Anda di halaman 1dari 16

Asma merupakan penyakit saluran napas kronik (menahun) yang paling sering ditemukan, terutama di

negara maju. Penyakit ini umumnya dimulai sejak masa anak-anak. Dampak negatifnya seperti
menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga, dan aktivitas seluruh
keluarga.

Pedoman Nasional Asma Anak (Indonesia) mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala
wheezing/mengi dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut:

- timbul secara episodik dan/atau kronik,

- cenderung pada malam/dini hari (nokturnal),

- musiman,

- adanya faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik, dan

- bersifat reversibel (bisa sembuh seperti sedia kala) baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, serta

- adanya riwayat asma atau atopi (kecenderungan mengidap alergi) lain pada pasien/keluarganya,

- sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.

MEKANISME TERJADINYA ASMA

Konsep terkini mekanisme terjadinya asma, yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi
(peradangan) kronik/menahun yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik/napas,
menyebabkan terbatasnya aliran udara, dan peningkatan reaktivitas
(hiperreaktif/hipersensitif) saluran napas. Hiperreaktivitas ini merupakan awal terjadinya
penyempitan saluran napas, sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang.

Gambaran khas adanya inflamasi saluran napas adalah aktivasi sel-sel dalam darah dan sel
berupa eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa (selaput lendir) dan
lumen (muara) saluran napas. Perubahan ini dapat terjadi, meskipun secara klinis asmanya
tidak bergejala. Sejalan dengan proses peradangan, perlukaan epitel (lapisan terluar) bronkus
(batang paru-paru) merangsang proses perbaikan saluran napas yang menghasilkan perubahan
struktural dan fungsional, dikenal dengan istilah remodelling.

Lebih lanjut bisa melihat gambar.

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

Diagnosis
Mengi/wheezing berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan
diagnosis. Termasuk yang perlu dipertimbangkan kemungkinan asma adalah anak-anak yang hanya
menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda, dan pada saat diperiksa tanda wheezing, sesak dan lain-lain
sedang tidak timbul.

Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah 3 tahun. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan
faal/fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang
lebih lengkap dengan spirometer. Lainnya bisa melalui uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin,
latihan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis.

Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara, yaitu didapatkannya:

Variabilitas pada PFR (peak flow rate) atau FEV1 (forced expiratory volume in 1 second) 15%

Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) hasil PFR dalam satu hari. Penilaian
yang baik dapat dilakukan dengan variabilitas mingguan yang pemeriksaannya berlangsung 2 minggu.

Reversibilitas pada PFR atau FEV1 15%

Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan) PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.

Penurunan 20% pada FEV1 (PD20 atau PC20) setelah provokasi bronkus dengan metakolin atau
histamin.

Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena selain mendukung
diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma. Jika tidak tersedia, dapat menggunakan
Lembar Catatan Harian (lihat lampiran 1) sebagai alternatif. Cara penggunaan peak flow meter dijelaskan
dalam Artikel

Pada anak dengan tanda dan gejala asma yang jelas, serta respon terhadap pemberian obat asma baik
sekali, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Secara singkat, alur diagnosis asma anak dapat
dilihat dalam lampiran 2.

Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Anak

Parameter klinis, Asma Episodik Jarang Asma Episodik Sering Asma Persisten
kebutuhan obat, dan
faal paru
1. Frekuensi serangan <1x/bulan >1x/bulan sering
2. Lama serangan <1 minggu >1 minggu Hampir sepanjang
tahun, tidak ada periode
bebas serangan
3. Intensitas serangan biasanya ringan biasanya sedang biasanya berat
4. Di antara serangan tanpa gejala sering ada gejala gejala siang dan malam
5. Tidur dan aktivitas tidak terganggu sering terganggu sangat terganggu
6. Pemeriksaan fisik normal (tidak ditemukan mungkin terganggu tidak pernah normal
di luar serangan kelainan) (ditemukan kelainan)
7. Obat pengendali tidak perlu perlu perlu
(anti inflamasi)
8. Uji faal paru (di luar PEF/FEV1>80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1<60%
serangan) variabilitas 20-30%
9. Variabilitas faal variabilitas >15% variabilitas >30% variabilitas >50%
paru (bila ada
serangan)

Keterangan:

PEF : peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak)

FEV1 : forced expiratory volume in 1 second (volum ekspirasi paksa dalam 1 detik)

Tata Laksana Asma Jangka Panjang

Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi
tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah:

Anak dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.


Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal (dalam 24 jam) yang mencolok.
Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama yang
mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Apabila tujuan ini belum tercapai, maka perlu reevaluasi tata laksananya.

Tata Laksana Medikamentosa (dengan Obat-obatan)

Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller).

Reliever, sering disebut obat serangan, digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi, maka obat ini
tidak digunakan lagi.

Controller, sering disebut obat pencegah, digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi
respiratorik kronik (peradangan saluran napas menahun). Dengan demikian pemakaian obat ini terus-
menerus dalam jangka waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma, dan responnya terhadap
pengobatan/penanggulangan. Controller diberikan pada Asma Episodik Sering dan Asma Persisten.
Asma Episodik Jarang

Asma episodik jarang cukup diobati dengan reliever berupa bronkodilator (melebarkan
bronkus/batang paru-baru) beta agonis hirupan (inhaler/spray) kerja pendek (short acting
2-agonist, SABA) atau golongan xantin kerja cepat, bila terjadi gejala/serangan.

Kendala penggunaan spray ini adalah harganya yang mahal dan tidak tersedia di semua
tempat. Selain itu pemakaian inhaler (Metered Dose Inhaler/MDI atau Dry Powder Inhaler/DPI)
ini memerlukan teknik penggunaan yang benar (untuk anak besar), dan memerlukan alat
bantu (untuk anak kecil/bayi). Bila obat hirupan tidak ada, maka beta agonis diberikan per oral
(obat minum).

Penggunaan xantin kerja cepat (teofilin) sebagai bronkodilator makin kurang


perannya dalam tata laksana asma, karena batas keamanannya (margin of
safety) sempit. Namun mengingat di Indonesia obat beta agonis oral tidak
selalu ada, maka dapat menggunakan teofilin dengan memperhatikan
kemungkinan timbulnya efek samping. Selanjutnya dapat dilihat di lampiran
3.

Asma Episodik Sering

Jika penggunaan beta agonis hirupan sudah lebih dari 3x per minggu (tanpa
menghitung penggunaan sebelum aktivitas fisik), atau serangan sedang/berat terjadi lebih
dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti inflamasi sebagai pengendali
(controller) diperlukan, yakni steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid yang sering
digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar.

Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 g/hari budesonid (50-100 g/hari
flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 g/hari budesonid untuk anak
berusia di atas 12 tahun. Pada penggunaan dosis 100-200 g/hari belum dilaporkan adanya efek
samping jangka panjang.

Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi/peradangan kronik, controller berupa anti inflamasi
membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Penilaian dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu
yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Apabila masih tidak respons (masih terdapat gejala
asma atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu menaikkan
dosis steroid hirupan sampai dengan 400 g/hari, yang termasuk dalam tata laksana asma persisten.
Selanjutnya dapat dilihat dalam lampiran 3.

Prinsip pengobatan adalah: jika tata laksana suatu derajat penyakit asma sudah sesuai dengan panduan,
namun respon tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tata laksana berpindah ke yang lebih berat
(step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih
ringan (step-down). Bila memungkinkan, steroid hirupan dihentikan penggunaannya.

Catatan: sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi (1) pelaksanaan penghindaran pencetus, (2) cara
penggunaan obat, dan (3) penyakit penyerta yang mempersulit pengendalian asma (seperti rinitis dan
sinusitis).

Asma Persisten

Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih
terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat
dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam keadaan tertentu, khususnya pada anak
dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral
jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil
yang masih optimal.

Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respons yang baik,
diperlukan terapi alternatif pengganti, yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium
atau tetap steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (long acting beta-2
agonist) atau ditambahkan teophylline slow release (TSR) atau ditambahkan anti-
leukotriene receptor (ALTR). Dosis medium adalah setara dengan 200-400 g/hari
budosenid (100-200 g/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 400-600
g/hari budosenid (200-300 g/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.

Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma, maka
dapat diberikan alternatif lapis ketiga, yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid
sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau
TSR, atau ALTR. Yang dimaksud dosis tinggi adalah setara dengan > 400 g/hari budesonid
(> 200 g/hari flutikason), untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan > 600 g/hari
budesonid (> 300 g/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.

Penambahan LABA pada steroid hirupan dibuktikan dapat memperbaiki FEV1, menurunkan
gejala asma, dan memperbaiki kualitas hidup. Apabila dosis steroid hirupan sudah
mencapai > 800 g/hari namun tidak mencapai respon, maka baru menggunakan steroid oral
(sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir.
Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat.
Sebagai dosis awal, steroid oral dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis
terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari. Efek samping steroid sistemik dapat dilihat dalam
lampiran 4.

Pemberian antileukotrien (zafirlukas) dikontraindikasikan pada kelainan hati. Pemberian obat


anti histamin generasi baru non sedatif (misalnya setirizin dan ketotifen), dipertimbangkan
pada anak dengan asma yang disertai rinitis.
Semua jenis obat-obatan ini dapat dilihat dalam Lampiran 6.

Cara Pemberian Obat

Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak, karena perbedaan
kemampuan menggunakan alat inhalasi. Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang
kali.

Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan usia

Umur Alat inhalasi


< 2 tahun Nebuliser (alat uap)
MDI (Metered Dose Inhaler) dengan spacer Aerochamber, Babyhaler
5-8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
DPI (Dry Powder Inhaler): Diskhaler, Turbuhaler
> 8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
DPI
MDI tanpa spacer

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi (penumpukan) obat dalam mulut
(orofaring), sehingga mengurangi jumlah obat yang tertelan, dan mengurangi efek sistemik.
Deposisi (penyimpanan) dalam paru pun lebih baik, sehingga didapatkan efek terapetik
(pengobatan) yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder Inhaler)
seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler memerlukan inspirasi
(upaya menarik/menghirup napas) yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia
sekolah.

Pencegahan dan Intervensi Dini

Pencegahan dan tindakan dini harus menjadi tujuan utama dalam menangani anak asma.
Pengendalian lingkungan, pemberian ASI ekslusif minimal 6 bulan, penghindaran makanan
berpotensi alergenik (mampu mencetuskan alergi), pengurangan pajanan terhadap tungau
debu rumah dan rontokan bulu binatang, terbukti mengurangi manifestasi alergi makanan, dan
khususnya dermatitis atopik pada bayi, juga asma.

Penggunaan antihistamin non sedatif (tidak menyebabkan kantuk) seperti ketotifen dan
setirizin jangka panjang dilaporkan dapat mencegah terjadinya asma pada anak dengan
dermatitis atopik. Namun obat-obat ini tidak bermanfaat sebagai obat pengendali asma
(controller),
Faktor Alergi dan Lingkungan (Menghindari Pencetus)

Saat ini telah banyak bukti bahwa alergi merupakan salah satu faktor penting berkembangnya
asma. Paling tidak 75-90% anak asma balita terbukti mengidap alergi, baik di negara
berkembang maupun negara maju. Atopi (kecenderungan mempunyai satu atau beberapa jenis
dari kelompok besar alergi) merupakan faktor risiko yang nyata untuk menetapnya
hiperreaktivitas bronkus dan gejala asma. Terdapat hubungan antara pajanan alergen
(pencetus alergi) dengan sensitisasi. Pajanan yang tinggi berhubungan dengan peningkatan
gejala asma pada anak.

Pengendalian lingkungan harus dilakukan untuk setiap anak asma. Penghindaran terhadap asap
rokok merupakan rekomendasi penting. Keluarga dengan anak asma dianjurkan tidak
memelihara binatang berbulu, seperti kucing, anjing, burung. Perbaikan ventilasi ruangan, dan
penghindaran kelembaban kamar perlu untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan
tungaunya.

Perlu ditekankan bahwa anak asma seringkali menderita rinitis alergi dan/atau sinusitis yang
membuat asmanya sukar dikendalikan. Deteksi dan diagnosis kedua kelainan itu yang diikuti
dengan terapi adekuat akan memperbaiki gejala asmanya.

Beberapa penelitian menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak berlanjut menjadi
asma pada masa anak dan remajanya. Adanya asma pada orangtua, dan dermatitis (penyakit
kulit eksim) atopik pada anak dengan mengi merupakan salah satu indikator terjadinya asma di
kemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut, maka kemungkinan menjadi asma lebih
besar.

Tata Laksana Serangan Asma

GINA membagi tata laksana serangan asma menjadi dua, tata laksana di rumah dan di rumah
sakit. Tata laksana di rumah dilakukan oleh anak asma (atau orangtuanya) sendiri di rumah.
Hal ini dapat dilakukan oleh mereka yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur,
dan mempunyai pendidikan yang cukup. Terapi awal berupa inhalasi beta agonis kerja
pendek hingga tiga kali dalam satu jam. Kemudian anak atau keluarganya diminta
melakukan penilaian respons untuk penentuan derajat serangan, untuk ditindaklanjuti sesuai
derajatnya. Namun untuk kondisi di negara kita, pemberian terapi awal di rumah seperti di atas
cukup riskan, dan kemampuan melakukan penilaian juga masih dipertanyakan. Dengan alasan
demikian, maka apabila setelah dilakukan inhalasi satu kali tidak mempunyai respons yang
baik, maka dianjurkan mencari pertolongan dokter.

Penilaian Derajat Serangan Asma lebih lengkap dapat dilihat dalam Tabel.

Tata Laksana di Klinik atau Unit Gawat Darurat, Dijelaskan secara lengkap dalam
lampiran 5.

Obat Lain untuk Serangan Asma

Magnesium Sulfat

Pada penelitian multisenter, pemberian magnesium sulfat intravena (infus) di rumah sakit
mempunyai efektivitas sama dengan pemberian beta agonis.

Mukolitik (pengencer dahak)

Pemberian mukolitik (misalnya Bisolvon sirup) pada serangan asma dapat saja diberikan, tetapi
harus berhati-hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak optimal. Pemberian mukolitik
secara inhalasi (hirupan) tidak mempunyai efek yang signifikan, tetapi harus berhati-hati pada
serangan asma berat.

Antibiotika

Pemberian antibiotika pada asma tidak dianjurkan, karena sebagian besar pencetusnya bukan
infeksi bakteri, melainkan infeksi virus. Pada keadaan tertentu, antibiotika dapat diberikan,
yaitu pada infeksi saluran napas yang dicurigai karena bakteri, atau dugaan sinusitis yang
menyertai asma.

Obat sedasi (mempunyai efek membuat kantuk)

Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak dianjurkan, karena menekan
pernapasan.

Anti histamin (anti alergi)

Anti histamin jangan diberikan pada serangan asma, karena tidak mempunyai efek yang
bermakna, bahkan dapat memperburuk keadaan.

TERAPI INHALASI

Pengobatan asma bertujuan untuk menghentikan serangan asma secepat mungkin, serta
mencegah serangan berikutnya, ataupun bila timbul serangan kembali, serangannya tidak
berat. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu diberi obat bronkodilator pada saat serangan, dan
obat anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk menurunkan inflamasi yang timbul.

Pemberian obat pada asma dapat melalui berbagai macam cara, yaitu parenteral (melalui
infus), per oral (tablet diminum), atau per inhalasi. Pemberian per inhalasi adalah pemberian
obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat
secara inhalasi dapat mengurangi efek samping yang sering terjadi pada pemberian parenteral
atau per oral, karena dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis lainnya.

Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal , obat yang diberikan per inhalasi harus dapat
mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan biasanya dalam
bentuk aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas.

Jenis Terapi Inhalasi

Pemberian aerosol yang idel adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal,
secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas
atas, serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, dan orang tua. Namun keadaan ideal
tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai.

Berikut beberapa alat terapi inhalasi:

Metered Dose Inhaler (MDI)

MDI tanpa Spacer


Gambar diambil dari: www.med.umich.edu/1libr/aha/aha_mdinhale_art.htm

MDI dengan Spacer


Gambar diambil dari: www.med.umich.edu/1libr/aha/aha_mdaeroch_art.htm

Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut, sehingga
kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini mengurangi pengendapan di
orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan
panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml.
Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada anak.

Dry Powder Inhaler (DPI)

Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan hirupan yang cukup kuat.
Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak yang lebih besar, penggunaan obat
serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan MDI.
Deposisi (penyimpanan) obat pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI dan lebih konstan.
Sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun.
Gambar diambil dari: www.msrcnet.com/Resources/Pt_Ed/Turbuhaler.asp

Nebulizer
Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus-
menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan, atau gelombang ultrasonik.
Aerosol yang terbentuk dihirup penderita melalui mouth piece atau sungkup.

Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi yang bermakna
tanpa menimbulkan efek samping. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung
pada jenis nebulizer yang digunakan. Ada nebulizer yang menghasilkan partikel aerosol terus-
menerus, ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita
melakukan inhalasi, sehingga obat tdak banyak terbuang.

Gambar diambil dari: www.shades-of-night.com/weblog/archive/0305.html

Sumber:

Pedoman Nasional Asma Anak, UKK Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia
2004
Referensi mengenai Asma pada anak lainnya bisa Anda dapatkan di:

www.aaaai.org/members/resources/initiatives/pediatricasthmaguidelines/default.st
m

Anda masih memiliki pertanyaan setelah membaca guideline ini? Silakan e-mail ke
info@sehatgroup.web.id atau arifianto.apin@gmail.com

Information on this web site is provided for informational purposes only and is not a substitute for
professional medical advice. You should not use the information on this web site for diagnosing or
treating a medical or health condition. You should carefully read all product packaging. If you have or
suspect you have a medical problem, promptly contact your professional healthcare provider.

Anda mungkin juga menyukai