Digital - 2017-2 - 20429271-S65496-Adi Januardi
Digital - 2017-2 - 20429271-S65496-Adi Januardi
JUDUL
ANALISIS PERBANDINGAN METODE PERHITUNGAN
PERFORMA PANEL SURYA ANTARA SANDIA PV ARRAY
MODEL DAN FIVE PARAMETERS MODEL DENGAN
KONDISI ALAM DAERAH TROPIS
SKRIPSI
ADI JANUARDI
1206263692
JUDUL
ANALISIS PERBANDINGAN METODE PERHITUNGAN
PERFORMA PANEL SURYA ANTARA SANDIA PV ARRAY
MODEL DAN FIVE PARAMETERS MODEL DENGAN
KONDISI ALAM DAERAH TROPIS
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
ADI JANUARDI
1206263692
ii
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 18 Mei 2016
iii
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT penulis atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Analisis
Perbandingan Metode Perhitungan Performa Panel Surya Antara Sandia PV
Array Model Dan Five Parameters Model Dengan Kondisi Alam Daerah
Tropis dan diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
sarjana teknik. Penulis menyadari bahwa tanpa adanya dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak selama masa penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karenanya, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Dr.-Ing. Eko Adhi Setiawan, S.T., M.T. selaku dosen pembimbing
yang telah membimbing penulis selama proses penyusunan skripsi.
2. Kedua Orang Tua serta segenap keluarga yang telah memberikan doa,
dorongan moral maupun material, serta kasih sayang.
3. Keluarga besar civitas akademika Teknik Elektro Universitas Indonesia yang
telah memberikan banyak bantuan dalam urusan administrasi seminar
4. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
Adi Januardi
iv
Adi Januardi
vi Universitas Indonesia
ix Universitas Indonesia
x Universitas Indonesia
Tabel 2.1 Nilai a, b, dan T untuk setiap tipe modul dan mounting ................................ 34
Tabel 3.1 Data klimatologi yang digunakan pada perhitungan performa PV ................... 48
Tabel 3.2 Data spesifikasi Siemens SP-75 ........................................................................ 53
Tabel 3.3 Hasil parameter keluaran setiap tipe PV dengan metode SPAPM.................... 55
Tabel 3.4 Hasil nilai arus untuk setiap nilai tegangan dengan menggunakan fungsi
Lambert W ....................................................................................................................... 65
Tabel 3.5 Hasil parameter keluaran setiap tipe PV dengan metode Five Parameters ....... 67
Tabel 4.1 Nilai lima parameter pada kondisi referensi (E = 1000W/m2, T = 25C) ......... 70
Tabel 4.2 Nilai lima parameter pada kondisi operasi (E = 449,45W/m2, T = 39,28C) .. 71
Tabel 4.3 Pengaruh suhu sel terhadap nilai parameter keluaran untuk modul PV tipe
Mono-crystalline ............................................................................................................... 75
Tabel 4.4 Pengaruh suhu sel terhadap nilai parameter keluaran untuk modul PV tipe Poly-
crystalline .......................................................................................................................... 76
Tabel 4.5 Pengaruh suhu sel terhadap nilai parameter keluaran untuk modul PV tipe Thin
film.................................................................................................................................... 76
Tabel 4.6 Pengaruh total radiasi matahari terhadap nilai parameter keluaran untuk modul
PV tipe Mono-crystalline .................................................................................................. 78
Tabel 4.7 Pengaruh total radiasi matahari terhadap nilai parameter keluaran untuk modul
PV tipe Poly-crystalline .................................................................................................... 79
Tabel 4.8 Pengaruh total radiasi matahari terhadap nilai parameter keluaran untuk modul
PV tipe Thin film .............................................................................................................. 79
Tabel 4.9 Pengaruh suhu sel terhadap nilai lima parameter dan nilai parameter keluaran
untuk modul PV tipe Mono-crystalline (Siemens) ........................................................... 82
Tabel 4.10 Pengaruh suhu sel terhadap nilai lima parameter dan nilai parameter keluaran
untuk modul PV tipe Poly-crystalline (Solarex) ............................................................... 82
Tabel 4.11 Pengaruh suhu sel terhadap nilai lima parameter dan nilai parameter keluaran
untuk modul PV tipe Thin film (Astropower) .................................................................. 83
Tabel 4.12 Pengaruh total radiasi matahari terhadap nilai lima parameter dan nilai
parameter keluaran untuk modul PV tipe Mono-crystalline (Siemens) ............................ 87
Tabel 4.13 Pengaruh total radiasi matahari terhadap nilai lima parameter dan nilai
parameter keluaran untuk modul PV tipe Poly-crystalline (Solarex) ............................... 88
Tabel 4.14 Pengaruh total radiasi matahari terhadap nilai lima parameter dan nilai
parameter keluaran untuk modul PV tipe Thin film (Astropower) ................................... 88
Tabel 4.15 Nilai daya maksimum setiap jenis modul PV terhadap perubahan suhu sel ... 94
Tabel 4.16 Nilai daya maksimum setiap jenis modul PV terhadap perubahan total radiasi
.......................................................................................................................................... 96
xi Universitas Indonesia
PENDAHULUAN
Pada zaman dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat ini, listrik
menjadi komponen utama yang sangat penting bagi kehidupan sehari hari
manusia saat ini. Di Indonesia sendiri yang merupakan Negara berkembang,
listrik sudah menjadi kebutuhan primer setiap lapisan masyarakat. Ditambah
dengan adanya pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan tingginya
kebutuhan akan listrik di bidang industri, maka sumber energi pembangkit listrik
harus tetap tersedia serta produksi listrik harus terus ditingkatkan sehingga
sejalan dengan peningkatan kebutuhan listrik.
Dewasa ini krisis energi telah menjadi suatu masalah yang paling hangat
diperbincangkan oleh masyarakat dunia, termasuk di Indonesia. Suplai listrik
yang tidak berimbang dengan permintaan menyebabkan pemadaman bergilir.
Diatambah lagi masih adanya daerah daerah pelosok yang belum teraliri energi
listrik. Pada akhrinya, pertumbuhan ekonomi Negara pun menjadi terhambat.
Seperti yang kita ketahui bahwa rata rata pembangkit listrik yang digunakan di
Indonesia adalah pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti minyak Bumi,
batu bara, dan gas alam. Dan dari tahun ke tahun penggunaan pembangkit listrik
jenis ini semakin meningkat, sedangkan bahan bakar fosil tidak selamanya
tersedia dan akan habis dalam beberapa tahun kedepan. Dengan begitu, sudah
saatnya kita beralih dari pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil
ke pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan (renewable energi).
1
Universitas Indonesia
sebagai pembangkitan listrik skala besar, namun hal ini juga belum sepenuhnya
termanfaatkan. Peran energi terbarukan sangatlah penting bagi kehidupan
manusia dimana selain mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan menjadi
sumber energi alternatif, energi terbarukan juga dapat mengurangi emisi gas
rumah kaca yang dihasilkan bahan bakar fosil.
Salah satu energi terbarukan yang saat ini sedang populer digunakan untuk
pembangkitan listrik adalah energi matahari atau tenaga surya. Energi yang
dihasilkan sinar matahari sangat lah besar, terutama di daerah daerah tropis
seperti di Indonesia dimana intensitas pencahayaan mataharinya cukup besar
dibandingkan dengan daerah daerah subtropis ataupun beriklim sedang. Jika
kita lihat cahaya matahari merupakan cahaya yang dapat menghasilkan energi
yang tak terbatas, hanya saja di malam hari energi yang dihasilkan mungkin
hampir tidak ada. Dengan bantuan photovoltaic sinar matahari ini bisa
dikonversikan menjadi energi listrik yang dapat dimanfaatkan oleh manusia
untuk kelangsungan hidup sehari harinya. Daya keluaran photovoltaic sangat
bergantung pada banyaknya energi foton yang diterima dari matahari, suhu, dan
posisi solar panel terhadap matahari.
Universitas Indonesia
Agar penulisan lebih terarah, maka perlu diketahui batasan masalah dari
penulisan skripsi ini. Pembatasan masalah dalam pembuatan skripsi ini adalah
pada perhitungan performance modul PV terdapat dua metode yang akan dibahas
dengan variasi tiga tipe PV yaitu thin-film, mono-crystaline, dan poly-crystaline.
Dalam proses perhitungannya, kedua metode menggunakan input data spesifikasi
dan data kondisi alam yang sama. Kemudian akan dibahas juga pengaruh suhu
dan radiansi matahari terhadap hasil dari kedua metode perhitungan performance
Universitas Indonesia
model. Sehingga nantinya akan didapatkan metode mana yang lebih efisien,
presisi, dan memberikan hasil yang optimal.
a. Studi Literatur
Mencari informasi yang bersumber dari buku, penulisan karya karya
ilmiah, hasil seminar, jurnal ilmiah, dan internet
b. Diskusi bersama pembimbing dan rekan kerja
c. Perhitungan rumus
Melakukan perhitungan dua buah metode performance model dengan
terlebih dahulu mengetahui asumsi dan parameter masing masing
metode
d. Simulasi Software
Melakukan simulasi dan pengamatan menggunakan software SAM
dengan input data komponen sesuai dengan yang digunakan pada
perhitungan.
e. Analisis Hasil Perhitungan
Menganalisis dan mengamati pengaruh perubahan suhu dan radiansi
matahari terhadap hasil dari kedua metode perhitungan serta
membandingkan hasil dari kedua metode perhitungan, lalu menentukan
metode mana yang lebih tepat digunakan dalam perancangan sistem
pembangkit PV
Untuk memudahkan pembahasan, skripsi ini dibagi dalam lima bab. Setiap
bab mempunyai pokok bahasan tertentu sebagai bagian dari tujuan penulisan
skripsi ini. BAB 1 merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang latar
belakang masalah, tujuan penulisan, batasan masalah, metodologi penulisan, dan
sistematika penulisan. BAB 2 membahas mengenai energi matahari, radiasi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Matahari merupakan bintang yang paling dekat dengan Bumi, dengan jarak
rata rata 149.600.000 kilometer (92,96 juta mil) dari Bumi. Jarak Matahari ke
Bumi ini dikenal sebagai satuan astronomi dan biasa dibulatkan menjadi 150 juta
kilometer [1]. Matahari dapat digunakan secara langsung untuk memproduksi
listrik atau untuk memanaskan bahkan untuk mendinginkan. Pada saat ini, energi
surya (matahari) telah dimanfaatkan dibanyak belahan dunia dan jika dieksploitasi
dengan tepat, energi ini berpotensi mampu menyediakan kebutuhan konsumsi
energi listrik duniasaat ini dalam waktu yang lebih lama.
= (2.1)
6
Universitas Indonesia
dilihat sudut sudut yang membentuk AOI, dimana h adalah sudut elevasi, z
adalah sudut zenith, s adalah sudut azimuth matahari (solar azimuth), adalah
Universitas Indonesia
sudut tilt panel (surface tilt), adalah sudut azimuth permukaan panel (surface
azimuth), garis normal permukaan panel, dan adalah AOI.
Solar time atau local solar time (Tsolar) merupakan posisi relatif matahari ke
titik pengamatan [12]. Solar time bergantung pada waktu saat melakukan
pengamatan atau local time dan hari keberapa dilakukan pengamatan dalam waktu
setahun. Oleh sebab itu, solar time ditentukan oleh kordinat garis bujur
(longitude) titik pengamat dan zona waktu titik pengamatan. Sebelum menghitung
solar time, terlebih dahulu kita menghitung nilai equation of time (EoT). EoT
adalah persamaan empiris yang mengoreksi eksentrisitas orbit Bumi dan
kemiringan sumbu Bumi [13]. EoT digunakan untuk menghitung perbedaan
antara solar dan local time sebagai fungsi dari lokasi dan waktu dalam setahun.
dimana,
360
(deg) = ( 81) (2.3)
365
= + + (2.4)
60 15
dimana,
Dari nilai solar time yang didapat, kita juga dapat menentukan nilai sudut
jam (hour angle) dengan menggunakan persamaan (2.5) berikut.
Universitas Indonesia
= 15 ( 12) (2.5)
Hour angle adalah representasi dari solar time dalam bentuk suatu nilai
derajat dari pergarakan matahari dari waktu ke waktu [13]. Sesuai dengan
definisinya, hour angle bernilai 0 pada saat siang hari (jam 12.00). Karena Bumi
berputar 15 per jam, maka untuk setiap perubahan jam mulai dari jam 12 hour
angle akan bertambah atau berkurang 15. Di pagi hari hour angle bernilai negatif,
sedangkan pada sore hari hour angle bernilai positif. Hour angle inilah yang
nantinya digunakan untuk mencari besar sudut AOI.
1. Sun Declination
Sun declination angle () adalah sudut antara garis equator Bumi dengan
garis lurus yang menghubungkan pusat Bumi dengan pusat matahari. Sudut inilah
yang menentukan posisi matahari terhadap Bumi pada hari tertentu dalam waktu
setahun. Sudut deklinasi bervariasi setiap musimnya karena kemiringan Bumi
pada poros rotasinya dan rotasi Bumi mengelilingi matahari [14]. Jika Bumi tidak
miring pada poros rotasinya, sudut deklinasi akan selalu 0. Namun, Bumi pada
poros rotasinya dapat miring hingga 23,45 dan sudut deklinasi dapat bernilai plus
atau minus tergantung dari posisi matahari pada saat itu. Rotasi Bumi
mengelilingi matahari dan perubahan sudut deklinasi dapat dilihat pada gambar
(2.2).
Gambar 2.2 Perubahan sudut deklinasi seiring rotasi Bumi mengelilingi matahari [14].
Universitas Indonesia
Gambar 2.3 nilai sudut deklinasi seiring perubahan posisi matahari terhadap Bumi
Dapat dilihat pada gambar (2.3) sudut deklinasi bernilai nol pada daerah
equinoxes (22 Maret dan 22 September), positif selama musim panas di belahan
utara dan negatif selama musim dingin di belahan Bumi utara. Sudut deklinasi
mencapai maksimum 23,45 pada 22 Juni (musim panas di belahan Bumi utara)
dan minimum -23,45 pada 22 Desember (musim dingin di belahan Bumi utara).
Sudut deklinasi dapat dihitung besarnya dengan persamaan (2.6) berikut.
360
= sin1(sin(23.45) sin(365 ( 81))) (2.6)
2. Sun Elevation
Sun elevation angle atau sudut elevasi (h) adalah ketinggian sudut matahari
di langit diukur dari garis horizontal (permukaan tanah) atau dengan kata lain
sudut yang terbentuk antara arah datangnya cahaya matahari dengan permukaan
tanah. Sudut elevasi bernilai 0 saat matahari terbit dan terbenam, dan bernilai 90
ketika matahari tepat di atas kepala (jam 12 siang) [15]. Parameter penting dalam
menghitung performa PV adalah sudut elevasi maksimum, dimana titik tertinggi
matahari dari Bumi dalam kurun waktu setahun. Sudut elevasi bergantung pada
kordinat lintang (latitude) dari titik pengamatan dan sudut deklinasi, sesuai
dengan persamaan (2.7) berikut.
Universitas Indonesia
dimana,
= declination angle
= local latitude
hr = hour angle
Adapun sudut zenith (z) merupakan komplemen dari sudut elevasi atau
dengan kata lain sudut yang dibentuk antara arah datangnya cahaya matahari
dengan garis vertikal (garis normal permukaan tanah). Hubungan sudut zenith dan
elevasi dapat dilihat pada gambar (2.4).
= 90 (2.8)
Universitas Indonesia
3. Sun Azimuth
Sun azimuth angle atau sudut azimuth (s) merupakan arah mata angin
darimana cahaya matahari datang. Seperti arah pada kompas, sudut azimuth akan
bernilai 0 ketika matahari berada disebelah utara titik pengamatan dan akan
bernilai 180 ketika matahari berada disebelah selatan titik pengamatan [16].
Gambar 2.5 Besar sudut azimuth bergantung pada posisi matahari terhadap titik
pengamatan.
Pada siang hari, matahari selalu berada di arah selatan pada belahan Bumi
utara dan berada di arah utara pada belahan Bumi selatan. Sudut azimuth
bervariasi sepanjang hari. Pada zona equinoxes, matahari terbit langsung dari arah
timur dan terbenam di barat, sehingga membuat sudut azimuth bernilai 90 saat
matahari terbit dan 270 saat matahari terbenam. Namun secara umum, sudut
azimuth bervariasi dengan lintang dan waktu sepanjang tahun. Besar sudut
azimuth dapat dihitung menggunakan persamaan (2.10) dibawah ini [9].
sin cos
= sin1 ( ) (2.10)
cos
Universitas Indonesia
Pemasangan panel surya dengan sudut tilt yang besar akan menghasilkan
nilai AOI yang besar pula, sehingga selama sebagian waktu dalam setahun
penyerapan radiasi matahari akan sangat terbatasi. Dengan begitu, dibutuhkan
perhitungan incidence angle modifier (K atau MAOI) yang berlaku untuk
Universitas Indonesia
= 0 + 1 + 2 2 + 3 3 + 4 4 + 5 5 (2.12)
1 sin 2
= (2.13)
2 sin 1
1 2 ( ) 2 ( )
= 1 ( 2 2 1 + 2 2 1 ) (2.14)
2 ( + ) ( + )
2 1 2 1
( )
= cos 2 (2.15)
= (2.16)
Universitas Indonesia
= (2.17)
dimana,
1 = AOI
2 = sudut refraksi
Universitas Indonesia
Gambar (2.6) menunjukan besar energi radiasi yang diterima dari matahari
per satuan area per satuan waktu sebagai fungsi dari panjang gelombang. Pada
permukaan matahari, energi radiasi yang dipancarkan yaitu sebesar 62 MW/m2
dan diatas atmosfer Bumi radiasinya berkurang menjadi total sebesar 1353 W/m2.
Untuk radiasi blackbody, semakin tinggi temperature objek blackbody tersebut
maka semakin besar juga energi radiasinya. Blackbody pada temperature rata
rata Bumi, yaitu 300 K, paling kuat memancarkan pada gelombang infrared dan
radiasinya tidak dapat terlihat oleh mata. Untuk matahari, dengan temperatur
sekitar 5800 K, radiasinya paling kuat berada pada gelombang cahaya tampak
dengan panjang gelombang sekitar 300 800 nanometer, seperti terlihat pada
gambar diatas.
Universitas Indonesia
ditangkap oleh permukaan suatu bidang yang setelah terjadinya scattering saat
radiasi matahari awal memasuki atmosfer Bumi. Ground-reflected radiation
merupakan radiasi matahari yang terpantul oleh permukaan Bumi, yang kemudian
ditangkap oleh permukaan suatu bidang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar (2.7a) dan (2.7b) berikut.
(a) (b)
Gambar 2.7 (a) komponen radiasi matahari disebabkan interaksi dengan atmosfer
Bumi [8], (b) komponen radiasi matahari pada bidang miring [9]
Beam radiation (Eb) atau radiasi matahari langsung adalah radiasi matahari
yang tertangkap secara langsung tanpa terjadinya penyebaran (scattered) oleh
atmosfer Bumi. Beam radiation dapat dihitung dengan terlebih dahulu mengetahui
besar nilai Direct Normal Irradience (DNI) dan sudut arah datangnya cahaya
matahari terhadap garis normal permukaan bidang yang disebut juga angle of
incidence () [2] sesuai dengan persmaan (2.18) dibawah ini.
= cos (2.18)
Universitas Indonesia
1+cos
= (2.19)
2
dimana adalah sudut tilt panel surya atau sudut kemiringan panel surya.
Universitas Indonesia
1cos
= (2.20)
2
Dimana merupakan sudut kemiringan permukaan panel dan GHI adalah Global
Horizontal Irradience yang nilainya didapat dari pengukuran menggunakan
pyranometer. GHI merupakan jumlah dari dua komponen radiasi, yaitu DNI dan
DHI, sehingga nilainya dapat juga dihitung menggunakan persamaan (2.21)
berikut [7].
= + cos (2.21)
dimana z merupakan sudut arah datang cahaya matahari dengan garis normal
permukaan tanah datar atau disebut juga sudut zenith.
Total radiation atau disebut juga Plane of Array Irradience (EPOA) adalah
jumlah dari ketiga komponen radiasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Nilai total
radiation ini yang nantinya akan digunakan dalam perhitungan performa modul
PV yang akan dibahas pada subbab subbab berikutnya.
= + + (2.22)
Air mass (AM) adalah panjang jalur yang dilewati cahaya matahari melalui
atmosfer dinormalisasi ke panjang jalur terpendek (yaitu, ketika matahari tepat di
atas kepala). Air Mass mengkuantifikasi pengurangan radiasi cahaya saat
melewati atmosfer dan diserap oleh udara dan debu [20]. Di permukaan laut,
ketika matahari tepat di atas kepala (sudut zenith = 0), massa udara sama dengan
satu. Seiring sudut zenith menjadi lebih besar, jalur radiasi matahari langsung
melalui atmosfer akan lebih memanjang (ketebalan atmosfer meningkat) dan
meningkatkan massa udara. Sebaliknya, bila sudut elevasi meningkat, ketebalan
atmosfer berkurang dan massa udara berkurang [21].
Universitas Indonesia
Gambar 2.8 perubahan posisi matahari berpengaruh pada panjang jalur yang
harus dilalui radiasi matahari melewati atmosfer Bumi [21]
1
= cos (2.23)
Massa udara absolut sendiri merupakan rasio massa atmosfer yang harus
dilalui radiasi matahari langsung terhadap massa atmosfer yang dilewati ketika
Universitas Indonesia
posisi matahari tepat diatas kepala. Nilai massa udara absolut dapat dihitung
dengan persamaan (2.24) berikut [18].
= 0.0001184 (2.24)
= 0 + 1 + 2 2 + 3 3 + 4 4 (2.25)
Universitas Indonesia
Adapun sistem PLTS dibagi menjadi dua, yaitu sistem pembangkit tenaga
surya on-grid dan sistem pembangkit tenaga surya off-grid atau stand alone
photovoltaic system. Sistem PLTS on-grid merupakan sistem pembangkit yang
pada sisi keluarannya selain terhubung ke beban juga terhubung ke grid atau
jarring PLN. Sehingga selain menyuplai daya ke beban, sistem PLTS jenis ini
juga dapat menyubang daya listrik ke jaringan PLN ketika daya yang dihasilkan
PLTS berlebih. Sedangkan ketika malam hari saat PLTS tidak beroperasi suplai
daya ke beban dapat diambil dari jaringan PLN. Pada koneksi antara sistem PLTS
dengan jaringan PLN terdapat sebuah switch untuk menyambung dan
memutuskan hubungan anatara kedua sisi. Pada saat ingin menyambungkan
koneksi terlebih dahulu tegangan di sisi keluaran dari sistem PLTS disamakan
dengan tegangan dititik kita menyambungkannya dengan jaringan PLN.
Universitas Indonesia
Pada jenis sistem PLTS kedua, yaitu stand alone photovoltaic system atau
sistem PLTS off-grid merupakan sistem PLTS yang sama sekali tidak terhubung
dengan jaringan PLN. Sehingga untuk sistem PLTS jenis ini dibutuhkan tambahan
komponen baterai yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan energy ketika
daya yang dihasilkan oleh sistem berlebih dan menyupalai daya ke beban ketika
sistem PLTS sama sekali tidak beroperasi (pada malam hari). Pada sistem jenis ini
juga terdapat komponen charge controller yang berfungsi untuk mengatur
banyaknya energy yang dapat disimpan oleh baterai dan banyaknya energy yang
harus dilepas baterai.
PLTS menggunakan alat berupa sel surya atau sel photovoltaic untuk
menangkap energy photon dari matahari dan mengubahnya menjadi energy listrik.
Hasil keluaran dari sel surya masih berupa daya DC, sedangkan tegangan pada
beban yang disuplai berupa tegangan AC, sehingga perlu ada pengkonversian
antara tegangan DC menjadi tegangan AC. Dengan begitu hasil keluaran dari sel
surya akan dilewatkan ke komponen inverter untuk mengubah jenis tegangannya.
Komponen inverter ini juga berfungsi untuk menaikan tegangan sebelum daya
disuplai ke beban. Adapun pada sistem stand alone PV terdapat penambahan
Universitas Indonesia
komponen baterai dan charge controller yang fungsinya telah dijelaskan pada
paragraf sebelumnya.
2.6 Photovoltaic
2.6.1 Definisi
Sel surya atau yang biasa disebut juga sel photovoltaic pertama kali
dikenalkan pada dunia pada abad 19. Sel surya merupakan perangkat
semikonduktor yang dapat menyerap energy cahaya (photon) dan mengubahnya
menjadi energy listrik. Sel surya pertama kali dapat dijelaskan secara ilmiah
berdasarkan hipotesa quantum cahaya yang dikeluarkan Einstein pada tahun 1905.
Menurut penuturan Einstein, selain memiliki karakteristik gelombang, cahaya
matahari juga terdiri dari kumpulan photon photon yang memiliki energy.
Ketika cahaya matahari mengenai permukaan sel surya maka energi photon
yang ada pada cahaya matahari akan diserap oleh molekul didalam sel surya dan
kemudian energy photon tersebut akan dirubah kedalam energy listrik dalam
proses perubahan energy ini, semikonduktor merupakan material yang sangat
berperan penting sehingga sel surya dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Pada proses pengubahan energi ini, hal pertama yang dibutuhkan adalah
bahan yang dapat menyerap cahaya yang menimbulkan pergerakan elektron ke
keadaan energi yang lebih tinggi. Lalu selanjutnya elektron elektron ini akan
bergerak dari sel surya ke sebuah sirkuit eksternal. Elektron kemudian
mendisipasikan energi didalamnya pada sirkuit eksternal dan kembali ke sel
surya. Banyak jenis bahan dan proses yang bervariasi yang berpotensi dapat
memenuhi persyaratan untuk pengkonversian energi pada sel surya, tetapi dalam
prakteknya hampir semua konversi energi pada sel surya menggunakan bahan
semikonduktor dalam bentuk p-n junction [23].
Universitas Indonesia
Sel surya yang dibuat dari bahan semikonduktor yang diproses sedemikian
rupa, sehingga dapat menghasilkan arus listrik searah (DC). Dalam
penggunaannya kumpulan dari sel surya saling dihubungkan satu sama lain,
parallel atau seri, tergantung dari penggunaannya guna menghasilkan daya dengan
kombinasi arus dan tegangan yang dikehendaki.
Sel surya memilik banyak aplikasi, terutama cocok digunakan pada wilayah
wilayah terpencil yang intensitas cahaya mataharinya tinggi dan tidak dilalui
oleh jaringan PLN. Selain itu, sel surya juga dapat dijadikan sumber energy listrik
pada satelit pengorbit Bumi, kalkutator genggam, pompa air, mobil listrik, dan
lain lain. Sel surya (dalam bentuk modul atau panel surya) dapat dipasang di
atap gedung atau rumah yang lalu pada sisi keluarannya dihubungkan ke inverter
dan diteruskan ke jaringan listrik. Sebuah panel surya terdiri dari banyak sel
surya. Sel sel surya ini tersambung secara elektrik untuk memberikan arus dan
tegangan tertentu. Masing masing sel dienkapulasi untuk mengisolasi dan
melindungi dari kelembaban dan korosi.
Universitas Indonesia
2.6.2 Tipe PV
Terdapat berbagai tipe PV, tergantung pada kebutuhan daya yang akan
disuplai ke beban. Jenis modul yang paling umum digunakan terbuat dari 32 atau
36 crystalline slicon sel surya. Sel sel ini berukuran sama, tersambung secara
seri, dan terbungkus diantara bahan kaca dan plastic, serta menggunakan polymer
resin (EVA) sebagai insulator termal. Bagian permukaan modul biasanya antara
0,1 sampai 0,5 m2. Panel surya biasanya memiliki dua kontak listrik, satu positif
dan satu negatif. PV umumnya terbuat dari silicon dan dibagi menjadi 2 tipe, yaitu
silikon kristalin (crystalline silicon) dan silikon film tipis (thin film silicon). Sel
surya terdiri dari beberapa tipe antara lain sebagai berikut,
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
material silicon tipe-p, silicon didoping oleh atom boron. Sedangkan untuk
mendapatkan material silicon tipe-n, silicon didoping oleh atom fosfor. Gambar
(2.12) merupakan ilustrasi dari junction semikonduktor tipe-p dan tipe-n.
Peran dari p-n junction ini adalah untuk membentuk medan listrik sehingga
elektron (dan hole) bias diekstrak oleh material kontak untuk menghasilkan listrik.
Ketika semikonduktor tipe-p dan tipe-n terkontak, maka kelebihan elektron akan
bergerak dari semikonduktor tipe-n ke tipe-p sehingga membentuk kutub positif
pada semikonduktor tipe-n, dan sebaliknya kutub negatif pada semikonduktor
tipe-p. Akibat dari aliran elektron dan hole ini, maka terbentuk medan listrik yang
mana ketika cahaya matahari mengenai susunan p-n junction ini maka akan
mendorong elektron bergerak dari semikonduktor menuju kontak negatif, yang
selanjutnya dimanfaatkan sebagai energy listrik. Sebaliknya, hole bergerak
menuju kontak positif menunggu elektro datang. Ilustrasi dapat dilihat pada
gambar (2.13).
Gambar 2.13 Ilustrasi cara kerja sel surya dengan prinsip p-n junction
2.6.4 Efisiensi PV
Universitas Indonesia
Dari persamaan (2.26) diatas, kita ketahui bahwa semakin kecil panjang
gelombang maka semakin besar energy photon, yang menyebabkan
arus yang dihasilkan pun semakin besar (energy band gap untuk silicon
adalah 1.12 eV).
Efisiensi sel surya adalah perbandingan antara daya keluaran (Pout) dengan
daya input PV (Pin). Daya outuput juga bisa disebut daya maksimum jika PV
bekerja sampai titik maksimumnya.
= = (2.27)
Daya input adalah daya yang diperoleh dari radiasi cahaya matahari (W/m2)
dengan luas permukaan PV.
= (2.29)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
= = (2.33)
Semakin besar nilai fill factor maka, semakin baik kualitas dari PV.
Umumnya nilai fill factor suatu PV berkisar antara 0,7 0,85. Efek
resistansi Rs (Series Resistance) dan Rsh (Shunt Resistance) juga
memengaruhi nilai FF. Rs dan Rsh sendiri merupakan hambatan dalam
PV yang diakibatkan resistansi bahan koneksi antar sel dan resistansi
material sel PV, kedua nilai ini juga disebut parisitic resistance.
Penurunan nilai Rsh dan peningkatan nilai Rs akan menurunkan nilai FF
dan daya maksimum (Pmp).
Gambar 2.14 Kurva karakteristik I-V PV dan titik parameter output pada kurva [17]
Universitas Indonesia
tegangan dan arus pada saat kondisi lingkungan tertentu. Selain itu, kita juga
dapat mengetahui pengaruh lingkungan seperti perubahan suhu sekitar dan radiasi
matahari terhadap hasil perameter parameter hasil keluaran PV. Kurva
karakteristik PV dapat kita buat dengan mengetahui terlebih dahulu parameter
parameter output awal PV, lalu parameter parameter tersebut kita plot pada
kordinat kartesian hingga menghasilkan kurva karakteristik arus terhadap
tegangan PV.
Ketika kita ingin mendesain suatu sistem PLTS, hal pertama yang harus
kita lakukan adalah memilih tipe untuk setiap komponen komponen yang
digunakan pada sistem. Salah satu komponen tersebut adalah tipe modul PV yang
ingin kita gunakan. Dalam memilih tipe modul PV tentunya perlu kita ketahui
terlebih dahulu kondisi klimatologi, seperti intensitas radiasi matahari, suhu
lingkungan, pola pergerakan dan posisi matahari, dan lainnya, dari lokasi tempat
kita membangun sistem PLTS. Sehingga, tipe modul PV yang kita gunakan sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi tempat dibangunnya sistem PLTS.
Adapun cara untuk menetukan tipe modul PV yang sesuai, yaitu dengan
perhitungan performa PV. Dari perhitungan performa PV kita dapat mengetahui
pengaruh dari perubahan radiasi matahari, suhu lingkungan, dan posisi matahari
terhadap hasil keluaran modul PV yang kita gunakan. Dengan begitu, kita dapat
memprediksi hasil keluaran dari tipe tipe modul PV yang akan kita gunakan dan
memilih modul PV yang sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan. Terdapat
berbagai metode perhitungan performa PV yang sudah banyak dikembangkan.
Namun pada skripsi hanya akan dibahas dua metode perhitungan performa PV,
yaitu Sandia PV Array Perfomance Model dan Five Parameters Performance
Model.
Universitas Indonesia
= . ( +. ) + (2.35)
= + (2.36)
0
dimana,
Universitas Indonesia
Tabel 2.1 Nilai a, b, dan T untuk setiap tipe modul dan mounting
2 +
= 0 1 ( ) (1 + ( 0 )) (2.37)
0
= 0 (0 + 1 2 ) (1 + ( 0 )) (2.38)
= 0 + ln( ) + ( 0 ) (2.39)
= . (2.41)
= (2.42)
.
dimana,
Universitas Indonesia
= (2.43)
0 (1+ ( 0 ))
..( 273.15)
=
(2.44)
dengan,
n = diode factor
Universitas Indonesia
Tc = temperatur sel
f1 = air mass modifier (MAM), rumus telah dijelaskan pada subbab (2.4)
Dalam melakukan plot kurva karakteristik I-V dari modul PV pada kondisi
operasi tertentu dengan menggunakan metode SPAPM, perlu adanya penambahan
dua parameter output atau dua titik lagi. Dua titik tersebut adalah titik Ix pada saat
V = 0,5Voc dan titik Ixx pada saat V = 0,5(Voc+Vmp). Penambahan titik ke-4 dan
ke-5 ini bertujuan agar bentuk kurva karakterisitik lebih presisi. Adapun nilai Ix
dan Ixx dapat ditentukan dengan persamaan (2.45) dan (2.46).
= 0 (4 + 5 2 )(1 + ( 0 )) (2.45)
Universitas Indonesia
= 0 (6 + 7 2 ) (1 + ( 0 )) (2.46)
Nilai C4,C5,C6,C7 juga didapat dengan melakukan analisis regresi liner dari
hasil pengujian dan pengukuran secara langsung di Sandia National Laboratories
(SNL). Gambar (2.15) memperlihatkan letak titik Isc, Voc, Pmp, Ix, dan Ixx pada
kurva karakteristik I-V.
Gambar 2.15 plot kurva karakteristik I-V dengan metode SPAPM [19].
Universitas Indonesia
IL atau arus exitasi pencahayaan adalah arus yang muncul pada modul PV
akibat pencahaayaan sinar matahari pada permukaaan modul PV. Nilai IL
biasanya mendekati nilai karakteristik arus hubung singkat dari modul PV (ILIsc).
Untuk nilai Io atau arus saturasi gelap diode biasanya bernilai sangat kecil, yaitu
dengan orde berkisar 10-10 atau 10-9. Rs dan Rsh biasa disebut juga dengan
parasitic resistance merupakan hambatan dalam PV yang diakibatkan resistansi
bahan koneksi antar sel dan resistansi material sel PV. Dalam permodelan PV,
nilai Rs diinginkan untuk kecil sekali, sedangkan nilai Rsh diinginkan besar sekali.
Gambar (2.16) menunjukan rangkaian ekuivalen single-diode beserta
komponennya. Huruf V pada gambar rangkaian merepresentasikan tegangan
keluaran PV.
= (2.47)
Dimana, ID arus yang melewati diode dan Ish adalah arus yang melewati
hambatan shunt. Jika ID dan Ish diperluas lagi, maka didapat persamaan (2.48).
+
+
= [ 1] (2.48)
Universitas Indonesia
Nilai lima parameter pada kondisi referensi atau STC (IL,ref, Io,ref, aref, Rs,ref,
Rsh,ref) dapata ditentukan dengan mengetahui terlebih dahulu nilai Isc0, Voc0, Imp0,
dan Vmp0 serta kurva karakteristik (I-V) PV pada saat STC yang bisa kita dapatkan
pada data sheet spesifikasi modul PV. Dari kurva karakteristik (I-V) kita bisa
mendapatkan lima kondisi kerja PV, dimana lima kondisi ini akan disubsitusikan
kedalam persamaan (2.48). Setelah kita mengetahui nilai lima parameter pada
kondisi referensi (STC), kelima nilai ini akan digunakan untuk mengetahui nilai
lima parameter pada saat kondisi operasi.
Universitas Indonesia
0 ,
0 ,
0 = , , [ 1] (2.49)
,
0
0
0 = , , [ 1] (2.50)
,
0 +0 ,
0 +0 ,
0 = , , [ 1] (2.51)
,
()
=0 (2.52)
1
= (2.53)
,
. ..0
= (2.54)
Dalam menentukan nilai lima parameter pada kondisi operasi, kita harus
mengetahui nilai lima parameter pada kondisi referensi, total radiasi matahari
yang diserap oleh modul PV, dan suhu sel pada kondisi operasi saat itu. De soto et
al (2004) telah menjelaskan hubungan antara nilai nilai ini dengan nilai lima
parameter pada kondisi operasi [17], sehingga didapat persamaan (2.55) hingga
(2.59).
. ..
= (2.55)
= [, + ( 0 )] (2.56)
0
Universitas Indonesia
3 (1 0 )
= , ( ) (2.57)
0
= (2.58)
0
= , (2.59)
Lalu, hasil yang didapat dari persamaan (2.55) hingga (2.59) akan
disubsitusikan ke persamaan (2.48). persamaan yang didapat inilah yang akan
digunakan untuk menetukan parameter keluaran modul PV pada saat kondisi
operasi serta kurva karakteristiknya. Perlu diketahui juga untuk nilai suhu pada
persamaan (2.57) harus dalam satuan Kelvin agar nilai Io yang didapat sangat
kecil (berorde 10-10 atau 10-9) Perhitungan dengan metode five parameters ini
tidak hanya memberikan nilai parameter keluaran PV saja, namun metode ini juga
dapat memberikan nilai arus untuk setiap nilai tegangan PV. Sehingga, dalam
membuat atau memplot kurva karakteristik (I-V) menjadi lebih mudah dan presisi.
Universitas Indonesia
Sebelum kita menghitung performa sebuah modul PV, terlebih dahulu kita
mengumpulkan data klimatologi dari lokasi tempat kita ingin melakukan
pengujian modul PV. Dari data klimatologi, kita dapat mengetahui nilai untuk
setiap komponen radiasi matahari, suhu lingkungan, massa udara, ground
reflectivity factor atau albedo, kecepatan angin, koordinat latitude dan longitude
dari lokasi tempat pengambilan data, dan lainnya. Data data ini digunakan untuk
menentukan parameter keluaran PV pada kondisi operasinya sesuai dengan
kondisi lingkungan dari lokasi pengujian. Data klimatologi dapat kita peroleh dari
pengukuran pada lokasi secara langsung atau bisa juga kita mendapatkannya dari
database software software yang memberikan data klimatologi pada lokasi yang
kita inginkan. Gambar dibawah ini merupakan flow chart dari langkah langkah
pengolahan data klimatologi.
Mulai
Mengambil data
klimatologi dari data
base pada software
meteonorm 7.0
42
Universitas Indonesia
Menghitung z dan s
Menghitung Tm dan Tc
Selesai
Pada skripsi ini, data klimatologi didapat dari database yang ada pada
software meteonorm 7.0. Data klimatologi yang diberikan software ini sudah
cukup lengkap, namun untuk wilayah Indonesia titik pengambilan data hanya ada
pada beberapa lokasi saja. Berikut merupakan langkah langkah pengambilan
data pada software meteonorm 7.0.
Universitas Indonesia
(a)
Universitas Indonesia
(b)
(c)
Gambar 3.2 (a) menentukan titik pengambilan data, (b) memilih lokasi
weatherstation, (c) memasukan lokasi yang kita pilih ke daftar pengukuran.
2. Modifikasi pengukuran
Pada software meteonorm kita juga dapat memodifikasi pengukuran
dengan mengubah orientasi pengamatan, albedo, massa atau kepadatan
atmosfer, dan sebagainya (lihat gambar (3.2)). Setelah kita melakukan
modifikasi, kita dapat menekan tombol next untuk melanjutkan ke
langkah berikutnya.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 3.5 Daftar format file data klimotologi yang ada pada meteonorm 7.0.
(a)
Universitas Indonesia
(b)
Gambar 3.6 (a) hasil pengukuran data klimatologi oleh meteonorm 7.0, (b)
menyimpan hasil pengukuran data klimatologi.
Data hasil pengukuran dapat kita simpan pada hard disk perangkat
computer kita dalam bentuk file excel (.csv) (lihat gambar (3.5b)).
Data klimatologi yang didapat berupa data per jam dalam kurun waktu satu
tahun. Lalu kita memilih satu sampel hari saja pada waktu atau jam tertentu. Pada
skripsi ini hari yang dipilih adalah pada tanggal 22 Oktober atau hari ke-296.
Sehingga, data klimatologi yang akan digunakan pada perhitungan performa PV
dapat dilihat pada tabel (3.1).
Universitas Indonesia
Seperti yang telah diketahui bahwa pengukuran dilakukan pada hari ke-
296, maka kita dapat menghitung nilai B dan EoT dengan masing masing
menggunakan persamaan (2.8) dan (2.7).
360
= (296 81) = 212.05
365
= 9.87 sin(2 212.05) 7.53 cos 212.05 1.5 sin 212.05 = 16.05
Lalu, selanjutnya kita menentukan besar sudut deklinasi pada hari itu yaitu,
Kita juga harus menentukan nilai Tsolar, untuk mencari nilai sudut jam.
Waktu lokal yang dipilih adalah pada jam 12 siang ketika matahari tepat diatas
kepala.
Selanjutnya kita menentukan besar sudut zenith dan solar azimuth dengan
menggunakan persamaan (2.14) dan (2.15).
= 6.298
Universitas Indonesia
Kedua nilai sudut ini yang digunakan untuk mencari nilai AOI, beserta
dengan nilai sudut pembentuk lainnya.
= 38.71
Nilai massa udara sangat bergantung pada besar sudut zenith sesuai dengan
persamaan (2.23). Lalu, nilai massa udara absolut merupakan hubungan antara
massa udara dengan nilai altitude lokasi pengamatan terhadap permukaan laut,
sesuai dengan persamaan (2.24).
1
= = 1.006
cos 6.298
1 + cos 45
= 422 ( ) = 360.2 /2
2
1 cos 45
= 516 0.2 ( ) = 15.11 /2
2
Universitas Indonesia
Dalam menghitung besar suhu modul dan suhu sel, perlu diketahui terlebih
dahulu konfigurasi material dan tipe mounting dari modul PV yang kita gunakan.
Karena informasi ini menentukan nilai dari koefisien a, b, dan T. Pada skripsi ini
sendiri perhitungan performa PV akan dilakukan pada tiga jenis modul PV, yaitu
thin film (Astropower APX-90), mono-crystalline (Siemens SP-75), dan poly-
crystalline (Siemens MSX-64). Dari masing masing data spesifikasi, ketiga jenis
PV diatas memilik konfigurasi material dan tipe mounting yang sama. Sehingga,
besar suhu modul dan sel-nya pun dianggap sama. Perhitungan suhu modul dan
suhu sel menggunakan masing masing persamaan (2.35) dan (2.36).
449.45
= 37.94 + 3 = 39.28
1000
Mulai
Input data Isc0, Imp0, Voc0, Vmp0, Isc, Imp, Voc, Vmp,
Eb, Ed, EPOA, E0, Tc, T0, n, Ns, k, q, a0-a4, b0-b5, C0-C7,
fd
A
Universitas Indonesia
Menghitung Isc
Menghitung Ee
Menghitung Pmp
Universitas Indonesia
Nilai f1 dan f2 masing masing merupakan nilai air mass modifier (MAM)
dan AOI modifier (MAOI), yang dapat dihitung dengan persamaan (2.25) dan
(2.17) maka didapat,
Nilai (Tc) merupakan nilai tegangan termal per sel pada suhu Tc sesuai
dengan persamaan (2.44).
Nilai Isc pada kondisi operasinya sangat dipengaruhi besar radiasi matahari
yang diserap PV sesuai dengan persamaan (2.37) maka didapat,
= 1.87 A
Universitas Indonesia
1.87
= = 0.425
4.37(1 + 0.000401(39.28 25))
Nilai Imp, Voc, dan Vmp dapat ditentukan menggunakan masing masing
persamaan (2.38), (2.39), dan (2.40), jika semua parameter penentunya telah
diketahui termasuk nilai koefisien C0, C1, C2, dan C3 sehingga didapat,
= 1.67 A
= 39.05 V
= 32.44 V
Nilai Pmp baru dapat ditentukan ketika nilai Imp dan Vmp telah diketahui.
Universitas Indonesia
Tabel 3.3 Hasil parameter keluaran setiap tipe PV dengan metode SPAPM
Mulai
Input data Isc0, Imp0, Voc0, Vmp0, Isc, EPOA, E0, Tc,
T0, n, Ns, k, q
A
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Nilai lima parameter pada kondisi referensi dapat ditentukan dari nilai
parameter keluaran PV serta kurva karakteristiknya pada kondisi referensi (STC).
Seperti yang sudah dijelaskan pada subbab 2.7.2, dari kurva karakteristik PV akan
didapat lima kondisi kerja PV. Lalu, kelima kondisi ini akan disubsitusikan ke
persamaan (2.48) sehingga dihasilkan persamaan (2.49) hingga (2.53).
Hal pertama yang dilakukan adalah menentukan nilai aref. Nilai ideality
factor sangat bergantung pada besar suhu sel modul PV. Sehingga, nilai aref
merupakan nilai ideality factor ketika suhu sel pada kondisi referensi, yaitu Tc =
T0 = 25C. Dengan begitu, nilai aref dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan (2.54).
0 0 0
, = + (1 ) (3.1)
0 0 0
0 0 0 0 0
= (1 + 2 + 3 + 4 ) (3.2)
0 0 0 0 0
5.411
= ( 6.450 )
3.41
4.422
Universitas Indonesia
Namun, dalam beberapa kasus hasil nilai Rs,ref yang didapat dari persamaan
(3.1) terkadang bernilai negatif. Sehingga dibutuhkan cara pendekatan yang lain
dalam menentukan nilai Rs,ref ini, mengingat pada kondisi nyata tidaka ada
hambatan yang bernilai negatif. Salah satu caranya adalah dengan menghilangkan
komponen Rs dan Rsh pada rangkaian ekuivalen dan menggantinya dengan
hambata photovoltaic atau Rpv [27]. Sehingga rangkaian ekuivalen single diode
menjadi seperti pada gambar (3.9).
Nilai Rpv sendiri dapat ditentukan dengan persamaan (3.1) dan (3.2).
komponen R pada gambar diatas merupaka beban yang terpasang.
= 0 (
1) (3.3)
+
= ln (3.4)
= ( + ) (3.5)
Universitas Indonesia
=
(3.6)
= (3.7)
2 1
= (3.8)
1 2
Nilai V1(Isc1-I, Rpv1, VT1, Io1, Iph1) dan V2(Isc2-I, Rpv12, VT2, Io2, Iph2)
ditentukan dengan persamaan (3.4) dengan komponen variable masing masing.
Index 2 menyatakan parameter dengan nilai total radiasi yang lebih kecil. Nilai I
ditentukan dengan persamaan (3.9).
= (3.9)
dimana,
= 0.5 2 (3.10)
Setelah nilai aref dan Rs,ref diketahui, maka kita dapat mencari nilai IL,ref,
Io,ref, dan Rsh,ref dengan menurunkan secara aljabar persamaan (2.49) hingga
(2.53). Dari persamaan (2.50) didapat persamaan untuk menentukan nilai IL,ref
yaitu,
Universitas Indonesia
0
0
, = , [ 1] + (3.11)
,
0 0 ,
0 0 ,
0 = , [ ]+ (3.12)
,
0 0 +0 ,
0 0 0 ,
0 = , [ ]+ (3.13)
,
Dari kedua persamaan diatas didapat dua variabel yang belum diketahui,
yaitu Io,ref dan 1/Rsh,ref. Dengan operasi eliminasi aljabar kita dapat menyelesaikan
dua persamaan tersebut dengan mengeliminasi salah satu variabel yang belum
diketahui sehingga kita dapat menentukan nilai variabel lainnya. Pada perhitungan
ini variabel yang dieliminasi adalah 1/Rsh,ref, sehingga kita dapat menentukan nilai
Io,ref. Dengan begitu didapat persamaan Io,ref yaitu,
0 (0 0 , )0 (0 0 0 , )
, = 0 0 +0 , 0 0 , (3.14)
( )(0 0 , )( )(0 0 0 , )
Dengan persamaan (3.14) maka nilai dari Io,ref dapat ditentukan yaitu,
, = 5.92 1010
, = 96.01
Universitas Indonesia
, = 4.38
Setelah semua nilai lima parameter pada kondisi referensi (STC) diketahui,
maka kita dapat mencari nilai lima parameter dari modul PV pada kondisi
operasinya.
Pertama, kita akan mennghitung nilai a (ideality factor), dimana nilai ini
sangat bergantung pada suhu sel dari modul PV yang digunakan sesuai dengan
persamaan (2.55).
= 1.989
= 1.97
= 4.75 109
Lalu, kita akan menentukan nilai hambatan shunt pada kondisi operasi PV,
dimana nilai hambatan ini dipengaruhi oleh nilai total radiasi. Untuk hambatan
seri nilainya konstan atau tidak akan berubah ubah seiring dengan perubahan
Universitas Indonesia
besar total radiasi matahari dan suhu sel, sesuai dengan persamaan (2.58). Nilai
dari hambatan shunt sendiri ditentukan oleh persamaan (2.59).
= 213.62
Setelah nilai a, IL, Io, Rs, dan Rsh diketahui, kelima nilai tersebut
disubsitusikan ke persamaan (2.48), sehingga didapat persmaan arus terhadap
tegangan sebagai berikut.
+0.34
+0.34
= 1.97 4.75043 109 [ 1.98 1] (3.15)
213.62
+ = + (3.16)
Universitas Indonesia
maka didapat,
+ ( + )
+ = + (3.17)
= + (3.18)
= ( )+
= (3.19)
ln = (3.20)
ln ln = (ln ) (3.21)
ln = ( (ln ) ) (3.22)
Universitas Indonesia
1 ln
= ( ) (3.23)
ln
= ( + ) () (3.24)
+ +
dengan,
( + )+
( )
= +
(3.25)
+
Universitas Indonesia
Tabel 3.4 Hasil nilai arus untuk setiap nilai tegangan dengan menggunakan
fungsi Lambert W
Universitas Indonesia
Dari hasil perhitungan pada tabel diatas, maka kita dapat memplot kurva
karakteristik (I-V) PV pada kondisi operasinya yang dapat dilihat pada gambar
(3.10).
1.5
1
I
0.5
0
11.2
12.8
14.4
17.6
19.2
20.8
22.4
25.6
27.2
28.8
30.4
33.6
35.2
36.8
38.4
0
8
1.6
3.2
4.8
6.4
9.6
16
24
32
-0.5
V
Gambar 3.10 Kurva karakteristik modul PV pada kondisi operasi.
Dengan melihat hasil perhitungan arus pada tabel (3.4) serta gambar kurva
karakteristik (3.7), kita dapat mengetahui nilai parameter keluaran modul PV pada
kondisi operasinya.
Sama seperti metode SPAPM, pada metode five parameters juga dilakukan
perhitungan performa PV untuk tiga jenis PV yang berbeda (mono-crystalline,
Universitas Indonesia
poly-crystalline, dan thin film). Pada tabel (3.5) dapat dilihat hasil parameter
keluaran ketiga jenis PV dengan menggunakan metode five parameters.
Tabel 3.5 Hasil parameter keluaran setiap tipe PV dengan metode Five
Parameters
Universitas Indonesia
Hasil perhitungan yang didapat dari pengolahan data klimatologi dan data
elektris modul PV pada kondisi STC dengan kedua metode berupa parameter
keluaran modul PV pada kondisi operasinya. Nilai nilai dari parameter keluaran
inilah yang pada bab ini akan dianalisis serta dibandingkan antara kedua metode.
Perlu diketahui juga, pada skripsi ini perhitungan dilakukan pada tiga tipe modul
PV yang berbeda, yaitu mono-crystalline (Siemens SP-75), poly-crystalline
(Solarex MSX-64), dan thin film (Astropower APX-90).
67
Universitas Indonesia
hasil parameter keluaran modul PV. Selain dapat memprediksikan energi yang
dihasilkan sebuah modul PV, metode SPAPM juga dapat menghitung dan
memprediksikan besar energi yang dihasilkan suatu array PV.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Jenis PV a Rs Io IL Rsh
Mono-crystalline 1.989 0.335 4.75E-09 1.97 213.62
Poly-crystalline 1.987 0.023 9.79E-09 1.91 189.41
Thin film 2.046 0.67 7.11E-06 2.66 155.12
Dari tabel (4.1) dan (4.2) diketahui bahwa perhitungan nilai lima parameter
yang dilakukan sudah sesuai dengan dasar teori yang ada. Hal ini bisa dilihat dari
hasil nilai lima parameter yang didapat, dimana nilai IL,ref dan IL pada kondisi
operasi masing masing mendekati nilai Isc0 dan Isc pada kondisi operasi. Lalu
nilai Io yang didapat, baik pada kondisi referensi maupu operasi, memiliki nilai
yang sangat kecil berkisar antara orde 10-6 10-10. Terakhir, nilai Rs yang didapat
sudah cukup kecil, sedangkan nilai Rsh,ref dan Rsh pada kondisi operasi yang
didapat sudah cukup besar. Hal ini sesuai dengan kondisi ideal PV, dimana nilai
Rs diinginkan sekecil mungkin dan nilai Rsh diinginkan sebesar mungkin.
Universitas Indonesia
dapat memberikan hasil yang cukup presisi. Selain itu, dari tabel (3.3) dan (3.5)
dapat diketahui juga tipe PV yang memiliki nilai Pmp paling kecil adalah tipe thin
film, yaitu 39,62 W (metode SPAPM) dan 43,29 W (metode Five Parameters).
Hal ini sesuai dengan dasar teori ada, dimana modul PV dengan tipe thin film
memiliki nilai efisiensi yang lebih kecil disbanding dua tipe lainnya, yaitu
berkisar antara 4 6% saja.
1.5
1
I
0.5
0
0 10 20 30 40 50
V
(a)
Universitas Indonesia
2.5
1.5
1
I
0.5
10.2
11.9
13.6
15.3
18.7
20.4
22.1
23.8
25.5
27.2
28.9
30.6
32.3
35.7
37.4
39.1
0
1.7
3.4
5.1
6.8
8.5
17
34
-0.5
V
(b)
Gambar 4.1 Kurva karakteristik (I-V) Siemens SP-75 pada kondisi operasi dengan
(a) metode SPAPM dan (b) metode five parameters
1.5
1
I
0.5
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40
V
(a)
2.5
1.5
1
I
0.5
0
11.2
12.8
14.4
17.6
19.2
20.8
22.4
25.6
27.2
28.8
30.4
33.6
35.2
36.8
0
8
1.6
3.2
4.8
6.4
9.6
16
24
32
-0.5
V
(b)
Gambar 4.2 Kurva karakteristik (I-V) Solarex MSX-64 pada kondisi operasi
dengan (a) metode SPAPM dan (b) metode five parameters
Universitas Indonesia
2.5
1.5
I
1
0.5
0
0 5 10 15 20 25 30
V
(a)
2.5
1.5
1
I
0.5
0
15.4
18.7
12.1
13.2
14.3
16.5
17.6
19.8
20.9
23.1
24.2
25.3
0
1.1
2.2
3.3
4.4
5.5
6.6
7.7
8.8
9.9
11
22
-0.5
V
(b)
Gambar 4.3 Kurva karakteristik (I-V) Astropower APX-90 pada kondisi operasi
dengan (a) metode SPAPM dan (b) metode five parameters
Pada subbab ini akan dipaparkan pengaruh dari perubahan suhu dan radiasi
matahari terhadap nilai parameter keluaran modul PV serta kurva karakteristiknya
Universitas Indonesia
Perubahan suhu lingkungan (Ta) memengaruhi nilai dari suhu modul dan
sel, seperti yang dapat dilihat pada persamaan (2.35) dan (2.36). Perubahan suhu
sel ini sangat berpengaruh pada nilai Voc dan Vmp, sehingga nilai Pmp juga dapat
berubah. Hal ini dikarenakan perubahan suhu memengaruhi perubahan celah pita
energi () sel surya, sehingga nilai beda potensial pada bahan semikonduktor sel
surya pun berubah. Dengan meningkatnya suhu sel maka celah pita energy akan
mengecil atau menyempit. Selain itu, perubahan suhu ini juga memengaruhi
banyaknya elektron yang terlepas dari ikatan kovalennya, dimana semakin
meningkatnya suhu maka semakin banyak elektron yang terlepas dari ikatan
kovalennya.
Tabel 4.3 Pengaruh suhu sel terhadap nilai parameter keluaran untuk modul
PV tipe Mono-crystalline
Universitas Indonesia
Tabel 4.4 Pengaruh suhu sel terhadap nilai parameter keluaran untuk modul
PV tipe Poly-crystalline
Tabel 4.5 Pengaruh suhu sel terhadap nilai parameter keluaran untuk modul
PV tipe Thin film
2
1.8
1.6
1.4
1.2
1
I
0.8 Tc = 39,28C
0.6 Tc = 48,68C
0.4
0.2 Tc = 53,68C
0
0 10 20 30 40
V
Gambar 4.4 Pengaruh perubahan suhu sel terhadap kurva karakteristik (I-V)
Siemens SP-75 dengan metode SPAPM
Universitas Indonesia
2
1.8
1.6
1.4
1.2
1
I
0.8 Tc = 39,28C
0.6 Tc = 48,68C
0.4
0.2 Tc = 53,68C
0
0 10 20 30 40
V
Gambar 4.5 Pengaruh perubahan suhu sel terhadap kurva karakteristik (I-V)
Solarex MSX-64 dengan metode SPAPM
2.5
1.5
I
1 Tc = 39,28C
Tc = 48,68C
0.5
Tc = 53,68C
0
0 5 10 15 20 25
V
Gambar 4.6 Pengaruh perubahan suhu sel terhadap kurva karakteristik (I-V)
Astropower APX-90 dengan metode SPAPM
Pada gambar (4.4) hingga (4.6) bisa kita lihat bahwa pengaruh suhu
terhadap kurva karakteristik (I-V) untuk ketiga jenis PV kurang lebih sama. Dapat
kita lihat semakin besar nilai suhu sel maka nilai tegangan open circuit dari modul
PV akan bergeser ke kiri atau semakin kecil, sehingga nilai daya maksimum dari
modul PV pun akan menurun. Pada kurva karakteristik ketiga jenis PV juga dapat
dilihat pengaruh kenaikan suhu sel terhadap kondis kerja modul PV saat arus
Universitas Indonesia
hubung singkat tidak terlalu signifikan, sehingga dapat dikatakan pada kondisi ini
nilai arus PV tidak begitu terpengaruh.
Perubahan besar total radiasi matahari ini juga memengaruhi nilai suhu
modul dan suhu sel, sesuai dengan persamaan (2.35). Sehingga secara tidak
langsung perubahan nilai total radiasi juga sedikit memengaruhi nilai tegangan
keluaran PV. Namun, baik perubahan nilai suhu sel maupun nilai tegangan
keluaran PV tedak begitu signifikan sehingga fenomena ini dapat diabaikan.
Pengaruh perubahan total radiasi matahari terhadap nilai parameter keluaran
untuk setiap jenis modul PV dapat dilihat pada tabel (4.6) hingga (4.8).
Universitas Indonesia
Kita juga dapat melihat pengaruh perubahan total radiasi matahari terhadap
kurva karakteristik (I-V) pada kondisi operasi untuk ketiga jenis modul PV
dengan melihat data parameter keluaran pada tabel (4.6) hingga (4.8), yaitu
sebagai berikut.
3.5
3
2.5 E = 449,44
2 W/m2
E = 731,19
I
1.5 W/m2
1 E = 799,51
W/m2
0.5
0
0 10 20 30 40
V
Universitas Indonesia
3.5
3
2.5 E = 449,44
W/m2
2
E = 731,19
I
1.5 W/m2
1 E = 799,51
W/m2
0.5
0
0 10 20 30 40
V
4.5
4
3.5
E = 449,44
3
W/m2
2.5 E = 731,19
I
2 W/m2
1.5 E = 799,51
1 W/m2
0.5
0
0 5 10 15 20 25
V
Pada gambar (4.7) hingga (4.9) bisa kita lihat bahwa pengaruh total radiasi
matahari terhadap kurva karakteristi (I-V) untuk ketiga jenis PV kurang lebih
sama. Semakin besar nilai total radiasi maka nilai arus hubung singkat akan
bergeser keatas atau semakin besar. Perubahan total radiasi matahari ini sangat
memengaruhi kondisi kerja modul PV pada saat arus hubung singkat, dimana nilai
arus keluaran PV pada kondisi ini melonjak tinggi ketika total radiasi matahari
meningkat. Untuk tegangan keluaran PV tidak terlalu terpengaruh dengan adanya
Universitas Indonesia
perubahan nilai total radiasi ini, dimana dapat dilihat pada kurva karakteristik nilai
tegangan open circuit memiliki selisih yang sangat kecil (sekitar 0.001 V) seiring
meningkatnya nilai total radiasi matahari atau dapat dikatakan nilai nilai tegangan
open circuit ini akan tetap sama.
Perubahan nilai suhu sel sangat memengaruhi nilai a (diode ideality factor)
sesuai dengan persamaan (2.55) dan nilai Io (diode reverse saturation current)
sesuai dengan persamaan (2.57). Hal ini dikarenakan kinerja komponen dioda
pada rangkaian ekuivalen sangat bergantung dengan temperatur lingkungan
sekitarnya. Semakin besar nilai suhu sel maka nilai a dan Io juga meningkat.
Peningkatan nilai a dan Io ini menyebabkan nilai tegangan open circuit dan
tegangan pada maximum power point dari modul PV semakin kecil. Menurunnya
nilai Voc ini mengakibatkan berkurangnya nilai efisiensi modul PV.
Universitas Indonesia
Tabel 4.9 Pengaruh suhu sel terhadap nilai lima parameter dan nilai
parameter keluaran untuk modul PV tipe Mono-crystalline (Siemens)
Suhu Sel
Parameter
39.28C 48.68C 53.68C
a 1.989 2.049 2.081
Io (A) 4.75E-09 1.69E-08 3.24E-08
IL (A) 1.973 1.975 1.976
Rsh () 213.62 213.62 213.62
Isc (A) 1.97 1.972 1.973
Voc (V) 39.27 37.85 37.1
Imp (A) 1.72 1.72 1.72
Vmp (V) 32.9 31.5 30.68
Pmp (Wdc) 56.58 54.12 52.81
Tabel 4.10 Pengaruh suhu sel terhadap nilai lima parameter dan nilai
parameter keluaran untuk modul PV tipe Poly-crystalline (Solarex)
Suhu Sel
Parameter
39.28C 48.68C 53.68C
a 1.987 2.048 2.078
Io (A) 9.79E-09 3.58E-08 6.92E-08
IL (A) 1.914 1.917 1.918
Rsh () 189.41 189.41 189.41
Isc (A) 1.91 1.916 1.918
Voc (V) 37.71 36.21 35.4
Imp (A) 1.65 1.66 1.66
Vmp (V) 31.91 30.33 29.49
Pmp (Wdc) 52.7 50.25 48.95
Universitas Indonesia
Tabel 4.11 Pengaruh suhu sel terhadap nilai lima parameter dan nilai
parameter keluaran untuk modul PV tipe Thin film (Astropower)
Suhu Sel
Parameter
39.28C 48.68C 53.68C
a 2.04 2.12 2.14
Io (A) 7.12E-06 1.9E-05 3.14E-05
IL (A) 2.28 2.284 2.286
Rsh () 155.12 155.12 155.12
Isc (A) 2.29 2.294 2.296
Voc (V) 26.08 24.79 24.1
Imp (A) 2.17 2.16 2.16
Vmp (V) 19.98 18.7 18.1
Pmp (Wdc) 43.29 40.12 38.46
Gambar 4.10 Pengaruh parameter ideality factor (a) pada kurva karakteristik (I-V)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.5
2
1.5 Tc = 39,28C
1
Tc = 48,68C
I
0.5
Tc = 53,68C
0
0 10 20 30 40
-0.5
-1
V
Gambar 4.12 Pengaruh perubahan suhu sel terhadap kurva karakteristik (I-V)
Siemens SP-75 dengan metode Five Parameters
2.5
2
1.5
1 Tc = 39,28C
I
0.5 Tc = 48,68C
0 Tc = 53,68C
0 10 20 30
-0.5
-1
V
Gambar 4.13 Pengaruh perubahan suhu sel terhadap kurva karakteristik (I-V)
Solarex MSX-64 dengan metode Five Parameters
Universitas Indonesia
2.5
1.5
Tc = 39,28C
1
I
Tc = 48,68C
0.5 Tc = 53,68C
0
0 10 20
-0.5
V
Gambar 4.14 Pengaruh perubahan suhu sel terhadap kurva karakteristik (I-V)
Astropower APX-90 dengan metode Five Parameters
Pada gambar (4.12) hingga (4.14) dapat dilihat bahwa peningkatan suhu sel
mengakibatkan kurva karakteristik bergeser ke kiri atau dengan kata lain nilai
tegangan open circuit PV semakin kecil. Hal ini menyebabkan daerah kerja modul
PV pada saat tegangan open circuit semakin menyempit atau mengecil sehingga
nilai tegangan keluaran PV pun berkurang, termasuk nilai Vmp dari modul PV.
Seperti yang telah diketahui bahwa peningkatan nilai suhu sel menybabkan
meningkatnya nilai a dan Io, serta peningkatan nilai a sendiri menyebabkan kurva
karakteristik bergeser ke kanan atau nilai Voc meningkat, namun dari hasil kurva
karakteristik yang didapat adalah nilai tegangan open circuit menurun seiring
peningkatan nilai a. Hal ini disebabkan peningkatan dari nilai a tidak terlalu
dominan dibandingkan dengan peningkatan nilai Io, yang menyebabkan kurva
karakteristik lebih cenderung bergeser ke kiri.
Selain itu, pada kurva karakteristik juga dapat dilihat peningkatan nilai
suhu sel sama sekali tidak memengaruhi nilai maupun daerah kerja PV pada arus
hubung singkat. Walaupun terdapat perubahan pada nilai arus hubung singkat,
namun perubahan ini tidak terlalu signifikan. Sehingga, nilai arus keluaran PV
yang dianggap tetap dan nilai teganganya yang menurun seiring peningkatan nilai
suhu sel menyebabkan menurunnya daya maksimum dari modul PV.
Universitas Indonesia
Pada metode perhitungan five parameters, perubahan nilai total radiasi akan
memengaruhi nilai parameter IL (light current) dan Rsh (hambatan shunt) sesuai
dengan persamaan (2.56) dan (2.59). Nilai IL akan semakin besar bila total radiasi
matahari yang diserap oleh permukaan modul PV meningkat. Sedangkan, untuk
nilai Rsh akan semakin kecil seiring peningkatan nilai total radiasi. Peningkatan
nilai IL ini menyebabkan nilai parameter Isc modul PV meningkat, hal ini sudah
sesuai dasar teori yang ada dimana IL Isc. Selain nilai Isc, nilai arus keluaran PV
untuk setiap nilai tegangan juga meningkata termasuk nilai arus maksimum power
point (Imp). Lalu, perubahan nilai Rsh memengaruhi kestabilan nilai arus keluaran
PV ketika modul PV bekerja pada kondisi arus hubung singkat, dimana semakin
besar nilai Rsh maka arus keluaran PV akan semakin stabil hingga titik Pmp dan
jika semakin kecil nilai Rsh maka nilai arus keluaran PV akan lebih cepet turun
hingga titik Pmp.
Tabel 4.12 Pengaruh total radiasi matahari terhadap nilai lima parameter
dan nilai parameter keluaran untuk modul PV tipe Mono-crystalline
(Siemens)
Universitas Indonesia
Tabel 4.13 Pengaruh total radiasi matahari terhadap nilai lima parameter
dan nilai parameter keluaran untuk modul PV tipe Poly-crystalline (Solarex)
Tabel 4.14 Pengaruh total radiasi matahari terhadap nilai lima parameter
dan nilai parameter keluaran untuk modul PV tipe Thin film (Astropower)
Perubahan nilai IL dan Rsh juga dapat memengaruhi bentuk dari kurva
karakteristik (I-V) modul PV. Gambar (4.15) merupakan pengaruh perubahan
nilai IL pada kurva karakteristik, dimana semakin besar nilai IL maka kurva akan
Universitas Indonesia
bergeser ke atas yang menyebabkan nilai Isc dan Imp semakin besar. Sedangkan
untuk nilai Voc sama sekali tidak terpengaruh.
Gambar 4.15 Pengaruh parameter light current (IL) pada kurva karakteristik (I-V)
Universitas Indonesia
Gambar 4.16 Pengaruh parameter hambatan shunt (Rsh) pada kurva karakteristik
(I-V)
4
3.5
3
2.5 E = 449.45
2 W/m2
1.5
E = 731.19
I
1
W/m2
0.5
0 E = 799.51
-0.5 0 10 20 30 40 W/m2
-1
-1.5
V
Universitas Indonesia
4
3.5
3
2.5
2 E = 449.45
1.5
I
W/m2
1 E = 731.19
0.5 W/m2
0 E = 799.51
-0.5 0 10 20 30 W/m2
-1
V
4.5
4
3.5
3
2.5 E = 449.45
W/m2
I
2 E = 731.19
1.5 W/m2
1 E = 799.51
W/m2
0.5
0
0 10 V 20
Pada gambar (4.17) hingga (4.19) dapat dilihat bahwa peningkatan nilai
total radiasi matahari menyebabkan kurva karakteristik (I-V) dari modul PV
bergerser keatas atau dengan kata lain nilai arus hubung singkat modul PV
membesar. Hal ini menyebabkan daerah kerja modul PV pada saat arus hubung
singkat melebar atau semakin besar sehingga nilai arus keluaran modul PV pun
meningkat, termasuk nilai Imp dari modul PV. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, peningkatan nilai total radiasi matahari menyebabkan meningkatnya
Universitas Indonesia
nilai IL dan menurunnya nilai Rsh. Peningkatan nilai IL inilah yang memberikan
dampak pada kurva karakteristik untuk bergeser ke atas. Lalu, penurunan nilai Rsh
juga memberikan dampak pada kurva karakteristik, yaitu pada kemiringan dari
daerah kerja modul PV pada kondisi arus hubung singkat dimana kemiringan dari
daerah ini akan membesar dan menjadi landai. Hal ini mengakibatkan nilai arus
keluaran PV akan lebih cepat menurun seiring bertambahnya nilai tegangan PV.
Selain itu, pada kurva karakteristik juga dapat dilihat peningkatan nilai total
radiasi matahari sama sekali tidak mempangaruhi nilai dari tegangan open circuit
modul PV. Sehingga nilai arus keluaran PV yang meningkat dan tegangan
keluaran PV yang dianggap tetap seiring peningkatan nilai total radiasi yang
diserap permukaan modul PV menyebabkan meningkatnya nilai daya keluaran
maksimum dari modul PV.
4.4 Pengaruh Perubahan Suhu Sel dan Total Rediasi terhadap Daya
Keluaran Maksimum Modul PV
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perubahan suhu sel dan total
radiasi juga mempengeruhi besar daya keluaran maksimum dari modul PV,
dimana semakin besar nilai suhu sel maka daya keluaran maksimum akan
menurun dan semakin besar total radiasi yang diserap maka daya keluaran
maksimum akan meningkat. Gambar (4.20) hingga (4.22) memperlihatkan grafik
hubungan antara daya keluaran maksimum terhadap suhu sel, sedangkan gambar
(4.23) hingga (4.25) memperlihatkan hubungan antara daya keluaran maksimum
terhadap total radiasi.
Universitas Indonesia
55
54
53
Pmp (Wdc)
52
m = 1.9573
51
50
49
48
39.28 48.68 53.68
Suhu Sel (C)
52
51
50
Pmp (Wdc)
49
m = 1.8505
48
47
46
45
39.28 48.68 53.68
Suhu Sel (C)
Universitas Indonesia
40
39
Pmp (Wdc) 38
m = 1.6915
37
36
35
34
39.28 48.68 53.68
Suhu Sel (C)
Peningkatan nilai suhu sel ini memiliki efek yang kurang lebih sama
terhadap ketiga jenis PV. Pada gambar grafik (4.20) hingga (4.22) diketahui untuk
jenis modul PV mono-crystalline, poly-crystalline, dan thin film masing masing
memiliki kemiringan sebasar 1,96 , 1,85 , dan 1,69. Jenis modul PV yang
memiliki nilai kemiringan yang paling kecil merupakan jenis modul PV yang
paling tahan terhadap perubahan suhu. Sehingga, dapat diketahui pada modul PV
jenis mono-crystalline memliki dampak yang paling signifikan terhadap
peningkatan nilai suhu sel, dimana memiliki nilai kemiringan grafik (Pmp vs Tc)
sebesar 1,96. Sedangkan modul PV jenis thin film memiliki dampak yang paling
kecil dari peningkatan nilai suhu sel ini dengan nilai kemiringan grafik (Pmp vs Tc)
Universitas Indonesia
sebesar 1,69 , sehingga dapat dikatakan modul PV jenis thin film lebih tahan dari
dampak perubahan suhu lingkungan.
100
90
80 m = 18.247
70
Pmp (Wdc)
60
50
40
30
20
10
0
449.45 731.19 799.51
Total Radiasi (W/m2)
100
90
80 m = 17.775
70
Pmp (Wdc)
60
50
40
30
20
10
0
449.45 731.19 799.51
Total Radiasi (W/m2)
Universitas Indonesia
80
70
60 m = 14.732
Pmp (Wdc) 50
40
30
20
10
0
449.45 731.19 799.51
Total Radiasi (W/m2)
Peningkatan nilai total radiasi ini memiliki efek yang kurang lebih sama
terhadap ketiga jenis PV. Pada gambar grafik (4.23) hingga (4.25) diketahui untuk
jenis modul PV mono-crystalline, poly-crystalline, dan thin film masing masing
memiliki kemiringan sebasar 18,25 , 17,77 , dan 14,73. Jenis modul PV yang
memiliki nilai kemiringan yang paling besar merupakan jenis modul PV yang
memiliki efisiensi paling tinggi. Sehingga, dapat diketahui pada modul PV jenis
mono-crystalline dan poly-crystalline memliki dampak yang cukup signifikan
terhadap peningkatan nilai total radiasi, dimana nilai daya maksimum dari kedua
jenis PV ini meningkat 32 35 Wdc seiring peningkatan nilai total radiasi dengan
nilai kemiringan pada grafik (Pmp vs EPOA) yang besar, yaitu masing masing
18,25 dan 17,77. Sehingga dapat dikatakan modul PV jenis mono-crystalline dan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
95
Universitas Indonesia
daya listrik yang besar seiring peningkatan total radiasi matahari dan
memiliki dampak yang tidak terlalu besar terhadap perubahan suhu
lingkungan di daerah tropis.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
[14] http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/declination-
angle, Diakses Maret 2016, dari http://www.pveducation.org
[15] http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/elevation-
angle, Diakses Maret 2016, dari http://www.pveducation.org
[16] http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/azimuth-
angle, Diakses Maret 2016, dari http://www.pveducation.org
[17] De Soto, Widalys, Improvement and Validation of a Model for
Photovoltaic Array Performance, Mechanical Engineering, Solar Energy
Laboratory, University of Wisconsin-Madison, 2004.
[18] D. King, J. Kratochvil, and W. Boyson, Measuring Solar Spectral and
Angle-of-Incidence Effects on PV Modules and Solar Irradiance Sensors,
Photovoltaic System Departement, Sandia National Laboratories,
September 1997.
[19] D. King, J. Kratochvil, and W. Boyson, Photovoltaic Array Performance
Model, Photovoltaic System Departement, Sandia National Laboratories,
Desember 2004.
[20] http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/air-mass,
Diakses Maret 2016, dari http://www.pveducation.org
[21] https://pvpmc.sandia.gov/index.php/air-mass/, Diakses Maret 2016, dari
https://pvpmc.sandia.gov
[22] Yohana, M. d. (n.d.). Pengaruh Suhu Permukaan Photovoltaic Module
50 Watt Peak Terhadap Daya Keluaran Yang Dihasilkan Menggunakan
Reflektor Dengan Variasi Sudut Reflektor, Jurnal Teknik Mesin, 14.
[23] http://www.pveducation.org/pvcdrom/solar-cell-operation/solar-cell-
structure, Diakses Maret 2016, dari http://www.pveducation.org
[24] https://pvpmc.sandia.gov/index.php/sandia-module-temperature-model/,
Diakses Maret 2016, dari https://pvpmc.sandia.gov
[25] https://pvpmc.sandia.gov/index.php/sandia-cell-temperature-model/,
Diakses Maret 2016, dari https://pvpmc.sandia.gov
[26] Nouar Aoun, Rachid Chenni, Boukheit Nahman, Kada Bouchouicha,
Evaluation and Validation of Equivalent Five-Parameter Model
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
LAMPIRAN