Anda di halaman 1dari 52

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Anak Prasekolah

2.1.1 Definisi Anak Prasekolah

Anak prasekolah adalah anak yang berusia 3-6 tahun

(Patmonodewo, 2005). Sedangkan menurut Wong, et.al anak

prasekolah adalah anak yang berusia tiga sampai lima tahun. Anak

prasekolah mengalami pertumbuhan dan perkembangan biologis,

psikososial, kognitif dan spiritual yang signifikan. Pertumbuhan

dan perkembangan anak usia prasekolah dipengaruhi oleh nutrisi,

masalah tidur, kesehatan gigi, pencegahan cedera serta cara orang

tua dalam merawat anak yang sakit (Kesuma, Novayelinda &

Sabrian, 2015). Karakteristik anak usia prasekolah adalah

egosentris atau ketidakmampuan untuk menempatkan diri.

Pemikiran didominasi oleh apa yang mereka lihat dan yang mereka

rasakan. Pada anak usia prasekolah, anak berada diantara sensori-

motori dan praoprasional yaitu anak mulai mengembangkan sebab-

akibat, trial and error, dan interpretasi benda atau kejadian. Anak

usia ini memiliki tugas untuk menyiapkan diri memasuki dunia

sekolah (Supartini, 2004).

9
10

Masa prasekolah adalah masa yang penting sebagai dasar

untuk perkembangan pada masa-masa berikutnya. Sejumlah ahli

menyatakan bahwa bahwa tahun-tahun awal perkembangan dan

pertumbuhan dapat dikatakan sebagai dasar pembentukan

kesehatan seseorang. Apabila masa ini anak tidak memperoleh

rangsangan yang tepat dalam bentuk latihan atau proses belajar,

maka anak akan mengalami kesulitan pada masa-masa

perkembangan selanjutnya (Pratisti, 2008).

2.1.2 Perkembangan Anak Prasekolah

Perkembangan pada anak prasekolah berdasarkan aspek

perkembangan antara lain yaitu :

a. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik merupakan suatu hal yang menjadi

dasar bagi kemajuan perkembangan berikutnya (Susanto, 2011).

Pertumbuhan dianggap sebagai perubahan kuantitatif.

Pertumbuhan diartikan sebagai peningkatan jumlah dan ukuran

sel yang menghasilkan peningkatan ukuran dan berat seluruh

atau sebagian dari sel. Pertumbuhan bagian-bagian sel memiliki

laju pertumbuhan masing-masing yang berkaitan langsung

dengan perubahan fisik anak, misalnya frekuensi jantung,

pertumbuhan otot rangka dan lain-lain (Hockenberry & Wilson,

2009). Terjadinya perubahan fisik ini sangat mendasar dan


11

prinsipil karena mempengaruhi perkembangan yang lain, yakni

aspek kognitif maupun psikososial (Dariyo, 2007).

b. Perkembangan Inteligensi

Inteligensi bukanlah suatu hal yang bersifat kebendaan,

melainkan suatu fiksi ilmiah untuk mendeskripsikan perilaku

individu yang berkaitan dengan kemampuan intelektual

(Susanto, 2011). Salah satu tugas perkembangan anak usia pra

sekolah adalah belajar mencapai kemerdekaan atau kebebasan

pribadi sehingga menjadi dirinya sendiri yang independen

(mandiri) dan bertanggung jawab (Darrunnajah, 2011).

c. Perkembangan Emosi

Lindsley mengemukakan teori yang disebut activation

theory (teori penggerakan). Menurut teori ini emosi disebabkan

oleh pekerjaan yang terlampau keras dari susunan saraf

terutama otak. Contohnya, apabila individu mengalami frustasi,

susunan syaraf bekerja sangat keras yang menimbulkan sekresi

kelenjar-kelenjar tertentu yang dapat mempertinggi pekerjaan

otak, maka ini menimbulkan emosi. Ciri-ciri emosi sebagai suatu

peristiwa psikologis sebagai berikut : 1) lebih bersifat subjektif

daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan

berfikir, 2) bersifat fluktuatif (tidak tetap), 3) banyak bersangkut

paut dengan peristiwa pengenalan panca indera (Yusuf, 2014).


12

d. Perkembangan Bahasa

Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi

dengan orang lain. Pengertian ini mencakup semua cara untuk

berkomunikasi, dimana fikiran dan perasaan menyatakan dalam

bentuk lambang atau simbol untuk mengungkapkan sesutau

pengertian, seperti dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat,

bilangan, lukisan dan mimik muka. Susanto (2011) bahasa yang

dimiliki anak adalah bahasa yang telah dimiliki dari hasil

pengolahan dan telah berkembang. Pada usia pra sekolah akan

mengalami bentuk kemandirian dan perkembangan sosial,

dimana anak sudah mulai mandiri dalam tumbuh kembang

seperti dalam motorik dan bahasa, anak mampu melompat

dengan satu kaki, melompat dan berlari lebih lancar, dapat

mengikat tali sepatu, menggunakan gunting dengan baik. Dan di

masa ini anak juga akan mampu mengungkapkan dan memahami

900-2100 kata (Muscari, 2005)

Umumnya setiap anak memiliki tipe perkembangan bahasa,

yaitu egocentric speech dan socialized speech. Egocentric

speech, yaitu anak berbicara kepada dirinya sendiri (monolog).

Socialized speech, yaitu bahasa yang berlangsung ketika anak

kontak dengan teman sebayanya atau dengan lingkungannya.

Perkembangan ini dibagi kedalam lima bentuk : 1) adapted


13

information (penyesuaian informasi), terjadi saling tukar

gagasan atau kesamaan tujuan yang dicari; 2) critism (kritik),

berhubungan dengan penilaian anak terhadap ucapan atau

tingkh laku orang lain; 3) command (perintah), request

(permintaan), dan threat (ancaman); 4) questions (pertanyaan);

dan 5) answer (jawaban) (Yusuf, 2014).

e. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan

dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai suatu

proses pembelajaran untuk menyesuaikan diri terhadap norma-

norma kolompok, moral dan tradisi, untuk menjadi satu

kesatuan, saling berkomunikasi dan bekerja sama (Susanto,

2011). Perkembangan perilaku social pada anak ditandai dengan

adanya minat terhadap aktivitas bersama teman-temannya dan

meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai salah

satu anggota kelompok. Wiyani (2012) menyatakan dalam

perkembangan sosial, anak mulai memisahkan diri dari

orangtuanya dan mengarah pada teman sebaya dan memulai

perjuangan memperoleh kebebasan. Pada masa ini anak belum

mampu bekerja sama dengan teman-temannya, sehingga

terkadang menimbulkan pertengkaran antar anak. Dengan kata

lain, melalui hubungan teman sebaya, anak akan belajar berpikir


14

mandiri tentang bagaimana seharusnya bersikap untuk

menyelesaikan masalah ketika mengalami pertengkaran dengan

teman (Iswidharmanjaya & Svastiningrum, 2008).

f. Perkembangan Kepribadian

Dariyo (2007) kepribadian sebagai predisposisi perilaku

individu (behavior predisposition). Kepribadian terbentuk

melalui interaksi antara factor genetis dengan lingkungan social.

Kepribadian tidak bersifat statis, artinya kemungkinan besar

selalu mengalami perubahan, tergantung bagaimana seseorang

berinteraksi dengan orang lain, media massa (elektronik,

televise, Koran, majalah). Keunikan penyesuaian tersebut sangat

berkaitan dengan aspek-aspek kepribadian itu sendiri, yaitu

meliputi hal-hal sebagai berikut : 1) karakter yaitu konsekuen

tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsisten atau teguh

tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat, 2)

temperamen yaitu disposisi reaktif seseorang atau cepat

lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang

datang dari lingkungan, 3) sikap yaitu sambutan terhadap objek

yang bersifat positif, negatif atau ambivalen (ragu-ragu), 4)

stabilitas emosional yaitu kadar kestabilan reaksi emosional

terhadap rangsangan dari lingkungan, 5) responbilitas

(tanggung jawab) yaitu kesiapan untuk menerima resiko dari


15

tindakan atau perbuatan yang dilakukan, dan 6) sosiabilitas

yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan

interpersonal (Yusuf, 2014).

g. Perkembangan Moral

Moral berasal dari kata Latin mos (moris), yang berarti

adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai, atau tata cara

kehidupan. Adapun moralitas merupakan kemauan untuk

menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai dan prinsip

moral. Nilai-nilai moral ini seruan untuk berbuat baik kepada

orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara

kebersihan dan memelihara hak orang lain, larangan berjudi,

mencuri, berzina, membunuh dan minum-minuman keras

(khamar). Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah

laku orang ini sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung

tinggi oleh kelompok sosialnya (Susanto, 2011). Perkembangan

moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan

konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia

dalam interaksinya dengan orang lain (Desmita, 2014)

h. Perkembangan Kesadaran Beragama

Dariyo ( 2007) menyatakan bahwa setiap tahap

perkembangan manusia akan menentukan karakteristik tahap

perkembangan keagamaan seseorang. Mengenai arah dan


16

kualitas perkembangan beragama anak sangat bergantung

kepada proses pendidikan yang diterimanya. Sebagai mana yang

telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad Saw : “setiap anak

dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya karena orangtuanyalah,

anak itu menjadi yahudi, nasrani, atau majusi”. Hadis ini

mengisyaratkan bahwa faktor lingkungan (terutama orangtua)

sangat berperan dalam mempengaruhi perkembangan fitrah

keberagamaan anak (Yusuf, 2014).

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan

Anak

Dariyo (2007) mengemukakan perkembangan yang terjadi

pada diri seseorang dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu: 1)

faktor keturunan (genetis), 2) faktor lingkungan maupun 3) faktor

interaksi antara genetis dengan lingkungan. Berikut ini

dikemukakan penjelasan dari masing-masing factor tersebut:

1. Herediter/Genetis/Keturunan

Hereditas merupakan factor pertama yang mempengaruhi

perkembangan individu. Sifat-sifat keturunan yang individu

dipusakai dari orangtua atau nenek moyang dapat berupa fisik

dan mental (Desmita, 2014). Faktor keturunan lebih

menekankan pada aspek biologis atau herditer yang dibawa

melalui aliran darah atau kromosom. Oleh karena itu, faktor


17

genetis cenderung bersifat statis yang merupakan predisposisi

untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan

seseorang. Jika orang tua memiliki fisiologis dan psikologis yang

sehat, maka keturunanya juga sehat. begitupun sebaliknya jika

orang tuanya memiliki fisiologis dan psikologis yang tidak baik,

maka anaknya mengalami gangguan atau penyimpangan secara

fisik maupun psikis (Dariyo, 2007).

2. Lingkungan

Lingkungan sangat mempengaruhi tingkat perkembangan

seseorang dalam segala aspek (Sutirna, 2013). Lingkungan yang

baik dapat menjadikan cepat tercapainya kemandirian anak.

Keluarga sebagai lingkungan terkecil bagi anak merupakan

kawah candradimuka dalam pembentukan karakter anak.

Kondisi lingkungan keluarga ini sangat berpengaruh dalam

kemandirian anak. Dengan pemberian stimulasi yang terarh dan

teratur di lingkungan keluarga, anak akan cepat mandiri

disbanding dengan anak yang kurang dalam mendapat stimulasi

(Wiyani, 2013).

3. Interaksionisme antara Genetis dan Lingkungan

Perkembangan seseorang tidak akan maksimal salah satu

faktor pengaruh saja, oleh karena itu faktor genetis dan faktor

lingkungan harus dipersatukan demi mengupayakan


18

maksimalisasi perkembangan seseorang. Faktor genetis harus

ditopang oleh faktor lingkungan atau sebaliknya, sehingga

perkembangan fisiologis maupun psikologis seseorang menjadi

maksimal (Dariyo, 2007).

2.2 Konsep Perilaku

2.2.1 Definisi Perilaku

Beberapa pengertian mengenai perilaku yang dikemukakan

oleh Aisyah (2015) meliputi : 1)Perilaku adalah keseluruhan atau

totalitas kegiatan akibat belajar dari pengalaman sebelumnya dan

dipelajari melalui proses penguatan dan pengkondisian (Ian

Pavlov), 2)Perilaku adalah reaksi insting bawaan dari berbagai

stimulus yang direseptor dalam otak dan akibat pengalaman

belajar (Bandura), 3)Perilaku adalah reaksi manusia akibat

kegiatan kognitif, afektif dan psikomotorik yang saling berkaitan.

Jika salah satu aspek mengalami hambatan, maka aspek perilaku

juga akan terganggu (Branca).

Notoatmodjo (2005) mengemukakan bahwa perilaku dapat

dibedakan menjadi dua : 1) Perilaku tertutup (covert behavior)


19

yaitu respon individu terhadap stimulus terbatas pada perhatian,

persepsi, pengetahuan atau kesadaran. Sikap yang terjadi pada

individu yang memperoleh stimulus tersebut tidak dapat diamati

oleh penglihatan, 2) Perilaku terbuka (overt behavior) yaitu respon

terhadap stimulus sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek

(practice), sehingga orang lain dapat dengan mudah melihat

perilaku seseorang tersebut.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku antara lain

emosi, persepsi, motivasi, belajar dan intelegensi. 1) Emosi adalah

reaksi komplek yang berhubungan dengan kegiatan atau

perubahan secara mendalam . Dengan emosi orang terangsang

untuk memahami objek yang akan mengubah perilaku seperti rasa

marah, gembira, bahagia, sedih, cemas, takut benci dll, 2) Persepsi

adalah pengalaman yang didapatkan oleh panca indra. Setiap

orang meskipun objek persepsinya sama, pasti akan memiliki

persepsi yang berbeda. Persepsi ini dipengaruhi oleh minat,

kepentingan, kebiasaan, bentuk dan latar belakang, 3) Motivasi

merupakan dorongan untuk bertindak demi mecapai tujuan yang

diinginkan. Dengan motivasi peserta didik terdorong untuk

memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis, dan social, 4) Belajar

merupakan salah satu dasar untuk memahami peserta didik, hal ini
20

dikarenakan berkaitan dengan kematangan dan perkembangan

fisik, emosi, motivasi, perilaku social dan kepribadian. Melalui

belajar peserta didik mampu menyesuaikan perilaku sesuai dengan

kebutuhannya, 5) Intelegensi adalah kemampuan untuk

mengkombinasikan objek, berfikir abstrak, menentukan

kemungkinan dalam memperjuangkan hidup. Intelegensi juga

menggambarkan kemampuan dalam menyesuaikan diri pada

lingkungan yang baru secara cepat dan efektif (Aisyah, 2015).

2.2.3 Tingkatan Proses Perilaku

Proses terjadinya perilaku mencakup lima tingkatan antara

lain sebagai berikut:1) Awareness (Kesadaran), yaitu individu mulai

menyadari adanya stimulus/informasi, 2) Interest, individu mulai

tertarik atas stimulus yang telah diberikan, 3) Evaluation, dimana

yang bersangkutan menimbang baik/buruk, diterima/tidak diterima

stimulus tersebut, 4) Trial, individu mencoba untuk berperilaku

baru, 5) Adaptasi, individu yang telah mencoba berperilaku baru,

individu sudah dapat menerima sepenuhnya perilaku baru tersebut

dengan berdasarkan pertimbangan pengetahuan, kesadaran, dan

sikap positif terhadap stimulus (Ali, 2010).


21

2.3 Perilaku Makan Anak Prasekolah

Usia prasekolah adalah usia yang rawan karena merupakan

usia pertumbuhan dan perkembangan anak yang dapat

mempengaruhi kualitas individu pada saat anak remaja dan

dewasa. Soenardi (2005) berpendapat bahwa memberi makanan

yang beraneka ragam untuk membentuk pola makan yang baik

pada anak, sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak

menjadi optimal. perilaku makan adalah suatu istilah yang

menggambarkan perilaku yang berhubungan dengan tata karma

makan, frekuensi makan, pola makan, kesukaan makan dan

pemilihan makan (Sihaloho, 2012).

Perilaku makan yang tidak mandiri dapat dirubah jika anak

memiliki pengetahuan tentang bersikap mandiri. Sesuai dengan

teori yang dikatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi

perubahan perilaku yaitu pengetahuan, hasil dari tahu, dan itu

terjadi setelah anak melakukan penghindraan terhadap suatu objek

tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni

indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

Sebelum merubah perilaku makan pada anak, sebaiknya anak

diberi pengetahuan tentang pentingnya berperilaku mandiri sejak

dini, sehingga anak akan mau merubah perilaku yang awalnya

tidak mandiri menjadi mandiri (Notoadmodjo, 2007).


22

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Makan Anak

Prasekolah

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku makan anak

menurut Brown (2011) yaitu sebagai berikut :

1. Faktor intrinsic

Faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam

individu yang meliputi umur, jenis kelamin dan pengetahuan.

Berikut ini akan dikemukakan penjelasan dari masing-masing

factor instrinsik tersebut:

a. Umur

Umur memiliki peran penting terhadap perilaku makan

terhadap individu. Penggolongan umur menurut WHO

dikategorikan menjadi 4 yaitu anak-anak (<10 tahun), remaja

(10-24 tahun), dan lanjut dewas (>60 tahun). Anak-anak sudah

mulai memilih terhadap apa yang mereka konsumsi. Anak

yang sudah mempunyai pilihan memiliki control terhadap apa

yang mereka konsumsi.

b. Jenis Kelamin
23

Kejadian obesitas terjadi pada nak laki-laki lebih besar

dari pada anak perempuan, hal ini berdasarkan hasil analisis

bivariat menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki resiko

mengalami obesitas sebesar 1,4 kali dibandingkan anak

perempuan. Pertumbuhan dan perkembangan individu sangat

berbeda antara laki-laki dan perempuan sehingga jenis

kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi

seseorang. Laki-laki dan perempuan membutuhkan energy,

protein, vitamin dan mineral yang berbeda dan sangat

dibutuhkan untuk menopang pertumbuhandan perkembangan

tubuh (Sartika, 2011).

c. Pengetahuan

Pengetahuan seseorang tidak lepas dari pendidikan.

Pengetahuan gizi dan ditunjang dengan pendidikan yang

memadai, akan menanamkan kebiasaan dan perlakuan yang

baik pada anak. Ibu yang memiliki pengetahuan yang luas

tentang gizi dan perkembangan anak, maka dapat memilih

dan memperlakukan anaknya dengan lebih baik. Peran orang

tua terutama ibu untuk mengarahkan anaknya dalam memilih

makanan cukup besar (Mahfoeds, 2007) .

2. Faktor Ekstrinsik
24

Factor ekstrinsik adalah factor-faktor yang berasal dari luar

yang dapat mempengaruhi perilaku makan pada anak yang

meliputi tingkat ekonomi keluarga, budaya, pengalaman

individu, iklan, jumlah anggota keluarga, teman sebaya, orang

tua dan makanan cepat saji. Berikut ini akan dikemukakan

penjelasan dari masing-masing factor ekstrinsik tersebut:

a. Tingkat ekonomi keluarga

Mayoritas anak yang konsumsi makanan kurang optimal

terutama yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi

rendah, karena keluarga dari pendapatan terbatas, besar

kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanan

sejumlah yang diperlukan tubuh. Keanekaragaman bahan

makanan kurang terjamin, karena dana yang terbatas tidak

akan banyak pilihan (Suhardjo, 2006).

b. Budaya

Budaya merupakan salah satu faktor yang

memepengaruhi pemilihan makan anak. Terdapat bukti yang

menyatakan bahwa tradisi, kepercayaan dan nilai-nilai

merupakan sebagian dari faktor yang mempengaruhi

kesukaan dan cara menyiapkan makanan. Ahli psikologi

bernama Triandis telah melakukan penelitian yang


25

menyatakan bahwa budaya adalah faktor utama yang

mempengaruhi pemilihan makanan (Gibney et al, 2005)

c. Pengalaman individi

Manusia mengalami berbagai macam perjalanan hidup

sehingga memperoleh beberapa pengalaman, salah satunya

adalah pengalaman mengkonsumsi makanan. Anak-anak

tertentu memiliki penilaian tersendiri terhadap jenis makanan,

ada yang suka dan tidak suka terhadap makanan tertentu

dengan alasan yang bermacam-macam (Suhardjo, 2006)

d. Iklan

Media massa sebagai salah satu sarana komunikasi

berpengaruh besar dalam membentuk opini dan kepercayaan

seseorang. Media masa membawa pesan dan sugesti yang

mengarahkan opini anak. Penelitian mengatakan bahwa orang

tua yang menentukan berapa jam anak diizinkan untuk

menonton TV dan saluran apa yang ditonton oleh anak dapat

memberi pengaruh konsumsi makan pada anak (Gross et al,

2010). Anak cenderung mengikuti model perilaku makanan

tidak sehat yang ada diiklan karena anak prasekolah sering

tidak dapat membedakan mana makanan yang baik untuk

tubuh dan mana yang dapat merusak tubuh. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa anak-anak yang menghabiskan banyak


26

waktu didepan televisi, dapat mempengaruhi perilaku serta

pola makan anak (Almatsier, 2011).

e. Jumlah anggota keluarga

Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah sumber

daya manusia yang melimpah karena dalam satu keluarga

terdapat banyak anggota keluarga. Keluarga yang memiliki

banyak anak dan jarak kelahiran antara anak amat dekat tidak

jarang memiliki banyak masalah. Jumlah anggota keluarga

akan mempengaruhi pola pengalokasian pangan pada rumah

tangga, sehingga semakin besar jumlah anggota keluarga,

maka alokasi pangan untuk tiap individu akan semakin

berkurang (Sediaoetama, 2004).

f. Teman sebaya

Teman sebaya terdiri atas beberapa orang anak yang

usianya hampir sama. Mereka mempunyai rasa saling memiliki

serta senang melakukan kegiatan bersama-sama. Dalam

kelompok teman sebaya itulah seorang anak mulai

menerapkan prinsip hidup bersama di luar lingkungan

keluarga, hal ini memungkinkan anak untuk mulai meniru apa

yang dilakukan oleh teman sebayanya. Pengaruh kelompok

teman sebaya sangat kuat. Ketika anak mulai sekolah, tekanan

teman sebaya mulai mempengaruhi pemilihan makanan yang


27

menyebabkan pengabaian terhadap kebutuhan gizi. Penelitian

menemukan bahwa teman sebaya berpengaruh secara

signifikan terhadap perilaku konsumsi individu, yaitu dalam

memilih jenis makanan individu akan mengikuti teman

sebayanya (Savitri, 2009).

g. Orang tua

Orang tua adalah orang pertama yang mengajarkan

tentang berbagai hal kepada anak salah satunya tentang

perilaku makan. Upaya untuk mempromosikan perilaku sehat

pada anak-anak, perlu dukungan dari lingkungan rumah yang

sehat serta model peran orang tua (Ostbye et al, 2013)

h. Makanan cepat saji

Makanan cepat saji saat ini telah menjadi tren

dikalangan masyarakat terutama diperkotaan. Seseorang

memilih makanan cepat saji karena berbagai alasan, yaitu :

praktis, rasanya enak, mudah didapat, dan tingkat kesibukan

yang tinggi sehingga tidak sempat menyiapkan makanan yang

sehat dan alami. Konsumsi makanan cepat saji yang secara

terus menerus tanpa diimbangi dengan makanan sehat dapat

menimbulkan penyakit seperti kolesterol tinggi, diabetes

milletus, kanker dan obesitas (Sekarindah, 2008)


28

2.5 Konsep Karakter Anak

2.5.1 Definisi Karakter

Karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian

dianggap sebagai cirri, karakteristik, gaya atau sifat khas dari diri

seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima

dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan bawaan

seseorang sejak lahir (Koesoema, 2007). Khan mengartikan

karakter dengan sikap pribadi yang stabil dari hasil konsolidasi

secara progresif dan dinamis yang mengintegrasikan antara

pernyataan dan tindakan. Karakter adalah cara berpikir dan

berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan

bekerja sama, baik dalm lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan

Negara (Wiyani, 2013).

2.5.2 Karakter sebagai Dasar Esensi Pendidikan Anak Usia

Dini

Dalam konteks kenegaraan, penyelenggaraan yuridis formal

diatur dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 2004.

Dalam undang-undang tersebut, pendidikan diartikan sebagai

usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak


29

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

bangsa dan Negara (Wiyani, 2013).

Pendidikan merupakan suatu proses yang membantu

menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membuat yang

tidak tertata atau liar menjadi semakin tertata; semacam proses

penciptaan sebuah kultur dan tata keteraturan dalam diri sendiri

maupun orang lain. Dalam pengertian tersebut, pendidikan tidak

hanya dimaknai sebagai transfer pengetahuan. Pendidikan berarti

proses pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam

diri manusia, seperti kemampuan akademis, relasional, bakat-

bakat, talenta, kemampuan fisik dan daya-daya seni (Fadillah &

Khorida, 2013).

Dalam pendidikan terdapat proses tranformasi pengetahuan

dan tranformasi nilai. Tranformasi pengetahuan akan

menghasilkan peserta didik yang cerdas secara intelektual,

sedangkan tranformasi nilai menghasilkan peserta didik yang

berkarakter. Dalam praktiknya dilapangan, pendidikan di Indonesia

selama ini lebih mengedepankan aspek kognitif (menjadikan anak

pintar) dan mengabaikan aspek afektif (menjadikan anak

berkarakter). Hal ini sependapat bahwa dunia pendidikan telah

melupakan tujuan utama pendidikan yaitu mengembangkan


30

pengetahuan, sikap dan keterampilan secara simultan dan

seimbang (Muslich, 2011).

Untuk mengatasi problem tersebut, pendidikan di Indonesia

harus diarahkan pada pembentukan karakter. Bung Karno, bapak

pendiri bangsa menegaskan bahwa “bangsa ini harus dibangun

dengan mendahulukan pembentukan karakter karena

pembentukan karakter inilah yang akan membuat bangsa

Indonesia menjadi bangsa besar, maju, jaya serta bermartabat. Jika

pembentukan karakter tidak dilakukan, bangsa Indonesia akan

menjadi bangsa kuli” (Wiyani, 2013).

Pendidikan karakter hendaknya dilaksanakan sedini

mungkin, bukan hanya dimulai ketika anak belajar di SD, SMP, dan

SMA saja, melainkan sudah dilaksanakan sejak anak belajar pada

jenjang Anak Usia Dini. Karakter-karakter yang dibentuk saat anak

usia dini adalah kesopanan, kasih sayang, keindahan, bersahabat,

kepatuhan, kedisiplinan dan kemandirian. Tujuan pendidikan

karakter adalah untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan

hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan

karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan

seimbang (Muslich, 2011).

2.5.3 Karakter Dasar Anak Usia Dini


31

Anak usia dini merupakan pribadi yang memiliki karakter

yang sangat unik (Fadillan & Khorida, 2013). Pendidikan Anak Usia

Dini adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar

yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak

sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui

pemberian rangsangan pendidikan guna membantu pertumbuhan

dan perkembangan jasmani serta rohani agar anak memiliki

kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang

diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Anak

yang berusia 0-6 tahun disebut dengan anak usia dini yang hidup

masa usia dini. Masa usia dini sendiri merupakan masa yang

sangat menentukan bagi perkembangan dan pertumbuhan anak

selanjutnya. Hal ini disebabkan karena masa usia dini merupakan

masa emas (the golden ages) dalam kehidupan anak (Wiyani,

2013).

Masa emas (the golden ages) merupakan masa yang paling

tepat untuk meletakkan dasar-dasar pengembangan kemampuan

fisik, bahasa, social-emosional, konsep diri, seni moral, dan nilai-

nilai agama. Kemampuan anak, kepribadian, sikap, akhlak, maupun

karakter anak tergantung pada orangtuanya. Orang tua memiliki

peranan yang sangat besar dalam membentuk karakter anak di

usia dini. Sebagai orang tua atau pendidik yang baik sudah tentu
32

harus mengerti dan memahami berbagai karakter dasar anak usia

dini. Disebabkan karakter-karakter itulah yang akan menjadi pusat

perhatian untuk dikembangkan dan diarahkan menjadi karakter

positif (Fadillah & Khorida, 2013).

Pembentukan karakter anak usia dini merupakan titik awal

dari pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas, yang

memiliki wawasan, intelektual, tanggung jawab, inovatif, kreatif,

proaktif, dan pertisipatif serta semangat mandiri. Urgensi

pendidikan karakter bagi anak usia dini mencakup hal-hal antara

lain : 1) Agar anak usia dini dapat mengembangkan potensinya

secara optimal, 2) Menjadikan anak usia dini memiliki karakter

mandiri dan disiplin, 3) Karakter mandiri dan disiplin memudahkan

anak untuk menyerap ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni

secara optimal. Karakter dasar yang harus dibentuk pada anak

usia dini adalah karakter mandiri dan karakter disiplin. Hal ini

agar anak dapat lebih siap menghadapi kehidupan di masa yang

datang dengan baik (Wiyani, 2013).

2.6 Konsep Kemandirian Pada Anak

2.6.1 Definisi Kemandirian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mandiri diartikan

sebagai keadaan dimana individu dapat berdiri sendiri dan tidak


33

tergantung kepada orang lain. Kemandirian adalah kemampuan

seorang anak dalam melakukan aktivitasnya sendiri atau berdiri

sendiri dalam berbagai hal yang dilakukannya (Wiyani, 2013).

Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil pilihan dan

menerima konsekwensi yang menyertainya.Kemandirian pada

anak-anak mewujudkan ketika mereka menggunakan pikirannya

sendiri dalam mengambil berbagai keputusan; dari memilih

perlengkapan belajar yang ingin digunakannya, memilih teman

bermain, sampai hal-hal yang relatif lebih rumit dan menyertakan

konsekwensi-konsekwensi tertentu yang lebih serius (Embarsari,

2013).

Kemandirian yang dapat disebut juga dengan istilah

autonomi merupakan karakteristik dari kepribadian yang sehat.

Kemandirian individu tercermin dalam cara berpikir dan bertindak,

mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan

diri serta menyesuaikan diri secara konstruktif dengan norma yang

berlaku di lingkungannya. Kemandirian pada anak terutama anak

usia dini dapat diartikan sebagai karakter yang dapat menjadikan

anak yang berusia 0-6 tahun dapat berdiri sendiri, tidak

tergantung dengan orang lain, khususnya orangtuanya (Yusuf,

2014).

2.6.2 Ciri-ciri Kemandirian Anak


34

Anak yang mandiri adalah anak yang memiliki kepercayaan

diri dan motivasi yang tinggi. Sehingga dalam setiap tingkah

lakunya tidak banyak menggantungkan diri pada orang lain. Anak

yang kurang mandiri selalu ingin ditemani atau ditunggu oleh

orangtuanya, baik pada saat sekolah maupun pada saat bermain.

Berbeda dengan anak yang memiliki kemandiran, anak berani

memutuskan pilihannya sendiri, tingkat kepercayaan dirinya lebih

nampak, dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan

teman bermain maupun orang asing yang baru dikenalnya.

Kemandirian yang akan dibentuk oleh orang tua dan guru

pendidikan pada anak usia dini adalah kemandirian yang

menjadikan anak usia dini: 1) Memiliki kemampuan untuk

menentukan pilihan, 2) Berani memutuskan sesuatu atas

pilihannya sendiri, 3) Bertanggungjawab menerima konsekwuensi

yang menyertai pilihannya, 4) Memiliki rasa percaya diri, 5)

Mampu mengarahkan diri, 6) Mampu mengembangkan diri, 7)

Mampu menyesuaiakan diri dengan lingkungan, 8) Berani

mengambil resiko atas pilihannya (Wiyani, 2013).

Lebih lanjut dapat dikemukakan ciri-ciri kemandirian pada

anak usia dini, adalah sebagai berikut:.

1. Memiliki kepercayaan pada diri sendiri.


35

Anak-anak akan memiliki kepercayaan diri hanya jika orangtua

lebih dulu menunjukkan kepercayaan kepada anak. Anak yang

memiliki kepercayaan diri lebih berani untuk melakukan sesuatu

daripada anak yang kurang percaya diri dan menentukan pilihan

sesuai dengan kehendaknya sendiri serta bertanggung jawab

terhadap konsekwensi yang ditimbulkan karena pilihannya.

Kepercayaan diri sangat terkait dengan kemandirian anak.

Dalam kasus tertentu, anak yang memiliki percaya diri yang

tinggi dapat menutupi kekurangan dan kebodohan yang dialami

pada dirinya (Parker, 2005).

2. Memiliki motivasi instrinsik yang tinggi.

Motivasi instrinsik ini pada umumnya lebih kuat dan abadi

dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik. Hal ini karena

motivasi yang timbul dari dalam lebih mampu menggerakkan

anak untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya.

3. Mampu dan berani menentukan pilihan sendiri. contohnya

seperti memilih makanan yang akan dimakan, memilih baju yang

akan dipakai, dan dapat memilih mainan yang akan dimainkan,

serta dapat membedakan sandal untuk kaki kanan dan untuk

kaki kiri. Parker (2005) menambahkan, anak-anak menggunakan

pengalaman dalam menentukan pilihan, tentunya dengan pilihan


36

yang terbatas dan terjangkau yang anak-anak bisa selesaikan

dan tidak membuat anak menghadapi masalah.

4. Kreatif dan inovatif.

Kreatif dan inovatif pada anak usia dini merupakan ciri anak

yang memiliki kemandirian, seperti dalam melakukan sesuatu

atas kehendak sendiri tanpa disuruh oleh orang lain, tidak

bergantungan kepada orang lain dalam melakukan sesuatu,

meyukai pada hal-hal baru yang semula dia belum tahu, dan

selalu ingin mencoba hal-hal yang baru. Secara khusus, Wiyani

(2012) menyatakan anak yang memiliki jiwa kreatif dan inovatif

nampak saat anak melakukan sesuatu atas kehendak sendiri

tanpa diminta orang lain, menyukai dan selalu mencoba hal-hal

baru.

5. Bertanggung jawab menerima konsekwensi yang menyertai

pilihannya.

Pada usia prasekolah berkembang kesadaran dan kemampuan

anak untuk memenuhi tuntutan dan tanggung jawab. Disaat anak

mengambil keputuan atau pilihan tentu ada konsekwensi yang

melekat pada pilihannya. Anak yang mandiri dapat bertanggung

jawab atas keputusan yang diambilnya apapun yang terjadi.

Tentu saja bagi anak Taman Kanak-kanak tanggung jawab pada

taraf yang wajar. Misalnya tidak menangis ketika ia salah


37

mengambil alat mainan, dengan senang hati mengganti dengan

alat mainan yang lain yang diinginkannya (Yusuf, 2014).

6. Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Anak yang memiliki karakter mandiri akan lebih mudah dan

cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan

dapat belajar walaupun tidak bersama orangtuanya. Contohnya

ketika anak masuk sekolah TK pertama kali. Lingkungan sekolah

(Taman Kanak-kanak) merupakan lingkungan baru bagi anak

usia dini. Sering kali kita menjumpai anak menangis ketika

pertama masuk sekolah karena mereka merasa asing dengan

lingkungan di Taman Kanak-kanak. Bahkan tidak sedikit yang

ingin ditunggui oleh orangtuanya ketika anak sedang belajar.

Namun, bagi anak yang memiliki karakter mandiri, dia akan

cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan

dapat belajar meskipun tidak ditunggui oleh orangtuanya

(Wiyani, 2012).

7. Tidak bergantungan kepada orang lain.

Wiyani (2013) anak mandiri selalu ingin mencoba sendiri dalam

melakukan sesuatu dan tidak bergantung pada orang lain serta

anak tahu kapan waktunya meminta bantuan kepada orang lain,

setelah anak berusaha melakukannya sendiri tetapi tidak mampu

untuk mendapatkannya, baru anak meminta bantuan orang lain.


38

Seperti mengambil alat mainan yang berada di tempat yang

tidak terjangkau oleh anak. Meskipun anak-anak mulai

menampakkan keinginan untuk bebas (independen) dari

tuntutan orangtua namun masih sangat membutuhkan

bimbingan dan kasih sayang orangtua (Yusuf, 2014).

2.6.3 Aspek-aspek Kemandirian Anak

Kemandirian terdiri dari beberapa aspek yaitu: 1) Aspek

emosi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol

emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua, 2)

Aspek ekonomi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan

mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi

pada orang tua, 3) Aspek intelektual, aspek ini ditunjukkan dengan

kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi

(Wiyani, 2013).

Desmita (2014) membedakan karakteristik kemandirian atas

tiga bentuk yaitu:

1. Kemandirian emosional (emotional autonomy)

Yakni aspek kemandirian yang menyatakan perubahan

kedekatan hubungan emosional antar individu, seperti hubungan

emosional peserta didik dengan guru atau dengan orang tuanya.

Aspek kemandirian emosi oleh Steinberg (Nurhayati, 2011)

dikaitkan dengan perubahan kedekatan atau keterikatan


39

hubungan emosional anak dengan orangtua atau orang dewasa

lain yang banyak melakukan interaksi dengan anak. Kartono

(Wiyani, 2013) menambahkan jika kemandirian emosi anak

ditunjukkan dengan kemampuan anak mengontrol emosi dan

tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orangtua.

2. Kemandirian tingkah laku (behavioral autonomy)

Yakni suatu kemampuan untuk membuat keputusan-

keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya

secara bertanggung jawab. Kemandirian bertindak khususnya

pada kemampuan mandiri secara fisik sebenarnya sudah dimulai

sejak usia dini. Mengemukakan ciri-ciri individu yang mandiri

dalam bertindak yang ditandai oleh: 1) Kemampuan untuk

membuat keputusan sendiri dan mengetahui dengan pasti kapan

seharusnya meminta pertimbangan orang lain, 2) Mampu

mempertimbangkan berbagai alternatif dari tindakannya

berdasarkan penilaian sendiri, mengetahui kapan dan

bagaimana harus bersikap terhadap pengaruh, tawaran,

bantuan, nasehat, dan dapat menangkap maksud-maksud yang

terkandung dibalik tawaran, ajakan, pengaruh, bantuan, saran,

pendapat yang disampaikan orang lain, 3) Membuat keputusan

yang bebas bagaimana harus bertindak melaksanakan keputusan

dengan penuh percaya diri (Nurhayati, 2011).


40

3. Kemandirian nilai (value autonomy)

Yakni kemampuan memaknai seperangkat prinsip tentang

benar dan salah, tentang apa yang penting dan apa yang tidak

penting. Steinberg (Nurhayati, 2011) mengemukakan ciri-ciri

pribadi individu yang mandiri dalam berpikir yang ditandai oleh:

1) Cara berpikir yang semakin abstrak, 2) Keyakinan-keyakinan

yang dimiliki semakin berbasis ideologis, 3) Keyakinan-

keyakinan semakin mendasarkan pada nilai-nilai mereka sendiri

dan bukan hanya nilai yang ditanamkan oleh orangtua/figur

Dari ketiga aspek di atas dapat dikatakan bahwa

kemandirian bagi anak usia dini sangat terkait dengan

kemampuan seorang anak dalam menyelesaikan suatu masalah.

Kantor Kependudukan dan Lingkungan Hidup mengeluarkan

rumusan mengenai komponen utama kemandirian antara lain :

1) Bebas, yaitu ditunjukkan dengan tindakan yang dilakukan

atas kehendak sendiri bukan karena orang lain, 2) Progresif,

yaitu ditunjukkan dengan usaha untuk mengejar berprestasi,

penuh ketekunan, merencanakan serta mewujudkan harapan-

harapannya, 3) Inisiatif, yaitu adanya pemanfaatan berpikir dan

bertindak secara orisinil, kreatif dan inisiatif, 4) Pengendalian

diri, adanya perasaan mampu untuk mengatasi masalahnya,

mampu mengendalikan serta mampu mempengaruhi lingkungan


41

atas usahanya, 5) Kemampuan diri, yaitu mencakup rasa percaya

diri terhadap kemampuan sendiri, menerima dirinya dan

memperoleh kepuasan atas usahanya (Wiyani, 2013).

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek

kemandirian anak meliputi aspek emosi, ekonomi, intelektual,

social, bebas, progresif, inisiatif, pengendalian diri dan aspek

kemampuan diri.

2.6.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian

Banyak factor yang dapat mempengaruhi perilaku mandiri

seorang anak, namun dari sekian banyak faktor tersebut dapat

dibedakan menjadi dua yaitu factor internal dan factor eksternal.

Hal ini seperti yang dikemukakan Wiyani (2013) bahwa setidaknya

ada dua faktor yang berpengaruh dalam mendorong timbulnya

kemandirian anak usia dini, yaitu faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal merupakan factor yang berasal dari diri

anak itu sendiri, meliputi emosi dan intelektual. Faktor emosi ini

ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak

terganggunya kebutuhan emosi orang tua. Sementara faktor

intelektual diperlihatkan dengan kemampuan untuk mengatasi

berbagai masalah yang dihadapi. Di sisi lain, faktor eksternal, yaitu

faktor yang datang atau ada di luar anak itu sendiri. Faktor ini
42

meliputi lingkungan, rasa cinta dan kasih sayang, pola asuh orang

tua dalam keluarga dan pengalaman dalam kehidupan.

1. Faktor Internal

Faktor internal terdiri dari dua kondisi, yaitu kondisi

fisiologis dan kondisi psikologis. Berikut adalah penjelasan dari

dua kondisi tersebut.

a) Kondisi Fisiologis

Kondisi fisiologis yang berpengaruh antara lain keadaan

tubuh, kesehatan jasmani, dan jenis kelamin. Pada umumnya

anak yang sakit lebih bersikap tergantung daripada orang

yang tidak sakit. Lamanya anak sakit pada masa bayi

menjadikan orang tua sangat memperhatikannya. Anak yang

menderita sakit atau lemah otak mengandung kasihan yang

berlebihan dibandingkan yang lain sehingga dia mendapatkan

pemeliharaan yang lebih, dan itu sangat berpengaruh

terhadap kemandirian mereka (Wiyani, 2013).

Jenis kelamin anak juga berpengaruh terhadap

kemandiriannya. Pada anak perempuan terdapat dorongan

untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap orang

tuanya, tetapi sebagai statusnya sebagai anak perempuan

mereka dituntut supaya bersikap pasif, berbeda dengan anak

laki-laki yang agresif dan ekspansif, akibatnya anak


43

perempuan lebih lama ketergantungannya daripada anak laki-

laki. Lain halnya dengan anak yang memiliki tingkah laku dan

sikap yang maskulin, cenderung menunjukkan sikap yang

mandiri daripada anak yang memiliki tingkah laku dan sikap

yang feminim. Dengan kata lain, kondisi anak yang sehat dan

anak yang lebih mengembangkan sikap maskulin, cenderung

dapat menunjukkan sikap yang mandiri Hurlock (2010).

b) Kondisi Psikologis

Kecerdasan atau kemampuan kognitif berpengaruh dalam

pencapaian kemandirian terhadap seorang anak. Hal ini

disebabkan kemampuan bertindak dan mengambil keputusan

yang dilakukan oleh seorang anak hanya mungkin dimiliki oleh

anak yang mampu berfikir dengan seksama tentang

tindakannya. Dengan demikian, kecerdasan atau kemampuan

kognitif yang dimiliki seorang anak memiliki pengaruh

terhadap pencapaian kemandirian anak. Hurlock (2010)

menyatakan bahwa anak sulung cenderung ditelantarkan

secara emosional oleh ibunya karena disusul kelahiran anak

selanjutnya. Anak pertama atau anak sulung diharapkan dapat

menjadi contoh dan dapat menjaga adik-adiknya. Tuntutan

tersebut menjadikan anak pertama menjadi bersikap mandiri


44

daripada anak yang lahir setelahnya yang pendapat kasih

sayang lebih (Soetjiningsih, 2012).

2. Faktor Ekternal

Faktor eksternal ini meliputi lingkungan, rasa cinta dan

kasih sayang orangtua kepada anaknya, pola asuh orangtua

dalam keluarga, dan faktor pengalaman dalam kehidupan.

a) Lingkungan

Lingkungan merupakan factor yang sangat menentukan

dalam pembentukan kemandirian anak usia dini. Lingkungan

yang baik dapat mempercepat tercapainya kemandirian pada

anak. Kawah candradimuka dalam pembentukan karakter

anak adalah lingkungan keluarga. Kondisi lingkungan

keluarga ini sangat berpengaruh pada anak. Pemberian

stimulus yang terarah dan teratur pada lingkungan keluarga,

anak akan lebih cepat mendapatkan kemandirian

dibandingkan dengan anak yang kurang mendapatkan

stimulus didalam keluarganya (Dariyo, 2007).

b) Rasa Cinta dan Kasih Sayang

Rasa cinta dan kasih sayang orang tua kepada anaknya

diberikan sewajarnya karena hal itu dapat mempengaruhi


45

mutu kemandirian anak. Bila rasa cinta dan kasih sayang

diberikan berlebihan, anak akan menajdi kurang mandiri

(Wiyani, 2013).

c) Pola Asuh Orangtua dalam Keluarga

Pola asuh orangtua mempunyai peran yang nyata dalam

membentuk karakter yang mandiri pada anak. Toleransi yang

berlebihan, begitupun pemeliharaan yang berlebihan dari

orangtua yang terlalu keras kepada anak dapat menghambat

anak dalam pencapaian kemandirian (Desmita, 2014).

d) Pengalaman dalam Kehidupan

Pengalaman dalam kehidupan anak meliputi pengalaman

dilingkungan sekolah dan masyarakat. Interaksi anak dengan

teman sebayanya dilingkungan sekolah maupun dimasyarakat

berpengaruh terhadap kemandirian anak. Maka pada saat itu,

anak telah memperoleh kebebasan. Melalui hubungan dengan

teman sebaya anak akan belajar berfikir mandiri (Susanto,

2011).

2.6.5 Proses Pencapaian Kemandirian pada Anak

Perkembangan kemandirian merupakan suatu hal yang

penting dalam sejarah kehidupan manusia. Perkembangan

kemandirian sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan fisik,

yang pada gilirannya dapat memicu terjadinya perubahan


46

emosional, perubahan kognitif yang memberikan pemikiran logis

tentang cara berpikir yang mendasari tingkah laku, serta

perubahan nilai dalam peran sosial melalui pengasuhan orangtua

dan aktivitas individu (Desmita, 2014).

Pada awal kehidupannya, seorang anak bergantung pada

orang lain dalam hal pemenuhan kebutuhannya. Misalnya: makan,

berpakaian, kesehatan, kasih sayang, pengertian, rasa aman, dan

kebutuhan akan perangsangan mental, sosial dan emosional.

Kebutuhan anak berubah dalam jumlah maupun derajat

kualitasnya sesuai dengan bertambahnya umur anak. Semakin

mampunya anak melakukan gerakan motorik seperti berdiri,

berjalan dan berbicara, anak terdorong untuk melakukan sendiri

berbagai hal dan terdorong untuk bergaul dengan orang lain selain

anggota keluarganya sendiri (Susanto, 2011). Anak usia dini

belajar untuk tumbuh dan berkembang secara cepat dan tak

terduga. Anak usia dini akan memperoleh kebiasaan dengan apa

mereka bermain, apa yang mereka senangi untuk dimakan, dan

kapan waktu mereka untuk tidur. Semua kegiatan tersebut harus

mereka pilih dan merupakan kebutuhan fisik mereka (Wiyani,

2013).

Pada awalnya bayi memang tidak bisa mandiri, mereka masih

membutuhkan orangtua atau orang dewasa lainnya untuk


47

mengurus kebutuhan mereka. Namun demikian dengan semakin

bertambahnya usia, mereka harus diajarkan bagaimana cara

membentuk kemandirian. Sebenarnya, anak pada awal usia

kehidupan sudah siap untuk memasuki tahap kemandirian. Tahap

ini layaknya menapaki tangga. Diperlukan langkah-langkah yang

tepat dan harus dipersiapkan dengan matang untuk membantu

anak dalam mencapai kepribadian mandiri. Orangtua memiliki

kewajiban untuk membantu anak belajar berdiri, berjalan, bahkan

membantunya agar tidak mengompol lagi. Hal ini penting sekali

sebagai awal pembentukan kepribadian anak (Wiyani, 2013).

Orangtua harus melatih usaha mandiri anak, mula-mula dalam hal

menolong kebutuhan anak itu sendiri dalam keperluan sehari-hari,

misalnya makan, minum, buang air kecil, buang air besar dan

berpakaian. Kemampuan-kemampuan ini makin ditingkatkan

sesuai dengan bertambahnya usia. Anak perlu berteman, luas

pergaulan perlu dikembangkan pula, dan anak perlu diajar tentang

aturan-aturan disiplin, sopan santun dan sebagainya agar tidak

canggung dalam memasuki lingkungan baru (Santoso, 2011).

Untuk mendorong anak usia dini menuju kemandiriannya,

orangtua dan guru perlu memberikan berbagai pilihan dan bila

dimungkinkan sekaligus memberikan gambaran kemungkinan

konsekuensi yang menyertai pilihan yang diambilnya. Kemandirian


48

anak usia dini dalam melakukan prosedur-prosedur keterampilan

merupakan kemampuan untuk melakukan aktivitas sederhana

sehari-hari, seperti makan tanpa harus disuapi, mampu memakai

kaos kaki dan baju sendiri, bisa buang air kecil/air besar sendiri,

mampu memakai baju dan celana sendiri, dan dapat memilih mana

bekal yang harus dibawanya saat belajar di TK serta dapat

merapikan mainannnya sendiri. Sementara kemandirian anak usia

dini dalam bergaul terwujud pada kemampuan mereka dalam

memilih teman, keberanian mereka belajar di kelas tanpa ditemani

orangtua dan mau berbagi bekal/jajan kepada temannya saat

bermain.

Membentuk kemandirian pada anak usia dini, diperlukan

rangsangan serta dorongan untuk berekplorasi secara berulang-

ulang agar rasa tanggung jawab terbentuk. Disinilah peran

orangtua dan guru sangat penting dalam proses pembentukan

kemandirian anak. Peran orangtua dan guru akan memunculkan

inisiatif anak untuk mampu menggunakan setiap potensinya

sehingga mereka tahu harus berbuat apa dan bagaimana

melaksanakan tugas sekolah maupun memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari. Berikut peran orangtua dan guru dalam membentuk

kemandirian anak usia dini (Wiyani, 2013):

1. Memberikan pemahaman positif pada diri anak usia dini


49

Salah satu upaya untuk memberikan pemahaman positif pada

diri anak usia dini adalah dengan memberikan kepercayaan dan

tanggung jawab kepada anak guna mengambil keputusan untuk

dirinya sendiri. Anak usia dini yang memiliki rasa tanggung

jawab dan mendapatkan kepercayaan dari orangtua atau guru

dapat menjadikannya sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri.

Sebaliknya, anak yang tidak dipercaya orangtua dan guru sulit

untuk menemukan rasa percaya diri dan sukar menyesuaiakan

diri dengan lingkungannya sehingga akan menyulitkannya untuk

menjadi anak yang mandiri (Muslich, 2011).

2. Mendidik anak usia dini terbiasa rapih

Salah satu peran orangtua dan guru untuk membentuk karakter

mandiri pada anak usia dini adalah dengan mendidik anak usia

dini terbiasa hidup rapi. Mendidik anak usia dini tentang

pentingnya merapikan barang-barang sejak awal, akan

menjadikan mereka terbiasa melakukannya sehingga

terpupuklah karakter mandiri (Sutirna, 2013)

3. Memberikan permainan yang dapat membentuk kemandirian

anak usia dini

Permainan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan

karakter anak, seperti karakter mandiri, apabila permainan


50

tersebut didesain dengan baik, dengan menggabungkan aspek

rekreatif dan edukatif (Wiyani, 2013).

4. Memberi anak usia dini pilihan sesuai dengan minatnya

Minat adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu.

Minat erat terkait dengan kemauan. Kemauan yang juga disebut

kekuatan dan kehendak dapat diartikan sebagai kekuatan untuk

memilih dan merealisasikan suatu tujuan. Disinilah peran orang

tua dan guru dibutuhkan untuk membimbing anak usia dini

mengembangkan minatnya dengan memberikan anak usia dini

berbagai pilihan untuk beraktivitas sesuai dengan minat (Yusuf,

2014).

5. Membiasakan anak usia dini berperilaku sesuai dengan tata

karma

Karakter mandiri merupakan salah satu komponen pembentukan

social life skill yang merupakan kemampuan dasar yang harus

dimiliki anak usia dini agar mampu menyesuaikan diri dengan

lingkungan social. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh

orangtua dan guru untuk memunculkan kemampuan di atas

adalah dengan membiasakan anak usia dini berperilaku sesuai

dengan tata karma yang berlaku di dalam masyarakat (Muslich,

2011).

6. Memotivasi anak usia dini supaya tidak malas-malasan


51

Beberapa hambatan yang dialami oleh orangtua dan guru dalam

mendidik dan membentuk karakter mandiri anak usia dini

seperti anak acuh tak acuh atau tidak menurut dengan perintah

orangtua dan disadari ataupun tidak sikap tersebut menjadikan

anak usia dini menjadi malas. Apabila anak tidak mau bangun

dari tempat tidur, tidak mau menggosok gigi, tidak mau

memakai baju, tidak mau makan dan yang lainnya maka penting

bagi orangtua dan guru untuk menyadari bahwa terdapat

masalah motivasi dalam diri anak tersebut. Betapa pentingnya

motivasi yang diberikan oleh orangtua atau guru kepada anak

usia dini agar mereka menjadi anak yang mandiri. Selain itu

dengan adanya motivasi dari orangtua dan gur, anak usia dini

juga menjadi terangsang untuk melakukan hal-hal yang baik

(Desmita, 2014).

2.6.6 Perkembangan Kemandirian

Setiap manusia pasti mengalami peristiwa perkembangan

selama hidupnya. Perkembangan adalah perubahan-perubahan

yang dialami individu atau organism menuju tingkat

kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang

berlangsung secara sistematis, progesif dan berkesinambungan

baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah)

(Yusuf. 2014). Menurut Monks perkembangan menunjuk pada


52

suatu proses kea rah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja

dapat diulang kembali. Perkembangan menunjuk pada perubahan

yang bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali.

Perkembangan juga dapat diartikan sebagai proses yang kekal dan

tetap yang menuju ke arah suatu organisasi pada tingkat integrasi

yang lebih tinggi, berdasarkan pertumbuhan, pemasakan dan

belajar (Desmita, 2014).

Pada rentang usia 3-4 sampai 5-6 tahun, anak mulai

memasuki usia prasekolah yang merupakan masa kesiapan untuk

memasuki pendidikan formal yang sebenarnya di sekolah dasar.

Masa ini ditandai dengan masa peka terhadap segala stimulasi

yang diterimanya melalui pancaindra. Masa peka memiliki arti

penting bagi perkembangan setiap anak. Itu artinya bahwa apabila

orang tua mengetahui anaknya telah memasuki masa peka dan

mereka segera memberi stimulasi yang tepat, maka akan

mempercepat penguasaan terhadap tugas-tugas perkembangan

pada usianya (Susanto, 2011).

Tahap-tahap perkembangan anak pada usia bayi dan kanak-

kanak adalah sebagai berikut: 1) Belajar berjalan. Belajar berjalan

terjadi pada usia antara 9 sampai 15 bulan, pada usia ini tulang

kaki, otot dan susunan syarafnya telah matang untuk belajar

berjalan, 2) Belajar memakan makanan padat. Hal ini terjadi pada


53

tahun kedua, sistem alat-alat pencernaan makanan dan alat-alat

pengunyah pada mulut telah matang untuk hal tersebut, 3) Belajar

berbicara, yaitu mengeluarkan suara yang berarti dan

menyampaikannya kepada orang lain dengan perantaraan suara

itu, 4) Belajar buang air kecil dan buang air besar. Sebelum usia 4

tahun, anak pada umumnya belum dapat mengatasi (menaham)

ngompol karena perkembangan syaraf yang mengatur

pembuangan belum sempurna, 5) Belajar mengenal perbedaan

jenis kelamin. Melalui observasi (pengamatan) anak dapat melihat

tingkah laku, bentuk fisik dan pakaian yang berbeda antara jenis

kelamin yang satu dengan yang lainnya, 6) Mencapai kestabilan

jasmaniah fisiologis. Keadaan jasmani anak sangat labil apabila

dibandingkan dengan orang dewasa, anak cepat sekali merasakan

perubahan suhu sehingga temperature badannya mudah berubah,

7) Membentuk konsep-konsep (pengertian) sederhana kenyataan

social dan alam. Anak belajar bahwa benda-benda khusus dapat

dikelompokkan dan diberi satu nama, sepertri kucing, ayam,

kambing dan burung dapat disebut binatang, 8) Belajar

mengadakan hubungan emosional dengan orang tua, saudara dan

orang lain. Anak mengadakan hubungan dengan orang-orang yang

ada di sekitarnya menggunakan berbagai cara, yaitu isyarat,

menirukan dan menggunakan bahasa, 9) Belajar mengadakan


54

hubungan baik dan buruk, yang berarti mengembangkan kata hati.

Anak mengenal pengertian baik dan buruk, benar dan salah ini

dipengaruhi oleh pendidikan yang diperolehnya (Yusuf, 2014).

2.7 Konsep Program Makan Bersama

Makan bersama adalah salah satu kesempatan yang baik

bagi orang tua untuk saling berbicara dengan anak dan

mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh anak selama seharian.

Selain itu makan bersama orangtua juga dapat memberikan menu

makan yang sehat karena masakan dirumah lebih terjaga

higienisnya daripada jajanan diluar rumah (Teja & Chunara, 2012).

Makan bersama saat ini dikalangan masyarakat sangatlah jarang

diterapkan, sebagian besar masyarakat lebih mementingkan

kegiatan diluar rumah, sehingga mengabaikan makan bersama

dirumah. Padahal dijaman modern saat ini anak-anak banyak

belajar tentang kehidupan dari berbagai sumber, dan tanpa adanya

dampingan dari orangtua. Orangtua bertanggung jawab untuk

memberikan contoh yang baik dalam memberikan kebiasaan

makanan yang sehat. Sejak kecil anak gemar meniru apa yang

dilakukan orang sekitarnya, sehingga apapun yang dimakan dan

diminum oleh orang tua, anak akan menirunya. bahwa anak meniru
55

perilaku orang tua yang sering memilih-milih makanan

berdasarkan selera dan kesukaannya (Sudjatmoko, 2011).

Kebiasaan makan yang baik dan sehat dalam keluarga

ataupun lingkungan sekitar anak, dapat membentuk perilaku

makan yang baik pada anak. Membuat suasana yang

menyenangkan dan makan bersama di meja makan sebaiknya

dilakukan sejak anak sudah menyantap makanannya sendiri,

sehingga anak dapat mempelajari table manner (Sudjatmoko,

2011). Makan bersama keluarga juga dapat mengajarkan anak

agar anak mudah bersosialisasi (Soenardi, 2005). Hal ini

menunjukan bahwa makan bersama dalam kehidupan sehari-hari,

yang melibatkan persiapan dan konsumsi makanan dapat

mengurangi perilaku makan yang kurang baik pada anak, selain itu

anak juga dapat mengembangkan kesehatan emosional dan fisik

yang positif (Choung-Kim, 2012).

Makan bersama selain dilakukan dengan keluarga, ini juga

dapat dilakukan disekolah. Beberapa sekolah dibelahan dunia telah

menerapkan program makan bersama disekolah. Kegiatan sekolah

semacam ini bertujuan untuk membiasakan anak mandiri dalam

berperilaku makan. Makan bersama disekolah bagi anak sangat

menyenangkan, hal ini dikarenakan anak makan bersama teman


56

sebayanya, sehingga perilaku makan yang baik mudah tertanam

pada diri anak (Darmayanti, 2010).

2.7.1 Progam Makan Bersama di Sekolah

Makan bersama dikelas dapat membangun keterampilan

sosialisasi anak karena anak dapat saling membantu, saling

berinteraksi sehingga anak mendapat dorongan untuk mandiri

dalam berperilaku makan (US Departement of Angriculture, 2007).

Makan bersama juga dapat mendorong keterampilan motorik anak

karena anak dapat berlatih mengangkat, menuang, dan menyendok

makanan secara mandiri. Anak juga dapat meningkatkan selera

makan mereka karena saat makan bersama dikelas yang dilakukan

dengan frekuensi sering makan anak akan akrab dengan rasa, bau,

tekstur, berbagai makanan. Anak ketika makan bersama dikelas

otomatis tidak ada orang tua yang membantu anak menyuapi

makanan sehingga ini adalah cara awal untuk mengajarkan anak

tentang kemandirian dengan mendorong anak untuk mulai makan

sendiri, dan dapat membersihkan tempat makan mereka sendiri

(Christie & Guadagno, 2004).

Anak prasekolah sedang dalam fase meniru atau role

modeling yaitu anak melakukan imitasi dari apa yang mereka lihat.

Anak seringkali meniru perilaku makan orang sekitar. Model peran

positif dapat mempengaruhi perilaku makan pada anak. Anak yang


57

tidak mandiri dalam perilaku makan berangsur-angsur akan mulai

mandiri, karena teman-teman sebayanya dapat memberikan contoh

dan dapat memberikan semangat pada anak untuk mau

berperilaku makan secara mandiri. Teman sangat berpengaruh

dalam pemilihan dan sikap makan anak. Biasanya anak secara

mendadak menolak makanan yang disajikan dan meminta makanan

yang sedang popular. Mereka akan berpatisipasi pada makan

bersama di sekolah karena ada teman spermaninan tanpa

memperdulikan menu yang disajikan. Dengan makan dalam

kelompok, anak akan makan dengan variasi menu yang bergizi dan

porsi yang lebih banyak dibanding menyantapnya seorang diri

(Sudjatmoko, 2011).

Program makan bersama telah banyak diterapkan di amerika

serikat. Menurut sejumlah laporan yang dikeluarkan oleh National

Center on Addiction and Substance Abuse at Columbia University

(CASA), anak-anak yang makan bersama setidaknya lima kali

dalam seminggu disekolah memiliki resiko lebih rendah memiliki

kebiasaan makan yang buruk, sulit makan, masalah berat badan,

dan cenderung memiliki presentasi lebih baik dibidang akademis

daripada anak yang sering makan sendirian (Gustafson et al,

2012).
58

Kegiatan makan bersama yang dilakukan di sekolah dapat

melatih perilaku mandiri anak terutama perilaku makan mandiri

seorang anak. Kegiatan makan bersama yang dilakukan secara

rutin dapat digunakan sebagai cara untuk mengembangkan

kemandirian pada anak. Ketrampilan makan pada anak dalam

kegiatan makan bersama di TK yaitu sebagai berikut: 1) Makan

menggunakan tangan dengan perlengkapan yang digunakan

tempat cuci tangan, piring, nasi, sayur, lauk pauk dan lap tangan.

Cara melatihnya antara lain : duduk yang rapi, berdoa sebelum

makan, mencuci tangan sebelum makan, mengambil makanan

dengan tangan, mengunyah makan, menelan makanan,

menghabiskan makanan, mencuci tangan sesudah makan,

keringkan tangan dengan menggunakan lap tangan,

membersihakan alat makan, merapikan peralat makan, berdoa

setelah makan. 2) Makan menggunakan sendok dengan

perlengkapan yang digunakan piring, sendok, nasi, sayur, lauk

pauk dan lap tangan. Cara melatihnya antara lain : duduk yang

rapi dengan sikap yang baik, berdoa sebelum makan, mengambil

alat makan, mengambil nasi dengan sendok dari tempat makan,

mengunyah makanan, menelan makanan, menghabiskan makanan,

merapikan peralatan makan, membersihakan tangan dengan


59

menggunakan lap tangan, berdoa setelah makan (Andriani,

Sutiman & Wulandari, 2012).

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat diketahui cara

makan yang benar. Untuk melatih kemandirian anak hendaknya

membimbing anak agar mau melakukan kegiatan makan dengan

cara yang benar dan mandiri tanpa bergantung pada orang lain.

Agar anak tidak bergantung dengan orang lain atau mandiri

sebaiknya anak diberikan kegiatan rutin yang dapat membentuk

kemandirian.

2.7.2 Manfaat Program Makan Bersama di Sekolah

Program makan bersama yang dilakukan di sekolah memberi

banyak manfaat positif bagi anak. Beberapa manfaat makan

bersama disekolah adalah: 1) Anak dapat mengenal berbagai

makanan bergizi, misalnya, nasi sebagai sumber karbohidrat, telur

sebagai protein, serta sayuran dan buah-buahan sebagai sumber

vitamin dan mineral, 2) Anak dapat mengenal fungsi makanan-

makanan bergizi untuk kesehatan tubuh. Misalnya, pentingnya

minum susu, dan pentingnya makan sayur, 3) Anak dapat mengenal

tata cara makan yang benar. Misalnya, cara menggunakan sendok

dan garbu, atau membiasakan anak berdoa sebelum makan serta

berperilaku mandiri saat makan, 4) Mengajarkan anak menghargai

dan berbagi dengan teman-temannya. Misalnya, anak tidak boleh


60

makan dengan berantakan karena makanan yang berantakan tidak

pantas dipandang oleh teman-teman yang lain (Darmayanti, 2010).

Salah satu manfaat yang dapat diperoleh dari program

makan bersama adalah berkembangnya perilaku mandiri anak,

mengembangkan kemandirian anak dapat dilakukan pada saat

kegiatan makan bersama karena program makan bersama

merupakan kegiatan rutin yang dilakukan di sekolah, sehingga

kegiatan pembelajaran akan lebih mengena karena dilakukan

berulang-ulang dan dipraktekkan anak secara langsung (Andriani,

Sutiman & Wulandari, 2012).

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan jika

terdapat beberapa manfaat positif dari adanya program makan

bersama diantaranya adalah memberi pembelajaran kepada anak

mengenai makanan bergizi dan mengenalkan pada anak mengenai

tata cara makan yang benar. Selain itu dari program makan

bersama ini anak diajari untuk berperilaku mandiri yang salah

satunya ditunjukkan dalam perilaku makannya.

Anda mungkin juga menyukai