Anda di halaman 1dari 8

1.

Definisi CKD
Penyakit gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa
dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2007; Price et al, 2005).
Gagal ginjal kronik / chronic kidney disease (CKD) merupakan penurunan
progresif faal ginjal yang menahun dan perlahan. Biasanya berlangsung dalam
beberapa tahun, yang umumnya tidak reversibel. Kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme atau keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan,
dan laju filtrasi glomerulus sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m, tidak
termasuk kriteria penyakit ginjal kronik. Batasan penyakit ginjal kronik
(Suwitra, 2007):
a. Kerusakan ginjal >3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
1) Kelainan patologik
2) Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan radiologi
b. Laju filtrasi glomerulus <60 ml/menit/1,73m selama >3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.

2. Patomekanisme CKD
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit merusak
nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit ginjal difus dan bilateral,
meskipun lesi obstruktif juga dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Pada
awalnya, beberapa penyakit ginjal terutama menyerang glomerulus, sementara
jenis yang lain terutama menyerang tubulus ginjal sehingga mengganggu
perfusi darah pada parenkim ginjal. Bila terus berlanjut seluruh nefron akan
hancur gan diganti jaringan parut.
Berdasarkan hipotesis nefron yang utuh (Hipotesis Bricker), mengatakan
bahwa bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur,
namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul
jika jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan cairan dan
elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. (Price et al, 2005).
Hipotesis Briker ini berguna untuk menjelaskan adaptasi fungsional pada
penyakit ginjal progresif, yaitu kemampuan untuk mempertahankan
keseimbangan air dan elektrolit tubuh kendati GFR sangat menurun. Ada dua
adaptasi penting yang dilakukan ginjal sebagai respon terhadap ancaman
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Yang pertama, sisa nefron yang ada
beradaptasi dengan mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk mengimbangi
beban ginjal. Yang kedua, terjadinya peningkatan filtrasi dan reabsorbsi
glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun GRF untuk seluruh massa
nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal, namun jika 75%
massa nefron telah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban absolut bagi
setiap nefron akan semakin tinggi. Ini mengakibatkan keseimbangan
glomerulus tubulus tidak dapat dipertahankan lagi (Price et al, 2005).
Dengan meningkatnya jumlah beban zat terlarut, maka kemampuan
memekatkan atau mengencerkan kemih akan berkurang secara progresif,
menyebabkan berat jenis (BJ) urin tetap pada nilai 1,010 atau 285m Osmot
(sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria
dan nokturia. Retensi cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu
mengkonsentrasikan dan mengencerkan urin. Respon ginjal yang tersisa
terhadap masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penderita
sering menahan cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi aksis renin dan angiotensin yang akan meningkatkan sekresi
aldosteron. Muntah menyebabkan penipisan air dan natrium yang dapat
memeperberat stadium uremik. Dengan berkembangnya penyakit renal terjadi
asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan eksresi asam terutama akibat
ketidakmampuan tubulus ginjal mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi
natrium bikarbonat (Price et al, 2005).
Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin yang
tidak adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoetin adalah
suatu substansi normal yang diproduksi oleh ginjal, menstimulus sum-sum
tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD produksi
erytropoetin menurun (Price et al, 2005).
Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium dan
fosfat. Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling
berlawanan. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price et
al, 2005).
Pada penderita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat,
menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang
akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat zat sisa.
Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam urine
penderita. Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et al,
2005).
Penderita CKD juga dapat mengalami osteoporosis sebagai akibat dari
menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormone (Price et al,
2005).
Perjalanan penyakit CKD secara umum terjadi dalam beberapa tahapan,
yaitu (Price et al, 2005; McCance dan Sue, 2006):
A. Penurunan fungsi Ginjal. Selama stadium ini kratinin serum dan BUN
normal. Gangguan funsi ginjal hanya dapat terdeteksi dengan memberi
beban kerja yang berat pada ginjal.
B. Insufisiensi ginjal. Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah
tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini
GFR mengalami penurunan yang bermakna. Tanda dan gejala serta
disfungsi ginjal yang ringan sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi
akan melakukan kompensasi untuk memaksimalkan fungsi ginjal. Pada
stadium ini gejala seperti nokturia dan poliuria mulai muncul akibat
gangguan pemekatan urin.
C. Gagal ginjal. Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia,
asidosis, ketidakseimbangan konsentrasi urin, anemia berat dan gangguan
elektrolit (hipernatremia, hiperkalemia dan hiperfosfatemia). Keadaan
gagal ginjal terjadi saat GFR 10% dan penyakit mulai memberikan efek
pada sistem organ lain.
D. ESRD. End Stage Renal Disease merupakan tahapan terakhir dari
gangguan fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami gangguan yang
berat. GFR hampir tidak ada lagi < 15 ml/min/1.73m2. Kemampuan
reabsorbsi dan ekskresi juga terganggu, dikarenakan perubahan yang besar
dari elektrolit, regulasi cairan, dan gangguan keseimbangan asam basa.
Gangguan kardiovaskuler, hematologi, neurologi, gastrointestinal,
endokrin, metabolik, gangguan tulang dan mineral juga dapat terjadi.
Jumlah Nefron

Hiperfiltrasi Adaptative Glomerolus

Permeabilitas RAAS SNGFR


Glomerolus

Filtrasi HT
Makromolekul
dan Protein

Protenuria Inflamasi nefrotoksik


atau remodelling

Fibrosis tubulointerstisial dan


focal glomerulosclerosis

GFR Urine Komplikasi


Output Sistemik

EPO Uremia Gangguan Gangguan


ekskresi Na, kadar serum
Air dan K PO4, vit D,
Anemia Disfungsi PTH
Platelet Edema
Hiperparathyroidism
perifer dan
sekunder
Tendensi pulmo
Perdarahan

Gambar 1 patomekanisme CKD

3. Manifestasi Klinis CKD


Manifestasi klinis CKD terdiri dari kelainan hemopoeisis, saluran cerna,
mata, kulit, selaput serosa dan kelainan kardiovaskular (Murray et al., 2007).
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang
ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan
darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan
sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik
(Suwitra, 2007).
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL
atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi
serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity
(TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya (Murray et al., 2007;
Suwitra, 2007).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik
adalah 11-12 g/dL (Suwitra, 2007).
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis
mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan
dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang
menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.
Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah
pembatasan diet protein dan antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus,
miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal
kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi.
Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik
akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan Kulit
Penimbunan pigmen urin (terutama urokrom) bersama anemia
terutama pada CKD trutama akan menyebabkan kulit pasien benjadi putih
seakan akan berlilin dan menjadi kekuning-kuningan. Kulit mungkin akan
menjadi kering dan rapuh.penderita uremia sering mengalami pruritus yang
merupakan manifestasi peningkatan fungsi kelenjar paratiroid dan
pengendapan kalsium dalam kulit (Price, 2005).
e. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,
kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal
jantung (Price, 2005).
DAFTAR PUSTAKA
Murray L., Ian W., Tom T., Chee K C. 2007. Chronic Renal Failure in Ofxord
Handbook of Clinical Medicine. Edisi ke-7. New York: Oxford University.
294-97.
Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi: konsep klinis proses
perjalanan penyakit, volume 1, edisi 6. Jakarta: EGC.
Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus
SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm 570-3.

Anda mungkin juga menyukai