Anda di halaman 1dari 17

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Pembelajaran Matematika

Proses pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan yang terdiri atas

kegiatan belajar dan mengajar. Menurut Trianto (2009: 9) “Belajar hakikatnya

adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang”.

Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat diindikasikan dalam berbagai

bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku,

kecakapan, keterampilan dan kemampuan, serta perubahan aspek-aspek yang lain

yang ada pada individu yang belajar. Menurut Slameto (2010:2) “Belajar ialah

suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan

tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri

dalam interaksi dengan lingkungannya”.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diungkapkan bahwa belajar

adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang secara sengaja yang ditandai

dengan perubahan tingkah laku yang baru, tingkah laku tersebut diindikasikan

dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, kecakapan,

keterampilan dan aspek lain yang bersifat aktual maupun potensional sebagai hasil

pengalaman individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Menurut Sudjana (1998: 29) “Mengajar adalah suatu proses mengatur,

mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga dapat menimbulkan

dan mendorong siswa melakukan proses belajar”. Keterpaduan proses yang

menimbulkan terjadinya interaksi belajar-mengajar terorganisir yang dibangun


10

oleh guru dan siswa inilah yang disebut dengan pembelajaran. Menurut Miarso

dalam Pribadi (2010 : 9) “Pembelajaran merupakan aktivitas atau kegiatan yang

berfokus pada kondisi dan kepentingan pembelajar (learner centered), istilah

pembelajaran digunakan untuk menggantikan istilah “pengajaran” yang lebih

bersifat sebagai aktivitas yang berfokus pada guru (teacher centered) ”. Artinya

pembelajaran yang terjadi lebih menekankan pada peranan aktif siswa sedangkan

guru hanya bertindak sebagai fasilisator saja. Berdasarkan pendapat-pendapat

tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu upaya untuk

membangkitkan peran aktif siswa dalam interaksi belajar-mengajar yang

terorganisir antara guru dan siswa.

Matematika adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang cara berpikir dan

mengolah logika dengan pembuktian yang logik. Sejalan dengan pendapat

Johnson dan Rising dalam Suherman (2003: 17) yang menyatakan bahwa

“Matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang

logik, bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas,

dan akurat representasinya dengan simbol”.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika

adalah suatu upaya menciptakan kondisi belajar yang menekankan pada peranan

aktif siswa dalam belajar karena dalam belajar matematika diperlukan mental

yang tinggi yang melibatkan pengembangan pola pikir dalam mengolah logika

dimana guru bertindak sebagai fasilisator dalam pembelajaran untuk mencapai

suatu tujuan pembelajaran matematika.


11

2. Pemahaman Konsep Matematika

Pemahaman konsep matematika adalah salah satu hal penting dalam

pembelajaran matematika. Pemahaman konsep terdiri dari dua kata yaitu

pemahaman dan konsep. Pemahaman merupakan terjemahan dari istilah

Understanding yang diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi yang

dipelajari. Sedangkan konsep menurut Dahar (2006: 62) adalah batu pembangun

berpikir dan dasar bagi proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip

dan generalisasi dalam matematika”.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman

konsep matematika merupakan suatu kemampuan dasar yang harus dimiliki siswa

untuk merumuskan prinsip dan mengeneralisasikan matematika. Siswa dikatakan

telah memahami konsep dengan baik apabila siswa mampu memahami suatu

materi pelajaran dan menarik kesimpulan dari apa yang dipahaminya tersebut

serta dapat mengaplikasikannya dalam penyelesaian masalah matematika. Untuk

mengetahui tingkat pemahaman konsep matematika siswa, maka diperlukan

indikator sebagai acuan dalam pembelajaran. Adapun indikator-indikator

pemahaman konsep matematika yang tercantum dalam Permendikbud Nomor 58

Tahun 2014 meliputi:

a. Menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari,


b. Mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi tidaknya
persyaratan yang membentuk konsep tersebut,
c. Mengidentifikasi sifat-sifat operasi atau konsep,
d. Menerapkan konsep secara logis,
e. Memberikan contoh atau contoh kontra (bukan contoh) dari konsep
yang dipelajari,
12

f. Menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi


matematis (table, grafik, diagram, gambar, sketsa, model matematika,
atau cara lainnya),
g. Mengaitkan berbagai konsep dalam konsep matematika maupun di luar
matematika.
h. Mengembangkan syarat perlu dan/atau syarat cukup suatu konsep.

Berdasarkan kutipan di atas, kemampuan pemahaman konsep matematika

siswa dalam penelitian yang akan dilakukan ini terkait indikator menyatakan

ulang konsep materi yang dipelajari, mengklasifikasikan objek berdasarkan

persyaratan yang membentuk objek itu, mengidentifikasi sifat-sifat operasi atau

konsep, menerapkan konsep secara logis dalam penyelesaian masalah matematika,

memberikan contoh dan bukan contoh dari konsep yang dipelajari, mampu

menyajikan konsep serta mengaitkan konsep yang dipelajari dengan pengetahuan

yang telah dimiliki siswa.

3. Model Pembelajaran Kooperatif

Winataputra (1996) dalam Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014

menyatakan bahwa

Model pembelajaran merupakan suatu kerangka konseptual yang


melukiskan prosedur secara sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan
berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan
para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas
pembelajaran. Model pembelajaran mengandung unsur sintakmatik
yaitu tahap-tahap dari model itu, sistem sosial yaitu situasi atau
suasana dan norma yang berlaku dalam model itu, prinsip reaksi
yaitu pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana guru melihat
dan memperlakukan siswa, bagaimana seharusnya pembelajar
memberikan respon, bagaimana guru menggunakan permainan yang
berlaku pada setiap model serta sistem pendukung yaitu segala
sarana, bahan alat yang diperlukan untuk melaksanakan model.
13

Menurut Joyce dan Weil dalam Rusman (2010: 133) “Model pembelajaran

adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk

kurikulum (rencana jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan

membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain”. Model pembelajaran dapat

dijadikan pola pilihan, artinya guru boleh memilih model pembelajaran yang

sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa model

pembelajaran adalah suatu pola atau rancangan yang digunakan oleh para

perancang pembelajaran sebagai pedoman untuk membentuk kurikulum (rencana

jangka panjang) serta bagi pengajar untuk merencanakan dan melaksanakan

aktivitas pembelajaran di kelas. Setiap guru dapat memilih model pembelajaran

yang sesuai dengan karakteristik siswa dan materi pelajaran yang akan diajarakan

untuk menciptakan suasana belajar yang menimbulkan keaktifan siswa guna

menunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Salah satunya adalah model

pembelajaran kooperatif.

Menurut Slavin (2009: 4) “Pembelajaran kooperatif adalah model

pembelajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk

saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran”.

Menurut Cooper (1999) dan Heinch (2002) dalam Asma (2008: 2) :

Pembelajaran kooperatif adalah metode pembelajaran yang


melibatkan kelompok-kelompok kecil yang heterogen dan siswa
bekerja sama untuk mencapai tujuan dan tugas akademik bersama,
sambil bekerja sama belajar keterampilan-keterampilan kolaboratif
dan sosial. Anggota-anggota kelompok memiliki tanggung jawab
dan saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan
bersama.
14

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang

menggelompokkan siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen

dimana siswa bekerja sama dan saling membantu dalam menyelesaikan suatu

permasalahan atau mengerjakan tugas untuk mencapai tujuan pembelajaran

tertentu. Model pembelajaran kooperatif tidak hanya sekedar belajar dalam

kelompok. Menurut Roger dan David dalam Lie (2002: 30) ada unsur-unsur dasar

pembelajaran kooperatif yang membedakan dengan belajar kelompok biasa.

Unsur-unsur tersebut sebagai berikut :

1. Saling ketergantungan positif


Dalam pembelajaran kooperatif ini, setiap anggota kelompok tergantung
satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama. Apabila terdapat saling
ketergantungan positif diantara anggota kelompok, maka akan tercapai
kerja sama yang saling menguntungkan.
2. Tanggung jawab perseorangan
Setiap anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya agar
tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.
3. Tatap muka
Setiap anggota kelompok perlu diberi kesempatan untuk saling mengenal
dan menerima satu sama lain dalam kegiatan tatap muka dan interaksi
pribadi.
4. Komunikasi antar kelompok
Keberhasilan suatu kelompok juga tergantung pada kesediaan para
anggotanya untuk saling mendengarkan dan mengemukakan pendapat
mereka.
5. Evaluasi proses kelompok
Setiap siswa yang tergabung dalam suatu kelompok harus menyadari bahwa
setiap pekerjaan mereka mempunyai akibat langsung pada keberhasilan
kelompoknya.

Menurut Trianto (2009: 66) ada enam langkah dalam pembelajaran

kooperatif yaitu :
15

Tabel 1. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif


Fase Tingkah Laku Guru
Fase 1 Guru menyampaikan semua tujuan
Menyampaikan tujuan dan pelajaran yang ingin dicapai pada
memotivasi pelajaran tersebut dan memotivasi siswa
belajar.
Fase 2 Guru menyajikan informasi kepada
Menyajikan informasi siswa dengan jalan demonstrasi atau
lewat bahan bacaan.
Fase 3 Guru menjelaskan kepada siswa
Mengorganisasikan siswa ke dalam bagaimana caranya membentuk
kelompok kooperatif kelompok belajar dan membantu setiap
kelompok agar melakukan transisi
secara efisien.
Fase 4 Guru membimbing kelompok-kelompok
Membimbing kelompok bekerja dan belajar pada saat mereka mengerjakan
belajar tugas mereka
Fase 5 Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
Evaluasi materi yang telah dipelajari atau
masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya.
Fase 6 Guru memberikan penghargaan kepada
Memberikan penghargaan siswa yang berprestasi untuk
menghargai upaya dan hasil belajar
siswa baik secara individu maupun
kelompok.

4. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match

Make a Match (mencari pasangan) merupakan salah satu tipe dalam model

pembelajaran kooperatif yang dikembangkan pertama kali pada tahun 1994 oleh

Lorna Curran, dimana siswa mengerjakan soal latihan dalam sebuah kartu untuk

pendalaman konsep suatu materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif tipe

Make a Match, pembelajaran dilakukan dengan permainan menemukan atau

mencari pasangan kartu. Pelaksanaannya yaitu siswa di kelas dibagi ke dalam dua

kelompok besar yaitu kelompok kartu “Soal” dan kelompok kartu “Jawaban”.

Untuk menemukan pasangan dari kartu yang dipegangnya, siswa harus


16

menyelesaikan soal dan/atau mencari soal dari kartu yang dipegangnya tersebut

dengan cara berdiskusi, dalam berdiskusi dan menemukan pasangan kartunya

siswa dibatasi oleh waktu sesuai dengan yang telah disepakati, apabila batasan

waktu telah habis dan siswa belum menemukan pasangan kartu maka siswa

tersebut diminta untuk berkumpul tersendiri, sedangkan siswa yang paling cepat

dan tepat serta mampu memberikan alasan mengapa kartunya tersebut

berpasangan akan mendapatkan reward.

Menurut Huda (2013: 251) Tujuan model pembelajaran kooperatif tipe

Make a Match ini adalah untuk pendalaman materi, penggalian materi, dan

edutainment. Model Make a Match ini bisa digunakan dalam semua mata

pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik. Tata pelaksananya cukup

mudah, tetapi guru perlu melakukan beberapa persiapan khusus sebelum

menerapkan model ini. Beberapa persiapannya antara lain :

a. Membuat beberapa pertanyaan yang sesuai dengan materi yang dipelajari


(Jumlahnya tergantung tujuan pembelajaran) kemudian menuliskannya dalam
kartu-kartu pertanyaan.
b. Membuat kunci jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dibuat dan
menuliskannya dalam kartu-kartu jawaban. Akan lebih baik jika kartu
pertanyaan dan kartu jawaban berbeda warna.
c. Membuat aturan yang berisi penghargaan bagi siswa yang berhasil dan sangsi
bagi siswa yang gagal (disini, guru dapat membuat aturan ini bersama-sama
dengan siswa).
d. Menyediakan lembaran untuk mencatat pasangan-pasangan yang berhasil
sekaligus untuk penskoran presentasi.

Menurut Lie (2008) dalam Maisari mengungkapkan bahwa :

langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match


secara sistematis yaitu guru menyiapkan kartu yang berisi soal-soal
dan kartu yang berisi jawabannya, bagi siswa yang mendapat sebuah
kartu soal, mereka berusaha menjawab dan mencari kartu jawaban
yang cocok dengan soalnya, tetapi bagi siswa yang mendapatkan kartu
jawaban mereka berusaha mencari kartu soal yang cocok dengan
17

jawabannya, siswa yang benar dan dapat memberikan alasan untuk


kartu soal dan jawaban yang mereka cocokkan akan mendapat nilai,
dengan demikian siswa belajar matematika tidak hanya mendengarkan
dan guru menerangkan di depan kelas saja namun diperlukan
keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika.

Menurut Huda (2013: 252-253) sintaks Make a Match dapat dilihat pada

langkah-langkah kegiatan pembelajaran berikut:

1. Guru menyampaikan materi atau memberikan tugas kepada siswa untuk


mempelajari materi di rumah.
2. Siswa dibagi ke dalam 2 kelompok, misalnya kelompok A dan kelompok
B. Kedua kelompok diminta untuk berhadapan.
3. Guru membagikan kartu pertanyaan kepada kelompok A dan kartu
jawaban kepada kelompok B.
4. Guru menyampaikan kepada siswa bahwa mereka harus
mencari/mencocokkan kartu yang dipegang dengan kartu kelompok lain.
Guru juga perlu menyampaikan batasan maksimum waktu yang ia
berikan kepada mereka.
5. Guru meminta semua anggota kelompok A untuk mencari pasangannya
di kelompok B. Jika mereka sudah menemukan pasangannya masing-
masing, guru meminta siswa melaporkan diri kepadanya. Guru mencatat
siswa pada kertas yang sudah dipersiapkan.
6. Jika waktu sudah habis, mereka harus diberitahu bahwa waktu sudah
habis. Siswa yang belum menemukan pasangan diminta untuk
berkumpul tersendiri.
7. Guru memanggil satu pasangan untuk presentasi. Pasangan lain dan
siswa yang tidak menemukan pasangan memperhatikan dan memberikan
tanggapan apakah pasangan itu cocok atau tidak.
8. Terakhir, guru memberikan konfirmasi tentang kebenaran dan
kecocokan pertanyaan dan jawaban dari pasangan yang memberikan
presentasi. Selanjutnya, guru memanggil pasangan berikutnya, begitu
seterusnya sampai seluruh pasangan melakukan presentasi.

Berdasarkan tata cara pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Make a

Match yang dikemukakan oleh Huda di atas, tata pelaksanaan yang dilakukan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


18

Tabel 2. Langkah-langkah pembelajaran Make a Match dalam Penelitian


Langkah-langkah Make a Match Tingkah Laku Guru
1 2
Langkah 1 Guru menyampaikan materi pelajaran
menyampaikan materi
Langkah 2 Guru membagi siswa di kelas menjadi 2
Membagi kelompok kelompok besar yaitu kelompok kartu
“Soal” dan kelompok kartu “Jawaban”.
Kemudian masing-masing kelompok
besar dibagi lagi menjadi 3-4 kelompok
yang beranggotakan 4-5 orang siswa
dengan kemampuan yang heterogen.
Kelompok kartu “Soal” dan kartu
“Jawaban” diminta untuk duduk
berhadap-hadapan. Pembagian
kelompok berdasarkan urutan rangking
siswa di kelas dari hasil ulangan harian.
Langkah 3 Guru membagikan kartu sesuai dengan
Membagikan kartu dan diskusi kelompok kepada masing-masing
kelompok siswa, kemudian siswa berdiskusi.
Kelompok kartu “Soal” berdiskusi
untuk menjawab soal yang terdapat
dikartunya, sedangkan kelompok kartu
“Jawaban” mencari kartu “Soal” yang
cocok. Untuk mengantisipasi kelompok
kartu jawaban agar berdiskusi dengan
kelompoknya, maka masing-masing
kelompok kecil kartu “Jawaban”
diberikan selembar kartu yang berisikan
soal-soal dari setiap kartu yang terdapat
pada kelompok kartu “Soal” untuk
mereka selesaikan dan memprediksi
pasangan kartunya.
Langkah 4 Setelah mencapai batasan waktu yang
Mencari pasangan disepakarti, guru meminta siswa untuk
mencari/mencocokkan kartu yang
dipegangnya dengan kartu yang
dipegang oleh anggota kelompok lain.
Langkah 5 Guru meminta siswa yang telah
Melaporkan hasil pencarian dan diskusi memperoleh pasangan kartunya untuk
pasangan melaporkan namanya dan pasangannya
serta kelompoknya masing-masing, dan
ditulis pada kertas yang telah
dipersiapkan, kemudian masing-masing
pasangan mendiskusikan alasan
mengapa kartu mereka berpasangan.
19

1 2
Langkah 6 Apabila batasan waktu sudah habis,
Mengingatkan batasan waktu dan guru mengingatkan batasan waktu
mengumpulkan siswa yang belum sudah habis dan siswa yang belum
mendapatkan pasangan kartu menemukan pasangannya diminta
untuk berkumpul tersendiri.
Langkah 7 Guru memanggil beberapa pasangan
Mempresentasikan untuk mempresentasikan. Siswa yang
lain memberikan tanggapan dari hasil
presentasi tersebut.
Langkah 8 Guru memberikan konfirmasi tentang
Konfirmasi kebenaran dan kecocokan kartu, serta
memberikan reward kepada pasangan
kartu yang sesuai.

Pengelompokkan dalam pembelajaran Make a Match ini dilakukan

berdasarkan pengelompokkan yang heterogen dengan memperhatikan

keberagaman gender, latar belakang sosio-ekonomi dan etnik serta kemampuan

akademik. Menurut Lie (2002: 41) langkah-langkah pengelompokkan heterogen

berdasarkan kemampuan akademik yaitu :

1. Mengurutkan siswa berdasarkan kemampuan akademis.


2. Membentuk kelompok pertama.
3. Membentuk kelompok selanjutnya.

Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, langkah pertama yang akan

dilakukan sebelum pembagian kelompok adalah mengurutkan siswa berdasarkan

kemampuan akademis yaitu dengan melihat peringkat siswa dalam kelas sesuai

dengan hasil ulangan hariannya. Setelah itu, siswa diurutkan berdasarkan

peringkat dari peringkat pertama sampai peringkat terakhir sehingga akan terlihat

siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Selanjutnya, siswa di

dalam kelas dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok kartu “Soal” dan

kelompok kartu “Jawaban”. Masing-masing kelompok akan dibagi menjadi

beberapa kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang siswa. Di dalam kelompok
20

kecil inilah, siswa berdiskusi untuk menemukan pasangan dari kartunya masing-

masing.

5. Pembelajaran Konvensional

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, konvensional artinya pemufakatan

atau kelaziman atau sesuatu yang telah menjadi kebiasaan. Pembelajaran

konvensional yang dimaksud adalah pembelajaran yang sering atau lazim

diterapkan oleh guru di sekolah. Pembelajaran konvensional merupakan

pembelajaran yang dilakukan secara klasikal melalui metode ceramah dan

pemberian tugas secara individu.

Menurut Suherman (2003:201) “Metode ceramah banyak dipakai oleh guru,

karena mereka beranggapan metode ini adalah metode yang paling mudah

digunakan”. Guru menjelaskan materi pelajaran di kelas sedangkan siswa

mendengarkan dan mencatat penjelasan guru, setelah menjelaskan materi biasanya

guru memberikan contoh soal, kemudian siswa diberi kesempatan untuk bertanya

mengenai hal yang belum dimengerti. Kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan

pemberian soal-soal latihan. Menurut Nurhadi (2004:9) bahwa “Pembelajaran

dengan menggunakan metode ceramah menyebabkan belajar hanya menghafal

yang tidak menyebabkan timbulnya pengertian pada siswa, menyebabkan siswa

pasif, siswa aktif mencatat, baik atau tidaknya materi yang diajarkan hanya

berdasarkan pertimbangan guru saja, dan materi yang dipelajari cepat terlupakan

karena hanya bersifat menghafal”. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran konvensional merupakan metode pembelajaran yang lazim

dilakukan oleh guru dengan metode ceramah dan pemberian tugas.


21

B. Penelitian yang relevan


Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah :

1. Penelitian Maisari (2013) yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe Make a Match Terhadap Pemahaman Konsep Matematis

Siswa Kelas VIII SMPN 5 Bandar Lampung”. Hasil penelitian ini

menyatakan bahwa rata-rata pemahaman konsep matematis siswa kelas

eksperimen lebih tinggi daripada rata-rata pemahaman konsep matematis

siswa kelas kontrol. Dalam penelitian ini yang menjadi populasinya adalah

siswa kelas VIII SMPN 5 Bandar Lampung, dengan indikator pemahaman

konsep yang digunakan adalah menyatakan ulang suatu konsep,

mengklasifikasikan objek menurut sifat tertentu sesuai dengan konsepnya,

menentukan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep, menyajikan konsep

dalam bentuk representasi matematika, menggunakan , memanfaatkan, dan

memilih prosedur atau operasi tertentu, mengaplikasikan konsep, sedangkan

penelitian yang akan dilakukan indikator pemahaman konsep yang digunakan

berdasarkan Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu Malini Pradyumnati (2013) dengan

judul “Studi Komparasi Model Kooperatif tipe TGT (Teams Games

Tournament) dan Tipe Make a Math Terhadap Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematika Siswa”. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa model

pembelajaran kooperatif tipe Make a Match lebih baik daripada model

pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap kemampuan pemecahan masalah

matematika siswa, model pembelajaran kooperatif tipe TGT sama dengan


22

model pembelajaran konvensional terhadap kemampuan pemecahan masalah,

dan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match lebih baik

dibandingkan model pembelajaran konvensional terhadap kemampuan

pemecahan masalaha matematika siswa. Variabel dalam penelitian ini terdiri

atas variabel bebas yaitu penggunaan model pembelajaran tipe TGT dan tipe

Make a Match dan variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan

pemecahan masalah matematika. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa

kelas VII MTs Negeri Kawali Tahun ajaran 2012/2013 serta metode

pengumpulan datanya menggunakan pre-test dan post-tes. Perbedaan

penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah variabel bebas

yang digunakan hanya model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dan

variabel terikatnya yaitu kemampuan pemahaman konsep matematika siswa,

serta populasinya yaitu siswa kelas VIII SMPN 3 Padang Tahun Pelajaran

2016/2017 dengan rancangan penelitian static group design.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Nuryani Destiningsih (2013) dengan judul

“Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together

(NHT) dan Make a Match Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa

Ditinjau Dari Keterampilan Sosial Siswa Pada Kelas X SMK Di Kabupaten

Wonogiri”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa prestasi belajar matematika

siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT lebih baik

daripada prestasi belajar matematika siswa yang menggunakan model

pembelajaran kooperatif tipe Make a Match maupun pembelajaran langsung,

sedangkan prestasi belajar matematika siswa yang menggunakan model


23

pembelajaran kooperatif tipe Make a Match lebih baik daripada pembelajaran

langsung. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran

kooperatif tipe NHT dan tipe Make a Match dan variabel terikatnya adalah

prestasi belajar matematika siswa, yang menjadi populasi dalam penelitian ini

adalah siswa kelas X SMK di Kabupaten Wonogiri, sedangkan variabel bebas

dalam penelitian yang akan dilakukan adalah model pembelajaran kooperatif

tipe Make a Match dan variabel terikatnya adalah kemampuan pemahaman

konsep matematika siswa di kelas VIII SMPN 3 Padang Tahun Pelajaran

2016/2017.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Ismarti (2014) dengan judul “Perbandingan

Model Pembelajaran Make a Match dengan Number Head Together Terhadap

Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 34 Batam”. Hasil

penelitian ini menyatakan bahwa berdasarkan uji statistik yaitu uji t yang

dilakukan pada hipotesis diperoleh kesimpulan yaitu tidak terdapat perbedaan

yang signifikan terhadap hasil belajar matematika siswa kelas VIII SMP

Negeri 34 Batam pada pokok bahasan kubus dan balok yang menggunakan

model pembelajaran Make a Match dengan Number Head Together.

Penelitian ini membandingkan model pembelajaran Make a Match dengan

NHT dengan variabel terikatnya yaitu hasil belajar matematika siswa di kelas

VIII SMP Negeri 34 Batam, sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini

melihat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dengan

model pembelajaran langsung dengan variabel terikat yaitu pemahaman

konsep matematika siswa klas VIII SMPN 3 Padang.


24

C. Kerangka Konseptual

Kemampuan pemahaman konsep merupakan salah satu tujuan penting

dalam pembelajaran matematika. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan pemahaman konsep matematika siswa yaitu menciptakan suasana

belajar yang melibatkan siswa secara aktif dalam belajar maupun mengerjakan

latihan yang diberikan untuk mendalami konsep dari materi yang dipelajari

dengan memvariasikan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik

siswa.

Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran

yang sesuai dengan karakteristik siswa kelas VIII SMPN 3 Padang. Hal ini

dikarenakan aktivitas pembelajarannya dilakukan secara berkelompok, sehingga

terjadi interaksi positif antar siswa dalam kelompok untuk saling berdiskusi dan

bekerja sama menyelesaikan suatu tugas untuk mencapai suatu tujuan

pembelajaran tertentu. Make a Match adalah salah satu tipe dari model

pembelajaran kooperatif yang dapat menciptakan suasana belajar yang

menyenangkan bagi siswa karena pembelajarannya dilakukan dengan permainan

menemukan atau mencari pasangan kartu. Kartu tersebut berisi soal-soal yang

ditujukan untuk pendalaman konsep dari materi yang dipelajari. Siswa yang

mampu menemukan pasangan kartu sesuai dengan batasan waktu yang diberikan

maka akan diberikan reward, sedangkan siswa yang belum menemukan pasangan

kartu melebihi batasan waktu akan diberikan sangsi sesuai dengan kesepakatan

antara guru dan siswa. Artinya siswa mendalami konsep materi dari latihan-

latihan tersebut. Dengan adanya reward dan sangsi dalam belajar, mengharuskan
25

siswa untuk berkonstribusi dalam kelompok agar kelompoknya mendapatkan

reward ataupun terhindar dari sangsi. Melalui cara ini, diharapkan siswa antusias

dalam mengikuti pembelajaran maupun mengerjakan latihan serta memperhatikan

guru ketika menjelaskan konsep materi di depan kelas.

D. Hipotesis

Pemahaman konsep matematika siswa yang belajar dengan model

pembelajaran kooperatif tipe Make a Match lebih baik daripada pemahaman

konsep matematika siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional di kelas

VIII SMPN 3 Padang.

Anda mungkin juga menyukai