Anda di halaman 1dari 48

Surga Istri Terletak pada Keridhaan Suami

OLEH IRHAM SYA'RONI


FRIDAY, NOVEMBER 8, 2013
Bagikan :

Salah satu bekal seorang istri untuk meraih indahnya surga adalah keridhaan
suaminya. Ia mendapat jaminan surga apabila kewajiban-kewajiban sebagai istri ditunaikan
dengan baik dan hak-hak suami terpenuhi secara baik juga sehingga sang suami ridha
kepadanya. Rasulullah saw bersabda, “Seorang perempuan jika meninggal dunia dan
suaminya meridhainya, maka ia akan masuk surga.” (H.R. Ahmad dan Ath-Thabrani, dari
Ummu Salamah)

Menurut istilah syari’at, ridha artinya adalah tidak mengeluh terhadap apa yang telah
ditetapkan oleh Allah. Ibarat seorang pasien, misalnya, ia ridha meminum obat walaupun
obat itu pahit dan sebetulnya dia menderita karena rasa pahit itu. Namun, si pasien tetap ridha
dengan obat itu dan merasa tenteram dengan mengonsumsinya juga mau menerimanya,
walaupun dalam waktu yang sama dia merasakan pahitnya obat tersebut. Keridhaan ini
didorong oleh keinginan si pasien untuk mendapatkan kesembuhan. Begitu pula keridhaan
suami terhadap kita, tiada lain adalah karena sang istri mengharapkan keridhaan yang
tertinggi, yaitu keridhaan Allah swt.

Salah satu kunci agar suami meridhai istri adalah ketaatan, yakni ketaatan sang istri
kepada suaminya. Ketaatan ini bersifat mutlak, selama sang suami tidak memerintahkan pada
kemaksiatan atau perilaku-perilaku dosa.
Ketaatan kepada suami dan bersikap hormat kepadanya dapat meninggikan derajat
pahala seorang istri hingga menyamai derajat pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah
swt. Sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Abdullah bin Abbas, bahwa seorang wanita
datang mengadu kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku adalah utusan kaum wanita
kepadamu.” Lalu wanita itu menyebutkan keuntungan yang diperoleh kaum laki-laki dari
berjihad dan lainnya berupa pahala dan harta rampasan perang. “Lalu apa yang kami peroleh
dari semua itu?” tanya wanita tersebut. Kemudian Rasulullah menjawab, “Sampaikanlah
kepada setiap wanita yang kamu jumpai bahwa ketaatan kepada suami dan mengakui haknya
mengimbangi pahala semua itu. Tetapi, sayangnya sedikit sekali di antara kalian yang mampu
melakukannya.” (H.R. Al-Bazzar dan Ath-Thabrani)

Begitu pokoknya ketaatan kepada suami sampai-sampai Ibnu Taimiyah


dalam Majmu’ Al-Fatâwâ mengatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi seorang istri setelah
menunaikan kewajiban terhadap Allah dan Rasul-Nya, kecuali terhadap suami.

Sebaliknya, ketidaktaatan kepada suami akan berujung pada kemurkaan Allah swt.
Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah
seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu sang istri menolak ajakan
suaminya, melainkan Allah akan terus-menerus murka kepadanya hingga suaminya ridha
kepadanya.” (H.R. Muslim)

Apakah dengan dalil tersebut berarti setiap keinginan dan perintah suami harus ditaati
oleh sang istri? Tentu tidak! Hanya keinginan dan perintah yang tidak bertentangan dengan
syari’at yang wajib dipenuhi. Apabila keinginan atau perintah itu berupa kemaksiatan dan
pelanggaran terhadap hukum Islam, istri wajib menolaknya karena Rasulullah saw telah
bersabda, “Tiadalah ketaatan seseorang terhadap perbuatan maksiat kepada Allah. Ketaatan
hanya ada dalam kebajikan semata.” (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa`i)
Keridhaan suami terhadap istri ini memiliki kedudukan yang sama tingginya dengan
keridhaan orangtua terhadap anaknya. Begitulah ketetapan Islam dalam hal hubungan
ketaatan antarmanusia;seorang anak harus taat kepada orangtuanya, sedangkan istri
harus taat kepada suaminya.Karena itulah, tidak mengherankan apabila para istri shalihah
akan berlomba-lomba untuk taat dan berbakti kepada suaminya. Tiada lain adalah demi
mendapatkan ridhanya. Begitu pula seorang anak, ia akan berlomba-lomba untuk taat dan
berbakti kepada orangtuanya semata-mata demi mendapatkan ridhanya.
Ridha Allah Setelah Ridha Suami
Oleh Herman RN

DALAM sebuah hadis sahih disebutkan


bahwa “Ridha Allah berada setelah ridha orangtua.” Artinya, ridha orangtau itu di atas ridha
Allah. Ini sebabnya seorang perempuan tidak boleh menikah sesuka hatinya tanpa
persetujuan orangtuanya. Jika dipaksakan, akan banyak halangan merintang.

Namun, setelah seorang perempuan menikah, ridha suami justru berada di atas ridha
orangtua. Bahkan, Allah baru akan ridha kepada seorang perempuan jika suaminya sudah
ridha. Di sini Allah hendak menunjukkan maqam suami di atas maqam istri, meski dalam
tindakan sosial tiada berbeda antara seorang lelaki dan perempuan.

Seorang perempuan yang tidak mendapatkan ridha suami, niscaya tak diterima ibadahnya.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa seorang perempuan yang tidak mendapatkan ridha
suami, ia tidak akan mendapatkan syurga Allah swt. Sebaliknya, perempuan yang selalu
mengharapkan ridha suami sama dengan mengharapkan ridha Allah. Tentu saja balasannya
adalah syurga.

“Maukah kalian aku beritahu tentang istri-istri kalian di dalam surga?” Mereka menjawab
‘Tentu saja wahai Rasulullaah.’ Nabi berkata: “Wanita yang penyayang lagi subur. Apabila ia
marah atau diperlakukan buruk atau suaminya marah kepadanya, ia berkata, ini tanganku di
atas tanganmu, mataku tidak akan bisa terpejam hingga engkau ridha.” (HR. Ath
Thabrani dalam)
Hadis di atas mengingatkan para istri agar selalu mengharap ridha suami sebelum ia tidur.
Seorang istri yang paham betul bahwa ridha suami akan mengantarkannya ke syurga Allah,
pastilah ia akan selalu berusaha menyejukkan hati suaminya. Terlebih lagi, lidah istri adalah
sembilu bagi hati suami.
Untuk diketahui, malaikat pun akan melaknat istri yang durhaka kepada suami. Rasulullaah
saw. bersabda, ‫علَ ْي َها َحتَّى‬ ً ِ‫ساخ‬
َ ‫طا‬ َ ِ‫س َماء‬ َ ‫َوالَّذِي نَ ْفسِي ِب َي ِد ِه َما مِ ْن َر ُج ٍل َي ْدعُو ا ْم َرأَتَه ُ ِإلَى ف َِرا ِش ِه فَت َأ ْ َبى‬
َّ ‫علَ ْي ِه ِإالَّ َكانَ الَّذِي فِي ال‬
‫ع ْن َها‬
َ ‫ضى‬
َ ‫“ يَ ْر‬Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil
istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan terhadapnya), maka penghuni
langit murka kepadanya hingga suaminya ridha kepadanya.” (HR. Bukhari no. 5194 dan
Muslim no.1436).

Maksud frasa “penghuni langit” adalah malaikat dan segala isi langit. Begitu tingginya
maqam seorang suami bagi istri. Apabila suami murka, bisa mengakibatkan tertolaknya
salat yang dilakukan oleh sang istri. Perhatikan hadis berikut ini.

“Ada tiga kelompok yang salatnya tidak terangkat walau hanya sejengkal di atas kepalanya
(tidak diterima oleh Allah). Orang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu
membencinya, istri yang tidur sementara suaminya sedang marah kepadanya, dan dua
saudara yang saling mendiamkan (memutuskan hubungan).” (HR. Ibnu Majah).

Dengan demikian, penting sekali mendapatkan ridha suami sebelum seorang istri
memejamkan matanya. Tidurnya seorang istri sebelum meminta ridha suami, tidak akan jadi
ibadah, meskipun ia sudah membaca doa sebelum tidur.

Pentingnya ridha suami juga dipertegas dalam hadis-hadis lain. Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa ibadah sunnah sekali pun tidak akan ada pahalanya dikerjakan seorang
istri jika tidak minta ridha suami. “Tidak halal bagi seorang istri untuk berpuasa (sunnah),
sedangkan suaminya ada, kecuali dengan seizinnya. Dan tidak halal memberi izin (kepada
orang lain untuk masuk) ke rumahnya kecuali dengan seizin suaminya.” (HR. Bukhari no.
5195 dan Muslim no. 1026).
Rasulullah pernah bersabda: ‫“ لَ ْو ُك ْنتُ آمِ ًرا أ َ َحدًا أ َ ْن َي ْس ُج َد ِِل َ َح ٍد َِل َ َم ْرتُ ال َم ْرأَة َ أ َ ْن ت َ ْس ُج َد لِزَ ْو ِج َها‬Seandainya aku
boleh menyuruh seseorang sujud kepada orang lain, maka aku akan menyuruh seorang
wanita sujud kepada suaminya.” (Hadits shahih riwayat At-Tirmidzi, di shahihkan oleh Al-
Albani dalam Irwaa’ul Ghalil (VII/54).

Hadis ini sangat tegas menyatakan maqam suami. Namun demikian, suami tetaplah
manusia. bukan malaikat. Tidak ada kepatutan mengimami suami yang durhaka di jalan
Allah swt. Tidak pula ada suatu alasan ketaatan kepada suami atas nama kemaksiatan.
Misalkan saja rumah tangga dalam keadaan terhimpit ekonomi. Lalu sang suami meminta
istri menjual diri. Dalam hal ini, istri berhak untuk tidak taat kepada suaminya.

“Tidak ada kewajiban taat jika diperintahkan untuk durhaka kepada Allah. Kewajiban taat
hanya ada dalam kebajikan.” (HR Ahmad).

Dalam hal ini, ada anjuran kepada para istri agar tetap menasihati suami. Karena lidah
perempuan adalah sembilu bagi seorang lelaki, hendaknya seorang istri menasihati suami
dengan suara lemah lembut, kata-kata yang sopan. Hindari menasihati suami dalam
keadaan emosi. Jangan pernah mengeluarkan kata-kata mencela apalagi memaki suami.
Kata-kata makian bisa membuat suami sakit hati. Saat itu pula, ridha suami akan hilang
untuk si istri.

Setiap istri harus selalu mengingat hadis Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa
kebanyakan penghuni neraka itu dari golongan perempuan. Maka, jagalah lidah, terutama
untuk hati suami.

“Dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama
sekali. Aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita. Sahabat bertanya:
‘Mengapa (demikian) wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Karena kekufuran mereka.’
Kemudian sahabat bertanya lagi: ‘Apakah mereka kufur kepada Allah?’ Beliau menjawab:
‘Mereka kufur terhadap suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah
engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang
kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata:
‘Aku tidak pernah melihat sedikit pun kebaikan pada dirimu.’” (HR. Bukhari, dari Ibnu Abbas
ra.)
Perhatikan petikan terakhir hadis di atas. Janganlah sekali-kali seorang istri suka melihat
kekurangan suami. Apalagi, sampai mengucapkan kata-kata “menyesal aku menikah
dengan kamu.” Sekali kalimat itu dikeluarkan seorang istri, seisi langit dan bumi berguncang,
mengutuk si istri. Na’uzubillah…
“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti dia tidak bersyukur kepada
Allah”. (H.R. Abu Daud, disahihkan oleh Al-Albani).
[disarikan dari berbagai sumber]
Maqam Perempuan dan Lelaki dalam Islam
Oleh Herman RN

SEBENARNYA, perdebatan relasi gender dalam Islam


sudah selesai sejak dulu kala. Namun, banyak orang masih senang memperbincangkannya.
Perbincangan itu kadang “tersesat” pada hak mendapatkan kebebasan dan pekerjaan.
Sedikit sekali orang melihat relasi gender dari sisi lain.

Secara umum orang sudah paham bahwa kemuliaan seorang perempuan berada di atas
lelaki. Bahkan, disebutkan bagi seorang perempuan saat ia sudah menjadi ibu, maqamnya
tiga kali di atas seorang lelaki. Begitulah Islam memposisikan kemuliaan perempuan.

Hal ini sesuai hadis nabi tatkala ada seseorang menjumpai Rasulullah dan bertanya, “Ya
Rasulullah, setelah Allah dan engkau, kepada siapa lagi aku harus berbakti?” Rasul
menjawab “Ibumu.” Orang tersebut bertanya lagi, “Lalu kepada siapa lagi?” Rasul menjawab
“Ibumu.” Kembali orang itu bertanya, “Lalu siapa lagi?” Rasul masih memberi jawaban yang
sama, “Ibumu.” Pertanyaan yang sama keempat kalinya, barulah Rasul menjawab
“Bapakmu.”

Di sinilah tanda bahwa maqam perempuan itu lebih tinggi dibanding maqam lelaki. Namun,
hal ini harus dicermati kembali. Maqam perempuan itu berada di atas lelaki tatkala
perempuan itu berlaku sebagai seorang ibu. Islam mencoba memberikan kemuliaan bagi
setiap ibu yang telah berjerih-payah mengandung, melahirkan, dan membesarkan anaknya.

Meskipun perempuan lebih mulia dibanding lelaki, ia juga harus ingat posisinya sebagai istri.
Dalam posisi seorang perempuan sebagai istri, kondisi bagaimana pun ia tetap berada di
bawah suami (lelaki). Suami adalah imam dalam rumah tangga. Hal ini sesuai firman Allah
dalam Alquran Surrah an-Nisaa yang menyebutkan “Lelaki adalah pemimpin bagi setiap
perempuan…”
Di sini penting dicermati. Amal sunnah sekali pun yang dilakukan seorang istri, tanpa seizin
suami akan dianggap dosa. Dimisalkan, seorang istri masa mudanya adalah seorang
muslimah yang taat. Suatu hari, ia katakan pada suaminya, “Bang, saya besok puasa
sunnah Senin-Kamis ya.”

“Puasa sih boleh, tapi Abang besok cuti kerja kan? Kalau kamu puasa, Abang gimana?”
sahut suaminya.

Perkataan suami yang secara tak langsung keberatan ini mesti dipatuhi oleh si istri. Kalau
istri tetap puasa, ia tidak mendapatkan pahala puasa sunnah itu. Contoh lain, suatu ketika
datang seorang peminta sedekah ke rumah. Si istri mengambil uang di kantong pakaian
suaminya untuk diberikan kepada peminta sedekah. Kebetulan suaminya tak ada di rumah
dan si suami tak tahu serta tidak diberi tahu oleh si istri. Alasan si istri baik, mulia. Ia hendak
bersedekah dan sedekah hendaknya diberikan dengan tangan kanan tanpa sepengetahuan
tangan kiri. Namun, karena uang di kantong suaminya yang diambil dan mungkin itu uang
dibutuhkan oleh suaminya, maka si istri tidak mendapatkan pahala, melainkan dosa. Pahala
sedekah jatuh pada suami.

Hasil jerih payah suami memang hak istri. Namun, segala suatu hendaknya didiskusikan
bersama suami. Sebaliknya, hasil jerih payah perempuan berhak dikelola oleh si
perempuan, termasuk jika ia hendak berbagi dengan ibu atau saudaranya. Namun, sekali
lagi, alangkah lebih baik jika semua itu dilakukan dengan terbuka bersama suami. Suami
yang baik tentu tidak akan melarang pekerjaan baik yang dilakukan oleh istrinya. Di sinilah
letak sakinah mawaddah warahmahnya sebuah rumah tangga.

Begitulah Islam mengatur kesetaraan gender antara lelaki dan perempuan. Adakalanya
maqam perempuan itu berada di atas lelaki sampai tiga kali. Hal ini jika si perempuan
dipandang sebagai seorang ibu. Namun, adakalanya maqam lelaki lebih tinggi di atas
perempuan, jika si perempuan berposisi sebagai istri. Sangat adil bukan?

[disarikan dari berbagai sumber]


9 Ciri Istri Pengundang Rezeki Suami
OLEH WIWIK SETIAWATI
SENIN, 19 OKTOBER 2015
Bagikan :
Pernikahan merupakan sunnah yang diagungkan oleh Allah SWT. Selain mencari ridha-Nya, menikah
juga menjadi salah satu jalan sebagai pembuka pintu rezeki. Allah SWT senantiasa mencukupkan
rezeki pasangan yang sudah menikah, meski hanya salah satu dari keduanya yang bekerja.

Ternyata, tidak hanya dengan bekerja saja pasangan suami istri bisa mendatangkan rezeki. Namun
dengan memperbaiki akhlak serta memperbanyak berbuat baik, maka dengan mudah rezeki akan
sering datang kepada sebuah keluarga.

Jika biasanya suami bertanggungjawab mencari nafkah, maka istri pun memiliki tanggungjawab lain
yang tidak kalah penting. Perilaku seorang istri ternyata akan berdampak terhadap sedikit atau
banyaknya rezeki yang didapatkan suami. Dengan mengenali ciri istri berikut, pasangan keluarga
bisa memperbaiki rezeki yang mungkin saja tersendat selama ini.

1. Wanita yang Taat Pada Allah dan Rasul-Nya


Sebelum menikahi seorang wanita, pria haruslah mempertimbangkan ke empat faktor berikut yaitu
karena (1) kecantikannya, (2) keturunannya, (3) hartanya dan (4) agamanya. Namun, dari keempat
faktor tersebut faktor agama haruslah yang paling diutamakan. Akan sangat beruntung jika bisa
mendapatkan keempat faktor tersebut.

Jika mencari wanita dengan faktor agama tentu ia merupakan wanita yang taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Tidak hanya itu, wanita dengan ciri ini juga akan membawa rumah tangga menuju surga
dan membawa ketentraman dalam keluarga. Dengan demikian, keluarga tersebut akan bahagia,
tentram, nyaman dan itulah rezeki yang sangat berharga.

Rumah tangga yang dipimpin oleh seorang imam yang sholeh dan didampingi istri sholehah tentu
akan menjadikan rumah tangga tersebut mendapat berkah dari Allah SWT. Tidak cukup sampai di
situ, pernikahan tersebut juga akan menghasilkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, serta
mendapatkan keridhaan serta rahmat dari Allah.
2. Wanita yang Taat Pada Suaminya
Jika aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan menyuruh
seorang isteri untuk sujud kepada suaminya (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Itulah hadist Rasullah
mengenai betapa utamanya menjadi istri yang taat kepada suaminya. Menjadi istri yang sholehah
haruslah mentaati perintah suaminya selam perintah tersebut tidak bertentangan dengan agama.

Dengan ketaatan tersebut, maka akan membuat hati suami menjadi tenang dan damai. Itulah yang
menyebabkan suami mudah dalam menjalankan kewajibannya mencari rezeki yang halal bagi
keluarganya. Namun, jika seorang istri tetap ini berkarir di luar rumah haruslah terlebih dahulu
mendapatkan izin dari suaminya. Selain itu, ia juga harus mampu menjaga diri dengan baik di tempat
kerja tersebut.

“Laki-laki adalah pemimpin atas wanita karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-
laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan dengan sebab sesuatu yang telah mereka (laki-laki)
nafkahkan dari harta-hartanya. Maka wanita-wanita yang saleh adalah yang taat lagi memelihara diri
di belakang suaminya sebagaimana Allah telah memelihara dirinya”. (Q.S. An Nisa : 34).

3. Wanita yang Melayani Suaminya dengan Baik


Menjadi seorang istri haruslah mengetahui apa saja tugas dan kewajibannya. Menjalankan tugas
rumah tangga dan melayani suami dengan baik serta mendidik anak-anaknya merupakan tugas
utama seorang istri. Istri yang sholehah selalu berusaha melayani suaminya dengan baik seperti
menyiapkan sarapan, menyediakan keperluannya, memenuhi kebutuhan biologis serta menjaga
perasaan suami jangan sampai terlukan karena sikap istri.

Wanita yang memiliki sikap demikian akan menjadi istri kesayangan suami dan menjadi rekan yang
baik dalam mewujudkan rumah tangga yang sakinah dan menarik hal-hal positif ke dalam rumah
tangga tersebut. termasuk di dalamnya menarik rezeki yang halal bagi suaminya.

4. Wanita yang Berhias Hanya untuk Suaminya


“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah”
(H.R. Muslim). Wanita adalah makhluk yang suka berhias dan mempercantik diri. Akan tetapi,
seorang wanita yang sholehah hanya berhiaas dan menampakkan perhiasannya tersebut untuk
suaminya seorang. Ketika seorang istri selalu dipandang menyenangkan dan mengetahui cara
membuat senang suaminya maka malaikat pun ikut berdoa agar Allah memudahkan rezeki datang
kepadanya.

5. Jika Ditinggal Menjaga Kehormatan dan Harta Suami


Ketika suami keluar untuk mecari nafkah, maka kewajiban seorang istri yang ditinggalkan adalah
harus mampu menjaga kehormatannya. Selain itu, ia juga harus menjaga dirinya dari tamu yang
tidak pantas, membatasi keluar rumah apabila urusan tersebut tidak begitu penting. Selain itu,
wanita tersebut harus bisa menjaga harta yang ditinggalkan sang suami dan mempergunakannya
pada hal-hal yang bermanfaat atas izin suaminya. Wanita yang mempunyai ciri tersebut akan
membuat rezeki mudah masuk ke dalam rumahnya sebagai upah dari ketaatannya kepada Allah dan
kesetiaannya terhadap suami.

6. Wanita Yang Senantiasa Meminta Ridha Suami Atasnya


Ciri istri pembawa rezeki selanjutnya adalah ia yang senantiasa meminta ridha suami atasnya.
Wanita dengan ciri ini tahu bagaimana cara menyenangkan hati sang suami dan bisa menjaga sikap
serta prilakunya agar tidak menyinggung serta melukai perasaan suaminya tersebut. Ia selalu
berusaha agar suaminya tidak pernah marah terhadapnya. Ia tidak akan tidur dalam keadaan marah
atau meninggalkan suami dalam keadaan marah sampai mendapatkan maafnya. Mengajak suami
bercanda juga bisa membuat suami senang karena dapat menceriakan perkawinan.

Istri yang demikian itu merupakan itri yang menjadi penghuni surga, Hadist Rasulullah ” Maukah
kalian kuberitahu isteri-isteri yang menjadi penghuni surga yaitu isteri yang penuh kasih sayang,
banyak anak, selalu kembali kepada suaminya, dimana jika suaminya marah dia mendatangi
suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata ” Aku tak dapat tidur
sebelum engkau ridha” (H.R.An Nasai). Isteri seperti ini adalah isteri yang dimudahkan rezekinya
melalui tangan suaminya karena amalan dan kesetiaan pada suaminya,

7. Wanita yang Menerima Pemberian Suami Dengan Ikhlas


Ciri istri pembawa rezeki selanjutnya adalah ia yang tidak pernah mengeluh pemberian dari
suaminya. Wanita ini selalu menerima dengan ikhlas serta menghargai apapun yang diberikan suami
kepadanya. Ia selalu bersyukur atas apa yang diperoleh suaminya meskipun hanya sedikit. Wanita
yang senantiasa bersyukur dan ikhlas ini rezekinya senantiasa akan bertambah baik kuantitas
maupun keberkahan yang akan diberikan Allah kepadanya ataupun melalui suaminya.

8. Wanita yang Bisa Menjadi Partner Meraih Ridha Allah


Istri yang menjadikan rumah tangganya sebagai lahan ibadah dan pengabdian diri kepada Allah SWT
bisa menjadi rekan diskusi yang berimbang bagi suaminya. Tidak hanya itu, ia juga bisa melakukan
koreksi dan menyampaikannya dengan lembut kepada suaminya. Selain itu, wanita yang memiliki ciri
ini juga bisa menjadi motivator suami untuk meraih kesuksesan di dunia dan akhirat. Itulah yang
menyebabkan munculnya kalimat “ di balik pria yang sukses ada wanita hebat di belakangnya”.

9. Wanita yang Tak Pernah Putus Doa Untuk Suaminya


Ciri wanita pembawa rezeki yang terakhir adalah wanita yang selalu menerima takdir Allah SWT
namun tetap berusaha dengan mendoakan suami dan anak-anaknya agar sukses di dunia dan
akhirat. Rutinitas berdoa tidak pernah terputus dari wanita ini, menjadi penghias bibir setelah
menjalankan ibadah sholat. Wanita seperti inilah yang akan mendatangkan rezeki kepada suaminya
karena selalu melibatkan Allah pada setiap langkah suaminya lewat doa yang diucapkan setiap hari.

Itulah 9 ciri istri pembawa rezeki bagi suaminya. Maka beruntunglah lelaku yang mendapatkan istri
dengan ciri-ciri tersebut. Akan tetapi, apabila belum mendapatkan istri yang demikian adalah
kewajiban suami untuk mendidik istrinya agar selalu berada di jalan Allah SWT serta membawa
rumah tangga tersebut ke surga-Nya.
Suamimu, Surgamu dan Nerakamu!
Selasa, 19 April 2016 - 14:40 WIB
Sikapnya istri terhadap suami menentukan posisinya di Surga atau di neraka. Tidak
hanya di akhirat, di dunia jika taat dan berbakti dia akan mendapat kebahagiaan dan
ketentraman hidup

Terkait

 Istri Ingin Tahu Gaji Suami, Salahkah?


 Kisah Perjuangan Pasutri Hindari Operasi Caesar
 Pesan Tak Dibalas Lewat App Line, Istri Boleh Cerai dari Suami
 Suami-Istri Diingatkan, Punya Tujuan Menikah untuk Menuju Surga
KEBAHAGIAAN hidup berumah tangga adalah anugerah Allah Subhanahu
Wata’ala yang diberikan kepada hamba-Nya setelah nikmat Islam dan iman.
Cinta dan kasih sayang serta ketentraman hidup berumahtangga adalah
dambaan idaman bagi setiap pasangan suami istri.
Diantara pilar terpenting bagi kebahagiaan hidup berumah tangga adalah
seorang istri. Yaitu bila ia sebagaimana yang disabdakan oleh
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam;
َّ ‫ض ُل ِمنَ ا ْل َم ْرأَةِ ال‬
‫صا ِل َحة‬ َ ‫َي ٌء أ َ ْف‬ َ ‫ َولَي‬،ٌ‫ِِ ِإنَّ َما ال ُّد ْنيا َ َمت َاع‬
ْ ‫َْس ِم ْن َمت َاعِ ال ُّد ْن َيا ش‬
“Hanyalah dunia ini semata kesenangan. Dan tidak ada kesenangan dunia
yang lebih utama daripada seorang istri yang sholihah.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam suatu riwayat, Nabi Dawud alaihissalam pernah berkata; seorang istri
yang jelek akhlak dan agamanya, maka bagi suaminya ia bagaikan beban
berat yang dipikul oleh seorang lelaki tua renta. Sedangkan seorang istri yang
sholihah ia ibarat mahkota yang terbuat dari emas yang menyenangkan bila
dipandang mata.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, diceritakan oleh
sahabat Hushain bin Mihshan bahwa bibinya pernah mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam untuk suatu keperluan. Setelah urusannya selesai,
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bertanya kepadanya: “Apakah kamu
mempunyai suami?” ia menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi: “Bagaimanakah
sikapmu terhadapnya?” ia menjawab, “Saya tidak pernah mengabaikannya,
kecuali terhadap sesuatu yang memang aku tidak sanggup.” Beliau bersabda:
ِ ‫ظ ِري أَيْنَ أ َ ْن‬
ُ ‫ت ِم ْنهُ فَإِنَّ َما ه َُو َجنَّت ُ ِك َون‬
‫َار ِك‬ ُ ‫فَا ْن‬
“Perhatikanlah posisimu terhadapnya. Sesungguhnya yang menentukan
surga dan nerakamu terdapat pada (sikapmu terhadap) suamimu.” (HR.
Ahmad: 18233)
Dalam hadits yang mulia diatas ditegaskan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassallamtentang sangat agungnya kedudukan suami dihadapan istrinya.
Bahwa suami adalah Surga atau neraka istrinya. Artinya bila seorang istri
berbakti kepada suaminya maka Surga Allah akan selalu menantinya.
Sebaliknya bila seorang istri durhaka kepada suaminya, maka nerakalah
ancamannya. Maka sangat mudah bagi seorang wanita untuk mendapat
surga dan juga sangat mudah pula bagi seorang wanita untuk mendapat
neraka.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassallambersabda;
ِ ‫ت زَ ْو َج َها قِي َل لَ َها ا ْد ُخ ِلي ْال َجنَّةَ ِم ْن أَي ِ أَب َْوا‬
‫ب‬ َ َ‫ت فَ ْر َج َها َوأ‬
ْ ‫طا َع‬ َ ‫ش ْه َرهَا َو َح ِف‬
ْ ‫ظ‬ ْ ‫صا َم‬
َ ‫ت‬ َ ‫ت ْال َم ْرأَة ُ خ َْم‬
َ ‫س َها َو‬ ْ َّ‫صل‬
َ ‫ِإلذَا‬
‫ت‬ ْ َّ
ِ ‫ال َجن ِة ِشئ‬ْ

“Apabila seorang istri melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan


Ramadhan, menjaga kemaluannya dan ta’at kepada suaminya, niscaya akan
dikatakan kepadanya; ‘Masuklah kamu ke dalam syurga dari pintu mana saja
yang kamu inginkan’.”
Begitu agungnya hak seorang suami yang ada pada istrinya, sehingga
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda;
‫لَ ْو أ َ َم ْرتُ أَ َحدًا أ َ ْن يَ ْس ُج َد ِِل َ َح ٍد َِل َ َم ْرتُ ْال َم ْرأَةَ أ َ ْن ت َ ْس ُج َد ِلزَ ْو ِج َها َولَ ْو أ َ َّن َر ُج ًًل أ َ َم َر ْام َرأَتَهُ أَ ْن ت َ ْنقُ َل ِم ْن َجبَ ٍل أَحْ َم َر‬
‫إِلَى َجبَ ٍل أَس َْو َد َو ِم ْن َجبَ ٍل أَس َْو َد إِلَى َجبَ ٍل أَحْ َم َر لَ َكانَ ن َْولُ َها أ َ ْن ت َ ْفعَ َل‬
“Sekiranya aku boleh memerintahkan seseorang sujud kepada orang lain,
maka akan aku perintahkan seorang isteri sujud kepada suaminya. Sekiranya
seorang suami memerintahkan isterinya untuk pindah dari gunung ahmar
menuju gunjung aswad, atau dari gunung aswad menuju gunung ahmar,
maka ia wajib untuk melakukannya.” (HR. Ibnu Majah)
Mentaati dan Menjaga Kehormatan
Hak-hak istri kepada suaminya diantaranya adalah mentaatinya, menjaga
dan merawat rumah dan anak-anaknya, menjaga kehormatan dan harta
benda suaminya, tidak mengizinkan memasuki rumah orang-orang yang tidak
dikehendaki oleh suaminya, tidak keluar rumah kecuai dengan seizinnya,
berpenampilan menarik dan berdandan yang cantik di hadapan suami,
berusaha mencari keridhaan suami yang itu merupakan ciri-ciri wanita yang
akan menjadi penghuni Surga yang disabdakan oleh Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassallam;
، ‫ َوال َم ْولُو ُد فِي ال َجنَّ ِة‬، ‫ش ِهي ُد فِي ال َجنَّ ِة‬ َّ ‫ َوال‬، ‫يق فِي ال َجنَّ ِة‬ ُ ‫الص ِد‬ ِ ‫ َو‬، ‫ال أ ُ ْخبِ ُر ُكم بِ ِر َجا ِل ُكم فِي ال َجنَّ ِة ؟! ال َّنبِي فِي ال َجنَّ ِة‬
ْ َ َ‫أ‬
‫سا ِئ ُكم ِفي ال َجنَّ ِة ؟! ُك ُّل َودُو ٍد‬ َ ‫ال أُخ ِب ُر ُكم ِب ِن‬
ْ َ َ ‫أ‬. ‫َلِل – ِفي ال َجنَّ ِة‬
ِ َّ ِ ‫ورهُ ِإ َّال‬ ْ َ – ‫ص ِر‬
ُ ‫ال َي ُز‬ ْ ‫الم‬
ِ ‫َاح َي ِة‬ ِ ‫ور أَخَاهُ ِفي ن‬
ُ ‫الر ُج ُل َي ُز‬َّ ‫َو‬
‫ضى‬ َ ‫مض َحتَّى ت َر‬ ٍ ُ‫ال أ َ ْكت َِح ُل ِبغ‬ ْ َ ، َ‫ َهذِه يَدِي فِي يَدِك‬: ‫ قَا َلت‬، ‫ب زَ و ُج َها‬ َ ‫َض‬ ُ
ِ ‫َضبَت أَو أ ِسي َء ِإ َلي َها أَو غ‬ ِ ‫ ِإ َذا غ‬، ‫َولُو ٍد‬
“Maukah aku beritahukan kepada kalian laki-laki penghuni Surga? Para Nabi
di Surga, orang-orang yang jujur di Surga, orang yang mati syahid di Surga,
anak yang terlahir (mati) di Surga, seorang lelaki yang mengunjungi
saudaranya di belahan kota, yang dia mengunjunginya karena Allah, di Surga.
Dan maukah aku tunjukkan kepada kalian wanita ahli Surga? Yaitu setiap istri
yang penuh cinta kepada suami serta penyayang kepada anaknya, yang
ketika suaminya marah kepadanya ia berkata, ‘inilah tanganku berada
ditanganmu, aku tidak bisa tidur memejamkan mata sehingga engkau ridho
kepadaku.” (HR. Nasai)
Bandingkan dengan laki-laki dan para suami, yang mana mereka harus
beramal dengan gigih untuk meraih Surga. Ia harus menjadi salah
seorang shiddiqin (orang yang selalu berbuat jujur), mereka harus salah
seorang sholihiin (orang yang sholih), dituntut untuk menjadi syuhadaa’ (orang
yang mati syahid) bila ingin mendapat kemudahan untuk masuk Surga. Dan ia
harus bersikap adil terhadap istrinya, dan itu tidaklah mudah.
Maka bagi seorang istri, sikapnya terhadap suami menentukan posisinya di
Surga atau di neraka. Tidak hanya di akhirat, di dunia kalau dia taat dan
berbakti kepada suami dia akan mendapat kebahagiaan dan ketentraman
hidup di dunia dan rumah tangganya. Namun kalau dia mendurhakai suami,
hari-harinya akan berisi laknat dari Allah azza wa jalla.*/Imron Mahmud
KETAATAN ISTERI KEPADA SUAMINYA

HAK SUAMI YANG HARUS DIPENUHI ISTERI


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ketahuilah bahwa seorang suami adalah pemimpin di dalam rumah tangga, bagi isteri, juga bagi
anak-anaknya, karena Allah telah menjadikannya sebagai pemimpin. Allah memberi keutamaan bagi
laki-laki yang lebih besar daripada wanita, karena dialah yang berkewajiban memberi nafkah kepada
isterinya. Dan Allah Ta’ala berfirman:
‫ض َوبِ َما أ َ ْنفَقُوا مِ ْن أ َ ْم َوا ِل ِه ْم‬ ٍ ‫علَ ٰى بَ ْع‬ َ ‫ض ُه ْم‬َ ‫َّللاُ بَ ْع‬
َّ ‫ض َل‬ َّ َ‫ساءِ بِ َما ف‬َ ِ‫علَى الن‬ َ َ‫الر َجا ُل قَ َّوا ُمون‬
ِ
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
memberikan nafkah dan hartanya.” [An-Nisaa’ : 34]
Oleh karena itu, suami mempunyai hak atas isterinya yang harus senantiasa dipelihara, ditaati dan
ditunaikan oleh isteri dengan baik yang dengan itu ia akan masuk Surga.
Masing-masing dari suami maupun isteri memiliki hak dan kewajiban, namun suami mempunyai
kelebihan atas isterinya.
Allah Ta’ala berfirman:
‫يز َحكِي ٌم‬ ٌ ‫ع ِز‬ َّ ‫علَ ْي ِه َّن َد َر َجة ٌ ۗ َو‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫علَ ْي ِه َّن بِ ْال َم ْع ُروفِ ۚ َول‬
َ ‫ِلر َجا ِل‬ َ ‫َولَ ُه َّن مِ ثْ ُل الَّذِي‬
“Dan mereka (para wanita) memiliki hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang pantas.
Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Al-
Baqarah : 228]
1. Ketaatan Isteri Kepada Suaminya
Setelah wali atau orang tua sang isteri menyerahkan kepada suaminya, maka kewajiban taat kepada
suami menjadi hak tertinggi yang harus dipenuhi, setelah kewajiban taatnya kepada Allah dan Rasul-
Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
‫لَ ْو ُك ْنتُ آمِ ًرا أ َ َحدًا أ َ ْن يَ ْس ُج َد ِِل َ َح ٍد َِل َ َم ْرتُ ْال َم ْرأَة َ أ َ ْن ت َ ْس ُج َد لِزَ ْو ِج َها‬
“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan
seorang wanita sujud kepada suaminya.” [1]
Sujud merupakan bentuk ketundukan sehingga hadits tersebut di atas mengandung makna bahwa
suami mendapatkan hak terbesar atas ketaatan isteri kepadanya. Sedangkan kata: “Seandainya aku
boleh…,” menunjukkan bahwa sujud kepada manusia tidak boleh (dilarang) dan hukumnya haram.
Sang isteri harus taat kepada suaminya dalam hal-hal yang ma’ruf (mengandung kebaikan dalam
agama). Misalnya ketika diajak untuk jima’ (bersetubuh), diperintahkan untuk shalat, berpuasa,
shadaqah, mengenakan busana muslimah (jilbab yang syar’i), menghadiri majelis ilmu, dan bentuk-
bentuk perintah lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at. Hal inilah yang justru akan
mendatangkan Surga bagi dirinya, seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
ْ‫ب ْال َجنَّ ِة شَا َءت‬ ِ ‫ َد َخلَتْ مِ ْن أَي ِ أَب َْوا‬،‫عتْ َب ْعلَ َها‬ َ ‫طا‬َ َ ‫ َوأ‬،‫صنَتْ فَ ْر َج َها‬ َّ ‫ َو َح‬،‫ش ْه َرهَا‬ َ ْ‫صا َمت‬ َ ‫ َو‬،‫س َها‬ َ ‫ت ْال َم ْرأَة ُ َخ ْم‬ ِ َّ‫صل‬
َ ‫ِإذَا‬
“Apabila seorang isteri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga
kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk Surga
dari pintu mana saja yang dikehendakinya.” [2]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang sifat wanita
penghuni Surga,
‫ الَ أَذُ ْو ُق‬:ُ‫ض َع َي َدهَا فِ ْي َي ِد زَ ْو ِج َها َوتَقُ ْول‬ َ َ ‫ب َجائ َتْ َحتَّى ت‬ َ ‫َض‬ِ ‫علَى زَ ْو ِج َها؛ اَلَّتِي ِإذَا غ‬ َ ‫ ا َ ْل َود ُْو ُد ْال َولُ ْو ُد ْال َع ُؤ ْو ُد‬:ِ‫سا ُؤ ُك ْم مِ ْن أ َ ْه ِل ْال َجنَّة‬
َ ِ‫َون‬
‫ضى‬ َّ
َ ‫غ ْمضًا َحتى ت َْر‬ َ
“Wanita-wanita kalian yang menjadi penghuni Surga adalah yang penuh kasih sayang, banyak anak,
dan banyak kembali (setia) kepada suaminya yang apabila suaminya marah, ia mendatanginya dan
meletakkan tangannya di atas tangan suaminya dan berkata, ‘Aku tidak dapat tidur nyenyak hingga
engkau ridha.’” [3]
Dikisahkan pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang wanita yang datang
dan mengadukan perlakuan suaminya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari Hushain
bin Mihshan, bahwasanya saudara perempuan dari bapaknya (yaitu bibinya) pernah mendatangi
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena ada suatu keperluan. Setelah ia menyelesaikan
keperluannya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah
bersuami?” Ia menjawab, “Sudah.” Beliau bertanya lagi, “Bagaimana sikapmu kepada suamimu?” Ia
menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi (haknya) kecuali yang aku tidak mampu
mengerjakannya.”
Maka, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
ُ ‫ فَإِنَّ َما ه َُو َجنَّتُكِ َون‬،ُ‫ت مِ ْنه‬
ِ‫َارك‬ ِ ‫ظ ِري أَيْنَ أ َ ْن‬ ُ ‫فَا ْن‬.
“Perhatikanlah bagaimana hubunganmu dengannya karena suamimu (merupakan) Surgamu dan
Nerakamu.” [4]
Hadits ini menggambarkan perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk memperhatikan
hak suami yang harus dipenuhi isterinya karena suami adalah Surga dan Neraka bagi isteri. Apabila
isteri taat kepada suami, maka ia akan masuk Surga, tetapi jika ia mengabaikan hak suami, tidak taat
kepada suami, maka dapat menyebabkan isteri terjatuh ke dalam jurang Neraka. Nasalullaahas
salaamah wal ‘aafiyah.
Bahkan, dalam masalah berhubungan suami isteri pun, jika sang isteri menolak ajakan suaminya,
maka ia akan dilaknat oleh Malaikat, sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ص ِب َح‬ْ ُ ‫علَ ْي َها) لَ َعنَتْ َها ْال َمًلَئِ َكةُ َحتَّى ت‬ َ َ‫ض َبان‬ ْ ‫غ‬ َ َ‫الر ُج ُل ا ْم َرأَتَه ُ ِإلَى ف َِرا ِش ِه فَأَبَتْ أ َ ْن ت َِجى َء (فَ َبات‬ َّ ‫عا‬ َ ‫ِإذَا َد‬
“Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur (untuk jima’/bersetubuh) dan si isteri
menolaknya [sehingga (membuat) suaminya murka], maka si isteri akan dilaknat oleh Malaikat
hingga (waktu) Shubuh.” [5]
Dalam riwayat lain (Muslim) disebutkan: “sehingga ia kembali”. Dan dalam riwayat lain (Ahmad dan
Muslim) disebutkan: “sehingga suaminya ridha kepadanya”.
Yang dimaksud “hingga kembali” yaitu hingga ia bertaubat dari perbuatan itu. [6]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُ ‫ب لَ ْم ت َ ْمنَ ْعه‬
ٍ َ ‫علَى قَت‬َ ‫ِي‬ َ ‫س َها َوه‬ َ ‫سأَلَ َها نَ ْف‬
َ ‫بِهَا َحتَّى ت ُ َؤ ِدى َح َّق زَ ْو ِج َها َولَ ْو‬ ِ ‫َس ُم َح َّم ٍد بِيَ ِد ِه الَ ت ُ َؤ ِدى ْال َم ْرأَة ُ َح َّق َر‬ ُ ‫َوالَّذِي نَ ْف‬
“Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang wanita tidak akan bisa
menunaikan hak Allah sebelum ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya
padahal ia sedang berada di atas punggung unta, maka ia (isteri) tetap tidak boleh menolak.” [7]
Dalam ajaran Islam, seorang isteri dilarang berpuasa sunnat kecuali dengan izin suaminya, apabila
suami berada di rumahnya (tidak safar). Berdasarkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
ِ َ‫ف أ‬
ُ‫جْر ِه لَه‬ َ ‫ص‬ْ ِ‫غي ِْر أ َ ْم ِر ِه فَإ ِ َّن ن‬ َ ‫ َوالَ ت َأْذَ ْن فِ ْي بَ ْيتِ ِه َوه َُو‬،ِ‫ص ِم ْال َم ْرأَة ُ َوبَ ْعلُ َها شَا ِه ٌد إِالَّ بِإ ِ ْذنِه‬
َ ‫ َو َما أ َ ْنفَقَتْ مِ ْن َك ْسبِ ِه مِ ْن‬،ِ‫شا ِه ٌد إِالَّ بِإ ِ ْذنِه‬ ُ َ ‫الَ ت‬.
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnat) sedangkan suaminya ada (tidak safar) kecuali dengan
izinnya. Tidak boleh ia mengizinkan seseorang memasuki rumahnya kecuali dengan izinnya dan
apabila ia menginfakkan harta dari usaha suaminya tanpa perintahnya, maka separuh ganjarannya
adalah untuk suaminya.” [8]
Dalam hadits ini ada tiga faedah:
1. Dilarang puasa sunnat kecuali dengan izin suami.
2. Tidak boleh mengizinkan orang lain masuk kecuali dengan izin suami.
3. Apabila seorang isteri infaq/shadaqah hendaknya dengan izin suami.
Dalam hadits ini seorang isteri dilarang puasa sunnat tanpa izin dari suami. Larangan ini adalah
larangan haram, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi rahimahullaah.
Imam an-Nawawi berkata, “Hal ini karena suami mempunyai hak untuk “bersenang-senang” dengan
isterinya setiap hari. Hak suami ini sekaligus merupakan kewajiban seorang isteri untuk melayani
suaminya setiap saat. Kewajiban tersebut tidak boleh diabaikan dengan alasan melaksanakan
amalan sunnah atau amalan wajib yang dapat ditunda pelaksanaannya.” [9]
Jika isteri berkewajiban mematuhi suaminya dalam melampiaskan syahwatnya, maka lebih wajib lagi
baginya untuk mentaati suaminya dalam urusan yang lebih penting dari itu, yaitu yang berkaitan
dengan pendidikan anak dan kebaikan keluarganya, serta hak-hak dan kewajiban lainnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa hak
suami lebih utama dari amalan sunnah, karena hak suami merupakan kewajiban bagi isteri.
Melaksanakan kewajiban harus didahulukan daripada melaksanakan amalan sunnah.” [10]
Agama Islam hanya membatasi ketaatan dalam hal-hal ma’ruf yang sesuai dengan Al-Qur-an dan As-
Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh generasi terbaik, yaitu Salafush Shalih. Sedangkan
perintah-perintah suami yang bertentangan dengan hal tersebut, tidak ada kewajiban bagi sang
isteri untuk memenuhinya, bahkan dia berkewajiban untuk memberikan nasihat kepada suaminya
dengan lemah lembut dan kasih sayang.
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits hasan shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1159), Ibnu Hibban (no. 1291 – al-
Mawaarid) dan al-Baihaqi (VII/291), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini diriwayatkan
juga dari beberapa Shahabat. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1998).
[2]. Hadits hasan shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 1296 al-Mawaarid) dari Shahabat Abu
Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Mawaariduzh Zham’aan (no. 1081).
[3]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XIX/140, no. 307) dan
Mu’jamul Ausath (VI/301, no. 5644), juga an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa’ (no. 257). Hadits ini
dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 287).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (VI/233, no. 17293), an-Nasa-i dalam ‘Isyratin
Nisaa’ (no. 77-83), Ahmad (IV/341), al-Hakim (II/189), al-Baihaqi (VII/291), dari bibinya Husain bin
Mihshan radhiyallaahu ‘anhuma. Al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih.” Dan disepakati oleh adz-
Dzahabi.
[5] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3237, 5193, 5194), Muslim (no. 1436), Ahmad
(II/255, 348, 386, 439, 468, 480, 519, 538), Abu Dawud (no. 2141) an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’
(no. 84), ad-Darimi (II/149-150) dan al-Baihaqi (VII/292), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu
‘anhu.
[6]. Fat-hul Baari (IX/294-295).
[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1853), Ahmad (IV/381), Ibnu Hibban (no. 1290-
al-Mawaarid) dari ‘Abdullah bin Abi Aufa radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Aadabuz Zifaaf (hal. 284).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5195), Muslim (no. 1026) dan Abu Dawud (no.
2458) dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dan lafazh ini milik Muslim.

Sumber: https://almanhaj.or.id/2080-ketaatan-isteri-kepada-suaminya.html
Taat kepada Suami vs Taat kepada OrangTua
dikirimkan di Tentang Renungan by ayuridhia

Bismillahirrahmanirrahim…
Surga itu ada dibawah telapak kaki ibu. Bahkan, Rosulullah mengatakan bahwa jika kita
sholat, lalu ibu memanggil kita, baiknya kita mendahulukan menemui ibu, masyaAllah
:’) Ridhallahi fi ridha walidain.Ridho orangtua itu adalah ridho Allah. Tapiiiiii… taukah kita
arti dari Ijab Qobul? Yang intinya semua tanggungan orangtua (ayah dan ibu) pindah tugas
kepada suami, sang ayah menyerah-terimakan tugas tugasnya kepada suami kita. *kitaa???

Iyadeh yang udah nikah aja, saya belom* *gigit jari* itu berarti, ridho Allah pun berada
dalam ridho sang suami. Pun Surga dan Neraka sang istri, ditentukan oleh ke-Ridho-an
suami.
Al-Qur’an dan sunnah menerangkan, suami memiliki hak yang sangat besar atas istrinya. Istri
harus taat kepada suaminya, melayani dengan baik, dan mendahulukan ketaatan kepadanya
daripada kepada orang tua dan saudara-saudara kandungnya sendiri. Bahkan suami menjadi
surga dan nerakanya. Allah Ta’ala berfirman :

‫ض َوبِّ َما أَ ْنفَقُوا ِّم ْن أَ ْم َوا ِّل ِّهم‬


ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى بَ ْع‬ َّ ‫اء بِّ َما َف‬
َّ ‫ض َل‬
َ ‫َّللاُ بَ ْع‬ َ ِّ‫الر َجا ُل قَ َّوا ُمونَ َعلَى الن‬
ِّ ‫س‬ ِّ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. Al-Nisa’: 34)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

‫غي ِّْر أَ ْم ِّر ِّه فَإِّنَّهُ ي َُؤدَّى ِّإلَ ْي ِّه‬ ْ َ‫وم َوزَ ْو ُج َها شَا ِّهد ٌ ِّإ ََّل ِّبإِّذْنِّ ِّه َو ََل ت َأْذَنَ فِّي َب ْيتِّ ِّه ِّإ ََّل ِّبإِّذْنِّ ِّه َو َما أ َ ْن َفق‬
َ ‫ت ِّم ْن َنفَقَ ٍة َع ْن‬ َ ‫ص‬ُ َ ‫ََل َي ِّح ُّل ِّل ْل َم ْرأ َ ِّة أ َ ْن ت‬
ُ‫شَط ُره‬ ْ

“Tidak boleh (haram) bagi wanita untuk berpuasa sementara suaminya ada di sisinya kecuali
dengan izinnya. Istri juga tidak boleh memasukkan orang ke dalam rumahnya kecuali dengan
izin suaminya. Dan harta yang ia nafkahkan bukan dengan perintahnya, maka setengah
pahalanya diberikan untuk suaminya.” (HR. Al-Bukhari)

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Abu HurairahRadhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Apabila wanita menunaikan shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga
kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka disampaikan kepadanya: masuklah surga dari
pintu mana saja yang kamu mau.” (Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 660)
Ahhhhh… siapa yang ga mau coba ada tiket GRATIS menuju Surga? Gratis bagi yang taat

pada suami Loooohh yang belom ber-suami-able gimana? Ya nikah duluuu… #JLEB
bahasan ini tentunya juga termasuk untuk yang belom menikah, dan dalam proses
#MemantaskanDiri. Kita (yang belom menikah) HARUS tau, ngerti, dan paham akan ilmu
yang satu ini. Yaaa itung itung afirmasi istri-able laaah hahaha
Pernah juga kan mendengar bahwa seorang istri harus izin suami untuk berpergian keluar

rumah? Nah itu juga berlaku pada saat kita akan ke rumah orangtua, dear… Terus kalo
orangtua dalam keadaan sakit, tetapi saat itu suami susah untuk dihubungi? Tetep kudu harus
wajib mendapatkan sertifikat izin dari suami untuk melangkahkan kaki selangkah saja keluar
rumah *tsaaaaah* hehhehe.. Ingeeett ridho suami itu ridho Allah ^^

Terus siapakah panutan kita untuk menjadi seorang Istri Sholehah? Pasti udah pada tau kan?
Yap tentunya Khadijah, Aisyah, Fatimah, Asiyah, dan Maryam. Terutama saat saya membaca
kisah rumahtangga Aisyah dan Rosulullah sampai pada waktunya Rosulullah pulang
kepangkuanNYA tepat pada hari giliran Aisyah, dikamar Aisyah, dan berada dalam
pangkuan Aisyah, waaah sampe merinding dan nangis sendiri saya kalo mengingat akan
cerita itu :’)

Ada satu hadits dari Rosulullah, dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata:

Aku pernah bertanya kepada Rosulullah, “Siapakah wanita paling besar haknya atas
wanita?” Beliau menjawab: “Suaminya.” Aku bertanya lagi, “Lalu siapa manusia yang
paling besar haknya atas laki-laki?” Beliau menjawab, “ibunya.” (HR. al-Hakim, namun
hadits ini didhaifkan oleh Al-Albani dalam Dhaif al-Targhib wa al-Tarhib, no. 1212)
Dengan demikian maka, bagi wanita HARUSlah lebih mendahulukan ketaatan kepada
SUAMI daripada ketaatan kepada ORANG TUA. Namun jika keduanya bisa ditunaikan
secara sempurna dengan IZIN suaminya, maka itu yang lebih baik. Wallahu a’lam. Suatu hari

nanti kita (yang pada belom menikah) akan mempraktekkan hal ini InsyaaAllah… well,
berhubung kali ini bahasan tentang suami dan orangtua, untuk bahasan khusus ridho suami
akan saya ulas di #MemantaskanDiri 2. Penasyaraaaann? tunggu tanggal mainnya ^^
*kemudian dicubitin*
Kenapa Ridho Suami Menjadi Surga Bagi
Para Istri, Berikut Alasannya....
POSTED ON // LEAVE A COMMENT

Seorang wanita di Surga ataukah di Neraka dilihat dari


sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah
durhaka. Sebagaimana dalam hadits dari Al Hushoin bin
Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke
tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu
keperluan. Selesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,

:‫ قَا َل‬.ُ‫ َما آلُ ْوهُ ِإالَّ َما َع َج ْزتُ َع ْنه‬:‫ت‬ ِ ‫ْف أ َ ْن‬
ْ َ‫ت لَهُ؟ قَال‬ ْ َ‫أ َ َذاتُ زَ ْوجٍ أ َ ْنتِ؟ قَال‬
َ ‫ َكي‬:‫ قَا َل‬.‫ نَ َع ْم‬:‫ت‬
‫َار ِك‬
ُ ‫َون‬ ‫َجنَّت ُ ِك‬ ‫ُه َو‬ ‫فَإنَّ َما‬ ،ُ‫ِم ْنه‬ ِ ‫أ َ ْن‬
‫ت‬ َ‫أين‬ ‫ي‬ ُ ‫فَا ْن‬
ْ ‫ظ ِر‬
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain
menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap
suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya
kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana
keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu,
karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad
4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata
Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no.
1933)

Dengan demikian Jelaslah bahwa Ketaatan istri pada suami


agar suaminya ridho adalah jaminan surganya, seperti
dalam hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ « أيما امرأة ماتت وزوجها عنها راض دخلت‬: ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫الجنة‬ »
(‫والترمذي‬ ‫ماجه‬ ‫إبن‬ ‫)رواه‬
"Wanita mana saja yang meninggal dunia, kemudian
suaminya merasa ridho terhadapnya, maka ia akan masuk
surga". (HR Ibnu Majah, dan di hasankan oleh Imam
Tirmidzi).

Dalam hadits yang lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu


‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya,
melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga
kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan
masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” (HR Ibnu
Hibban dalam Shahihnya)

Penjelasan lain mengapa ridho suami adalah surga buat


istri :

1. Suami dibesarkan oleh ibu yang mencintainya seumur


hidup.
Namun ketika dia dewasa, dia memilih mencintaimu yang
bahkan belum tentu mencintainya seumur hidupmu, bahkan
sering kala rasa cintanya padamu lebih besar daripada
cintanya kepada ibunya sendiri.

2. Suami dibesarkan sebagai lelaki yang ditanggung


nafkahnya oleh ayah ibunya hingga dia beranjak dewasa.
Namun sebelum dia mampu membalasnya, dia telah
bertekad menanggung nafkahmu,perempuan asing yang
baru saja dikenalnya dan hanya terikat dengan akad nikah
tanpa ikatan rahim seperti ayah dan ibunya.

3. Suami ridha menghabiskan waktunya untuk mencukupi


kebutuhan anak-anakmu serta dirimu.
Padahal dia tahu,di sisi Allah, engkau lebih harus dihormati
tiga kali lebih besar oleh anak-anakmu dibandingkan
dirinya.
Namun tidak pernah sekalipun dia merasa iri,disebabkan
dia mencintaimu dan berharap engkau memang
mendapatkan yang lebih baik daripadanya di sisi Allah.

4. Suami berusaha menutupi masalahnya dihadapanmu


dan berusaha menyelesaikannya sendiri.
Sedangkan engkau terbiasa mengadukan masalahmu pada
dia dengan harapan dia mampu memberi solusi. padahal
bisa saja disaat engkau mengadu itu, dia sedang memiliki
masalah yang lebih besar.
Namun tetap saja masalahmu di utamakan dibandingkan
masalah yang dihadapi sendiri.

5. Suami berusaha memahami bahasa diam-mu, bahasa


tangisanmu sedangkan engkau kadang hanya mampu
memahami bahasa verbalnya saja.
Itupun bila dia telah mengulanginya berkali-kali.

6. Bila engkau melakukan maksiat,maka dia akan ikut


terseret ke neraka karena dia ikut bertanggung jawab akan
maksiatmu.
Namun bila dia bermaksiat,kamu tidak akan pernah di
tuntut ke neraka karena apa yang dilakukan olehnya adalah
hal-hal yang harus dipertanggung jawabkannya sendiri.

Subhanallah….

Sumber :
-
https://www.facebook.com/TipsJilbabTerbaru/photos/a.486852801355158.109633.481049711935467
/989972217709878/?type=1&fref=nf
- http://www.ummi-online.com/foto_berita/176-cara-rasulullah-membahagiakan-istri.jpg (img)
- http://abubassam19.blogspot.com/2013/11/ridho-suami-itu-surga-bagi-para-istri.html
**UNTUK PARA ISTRI, INILAH
MENGAPA SURGA MU ADA DALAM
RIDHO SUAMI**
1JUL2014 Komentar Dinonaktifkanpada **UNTUK PARA ISTRI, INILAH MENGAPA SURGA MU
ADA DALAM RIDHO SUAMI**
by fitri in Tulisan
**UNTUK PARA ISTRI, INILAH MENGAPA SURGA MU ADA DALAM
RIDHO SUAMI**
Putri baginda Nabi, Ternyata perempuan itu adalah perempuan yang
sangat taat kepada suaminya. Ridho suaminya adalah segala-galanya
baginya.
Dalam islam memang begitulah aturannya. Ketaatan seorang
perempuan ketika belum menikah memang nomer satu kepada orang
tua. Tapi begitu menikah, ketaatan nomer satu adalah pada suaminya.
Untuk menambahkan sebuah alasan yang bisa dijadikan sebuah
renungan untuk para istri tentang mengapa redha seorang suami itu
adalah surga untuk kalian para istri, berikut ini ada beberapa
catatan:
* Suami dibesarkan oleh ibu yang mencintainya seumur hidup. Namun
ketika dia meningkat dewasa, dia telah memilih mencintaimu yang
bahkan belum tentu mencintainya untuk seumur hidup.
Bahkan sering pula rasa cintanya terhadapmu melebihi rasa cintanya
kepada ibunya sendiri.
* Suami dibesarkan sebagai pria yang ditanggung nafkahnya oleh ayah
dan ibunya sampai dia meningkat dewasa.
Namun sebelum dia mampu membalasnya, dia telah bertekad untuk
menanggung nafkahmu. Seorang perempuan asing yang baru saja
dikenalnya dan hanya terikat dengan akad nikah tanpa ikatan darah
seperti ayah dan ibunya.
* Suami rela menghabiskan waktunya untuk mencukupi kebutuhan
anak-anak dan dirimu. Padahal di sisi ALLAH SWT, engkau lebih
dihormati tiga kali lebih besar oleh anak-anakmu dibandingkan dirinya.
Namun tidak pernah sekalipun dia merasa iri karena dia mencintaimu
dan berharap engkau memang mendapatkan yang lebih baik darinya di
sisi ALLAH
SWT.
* Suami berusaha menutupi masalahnya dihadapanmu dan berusaha
menyelesaikannya sendiri. Sedangkan engkau seringkali mengadukan
masalahmu ke dia dengan harapan dia mampu memberikan solusi.
Padahal
disaat kamu sedang mengadu itu, diasedang memiliki masalah yang
lebih
besar, namun tetap saja masalahmu di utamakan ketimbang masalah
yang
dihadapi olehnya.
* Suami berusaha memahami bahasa diammu, bahasa tangisanmu
sedangkan engkau terkadang hanya mampu memahami bahasa lisannya
saja. Itupun bila dia telah mengulanginya berkali-kali.

* Bila engkau melakukan dosa, maka dia akan ikut terseret ke neraka
karena dia bertanggung jawab akan maksiat yang telah engkau lakukan.
Namun bila dia berbuat dosa, engkau tidak akan pernah dituntut ke
neraka. Karena apa yang dilakukan olehnya adalah hal-hal yang harus
dipertanggungjawabkannya sendiri.
Seorang pria bertanggung jawab 4 orang wanita dalam hidupnya yaitu
ibunya, kakak / adik perempuannya, istrinya dan anak perempuannya.
Dan seorang wanita memiliki 4 orang yang bertanggung jawab atas
dirinya
yaitu ayahnya, abang / adik lelakinya,suami dan anaknya.
Tidak perlu sering mempertanyakan siapa yang lebih besar kewajiban
dan
tanggungjawabnya karena masing-masing punya tangunggjawab yang
telah dipertanggungjawabkan kepada diri masing-masing. Sebaliknya
tanya diri sendiri apakah sudah menjalankan kewajiban tersebut atau
belum.
Semoga bermanfaat…
[Dakwah Masturoh]
Antara Berbakti kepada Orang Tua dan Taat
kepada Suami
9 Mei 2011 pukul 22:36
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah orangtua
merupakan dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah menikah. Bagaimana
Islam mendudukkan perkara ini?
Seorang wanita apabila telah menikah maka suaminya lebih berhak terhadap dirinya
daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ُ‫ظ للا‬ ِّ ‫ظاتٌ ِّل ْلغَ ْي‬
َ ‫ب ِّب َما َح ِّف‬ َ ِّ‫صا ِّل َحاتُ قَا ِّنت َاتٌ َحاف‬
َّ ‫فَال‬
“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah memelihara
mereka…” (An-Nisa’: 34)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:


َ َ ‫ َو ِّإذَا أ َ َم ْرت َ َها أ‬، َ‫س َّرتْك‬
َ ‫ َو ِّإذَا ِّغبْتَ َع ْن َها َح ِّف‬، َ‫طا َعتْك‬
َ‫ظتْك‬ َ ‫ظ ْرتَ ِّإلَ ْي َها‬ َّ ‫ع َو َخي ُْر َمت َا ِّع َها ْال َم ْرأَة ُ ال‬
َ َ‫ ِّإذَا ن‬،ُ‫صا ِّل َحة‬ ٌ ‫الدُّ ْنيَا َمت َا‬
َ‫فِّي نَ ْف ِّس َها َو َمالِّك‬
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang
shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu. Bila
engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya, ia
menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu1.”

Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ت‬ْ ‫ب ْال َجنَّ ِّة شَا َء‬
ِّ ‫ت ِّم ْن أ َي ِّ أَب َْوا‬
ْ َ‫ دَ َخل‬،‫ت بَ ْعلَ َها‬ َ َ ‫ َوأ‬،‫َت فَ ْر َج َها‬
ْ ‫طا َع‬ ْ ‫صن‬
َ ‫ َو َح‬،‫ش ْه َرهَا‬ ْ ‫صا َم‬
َ ‫ت‬ َ ‫ت ْال َم ْرأَة ُ خ َْم‬
َ ‫ َو‬،‫س َها‬ ِّ َ‫صل‬
َ ‫ِّإذَا‬
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di
bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk
surga dari pintu mana saja yang ia inginkan2.”

Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,


RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ‫ت ْال َجنَّة‬
ِّ َ‫اض َع ْن َها دَ َخل‬ ْ ‫أَيُّ َما ْام َرأَةٍ َمات‬
ٍ ‫َت َوزَ ْو ُج َها َر‬
“Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya
niscaya ia akan masuk surga.”
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan3.”

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda:
‫لَ ْو ُك ْنتُ ِّآم ًرا ِِّل َ َح ٍد أ َ ْن َي ْس ُجدَ ِِّل َ َح ٍد َِل َ َم ْرتُ ْال َم ْرأَة َ أ َ ْن ت َ ْس ُجدَ ِّلزَ ْو ِّج َها‬
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain
niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan4.”
Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:
ِّ ‫ ِّل َما َج َع َل للاُ َعلَ ْي ِّه َّن ِّمنَ ْال ُحقُ ْو‬،‫اج ِّه َّن‬
‫ق‬ ِّ ‫سا َء أ َ ْن َي ْس ُج ْدنَ ِِّل َ ْز َو‬ َ ‫َِل َ َم ْرتُ ال ِّن‬
“…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka dikarenakan
kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka.”5
Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

َ ‫ص َل َح ِّل َبش ٍَر أ َ ْن َي ْس ُجدَ ِّل َبش ٍَر َِل َ َم ْرتُ ْال َم ْرأَة َ أ َ ْن ت َ ْس ُجدَ ِّلزَ ْو ِّج َها ِّم ْن ِّع‬
‫ظ ِّم َح ِّق ِّه‬ َ ‫ َو َل ْو‬،‫صلُ ُح ِّل َبش ٍَر أ َ ْن َي ْس ُجدَ ِّل َبش ٍَر‬
ْ ‫َلَ َي‬
َّ ‫ق َرأْ ِّس ِّه قَ ْر َحةً ت َجْ ِّري ِّب ْال َقيْحِّ َوال‬
‫ ث ُ َّم ا ْستَ ْق َبلَتْهُ فَلح َستْهُ َما‬،ِّ‫ص ِّد ْيد‬ ْ ‫ َواَّلذِّي نَ ْفس‬،‫َعلَ ْي َها‬
ِّ ‫ِّي ِّبيَ ِّد ِّه لَ ْو َكانَ ِّم ْن قَدَ ِّم ِّه ِّإلَى َم ْف َر‬
ُ‫ت َحقَّه‬ ْ ّ‫أَد‬
“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain.
Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain
niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak
suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada
telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan
nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati
luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.”6
Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
‫ َولَ ْو أ َ َّن َر ُجالً أ َ َم َر ْام َرأَتَهُ أ َ ْن ت َ ْنقُ َل ِّم ْن َجبَ ٍل أَحْ َم َر‬،‫لَ ْو أ َ َم ْرتُ أَ َحدًا أ َ ْن يَ ْس ُجدَ ِِّل َ َح ٍد َِل َ َم ْرتُ ْال َم ْرأَةَ أ َ ْن تَ ْس ُجدَ ِّلزَ ْو ِّج َها‬
‫ َو ِّم ْن َج َب ٍل أَس َْودَ ِّإلَى َج َب ٍل أَحْ َم َر لَكاَنَ لَ َها أ َ ْن ت َ ْف َع َل‬،َ‫ِّإلَى َج َب ٍل أَس َْود‬
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang
lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Seandainya
seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung merah menuju
gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si istri harus
melakukannya.”7
Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban dari
Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
َ‫ام فَ َو َج ْدت ُ ُه ْم َي ْس ُجد ُْون‬
َ ‫ش‬ َّ ‫ أَتَيْتُ ال‬:َ‫ َما هذَا َيا ُم َعاذُ؟ قَال‬:َ‫شام ِّ َس َجدَ ِّللنَّ ِّبي ِّ صلى للا عليه وسلم فَقَال‬ َّ ‫ل َما َّ َقد َِّم ُم َعاذٌ ِّمنَ ال‬
َ‫ َل‬:‫س ْو ُل للاِّ صلى للا عليه وسلم‬ ُ ‫فَقَا َل َر‬. ِّ‫س ْو َل للا‬ ُ ‫ فَ َو ِّددْتُ فِّي نَ ْفسِّي أ َ ْن ت َ ْف َع َل ذَلِّكَ ِّبكَ يَا َر‬،‫ارقَتِّ ِّه ْم‬ ِّ ‫ط‬ َ َ ‫ِِّل‬
َ َ‫ساقِّفَتِّ ِّه ْم َوب‬
ُ ‫ َوالَّذِّي نَ ْف‬،‫ فَإِّنِّي لَ ْو ُك ْنتُ ِّآم ًرا أ َ َحدًا أ َ ْن يَ ْس ُجدَ ِّلغَي ِّْر للاِّ َِل َ َم ْرتُ ْال َم ْرأَة َ أ َ ْن ت َ ْس ُجدَ ِّلزَ ْو ِّج َها‬، َ‫ت َ ْفعَلُوا ذَلِّك‬
َ‫س ُم َح َّم ٍد ِّبيَ ِّد ِّه َل‬
ُ‫ب لَ ْم ت َْمنَ ْعه‬
ٍ َ ‫ِّي َعلَى قَت‬
َ ‫س َها َوه‬ َ ‫سأََّ لَ َها َن ْف‬
َ ‫ َولَ ْو‬،‫ي َح َّق زَ ْو ِّج َها‬ َ ‫ت ُ َؤ ِّدي ْال َم ْرأَة ُ َح َّق َر ِّب َها َحتَّى ت ُ َؤ ِّد‬

Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menegur Mu’adz, “Apa yang kau
lakukan ini, wahai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud
kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya
kepadamu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan engkau lakukan hal itu,
karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain
Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang
jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak
Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta
dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak
boleh menolaknya8.”
Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫َت َعلَى التَّنُّ ْو ِّر‬ ْ ‫أَيُّ َما َر ُج ٍل دَ َعا زَ ْو َجتَهُ ِّل َحا َجتِّ ِّه َف ْلت َأْتِّ ِّه َولَ ْو كَان‬
“Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya9 maka si istri
harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang
memanggang roti di atas tungku api.”
Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits
ini hasan10.”
Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ْ ُ ‫ لَعَنَتْ َها ا ْل َمالَئِّ َكةُ َحتَّى ت‬،‫ضبَانَ َعلَ ْي َها‬
‫صبِّ َح‬ ْ ‫ فَبَاتَ َغ‬،‫ئ‬ َ ‫ت أ َ ْن ت َِّج ْي‬
ْ َ‫الر ُج ُل ْام َرأَتَهُ ِّإلَى فِّ َرا ِّش ِّه فَأَب‬ َّ ‫إِّذَا دَ َعا‬

“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri


menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah kepada
istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di pagi
hari.”11
Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suami adalah tuan (bagi istrinya)
sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu ia membaca firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
ِّ ‫س ِّيدَهَا َلدَى ْال َبا‬
‫ب‬ َ ‫َوأ َ ْل َف َيا‬
“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Yusuf: 25)
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nikah itu adalah perbudakan.
Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia
memperbudakkan anak perempuannya.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda:
ٌ ‫ فَإِّنَّ َما ه َُّن ِّع ْندَ ُك ْم َع َو‬،‫اء َخي ًْرا‬
‫ان‬ ِّ ‫س‬َ ‫صوا ِّبال ِّن‬ُ ‫ا ْست َْو‬
“Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu hanyalah
tawanan di sisi kalian.”12
Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan
tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya
baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah ibunya, atau selain kedua
orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.
Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang
suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri melarang
si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri
wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua
orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita
untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si ibu
memerintahnya untuk minta khulu’ kepada suaminya atau membuat suaminya
bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan menuntut suaminya
agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami) dan meminta mahar
yang berlebihan13, dengan tujuan agar si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si
wanita untuk menaati salah satu dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada
suaminya, bila ternyata suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam urusan istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat14 dan Shahih Ibnu Abi
Hatim dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda:
‫الطالَقَ ِّم ْن َغي ِّْر َما بَأْس َفَ َح َرا ٌم َع َل ْي َها َرائِّ َحةُ ْال َجنَّ ِّة‬ َّ ‫ت زَ ْو َج َها‬ ْ ‫سأ َ َل‬
َ ٍ‫أَيُّ َما ْام َرأَة‬
“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa15 maka
haram baginya mencium wanginya surga.”16
Dalam hadits yang lain:
ُ‫ْال ُم ْختَ ِّل َعاتُ َو ْال ُم ْنت َِّز َعاتُ ه َُّن ْال ُمنَافِّقَات‬
“Istri-istri yang minta khulu’17 dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu
wanita-wanita munafik.”18
Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya
dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan
amanah dan melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang
semisalnya dari perkara yang AllahSubhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam perintahkan atau yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikerjakan, maka wajib
baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut. Seandainya pun yang
menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua orangtuanya maka ia harus
taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua orangtuanya.
Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia mengerjakan perbuatan yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala larang maka tidak ada kewajiban baginya untuk taat kepada
suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ق‬ِّ ‫ص َي ِّة ْالخَا ِّل‬ ٍ ‫طا َعةَ ِّل َم ْخلُ ْو‬
ِّ ‫ق فِّي َم ْع‬ َ َ‫إِّنَّهُ َل‬
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.”19

Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun


rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam perkara maksiat.
Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati suaminya atau salah
satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena kebaikan itu seluruhnya
dalam menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya.” (Majmu’atul Fatawa, 16/381-383).

Wallahu a’lam bish-shawab.

Catatan kaki:
1 HR. Ahmad (2/168) dan Muslim (no. 3628), namun hanya sampai pada lafadz:
َّ ‫ع َو َخي ُْر َمت َاعِّ الدُّ ْن َيا ْال َم ْرأَة ُ ال‬
ُ‫صا ِّل َحة‬ ٌ ‫الدُّ ْن َيا َمت َا‬
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang
shalihah.”
Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan An-
Nasa’i. Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
‫ َوَلَ تُخَا ِّلفُهُ ِّفي نَ ْف ِّس َها َو ََل فِّي َما ِّل ِّه‬،‫ َوت ُ ِّط ْيعُهُ ِّإذَا أ َ َم َر‬،‫ظ َر‬ ُ َ‫ َّالتِّي ت‬:َ‫ي النِّسا َ ِّء َخي ٌْر؟ قَال‬
َ َ‫س ُّرهُ ِّإذَا ن‬ ُّ َ ‫ أ‬،ِّ‫سو َل للا‬
ُ ‫ يَا َر‬:َ‫قِّ ْيل‬
ُ‫بِّ َما يَ ْك َره‬

Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wanita (istri) yang


bagaimanakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yang menyenangkan suaminya
bila suaminya memandangnya, yang menaati suaminya bila suaminya
memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara dirinya dan tidak
pula pada harta suaminya dengan apa yang dibenci suaminya.” (Dihasankan Al-
Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa’ul Ghalil no. 1786)
2 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ Ash-
Shaghir, no. 660.
3 HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854, didhaifkan Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam Dha’if Sunan At-Tirmidzi dan Dhaif Sunan Ibni
Majah.
4 HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, “Hasan Shahih.”
5 HR. Abu Dawud no. 2140, dishahihkan Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
6 HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu
Nu’aim dalam Ad-Dala’il (137). Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad
(10/513), cet. Darul Hadits, Al-Qahirah.
7 HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam Dha’if Sunan Ibni Majah.
8 HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah, “Hasan Shahih.” Lihat pula
Ash-Shahihah no. 1203.
9 Kinayah dari jima’. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ar-Radha’, bab Ma Ja’a fi Haqqiz
Zauj alal Mar’ati)
10 HR. At-Tirmidzi no. 1160 dan Ibnu Hibban no. 1295 (Mawarid), dishahihkan Al-
Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Misykat no.
3257 dan Ash-Shahihah no. 1202.
11 HR. Al-Bukhari no. 5193.
12 HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni
Majah.
13 Misalnya maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad namun masih
hutang, dan dijanjikan di waktu mendatang setelah pernikahan.
14 Yaitu Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu
Majah.
15 Lafadz: ((‫))م ْن َغي ِّْر َما بَأْس‬
ِّ maksudnya tanpa ada kesempitan yang memaksanya untuk
meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil
Mukhtali’at)
16 HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2226, Ibnu Majah no. 2055,
dan Ibnu Hibbanno. 1320 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, dll.
17 Tanpa ada alasan yang menyempitkannya. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq
wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
18 HR. Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, dishahihkan Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 633,
dan Al-Misykat no. 3290. Mereka adalah wanita munafik yaitu bermaksiat secara
batin, adapun secara zahir menampakkan ketaatan. Ath-Thibi berkata, “Hal ini dalam
rangka mubalaghah (berlebih-lebihan/sangat) dalam mencerca perbuatan demikian.”
(Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
19 HR. Ahmad 1/131, kata Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam ta’liqnya
terhadap Musnad Al-Imam Ahmad, “Isnadnya shahih.”

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=754
Wahai Perempuan,
Siapa Anda Taati
Terlebih Dahulu,
Orangtua Atau
Suamimu?
Senin, 30 Maret 2015 20:17

internet
ILUSTRASI SUAMI ISTRI

PEKANBARU, TRIBUNPEKANBARU.COM - Sering terjadi


kasus, orangtua perempuan, baik bapak atau ibunya, menuntut
kepadanya untuk melakukan sesuatu yang berseberangan
dengan keinginan suaminya sendiri.
Ini sering menjadi dilema dan masalah berat bagi sebagian
wanita. Manakah hak lebih didahulukan antara hak orangtua
dan suami, tatkala perempuan sudah menikah. Pada saat
seperti ini, mana harus lebih didahulukan oleh seorang
muslimah?
Apabila ketaatan kepada suami berseberangan dengan
ketaatan kepada orangtua, dikutip dari muslimzone.com, maka
bagi seorang perempuan (istri) muslimah, wajib mendahulukan
ketaatan kepada suaminya.

Imam Ahmad Rahimahullah berkata, perempuan memiliki


suami dan seorang ibu sedang sakit: Ketaatan kepada
suaminya lebih wajib atas dirinya daripada mengurusi ibunya,
kecuali jika suaminya mengizinkannya.” (Syarh Muntaha al-
Iradat: 3/47)
Di dalam kitab Al-Inshaf (8/362), “Seorang wanita tidak boleh
mentaati kedua orangtuanya untuk berpisah dengan suaminya,
tidak pula mengunjunginya dan semisalnya. Bahkan ketaatan
kepada suaminya lebih wajib.”
Terdapat satu hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
sebagian ulama statusnya hasan, menguatkan hal ini.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, berkata: "Aku pernah
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
“Siapakah manusia paling besar haknya atas wanita?” Beliau
menjawab: “Suaminya.”
Aku bertanya lagi, “Lalu siapa manusia yang paling besar
haknya atas laki-laki?” Beliau menjawab, “ibunya.” (HR. al-
Hakim, namun hadits ini didhaifkan oleh Al-Albani dalam Dhaif
al-Targhib wa al-Tarhib, no. 1212, beliau mengingkari
penghasanan hadits tersebut oleh al-Mundziri)
Dengan demikian maka, bagi perempuan haruslah lebih
mendahulukan ketaatan kepada suami daripada ketaatan
kepada kedua orang tuanya. Namun jika keduanya bisa
ditunaikan secara sempurna dengan izin suaminya, maka itu
yang lebih baik. Wallahu A’lam.
Sementara itu, Syekh Yusuf al- Qaradhawi dalam kumpulan
fatwanya yang terangkum di Fatawa Mu’ashirah bahwa
memang benar, taat kepada orang tua bagi seorang
perempuan hukumnya wajib.
Tetapi, kewajiban tersebut dibatasi selama yang bersangkutan
belum menikah. Bila sudah berkeluarga, seorang istri
diharuskan lebih mengutamakan taat kepada suami. Selama ke
taatan itu masih berada di koridor syariat dan tak melanggar
perintah agama.
Oleh karena itu, imbuhnya, kedua orang tua tidak
diperkenankan mengintervensi kehidupan rumah tangga
putrinya. Termasuk memberikan perintah apa pun padanya.
Bila hal itu terjadi, merupakan kesalahan besar.
Pascamenikah maka saat itu juga, anaknya telah me ma suki
babak baru, bukan lagi di bawah tanggungan orang tua, melain
kan menjadi tanggung jawab suami.
Meski demikian, kewajiban menaati suami bukan berarti harus
memutus tali silaturahim kepada orang tua atau mendurhakai
mereka. Seorang suami dituntut mampu menjaga hubungan
baik antara istri dan keluarganya.
Hadist diriwayatkan Al-Hakim dan ditashih Al-Bazzar. Konon,
Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, hak siapakah
harus diutamakan istri? Rasulullah menjawab, “(hak)
suaminya.” Lalu, Aisyah kembali bertanya, sedang kan bagi
suami hak siapakah yang lebih utama? Beliau menjawab,
“(Hak) ibunya.” (fakhrurrodzi/berbagai sumber)
Senin, 04 Januari 2016

Ridho Ibu Vs Ridho Suami


Sebuah cerita, alkisah ada Orang berilmu sebut saja Sholeh melihat mayat tidak ada yang mengantar
pada saat pemakamannya hanya oleh 4 orang yang mengangkat mayatnya. Sholeh tadi bertanya
apakah sudah di sholatkan, "belum" singkat cerita tidak ada yang mensholatkan karena ternyata ke-4
orang tadi hanya di bayar oleh seorang wanita untuk menguburkan saja. Akhirnya Sholeh meminta
disholati dulu dengan ia menjadi imamnya.
Selesai sholat, sholeh menghampiri wanita yang dimaksud ternyata dia sedang tertawa lebar melihat
pemakaman pemuda tadi, karena Sholeh penasaran jangan2 ada yang gak beres, Sholeh bertanya
kenapa?
Akhirnya wanita tadi bercerita, aku adalah ibu dari pemuda yang baru saja kau bantu pemakamannya
dan kau sholati. Dia adalah pemuda dengan semua dosa dan kemaksiatan pernah dia lakukan, semua
kenakalan. Sampai 3 hari sebelum kematiannya dia sakit dan berpesan: bu, kalau aku mati, jangan ada
satu orangpun yang di kabari tentang kematianku, karena percuma semua orang disini pernah aku
sakiti dan aku rugikan, tidak akan ada yang mengasihaniku. ibu, aku aku punya cincin, tolong cincin
ini dibawa ke pandai besi untuk di ukir kalimat syahadat dan di satukan dengan kain kafanku. ibu
setelah aku mati, injak-injaklah kepalaku sekuat tenaga ibu, sampai rasa kesal dihati ibu hilang
terhadapku, dan angkatlah tangan ibu sambil berkata Alloh, aku sudah ridha dengan anakku. itulah
pesannya dan semua pesan telah dilakukan oleh ibunya, sampai akhir pemakaman dan aku mendengar
suara anakku berkata "ibu aku sudah berada dekat dengan Alloh". itulah kenapa ibu tertawa lebar
seperti yang dilihat Sholeh. » kisah saya sarikan dari ceramah kh. Jamaludin Ahmad, maaf jika ada
kesalahan si orang berilmu tadi saya lupa namanya.
Saya merenungkan kisah ini dan berkelebat-kelebat pendapat saya.
Seorang ibu meski menumpuk kesalahan anaknya, saat datang kematian menjemput anaknya dan ibu
ditanya atas keridhoannya terhadap sang anak, dia pasti menjawab "Ridho" bahkan berdoa untuk
kebaikannya. » jika anaknya laki2 Alloh jg ridho krn ibu sudah ridho terhadapnya, surga begitu dekat
dengannya..
Seorang wanita bersuami, ridho Alloh terletak pada ridho suaminya. sayangnya seorang suami bukan
seperti ibu, suami adalah orang lain mulanya. hati suami tidak seperti seorang ibu, kesalahan seorang
anak bisa dengan mudah dimaafkan oleh seorang ibu bahkan doa akan mudah terucap dari mulut ibu.
kesalahan seorang istri sulit sekali dimaafkan oleh seorang suami, meski istri berbuat banyak
kesusahan dan kebaikan, jika ada kesalahan suami akan sulit memaafkan, dia bisa bersikap biasa dan
seakan tak ada apa-apa, tapi saat kau tanyakan padanya " apakah engkau ridho terhadapku, suamiku"
mungkin dia akan menunduk dan mengenang kesalahan2 si istri.
Diposting oleh Imroatul Fida di 00.31
Setelah Menikah, Benarkah Surga tak lagi di
Telapak Kaki Ibu?
El Nurien motivasi

Pada hari Raya Idul Fitri kemarin, saya berhalangan shalat Ied. Supaya tidak
kehilangan moment Idul Fitri, saya bersama anak perempuan saya pergi ke sebuah
taman yang di sana dilaksanakan shalat Idul Fitri.

Saya duduk di sebuah bangku taman, yang cukup jauh dari lingkungan shalat. Tiba-
tiba ada seorang perempuan tua yang minta bantuan saya. Saya mendekatinya,
ternyata dia bekas menderita stroke, hingga tak bisa berjalan secara normal.

Saya memapahnya sampai ke lapangan dan kebetulan ada juga seorang mbak yang
membawakan tas beliau. Habis shalat saya dekati lagi perempuan tua itu, dan saya
hantar balik ke rumahnya, di pinggiran taman.

Sambil berjalan, perempuan itu cerita, kalau sudah beberapa bulan kena serangan
stroke, hingga akhirnya dia bisa berjalan, walaupun belum sempurna. Dia juga cerita,
kalau dia tinggal sendiri. Punya anak perempuan, tapi ikut suaminya.
Ketika sampai di rumahnya, saya dibuat kaget. Gambaran rumah fakir terlihat di mata
saya. Sendiri? Dalam keadaan stroke? Di dalam rumah, yang boleh dikatakan dalam
kondisi darurat?
Sebelum pulang, saya sisipkan selembar uang, mudahan sedikit-sedikit bisa
menyenangkannya. Ibu berterima kasih sambil menangis.
Jujur, terbersit di benak saya, bahwa itu hanya kepura-puraan. Iya, akibat banyaknya
pengemis yang pura-pura. Pengemis-pengemis yang pandai menguras rasa iba pada
orang-orang yang hatinya terlalu lembut.
Suatu hari, saya sisihkan waktu untuk menjenguk perempuan tua itu. Ternyata, dia
masih mengenali saya. Setelah diizinkan masuk, betapa kagetnya saya. Di dalam
rumahnya penuh sesak barang-barang yang berantakan. Yang hanya celah, satu kasur,
kursi yang juga penuh dengan obat-obatan. Saya dapat memahami hal itu, karena
beliau penderita stroke, tentu tak dapat mengurus semua itu.
Kebetulan saat itu dia sedang makan. Saya tanya, “Makanan siapa ngantar?”

Dia bilang, titip ke tetangga yang kebetulan juga saudara beliau. Tapi, saudaranya
laki-laki, maka saya dapat maklum, begitulah laki-laki, bukan kebiasaannya mengurus
tetek bengek rumah tangga.

Dia cerita tentang penyakit, dana-dana yang diberikan saudara-saudaranya


untuk berobat, dan juga tentang putrinya yang sudah tak peduli lagi.
Pada saat menceritakan putrinya, dia menangis. Satu putrinya, ga tau kemana,
semenjak dia bercerai dengan suaminya. Satu putrinya lagi ikut sama dia, tapi setelah
menikah, lebih peduli dengan keluarga barunya.
Dia juga cerita, putrinya berkata, “Sekarang surganya tak lagi pada ibunya,
tapi pada suaminya. Dia harus taat pada suami.”
Berkali-kali ibu itu mengucapkan kalimat itu sambil menangis.
Saya shock dengan kalimat itu. Tega benar anak itu! Ibu itu juga sering
bertanya, “Benarkah seperti itu?”
Belum pulih dari keshockan, sekarang harus berhadapan dengan pertanyaan
itu.

LIMA HAL SETELAH MENIKAH YANG TAK SEINDAH BAYANGAN. YAKIN MAU
NIKAH?

Tentu saja itu tidak benar. Memang seorang wanita, bila sudah menikah, ia
harus taat pada suaminya, melebihi ketaatan pada orang tuanya. Tapi, bukan berarti
harus mengabaikan orang tua, apalagi bila kondisi orang tua yang sangat uzur.
Jujur, saat itu saya marah sekali. Ingin sekali meluapkan kemarahan pada
seorang putri dan suami seperti itu. Tega-teganya dia berkata begitu, di saat ibunya
memerlukan bantuan. Tapi, saya pun pun mencoba memposisikan diri sebagai seorang
anak yang sudah menjadi istri dari seorang laki-laki.
Iya, kadang kondisi seperti ini menjadi dilema bagi seorang anak yang sudah
menjadi istri. Bekerja, suami, anak-anak dan orang tua. Sulit memberi perhatian
secara adil di berbagai tempat, apalagi lagi jika tempatnya berjauhan.
Tapi, menurut saya, jauhnya tempat bukan berarti tertutup bagi orang untuk
mendapatkan perhatian anak-anaknya.

Lalu bagaimana untuk menyikapi keadaan ini.

1. Jika memungkinkan, bicaralah dengan suami, mintalah restu untuk membawa orang
tua kita ke rumah supaya kita bisa merawat mereka.
Mungkin ada beberapa laki-laki yang merasa keberatan, tapi berusahalah
membujuknya sehingga dia berkenan membawa orang tua ke rumah.
2. Lalu bagaimana jika tempat kita tidak memungkinkan? Jika punya saudara,
musyawarahlah dengan saudara. Siapa yang tempat dan waktunya memungkinkan
merawat orang tua uzur? Dan kita membantu dari segi dana. Sering-seringlah
berkunjung, setidaknya sering-sering menelpon. Tunjukkan kita perhatian pada
mereka.
Kondisi uzur, mereka lebih memerlukan sapa hangat dari anak-anaknya daripada
materi.
3. Jika anak satu-satunya. Tempat tak bisa lagi jadi alasan. Aturlah sedemikian rupa,
agar bisa membawa orang tua ke rumah. Kalau dimusyawarahkan dengan suami dan
betul-betul niat untuk berbakti pada orang tua, insya Allah, akan ada jalan. Rezekinya
pun, insya Allah mudahkan.
4. Terlalu sibuk.
Hallooo. Berapa miliyar omset yang kita kejar, sampai harus membuat orang tua yang
uzur terlantar? Miliyaran rupiah tidak akan mampu membalas jasa orang tua.
Miliyaran rupiah tidak akan bisa mengobati sakit hati orang tua yang merasa
terabaikan. Miliyaran rupiah tidak akan bisa menebus surga yang ada di telapak
kakinya.
Jika ada kesungguhan niat, pasti ada jalan. Ingatlah, surga dan neraka dunia
akheratmu ada di kaki mereka. Mana yang mau kau pilih?

Kepada yang berpendapat, “Setelah menikah surga tak lagi di telapak kaki ibu,”
ketahuilah :
Surga tidak ada pada laki-laki yang menyuruh durhaka pada orang tua. Seorang
istri dilarang taat pada suami yang menyuruh berbuat kedurhakaan, apalagi
pada orang tua.

Surga tidak ada pada laki-laki yang membuatmu mengabaikan orang tua. Surga
hanya ada pada laki-laki yang sayang dan peduli pada orang tuamu.
Dan satu hal lagi:
Sebuah hadits mengatakan: berbaktilah pada orang tuamu, maka anak-anakmu pun
akan berbakti padamu.
Surganya Istri Di bawah Telapak Kaki Suami
Home» KHABAR» KISAH» Surganya Istri Di bawah Telapak Kaki Suami

Surganya Istri Di bawah Telapak Kaki Suami -"BERHENTI KERJA DEMI MENGABDI KEPADA SUAMI"

Sore itu sembari menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di Masjid ini seusai ashar.
Kulihat seseorang yang berpakaian rapi, berjilbab dan tertutup sedang duduk disamping masjid.
Kelihatannya ia sedang menunggu seseorang juga. Aku mencoba menegurnya dan duduk
disampingnya, mengucapkan salam, sembari berkenalan.

Dan akhirnya pembicaraan sampai pula pada pertanyaan itu.


"Anti sudah menikah?"
"Belum."jawabku datar.

Kemudian wanita berjubah panjang (Akhwat) itu bertanya lagi.


"Kenapa?"

Pertanyaan yang hanya bisa kujawab dengan senyuman. Ingin kujawab karena masih hendak
melanjutkan pendidikan, tapi rasanya itu bukan alasan yang tepat.

"Mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya.


"Menunggu suami.” jawabnya pendek.

Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak
apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, -dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya
kuberanikan juga untuk bertanya.
"Mbak kerja di mana?”

Entah keyakinan apa yang membuatku demikian yakin jika mbak ini memang seorang wanita
pekerja, padahal setahu ku, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu
rumah tangga.
"Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi.” jawabnya dengan wajah yang aneh
menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
"Kenapa?” tanyaku lagi.

Dia hanya tersenyum dan menjawab.


"Karena inilah PINTU AWAL kita, wanita karir yang bisa membuat kita lebih hormat pada suami.”
jawabnya tegas.

Aku berpikir sejenak. Apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.

"Saudariku, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat
kita para wanita yang Insya Allah hanya ingin didatangi oleh laki-laki yang baik-baik dan sholeh saja.

Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7 juta/bulan.
Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari dan es cendol di siang hari. Kami menikah
baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka
padanya. Kamu tahu kenapa?

Waktu itu jam 7 malam, suami saya menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam
3 sudah pulang. Setibanya dirumah, mungkin hanya istirahat yang terlintas dibenak kami wanita
karir. Ya, Saya akui saya sungguh capek sekali. Dan kebetulan saat itu suami juga bilang jika dia
masuk angin dan kepalanya pusing. Celakanya rasa pusing itu juga menyerang saya. Berbeda dengan
saya, suami saya hanya minta diambilkan air putih untuk minum, tapi saya malah berkata.

"Abi, umi pusing nih, ambil sendirilah !!”

Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat
sholat. Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur
dengan pulasnya.

Menuju ke dapur, saya lihat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang mencucinya kalau
bukan suami saya? (kami memang berkomitmen untuk tidak memiliki pembantu)? Terlihat lagi
semua baju kotor telah dicuci. Astaghfirullah, -kenapa Abi mengerjakan semua ini? Bukankah Abi
juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap Abi bangun dan mau
menjelaskannya, -tapi rasanya Abi terlalu lelah, hingga tak bangun juga.

Rasa iba mulai memenuhi jiwaku. Kupegang wajah suami saya itu. Ya Allah panas sekali pipinya,
keningnya. MasyaAllah, Abi demam, tinggi sekali panasnya. Saya teringat perkataan terakhir saya
pada Abi tadi. Hanya disuruh mengambilkan air putih saja saya membantahnya. Air mata ini
menetes, air mata karena telah melupakan hak-hak suami saya.”
Subhanallah!
Aku melihat mbak ini bercerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga
ada tetesan air mata yang diusapnya. Lalu ia melanjutkan.

"Kamu tahu berapa penghasilan suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700
rb/bulan. Sepersepuluh dari gaji saya sebulan. Malam itu saya benar-benar merasa sangat durhaka
pada suami saya.

Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami
selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya dengan ikhlas dari lubuk hatinya. Setiap kali
memberikan hasil jualannya, ia selalu berkata :

"Umi, ini ada titipan rezeki dari Allah. Disimpan ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya,
mudah-mudahan Umi ridha menerimanya.”

Saat itu saya baru merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong dan
durhaka pada nafkah yang diberikan suami saya, dan saya yakin hampir tidak ada wanita karir yang
selamat dari fitnah ini.

Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini,
saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu sering begitu susah jika tanpa
harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya."Lanjutnya lagi, tak memberikan
kesempatan bagiku untuk berbicara.

"Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya
sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara -saya justru tidak ada yang mendukung niat saya
untuk berhenti berkerja. Seperti dugaan saya sebelumnya, mereka malah membanding-bandingkan
pekerjaan suami saya dengan yang lain.”

Aku masih terdiam, bisu mendengar keluh kesahnya. Subhanallah! Apa aku bisa seperti dia?
Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan demi untuk lebih
memilih berbakti kepada suaminya.

"Kak, bukankah kita harus memikirkan masa depan? Kita bekerja juga untuk anak-anak kita kan?
Biaya hidup sekarang ini mahal. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah, kakak malah
pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak
pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah.

Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama
dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih
nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang
tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka
hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau,
sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu.”

Ceritanya kembali mengalir, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.

"Anti tahu, saya hanya bisa menangis saat itu. Saya menangis bukan karena apa yang dikatakan adik
saya itu benar, Demi Allah bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya sudah
DIPANDANG RENDAH olehnya.

Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan
keringat itu, Allah memandangnya mulia?

Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud dimalam
hari?

Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati
saya?

Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar
saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan?

Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya
hanya karena sebuah pekerjaaan?

Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji
saya dengan gaji suami saya.

Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya.

Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya.

Saya berharap dengan begitu saya tak lagi membantah perintah suami saya. Mudah-mudahan saya
juga ridha atas besarnya nafkah itu. Saya bangga dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga,
bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan
pekerjaan seperti itu.

Disaat kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang
seperti itu. Tetapi suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang
halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya.
Jika suatu saat jika anti mendapatkan suami seperti suami saya, anti tak perlu malu untuk
menceritakannya pekerjaan suami anti pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi
masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita
dari rizki yang haram.”

Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas laptopnya, bergegas ingin
meninggalkanku.

Kulihat dari kejauhan seorang laki-laki dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah
kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil
mengucapkan salam, wanita itu meninggalkanku. -Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang
begitu ridho.

Ya Allah..

Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling berkesan dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatku menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam
benakku..Subhanallah..Walhamdulillah..Wa Laailaahaillallah...Allahu Akbar

Semoga pekerjaan, harta dan kekayaan tak pernah menghalangimu untuk tidak menerima pinangan
dari laki-laki yang baik agamanya.
Sumber : Islamic Motivation.

Anda mungkin juga menyukai