Kata Dhaif dari bahasa Arab (Dhaifun) yang berarti lemah. Adapun
menurut istilah yaitu beberapa ulama berpendapat, seperti:
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, bahwa hadist dhaif adalah hadist yang tidak
memenuhi syarat-syarat bisa diterima.1
Fatchur Rahman berpendapat bahwa hadist dhaif adalah :
Maa faqod syirotho au aktsaru min syuruthul shohiihi aulhusna.2
Sebab-sebab kedhaifan ketika diteliti kembali pada dua hal poko yaitu :
1
Ajjaj Al-Khatib, 1998 hlm : 104
2
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushtholahul Hadist. (cet.VIII; Bandung : PT.Almaarif, 1995), hlm.140
3
A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalaha al-Hadist, 1987, hlm : 91
[Type text]
perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat
hadist sahih atau hasan yang tidak dipenuhinya. Misalnya hadist dhaif yang
karena tidak bersambung sanadnya dan tidak adil periwayatannya, adalah lebih
dhaif daripada hadist dhaif yang hanya keguguran satu syarat untuk diterima
sebagai hadist hasan, atau dengan kata lain hadist dhaif yang keguguran tiga
syarat lebih dhaif daripada hadist dhaif yang hanya keguguran dua syarat.
Hadist mursal yaitu hadist yang dimarfu’kan oleh seorang Tabi’iy kepada
Rasul SAW., baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, dengan tidak
menyebutkan orang yang menceritakan kepadanya: contoh hadist berikut ini:
Abdullah bin Abi Bakr pada hadist diatas merupakan seorang Tabi’i,
sedangkan seorang tabi’i tidak semasa dan tidak bertemu dengan Nabi Saw. Akan
tetapi tidak menyebutkan orang yang mengabarkan kepadanya sehingga
dinamakan mursal.6
4
Fathur Rahman, loc.cit.,
5
Ajjaj al-Khatib, op.cit, hlm: 304-310
6
A. Qadir Hasan, op.cit, hlm: 108
[Type text]
b. Hadist Munqhathi’
Hadist Munqhothi yaitu dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam
satu tempat atau lebih, atau di dalamnya disebutkan seorang perawi yang
Mubham. Dari segi gugurnya seorang perawi ia sama dengan hadist mursal.
Hanya saja , kalau hadist mursal gugurnya perawi dibatasi oleh tingkatan sahabat,
sementara dalam hadist munqhathi seperti itu. Jadi setiap hadist yang sanadnya
gugur satu orang perawi baik awal di tengah ataupun di akhir disebut munqhati.
Adapun contohnya sebagai berikut;
Pada hadist tersebut di atas Fatimah tidak mendengar hadist tersebut dari
Ummu Salamah, waktu Ummu Salamah meninggal Fatimah ketika itu masih kecil
dan tidak bertemu dengannya.7
c. Hadist Mu’dhal
Yaitu hadist dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-
turut. Hadist ini sama, bahkan lebih rendah dari hadist Munqathi. Sama
dari segi keburukan kualitasnya, bila Munqhati’annya lebih dari satu
tempat.
7
A. Qadir Hasan, hlm: 95
[Type text]
Ibnu Juraij pada hadist tersebut tidak sesama dengan Nabi, bahkan
masanya itu di bawah tabi’in, jadi antara dia dengan Rasul Saw diantarai dengan
dua perantara yaitu tabi’in dengan sahabat.8
d. Hadist Mudallas
Kata “Tadlis” secara etimologis berasal dari akar kata “ad-Dalas” yang
berarti “adz-Dzulman” (kedzaliman). Tadlis dalam jual beli berarti
menyembunyikan aib barang dari pembelinya. Dari sinilah diambil pengertian
dalam sanad. Karena keduanya memiliki kesamaan alasan, yakni
menyembunyikan sesuatu dengan cara dan tanpa menyebutkannya.
Tadlis terdiri dari dua jenis, yaitu Tadlis al-Isnad dan tadlis asy-syuyukh.
Imam abu Khatim berkata bahwa: Zuhri tidsak pernah mendengar hadist ini dari
Urwah, ini berarti ada seseorang yang tidak disebutkan oleh Zuhri. Sehingga
menjadi samar.
(2). Tadlis asy-syuyukh jenis ini lebih ringan daripada tadlis al-isnad. Karena
perawi tidak sengaja menggugurkan salah seorang dari sanad dan tidak sengaja
pula menyamarkan dan tidak mendengar langsung dengan ungkapan yang
menunjukan mendengar langsung. Perawi hanya menyebut gurunya , memberikan
nisbat ataupun memberikan sifat yang tidak lazim dikenal.
8
Ibid, hlm: 94
[Type text]
9
Ajjaj al-Khatib, op.cit, hlm: 311-315
[Type text]
a. Hadist daif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadail al-
‘amal maupun dalam menetapkan hukum.
b. Hadist daif bisa diamalkan secara mutlak, karena hadist daif lebih kuat
daripada ra’y (pendapat) perseorangan.
c. Hadist daif bisa diamalkan dalam masalah fadail al-‘amal bila memenuhi
syarat.
Ibn Hajar mengemukakan syarat-syarat tersebut, yaitu:
1) Kedaifannya tidak terlalu lemah;
2) Hadist daif itu masuk dalam cakupan hadist pokok yang bisa
diamalkan;
3) Ketika mengamalkannya tidak diyakini bahwa ia berstatus kuat
tetapi sekadar berhati-hati.
a. Imam al-Bukhari, Muslim, Ibn Hazm dan Abi Bakr ibn al-‘Arabi,
menyatakan bahwa hadist daif sama sekali tidak boleh diamalkan atau
dijadikan hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum
maupun untuk keutamaan amal;
b. Imam Amad bin Hanbal menyatakan bahwa hadist daif dapat dijadikan
hujjah atau diamalkan hanya untuk dasar keutamaan amal dengan syarat:
1). Para periwayat yang meriwayatkan hadist tersebut tidak terlalu lemah;
2). Masalah yang dikemukakan oleh hadist itu mempunyai dasar pokok
yang ditetapkan oleh al-qur’an dan hadist sahih;
10
Ibid., hlm: 315-316
[Type text]
Dengan demikian bahwa yang dimaksud dengan fadail al-‘amal dalam hal
ini adalah bukanlah dalam arti untuk penetapan suatu hukum, akan tetapi
dimaksudkan untuk menjelaskan faedah atau kegunaan dari suatu amal.12 Artinya
tidak ada hujjah bagi apapun kecuali dengan hadist Rasulullah Saw yang sahih,
minimal hasan.
11
M.Syuhudi Ismail, pengantar Ilmu Hadist. 1991, hlm:187
12
Hasbi Ash-Shiddieqy , hlm: 232
13
Rahmatunnair, Tinjauan dalam pemakaian hadist daif. 2001, hlm: 72
[Type text]
Tolak ukur diatas , dijadikan sebagai pedoman dan menilai kriteria hadist,
dan para ulama hadist tak terkecuali al-Bany juga berpegang pada tolak ukur
tersebut.
14
Ibn Ahmad al-Adlabi, Mabhaj Naqd al-Matan Inda Ulama al-hadist al-Nabawi,
diterjemahkan oleh H.M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan judul Metodologi Kritik
Matan Hadist. 2004, hlm: 210
15
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Mansyu’ah fi al-hadist al-Mawdhu’ah (Mesir: Maktabah al-
Islamiyah, 1352 H). Hlm: 278-284