Marc A. Burmeister MD, Andr Gottschalk MD, Marc Freitag MD, Ernst P. Horn
MD, Corinna Bhme, Cornelia Becker MD, Thomas G. Standl MD
Metode: Penelitian prospektif, acak, dan double-blind saat ini dilakukan untuk
menyelidiki efek TEA intra dan pasca operasi vs. hanya TEA pasca operasi yang
menggunakan ropivacaine 0,375% pada 30 wanita yang dijadwalkan menjalani
operasi mayor tumor abdomen. Sebelum induksi anestesi umum pasien menerima
bolus epidural 10 mL saline pada Kelompok I (GI) dan 10 mL ropivacaine 0,375%
pada Kelompok II (GII) diikuti dengan infus 6 mL/hr dari larutan masing-masing
selama operasi. Pasca operasi semua pasien menerima infus epidural 6 mL/jam
ropivacaine 0,375% selama 24 jam diikuti oleh analgesik epidural yang dikontrol
pasien untuk 72 jam berikutnya. Data operatif, skor nyeri dinamis, konsumsi
anestesi local dan analgesik suplemen standar dianalisis.
Hasil: Tidak ada perbedaan yang terlihat diantara grup yang berhubungan dengan
jumlah dari anastesi lokal pasca operasi yang diperlukan dan analgesik tambahan,
skor nyeri dan efek samping selama 96 jam pertama setelah operasi kecuali
penurunan konsumsi dari sufentanil intra operasi. (GI: 143.2 52.6 vs GII 73.3
32.6 g, P < 0.001).
Metode
Setelah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Lokal dan Informed
Consent tertulis, 30 wanita (ASA I III, 37 82 th) yang menjalani operasi
abdomen tumor ginekologis mayor karena kanker ovarium diikutkan dalam studi
prospektif, acak, dan double-blinded. Pasien tidak memiliki riwayat kelainan
neurologis, kelainan tulang belakang mayor, atau kelainan koagulasi. Pasien dalam
semua jenis pengobatan analgesik atau nyeri sebelumnya yang menetap dengan
nilai Visual Analogue Scale (VAS) lebih dari 10 mm menggunakan VAS (0 mm =
tidak nyeri, 100 mm = nyeri tidak tertahankan) tidak diikutkan.
Pada hari H operasi pasien mendapatkan pre medikasi secara oral
menggunakan 7.5 mg Midazolam (Hoffman-La Roche, Grenzach-Whylen, Jerman)
60 menit sebelum sampai ke ruang anastesi dimana mereka dimonitor dengan suatu
elektrokardiogram (ECG), pengukur tekanan darah non-invasif dan pulse oximetry.
Diikuti dengan infus iv dari 500 mL dari larutan Ringer kateter epidural torak
dipasang sebelum anastesi umum dilakukan.
Semua pasien sadar pada saat insersi dan pengujian dari kateter
epidural. Dengan pasien pada posisi duduk, infiltrasi kulit dalam dengan 3-5 mL
Lidocaine 1% (AstraZeneca, Wedel, Jerman) dilakukan untuk anastesi lokal
sebelum jarum Tuohy 18-G (B. Braun, Melsungen, Jerman) diinsersikan pada level
T8 1. Setelah loss of resistance didapatkan, 22-G end-hole catheter (B.Braun)
diinsersikan 4 cm di spatium epidural. Dosis uji 3 mL mepivacaine 2%
(AstraZeneca) diinjeksikan setelah aspirasi negatif. Kateter dimasukan secara
subkutan 5 cm di sebelah kanan dan kiri kemudian difiksasi menggunakan satu
jahitan di kulit. Lima menit kemudian, pasien disiapkan secara random untuk
mendapatkan 10 mL NaCL 0.9% pada Grup I (GI) atau 10 mL ropivacaine 0.375%
(AstraZeneca) in Grup II (GII) menggunakan komputer (MS Excel, Microsoft Inc,
Redmond, WA, USA) lewat kateter epidural. Pasien maupun peneliti sama sama
tidak tahu mengenai pengacakan yang dilakukan. Dua puluh menit kemudian
setelah injeksi epidural, anastesi umum dilakukan dengan menggunakan 0.4 g/kg
sufentanil dan 0.25 g/kg etomidate lipuro secara iv (B.Braun). untuk menfasilitasi
intubasi orotrakeal, cisatracurium 0.15 mg/kg (GlaxoSmithKline, Bad Oldesloe,
Jerman) diberikan. Kateter vena sentral diinsersikan lewat ekternal atau internal
vena jugularis. Anastesi dipertahankan menggunakan isoflurane (0.5 vol%, end-
tidal) pada NO2 dan 30% oksigen. Pasien mendapatkan secara berkala bolus
sufentanil untuk analgesik tergantung dari standar kriteria klinis (takikardi > 90
bpm dan MAP > 90 mmHg jika hipovolemi di eksklusi oleh pengukuran tekanan
vena sentral > 5 mmHg). Hingga insisi tidak ada sufentanil tambahan yang
diberikan di kedua grup.
Injeksi pertama segera diikuti dengan infus epidural kontinu 6
mL/jam dari pengobatan masing-masing sampai akhir operasi. Setelah selesai
operasi (akhir penutupan kulit) pasien dari kedua kelompok menerima infus
epidural kontinu 6 mL/jam ropivacaine 0.375% dan dipindahkan ke unit perawatan
intensif (ICU), di mana ventilasi mekanis dihentikan setelah periode stabilisasi
sampai pasien mencapai kriteria ekstubasi yang telah ditentukan sebelumnya (suhu
tubuh 36.5-38.0 C, MAP > 60 mmHg tanpa vasokonstriktor, PaO2 > 80 mmHg
dengan oksigen 30%, tidak ada pendarahan saat pembedahan). Dua puluh empat
jam setelah dimulainya infus epidural, manajemen nyeri diubah dari kontinu ke
analgesik epidural yang dikendalikan pasien (PCEA) dengan Ropivacaine 0.375%
pada kedua kelompok menggunakan pompa infus Graseby 9300 (SIMS, Graseby
Ltd, Watford, Inggris). Tingkat infus basal adalah 4 mL/jam dengan bolus 2 mL
dan selang keluar 15 menit. Selama periode observasi pasca operasi pasien diijinkan
untuk menerima Piritramide iv sebagai analgesik tambahan (15 mg Piritramide
setara dengan 10 mg Morfin), jika rasa sakit saat istirahat > 40 mm pada VAS dan
bolus 2 mL ropivacaine 0,375% yang diperbolehkan tidak bisa mengendalikan rasa
sakit dalam waktu 15 menit.
Kualitas analgesik dinilai oleh ahli anestesi yang buta terhadap perlakukan
tiap grup pada saat istirahat dan selama mobilisasi (duduk di sisi ranjang) 24, 48,
72 dan 96 jam setelah dimulainya infus epidural dengan menggunakan VAS.
Intensitas blok motorik (skala Bromage 0-3), level analgesik tingkat atas dan bawah
(uji pinprick), efek samping (mual, muntah, pruritus, menggigil, disfungsi kandung
kemih), jumlah kumulatif larutan yang diinfuskan, PCEA-boli yang diperlukan dan
diberikan, dan kebutuhan Piritramide tambahan secara kumulatif dicatat. Pasien
dianamnesis dan diperiksa untuk komplikasi atau efek samping yang terkait dengan
anestesi epidural seperti blok motorik yang persisten, disfungsi kandung kemih,
sakit kepala akibat tusukan postdural dan iritasi radikular sampai hari ke tujuh
postoperatif. Kehilangan dan kebutuhan darah dan cairan intraoperatif dicatat.
GAMBAR 2 Skala analog visual (VAS) untuk rasa nyeri GAMBAR 3 Konsumsi kumulatif ropivacaine epidural
yang dinilai oleh pasien saat istirahat dan selama dan piritramide iv tambahan dari 24 sampai 96 jam
mobilisasi 24 sampai 96 jam setelah operasi (mean setelah operasi (mean SD).
SD).
Efek samping
Blok motorik yang relevan (skala Bromage > 1, tidak dapat mengangkat
lutut melawan gravitasi) diamati pada satu pasien dari kedua kelompok. Pada GII
satu pasien menunjukkan disfungsi motorik (Bromage Grade 2) 48 jam setelah
dimulainya infus epidural yang tidak terdeteksi setelahnya. Pasien di GI
menunjukkan paresis otot quadriceps yang dianggap sebagai iritasi langsung pada
saraf femoralis yang disebabkan oleh reseksi nodus limfatikus iliaka saat operasi.
Tidak ada komplikasi yang terkait dengan anestesi epidural, seperti PDPH atau
iritasi radikuler yang terlihat sampai hari ke tujuh pasca operasi pada salah satu
pasien.
Diskusi
Dalam penelitian ini pemberian secara epidural ropivacaine 0,375% pre
operasi dan intra operasi mengurangi kebutuhan intraoperatif dari sufentanil iv
namun tidak mampu mengurangi nyeri atau kebutuhan analgesik pada periode
pasca operasi awal setelah operasi mayor abdomen pada pasien ginekologi.
Analgesia epidural dengan ropivacaine 0,375% memberikan analgesia post operasi
yang memadai selama 96 jam, hanya analgesik tambahan dosis rendah yang
diperlukan pada kedua kelompok studi. Efek pemberian intra operasi ropivacaine
pada perkembangan nyeri kronis tidak dinilai dalam penelitian kami.
Seperti telah disebutkan, efek analgesik preemptif tampaknya bergantung
pada jenis operasi. Efek analgesik preemptif anestesi epidural yang diberikan
sebagai anastesi lokal pada operasi ginekologi abdomen masih belum jelas. Hasil
kami sesuai dengan temuan Aida et al. yang juga tidak menemukan efek preemptive
analgesia epidural pra operasi pada operasi abdomen dengan menggunakan morfin.
Salah satu alasan utama ketidakefektifan analgesia epidural pada operasi
visceroperitoneal mungkin disebabkan karena adanya inervasi heterosegmental
pada area yang dioperasikan, misalnya inervasi sensorik oleh nervus phrenikus,
karena analgesia epidural hanya mampu menghalangi persarafan segmental oleh
nervus spinalis. Masalah ini tampaknya terjadi terutama pada operasi perut bagian
atas sedangkan pada operasi perut bagian bawah inervasi parasimpatis aferen
berasal dari nervus spinalis bagian sakral yang dapat diblokir melalui jalur spinal.
Ini mungkin bisa menjelaskan efek analgesik preemptif yang dijelaskan untuk
prostatektomi radikal (6,14).
Berbeda dengan aplikasi obat tunggal yang disebutkan di atas, Rockemann
et al. mampu mengurangi konsumsi analgesik pasca operasi dalam penelitian
mereka menggunakan pendekatan multimodal analgesik pra operasi untuk operasi
mayor abdomen (15). Namun demikian, penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid
harus dievaluasi secara kritis, dengan adanya potensi perdarahan mayor.
Alasan lain untuk ketidakefektifan analgesia preemptif bisa disebabkan
oleh rasa nyeri yang sudah ada sebelumnya. Seperti yang dijelaskan oleh Aida et al.
sensitisasi sentral tampaknya sudah ditetapkan oleh nyeri akut atau kronis pra
operasi dan tetap ada sampai penghentian operasi (12). Oleh karena itu, kami hanya
memasukkan pasien dengan skor VAS pra operasi untuk nyeri pada istirahat 10 mm
atau kurang.
Analgesia epidural menghasilkan kebutuhan opioid intra operasi yang
berkurang secara signifikan pada pasien GII dibandingkan dengan GI. Dosis yang
lebih tinggi dari opioid intraoperatif di GI mungkin untuk mengkompensasi
kekurangan blokade epidural, sehingga dapat memberikan efek analgesik
sebanding dengan kombinasi kedua teknik tersebut di GII. Dosis sufentanil
kumulatif yang lebih tinggi di GI tidak menyebabkan penggunaan ventilasi mekanis
yang berkepanjangan dalam kondisi penelitian ini, termasuk pengalihan pasien
yang tersedasi propofol ke ICU dan stabilisasi dari variabel suhu dan kardiosirkular
setelah operasi diperpanjang.
Terlepas dari hasil penelitian yang kontradiktif mengenai analgesia
preemptif dan kurangnya efek dalam meta-analisis oleh Moiniche, konsep analgesia
preemptif masih menjadi topik diskusi intensif (13,16,17). Penyidikan lebih lanjut
mengenai mekanisme strategi pengembangan dan pengobatan diperlukan.
Sebagai kesimpulan pemberian epidural pra dan intra operasi ropivacaine
0,375% tidak menunjukkan efek analgesik preemptif dini pada wanita yang
menjalani operasi tumor abdomen lanjutan.
Oleh:
Niluh Ayu Anissa Hanum
G99161066
Pembimbing:
dr. H. Heri Dwi Purnomo, Sp.An, M.Kes