Anda di halaman 1dari 8

SKENARIO C

Ny. M, umur 30 tahun seorang karyawan swasta datang ke UGD dengan keluhan sesak napas sejak 6 jam
yang lalu. Sejak dua hari yang lalu pasien mengeluh demam dan batuk. Hari kedua demam pasien berobat ke
dokter dan mendapat obat kotrimoksazol tablet, parasetamol tablet dan sirup obat batuk. Dua belas jam
setelah makan obat tersebut muncul bengkak pada mata, bibir, lalu timbul bentol disertai gatal pada kedua
tangan, tungkai, hingga seluruh badan dan mual. Enam jam yang lalu timbul sesak nafas dan mengeluhkan
ujung ujung tangan dan kakinya dingin, lalu dibawa ke UGD. Dua bulan yang lalu pasien pernah makan
obat yang sama karena keluhan diare tetapi tidak ada gejala seperti saat ini setelah makan obat. Riwayat
asma dimiliki oleh adik pasien dan ibu menderita eksim. Riwayat asma pada pasien disangkal.
Pemeriksaan fisik:
Kesadaran kompos mentis: Tekanan darah: 90/60 mmHg, frekuensi nadi 120 kali/menit, reguler, isi dan
tegangan kurang, frekuensi nafas 32 kali/menit, suhu 37,2oC, palpebra superior edema, labia oris superior
dan inferior edematous.
Thorax: Jantung: Frekuensi denyut jantung 120 kali/menit, murmur (), gallop ()
Paru: Wheezing pada kedua lapangan paru
Abdomen: Dalam batas normal
Ekstremitas: Kulit: gambaran urtikaria
Pemeriksaan penunjang:
Hb 12,2 gr/dL, leukosit 8400/mm3, hitung jenis 2/6/4/62/20/6, ureum 18 mg/dL, kreatinin 0,46 mg/dL,
natrium 144 mEq/L, kalium 4,2 mEq/L.
Dwi Lisa Nur'aini
0401118419039

ANALISIS MASALAH
1. Ny. M, umur 30 tahun seorang karyawan swasta datang ke UGD dengan keluhan sesak napas sejak 6
jam yang lalu.
a. Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin sesuai pada kasus? 1 , 8
Usia
Reaksi anafilaksis dapat terjadi pada semua usia. Berdasarkan studi Rochester, rerata usia penderita adalah
29.3 tahun (range usua 0.8 n- 78.2 tahun).
Jenis Kelamin
Berdasarkan studi Rochester dan Memphis, reaksi anafilaktis dakibat obatan dan latex didominasi oleh
penderita perempuan.
Berdasarkan hal diatas, usia Ny.M berada pada rerata usia penderita reaksi anafilaksis dan jenis kelamin
perempuan yang mendominasi.
Sumber: Mustafa, Syahzad. 2016. Anaphylaxis. http://emedicine.medscape.com/article/135065-
overview#a5. Diakses pada 19 Desember 2016.

2. Riwayat asma dimiliki oleh adik pasien dan ibu menderita eksim. Riwayat asma pada pasien
disangkal.
a. Bagaimana hubungan adik pasien memiliki riwayat asma dengan keluhan penderita?
Asma termasuk reaksi anafilaksis yaitu reaksi hipersensitivitas tipe 1. Riwayat keluarga dengan
asma merupakan faktor risiko terjadinya reaksi anafilaksis sistemik pada pasien.
Sumber: Admin. 2015. Anaphylaxis. http://www.aaaai.org/conditions-and-
treatments/allergies/anaphylaxis. Diakses pada 19 Desember 2016.

3. Pemeriksaan fisik:
Kesadaran kompos mentis: Tekanan darah: 90/60 mmHg, frekuensi nadi 120 kali/menit, reguler, isi
dan tegangan kurang, frekuensi nafas 32 kali/menit, suhu 37,2oC, palpebra superior edema, labia oris
superior dan inferior edematous.
Thorax: Jantung: Frekuensi denyut jantung 120 kali/menit, murmur (), gallop ()
Paru: Wheezing pada kedua lapangan paru
Abdomen: Dalam batas normal
Ekstremitas: Kulit: gambaran urtikaria
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari:
Tekanan darah 1, 8
Interpretasi: Borderline hypotension
Mekanisme: Hipotensi terjadi akibat dua hal, yaitu akibat vasodilatasi perifer dan akibat
permeabilitas kapiler meningkat
Histamin, kinin, lekotrine dan prostaglandin --> vasodilatasi perifer --> tahanan pembuluh
darah menurun --> hipovolemi relatif --> cardiac output menurun --> hipotensi
Histamin, kinin, lekotrine dan prostaglandin --> permeabilitas kapiler meningkat -->
ekstravasasi cairan intravaskuler --> hipovolemi relatif --> cardiac output menurun -->
hipotensi

4. Pemeriksaan penunjang: Hb 12,2 gr/dL, leukosit 8400/mm3, hitung jenis 2/6/4/62/20/6, ureum 18
mg/dL, kreatinin 0,46 mg/dL, natrium 144 mEq/L, kalium 4,2 mEq/L.
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari:
Hb
Nilai normal: 11,7 15,5 g/dL
Interpretasi : Normal
Sumber: Nilai Rujukan Laboratorium Klinik RSMH Palembang
Ureum
Nilai normal ureum : 15 - 40 mg/dl
Interpretasi: Normal
Sumber: alodokter.com

5. Hipotesis : Ny. M usia 30 tahun mengalami sesak nafas dan syok diduga akibat reaksi
anafilaksis derajat 3 (sedang berat).
a. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis, memantau
keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengbatan serta mendeteksi
komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE
total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi
pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang
lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji cukit (prick
test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-
point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian
penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti
analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap,
elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.
b. Diagnosis kerja
Ny.M, 30 tahun mengalami syok anafilaksis akibat obat.
c. Faktor risiko
Faktor Resiko :
Riwayat alergi turunan atau reaksi alergi berat
Asma
Dermatitis atopik eksim
Riwayat anafilaksis - Seseorang yang pernah mengalami serangan anafilaksis sebelumnya akan
menghadapi risiko lebih tinggi atau serangan lebih berat.
Dwi Lisa Nur'aini
0401118419039

LEARNING ISSUE
Tatalaksana Syok Anafilaktik
Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun parenteral,
maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak
dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang
keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha
memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan resusitasi
jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas
harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi
kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan
triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik
yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita
yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan
bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri
besar (a. karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Farmakologi
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok anafilaksis.
Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan
bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan
histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel
mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator
lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus
pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik
seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada sengatan
serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang
cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat
dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang
dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai
tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.
Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja misalnya
pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan
serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi
adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat
dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi
adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan
pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami
syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan
yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan
adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang sering
dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk
menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh
pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan
obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral.
Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300
mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit.
Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai
ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan
(5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak banyak
membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk
memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru
diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap
4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-
10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB selama 10-20
menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang
diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan
yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis 2 yang lain
sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor melalui
cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml)
diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan
dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau
levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2
mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrosa 5%.
Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi hipovolemia
akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik.
Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya
peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka
diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan
koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi
cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau
pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit,
karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat
kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus
dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari
jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu
selama selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Jika pasien masih
tetap sesak dan hipotensi, segera rujuk penderita ke rumah sakit. Hal-hal yang perlu diobservasi adalah
keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah,
elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan
otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai
beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah
mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.
Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis

Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang
disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat
membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit
asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi
terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit negatif pada
umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita
tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi
positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi
60%, bila tes kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur subkutan,
intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-
benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat
obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari
makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat
penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan.
Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.

Anda mungkin juga menyukai