Penyakit ini berdiri terpisah dari infeksi viral akut lainnya berdasarkan masa laten yang
diikuti oleh inokulasi virus dan gejala klinis yang khas. Contoh kasus rabies pada
manusia di Amerika Serikat sangat jarang terjadi, dari 1980-1997 hanya dijumpai 34
kasus dan sejak 1960, <5 kasus yang terjadi selama 1 tahun. Pada beberapa daerah
(Australia, Hawaii, Inggris dan Scandinavia), belum ada kasus yang dilaporkan.
Berbeda dengan India yang memiliki insidensi tinggi. Penyakit ini penting karena
bersifat fatal ketika gejala klinis muncul, menyebabkan tingkat kelangsungan hidup
individu yang terinfeksi tergantung pada terapi yang diperoleh sebelum infeksi.
Selanjutnya, setiap tahun 20.000-30.000 individu diobati dengan vaksin rabies, digigit
oleh hewan yang mungkin menderita rabies, meskipun insidensi terjadinya komplikasi
setelah vaksinasi rabies lebih rendah dibandingkan sebelumnya.
Etiologi
Seluruh kasus rabies merupakan hasil inokulasi virus transdermal yang disebabkan oleh
gigitan hewan. Di negara berkembang, dimana rabies sering terjadi, sumber virus yang
paling sering adalah anjing yang menderita rabies. Di Eropa Barat dan Amerika Serikat,
spesies yang membawa virus adalah rakun, sigung, rubah dan kelelawar. Karena hewan
yang menderita rabies menggigit tanpa provokasi, sifat serangan harus dinilai. Selain
itu, prevalensi hewan yang menderita virus rabies di Amerika Serikat Serikat berbeda di
setiap negara bagian Amerika Serikat dan munculnya penyakit ini berguna untuk
mencari faktor resiko. Kasus yang jarang disebabkan oleh inhalasi virus yang dibawa
oleh kelelawar ; riwayat masuk ke gua merupakan salah satu cara mendapatkan infeksi.
Pada beberapa kasus, sumber infeksi mungkin tidak dapat diidentifikasi. Epidemiologi
dan aspek kesehatan lingkungan telah dibahas oleh Fishbein dan Robinson.
Gejala Klinis
Masa inkubasi biasanya 20-60 hari tetapi dapat juga 14 hari, terutama pada kasus
dengan gigitan multipel yang dalam disekitar muka dan leher. Geli atau kebas pada
lokasi gigitan, bahkan setelah luka sembuh merupakan salah satu karakteristik. Hal ini
menunjukkan bahwa respon inflamasi muncul ketika virus mencapai ganglion sensori.
Gejala neurologis utama diikuti oleh 2-4 hari demam prodromal, nyeri kepala dan
malaise yang terdiri atas disartria, overaktivitas psikomotor diikuti oleh disfagia
(salivasi dan mulut berbuih), spasme otot tenggorokan disbebkan oleh usaha untuk
menelan air atau pada kasus yang jarang atau pada kasus yang jarang karena hidrofobia,
disartria, kebas pada wajah, diplopia dan spasme otot fasial. Gejala ini mengindikasikan
keterlibatan nukleus medullary tegmental. Kejang umum, psikosis dan agitasi dapat
muncul bersamaan. Bentuk paralitik yang jarang terjadi disebabkan oleh infeksi medulla
spinalis. Bentuk paralitik umumnya diikuti oleh gigitan kelelawar atau riwayat vaksinasi
rabies. Koma diikuti oleh gejala ensefalitis akut, kematian terjadi dalam 4-10 hari atau
diatas 10 hari pada bentuk paralitik.
Gejala Patologis
Penyakit ini dibedakan oleh adanya sitoplasma eosinofilik, negri bodies. Mereka
menonjol di sel piramidal hippocampus dan sel Purkinje, tetapi dapat dilihat di sel saraf
di sepanjang otak dan medulla spinalis. Selain itu, adanya invasi perivaskular dan
infiltrasi meningeal dengan limfosit dan sel mononuklear serta nekrosis inflamasi sel
fokal seperti yang tampak pada infeksi viral lainnya. Reaksi inflamasi terjadi paling
intens di batang otak. Kumpulan mikroglial fokal pada penyakit ini dianggap sebagai
nodul Babes (dinamai berdasarkan ahli mikrobiologi Victor Babes).
Pengobatan
Gigitan dan goresan dari hewan yang berpotensial rabies sebaiknya dibersihkan dengan
sabun dan air serta setelah sabun dibersihkan, bersihkan dengan benzyl ammonium
klorida (Zephiran), telah terbukti dapat menginaktivasi virus. Luka terbuka
membutuhkan profilaksis tetanus.
Setelah digigit oleh hewan yang nampaknya sehat, hewan tersebut harus
diobservasi selama 10 hari bila diperlukan. Apabila gejala penyakit muncul, hewan
tersebut harus dibunuh dan otaknya disimpan di kulkas serta dikirim ke laboratorium
pemerintah untuk diagnosis yang tepat. Apabila hewan liar ditangkap, sebaiknya
dibunuh dan otaknya diperiksa dengan cara yang sama.
Apabila hewan tersebut terbukti rabies dengan pemeriksaan antibodi fluoresensi
atau pemeriksaan lainnya, atau jika pasien digigit oleh hewan liar yang lepas, profilaksis
pasca paparan harus diberikan. Human rabies immunoglobulin (HRIG) diinjeksi dengan
dosis 20U/kgBB (1/2 dosis diinfilitrasi di sekitar luka dan dosis diinjeksi secara
intramuscular). HRIG bekerja sebagai imunisasi pasif selama 10-20 hari, memberikan
waktu untuk imunisasi aktif. Sebelumnya Duck embryo vaccine (DEV) digunakan dan
telah terbukti dapat menurunkan bahaya alergi encephalomielitis sekitar 1 dalam 1.000
kasus menjadi 1 dalam 25.000 kasus ; namun masih banyak digunakan di bagian dunia
lainnya. Dosis vaksin rabies yang baru dikembangkan pada sel diploid manusia (human
diploid cell vaccine/ HDCV) telah diturunkan dari 5 (dari 23 yang dibutuhkan pada
DEV), diinjeksikan sebesar 1 ml pada hari yang terpapar, selanjutnya diberikan pada
hari ke 3,7,14 dan 28 setelah dosis pertama.
Vaksin HDCV dapat meningkatkan laju respon antibody dan menurunkan reaksi
alergi dengan mengeliminasi protein asing. Sebuah penelitian pada antiviral baru pada
pasien simptomatik belum dilakukan. Orang yang memiliki resiko rabies, seperti
penjaga hewan dan pekerja laboratorium, harus menerima vaksinasi sebelum terpapar
dengan HDCV. Vaksin profilaksis DNA rabies telah direkayasa genetik dan telah diuji
untuk digunakan pada penjaga hewan dan individu resiko tinggi.
Dengan teknik perawatan intensif modern, dijumpai sejumlah orang yang
selamat dari ensefalitis dan semuanya telah menerima imunisasi pasca paparan. Selain
itu, dapat dijumpai abnormalitas sekunder termasuk peningkatan tekanan intracranial,
pelepasan berlebihan hormon antidiuretik, diabetes insipidus dan disfungsi autonomik,
terutama hiper dan hipotensi. Willoughby et al telah sukses mengobati anak perempuan
usia 15 tahun yang belum menerima vaksin menggunakan pendekatan empiris untuk
koma yang diinduksi dengan ketamin dan midazolam yang disupplementasi oleh
ribavirin dan amantadine. Tujuannya adalah untuk membantu pasien sebelum respon
antibodinya matur. Setidaknya 2 atau lebih kasus yang diobati dengan pendekatan yang
sama, dilaporkan tidak ada pasien yang selamat.
Gejala Klinis
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, insidensi herpes zoster meningkat tergantung
dengan usia. Hope-Simpson mengestimasi dari 1.000 orang yang hidup hingga usia 85
tahun, setengahnya akan mengalami serangan zoster dan 10 diantaranya mengalami 2
kali serangan. Gagasan tentang bahwa 1 kali serangan zoster akan memberikan imunitas
seumur hidup adalah salah, meskipun serangan berulang jarang dan erupsi herpes
umumnya disebabkan oleh HSV. Herpes zoster terjadi pada sekitar 10% pasien dengan
limfoma dan 25% pasien dengan penyakit Hodgkin-terutama yang sudah menjalani
spelenktomi atau mendapat radioterapi. Kira-kira 5% pasien herpes zoster mengalami
proses malignansi (sekitar 2 kali jumlah yang diprediksi) dan proporsinya lebih tinggi
jika lebih dari 2 dermatom yang terkena.
Erupsi vesikel umumnya terjadi pada beberapa hari dengan sensasi gatal, geli
atau panas pada dermatom yang terkena dan kadang-kadang terjadi malaise dan demam.
Nyeri radikular lokal yang berat dapat disalah persepsikan sebagai pleurisy,
appendicitis, kolesistitis, muscle strain atau ruptur diskus inverterbalis, hingga diagnosis
dapat ditegakkan dengan munculnya vesikel (hampir 72-96 jam).
Ruam terdiri atas kumpulan vesikel yang jernih dengan dasar eritema, berubah
menjadi cloudy setelah beberapa hari (disebabkan oleh akumulasi sel inflamasi) dan
kering, berkrusta serta bersisik setelah 5-10 hari. Pada jumlah pasien yang sedikit,
vesikel dapat konfluen dan berdarah, serta penyembuhan terjadi setelah beberapa
minggu. Pada beberapa kasus, nyeri dan diestesia terjadi selama 1-4 minggu, tetapi
nyeri juga dapat bertahan selama berbulan-bulan, bertahun-tahun dan memiliki kendala
dalam pengobatan. Gangguan sensasi pada dermatom yang terkena sangat sering terjadi
dan kelemahan segmental serta atropi terjadi pada kira-kira 5% pasien. Pada mayoritas
pasien dengan gejala ruam dan sensorimotor terbatas pada daerah dermatom, terutama
yang mengenai kranial atau ekstremitas, umumnya terkena 2 atau lebih dermatom.
Ruam seluruh tubuh jarang terjadi (dan umumnya berhubungan dengan
malignansi), seperti cacar air atau sama sekali tidak ada (zoster sine herpete), nyeri
sering disebabkan oleh proses seperti skiatika.
Pada setengah atau lebih kasus, cairan serebrospinal menunjukkan peningkatan
sel ringan, terutama limfosit dan peningkatan protein (walaupun punksi lumbal tidak
dilakukan untuk menegakkan diagnosis). Erupsi herpes dapat dipastikan oleh
immunofluoresensi pada lesi kulit menggunakan antibody VZV atau temuan giant cells
multinukleus pada dasar vesikel (hapusan Tzanck). Cairan spinal mengandung antibodi
terhadap virus atau dijumpai 35% bukti adanya organisme dengan pemeriksaan PCR
berdasarkan penelitian Haanpaa et al.
Dermatom apapun dapat menunjukkan adanya infeksi zoster. Dermatom thoraks
terutama T5-T10, merupakan lokasi yang sering terkena, terjadi pada 2/3 kasus, diikuti
oleh regio kranioservikal. Pada beberapa kasus yang berat dengan nyeri yang lebih
berat, tanda-tanda meningeal sering terjadi dan terkena membran mukosa. Komplikasi
zoster lainnya yang jarang, bentuk amyotrofi subakut (zoster paresis) pada tubuh atau
ekstremitas, mungkin berhubungan dengan bentuk restriktif VZV mielitis.
Terdapat 2 karakteristik sindrom herpes kranial-herpes oftalmik dan herpes
genikulat. Pada herpes oftalmik, sebanyak 10-15% dari seluruh kasus zoster, distribusi
nyeri an ruam berada pada divisi pertama nervus trigeminus dan perubahan patologi
terjadi pada ganglion gasserian. Bahaya dari bentuk penyakit herpes pada kornea dan
konjungtiva, menyebabkan kebas dan terbentuk jaringan parut pada kornea. Lemah pada
otot ekstraokular, ptosis, dan midriasis sering berhubungan dengan nervus kranialis
ketiga, keempat dan keenam serta ganglion gasserian. Karakteristik sindrom nervus
kranialis yang jarang adalah kelemahan pada wajah bersamaan dengan erupsi pada
meatus auditorius eksternus, kadang-kadang muncul bersamaan dengan tinnitus, vertigo
dan tuli. Ramsay Hunt disebabkan oleh infeksi herpes pada ganglion genikulata. Denny-
Brown, Adams dan Fitzgerald menemukan bahwa ganglion genikulata hanya terinfeksi
pada orang yang meninggal 64 hari setelah onset yang disebut sebagai sindrom Ramsay
Hunt (waktu dimana pasien sembuh dari kelemahan pada wajah) ; disebabkan oleh
inflamasi pada nervus fasialis.
Herpes zoster pada palatum, faring, leher dan regio retroaurikular (herpes
occipitocollaris) bergantung pada infeksi herpes pada akar servikal atas, ganglia vagus
dan nervus glossofaringeal. Herpes zoster juga dapat berhubungan dengan sindrom
Ramsay Hunt. Distribusi frekuensi zoster pada dermatom tubuh dan kecendurungan
erupsi pada wajah, menunjukkan sindrom neurologis herpes umumnya muncul jika
jarak antara ganglia dengan kulit pendek.
Tanda apabila medulla spinalis terkena muncul pada hari ke 5-21 setelah
munculnya ruam dan berlanjut hingga satu periode waktu. Paraparesis asimetris dan
hilangnya sensoris, gangguan sfingter dan sindrom Brown-Sequard merupakan gejala
klinis yang sering muncul. Cairan serebrospinal dijumpai abnormal dibandingkan zoster
tanpa komplikasi (pleositosis dan peningkatan protein) tetapi temuan lainnya sama
seperti zoster tanpa komplikasi. Perubahan patologi dimana merupakan bentuk
mielopati inflamasi dan vaskulitis, tidak hanya mengenai dorsal horn tetapi juga
mengenai white matter, terutama pada sisi yang sama dan posterior horn. Terapi awal
dengan asiklovir sangat bermanfaat. Pengalaman kami dalam mengobati pasien
termasuk pasien lanjut usia dengan imun yang bagus ; pasien tersebut hampir sembuh
dari mielopati.
Banyak penelitian tentang ensefalitis zoster yang memberikan kesan bahwa
ensefalitis zoster merupakan penyakit yang parah dan muncul akibat serangan shingle
pada pasien dengan imun yang rendah. Penelitian lainnya juga melaporkan bahwa hal
tersebut juga dapat muncul pada pasien dengan AIDS serta vaskulitis pembuluh darah
kecil dapat muncul bersamaan. Jemsek et al mendeskripsikan bentuk ensefalitis yang
rigan pada pasien dengan sistem imun yang normal. Beberapa pasien kami, terutama
wanita lanjut usia, mengalami ensefalitis yang dapat sembuh sendiri selama tahap akhir
serangan shingles. Gejala klinis yang muncul adalah kebingungan, mengantuk, demam
yang tidak terlalu tinggi dengan sedikit meningismus dan kejang juga dialami beberapa
pasien. Kesembuhan sempurna dan hasil MRI normal, dimana membedakan dengan
sindrom vaskulitis. Pada beberapa kasus yang dilaporkan, VZV yang telah diisolasi dari
cairan serebrospinal dan antibodi spesifik terhadap antigen membran VZV (VAMA)
dijumpai pada cairan serebrospinal dan serum, meskipun sulit digunakan untuk
menegakkan diagnosis. (Diagnosis differensial pada pasien usia tua termasuk kondisi
kebingungan, mengantuk yang disebabkan oleh narkotika yang digunakan sebagai
analgetik). Serebellitis varisella, kondisi pasca atau parainfeksi, telah didiskusikan pada
awal bab ini.
Zoster Angiitis
Angiitis serebral merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi VZV, secara
histologi serupa dengan angitis granulomatosa dan Wegener granulomatosis. Umumnya,
pada minggu ke 2-10 setelah onset zoster oftalmika, pasien mengalami hemiparesis
akut, hemianestesi, afasia atau neurologis fokal lainnya, defisit retina yang berhubungan
dengan pleositosis mononuklear pada cairan spinal dan peningkatan IgG di cairan
serebrospinal. Nagel et al menemukan antibodi spesifik terhadap virus pada cairan
serebrospinal lebih sensitif untuk penegakkan diagnosis pada kondisi ini dibandingkan
deteksi DNA virus. CT scan atau MRI menunjukkan infark kecil dan dalam pada
hemisfer ipsilater dari munculnya shingles pada wajah. Angiogram menunjukkan
penyempitan atau oklusi arteri carotid interna yang dekat dengan ganglia, tetapi pada
beberapa kasus, vaskulitis lebih difus hingga mengenai hemisfer kontralateral.
Penyebab angitis dari penyebaran langsung infeksi virus melalui saraf yang
berdekatan masih tidak dapat dipastikan. Linnemann dan Alvira menyatakan bahwa
reaksi alergi selama fase penyembuhan zoster masih belum dapat dipastikan. VZV dapat
dijumpai pada dinding pembuluh darah yang menunjukkan adanya infeksi langsung
serta DNA virus telah diekstraksi dari pembuluh darah yang terkena. Oleh karena
mekanisme yang belum pasti, pengobatan untuk asiklovir intravena dan kortikosteroid
dapat dibenarkan. Dapat dijumpai pula vaskulitis serebral yang muncul setelah ruam
dermatom muncul pada tubuh.
Terdapat suatu tipe vaskulitis yang terlambat mengenai pembuluh darah kecil
dan biasanya terjadi pada pasien dengan AIDS atau immunocompromised. Pada kondisi
ini, beberapa minggu atau bulan setelah 1 atau lebih serangan zoster, ensefalitis subakut
dapat muncul dengan gejala demam dan gejala fokal. Ruam tidak muncul pada beberapa
kasus, tetapi DNA virus dan antibodi terhadap VZV ditemukan pada cairan
serebrospinal. MRI menunjukkan lesi kortikal dan white matter multipel, semakin kecil
dan kurang konfluen dibandingkan leukoensefalopati multifokal progresif. Hampir
seluruh kasus berakhir secara fatal. Vaskulitis dan komplikasi neurologis lainnya telah
diulas oleh Gilden et al (2002). Nagel et al dari laboratorium Gilden menemukan kasus
dimana partikel VZV dijumpai pada arteri temporalis dan virus dapat menstimulasi
perubahan pada arteri temporalis.
Kelemahan pada wajah atau nyeri pada distribusi nervus trigeminal atau
segmental (biasanya lumbal atau intercostals) sebagai akibat dari ganglionitis herpetic,
jarang muncul tanpa keterlibatan kulit (zoster sine herpete) serta herniasi diskus
lumbalis dapat dicurigai. Pada beberapa kasus, respon antibodi terhadap VZV telah
ditemukan (Mayo dan Booss) dan Dueland et all menunjukkan bahwa pasien
immunocompromiseed yang terbukti terkena infeksi zoster secara patologi dan virologi
tidak memiliki lesi pada kulit. Serupa dengan Gilden et al menemukan 2 pasien VZV
immunokompeten yang mengalami nyeri radikular kronik tanpa ruam zoster. Bells
palsy, tic douloureux dan neuralgia interkostal berhubungan dengan aktivasi VZV.
Pengobatan
Vaksin Shingles yang hidup dan dilemahkan diberikan kepada orang dewasa diatas 60
tahun. Hal ini menunjukkan penurunan insidensi shingles dan menurunkan 2/3 insidensi
komplikasi postherpetic.
Selama tahap shingles akut, analgetik dan lotion seperti calamine, membantu
untuk mengurangi rasa nyeri. Block pada akar saraf mengurangi nyeri sementara
sehingga jarang digunakan. Setelah lesi kering, aplikasi salep capsaicin berulang (dari
lada panas) dapat mengurangi rasa nyeri dengan memicu anestesi pada kulit. Ketika
diberikan terlalu cepat stelah fase akut, capsaicin sangat mengiritasi dan harus
digunakan secara hati-hati.
Asiklovir memperpendek durasi nyeri akut dan mempercepat penyembuhan
vesikel, pengobatan dimulai kira-kira 48 jam (penelitian lainnya menyatakan 72 jam)
setelah munculnya ruam. Beberapa penelitian menyarakan durasi neuralgia postherpetic
dikurangi dengan pengobatan selama fase akut dengan famciclovir atau valacyclovir,
tetapi insidensi terjadinya komplikasi tidak berpengaruh. Famciclovir (500 mg untuk 7
hari) atau valacyclovir yang lebih gampang diserap (2 g secara oral) merupakan
alternatif yang lebih baik dibandingkan acyclovir. Penelitian lainnya menunjukkan hasil
memuaskan dalam mencegah nyeri postherpetic dengan menggunakan tricyclic
antidepresan selama fase akut.
Semua pasien dengan zoster oftalmika sebaiknya mendapat acyclovir atau
valacyclovir secara oral. Direkomendasikan aplikasi acyclovir secara topikal pada mata
dapat berupa larutan 0,1% setiap jam atau salep 0,5% 4-5 kali /hari. Pasien
immunocompromised atau dengan zoster disseminated (lesi lebih dari 3 dermatom)
sebaiknya mendapat acyclovir intravena selama 10 hari. Saat ini sudah tersedia
immunoglobulin VZV (VZIG) yang dapat melindungi disseminasi penyakit pada pasien
immunocompromised tetapi tidak disarankan untuk fase akut.
Neuralgia Postherpetic
Merupakan sindrom dengan nyeri yang berat muncul pada 5-10% pasien shingles tetapi
sering terjadi pada pasien > 60 tahun. Efek pengobatan akut yang dapat terjadi telah
dijelaskan diatas tetapi pencegahan dengan vaksinasi lebih menarik.
Manajemen nyeri postherpetic dan diestesia merupakan hal yang penting bagi
pasien dan dokter. Hal ini mungkin akibat interupsi impuls saraf yang tidak lengkap
pada kondisi hiperpatik dimana setiap stimulus memicu nyeri. Pada beberapa penelitian
menunjukkan bahwa amitriptilin terbukti merupakan pengobatan yang efektif. Awalnya
diberikan dosis kira-kira 50 mg sebelum tidur; bila diperlukan, dosis dapat dinaikkan
perlahan hingga 125 mg/hari. Penambahan carbamazepine, gabapentin, pregabalin atau
valproat dapat menurunkan rasa nyeri terutama pada nyeri yang perih.
Salep capsaicin dapat diaplikasikan pada bagian kulit yang nyeri. Dua tablet
aspirin yang diharncurkan dan dicampur dalam krim dingin atau kloroform (15 ml) dan
disebar pada bagian kult yang nyeri, dilaporkan dapat menurunkan rasa nyeri selama
beberapa jam. Efek block pada akar saraf bersifat tidak konsisten, tetapi prosedur ini
dapat mengurangi rasa nyeri dalam sementara waktu. Pada sebuah uji klinis,
penggunaan steroid epidural pada onset ruam memiliki efek minimal. Perlu diperhatikan
bahwa neuralgia postherpetic dapat berkurang pada kasus yang sangat berat dan
persisten, tetapi narkotika jangka pendek dapat diberikan ketika nyeri sangat berat.
Beberapa pasien dengan keluhan nyeri persisten selama lebih dari 1 tahun, dengan
gejala depresi, akan terbantu dengan obat-obatan antidepresi.
Epidemiologi
Selama 25 tahun, infeksi HIV dan AIDS telah menjadi pandemik. Saat buku ini ditulis,
WHO mengestimasi kira-kira 34 juta orang yang terinfeksi di seluruh dunia dan sekitar
1 juta orang dewasa seropositif di Amerika Serikat dengan 50.000 kasus baru setiap
tahun. CDC mengestimasi 18% infeksi belum didiagnosis. Di sub-Saharan Afrika dan
Asia Tenggara, WHO mengestimasi sekitar 25.000.000 orang dewasa-atau hampir 9%
populasi orang dewasa yang terinfeksi. Pada beberapa bagian negara Afrika Timur, 30%
orang dewasa terinfeksi dengan virus.
Di Amerika Serikat, AIDS umumnya terjadi pada laki-laki homoseksual dan
biseksual (2/3 dari seluruh kasus) serta pengguna narkoba baik laki-laki maupun
perempuan (1/3 dari seluruh kasus). Kurang dari 2% pasien hemofilia yang terkena
AIDS, orang-orang yang menerima darah yang telah terinfeksi, penyakit pada bayi dari
ibu dengan AIDS. Selain itu, pada awalnya gejala tidak muncul dan secara immunologi
sistem imun kompeten diturunkan dari ibu ke anak. Penyebaran penyakit oleh kontak
heteroseksual terjadi sekitar 5% kasus, tetapi angka ini perlahan meningkat yang
disebabkan oleh penggunaan narkotika suntik. Sekitar 80% pasien AIDS di Afrika
mendapat penyakit melalui kontak heteroseksual. Infeksi HIV-2 menyebabkan penyakit
yang lebih ringan dibandingkan HIV-1, tetapi hampir gejala klinis dapat dijumpai pada
infeksi HIV-2, termasuk demensia. Diagnosis sulit ditegakkan dengan hasil ELISA
positif tetapi hasil Western blot ngeatif atau indeterminate. Western blot spesifik untuk
HIV-2.
Gejala Klinis
Infeksi HIV menyebabkan banyak gangguan, dimulai dari serokonversi hingga
limfadenopati dan manifestasi klinis sistemik lainnya seperti diare, malaise, penurunan
berat badan, dimana menunjukkan adanya efek langsung virus pada sistem organ dan
multiplikasi infeksi sekunder dari parasit, fungi, virus dan bakteri yang membutuhkan
imunitas seluler. Hingga penemuan terbaru, ketika gejala klinis AIDS muncul, setengah
pasien meninggal dalam 1-3 tahun. Abnormalitas neurologi telah dijumpai pada 1/3
pasien AIDS yang tidak diobati, tetapi autopsy sistem saraf menunjukkan infeksi telah
mengenai semua sistem saraf. Tabel 33-2 menunjukkan infeksi utama dan lesi
neoplastik sistem saraf yang disebabkan oleh AIDS.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, gejala infeksi HIV dapat muncul sebagai
meningitis asimptomatik akut dengan pleositosis limfositik ringan dan peningkatan
protein cairan serebrospinal. Penyakit pada fase akut yang dapat timbul yaitu
meningoensefalitis atau mielopati atau neuropati. Kebanyakan pasien sembuh dari
gangguan neurologic akut, hubungannya dengan AIDS yaitu bahwa penyakit ini tidak
spesifik secara klinis dan langsung berlanjut dengan serokonversi. Ketika serokonversi
terjadi, pasien menjadi rentan terhadap semua komplikasi infeksi HIV. Pada orang
dewasa, interval antara infeksi dan perkembangan AIDS selama beberapa bulan hingga
15 tahun atau lebih, rata-rata latensi sekitar 8-10 tahun dan kurang dari 1 tahun pada
bayi. HIV-2 dapat menunjukkan gejala klinis subacute confusional-dementing dengan
kerusakan white matter dan ganglion basalis.
Infeksi Opportunistik dan Neoplasma pada Sistem Saraf Pusat pada AIDS
Selain dapat menyebabkan efek neurologis akibat infeksi HIV langsung, infeksi
opportunistik baik fokal atau generalisata juga dapat terjadi. Menariknya adalah terdapat
predileksi khusus untuk setiap infeksi opportunistik seperti toksoplasmosis, infeksi
CMV, limfoma sel B primer, kriptokosis dan leukoensefalopati multifokal progresif.
Ensefalitis fokal dan vaskulitis akibat infeksi VZV, tipe TB yang berbeda dan sifilis
merupakan infeksi opportunistik AIDS. Umumnya infeksi P.carinii dan Kaposi sarcoma
tidak menyebar ke sistem saraf.
Toksoplasmosis Dari komplikasi fokal infeksi, toksoplasmosis serebral sering
dijumpai dan dapat diobati. Pada autopsi yang dilaporkan oleh Navia, Petito, Gold et al,
lokasi nekrosi inflamatori oleh Toksoplasma dijumpai sekitar 13%. Punksi lumbal, CT
scan kontras, MRI berguna untuk penegakkan diagnosis. Cairan spinal umumnya
menunjukkan peningkatan protein dari 50-200 mg/dl dan 1/3 pasien mengalami
pleositosis limfosit. Oleh karena penyakit ini disebabkan oleh reaktivasi infeksi
Toksoplasma, penting untuk mengidentifikasi pasien Toksoplasma seropositif pada
awal pengobatan AIDS dan diobati dengan pyrimethamine oral (dosis pertama 100 mg,
kemudian 25 mg/hari) dan sulfonamide (4-6 g /hari dibagi menjadi 4 dosis).
Toksoplasmosis sering dijumpai di otak pasien AIDS, namun bukan merupakan
penyebab miositis. Masalah klinis utama toksoplasmosis adalah membedakan
toksoplasmosis dari limfoma serebral. Di Johns Hopkins, sekitar 11% pasien AIDS
mengalami limfoma sistem saraf pusat primer. Apabila studi sitologi cairan
serebrospinal negatif, berarti tidak adanya respon terhadap antibiotic, biopsy otak
stereotaxic perlu untuk penegakkan diagnosis. Prognosis pada pasien ini kurang bagus
dibandingkan pasien non-AIDS ; respon terhadap terapi radiasi, methotrexate dan
kortisteroid jangka pendek dan ketahanan hidup biasanya dalam hitungan bulan.
Apabila ditemukan Toksoplasma pada otak, pendekatan selanjutnya adalah
diobati. Pemeriksaan antibodi untuk toksoplasmosis sebaiknya dilakukan; tidak
dijumpai antibodi IgG membuat pengobatan berubah ke arah limfoma otak. Apabila
terapi antitoksoplasma dengan pirimethamine dan sulfadiazine gagal menurunkan
ukuran lesi dalam beberapa minggu, penyebab lain harus dipirkan, mungkin limfoma.
Pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping pirimethamine atau
sulfonamide (ruam atau trombositopenia), clindamycin dapat digunakan. Baru-baru ini
disarankan bahwa positron emission tomography (PET) dan teknik pencitraan metabolik
lainnya dapat mengidentifikasi limfoma sebagai penyebab massa pada pasien HIV.
Kemungkinan yang jarang seperti tuberculosis atau abses otak harus dipirkan apabila
tidak ada pemeriksaan yang memberikan diagnosis pasti.
Cytomegalovirus Di antara komplikasi neurologic nonfokal AIDS, penyebab yang
paling sering dijumpai adalah infeksi CMV dan Kriptokokkal. Pada autopsy, 1/3 pasien
AIDS ditemukan terinfeksi CMV. Namun, kontribusi infeksi ini terhadap gambaran
gejala klinis yang dijumpai tidak dapat dipastikan. Menurut Holland et al, tahap akhir
AIDS umumnya muncul bersamaan dengan retinitis CMV, ensefalopati selama 3-4
minggu. Gejala klinis yang muncul yaitu bingung atau delirium dengan gejala nervus
kranialis termasuk ophtalmoparesis, nistagmus, ptosis, kelemahan saraf wajah atau tuli.
Pada 1 pasien kami, dijumpai kelemahan nervus okulomotor progresif yang dimulai
dengan light-fixed pupil.
Spesimen patologi dan MRI menunjukkan proses yang fokus pada batas
ventrikel, terutama hiperintensitas T2 pada regio ini. Lesi dapat meluas menjadi lebih
difus sepanjang white matter yang berdekatan disertai peningkatan kontras pada
meningeal oleh gadolinium. Lesi destruksi yang hebat juga dilaporkan. Lesi tersebut
dapat berhubungan dengan gangguan hemoragik pada cairan serebrospinal. Gejala
CMV lainnya pada pasien AIDS dapat berupa poliradikulitis lumbosakral yang nyeri.
Diagnosis infeksi CMV selama hidup sulit dilakukan. Kultur cairan
serebrospinal biasanya negative dan titer antibodi IgG secara spesifik tidak meningkat.
Metode PCR terbaru dapat digunakan. Ketika diagnosis telah dicurigai,
direkomendasikan pengobatan dengan antiviral ganciclovir dan foscarnet, menurut
Kalayjian et al, penyakit CMV dapat berkembang dan berlanjut ketika pasien
mengkonsumsi obat-obatan sebagai terapi pemeliharaan.
Infeksi Kriptokokkal Meningitis bersamaan dengan infeksi fungsi jarang
dijumpai, komplikasi infeksi HIV yang sering terjadi adalah kriptokoma soliter. Gejala
meningitis atau meningoensefalitis umumnya tidak bergejala dan cairan serebrospinal
menunjukkan sedikit abnormalitias. Untuk beberap aalasan, bukti infeksi kriptokokkal
pada cairan spinal sebaiknya dilakukan pemeriksan antigen dan kultur jamur. India ink
sangat berguna dan cepat, tetapi saat ini sulit dilakukan.
Varicella Zoster Infeksi serebri oleh virus ini merupakan komplikasi AIDS
yang tidak begitu sering, tetapi apabila terjadi, infeksi ini cenderung bersifat berat.
Infeksi ini berupa lesi multifokal pada substansia alba seperti lesi leukoensefalopati
multifokal yang progresif, vaskulitis serebri dengan hemiplegia (biasanya berhubungan
dengan zoster oftalmikus), atau yang lebih jarang lagi, myelitis. Ensefalitis yang
disebabkan oleh HSV-1 dan HSV-2 pernah dijumpai pada otak penderita AIDS, akan
tetapi korelasi klinisnya masih belum jelas. Infeksi pada beberapa dermatom yang
berdekatan juga terjadi pada AIDS dengan kadar CD4 kurang dari 500, seperti pada
kondisi immunosuppresi lainnya.
Tuberkulosis Dua tipe infeksi mycobakterium yang cenderung terjadi pada
AIDSMycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium avium-intercellulare.
Tuberkulosis lebih sering terjadi pada orang penyalahgunaan obat dan pasien HIV pada
negara berkembang, dan pada individu dengan immunosuppresi mengalami meningitis
tuberkulosis dengan proporsi yang lebih tinggi lagi. Diagnosis dan pengobatannya sama
seperti pada pasien non-AIDS.
Neurosifilis Meningitis sifilitik dan sifilis meningovaskular mempunyai angka
insidensi yang meningkat pada pasien AIDS. Jumlah sel pada CSS tidak dapat
diandalkan sebagai tanda untuk mendeteksi keadaan ini; diagnosis seutuhnya
bergantung pada pemeriksaan serologis. AIDS sering menyebabkan hasil positif palsu
pada pemeriksaan untuk sifilis. Infeksi HIV meningkatkan transisi sifilis ke stadium
yang lebih lanjut, termasuk infeksi pada sistem saraf. -Oleh karena itu, dapat terjadi
sifilis quaternary yang menyebabkan proses nekrosis yang agresif dan sangat progresif
sehingga menyebabkan stroke dan demensia sebagai hasil dari keterlibatan dari
parenkim dan pembuluh darah otak. Insidensi relaps pada sifilis dan resistensi terhadap
dosis pengobatan antisifilitik konvensional mungkin meningkat akibat koinfeksi HIV.
Namun, masih tidak jelas mengapa pada AIDS dengan sifilik tersier terjadi peningkatan
insidensi paresis general dan tabes dorsalis; dimana hal tersebut memerlukan kroniksitas
sifilis meningovaskular untuk terjadi. Pembaca diarahkan ke artikel tinjauan yang ditulis
oleh Marra.
Organisme yang jarang lainnya, seperti Bartonella henselae, penyebab cat
scratch fever, jarang dijumpai pada pasien AIDS dan dihubungkan dengna ensefalitis.
Sekarang ini, leukoensefalopati multifokal yang progresif, penyakit virus, berkaitan erat
dengan status immunosuppresi pada AIDS dan sangat sering dijumpai. Penyakit-
penyakit ini akan dibahas lebih lanjut pada bab ini.
Pengobatan
Seperti pada penyakit yang mengancam nyawa dan kronik, pengobatan infeksi
HIV/AIDS merupakan hal yang sulit. Pengobatan dengan beberapa obat antiretroviral
dibutuhkan tidak hanya untuk mengendalikan manifestasi neurologis infeksi retroviral
tetapi juga untuk mengontrol infeksi sekunder. Rekomendasi terapi pengobatan untuk
infeksi HIV sering berubah (Rubin dan Young) dan pembaca dianjurkan untuk
membaca sumber yang lebih baru untuk detail pengobatan, seperti Harrisons
Principles of Internal Medicine. Pendekatan ini dipercayain akan memperpanjang masa
hidup, tetapi prevalensi komplikasi neurologis AIDS juga dapat meningkat, dimana
kondisi ini harus segera diobati jika terdeteksi. Suatu keadaan khusus yang diakibatkan
oleh pengobatan antiretroviral dapat mencetus terjadinya respon inflamasi yang hebat
terhadap koinfeksi. Komplikasi ini, immune reconstitution inflammatory syndrome,
atau IRIS, mungkin yang paling relevan dengan leukoensefalopati multifokal progresif.