk juga mukosa ostium sinus.

Keadaan ini akan mempersempit ostium sinus yang secara keseluruhan sudah

sempit dan letaknya tersembunyi atau bahkan menyebabkan obstruksi ostium .

Oksigen yang ada dalam rongga sinus akan diresorbsi oleh kapiler

submukosa sehingga terjadi hipoksia dan tekanan oksigen yang rendah

didalam rongga sinus. Keadaan hipooksigen juga akan menyebabkan

vasodilatasi kapiler di submukosa, permeabilitas pembuluh darah meningkat

dan terjadilah proses transudasi.

Transudat yang terbentuk sebagian diresorbsi oleh submukosa

sehingga akan menambah udema submukosa dan sebagian lagi akan

terperangkap didalam rongga sinus. Tekanan oksigen yang rendah juga akan

mengganggu fungsi sinus dimana kelumpuhan gerak silia ini akan menambah

timbunan transudat didalam rongga sinus.12

Transudat yang tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia

yang berkurang dan sempitnya ostium merupakan kondisi yang baik untuk

pertumbuhan kuman.

Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak sehingga terjadi

perubahan mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung juga dapat disebabkan

alergi dan defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan

mempermudah terjadinya infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila

pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna 13


Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka sehingga drainase

sekret akan terganggu. Drainase sekret yang terganggu dapat menyebabkan

silia rusak dan seterusnya.14

Rinosinusitis terjadi bila edema di mukosa kompleks ostiomeatal yang

letaknya berhadapan akan saling bertemu sehingga sekretnya ini menebal dan

bila ditunggangi kontaminasi bakteri maka mukosanya akan mengandung

purulen. Virus juga memproduksi enzim neuraminidase yang mengendurkan

mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia hal ini

menyebabkan silianya menjadi kurang aktif dan sekret yang dihasilkan

mukosa sinus menjadi kental sehingga tidak dapat dialirkan. Maka akan terjadi

gangguan drenase dan ventilasi di dalam sinus. Bila sumbatan ini berlangsung

berulang atau terus-menerus yang akan menyebabkan rinosinusitis kronis

sehingga akan terjadi hipoksia dan retensi lender yang kemudian timbul

infeksi oleh bakteri aerob maupun anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan

jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.

Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM

berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini

berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini

dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih.15

Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis.

Polipoid berasal dari edema mukosa dinding lateral cavum nasi dimana stroma

akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi

polipoid. Bila proses terus berlanjut mukosa yang sembab makin membesar

dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai

sehingga terjadilah polip.


Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di

bagian atas hidung, di bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus

maksila dan sinus etmoid. Di tempat-tempat ini mukosa hidung saling

berdekatan. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskopi mungkin tempat

asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian Stammberger didapati 80%

polip nasi berasal dari celah antara prosesus unsinatus, konka media dan

infundibulum. Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di

nasofaring disebut polip koanal. Polip koanal kebanyakan berasal dari dalam

sinus maksila dan disebut juga polip antrokoanal. Menurut Stammberger polip

antrokoanal biasanya berasal dari kista yang terdapat pada dinding sinus

maksila. Ada juga sebagian kecil polip koanal yang berasal dari sinus etmoid

posterior atau resesus sfenoetmoid. 16

2.6 Patologi Rinosinusitis Kronis

Perubahan patologi yang terjadi pada mukosa dan dinding tulang sinus

saat berlangsungnya peradangan supuratif adalah seperti yang biasa terjadi dalam

rongga yang dilapisi mukus 17

Vaskularisasi dan permeabilitas kapiler akan meningkat. Hal ini akan

menyebabkan udema dan hipertrofi membran mukosa yang kemudian menjadi

polipoid dan pada kasus yang sangat akut keseluruhan rongga sinus dapat terisi

oleh membran mukosa yang edema sehingga rongga sinus menjadi

menghilang.18-20

Sel goblet hiperplasi dan akan terjadi infiltrasi seluler kronis. Ulserasi

epitel akan menyebabkan terbentuknya jaringan granulasi. Abses-abses kecil


yang multipel terjadi dalam mukosa yang menebal dan fibrosis dari strauma

submukosa yang melapisinya. Perubahan dalam mukosa pada saat ini bisa

irreversibel dan bila penyebab infeksi telah diobati tetapi mukosa tidak dapat

kembali normal. 21

Ada 4 tipe yang berbeda dari infeksi hidung dan sinus; kongesti akut,

purulen akut, purulen kronis dan hiperplastik kronis. 22

Penyakit sinus supuratif kronis dapat diklasifikasikan secara

mikroskopik sebagai:

1. Adematous

2. Granular dan infiltrasi

3. Fibrous

4. Campuran dari beberapa atau semua bentuk ini.

Sering terjadi perubahan jaringan penunjang dengan penebalan

dilapisan sub epitel. Penebalan ini didalam struktur seluler terdiri dari

timbunan sel-sel spiral, bulat, bentuk bintang, plasmosit, eosinofil dan

pigmen.19

Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah

ini, yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan:

a. Jaringan sub mukosa diinfiltrasi oleh serum sedangkan permukaannya

kering. Lekosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.


b. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat udema dan

pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada

kelainan epitel.

c. Setelah beberapa jam atau beberapa hari, serum dan lekosit keluar melalui

epitel yang melapisi mukosa kemudian bercampur dengan bakteri, debris

epitel dan mukus. Pada beberapa kasus, terjadi perdarahan kapiler dan darah

bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer dan sedikit kemudian

menjadi kental dan banyak karena terjadi koagulasi fibrin dan serum.

d. Pada banyak kasus resolusi terjadi dengan absorbsi eksudat dan berhentinya

pengeluaran lekosit memakan waktu 10 sampai 14 hari. Akan tetapi pada

kasus lain peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke tipe purulen. Lekosit

dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi masih mungkin

meskipun tidak selalu terjadi karena perubahan jaringan belum menetap

kecuali proses segera berhenti. Apabila perubahan jaringan akan terjadi

permanen maka akan terjadi keadaan kronis. Tulang dibawahnya dapat terlihat

tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis tulang.17

Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi:

1. Melalui tromboflebitis dari vena yang perforasi

2. Perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau

nekrotik

3. Dengan terjadinya defek

4. Melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakteriemia.

Hidung sebagai salah satu organ yang menonjol pada penyakit alergi,

rinitis kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi, komplikasi


pada obstruksi anatomis karena edema dan akhirnya efek lanjut gangguan

alergenik kronik seperti hipertropi mukosa, dan polyposis.18

2.7 Gejala Klinis Rinosinusitis Kronis

Diagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor

atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. Yang merupakan kriteria

mayor dari rinosinusitis kronis antara lain berupa:16-20

a. Nyeri atau rasa tekan pada bagian wajah di daerah yang terkena merupakan ciri

khas atau refered pain. Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara

atau dibelakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri dahi atau

seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Sedangkan pada sinusitis sfenoid

nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid.

Pada sinusitis maksila kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.13

b. Gejala hidung dan nasofaring berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal

(post nasal drip).

c. Gejala faring yaitu rasa sakit tidak nyaman dan gatal di tenggorok.

d. Terdapat purulen pada pemeriksaan. Pada rinoskopi anterior ditemukan sekret

kental purulen dari meatus medius atau meatus superior sedangkan pada

rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke

tenggorok.

e. Hyposmia atau anosmia.

f. Gejala mata oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.

g. Gejala di saluran cerna oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan

gastroenteritis (sering terjadi pada anak).


Sedangkan kriteria minornya dapat berupa:20-21

a. Nyeri atau sakit kepala.

b. Demam.

c. Halitosis.

d. Kelelahan (fatigue).

e. Sakit gigi (dental pain).

f. Gejala saluran nafas berupa batuk yang kadang-kadang dapat menyebabkan

komplikasi di paru berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial

sehingga terjadi penyakit sinobronkial.

g. Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba

eustachius.

Nyeri kepala pada rinosinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari dan

akan berkurang atau atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui

dengan pasti tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus

dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena.21

Pada sinusitis yang disebabkan oleh jamur para ahli membagi sebagai

bentuk invasif dan non infasif. Sinusitis jamur invasif terbagi menjadi invasif akut

fulminan dan invasif kronik indolen. Sinusitis jamur invasif kronik sering terjadi

pada pasien dengan gangguan imunologik maupun metabolik seperti diabetes

melitus. Sifatnya kronik progresif yang juga bisa menginvasi sampai ke orbita atau

intra kranial tetapi gambarannya tidak sehebat yang fulminan karena perjalanan

penyakitnya lambat. Gejalanya seperti sinusitis bakterial tetapi sekretnya kental

dengan bercak-bercak kehitaman yang bila dilihat dengan mikroskop berupa koloni

jamur.22
Sinusitis jamur non invasif atau misetoma merupakan kumpulan jamur

dalam rongga sinus tanpa invasi kedalam mukosa dan tidak mendestruksi tulang.

Tidak mengenai sinus maksila. Gejala krinis berupa sinusitis kronis dengan rinore

purulen, post nasal drip dan nafas bau. Kadang ada masa jamur di kavum nasi.

Pada operasi dapat ditemukan materi jamur berwarna coklat kehitaman dan kotor

dengan atau tanpa pus di dalam sinus.20

2.8 Diagnosis Rinosinusitis Kronis

Kriteria rinosinusitis akut dan kronis pada penderita dewasa dan anak

berdasarkan gambaran klinik, yaitu:12-15

No Kriteria Rinosinusitis akut Rinosinusitis Kronis

Dewasa Anak Dewasa Anak

1 Lama gejala dan tanda < 12 < 12 > 12 > 12

minggu minggu minggu minggu

2 Jumlah episode serangan

akut, masing-masing < 4 kali / < 6 kali / > 4 kali / > 6 kali /

berlangsung minimal 10 tahun tahun tahun tahun

hari

3 Jumlah episode serangan Dapat sembuh Tidak dapat sembuh

akut, masing-masing sempurna dengan sempurna dengan

berlangsung minimal 10 pengobatan pengobatan

hari medikamentosa medikamentosa

Tabel 2.1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut

International Conference on Sinus Disease 2004


Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of

Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah

rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor

atau lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor atau lebih.19

Berdasarkan kriteria Task Force on Rinosinusitis gejala mayor skor

diberi skor 2 dan gejala minor skor 1 sehingga didapatkan skor gejala klinik

sebagai berikut; Gejala Mayor:16

Nyeri sinus = skor 2

Hidung buntu = skor 2

Ingus purulen = skor 2

Post nasal drip = skor 2

Gangguan penghidu = skor 2

Sedangkan Gejala Minor:

Nyeri kepala = skor 1

Nyeri geraham = skor 1

Nyeri telinga = skor 1

Batuk = skor 1

Demam = skor 1

Halitosis = skor 1
Pengukuran skor total gejala klinik dikelompokkan menjadi dua, yaitu;

sedang-berat (skor 8) dan ringan (skor <8) dengan Skor total gejala klinik:

skala nominal..13

Pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan radiologi, posisi rutin

yang dipakai adalah posisi Waters. Pungsi sinus maksila, sinoskopi sinus

maksila dengan menggunakan endoskop, pemeriksaan histopatologik dari

jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi, pemeriksaan meatus

medius dan meatus superior dengan menggunakan nasoendoskopi dan

pemeriksaan CT-Scan. (Mangunkusumo dan Rifki). Pemeriksaan CTScan

merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada

sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak penebalan

mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu

atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik pada

kasus-kasus kronik yang tidak membaik dengan terapi, rinosinusitis dengan

komplikasi, evaluasi preoperatif dan jika ada dugaan keganasan. Magnetic

Resonance Imaging (MRI) lebih baik daripada tomografi komputer dalam

resolusi jaringan lunak dan sangat baik untuk membedakan rinosinusitis karena

jamur, neoplasma dan perluasan intrakanialnya, namun resolusi tulang tidak

tergambar baik dan harganya mahal.14

Selain score tersebut diatas juga dapat menggunakan VAS (visual

analog score) dimana setelah menggunakan VAS score dapat dilanjutkan

dengan menggunakan alur diagnostik dan terapi sesuai European Position

Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis.

Keluhan rinosinusitis berdasarkan VAS score dideskripsikan

menjadi ringan, sedang hingga berat.17


Ringan : VAS 0-3

Sedang : VAS > 3-7

Berat : VAS >7-10

Tidak terlalu mengganggu 10cm sangat

mengganggu

2.9.1 Rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi18-21

Gejala lebih dari 12 minggu

Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/

obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):

nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah

penurunan/ hilangnya penghidu

Pemeriksaan

Nasoendoskopi tidak terlihat adanya polip di meatus medius jika diperlukan

setelah pemberian dekongestan. Definisi ini menerima bahwa terdapat

spektrum dari rinosinusitis kronik termasuk perubahan polipoid pada sinus dan

atau meatus medius tetapi menyingkirkan penyakit polipoid yang terdapat

pada rongga hidung untuk menghindari tumpang tindih.

melakukan evaluasi diagnosis dan penatalaksanaan dari pelayanan kesehatan

primer

mengisi kuesioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes alergi bila belum

dilakukan penatalaksanaan harus berdasarkan keparahan gejala

tentukan tingkat keparahan gejala menggunakan VAS


2.9.2 Rhinosinusitis kronik dengan polip nasi20

Gejala selama lebih dari 12 minggu

Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/

obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):

nyeri wajah / rasa tertekan di wajah

penurunan/ hilangnya penghidu

Pemeriksaan

Nasoendoskopi polip bilateral yang terlihat dari meatus medius dengan

menggunakan endoskopi

Melakukan evaluasi diagnosis dan penatalaksanaan dari pelayanan kesehatan

primer
Mengisi kuesioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes alergi bila belum

dilakukan

Tingkat Keparahan Gejala

(dinilai berdasar skor VAS) ringan/ sedang/ berat

2.10 Komplikasi Rinosinusitis Kronis17-20

Komplikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak

ditemukannya antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada rinosinusitis

kronis dengan eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi ialah

osteomielitis dan abses subperiostal, kelainan orbita, kelainan intrakranial dan

kelainan paru.
Osteomielitis dan abses subperiostal penyebab terseringnya pada

tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat

berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil dan biasanya

ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul

fistula oroantral.

Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan

dengan mata (orbita). Karena pada hakekatnya mata merupakan struktur yang

dikelilingi pada 3 sisi oleh sinus-sinus, frontalis di atas, etmoidalis di medial

dan maksilaris di bawah, maka keadaan yang melibatkan sinus-sinus ini dapat

meluas untuk melibatkan isi orbita. Yang paling sering adalah sinusitis frontal

dan maksila.18 Penyebaran infeksi terjadi melalui duktus nasolakrimalis,

tromboflebitis dan perkontinuitatum. Selain itu juga semua sinus mempunyai

hubungan sirkulasi di mata melalui pembuluh pterigodea serta cabang-cabang

arteri yang mempunyai nama yang sama pada setiap sinusnya yang berjalan

berdampingan dengan vena yang menghubungkannya dengan mata. Seperti

cabang sfenopalatina dari arteri maksilaris interna menyuplai konka, meatus

dan septum. Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika

menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus

maksilaris diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang

infraorbitalis serta alveolaris dari arteri maksilaris interna dan cabang

faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis.

Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah

membrana mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media dan inferior

serta bagian bawah septum di mana ia membentuk jaringan erektil.19 Drainase

vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina,


seperti pada vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena

oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Untuk persarafannya

yang terlibat langsung adalah termasuk juga divisi oftalmikus misalnya bagian

depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus

etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasolabialis yang

berasal dari nervous oftalmikus. Pada sfenoid dapat pula timbul gejala pada

mata tetapi hanya karena hubungannya dengan sinus kavernosus tempat

lewatnya saraf otak ketiga (okulomotorius), keempat (troklearis), kelima

(trigeminus) dan keenam (abdusens) Kelainan yang dapat timbul antara lain:

a. Selulitis orbita: edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi

isi orbita namun pus belum terbentuk.

b. Abses subperiosteal: pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang

orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

c. Abses orbita: pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi

orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan

unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang

tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita juga

proptosis yang makin bertambah.

d. Trombosis sinus kavernosus: merupakan akibat penyebaran bakteri melalui

saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu

tromboflebitis septik, dan yang selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus

kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.20


Kelainan intrakranial yang dimaksud dapat berupa:22

a. Meningitis akut: salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah

meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang

saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan seperti lewat dinding

posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel

udara etmoidalis.

b. Abses dura: adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium

sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat sehingga

pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu

menimbulkan tekanan intra kranial.

c. Abses subdural: adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau

permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.

d. Abses otak: setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka

dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.

2.11 Terapi Rinosinusitis Kronis17

Penanganan rinosinusitis kronis dapat dilakukan dengan cara konservatif dan

operatif dengan tujuan untuk membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas sekret

dan mengeradikasi kuman. Jika telah ditemukan faktor predisposisinya maka dapat

dilakukan tata laksana yang sesuai yaitu dengan penanganan konservatif, dengan

pemberian antibiotika yang sesuai untuk mengatasi infeksinya serta obat-obatan

simptomatis lainnya seperti analgetik berupa aspirin atau preparat kodein dan

kompres hangat pada wajah juga dapat membantu untuk menghilangkan rasa sakit

tersebut. Dekongestan misalnya pseudoefedrin, dan tetes hidung poten seperti

fenilefrin dan oksimetazolin cukup bermanfaat untuk mengurangi udem sehingga


dapat terjadi drainase sinus. Terapi pendukung lainnya seperti mukolitik, antipiretik

dan antihistamin. 15-21

Adapun antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis, diantaranya dapat

dilihat pada tabel dibawah ini:20-22

Agen Antibiotika Dosis

SINUSITIS AKUT

Lini pertama

Amoksisilin Anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam 3

dosis

Dewasa: 3 x 500 mg

Kotrimoxazol Anak: 6 - 12 mg TMP/ 30 60 mg SMX/

kg/hari terbagi dlm 2 dosis

Dewasa: 2 x 2 tab dewasa

Eritromisin Anak: 30-50mg/kg/hari terbagi setiap 6

jam

Dewasa: 4 x 250-500mg

Doksisiklin Dewasa: 2 x 100 mg

Lini kedua

Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2

dosis

Dewasa: 2 x 875 mg

Cefuroksim 2 x 500 mg

Klaritromisin Anak: 15 mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis

Dewasa: 2 x 250 mg

Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1x250 mg selama 4


hari berikutnya.

Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500 mg

SINUSITIS KRONIK

Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2

dosis

Dewasa: 2 x 875 mg

Azitromisin Anak: 10 mg/kg pada hari 1 diikuti

5mg/kg selama 4 hari berikutnya

Dewasa: 1 x 500 mg, kemudian 1 x

250mg selama 4 hari

Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500mg

Antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis

Selain itu, dapat juga dibantu dengan diatermi gelombang pendek (Ultra Short

Wave Diathermy) selama 10 hari di daerah sinus yang sakit. Tindakan ini membantu

memperbaiki drainase dan pembersihan sekret dari sinus yang sakit. Untuk sinusitis

maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus sedangkan untuk sinusitis etmoid, frontal

atau sfenoid dilakukan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian sinus dilakukan 2 kali

dalam seminggu. Bila setelah 5 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap

banyak sekret purulen berarti mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal

(perubahan irreversibel), maka dapat dilakukan operasi radikal untuk menghindari

komplikasi lanjutan. Untuk mengetahui perubahan mukosa masih reversibel atau

tidak dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan sinoskopi untuk melihat antrum sinus

maksila secara langsung dengan menggunakan endoskopi.13


Bila penanganan konservatif gagal maka dilakukan terapi operatif yaitu dengan

cara mengangkat mukosa sinus yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang

terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc sedangkan untuk sinus

etmoid dilakukan etmoidektomi yang biasa dilakukan dari dalam hidung (intranasal)

atau dari luar (ekstranasal).18

Namun, akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan

menggunakan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang sehingga saat

operasi kta dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi pada rongga-

rongga sinus. Jaringan patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan normal dan

ostium sinus yang tersumbat diperlebar yang disebut dengan Bedah Sinus Endoskopik

Fungsional (BSEF). Prinsipnya adalah membuka dan membersihkan daerah

kompleks ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga

ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui osteum alami. Dengan

demikian sinus akan kembali normal.15-17

POLIP NASI

Definisi Polip Nasi

Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan
licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Polip nasi bukan
merupakan penyakit tersendiri tapi merupakan manifestasi klinik dari berbagai
macam penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rhinitis alergi, fibrosis
kistik dan asma.23

Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2 :23

1. Polip eusinofilik

Polip jenis ini biasanya disebabkan proses hipersensitivitas atau alergi.


2. Polip neutrofilik

Polip jenis ini biasanya disebabkan oleh proses inflamasi non-alergi.

Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung cairan di dalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, agak transparan, permukaan licin mengkilat, bertangkai,
yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Tempat asal tumbuh polip terutama dari
kompleks ostio-meatal di meatus medius dam sinus etmoid.24
Polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring disebut polip koana.
Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip
antro-koana.24-25
Polip nasi terbagi menjadi 4 stadium 25:
Stadium 0: tidak ada polip
Stadium 1: polip terbatas dalam meatus media tidak keluar ke rongga hidung
tidak tampak dengan pemeriksaan rinoskopi anterior hanya terlihat dengan
nasoendoskopi.
Stadium 2: polip sudah keluar dari meatus media dan tampak dirongga hidung
tetapi tidak memenuhi /menutupi rongga hidung.
Stadium 3: polip sudah memenuhi rongga hidung.

Gambaran Polip Nasi

1. EPIDEMIOLOGI
Polip nasi ditemukan 1-4% dari total populasi, 36% penderita dengan
intoleransi aspirin, 7% pada penderita asma. Polip pada dewasa berkisar 1-4%
sedangkan 0,1% ditemukan pada anak-anak. Polip nasi terutama ditemukan
pada laki-laki dibanding wanita dengan rasio 2,4:1. Biasanya terjadi setelah
umur 20 tahun dan banyak pada umur 40 tahun ke atas.22
Polip antrokoanal meliputi 4-6% dari seluruh polip nasal,
merupakan jenis polip nasal yang banyak ditemukan pada anak dan usia
muda, 33% polip nasal pada anak adalah polip antrokoanal. Distribusi
umur penderita polip antrokoanal adalah antara 7 sampai 75 tahun,
dengan umur rata-rata 20 tahun. Rasio kejadian antara pria dan wanita
adalah 1.31.5 : 1.623
2. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau
reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip
hidung belum diketahui dengan pasti tetapi infeksi dalam hidung atau sinus
paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal
dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang
kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip
banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil)
dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya
ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak anak. Pada anak anak,
polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis (mucoviscidosis).24
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip, antara lain:
Alergi terutama rinitis alergi
Sinusitis kronik
Iritasi
Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan
hipertrofi konka
Beberapa teori tentang pembentukan polip yaitu:

1. Ketidakseimbangan vasomotor25
Teori ini tersirat karena mayoritas polip hidung pasien tidak atopik dan tidak ada
alergen yang jelas yang dapat ditemukan. Pasien sering memiliki periode prodomal
rhinitis sebelum terjadinya polip. Polip hidung sering memiliki vaskularisasi yang
buruk tidak memiliki persarafan vasokonstriktor. Vaskular terganggu peraturan dan
permeabilitas pembuluh darah meningkat dapat menyebabkan edema dan
pembentukan polip.
2. Alergi 26
Alergi dicurigai karena 3 faktor yaitu mayoritas nasal polip mempunyai eosinofil,
berhubungan dengan asma, dan mempunyai gejala dan tanda mirip dengan alergi
3. Fenomena Bernoulli
Hasil Fenomena Bernoulli dalam Penurunan tekanan yang menyebabkan
vasokonstriksi. Tampaknya bahwa tekanan negatif menginduksi mukosa yang
meradang pada rongga hidung mengakibatkan pembentukan polip. Jika ini satu-
satunya faktor, mukosa terdekat katup hidung akan membentuk polypoidal.
4. Teori Ruptur Epitel
Rupturnya epitel mukosa hidung akibat alergi atau infeksi dapat menyebabkan prolaps
mukosa lamina propria sehingga polip terbentuk. Mungkin cacat diperbesar oleh efek
gravitasi atau obstruksi drainase vena.
5. Intoleransi Aspirin
Banyak konsep yang canggih untuk menjelaskan patogenesis intoleransi aspirin dan
asosiasi dengan polip hidung. Sebuah entitas klinis terkenal yang merupakan produk
dari tiga kondisi: asma, aspirin sensitivitas dan polip hidung. Ini adalah sindrom klinis
yang berbeda, ditandai dengan presipitasi serangan rhinitis dan asma oleh aspirin dan
kebanyakan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID). Rinitis persisten muncul
di usia rata-rata 30 tahun, maka asma, intoleransi aspirin, dan hidung polip. COX1
atau COX2 mungkin lebih rentan terhadap ASA atau bisa menghasilkan metabolit
yang tidak diketahui yang merangsang cysteinyl leukotrien (Cys-LT). Metabolisme
asam arakidonat merangsang jalur inflamasi leukotrien. Hal ini menyebabkan
penurunan di tingkat PGE2, PG antiinflamasi. LTC4 sintase berlebih selanjutnya akan
meningkatkan jumlah dari LTS cysteinyl, memiringkan keseimbangan ke arah
peradangan. Hal ini dapat berkontribusi untuk respon peradangan tidak terkendali dan
peradangan kronis.
6. Cystic fibrosis27
Cystic fibrosis adalah merupakan gangguan autosomal resesif populasi kulit putih.
Cystic fibrosis disebabkan oleh mutasi pada gen tunggal pada kromosom 7, nama
transmembran cystic fibrosis regulator (CFTR). Hal ini menyebabkan adanya siklik
AMP-regulated saluran klorida dan abnormal regulasi natrium, klorida menghasilkan
impermeabilitas dan penyerapan natrium meningkat. Poeningkatan penyerapan
natrium dan penurunan sekresi klorida menyebabkan pergerakan cairan ke dalam sel
dan ruang interstitial yang menyebabkan retensi cairan, pembentukan polip, dan
dehidrasi.
7. Nitrat oksida
Oksida nitrat adalah gas radikal bebas, yang dihasilkan dari L-arginin oleh keluarga
enzim oksida nitrat synthases (Noss). Nitrat oksida memainkan peran utama dalam
reaksi imun spesifik, regulasi vaskular, pertahanan tubuh, dan peradangan jaringan.
Radikal bebas dipertahankan dalam keseimbangan oleh sistem pertahanan antioksidan
superoksida dismutase (SOD) peroksidase, katalase dan glutation. Meskipun transien,
radikal bebas bisa membanjiri antioksidan yang mengakibatkan kerusakan sel, cedera
jaringan dan penyakit kronis. Karlidag et al melaporkan peningkatan dalam kadar
oksida nitrat dan penurunan enzim (SOD) pada pasien polip hidung dibandingkan
dengan kontrol, menunjukkan adanya radikal bebasyang menyebabkan kerusakan
pada polip hidung.
8. Infeksi
Peran infeksi dianggap penting dalam pembentukan polip. Ini didasarkan pada model
eksperimental di mana terdapat gangguan epitel dengan proliferasi jaringan diinisiasi
oleh infeksi bakteri seperti Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau
Bacteroides fragilis (semua umum patogen dalam rinosinusitis) atau Pseudomonas
aeruginosa, yang sering ditemukan dalam cystic fibrosis.
9. Hipotesis superantigen
Staphylococcus aureus terdapat pada musin polip hidung pada sekitar 60 sampai 70%.
Organisme ini selalu menghasilkan toxin, Staphylococcus enterotoxin A (SEA),
Staphylococcus enterotoxin B (SEB) dan Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1),
yang mungkin bertindak sebagai superantigens, menyebabkan aktivasi dan klon
perluasan dari limfosit dengan dalam dinding lateral hidung. Ini diaktifkan limfosit
menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 baik (IFN-, IL-2, IL-4, IL-5), menyebabkan
penyakit kronis lymphocyticeosinophilic. Antibodi IgE spesifik untuk SEA dan SEB
terdeteksi pada 50% dari hidung jaringan polip dan antibodi IgE spesifik dalam serum
untuk stafilokokus (SEB, TSST) ditemukan pada 78% dari polip hidung.
10. Infeksi jamur22
Elemen jamur dihirup menjadi terperangkap dalam lendir sinonasal, menyebabkan
eosinofil bergeser dari mukosa pernafasan ke lumen oleh mekanisme yang belum
diketahui. Selama proses ini, mereka memproduksi mediator yang mengakibatkan
peradangan pada mukosa. Elemen jamur ditemukan pada histologi pada 82% pasien
rinosinusitis kronis menjalani operasi sinus.
11. Predisposisi genetik
Etiologi genetik dicurigai dalam pengembangan dari poliposis hidung berdasarkan
agregasi keluarga. Cystic fibrosis merupakan resesif autosomal yang berhubungan
dengan mutasi gen CFTR dalam wilayah Q31 pada lengan panjang kromosom 7.
HLA-DR dinyatakan pada permukaan sel-sel inflamasi paranasal pada mukosa dan
polip hidung. Orang dengan HLA-DR7-DQA1 dan HLA-DQB1 haplotipe memiliki
dua atau tiga kali lebih tinggi untuk mengembangkan polip hidung.
12. Komposisi Selular
Pada sebagian besar polip hidung, eosinofil terdiri lebih dari 60% dari populasi sel,
kecuali di cystic fibrosis. Ada adalah peningkatan sel T CD8+ diaktifkan oleh sel T
mendominasi lebih dibandingkan CD4+. Mast sel dan plasma sel juga meningkat
dibandingkan dengan mukosa hidung yang normal.
13. Kimia mediator22
Selain infiltrasi sel inflamasi meningkat, peningkatan ekspresi dan produksi varietas
sitokin proinflamasi dan kemokin telah telah dilaporkan dalam polip hidung.
Histamine nyata meningkat pada polip hidung, melebihi tingkat 4000 ng/ml.
Peningkatan produksi granulosit/macrophage colony-stimulating factor, IL-5,
RANTES dan eotaxin dapat berkontribusi untuk migrasi eosinofil. Peningkatan kadar
IL-8 dapat menginduksi infiltrasi neutrofil. Meningkatkan ekspresi faktor
pertumbuhan endotel vaskular dan upregulationnya dengan mengubah faktor
pertumbuhan-[beta] yang dapat berkontribusi edema dan angiogenesis dalam polip
hidung. IgA dan IgE juga meningkat pada hidung polip. Selain itu, produksi lokal IgE
dalam polip hidung dapat berkontribusi pada kekambuhan polip hidung melalui IgE-
sel mast-Fc RI [epsilon] kaskade.
Mekanisme rhinis alergi menyebabkan rhinosinusitis kronik hingga akhirnya menjadi
polip nasi 11,15,24,27
Reaksi alergi/hipersenitifitas karena kontak dengan allergen

Makrofag menangkap allergen dan zat iritan (pasien merokok) yang menempel di
mukosa hidung

Terbentuk antigen, pelepasan mediator inflamasi, produksi IgE

Histamin menyebabkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin serta
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi,
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore

Dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel
pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basalis, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinophil dan neutrofil pada
jaringan mukosa dan submukosa hidung.

Serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten), lama kelamaan terjadi perubahan


ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga
tampak mukosa hidung menebal dan edema.

Silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan sehingga terjadi
gangguan drainase dan ventilasi sinus (khususnya di daerah KOM) sehingga
terjadi sumbatan

Sumbatan ini berlangsung berulang atau terus-menerus -> rinosinusitis kronik

Timbul infeksi oleh bakteri aerob maupun anaerob produksi toksin yang merusak
silia/inflamasi mukosa.

Perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip.

Mengganggu drainase -> rhinosinusitis kronik

1. Patofisiologi23
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan
terdapat di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan
interseluler, sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses
terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan
turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk
polip.
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab
tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang
lama, vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema
mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada
akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus
maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terrus membesar di antrum,
akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret
yang berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis
alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak
terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen
terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus
membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media.25
Reaksi Alergi/Hipersensitivitas

Edema mukosa nasal


(Pembengkakan mukosa hidung)

Persisten

Polip Hidung

Ggn. Pola nafas

3. Diagnosis26
A. Anamnesis & manifestasi klinis
Keluhan penderita polip nasi :
- Hidung tersumbat dari ringan sampai berat
- Rinore/meler mulai dari jernih sampai purulent
- Hiposmia atau anosmia
- Bersin-berin
- Rasa nyeri pada hidung
- Sakit kepala di daerah frontal
- Post nasal drip
- Bernapas melalui mulut
- Suara sengau
- Halitosis
- Gangguan tidur
- Batuk kronis
- Mengi pada penderita dengan asma
- Riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi aspirin,
obat, atau makanan
B. Pemeriksaan Fisik27

1. Inspeksi
Polip yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung

Rinoskopi Anterior

Memperlihatkan massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius
yang mudah digerakkan. Berwarna putih keabuan, permukaan licin,
berbentung lonjong atau bulat, lobular, dapat tunggal atau multiple,
bertangkai, dan tidak nyeri. Warna polip yang pucat disebabkan banyak
mengandung cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila iritasi kronis
atau proses peradangan warna polip dapat kemerahan atau bahkan kekuningan
karena mengandung banyak jaringan ikat. Tampak sekret mukus dan polip
multipel atau soliter. Polip kadang perlu dibedakan dengan konka nasi
inferior, yakni dengan cara memasukan kapas yang dibasahi dengan larutan
efedrin 1% (vasokonstriktor), konka nasi yang berisi banyak pembuluh darah
akan mengecil, sedangkan polip tidak mengecil. Polip dapat diobservasi
berasal dari daerah sinus etmoidalis, ostium sinus maksilaris atau dari septum

3. Rinoskopi Posterior

Kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada kalanya


berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian superior, yang
menandakan adanya rinosinusitis.25

4. Nasoendoskopi
Adanya fasilitas nasoendoskopi akan sangat membantu diagnosis kasus baru.
Polip stadium awal tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi
tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga
sering dapat terlihat tangkai polip yang berasal dari ostium assesorius sinus
maksila.

Pemeriksaan Penunjang

Foto polos sinus paranasal ( posisi waters, lateral, Caldwell dan AP) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam
sinus, tetapi sebenarnya kurang bermanfaat pada kasus polip nasi karena dapat
memberikan kesan positif palsu atau negative palsu dan tidak dapat
memberikan informasi mengenai keadaan dinding lateral hidung dan variasi
anatomis di daerah kompleks osteomeatal. Pemeriksaan tomografi computer
sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus
paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan
pada kompleks osteomeatal. 22

6. Tes alergi23

Evaluasi alergi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat alergi


lingkungan atau riwayat alergi pada keluarganya.

7. Laboratorium23
Untuk membedakan sinusitis alergi atau non alergi. Pada sunisitis alergi
ditemukan eosinofil pada swab hidung, sedang pada non alergi ditemukannya
neutrofil yang menandakan adanya sinusitis kronis.

Stadium Polip Nasal

Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997) : 24

Stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius


Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius tapi belum memenuhi
rongga hidung
Stadium 3 : polip yang masif
Mikroskopis polip
Tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu epitel
bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri dari
limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil, dan makrofag. Mukosa mengandung sel
goblet. Pembuluh darah, saraf, dan kelenjar sangat sedikit. Polip sudah lama dapat
mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel
transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.

Diagnosis Banding

Polip didiagnosis bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri cirinya


sebagai berikut : 25

Tidak bertangkai
Sukar digerakkan
Nyeri bila ditekan dengan pinset
Mudah berdarah
Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip
dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati
hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa
menyebabkan vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah yang berbahaya
pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya.

Penatalaksanaan

Karena etiologi yang mendasari pada polip nasi adalah reaksi inflamasi, maka
penatalaksanaan medis ditujukan untuk mpengobatan yang tidak spesifik. Pada terapi
medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid dapat diberikan secara
sistemik ataupun intranasal.23

Pemberian kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis tinggi dalam waktu


yang singkat, dan pemberiannya perlu memperhatikan efek samping dan
kontraindikasi. Kortikosteroid oral adalah pengbatan paling efektif untuk pengobatan
jangka pendek dari polip nasi, dan kortikosteroid oral memiliki efektivitas paling baik
dalam mengurangi inflamasi polip.22
Kortikosteroid juga dapat diberikan secara intranasal dalam bentuk spray
steroid, yang dapat mengurangi atau menurunkan pertumbuhan polip nasi yang kecil,
tetapi secara relatif tidak efektis untuk polip yang masif. Steroid intranasal paling
efektif pada periode post operatif untuk mencegah atau megurangi relaps.24

Pengobatan juga dapat ditujukan untuk mengurangi reaksi alergi pada polip
yang dihubungkan dengan rhinitis alergi. Pada penderita dapat diberikan antihistamin
oral untuk mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi. Bila telah terjadi infeksi yang
ditandai dengan adanya sekret yang mukopurulen maka dapat diberikan antibiotik.

Pengobatan Medis polip nasal sebagai berikut : 25

Steroid oral dan topikal di berikan pada pengobatan pertama pada nasal polip.
Antihistamin, dekongestan dan sodium cromolyn memberikan sedikit
keuntungan. Imunoterapi mungkin dapat berguna untuk pengobatan rhinitis
alergi, tapi bila di gunakan sendirian, ak dapat berguna pada polip yang telah
ada, pemberian antibiotik bila terjadi superimposed infeksi bakteri.
Kortikosteroid adalah pengobatan pilihan, baik secara topikal maupun
sistemik. Injeksi langsung pada polip menunjukkan berkurangnya
pertumbuhan polip dan berkurangnya gejala pada hidung dibandingkan
dengan pengobatan intranasal. Injeksi steroid intrapolip ini merupakan
pengobatan alternatif yang aman pada pasien tertentu tapi masih dibutuhkan
penelitian lebih lanjut. Tapi tindakan ini kemudian tidak dibenarkan oleh Food
and Drug Administration karena dilaporkan terdapat 3 pasien dengan
kehilangan penglihatan unilateral setelah injeksi intranasal langsung dengan
kenalog. Keamanan mungkin tergantung pada ukuran spesifik partikel. Berat
molekuler yang besar seperti Aristocort lebih aman dan sepertinya sedikit
yang di pindahkan ke area intrakranial. Hindari injeksi langsung ke dalam
pembuluh darah. 26
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga
polipektomi medikamentosa.Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan
kortikosteroid intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan
ini diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau
tidak ada perbaikan maka diberikan juga kortikosteroid sistemik. Perlu
diperhatikan bahwa kortikosteroid intranasal mungkin harganya mahal dan
tidak terjangkau oleh sebagian pasien, sehingga dalam keadaan demikian
langsung diberikan kortikosteroid oral. Dosis kortikosteroid saat ini belum ada
ketentuan yang baku, pemberian masih secara empirik misalnya diberikan
Prednison 30 mg per hari selama seminggu dilanjutkan dengan 15 mg per hari
selama seminggu. Menurut van Camp dan Clement dikutip dari Mygind dan,
Lidholdt untuk polip dapat diberikan prednisolon dengan dosis total 570 mg
yang dibagi dalam beberapa dosis, yaitu 60 mg/hari selama 4 hari, kemudian
dilakukan tapering off 5 mg per hari. Menurut Naclerio. pemberian
kortikosteroid tidak boleh lebih dari 4 kali dalam setahun. Pemberian suntikan
kortikosteroid intrapolip sekarang tidak dianjurkan lagi mengingat bahayanya
dapat menyebabkan kebutaan akibat emboli. Kalau ada tanda-tanda infeksi
harus diberikan juga antibiotik. Pemberian antibiotik pada kasus polip dengan
sinusitis sekurang-kurangnya selama 10-14 hari.27
Respon dengan kortikosteroid tergambar dari ada atau tidaknya eosinofilia,
jadi pasien dengan polip dan rhinitis alergi atau asma seharusnya respon
dengan pengobatam ini. Pasien dengan polip yang sedikit eosinofil mungkin
tidak respon terhadap steroids. Penggunaan steroid oral jangka panjang tidak
direkomendasikan karena efek sampingnya yang merugikan (seperti gangguan
pertumbuhan, Diabetes Melitus, hipertensi, gangguan psikis, gangguan
pencernaan, katarak, glukoma, osteoporosis) 25
Pemberian steroid topikal untuk polip nasal, sebagai pengobatan primer atau
pengobatan lanjutan mengikuti pemberian per oral, atau bedah. Banyak steroid
nasal (seperti ; flucitason, beclomethasone, budesonide) efektik untuk
menurunkan gejala subjektif, dan meningkatkan aliran udara di hidung ketika
dipastikan secara objektif. 26
Pemberian topikal kortikosteroid di beriakan secara umum karena lebih sedikit
efek yang merugikan dibandingkan pemberian sistemik karena
bioavaibilitasnya yang terbatas. Pemberian jangka panjang khususnya dosis
tinggi dan kombinasi dengan kortikosteroid inhalasi, terdapat resiko
penekanan hipotalamus-pituari-adrenal aksis, pembentuakan katarak,
gangguan pertumbuhan, perdarahan hidung, dan pada jarang kasus terjadi
perforasi septum. 25
Inhibitor Leukotrien : Leukotrien dibentuk selama pemecahan asam
arachidonat oleh enzim 5-lipoxigenase. Mereka merupakan mediator inflamasi
yang berperan dalam patogenesis asma, rhinitis alergi, dan polip nasal.
Hasilnya mereka menjadi target modulasi terapi. Penelitian baru-baru ini
mengenai penghambatan sintesis leukotrien menunjukkan peningkatkan aliran
udara dalam hidung dan pengecilan polip nasal yang dibuktikan dengan
endoskopi dan studi imaging. Penggunaan inhibitor leukotrien ini
menunjukkan hasil maksimal pada penderita dengan rhinitis alergi
konkomitan dan polip nasal eosinofilik.23
Obat-obatan lain : obat-obatan lain yang mungkin digunakan dalam
pengobatan polip nasal adalah antibiotic makrolid, terapi diuretic topical, dan
asam asetilsalisilat-lisin intranasal.

Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip
yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Pembedahan dilakukan jika
Polip menghalangi saluran pernafasan, menghalangi drainase dari sinus sehingga
sering terjadi infeksi sinus, atau berhubungan dengan tumor.22

Terapi bedah yang dipilih tergantung dari luasnya penyakit (besarnya polip dan
adanya sinusitis yang menyertainya), fasilitas alat yang tersedia dan kemampuan
dokter yang menangani. Macamnya operasi mulai dari polipektomi intranasal
menggunakan jerat (snare) kawat dan/ polipektomi intranasal dengan cunam (forseps)
yang dapat dilakukan di ruang tindakan unit rawat jalan dengan analgesi lokal;
etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid; operasi
Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop
maka dapat dilakukan tindakan endoskopi untuk polipektomi saja, atau disertai
unsinektomi atau lebih luas lagi disertai pengangkatan bula etmoid sampai Bedah
Sinus Endoskopik Fungsional lengkap, yaitu membantu operasi polipektomi
endoskopik ialah microdebrider (powered instrument) yaitu alat yang dapat
menghancurkan dan mengisap jaringan polip sehingga operasi dapat berlangsung
cepat dengan trauma yang minimal.25-27

Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan dengan


menggunakan senar polip dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar tetapi belum
memadati rongga hidung. Polipektomi sederhana cukup efektif untuk memperbaiki
gejala pada hidung, khususnya pada kasus polip yang tersembunyi atau polip yang
sedikit. Bedah sinus endoskopik (Endoscopic Sinus Surgery) merupakan teknik yang
lebih baik yang tidak hanya membuang polip tapi juga membuka celah di meatus
media, yang merupakan tempat asal polip yang tersering sehingga akan membantu
mengurangi angka kekambuhan. Surgical micro debridement merupakan prosedur
yang lebih aman dan cepat, pemotongan jaringan lebih akurat dan mengurangi
perdarahan dengan visualisasi yang lebih baik.22-25

Prognosis

Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap berlanjut.
Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang multipel. Polip tunggal
yang besar seperti polip antral-koanal jarang terjadi relaps.26-27
Keluhan
Sumbatan hidung dengan 1/> gejala

Massa polip hidung Curiga keganasan


Tentukan stadium Permukaan berbenjol,
mudah berdarah
Jika mungkin : biopsy untuk
tentukan tipe polip dan
Biopsy tatalaksana sesuai
lakukan polipektomi reduksi

Keterangan menentukan
stadium
Stad 2&3 Stad I & 2 Semua Semua
stadium stadium 1. Polip dalam MM (NE)
Terapi Terapi 2. Polip keluar dari MM
tipenetrofili tipenetrofili
bedah medik 3. Polip memenuhi
k terapi k terapi
rongga hidung
bedah medik

Persiapan
pra bedah
Terapi medik :
1. steroid topical dan atau
2. polipektomi medikamentosa dengan cara :
deksametason 12 m (3 Hr) 8 mg (3 Hr)4 mgt (3 Hr)
Methylprednisolon 64 mg 10 mg (10 Hr)
Prednisone 1 mg/ kgbb (10 Hr)

Terapi bedah Tidak ada Perbaikan Perbaikan


perbaikan
mengecil hilang

Tindak lanjut dengan steroid topical sembuh


Pemeriksaan berkala sebaiknya dengan NE

Polip rekuren :

Cari faktor alergi


Steroid topical
Steroid oral tidak lebih 3-4x/ tahun
Kaustik
Operasi ulang
Bagan 1: Penatalaksanaan Polip Nasal
Sumber : Perhati-KL, Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia
ANALISIS KASUS

- Pasien menderita rhinitis alergi dengan manifestasi bersin-bersin makin parah


jika udara dingin/pagi hari atau terkena debu (riwayat alergi dingin/debu) dan
pf tampak konka nasi inferiordextra dan sinistra edema dan livide, tampak
secret bening meatus nasi media

- Rhinitis alergi yang terus menerus menyebabkan terjadinya rhinosinusitis


kronik (gejala timbul lebih dari 12 minggu) dengan manifestasi gejala 2 mayor
dan 1 minor yaitu nyeri pada wajah/frontal kanan, meler secret dari hidung
dan mengalir ke tenggorokan (post nasal drip), dalam 1 bulan terakhir ingus
menjadi kekuningan, adanya gangguan penghidu, dan pemeriksaan foto
rontgen waters tampak kesuraman pada sinus maksilaris dx dan sn, tampak
penebalan mukosa cavum nasi dengan kesan sinusitis maksilaris duplex dd
mukosa polipoid.

Reaksi alergi/hipersenitifitas karena kontak dengan allergen

Makrofag menangkap allergen dan zat iritan (pasien merokok) yang menempel di
mukosa hidung

Terbentuk antigen, pelepasan mediator inflamasi, produksi IgE

Histamin menyebabkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin serta


menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi,
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore

Dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel
pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basalis, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinophil dan neutrofil pada
jaringan mukosa dan submukosa hidung.

Serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten), lama kelamaan terjadi perubahan


ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga
tampak mukosa hidung menebal dan edema.

Silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan sehingga terjadi
gangguan drainase dan ventilasi sinus (khususnya di daerah KOM) sehingga
terjadi sumbatan

Sumbatan ini berlangsung berulang atau terus-menerus -> rinosinusitis kronik

Timbul infeksi oleh bakteri aerob maupun anaerob produksi toksin yang merusak
silia/inflamasi mukosa.

Perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip.

Mengganggu drainase -> rhinosinusitis kronik

TEORI KASUS
Definisi
Polip hidung : massa lunak yang Pasien memiliki massa lunak di
mengandung cairan di dalam rongga rongga hidung berwarna pucat putih
hidung, berwarna putih keabu-abuan, keabuan, licin.
agak transparan, permukaan licin
mengkilat, bertangkai, yang terjadi akibat
inflamasi mukosa.
Epidemiologi
36% dengan intoleransi aspirin, 7% pada Pasien laki-laki berusia 42 tahun
penderita asma. Laki-laki dibanding dengan riwayat rhinitis alergi.
wanita dengan rasio 2,4:1. Biasanya
terjadi setelah umur 20 tahun dan banyak
pada umur 40 tahun ke atas.
Faktor risiko & Etiologi
Alergi terutama rinitis alergi Rhinis Alergi
Sinusitis kronik Yang menjadi rhinosinusitis
Iritasi kronik (inflamasi berulang)
Sumbatan hidung oleh kelainan
anatomi seperti deviasi septum
dan hipertrofi konka

Data Anamnesis
1. Hidung tersumbat dari ringan Keluhan Utama
sampai berat Pilek berulang sejak 5 tahun
2. Rinore/meler mulai dari jernih Keluhan Tambahan
sampai purulent Pilek dengan meler awalnya
3. Hiposmia atau anosmia bening encer
4. Bersin-bersin Bersin-bersin
5. Rasa nyeri pada hidung 1 bulan terakhir, hidung
6. Sakit kepala di daerah frontal menjadi bau dan
7. Post nasal drip mengeluarkan ingus kuning
8. Bernapas melalui mulut berbau
9. Suara sengau Hidung tersumbat
10. Halitosis Nyeri wajah daerah kanan,
11. Gangguan tidur khususnya dahi dan tulang
12. Batuk kronis pipi
13. Mengi pada penderita dengan asma Ada yang mengalir dari
14. Riwayat rhinitis alergi, asma, hidung ke tenggorokan
intoleransi aspirin, obat, atau Penurunan
makanan penghidu/penciuman
Suara bindeng
Gangguan tidur karena
hidung tersumbat
Batuk dengan dahak
kekuningan
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
PF
inspeksi tampak pelebaran ke arah
Deformitas hidung luar sehingga hidung kanan minimal, udara pernapasan
tampak mekar karena pelebaran batang kanan + minimal
hidung Rinoskopi anterior :
Rinoskopi Anterior - konka inferior kanan-kiri
massa yang berwarna pucat yang berasal edema dan livide,
dari meatus medius yang mudah - meatus nadi inferior dan
digerakkan. Berwarna putih keabuan, media sekret bening +
permukaan licin, berbentung lonjong atau - terdapat massa polip dengan
bulat, lobular, dapat tunggal atau permukaan licin, tunggal,
multiple, bertangkai, dan tidak nyeri. berbentuk lonjong, berwarna
Warna polip yang pucat disebabkan pucat, keabuan dan tidak
banyak mengandung cairan dan nyeri di daerah meatus nasi
sedikitnya aliran darah ke polip. Bila media kanan.
iritasi kronis atau proses peradangan - Pada sinus paranasal terdapat
warna polip dapat kemerahan atau bahkan nyeri tekan + pada glabela,
kekuningan karena mengandung banyak supra dan infraorbita dextra.
jaringan ikat. - Terdapat post nasal drip
dinding posterior faring.

Pada pemeriksaan penunjang foto


rontgen waters tampak kesuraman
Foto polos sinus paranasal ( posisi waters, pada sinus maksilaris dx dan sn,
lateral, Caldwell dan AP) dapat tampak penebalan mukosa cavum
memperlihatkan penebalan mukosa dan nasi dengan kesan sinusitis
adanya batas udara cairan di dalam sinus, maksilaris duplex dd mukosa
polipoid.

Tata Laksana
- Polipektomi medikamentosa - Polipektomi (ekstraksi polip) dan
dengan kortikosteroid sistemik atau CWL/Cadwell-Luc telah
topical dilakukan pada 30 Sep 17
- Ekstraksi polip, etmoidektomi - Irigiasi Hidung dan aff tampon
intra/ekstranasal, atau operasi pada H+2 op, H+4 op, H+7
caldwel-luc untuk sinus maksila op, H+11 op
- Terbaik : Bedah sinus endoskopi - Medikamentosa
fungsional o Clindamisin 300 mg 3 dd 1
o Metilprednisolon 8 mg 2 dd 1
tab
o Na diclofena c2 dd 1 tab
o Bufacetin kloramfenicol salep
o Arrays nasal spray 2 dd puff 2
- Menghindari faktor pencetus
alergi, memakai masker, dan
stop merokok
Prognosis
. Ad vitam: Dubia ad bonam Ad vitam: Dubia ad bonam
Ad sanactionam: Dubia ad malam Ad sanactionam: Dubia ad malam
Ad fungsionam: Dubia ad bonam Ad fungsionam: Dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA

1. Sobotta. Atlas of Human Anatomy. Head and neck neuroanatomi. Ed 7th.


2012

2. Netter. Atlas of Human Anatomy. 6th editon. Elsevier 2010

3. Sherwood L. Human physiology. 7th ed. USA: brooks/Cole; 2012.

4. Sembulingam K, Sembulingam P. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi


Kelima. Jilid 1. Jakarta: Karisma. 2013

5. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke


lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.
6. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.
7. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke
delapan. McGrawl-Hill. 2003.
8. Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C. Ear, Nose, and Throat Disease. Edisi
ke dua. Thieme. New York:1994.
9. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of Head and Neck
Surgery-Otolaryngology. 3rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams &
Wilkins. Philadelphia. 273-9. 2000.
10. Krouse, John H. Chadwick, Stephen J. Gordon, Bruce R. Derebery, M.
Jennifer. Allergy and Immunology, An Otolaryngic Approach. Lippincott
Williams&Wilkins. USA. 209-219. 2002.
11. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on
Asthma Initiative).

12. Bachet C, Pawankhar R, Zhang L, Bunnang C, Wokkens WJ, Hammilon


DW et al, ICON: chronic rhinosinusitis. World Allergy Organ J. 2014; 7(1):
25.

13. Munir N, Clark R, Ear nose and throat. 2013.Edisi 1. Hal 46-48. Penerbit
UK

14. American Allergy Asthma and Immunology. Rhinosinusitis. 2015.


http://www.aaaai.org/conditions-and-treatments/conditions-
dictionary/sinuses,-sinusitis,-rhinosinusitis.aspx. Diakses pada tanggal 11
April 2015

15. Stenner M, Rudack C, Diseases of the nose and paranasal sinuses in child.
2014. GMS Curr Top Otorhinolaryngol Head Neck Surg. 2014; 13: Doc10.

16. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,


hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2012.h.150-4.

17. Jungueira LC, Carneiro J, 2003. Histologi Dasar. Edisi 10. Penerbit buku
kedokteran EGC.

18. Bansal M, Diseases of Ear, nose and Throat. 2013. Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) Ltd. Hal : 37-37.

19. Fokkens W, Lund V, Mullol J. European Position Paper on Nasal Polyps.


2007.

20. Hilger, PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Buku ajar penyakit THT. Edisi
keenam. Jakarta; EGC; 1997.h.240-260.

21. Mescher AL, Junqueiras, Basic Histology Text and Atlas. Chapter 17. Edisi
12. 2010.

22. Duggal, NM. Controversies in Medicine: An Integrative Approach to the


Management of Cough and Cold Symptoms in Rhinosinusitis. Terdapat
pada http://integrativemedicinereport.com/intg/intg0101article.html.
Diakses pada tanggal 11 April 2015.

23. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok edisi VI cetakan 1. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2007.h
215,247.
24. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1997.h 123-125.
25. PL Dhingra. Disease of Ear, Nose & Throat. 5th Edition. New Delhi.
Elsevier. 2010. Pg 241.
26. Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan
Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta
2000
27. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea
& Febiger 14th edition. Philadelphia 1991

Anda mungkin juga menyukai