Anda di halaman 1dari 13

Pre dan Intraoperatif Epidural Ropivacaine Tidak Memiliki Efek

Analgesik Preemptif Dini pada Operasi Mayor Tumor


Ginekologis

Marc A. Burmeister MD, Andr Gottschalk MD, Marc Freitag MD, Ernst P. Horn
MD, Corinna Bhme, Cornelia Becker MD, Thomas G. Standl MD

Tujuan: Thoracic Epidural Analgesia (TEA) merupakan suatu teknik yang


digunakan untuk menghilangkan nyeri pasca operasi setelah operasi mayor
abdomen. Tetapi teknik tersebut masih didiskusikan apakah pre-insisi TEA dapat
menurunkan persepsi nyeri pasca operasi atau konsumsi analgesik pasca operasi.

Metode: Penelitian prospektif, acak, dan double-blind saat ini dilakukan untuk
menyelidiki efek TEA intra dan pasca operasi vs. hanya TEA pasca operasi yang
menggunakan ropivacaine 0,375% pada 30 wanita yang dijadwalkan menjalani
operasi mayor tumor abdomen. Sebelum induksi anestesi umum pasien menerima
bolus epidural 10 mL saline pada Kelompok I (GI) dan 10 mL ropivacaine 0,375%
pada Kelompok II (GII) diikuti dengan infus 6 mL/hr dari larutan masing-masing
selama operasi. Pasca operasi semua pasien menerima infus epidural 6 mL/jam
ropivacaine 0,375% selama 24 jam diikuti oleh analgesik epidural yang dikontrol
pasien untuk 72 jam berikutnya. Data operatif, skor nyeri dinamis, konsumsi
anestesi local dan analgesik suplemen standar dianalisis.

Hasil: Tidak ada perbedaan yang terlihat diantara grup yang berhubungan dengan
jumlah dari anastesi lokal pasca operasi yang diperlukan dan analgesik tambahan,
skor nyeri dan efek samping selama 96 jam pertama setelah operasi kecuali
penurunan konsumsi dari sufentanil intra operasi. (GI: 143.2 52.6 vs GII 73.3
32.6 g, P < 0.001).

Kesimpulan: TEA intra operasi dengan ropivacaine 0.375% tidak menurunkan


secara signifikan jumlah dari analgesik yang dibutuhkan setelah operasi mayor
abdominal ginekologis.
Thoracic Epidural Analgesia (TEA) merupakan suatu teknik yang efektif
untuk menurunkan nyeri post operasi pada pasien yang melakukan operasi mayor
abdomen (1-4). Akan tetapi, hasil dari penggunaan TEA post operasi yang
dikombinasikan dengan anastesi umum masih menjadi kontroversi berhubungan
dengan penurunan persepsi nyeri pasca operasi atau konsumsi analgesik pasca
operasi (5-10). Hal ini dapat dijelaskan sebagian dengan varietas tipe dan lokasi
dari operasi (11), atau dengan ada atau tidaknya nyeri sebelum operasi (12). Pada
review publikasi terbaru, Moiniche et al menunjukkan bahwa preemptif epidural
secara kontinu yang diperpanjang hingga periode pasca operasi mungkin memiliki
kapasitas yang lebih baik untuk mengurangi masukan nosiseptif dan oleh karena itu
neuroplatisitas sentral disebabkan tidak hanya karena sayatan dan proses operasi
yang sedang berlangung tapi juga karena adanya inflamasi post operasi (13). Oleh
karena itu studi yang terstandarisasi diperlukan untuk jenis operasi, pasien, dan
perawatan yang berbeda. Penelitian prospektif, acak, dan double-blind saat ini
dilakukan pada 30 wanita yang dijadwalkan untuk operasi tumor ovarium elektif
lanjutan untuk menguji hipotesis bahwa penambahan infus epidural dari
ropivacaine 0.0375% pre dan intraoperatif dapat menurunkan persepsi nyeri pasca
operasi dan kebutuhan analgesik dibandingkan dengan hanya analgesik sistemik
intraoperatif.

Metode
Setelah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Lokal dan Informed
Consent tertulis, 30 wanita (ASA I III, 37 82 th) yang menjalani operasi
abdomen tumor ginekologis mayor karena kanker ovarium diikutkan dalam studi
prospektif, acak, dan double-blinded. Pasien tidak memiliki riwayat kelainan
neurologis, kelainan tulang belakang mayor, atau kelainan koagulasi. Pasien dalam
semua jenis pengobatan analgesik atau nyeri sebelumnya yang menetap dengan
nilai Visual Analogue Scale (VAS) lebih dari 10 mm menggunakan VAS (0 mm =
tidak nyeri, 100 mm = nyeri tidak tertahankan) tidak diikutkan.
Pada hari H operasi pasien mendapatkan pre medikasi secara oral
menggunakan 7.5 mg Midazolam (Hoffman-La Roche, Grenzach-Whylen, Jerman)
60 menit sebelum sampai ke ruang anastesi dimana mereka dimonitor dengan suatu
elektrokardiogram (ECG), pengukur tekanan darah non-invasif dan pulse oximetry.
Diikuti dengan infus iv dari 500 mL dari larutan Ringer kateter epidural torak
dipasang sebelum anastesi umum dilakukan.
Semua pasien sadar pada saat insersi dan pengujian dari kateter
epidural. Dengan pasien pada posisi duduk, infiltrasi kulit dalam dengan 3-5 mL
Lidocaine 1% (AstraZeneca, Wedel, Jerman) dilakukan untuk anastesi lokal
sebelum jarum Tuohy 18-G (B. Braun, Melsungen, Jerman) diinsersikan pada level
T8 1. Setelah loss of resistance didapatkan, 22-G end-hole catheter (B.Braun)
diinsersikan 4 cm di spatium epidural. Dosis uji 3 mL mepivacaine 2%
(AstraZeneca) diinjeksikan setelah aspirasi negatif. Kateter dimasukan secara
subkutan 5 cm di sebelah kanan dan kiri kemudian difiksasi menggunakan satu
jahitan di kulit. Lima menit kemudian, pasien disiapkan secara random untuk
mendapatkan 10 mL NaCL 0.9% pada Grup I (GI) atau 10 mL ropivacaine 0.375%
(AstraZeneca) in Grup II (GII) menggunakan komputer (MS Excel, Microsoft Inc,
Redmond, WA, USA) lewat kateter epidural. Pasien maupun peneliti sama sama
tidak tahu mengenai pengacakan yang dilakukan. Dua puluh menit kemudian
setelah injeksi epidural, anastesi umum dilakukan dengan menggunakan 0.4 g/kg
sufentanil dan 0.25 g/kg etomidate lipuro secara iv (B.Braun). untuk menfasilitasi
intubasi orotrakeal, cisatracurium 0.15 mg/kg (GlaxoSmithKline, Bad Oldesloe,
Jerman) diberikan. Kateter vena sentral diinsersikan lewat ekternal atau internal
vena jugularis. Anastesi dipertahankan menggunakan isoflurane (0.5 vol%, end-
tidal) pada NO2 dan 30% oksigen. Pasien mendapatkan secara berkala bolus
sufentanil untuk analgesik tergantung dari standar kriteria klinis (takikardi > 90
bpm dan MAP > 90 mmHg jika hipovolemi di eksklusi oleh pengukuran tekanan
vena sentral > 5 mmHg). Hingga insisi tidak ada sufentanil tambahan yang
diberikan di kedua grup.
Injeksi pertama segera diikuti dengan infus epidural kontinu 6
mL/jam dari pengobatan masing-masing sampai akhir operasi. Setelah selesai
operasi (akhir penutupan kulit) pasien dari kedua kelompok menerima infus
epidural kontinu 6 mL/jam ropivacaine 0.375% dan dipindahkan ke unit perawatan
intensif (ICU), di mana ventilasi mekanis dihentikan setelah periode stabilisasi
sampai pasien mencapai kriteria ekstubasi yang telah ditentukan sebelumnya (suhu
tubuh 36.5-38.0 C, MAP > 60 mmHg tanpa vasokonstriktor, PaO2 > 80 mmHg
dengan oksigen 30%, tidak ada pendarahan saat pembedahan). Dua puluh empat
jam setelah dimulainya infus epidural, manajemen nyeri diubah dari kontinu ke
analgesik epidural yang dikendalikan pasien (PCEA) dengan Ropivacaine 0.375%
pada kedua kelompok menggunakan pompa infus Graseby 9300 (SIMS, Graseby
Ltd, Watford, Inggris). Tingkat infus basal adalah 4 mL/jam dengan bolus 2 mL
dan selang keluar 15 menit. Selama periode observasi pasca operasi pasien diijinkan
untuk menerima Piritramide iv sebagai analgesik tambahan (15 mg Piritramide
setara dengan 10 mg Morfin), jika rasa sakit saat istirahat > 40 mm pada VAS dan
bolus 2 mL ropivacaine 0,375% yang diperbolehkan tidak bisa mengendalikan rasa
sakit dalam waktu 15 menit.
Kualitas analgesik dinilai oleh ahli anestesi yang buta terhadap perlakukan
tiap grup pada saat istirahat dan selama mobilisasi (duduk di sisi ranjang) 24, 48,
72 dan 96 jam setelah dimulainya infus epidural dengan menggunakan VAS.
Intensitas blok motorik (skala Bromage 0-3), level analgesik tingkat atas dan bawah
(uji pinprick), efek samping (mual, muntah, pruritus, menggigil, disfungsi kandung
kemih), jumlah kumulatif larutan yang diinfuskan, PCEA-boli yang diperlukan dan
diberikan, dan kebutuhan Piritramide tambahan secara kumulatif dicatat. Pasien
dianamnesis dan diperiksa untuk komplikasi atau efek samping yang terkait dengan
anestesi epidural seperti blok motorik yang persisten, disfungsi kandung kemih,
sakit kepala akibat tusukan postdural dan iritasi radikular sampai hari ke tujuh
postoperatif. Kehilangan dan kebutuhan darah dan cairan intraoperatif dicatat.

Perhitungan ukuran sampel dan analisis statistik


Ukuran sampel dihitung berdasarkan data retrospektif dari institusi kami
pada populasi operasi yang sama. Analisis kekuatan dilakukan dengan
menggunakan konsumsi kumulatif dari solusi studi selama empat hari sebagai
variabel hasil primer. Kami menetapkan 6 mL/jam sebagai dosis rata-rata analgesik
epidural. Ini diterjemahkan ke dalam dosis kumulatif 576 mL selama keseluruhan
masa studi yaitu 96 jam. Untuk perhitungan ukuran sampel, kami memutuskan
perbedaan terkecil yang signifikan secara klinis adalah 25% (144 mL) dari jumlah
kumulatif analgesik epidural selama empat hari. Penyimpangan standar gabungan
yang dapat diantisipasi ditetapkan pada 100 mL dosis kumulatif. Kami akan
mengizinkan kesalahan tipe I = 0,05, dan dengan hipotesis alternatif, hipotesis nol
akan dipertahankan dengan kesalahan tipe II = 0,05. Analisis ini mencapai
kekuatan 0,95 dan menunjukkan bahwa diperlukan ukuran sampel minimal 14
pasien per kelompok.
Analisis statistik terkomputerisasi dilakukan dengan menggunakan SPSS
9.0 (SPSS Inc., Chicago, IL, USA) dan Instat 2.1 (Graphpad Inc., San Diego, CA,
USA). Data diberikan sebagai mean SD kecuali dinyatakan lain. Data demografi
dan perioperatif termasuk hemodinamik dan volume infus epidural diuji dengan
menggunakan uji t Student yang tidak berpasangan. Metode statistik termasuk uji
Mann Whitney U untuk nilai VAS, tingkat atas dan bawah dari blok epidural dan
persyaratan piritramide. Pengujian Chi square digunakan untuk efek samping dan
intensitas blok motorik. P < 0,05 dianggap signifikan.

TABEL Variabel demografis dan perioperatif


Grup I Grup II
Nilai P
n = 15 n = 15
Usia (th) 58.3 10.5 57.9 10.1 0.99
Tinggi badan (cm) 165.9 4.9 167.7 5.9 0.99
Berat badan (kg) 65.5 14.7 70.1 16.1 0.87
Status ASA I/II/III 0/13/2 0/14/1 0.64
Durasi operasi (hr) 5.9 1.6 6.4 1.9 0.74
sufentanil iv (g) 143.2 52.6 73.3 32.6 0.01*
Reseksi lambung atau usus halus (%) 66 79 0.68
Kehilangan darah intraoperatif (L) 2.4 1.6 3.2 1.8 0.21
Subtitusi cairan intraoperatif (L)
Ringer lactate 3.8 1.4 4.3 1.7 0.38
Koloid 1.8 0.5 2.1 0.5 0.13
RBC (L) 1.4 1.1 1.3 1.5 0.71
FFP (L) 2.9 3.1 3.0 2.5 0.94
Vasokonstriktor intraoperatif
Theodrenaline + Caphedrine (jumlah pasien) 13 15 0.48
Theodrenaline + Caphedrine (dosis kumulatif mL) 1.3 1.1 1.9 1.6 0.24
(1 mL berisi 100 mg theodrenaline and 5 mg caphedrine)
Infus Norepinephrine (jumlah pasien) 5 5 1.00
Infus Norepinephrine (dosis kumulatif g) 126 276 348 672 0.25
Ventilasi mekanis pasca operasi (min) 215 180 195 200 0.48
Lama tinggal di ICU (hari) 1.4 1.1 1.5 1.1 0.95
Total tinggal di rumah sakit (hari) 14.5 6.1 14.1 3.1 0.83
Semua data berarti SD kecuali jika dinyatakan lain. RBC = red blood cells; FFP = fresh frozen plasma; ICU = intensive care unit.
Hasil
Karakteristik demografi dan hemodinamik intraoperatif
Pasien kedua kelompok tidak memiliki nyeri sebelumnya yang relevan
(GI: 1,7 0,5 vs GII: 1,9 0,3). Semua pasien menjalani operasi standar termasuk
insisi abdomen longitudinal dari simfisis pubis ke ujung bawah sternum, reseksi
radikal ovarium, uterus, nodus limfatikus inguinal dan obturator. Omentum mayor,
metastasis peritoneal, atau bagian lambung atau usus halus direseksi pada 66% dan
79% pasien di masing masing GII dan I.
Seperti ditunjukkan pada Tabel, pasien tidak berbeda dalam karakteristik
demografi seperti usia, tinggi badan, berat badan dan status ASA. Lama operasi,
kehilangan darah intraoperatif, jumlah RBC dan FFP yang di transfusi, lama tinggal
di ICU dan total tinggal di rumah sakit serupa pada kedua kelompok. Dosis
kumulatif sufentanil intraoperatif secara signifikan lebih tinggi pada GI bila
dibandingkan dengan GII. Tidak ada perbedaan yang diamati dalam durasi ventilasi
mekanis pasca operasi. Rincian data perioperatif ditunjukkan pada Tabel. Tingkat
denyut jantung menurun setelah induksi anestesi pada kedua kelompok dan lebih
rendah pada GII pada akhir operasi saja (Gambar 1a). Tekanan darah arterial rata-
rata menurun pada kedua kelompok setelah induksi anestesi umum dan secara
signifikan lebih rendah pada GII vs GI pada saat insisi bedah namun sebanding
selama sisa operasi (Gambar 1b).
GAMBAR 1 a) Detak jantung intraoperatif (HR); dan b) Rerata tekanan arteri (MAP) sebelum pemasangan
kateter epidural (baseline), setelah injeksi epidural pertama (EDA), setelah induksi anestesi umum (GA),
Analgesia
setelah insisi pascaoperasi
bedah (incision), dan setelah 60, 120, 180, 240, 300 menit dan di akhir operasi (mean SD). *
P <0,05 vs Golongan II, P <0,05 vs baseline.
Nilai VAS untuk nyeri postoperatif disajikan pada Gambar 2ab. Tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok saat istirahat atau selama
mobilisasi. Volume kumulatif ropivacaine yang dibutuhkan secara epidural hampir
identik pada kedua kelompok dan di bawah volume maksimal (Gambar 3). Dosis
kumulatif piritramide juga ditunjukkan pada Gambar 3. Meskipun tampaknya ada
kecenderungan konsumsi yang lebih tinggi di GII, perbedaannya tidak signifikan
(P = 0,24 pada akhir periode pengamatan). Sekitar setengah dari pasien di setiap
kelompok menuntut piritramide tambahan. Bagian atas dan bawah blok sensorik
tidak berbeda antar kelompok selama periode pengamatan keseluruhan (kisaran
tingkat atas / bawah pada 24 jam, GI: T4-8 / L1-L3; GII: T5-7 / T12-L2; pada 48
jam GI: T6-9 / T12-L2; GII: T5-9 / T11-L1; pada 72 jam, G1: T6-9 / T12-L1; GII:
T6-9 / T11-L2; pada 96 jam, GI: T6-9 / T12-L2; GII: T7-9 / T11-L1).

GAMBAR 2 Skala analog visual (VAS) untuk rasa nyeri GAMBAR 3 Konsumsi kumulatif ropivacaine epidural
yang dinilai oleh pasien saat istirahat dan selama dan piritramide iv tambahan dari 24 sampai 96 jam
mobilisasi 24 sampai 96 jam setelah operasi (mean setelah operasi (mean SD).
SD).
Efek samping
Blok motorik yang relevan (skala Bromage > 1, tidak dapat mengangkat
lutut melawan gravitasi) diamati pada satu pasien dari kedua kelompok. Pada GII
satu pasien menunjukkan disfungsi motorik (Bromage Grade 2) 48 jam setelah
dimulainya infus epidural yang tidak terdeteksi setelahnya. Pasien di GI
menunjukkan paresis otot quadriceps yang dianggap sebagai iritasi langsung pada
saraf femoralis yang disebabkan oleh reseksi nodus limfatikus iliaka saat operasi.
Tidak ada komplikasi yang terkait dengan anestesi epidural, seperti PDPH atau
iritasi radikuler yang terlihat sampai hari ke tujuh pasca operasi pada salah satu
pasien.

Diskusi
Dalam penelitian ini pemberian secara epidural ropivacaine 0,375% pre
operasi dan intra operasi mengurangi kebutuhan intraoperatif dari sufentanil iv
namun tidak mampu mengurangi nyeri atau kebutuhan analgesik pada periode
pasca operasi awal setelah operasi mayor abdomen pada pasien ginekologi.
Analgesia epidural dengan ropivacaine 0,375% memberikan analgesia post operasi
yang memadai selama 96 jam, hanya analgesik tambahan dosis rendah yang
diperlukan pada kedua kelompok studi. Efek pemberian intra operasi ropivacaine
pada perkembangan nyeri kronis tidak dinilai dalam penelitian kami.
Seperti telah disebutkan, efek analgesik preemptif tampaknya bergantung
pada jenis operasi. Efek analgesik preemptif anestesi epidural yang diberikan
sebagai anastesi lokal pada operasi ginekologi abdomen masih belum jelas. Hasil
kami sesuai dengan temuan Aida et al. yang juga tidak menemukan efek preemptive
analgesia epidural pra operasi pada operasi abdomen dengan menggunakan morfin.
Salah satu alasan utama ketidakefektifan analgesia epidural pada operasi
visceroperitoneal mungkin disebabkan karena adanya inervasi heterosegmental
pada area yang dioperasikan, misalnya inervasi sensorik oleh nervus phrenikus,
karena analgesia epidural hanya mampu menghalangi persarafan segmental oleh
nervus spinalis. Masalah ini tampaknya terjadi terutama pada operasi perut bagian
atas sedangkan pada operasi perut bagian bawah inervasi parasimpatis aferen
berasal dari nervus spinalis bagian sakral yang dapat diblokir melalui jalur spinal.
Ini mungkin bisa menjelaskan efek analgesik preemptif yang dijelaskan untuk
prostatektomi radikal (6,14).
Berbeda dengan aplikasi obat tunggal yang disebutkan di atas, Rockemann
et al. mampu mengurangi konsumsi analgesik pasca operasi dalam penelitian
mereka menggunakan pendekatan multimodal analgesik pra operasi untuk operasi
mayor abdomen (15). Namun demikian, penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid
harus dievaluasi secara kritis, dengan adanya potensi perdarahan mayor.
Alasan lain untuk ketidakefektifan analgesia preemptif bisa disebabkan
oleh rasa nyeri yang sudah ada sebelumnya. Seperti yang dijelaskan oleh Aida et al.
sensitisasi sentral tampaknya sudah ditetapkan oleh nyeri akut atau kronis pra
operasi dan tetap ada sampai penghentian operasi (12). Oleh karena itu, kami hanya
memasukkan pasien dengan skor VAS pra operasi untuk nyeri pada istirahat 10 mm
atau kurang.
Analgesia epidural menghasilkan kebutuhan opioid intra operasi yang
berkurang secara signifikan pada pasien GII dibandingkan dengan GI. Dosis yang
lebih tinggi dari opioid intraoperatif di GI mungkin untuk mengkompensasi
kekurangan blokade epidural, sehingga dapat memberikan efek analgesik
sebanding dengan kombinasi kedua teknik tersebut di GII. Dosis sufentanil
kumulatif yang lebih tinggi di GI tidak menyebabkan penggunaan ventilasi mekanis
yang berkepanjangan dalam kondisi penelitian ini, termasuk pengalihan pasien
yang tersedasi propofol ke ICU dan stabilisasi dari variabel suhu dan kardiosirkular
setelah operasi diperpanjang.
Terlepas dari hasil penelitian yang kontradiktif mengenai analgesia
preemptif dan kurangnya efek dalam meta-analisis oleh Moiniche, konsep analgesia
preemptif masih menjadi topik diskusi intensif (13,16,17). Penyidikan lebih lanjut
mengenai mekanisme strategi pengembangan dan pengobatan diperlukan.
Sebagai kesimpulan pemberian epidural pra dan intra operasi ropivacaine
0,375% tidak menunjukkan efek analgesik preemptif dini pada wanita yang
menjalani operasi tumor abdomen lanjutan.

Ucapan Terima Kasih


Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua rekan dan perawat
ICU dan bangsal ginekologi atas bantuan dan kerja sama yang baik. Kami juga
berterima kasih kepada AstraZeneca atas dukungan teknis mereka selama studi ini.
Referensi
1 Brodner G, Mertes N, Van Aken H, et al. Epidural analgesia with local
anesthetics after abdominal surgery: earlier motor recovery with 0.2%
ropivacaine than 0.175% bupivacaine. Anesth Analg 1999; 88: 12833.
2 Schug SA, Scott DA, Payne J, Mooney PH, Hagglof B. Postoperative analgesia
by continuous extradural infusion of ropivacaine after upper abdominal surgery.
Br J Anaesth 1996; 76: 48791.
3 Scott AM, Starling JR, Ruscher AE, DeLessio ST, Harms BA. Thoracic versus
lumbar epidural anesthesia's effect on pain control and ileus resolution after
restorative proctocolectomy. Surgery 1996; 120: 68897.
4 Scott DA, Chamley DM, Mooney PH, Deam RK, Mark AH, Hagglof B. Epidural
ropivacaine infusion for post-operative analgesia after major lower abdominal
surgerya dose finding study. Anesth Analg 1995; 81: 9826.
5 Katz J, Kavanagh BP, Sandler AN, et al. Preemptive analgesia. Clinical
evidence of neuroplasticity contributing to postoperative pain. Anesthesiology
1992; 77: 43946.
6 Gottschalk A, Smith DS, Jobes DR, et al. Preemptive epidural analgesia and
recovery from radical prostatectomy. A randomized controlled trial. JAMA
1998; 279: 107682.
7 Kundra, Deepalakshmi K, Ravishankar M. Preemptive caudal bupivacaine and
morphine for post- operative analgesia in children. Anesth Analg 1998; 87: 52
6.
8 Kucuk N, Kizilkaya M, Tokdemir M. Preoperative epidural ketamine does not
have a postoperative opioid sparing effect. Anesth Analg 1998; 87: 1036.

9 Kilickan L, Toker K. The effects of preemptive intravenous versus preemptive


epidural morphine on post-operative analgesia and surgical stress response after
orthopaedic procedures. Minerva Anestesiol 2000; 66:64955.
10 Aguilar JL, Rincon R, Domingo V, Espachs P, Preciado MJ, Vidal F. Absence
of an early pre-emptive effect after thoracic extradural bupivacaine in
thoracic surgery. Br J Anaesth 1996; 76: 726.
11 Aida S, Baba H, Yamakura T, Taga K, Fukuda S, Shimoji K. The effectiveness
of preemptive analgesia varies according to the type of surgery: a randomized,
double-blind study. Anesth Analg 1999; 89: 7116.
12 Aida S, Fujihara H, Taga K, Fukuda S, Shimoji K. Involvement of presurgical
pain in preemptive analgesia for orthopedic surgery: a randomized double blind
study. Pain 2000; 84: 16973.
13 Moiniche S, Kehlet H, Dahl JB. A qualitative and quantitative systematic
review of preemptive analgesia for postoperative pain relief. Anesthesiology
2002; 96: 72541.
14 Shir Y, Raja SN, Frank SM. The effect of epidural versus general anesthesia
on postoperative pain and analgesic requirements in patients undergoing
radical prostatectomy. Anesthesiology 1994; 80: 4956.
15 Rockemann MG, Seeling W, Bischof C, Borstinghaus D, Steffen P, Georgieff
M. Prophylactic use of epidural mepivacaine/morphine, systemic diclofenac,
and metamizole reduces postoperative morphine consumption after major
abdominal surgery. Anesthesiology 1996; 84: 102734.
16 Brennan T. Frontiers in translational research. The etiology of incisional and
postoperative pain. Anesthesiology 2002; 97: 5357.
17 Kawamata M, Watanabe H, Nishikawa K, et al. Different mechanisms of
development and maintenance of experimental incision induced hyperalgesia in
human skin. Anesthesiology 2002; 97: 5509.
Journal Reading

Pre dan Intraoperatif Epidural Ropivacaine Tidak Memiliki Efek Analgesik


Preemptif Dini pada Operasi Mayor Tumor Ginekologis

(Pre and intraoperative epidural ropivacaine have no early preemptive


analgesic effect in major gynecological tumour surgery)

Oleh:
Niluh Ayu Anissa Hanum
G99161066

Pembimbing:
dr. H. Heri Dwi Purnomo, Sp.An, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017

Anda mungkin juga menyukai