Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I
PENDAHULUAN

Stroke merupakan Penyakit kegawatdaruratan neurologi yang bersifat akut


dan salah satu penyebab kecacatan dan kematian tertinggi di beberapa negara di
dunia. Pada Tahun 2012 tercatat sekitar 25,7 juta kasus stroke dengan hampir
seluruh kasus (10,3 juta kasus ) merupakan stroke pertama . sebanyak 6,5 juta
pasien mengalami kematian dan 11,3 juta pasien mengalami kacacatan.1
Stroke memiliki banyak kompikasi diantaranya, salah satu diantaranya
adalah trombosis Vena dalam atau lebih dikenal dengan DVT (Deep Vein
Thrombosis). DVT adalah komplikasi serius dari berbagai kondisi medis dari
stroke akut. Banyak studi tentang DVT dan Stroke , berfokus pada pasien dengan
parese ekstrimitas bawah yang dirawat di rumah sakit. 1,2
DVT juga merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah
penyakit koroner arteri dan stroke . Insiden tahunan DVT di Eropa dan Amerika
Serikat kurang lebih 50/100.000 populasi/tahun . DVT beresiko fatal terhadap
terjadinya emboli paru,, sehingga diagnosis dan panatalaksanaan yang tepat
sangat diperlukan. Kematian dan kecacatan dapat terjadi sebagai akibat kesalahan
diagnosa, kesalahan terapi dan perdarahan karena penggunaan antikoagulan yang
tidak tepat, oleh karena itu penegakan diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat
sangat diperlukan .1,2
Trombosis vena dapat terjadi pada vena dalam maupun vena superfisial
pada keempat ekstremitas.1 Pada 90% kasus, trombosis vena dalam dapat
berkembang menjadi emboli paru, dan kondisi yang beresiko tinggi menyebabkan
kematian.1,2 Trombosis vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT) dan emboli
paru dikelompokkan menjadi satu dan sering disebut sebagai tromboemboli vena/
venous thromboembolism (VTE).1,2,3
Pembentukan, pembesaran dan perombakan tromboemboli vena
bergantung pada keseimbangan antara rangsangan trombogenik dan mekanisme
protektif (trombolitik).1 Pada tahun 1859, Rudolph Virchow menyimpulkan
bahwa faktor rangsangan trombogenik adalah stasis aliran darah, perubahan pada
2

dinding pembuluh darah, dan hiperkoagulabilitas.1,2 Mekanisme terbentuknya


trombus akibat faktor rangsangan trombogenik, terutama yang berkaitan dengan
kerusakan dinding pembuluh darah, dapat tergambar secara jelas pada trombosis
arteri, namun pada vena, mekanisme tersebut masih belum jelas.2 Contohnya pada
penelitian Sevitt, tidak ada bukti rusaknya dinding pembuluh darah vena pada 49
dari 50 kasus.2 Hal ini menjadi menarik untuk diangkat, dan dibahas pada referat
ini untuk menjelaskan mekanisme terjadinya trombosis vena terutama pada vena-
vena yang masih intak1,3,4

Manifestasi klinik dari trombosis vena antara lain nyeri pada tungkai,
bengkak, Perubahan warna, distensi vena, penonjolan vena superfisial, dan
sianosis. Namun diagnosis DVT secara klinik tidak spesifik karena masing-
masing gejala diatas dapat disebabkan oleh kelainan-kelainan nontrombotik.1,5
Bahkan pada beberapa kasus, DVT dapat terjadi tanpa gejala, hingga akhirnya
berkembang menjadi emboli paru dan menimbulkan kematian secara tiba-tiba.1.
Gejala klinik DVT yang tidak khas dan komplikasinya yang mengarah ada
kematian, bahkan dapat terjadi secara tiba-tiba membuat DVT menjadi kasus yang
menarik dan penting untuk dibahas, terutama untuk dapat mendiagnosa DVT
secara tepat.6.7
DVT dapat secara efektif diterapi dengan antikoagulan dan juga heparin
dengan berat molekul rendah, namun pemberian terapi tersebut meningkatkan
risiko terjadinya perdarahan masif.1,5 Penegakan diagnosa DVT secara objektif
harus dilakukan untuk menghindari risiko terjadinya hal tersebut. Tes objektif
yang dapat dipakai untuk mendeteksi DVT adalah penilaian D-Dimer, dan
imaging (seperti: ultrasonografi vena, venografi, CT scan, atau MRI).1,5 Bila
ditemukan faktor risiko terjadinya DVT pada suatu kasus yang asimptomatik,
terapi profilaksis dapat diberikan. Penggunaan profilaksis terhadap DVT jauh
lebih efektif untuk menekan angka kematian akibat DVT yang berkembang
menjadi emboli paru dibandingkan penatalaksanaan yang dilakukan setelah
diagnosa ditegakkan.1 Karena itulah penatalaksanaan DVT dan profilaksis DVT
juga menjadi hal yang menarik untuk dibahas pada referat ini.8
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Trombosis vena adalah bekuan darah yang terbentuk di dalam vena, yang
sebagian besar tersusun atas fibrin dan sel darah merah dengan sebagian kecil
komponen leukosit dan trombosit.1,6,7,8 Trombosis vena paling banyak terjadi pada
vena dalam dari tungkai (deep vein thrombosis/DVT ), dan dapat menjadi emboli
paru.6
DVT pada tungkai umumnya terjadi pada pasien dengan stroke akut,
terutama pada pasien dengan hemiplegie yang immobile. Rata rata frekuensi
kejadian DVT tergantung pada jenis pencegahan DVT, waktu dan metode deteksi
DVT. 1,9
Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada
lumen vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding
pembuluh darah dan jaringan vena (Wakefield, 2008). DVT disebabkan oleh
disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah
vena (stasis) yang dikenal dengan trias virchow (JCS Guidelines, 2011; Bailey,
2009; Hirsh, 2002).8

2.2 Epidemiologi
Angka kejadian VTE mendekati 1 per 1000 populasi setiap tahunnya.3,4,6
Pada satu pertiga kasus, bermanifestasi sebagai emboli paru, sedangkan dua
pertiga lainnya hanya sebatas DVT.1,3,4,6 Pada beberapa penelitian juga didapatkan
bahwa kejadian VTE meningkat sesuai umur, dengan angka kejadian 1 per 10.000
20.000 populasi pada umur dibawah 15 tahun, dan meningkat sesuai dengan
bertambahnya umur, hingga 1 per 1000 kasus pada usia diatas 80 tahun.3,4,6
4

Insidensi VTE pada ras Asia dan Hispanic dilaporkan lebih rendah dibandingkan
dengan ras Kaukasians, Afrika-Amerika, Latin, dan Asia Pasifik.4 Angka
insidensi yang lebih rendah ini masih belum dapat dijelaskan, namun diduga
berkaitan dengan rendahnya prevalensi faktor predisposisi genetik, seperti faktor
V Leiden.4 Tidak ada perbedaan insidensi antara pria dan wanita, walaupun
penggunaan kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon post menopause merupakan
faktor resiko terjadinya VTE.4

DVT pada tungkai biasanya terjadi pada Pasien dengan penurunan


kesadaran menurun (koma) dan Hemiplegie, seringnya tidak berdiri sendiri, tetapi
bersamaan dengan manifestasi klinis yang lain. 1,4,5,6

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Berdasarkan Triad of Virchow, terdapat 3 faktor yang menccetus
terjadinya suatu tromboemboli yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan
aliran darah dan perubahan daya beku darah.1,2,6. Selain faktor stimuli, terdapat
juga faktor protektif yang berperan yaitu inhibitor faktor koagulasi yang telah
aktif (contoh: antithrombin yang berikatan dengan heparin sulfat pada pembuluh
darah dan protein C yang teraktivasi), eliminasi faktor koagulasi aktif dan
kompleks polimer fibrin oleh fagosit mononuklear dan hepar, serta enzim
fibrinolisis. Terjadinya DVT menunjukan ketidakseimbangan antara faktor stimuli
dengan faktor protektif.1,2,3
Faktor risiko terjadinya VTE dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu faktor
risiko didapat (acquired) dan faktor risiko yang diturunkan (inherited), seperti
pada tabel 1.

Didapat (aquired) Diturunkan (inherited) Campuran Keduanya

Bertambahnya usia Defisiensi antitrombin Tingginya kadar PCI


(PAI-3)

Tindakan pembedahan Defisiensi Protein C Tingginya kadar salah


5

(ortopedi, bedah saraf, satu faktor pembekuan


laparotomi,dll) darah dibawah ini: VIII,
IX, XI

Trauma Defisiensi Protein S Tingginya kadar


fibrinogen

Kateter vena sentral Faktor V Leiden (FVL) Tingginya kadar TAFI


(Thrombin Activated
Fibrinolysis Inhibitor)

Keganasan Prothrombin G20210A Menurunnya kadar TFPI


(Tissue Factor Pathway
Inhibitor)

Sindrom antifosfolipid Kelompok Golongan Resistensi protein C


darah non-O teraktivasi pada absennya
FVL

Puerperium Disfibrinogenemia Hiperhomosisteinemia

Imobilisasi lama (tirah Faktor XIII 34val


baring, paralisis
ekstremitas)

Kehamilan

Obesitas

Kontrasepsi oral

Terapi sulih hormon

Penyakit
myeloproliferatif

Polisitemia vera

Infark miokard

Varises
6

Tabel 1. Faktor Risiko Terjadinya VTE1,6

Pengaruh beberapa faktor risiko didapat terhadap terjadinya trombosis vena


dijelaskan sebagai berikut:
1. Tindakan operatif
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena
adalah operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul
dan tungkai bawah.7,9 Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita
mengalami trombosis vena, sedangkan pada operasi di daerah abdomen
terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.10,11
Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena
pada tindakan operatif, adalah sebagai berikut7 :
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah
karena trauma pada waktu di operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode
preoperatif, operatif dan post operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama
sesudah operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara
langsung di daerah tersebut.
2. Kehamilan dan persalinan12
Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas
fibrinolitik, statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor
pembekuan VII, VIII dan IX.
Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang
menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah,
sehingga terjadi peningkatkan koagulasi darah.

3. Infark miokard10
7

Pada infark miokard yang menyebabkan DVT terdiri dari dua


komponen yaitu kerusakan jaringan yang melepaskan plasminogen
yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan adanya statis aliran
darah karena istirahat total.

4. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.


Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang
mempermudah timbulnya trombosis vena.
5. Obat-obatan konstrasepsi oral
Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan
dilatasi vena, menurunnya aktifitas antitrombin III dan proses
fibrinolitik dan meningkatnya faktor pembekuan darah. Keadaan ini
akan mempermudah terjadinya trombosis vena.
6. Obesitas dan varises
Obesitas dan varises dapat menimbulkan statis aliran darah dan
penurunan aktifitas fibrinolitik yang mempermudah terjadinya
trombosis vena.
7. Proses keganasan8
Sel tumor dapat menyebabkan peningkatan regulasi banyak faktor
koagulasi, penurunan regulasi sistem protein fibrinolitik dan
mengekspresikan beberapa sitokin atau protein regulator yang berkaitan
dengan pembentukan trombus, sehingga rentan terhadap keadaan
protrombotik (gambar 1).
8

Gambar 1. Efek protombotik sel tumor.8

Keadaan ini menyebabkan gangguan keseimbangan sistem


koagulasi/antikoagulasi, kerusakan endotel pembuluh darah dan
mengaktivasi trombosit. Profil dari tumor juga berpengaruh, karena
beberapa jenis sel tumor mensekresikan faktor koagulasi seperti TFs
(faktor III) dan trombin (faktor IIa). Juga dijumpai peningkatan faktor
koagulasi dan protein regulator pada peritoneum pasien dengan kanker
ovarium (faktor XII, faktor XI, faktor XIII, faktor II-reseptor faktor II,
faktor VII, faktor X dan faktor I, fibrin, heparin cofactor II dan reseptor
endothelial protein-C.

2.4 . Patofisiologi DVT


Pada tahun 1859, Virchow mengemukakan bahwa faktor
utama terbentuknya trombosis vena adalah (1)hiperkoagulabilitas,
(2)perubahan / kerusakan pada dinding pembuluh darah, (3)stasis aliran
darah, dan sampai saat ini ketiga faktor tersebut masih berperan penting
pada trombosis vena dan dikenal sebagai Triad Virchow. 1,2
9

Gambar 2. Trias Virchow8


1. Perubahan Daya Beku Darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem
pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya
trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah meningkat atau aktifitas
fibrinolisis menurun. Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus
dengan aktifitas pembekuan darah meningkat, seperti pada hiper
koagulasi, defisiensi antitrombin III, defisiensi protein C, defisiensi
protein S dan kelainan plasminogen.13, 14

2. Kerusakan Dinding Pembuluh Darah


Permukaan vena maupun arteri yang menghadap ke lumen dilapisi
oleh sel endotel. Bila tidak ada kerusakan atau inflamasi pada dinding
pembuluh darah, trombosit tidak akan melekat pada dinding pembuluh
darah, hal ini terutama dikarenakan tidak adanya reseptor pada endotel
yang untuk berikatan dengan trombosit, selain itu juga karena endotel
menghasilkan beberapa substansi yang menjaga trombosit pada kondisi tak
teraktivasi, seperti prostasiklin dan nitrit oksida.13,14
10

Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel


akan terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di
aktifkan dan trombosit akan melekat pada jaringan sub endotel terutama
serat kolagen, membran basalis dan mikrofibril. Trombosit yang melekat
ini akan melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan
merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan
sitsaling melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan
sistem pembekuan darah.13
Meskipun demikian, pada kasus-kasus terdiagnosa DVT, jarang
ditemukan adanya kerusakan langsung pada dinding pembuluh darah.
Terbentuknya trombosis pada vena yang masih intak diduga akibat
pengaruh adanya inisiasi koagulasi oleh tissue factor (TF), sebuah protein
transmembran tipe I, dan faktor koagulasi VIIa yang mengubah Faktor X
menjadi Xa dan memulai sistem koagulasi seperti pada gambar 2.
Sejumlah TF beredar dalam darah bersamaan dengan suatu membran
mikrovesikel. Pada sebuah studi eksperimental didapatkan bahwa TF yang
berikatan dengan mikrovesikel berperan dalam proses trombosis dengan
mengikat trombosit pada lesi di dinding pembuluh darah. Selain berikatan
dengan trombosit, mikrovesikel tersebut juga bergabung dengan trombosit
aktif. Dengan menyatukan trombosit-trombosit, mikrovesikel tersebut
mentransfer TF ke plasma membran dan kemudian memicu proses
pembentukan trombin dan deposisi fibrin pada tempat trombosis. Selain
itu, peningkatan jumlah TF-mikrovesikel juga berhubungan dengan
hiperkoagulasi, dengan didukung sebuah studi yang menyatakan bahwa
DVT tanpa kerusakan dinding pembuluh darah terjadi secara bilateral.
Kompleks TF-mikrovesikel juga dapat berikatan pada sel endotel, karena
sel endotel juga mempunyai P-selectin seperti pada trombosit/keping
darah. Seperti pada platelet, sel endotel juga menghasilkan
phospatydilserin yang membantu fusi dan ikatan TF dan menginisiasi
proses koagulasi.2,14.15
11

Skema-skema diatas menerangkan bahwa sel endotelial menjadi


aktif untuk menyokong pembentukan trombus vena. Terdapat beberapa
stimuli yang dapat mengaktifkan sel endotel, diantaranya, infeksi, kateter
intravaskular, inflamasi dan mediator lokal seperti TNF, serta stasis aliran
darah.2

3. Stasis Vena2
Aliran darah pada vena cenderung lambat, bahkan dapat terjadi
stasis terutama pada daerah-daerah yang mengalami imobilisasi dalam
waktu yang cukup lama. Hal ini dapat menimbulkan gangguan mekanisme
pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga
memudahkan terbentuknya trombin. 2,3

Gambar 2.Skema terbentuknya trombosis vena

Gambar 3. Patofisiologi DVT3,4,5

Selain itu, stasis vena juga dapat menyebabkan desaturasi


hemoglobin dan mengarah pada suatu keadaan hipoksia pada endotelium.
12

Suplai nutrisi endotelium berasal dari perfusi langsung sel-sel darah di


dalam lumen. Keadaan hipoksia pada endotelium dapat menyebabkan
berbagai respon seluler, mulai dari tidak ada respon, aktivasi sel, hingga
kematian sel. Keadaan iskemia dapat memicu aktivasi sel endotelial untuk
mengekpresikan P-selectin, yang kemudian memungkinkan kompleks TF-
mikrovesikel untuk menginisiasi koagulasi dan trombosis.3,4,12

2.5 Manifestasi Klinis


Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain
vena superfisialis pada tungkai, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal
seperti v. poplitea, v. femoralis dan v. iliaca. Sedangkan vena-vena di bagian
tubuh yang lain relatif jarang terjadi DVT .1,7,3,4
Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang
timbul tidak selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya
trombosis.1,7
Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena
trombosis yang terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi
yang hebat. Sebagian besar trombosis di daerah betis bersifat asimtomatis, akan tetapi
dapat menjadi serius apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke proksimal.
Trombosis vena dalam pada ekstremitas inferior dapat menimbulkan Homans sign
yaitu nyeri pada betis atau fosa poplitea saat dorsofleksi sendi pergelangan kaki, tanda
ini sensitif namun tidak spesifik.1,6
Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila
menimbulkan :4
- bendungan aliran vena.
- peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.
- emboli pada sirkulasi pulmoner.

Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa1,6,7,14,15


13

Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis
vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar
ke bagian medial dan anterior paha.
Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku
dan intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang
kalau penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.
1. Pembengkakan
Timbulnya edema disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan
peradangan jaringan perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh
sumbatan maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri,
sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler maka bengkak
timbul pada daerah trombosis dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan
bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau istirahat di
tempat tidur dengan posisi kaki agak ditinggikan.
2. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena
perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna
kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu.
3. Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena
sebagai konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena
besar. Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding
vena dalam di daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan
perforasi vena dalam.
Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam
membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga
terjadi edema, kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa
terjadi ulkus pada daerah vena yang di kenai.2,3
Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri
pada daerah betis yang timbul / bertambah waktu penderitanya berkuat
14

(venous claudicatio), nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki


ditinggikan, timbul pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki
sepertiga bawah.1,2

2.6 Diagnosis Banding


Diagnosis banding pada pasien yang dicurigai menderita DVT secara
klinis antara lain : penegangan atau robeknya otot, kaki terkilir, limfangitis atau
obstrunsi limfatik, refluks vena, kista popliteal, selulitis, pembengkakan kaki
pada paralisis ekstremitas, abnormalitas sendi lutut. Diagnosa DVT tidak dapat
diekslusikan tanpa pemeriksaan objektif.1,2,5

2.7 Penegakan Diagnosis


Penegegakn diagnosa pada pasien dengan DVT di didasarkan pada
Anamnesa berupa riwayat Penyakit dan Pemeriksaan Fisik, berikut Faktor resiko,
gejala dan temuan klinis. Kemudian untuk menyingkirkan diagnosa banding maka
diperlukan pemeriksaan berupa D-dimer , Venous Ultrasonography, contrast CT,
MRV,dan Venoghraphy. 2,,6,15
DVT didapatkan pada kaki pasien yang menjadi bengkak, panas dan nyeri
serta demam. Sayangnya dalam diagnosa klinis dapat menjadi sulit karena perese
pada kaki yang bengkak, kebanyakan diakibatkan oleh efek grafitasi dan
kurangnya gerak. Jika pasien parese yang berbaring di tempat menjadi bengkak,
maka sudah dapat dipastikan penyebab DVT adalah karena kurangnya mobilisasi.
Sedangkan jika pasien dapat duduk sendiri dan mobilisasi yang baik, maka
diagnosa DVT dapat disingkirkan. 1
Pasien Stroke yang mempunyai kesulitan berkomunikasi , kehilangan
sensasi sensorik atau neglect mungkin tidak bisa mengeluhkan rasa tidak nyaman
dan bengkak yang berhubungan dengan DVT, sehingga diperlukan deteksi klinis
yang jeli dari seluruh tim multidisiplin ilmu yang merawat pasien tersebut. 2,5,7
15

Gambar 4. Algoritma Diagnosa Deep Vein Thrombosis3

Beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan dalam penegakan DVT yaitu


1,2,3,4,5

1. D-dimer: Class IIa


2. Venous ultrasonography: Class I
3. MRV: Class IIa
4. Contrast CT: Class I
5. Venography: Class I
Teknik yang paling sensitif seperti MRI Direct Thrombus, dapat
mendeteksi 40 %pasien yang dirawat dirumah sakit DVT yang mendapat terapi
aspirin dan mendapatkan preventiv compression stockings dan mendeteksi sekitar
separuhnya pada daerah lutut. Teknik yang kurang sensitif , tapi cukup luas
penggunaannya yaitu USG Doppler kompresi dan Plethysmoghraphy mendeteksi
DVT sekitar 20%, pada pasien yang dirawat yang mengalami immobilitas,
16

sedangkan diatas lutut mendeteksi setengahnya. Gambaran klinis DVT yang


terdiagnosa secara langsung, dapat mendeteksi DVT 5 %. 1,2,9,10

2.7.1. Anamnesa dan pemeriksaan Fisik.


Anamnesis dan pemeriksan fisik merupakan hal yang sangat penting
dalam pendekatan pasien dengan kecurigan mengalami DVT. Keluhan utama
DVT biasanya adalah kaki bengkak dan nyeri. Pada pemeriksan fisik tanda-tanda
klasik seperti edema kaki unilateral, eritema, hangat, nyeri, pembuluh darah
superfisial teraba, dan Homans sign positf tidak selalu ditemukan.1,6
Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal yang penting karena dapat
diketahui faktor risiko dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya riwayat
trombosis pada keluarga juga merupakan hal penting.3,6.
Diagnosis DVT tidak cukup hanya berdasarkan gejala klinis karena tidak
spesifik ataupun sensitif. Kombinasi Wells rule dengan hasil tes non-invasif
diharapkan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis, sehingga dapat mengurangi
investigasi lebih lanjut. Skor 0 atau kurang, menandakan kemungkinan DVT
rendah, skor 1 atau 2 menandakan kemungkinan DVT sedang, dan skor 3 atau
lebih menandakan kemungkinan besar suatu DVT .1,8
17

Tabel 2 .Wells rule sebagai tes awal untuk diagnosis DVT12,13,14

2.7.2. Laboratorium
Pemeriksan laboratorium didapatkan peningkatan kadar D-dimer dan
penurunan Antihrombin (AT). D-dimer adalah produk degradasi fibrin.
Konsentrasi D-dimer dibawah level tertentu atau bahkan negatif mengindikasikan
tidak adanya trombosis.6 Pemeriksaan D-dimer dapat dilakukan dengan ELISA
ataupun dengan latex agglutination assay. Hasil negatif dari pemeriksaan ini
sangat berguna untuk eksklusi DVT, sedangkan nilai positif, walaupun dapat
menandakan adanya trombosis, namun tidak spesifik untuk DVT.6
2.7.3. Radiologi
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk
mendiagnosis DVT. Ada 3 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat
menegakkan diagnosis trombosis vena dalam, yaitu:7,9,14

1. Venografi
Disebut juga sebagai plebografi, ascending contrast phlebography
atau contrast venography. Prinsip pemeriksaannya adalah
menyuntikkan zat kontras ke dalam sistem vena, akan terlihat
gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal
vena iliaca. Venografi dapat mengidentifikasi lokasi, penyebaran, dan
tingkat keparahan bekuan darah sertamenilai kondisi vena dalam.
Venografi digunakan pada kecurigaan kasus DVT yang gagal
diidentifikasi menggunakan pemeriksaan non-invasif.
Venografi adalah pemeriksaan palingakurat untuk mendiagnosis DVT.
Sensitivitas dan spesifisitasnya mendekati 100%, sehingga menjadi
gold standard diagnosis DVT. Namun, jarang digunakan karena
18

invasif, menyakitkan, mahal, paparan radiasi, dan memiliki resiko


komplikasi yang banyak.
Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar
untuk trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit,
mahal dan bisa menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis baru
sehingga tidak menyenangkan penderitanya.
Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di
daerah dorsum pedis dan akan terlihat gambaran sistem vena di betis,
paha, inguinal sampai ke proksimal ke v. iliaca.
2. Flestimografi impendans
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume
darah pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena
femoralis dan iliaca dibandingkan vena di betis.

3. Ultra sonografi (USG) Doppler


Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat,
sehingga adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG,
terutama USG Doppler. Pemeriksaan ini memberikan hasil sensitivitas
60,6% dan spesifisitas 93,9%Metode ini dilakukan terutama pada
kasus-kasus trombosis vena yang berulang, yang sukar di deteksi
dengan cara objektif lain.
19

Gambar 5 . Ultrasoghraphy Dopler Pada DVT (A) Gambar longitudinal paha bagian
tengah menunjukkan oklusi trombus sebagian dengan aliran yang menyempit (panah)
vena femoralis tengah. (B) Trombus mural pada vena poplitea. Trombus dominan di
dinding posterior vena poplitea. Color doppler tidak membedakan trombus akut, oklusi
parsial, dan rekanalisasi.

Untuk melihat derajad akut atau kroniknya suatu DVT dengan


pemeriksaan Ultrasonography Vena dapat dinilai dengan tabel
berikut.

Tabel 3 Penilaian pasien DVT dengan menggunakan Ultrasonography Vena

4. Magnetic Resonance Venography


Prinsip pemeriksaan ini adalah membandingkan resonansi magnetik antara
daerah dan aliran darah vena lancar dengan yang tersumbat bekuan darah.
Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi, namun
belum luas digunakan. Saat ini sedang dikembangkan pemeriksaan
resonansi magnetik untuk deteksi langsung bekuan darah dalam vena.
Pemeriksaan ini tidak menggunakan kontras, hanya memanfaatkan
kandungan methemoglobin bekuan darah.
20

BAB III
PENATALAKSANAAN

Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya


sudah pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-
obatan yang diberikan mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius.10,
17,18
Penatalaksanaan DVT baik non-farmakologis dan farmakologis diarahkan
untuk dapat mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut1,7,15:
1. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru.
2. Mengurangi morbiditas pada serangan akut.
21

3. Mengurangi keluhan post flebitis


4. Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses tromboemboli.
Terdapat
3.1 Non Farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis terutama ditujukan untuk mengurangi
morbiditas pada serangan akut. Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis
vena pasien diajurkan untuk: istirahat di tempat tidur (bedrest), meninggikan
posisi kaki, dan dilakukan pemasangan stoking dengan tekanan kira-kira
40mmHg.7,15,19
Meskipun stasis vena dapat disebabkan oleh imobilisasi lama seperti pada
pasien-pasien dengan bedrest, namun tujuan bedrest pada pasien-pasien dengan
DVT adalah untuk mencegah terjadinya emboli pulmonal. Prinsipnya sederhana,
pergerakan berlebihan dari tungkai yang mengalami DVT dapat membuat klot
terlepas dan berjalan ke paru. Dahulu, pasien dengan DVT aktif diharuskan
bedrest selama 7-10 hari. Namun, pada penelitian Patrtsch dan Blattler dengan
design kohort melaporkan bahwa ambulasi dini dapat mengurangi nyeri dan
pembengkakan segera. Ambulasi dini dilakukan pada pasien DVT yang belum
terdiagnosa PE dan tidak memiliki kelainan kardiopulmoner. Ambulasi dini juga
disarankan pada pasien dengan kondisi hiperkoagulasi dan dilakukan sekitar
24jam setelah menerima terapi antikoagulan.19
Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 48 jam
serangan trombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens
di anjurkan tindakan embolektomi. Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan
pengangkatan thrombus atau emboli, biasanya tidak di anjurkan.7,15
Ada beberapa metode yang dilakukan pada pasien stroke ;9,11
a. Pemakaian Stoking dilakukan pada pasien kelemahan tungkai
(GRADE B,NationalStroke Foundation 2010,SIGN 2010,ESO
2009).
b. Mobilisasi dan hidrasi optimal harus dipertahankan sesering
mungkin (GRADE D, National Stroke Foundation 2010,SING
2010,ESO 2009).
22

c. Pemberian LMWH atau Heparin diberikan sebagai profilaksis pada


pasien stroke iskemik akut yang beresiko tinggi mengalamai
trombossis vena dalam (Level of evidence I, GRADE A, National
Stroke Foundation 2010, SIGN 2010,ESO 2009).
d. Pemakaian stoking ketat diatas lutut tidak banyak bermanfaat dan
resikonya pada pasien stroke iskemik akut. Tidak dianjurkan
pemakaian stoking ketat secara rutin untuk pencegahan thrombosis
vena dalam pada pasien stroke (Level of evidence I, GRADE A,
National Stroke Foundation 2010, SIGN 2010, ESO 2009). Pada
keadaan tertentu pemakaian stoking bisa bermanfaat (National
Stroke Foundation, SIGN, ESO, GRADE C, Level of evidence IV).
e. Mobilisasi segera dapat membantu mencegah terjadinya thrombosis
vena dalam (National Stroke Foundation, SIGN, ESO, GRADE B,
Level of evidence I).

3.2 Farmakologis
Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah
dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian
obat-obatan ini di usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal
mungkin. Pemberian anti koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya
emboli paru, obat yang biasa di pakai adalah heparin.1, 15,16
Prinsip pemberian anti koagulan adalah save dan efektif. Save artinya anti
koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan
trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian
heparin perlu di pantau waktu tromboplastin parsial atau di daerah yang
fasilitasnya terbatas, sekurang-kurangnya waktu pembekuan.1,2.17

3.2.1 Pemberian Heparin


Heparin 5000iu bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan
drips konsitnus 1000 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drip selanjutnya
23

tergantung hasil APTT. 6 jam kemudian di periksa APTT untuk


menentukan dosis dengan target 1,5 2,5 kontrol.
1. Bila APTT 1,5 2,5 x kontrol dosis tetap.
2. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 150 iu/jam.
3. Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.

Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1


tiap 6 jam, hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena
biasanya pada 6 jam pertama hanya 38% yang mencapai nilai
target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
Heparin dapat diberikan 710 hari yang kemudian dilanjutkan
dengan pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2
kali sehari atau pemberian anti koagulan oral, s
elama minimal 3 bulan.
Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum
rencana penghentian heparin karena anti koagulan orang efektif
sesudah 48 jam.

Tabel 4. Dosis Pemberian Heparin 1


24

3.2.2 Pemberian Low Molecular Weight Heparin (LMWH)1


Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan
pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan heparin.
Saat ini preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan
(Nandroparin Fraxiparin).

Nama Obat Dosis


Enoxaparin 1mg/kgBB, terbagi 2 dosis per hari
Dalteparin 200UI/kgBB, satu kali sehari
Tinzaparin 175UI/kgBB, satu kali sehari
Nadroparin 6150UI terbagi 2 dosis, untuk BB 50-70kg
4100 UI terbagi 2 dosis, bila BB <50kg
9200 UI terbagi 2 dosis, bila BB >70kg
Reviparin 4200 UI terbagi 2 dosis, untuk BB 46-60kg
3500 UI terbagi 2 dosis bila BB 35-45kg
6300 UI terbagi 2 dosis, bila BB > 60kg
Fondaparinux 7,5mg satu kali sehari untuk BB 50-100kg
5mg satu kali sehari untuk BB <50kg
10mg satu kali sehari untuk BB>100kg
Tabel 5. Regimen LMWH dalam penatalaksanaan DVT1,2,3
LMWH diberikan secara subkutan satu atau dua kali sehari, dan lebih dipilih
dibanding pemberian heparin kontinu secara intravena, terutama pada pasien-
pasien dengan trombosis vena tanpa komplikasi yang dapat rawat jalan.
Walaupun demikian, unfractionated heparin intravena tetap menjadi
antikoagulan inisial pada pasien dengan gagal ginjal. Beberapa regimen LMWH
yang telah terbukti efektif dalam menatalaksana trombosis vena dapat dilihat pada
tabel 2.

3.2.3 Pemberian Antikoagulan Oral1,7 , 16


Pemberian terapi antikoagulan jangka panjang diperlukan untuk mencegah
rekurensi. Obat yang biasa di pakai adalah antagonis vitamin K, seperti sodium
warfarin. Pemberian Warfarin di mulai dengan dosis 6 8 mg (single dose)
pada malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di kurangi tergantung dari hasil
INR (International Normolized Ratio). Target INR : adalah 2,0 3,0
25

Cara penyesuaian dosis


INR
Penyesuaian
1,1 1,4 hari 1, naikkan 10%-20% dari total dosis mingguan.
Kembali : 1 minggu
1,5 1,9 hari 1, naikkan 5% 10% dari total dosis mingguan.
Kembali : 2 minggu
2,0 3,0 tidak ada perubahan.
Kembali : 1 minggu
3,1 3,9 hari : kurang 5% 10% dari dosis total mingguan.
Mingguan : kurang 5 150 dari dosis total mingguan
Kembali : 2 minggu
4,0 5,0 hari 1: tidak dapat obat
mingguan : kurang 10%-20% TDM
kembali : 1 minggu
> 50 :
- Stop pemberian warfarin.
- Pantau sampai INR : 3,0
- Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%.
- kembali tiap hari.

Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan


apabila trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang
reversible. Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan
pemberian anti koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi
apabila ditemukan abnormal inherited mileculer.
Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah7,10 :
1. Hipertensi : sistolik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.
2. Perdarahan intracerebri akut.
3. Alkoholisme.
4. Lesi perdarahan saluran cerna.
26

Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan


heparin, akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya
pemberian heparin tunggal.
Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini,
terutama sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue
plasminogen activator (TPA). TPA bekerja secara selektif pada tempat yang
ada plasminon dan fibrin, sehingga efek samping perdarahan relatif kurang.
Brenner menganjurkn pemberian TPA dengan dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara
intra vena selama 4 jam dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit intra vena
kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil yang
cukup memuaskan.11, 16
Efek samping utama pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik
adalah perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan sereral.
Untuk mencegah terjadinya efek samping perdarahan, maka diperlukan
monitor yang ketat terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu
protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol.

3.3. Trombektomi

Terapi open surgical thrombectomy direkomendasikan untuk DVT yang


memiliki kriteria di antaranya adalah DVT iliofemoral akut, tetapi terdapat
kontraindikasi trombolitik atau trombolitik ataupun mechanical thrombectomy
gagal, lesi tidak dapat diakses oleh kateter, trombus sukar dipecah dan
kontraindikasi antikoagulan.3 Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan
selama 5 hari, pemberian warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan
dilanjutkan selama 6 bulan sesudahnya. Untuk hasil maksimal pembedahan
sebaiknya dilakukan dalam 7 hari setelah onset DVT. Pasien
phlegmasiacerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi
kompartemen dan perbaikansirkulasi.1
27

BAB IV
KESIMPULAN

1. Trombosis vena cukup sering ditemukan pada penderita yang di rawat


inap di rumah sakit, terutama terjadi pada immobilisasi yang lama dan
post operatif .
2. Penyakit DVT tidak menimbulkan kematian, akan tetapi mempunyai
resiko besar untuk timbulnya emboli paru yang dapat menimbulkan
kematian.
3. Faktor resiko trombosis vena adalah operasi, kehamilan, immobilisasi,
kontrasepsi oral, penyakit jantung, proses keganan dan obesitas.
4. Manifestasi klinik DVT tidak spesifik, sehingga memerlukan
pemeriksaan obyektif lanjutan dalam menegakan diagnosa DVT.
28

5. Tujuan Pengobatan DVT adalah mencegah timbulnya emboli paru,


mengurangi morbiditas dan keluhan post flebitis dan mencegah
timbulnya hipertensi pulmnal.
6. Pengobatan yang di anjurkan adalah pemberian heparin dan dilanjutkan
dengan anti koagulan oral.

DAFTAR PUSTAKA

1. Warlow C, Van Gijn JL Dennis et al. Stroke : Practical Management.


Oxford : Blackwell 2008: 557-560
2. National Stroke Foundation. Clinical Guidelines for Acute Stroke
Management 2010 : Managing Deep Venous Thrombosis. NHRMC ; 108-
109
3. [JCS] Japaneses Circulation Society. 2011. Guidelines for the diagnosis,
treatment and prevention of pulmonary thromboembolism and deep vein
thrombosis. Circulation Journal; 75: 1258-1281
4. Beutler E, Coller B t al.2001.Williams Hematology. New York : McGraw-
Hill
29

5. Ropper Allan , Brown Robert. 2005. Adams and Victor : Principles of


neurology. New York : McGraw-Hill
6. Adams H. 2011. Preventing Deep Vein Thrombosis After Stroke :
Strategies and Recommendations in Cerebrovascular Dissorder. Current
Treatment in Neurology Journal : 629-635
7. Aru W, Sudoyo dkk. 2006. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II ; Trombosis
Vena Dalam. 188; 792-794. IPD FKUI. Jakarta.
8. Price Syilvia , Anderson. 2005. Penyakit Pembuluh Darah dalam
Patofisiologi Konsep kilnis Proses Penyakit.: EGC. Jakarta.
9. Gray, H et al . 2004. Lectures Notes Kardiologi ; Trombosis Vena Dalam.
Erlangga. Jakarta.
10. White, R. 2003. The Epidemiology of Venous Thromboembolism.
Circulation. 107:I-4 I-8. (dari
http://circ.ahajournals.org/content/107/23_suppl_I/I-4 diakses pada tanggal 7
November 2014, pkl 20.00)
11. PERDOSSI. Guideline Stroke 2011. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI), 2011.
12. Bates, SM, R Jaeschke, SM Stevens, S Goodoacre, PS Wells, MD Stevenson,
C Kearon, HJ Schunemann, M Crowther, SG Pauker, R Makdissi, dan GH
Guyatt. Diagnosis of DVT: Antithrombotic Therapy and Prevention of
Thrombosis, 9th ed: American College of Chest Physicians. Evidence-Based
Clinical Practice Guidelines. CHEST 2012; 141(2)(Suppl):e351Se418S
13. Fauci, AS, DL Kasper, DL Longo, E Braunwald, SL Hauser, JL Jameson, J
Loscalzo. Venous Thrombosis. Dalam: Harrisons Principles of Internal
Medicine 17th Edition. 2008. Chapter 111. USA: McGraw-Hill Companies,
Inc.
14. Hirsh, J dan J Hoak. 1996. Management of Deep Vein Thrombosis and
Pulmonary Embolism. Circulation.; 93: 2212-2245 (dari:
http://circ.ahajournals.org/ content/93/12/2212.full diakses pada tanggal 12
september 2017, pkl 22.00)
30

15. Hirsh, J, RD Hull, dan GE Raskob. 1986. Epidemiology and Pathogenesis of


Venous Thrombosis. J Am Coll CardioI;8:104B-113B. (dari:
http://content.onlinejacc.org/data/Journals/JAC/22739/00122.pdf diakses
tanggal 5 sepetember 2017, pkl 22.05)
16. Kerr T.M et al. 1990. Upper Extremity Venous Thrombosis Diagnosed by
Duplex Scanning, The Am J of Surgery 160:120-206.
17. Breddin HK et al. 2001. Effects of a LMH on Thrombus Regression and
Recurrent Thrombo-embolism in Patient DVT. N. Engl J of Med 344:626-
631.
18. Decousu Herv et al. 2010. Fondaparinux for the Treatment of
Superficial-Vein Thrombosis in the Legs. N Engl J Med. 363:1222-32. (
dari http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa0912072, diakses tanggal
12 september 2017, pukul 10.00 )
19. Ginsberg J.S. et al. 2001. Use of Antithrombotic Agent During Pregnancy.
CHEST ;119:122S131S.
20. Prandoni et al. 1992. DVT and the incidence of Subsequent Symptomatic
cancer. N. Eng J Med. 327:1128-1133,
21. Skinner Nancy et al. 2007. Deep Vein Thrombosis in Case Management
Adherence Guidelines. www.cmsa.org/portals/0/pdf/CMAG_DVT.pdf.
diakses tanggal 13 september 2017)
22. Kucher Nils. 2011. Deep-Vein Thrombosis of the Upper Extremities. N
Engl J Med; 364:861-9. (dari
:http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp1008740 , diakses tanggal 13
september 2017)
23. Alkhouli Mohamad et al. 2015. Inferior Vena Cava Thrombosis. Volume 9,
Issue 7, April 2016 DOI: 10.1016/j.jcin..12.268
24. Kearon C et al. 2008. Antithrombotic therapy for venous thromboembolic
disease: American College of Chest Physicians Evidence-Based Clinical
Practice Guidelines (8th Edition). Chest; 133:Suppl:454S-
31

Anda mungkin juga menyukai