Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

FEBRIS TYPOID
DI RUANG ISMAIL 2 RS ROEMANI SEMARANG

Persiapan praktek ruang : Ismail 2 RS Roemani Semarang

Tanggal praktek :

Nama mahasiswa : Hasbi Assydiqi

NIM : G3A016236

Nama pembimbing :

Tanda tangan pembimbing :

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2017

A. PENGERTIAN
Febris thypoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pernapasan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pecernaan dan
gangguan kesadaran (Mansjoer, 2008).
Demam thypoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri
salmonella typhy (S typhy) atau salmonella paratyphi (S paratyphi) yang masuk kedalam
tubuh manusia. Dan merupakan kelompok penyakit yang mudah menular dan dapat
menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah (Widodo, 2006).
Demam thypoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pecernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada pecernaan dan
gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005).

B. ETIOLOGI
Penyebab demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan salmonella
parathypi (S. Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif,
mempunyai flagela, dapat hidup dalam air, sampah dan debu. Namun bakteri ini dapat
mati dengan pemanasan suhu 600 selama 15-20 menit. Akibat infeksi oleh salmonella
thypi, pasien membuat antibodi atau aglutinin yaitu:
1. Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari
tubuh kuman)
2. Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari
flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena rangsangan antigen
Vi (berasal dari simpai kuman)
4. Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien menderita tifoid (Aru, 2009).

C. PATOFISIOLOGI
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak
bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan
dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam
jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai
usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi
mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel
khusus yang melapisi Peyers patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi.
Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika
bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan
limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di
dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya
ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka
Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke
dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun,
akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang
belakang, kandung empedu dan Peyers patch dari ileum terminal. Invasi kandung
empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari
empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau
dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas,
hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita
melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi
makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum
tulang belakang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik
(Soedarmo, 2012).

D. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Djoko (2006), manifestasi dari demam tifoid adalah sebagai berikut:
1. Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat. Pada minggu pertama
ditemukan gejala klinis dan keluhan demam tifoid seperti: demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, diare, perasaan tidak enak diperut, batuk
an epitaksis.
Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya ditemukan peningkatan suhu tubuh, sifat
demam adalah meningkat perlahan-lahan, dan terutama pada sore hari hingga malam
hari
2. Pada minggu ke dua di temukan gejala-gejala yang lebih jelas seperti: Demam,
bradikardi, lidah berselaput (kotor dibagian tengah tepi dan ujung merah).
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal
(gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas) sebagai berikut:
1. Perasaan tidak enak badan
2. Lesu
3. Nyeri kepala
4. Pusing
5. Diare
6. Anoreksia
7. Batuk
8. Nyeri otot

Menyusul gejala lain demam yang berlangsung 3 minggu :


1. Demam
a. Minggu I : Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada
sore dan malam hari
b. Minggu II: Demam terus
c. Minggu III : Demam mulai turun secara berangsur - angsur
2. Gangguan pada saluran pencernaan
a. Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan,
jarang disertai tremor
b. Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan
c. Terdapat konstipasi, diare
3. Gangguan kesadaran
a. Kesadaran yaitu apatissomnolen
b. Gejala lain Roseola (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler
kulit )

E. KOMPLIKASI
1. Komplikasi intestinal: Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik
2. Komplikasi ekstra intestinal
a. Kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis) miokarditis,
trombosis, dan tromboflebitie.
b. Darah: anemia hemolitik, tromboritopenia, sindrom uremia hemolitik
c. Paru : pneumonia, empiema, pleuritis
d. Hepar dan kandung empedu : hipertitis dan kolesistitis
e. Ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Tulang: oeteomielitis, periostitis, epondilitis, dan arthritis.
Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.
Komplikasi sering terjadi pada keadaan tokremia berat dan kelemahan umum,
terutama bila perawatan pasien kurang sempurna. (Widodo, 2006)

F. PENATALAKSANAAN
1. Medis
a. Anti biotik (Membunuh kuman):
1) Klorampenicol
2) Amoxicilin
3) Kotrimoxasol
4) Ceftriaxon
5) Cefixim
b. Antipiretik (Menurunkan panas) : Paracetamol
2. Keperawatan
a. Observasi dan pengobatan
b. Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang lebih
dari selam 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya
komplikasi perforasi usus.
c. Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
d. Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah pada
waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia dan dekubitus.
e. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi
konstipasi dan diare.
f. Diet
1) Diet yang sesuai cukup kalori dan tinggi protein.
2) Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
3) Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim
4) Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7
hari (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap fungsi hati, serologi dan kultur. Dapat ditemukan
leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal. Leukositosis dapat
terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh.
Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus
3. Pemeriksaan Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri Salmonella
typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita demam tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita
membuat antibodi (aglutinin) yaitu:
a. Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh bakteri
b. Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela bakteri
c. Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai bakter
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
menderita demam tifoid.
d. Foto rontgen thorak
Kesan: peningkatan ringan corak bronchovaskuler
H. PATHWAYS

Nyeri Akut Kebutuhan nutrisi


kurang dari kebutuhan

I. PENGKAJIAN FOKUS
1. Identitas (nama, umur, no RM, agama, alamat, dx medis)
2. Keluhan utama : Mengalami muntah-muntah, BAB hingga 3 kali lebih, anak sering
rewel, badan lemas dan demam
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan keluarga
b. Riwayat kesehatan dahulu: Pernah mengalami diare atau pernah menderita
penyakit pencernaan
4. Data fokus
a. Aktivitas dan istirahat
Gejala: Kelemahan, kelelahan, malaise, insomnia, merasa geisha, aktivitas
terbatas.

b. Sirkulasi
Tanda: Takikardi (respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi dan nyeri).
Kemerahan, area ekimosis (kekurangan vitamin K). Hipotensi termasuk postural.
Kulit/membrane mukosa: turgor buruk, kering, bibir pecah-pecah
(dehidrasi/malnutrisi)
c. Eliminasi
Gejala: Tekstur feces bervariasi dari bentuk lunak sampai bau atau berair. Episode
diare berdarah tidak dapat diperkirakan hilang timbul, sering tidak dapt dikontrol,
perasaan dorongan/kram. Defekasi berdarah/pus/mukosa dengan atau tanpa feces.
Perdarahan perektal
Tanda: menurunnya bising usus, tidak ada peristaltic atau adanya peristaltic yang
dapat dilihat. Hemoroid, oliguria
d. Makanan atau cairan
Gejala: anoreksia, mual/muntah. Penurunan BB. Tidak toleran terhadap diet.
Buah segar/sayur, produk susu, makanan berlemak.
Tanda: penurunan lemak subkutan. Kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buruk.
Membrane mukosa pucat, luka, inflamasi rongga mulut.
e. Nyeri/kenyamanan
Gejala: nyeri tekan pada kuadran kanan bawah (mungkin hilang dengan
defekasi). Titik nyeri berpindah, nyeri tekan, nyeri mata.
Tanda: nyeri tekan abdomen/distensi
f. Keamanan
Gejala: anemia hemolitik, vaskulitis, arthritis, peningkatan suhu, penglihatan
kabur. Alergi terhadap makanan/produk susu.
Tanda: lesi kulit mungkin ada, konjungtivits
g. Seksualitas
Gejala: frekuensi menurun/menghindari aktivitas seksual
h. Interaksi sosial
Gejala: masalah hubungan/peran kondisi, ketidakmampuan aktif dalam sosial
i. Penyuluhan pembelajaran
Gejala: riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Peningkatan suhu tubuh (Hipertermi) berhubungan dengan
infeksi Salmonella Typhii
2. Ketidakefektifan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan anoreksia
3. Nyeri akut (epigastrium) berhubungan dengan hyperperistaltik pada usus, agen
infeksi
4. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan, dan
peningkatan suhu tubuh pengeluaran cairan yang berlebihan (diare/muntah)
K. INTERVENSI DAN RASIONAL
1. Peningkatan suhu tubuh (Hipertermi) berhubungan dengan infeksi Salmonella Typhii

Tujuan dan kriteria hasil: NIC


Setelah dilakukan tindakan Fever treatment:
keperawatan selama 2x24 jam Monitor suhu
Monitor ttv
pasien menujukan temperatur
Monitor penurunan tingkat
dalan batas normal
kesadaran
Kriteria hasil: Monitor input dan output
Kompres pada lipatan pada
Suhu tubuh dalam batas
dan aksila
normal
Kolanorasi: pemberian cairan
Tidak ada perubahan warna
intravena dan obat antipiretik
kulit dan pusing

2. Ketidakefektifan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan


dengan anoreksia

Tujuan dan kriteria hasil: NIC


Setelah dilakukan tindakan Nutrition management:
keperawatan selama 2x24 jam Jelaskan pada klien dan
pasien mampu mempertahankan keluarga tentang manfaat
kebutuhan nutrisi adekuat. makanan/nutrisi.
Beri nutrisi dengan diet
Kriteria hasil:
lembek, tidak mengandung
Adanya peningkatan BB
banyak serat, tidak
sesuai dengan tujuan
Menunjukkan peningkatan merangsang, maupun
fungsi pengecapan dari menimbulkan banyak gas dan
menelan dihidangkan saat masih
Pasien mampu
hangat.
menghabiskan makanan Beri makanan dalam porsi
sesuai dengan porsi yang kecil dan frekuensi sering.
Monitor tanda mual dan
diberikan.
muntah
Monitor turgor kulit
Monitor BB pasien

3. Nyeri akut (epigastrium) berhubungan dengan hyperperistaltik pada usus, agen infeksi
Tujuan dan kriteria hasil: NIC
Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri :
keperawatan selama 2x24 jam Lakukan pegkajian nyeri
pasien menunjukan tingkat secara komprehensif termasuk
kenyamanan meningkat lokasi, karakteristik, durasi,
Kriteria hasil: frekuensi, kualitas dan faktor
Level nyeri berkurang dari presipitasi
Observasi reaksi nonverbal
5-3-1
Pasien dapat melaporkan dari ketidaknyamanan.
Ajarkan teknik manajement
nyeri pada petugas, tentang
nyeri untuk mengetasi nyeri
frekuensi nyeri
Berikan analgetik untuk
TTV dalam batas normal
mengurangi nyeri.

Administrasi analgetik :.
Tentukan analgetik pilihan,
rute pemberian dan dosis
optimal
Monitor TTV sebelum dan
sesudah pemberian analgetik.
4. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan, dan
peningkatan suhu tubuh pengeluaran cairan yang berlebihan (diare/muntah)

Tujuan dan kriteria hasil: NIC


Setelah dilakukan tindakan Fluid management:
keperawatan selama 2x24 jam Pertahankan catatan intake
pasien menunjukan tidak terjadi dan output
Monitor status hidrasi
gangguan keseimbangan cairan
Monitor pemasukan oral
Kriteria hasil :
(makan minum)
Turgor kulit tidak kering, Kolaborasi: pemberian cairan
mukosa lembab, tidak ada lewat IV
Monitor hasil laboratorium
rasa haus berlebih
Wajah tidak nampak pucat
Hasil laboratorium Hb dan
Ht dalam batas normal
DAFTAR PUSTAKA

Aru, W. S. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam Ed V Jilid III. Jakarta: interna publishing.

Mansjoer, A., dkk. (2008). Kapita selekta kedokteran. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. (2005). Perawatan anak sakit Edisi 2. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L, & Cheever, K. H. (2010). Medical surgical nursing.
Usa: Lww.
Soedarmo, S., dkk. (2012). Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Jakarta: IDAI. Widodo, D.
(2006). Buku ajar keperawatan dalam. Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai