Anda di halaman 1dari 4

Dwi Lisa Nuraini

04011181419039
Skenario C Blok 23 Tutor: dr. Yusmala Helmy, Sp.A(K)

Anemia Defisiensi Besi (pada Anak)

Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi nutrien tersering pada anak di seluruh dunia terutama di
negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkann oleh kurangnya zat besi dalam tubuh penderita.

Secara epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-kanak diantaranya
karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari
makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak ditemukan pada masa
remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada
remaja puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian anemia defisiensi besi (ADB) pada anak
balita di Indonesia sekitar 40-45%.Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi
0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%.

Peran zat besi dalam tubuh


Fungsi zat besi yang paling penting adalah dalam perkembangan system saraf yaitu diperlukan dalam proses mielinisasi,
neurotransmitter, dendritogenesis dan metabolisme saraf. Kekurangan zat besi sangat mempengaruhi fungsi kognitif, tingkah laku
dan pertumbuhan seorang bayi. Besi juga merupakan sumber energi bagi otot sehingga mempengaruhi ketahanan fisik dan
kemampuan bekerja terutama pada remaja. Bila kekurangan zat besi terjadi pada masa kehamilan maka akan meningkatkan risiko
perinatal serta mortalitas bayi.
Saat lahir, bayi memiliki Hb dan cadangan zat besi yang tinggi karena zat besi ibu mengalir aktif melalui plasenta ke
janin tanpa perduli status besi sang ibu. Setelah lahir akan terjadi 3 tahap, yaitu:

1. Usia 6-8 minggu akan terjadi penurunan kadar Hb sampai 11 g/dl, karena eritropoeisis berkurang dan umur sel darah merah
janin memang pendek
2. Mulai umur 2 bulan, Hb akan meningkat sampai 12,5 g/dl, saat ini eritorpoeisis mulai meningkat dan cadangan besi mulai
dipakai (deplesi)
3. Diatas usia 4 bulan cadangan besi mulai berkurang dan dibutuhkan zat besi dari makanan.
Pada bayi aterm, deplesi jarang terjadi sebelum usia 4 bulan, dan anemia juga jarang terjadi bila mulai dikenalkan makanan saat
usia 4-6 bulan. Tetapi pada bayi premature, deplesi dapat terjadi pada usia 3 bulan karena pertumbuhan lebih cepat dan cadangan
besi memang lebih sedikit

Penyebab defisiensi besi menurut umur


Bayi kurang dari 1 tahun
1. Cadangan besi kurang, karena bayi berat lahir rendah, prematuritas, lahir kembar, ASI ekslusif tanpa suplementasi besi, susu
formula rendah besi, pertumbuhan cepat dan anemia selama kehamilan.
2. Alergi protein susu sapi
Anak umur 1-2 tahun
1. Asupan besi kurang akibat tidak mendapat makanan tambahan atau minum susu murni berlebih.
2. Obesitas
3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang / kronis.
4. Malabsorbsi.
Anak umur 2-5 tahun
1. Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe jenis heme atau minum susu berlebihan.
2. Obesitas
3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang / kronis baik bakteri, virus ataupun parasit).
4. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan (divertikulum Meckel / poliposis dsb).
Anak umur 5 tahun-remaja
1. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan(a.l infestasi cacing tambang) dan
2. Menstruasi berlebihan pada remaja puteri.

Faktor faktor yang dapat menjadi penyebab kekurangan zat besi pada anak adalah:

1. Pertumbuhan yang cepat


2. Pola makanan. Susu merupakan sumber kalori utama bayi. Zat besi pada ASI merupakan zat besi yang mudah diserap, tetapi
zat besi pada susu formula memiliki bentuk ikatan non-heme sehingga lebih sulit diserap oleh usus. Pada bayi aterm, pemberian
ASI saja sampai usia 6 bulan masih dapat memenuhi kebutuhan zat besi bayi, tetapi tidak bagi bayi premature. Komposisi
makanan kita yang lebih banyak mengandung sereal/serat juga berperan dalam penyerapan zat besi. Besi pada serat bersifat non-
heme dan serat sendiri dapat menghambat penyerapan zat besi.
3. Infeksi. Kuman penyebab infeksi menggunakan zat besi untuk pertumbuhan dan multiplikasinya. Sehingga anak yang sering
infeksi dapat menderita kekurangan zat besi
4. Perdarahan saluran cerna
5. Malabsorbsi (gangguan penyerapan makanan dalam usus)

Patogenesis
Patogenesis anemia defisiensi besi dimulai ketika cadangan besi dalam tubuh habis yang ditandai dengan menurunnya
kadar feritin yang diikuti juga oleh saturasi transferin dan besi serum. Penurunan saturasi transferin disebabkan tidak adanya besi
di dalam tubuh sehingga apotransferin yang dibentuk hati menurun dan tidak terjadi pengikatan dengan besi sehingga transferin
yang terbentuk juga sedikit. Sedangkan total iron binding protein (TIBC) atau kapasitas mengikat besi total yang dilakukan oleh
transferin mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya besi di dalam tubuh sehingga transferin berusaha
mengikat besi dari manapun dengan meningkatkan kapasitasnya.
Dalam tubuh manusia, sintesis eritrosit atau eritropoesis terus berlangsung dengan memerlukan besi yang akan berikatan
dengan protoporfirin untuk membentuk heme. Pada anemia defisiensi besi, besi yang dibutuhkan tidak tersedia sehingga heme
yang terbentuk hanya sedikit dan pada akhirnya jumlah hemoglobin yang dibentuk juga berkurang. Dengan berkurangnya Hb
yang terbentuk, eritrosit pun mengalami hipokromia (pucat). Hal ini ditandai dengan menurunnya MCHC (mean corpuscular
Hemoglobin Concentration) < 32%. Sedangkan protoporfirin terus dibentuk eritrosit sehingga pada anemia defisiensi besi,
protoporfirin eritrosit bebas (FEP) meningkat. Hal ini dapat menjadi indikator dini sensitif adanya defisiensi besi.
Di sisi lain, enzim penentu kecepatan yaitu enzim ferokelatase memerlukan besi untuk menghentikan sintesis heme.
Padahal besi pada anemia defisiensi besi tidak tersedia sehingga pembelahan sel tetap berlanjut selama beberapa siklus tambahan
namun menghasilkan sel yang lebih kecil (mikrositik). Hal ini ditandai dengan menurunnya MCV (mean corpuscular volume) <
80 fl.

Manifestasi
1. Pucat yang berlangsung lama tanpa manifestasi perdarahan
2. Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu makan, daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, serta gangguan perilaku
dan prestasi belajar
3. Gejala khas anemia defisiensi besi: kilonikia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis.
4. Gemar memakan makanan yang tidak biasa (pica) seperti es batu, kertas, tanah, rambut
5. Memakan bahan makanan yang kurang mengandung zat besi, bahan makanan yang menghambat penyerapan zat besi seperti
kalsium dan fitat (beras, gandum), serta konsumsi susu sebagai sumber energi utama sejak bayi sampai usia 2 tahun (milkaholics)
Infeksi malaria, infestasi parasit seperti ankylostoma dan schistosoma.
6. Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh keluarga.
7. Bila kadar Hb <5 g/dL ditemukan gejala iritabel dan anoreksia
8. Pucat ditemukan bila kadar Hb 14.5% pada defisiensi besi, bila RDW normal (<13%) pada talasemia trait.
9. Ratio MCV/RBC (Mentzer index) 13 dan bila RDW index (MCV/RBC xRDW)
220, merupakan tanda anemia defisiensi besi, sedangkan jika kurang dari 220 merupakan tanda talasemia trait.
10. Apusan darah tepi: mikrositik, hipokromik, anisositosis, dan poikilositosis.
11. Kadar besi serum yang rendah, TIBC, serum ferritin <12 ng/mL dipertimbangkan sebagai diagnostik defisiensi besi
12. Nilai retikulosit: normal atau menurun, menunjukkan produksi sel darah merah yang tidak adekuat
13. Serum transferrin receptor (STfR): sensitif untuk menentukan defisiensi besi, mempunyai nilai tinggi untuk membedakan
anemia defisiensi besi dan anemia akibat penyakit kronik
14. Kadar zinc protoporphyrin (ZPP) akan meningkat
15. Terapi besi (therapeutic trial): respons pemberian preparat besi dengan dosis 3 mg/kgBB/hari, ditandai dengan kenaikan
jumlah retikulosit antara 510 hari diikuti kenaikan kadar hemoglobin 1 g/dL atau hematokrit 3% setelah 1 bulan menyokong
diagnosis anemia defisiensi besi. Kira-kira 6 bulan setelah terapi, hemoglobin dan hematokrit dinilai kembali untuk menilai
keberhasilan terapi.
Pemeriksaan penunjang tersebut dilakukan sesuai dengan fasilitas yang ada.

Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:

Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia


Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% (N: 32-35%)
Kadar Fe serum <50 g/dL (N: 80-180 g/dL)
Saturasi transferin <15% (N: 20-50%)
Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit kriteria nomor 1, 3, dan 4. Tes yang paling efisien untuk mengukur cadangan besi
tubuh yaitu ferritin serum.

Bila sarana terbatas, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:


1. Anemia tanpa perdarahan
2. Tanpa organomegali
3. Gambaran darah tepi: mikrositik, hipokromik, anisositosis.
4. Respons terhadap pemberian terapi besi

Klasifikasi
Berdasarkan hasil pemeriksaaan laboratorium, stadium kekurangan zat besi,yaitu:
-Stadium I: deplesi cadangan besi(penurunan kadar feritin)
-Stadium II: defisiensi besi tanpa anemia(penurunan SI dan TIBC)
-Stadium III:anemia defisiensi zat besi (penurunan Hb,MCV, Ht)
Dianjurkan pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi dini defisiensi zat besi pada usia 1 tahun untuk bayi aterm, usia 6-9 bulan
untuk bayi preterm, usia anak 2-3 tahun, 5 tahun dan saat dewasa muda.
Komplikasi
Komplikasi anemia defisiensi besi pada anak:
1. Proses perkembangan dan pertumbuhan terhambat
Tanpa nutrisi dan oksigen yang cukup, perkembangan mental, inteektual dan kemampuan kognitif anak bisa terhambat
2. Gangguan fungsi emosi dan sosial
Energi dan kemampuan anak untuk beraktivitas fisik akan berkurang
3. Perilaku dan performa akademik yang tertinggal
4. Rendahnya kekebalan tubuh anak

Prognosis
Prognosis baik apabila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian
dilakukan penanganan yang adekuat.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut :
- Diagnosis salah
- Dosis obat tidak adekuat
- Preparat Fe tidak tepat atau kadaluarsa
- Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung menetap
- Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal,penyakit
tiroid,penyakit defisiensi vitamin B12, asam folat ).
- Gangguan absorpsi saluran cerna

Daftar Pustaka:
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC
Guyton, Arthur C. dan John E. Hall.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Purnamasari, Rini. 2016. Anemia Kekurangan Zat Besi. www.idai.or.id/artikel. Diakses pada 13 Desember 2016.
Windiastuti, Endang. 2013. Anemia Defisiensi Besi pada Bayi dan Anak. www.idai.or.id/artikel. Diakses pada 13 Desember 2016.

Anda mungkin juga menyukai