Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Absorbsi, distribusi, biotransformasi (metabolisme), dan eliminasi suatu
obat dari tubuh merupakan proses dinamis yang kontinu dari saat suatu obat
dinamakan sampai semua obat tersebut hilang dari tubuh. Laju terjadinya proses –
proses ini mempengaruhi onset, intensitas, dan lamanya kerja obat didalam tubuh
(Ansel, 2005).
Berbagai lokasi tubuh dimana obat ada bisa digambarkan sebagai suatu
kompartemen terpisah, masing – masing mengandung beberapa bagian dari dosis
obat yang diberikan. Perpindahan obat dari darah kelokasi tubuh lain umumnya
merupakan sutau proses yang cepat dan reversibel (bolak – balik), berarti obat
dapat mendifusi kembali ke sirkulasi tersebut. Oleh karena itu obat didalam darah
ada dalam keseimbangan dengan obat dalam kompartemen lain. Tetapi dalam
keseimbangan ini, konsentrasi obat dalam darah mungkin sangat berbeda (lebih
besar atau lebih kecil) dari konsentrasi obat dalam kompartemen lainnya. Ini
disebabkan karena sebagian besar sifat fisika kimia dari obat tersebut dan resultan
kemampuannya untuk meninggalkan darah dan menembus membran biologis.
Obat – obat tertentu dapat meninggalkan sistem sirkulasi dengan cepat dan
sempurna, sedangkan obat lainnya mungkin sangat lambat dan sukar. Oleh karena
itu obat didalam darah ada dalam keseimbangan dengan obat dalam kompartemen
lain (Ansel, 2005).
Obat yang sukar sekali larut akan sukar diabsorbsi dari saluran
gastrointestinal. Makin tinggi kadar obat dalam larutan akan makin cepat obat
diabsorpsi (Anief, 2000).
Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh
sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia atau
produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variabel-variabel tersebut
melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan
memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat,
maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan
lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai
tidak terjadi absorpsi sama sekali. (Shargel,1988).

1
1.2 Tujuan Percobaan
- Untuk mengetahui pengaruh pH terhadap absorpsi Parasetamol pada
duodenum terbalik kelinci.
- Untuk membandingkan absorpsi Parasetamol pada berbagai segmen usus
halus (segmen atas dan segmen bawah).

1.3 Manfaat Percobaan


- Praktikan dapat mengetahui pengaruh pH dan waktu terhadap absorpsi
Parasetamol pada duodenum terbalik kelinci.
- Praktikan dapat membandingkan absorpsi Parasetamol pada berbagai segmen
usus.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Bahan
2.1.1 Parasetamol
Nama kimia : Acetaminophen
Nama lazim : Parasetamol
Rumus kimia : C8H9NO2
BM : 151,16
Khasiat dan penggunaan : Antipiuretik
Dosis maksimum : 500 mg
Parasetamol disebut juga dengan asetaminofen, mempunyai nama kimia
4’-Hidroksiasetanilida dengan rumus molekul C8H9NO2 dan berat molekul 151,16.
Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0%
C8H9NO2, dihitung terhadap zat anhidrat. Pemeriannya serbuk hablur, putih, tidak
berbau, rasa sedikit pahit. Parasetamol mempunyai kelarutan yang larut dalam air
mendidih dan dalam natrium hidroksida 1 N, mudah larut dalam alkohol (Ditjen
POM, 1995).
Obat diuretik kuat yang merupakan salah satu obat standar untuk
pengobatan gagal jantung dan edema paru . Diuretik ialah obat yang dapat
menambah kecepatan pembentukan urin.istilah deurisis mempunyai dua
pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang
diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat
terlarut dan air. Pengaruh diuretik terhadap ekskresi zat terlarut penting artinya
untuk menentukan tempat kerja diuretik dan sekaligus untuk meramalkan akibat
penggunaan suatu diuretik. Secara umum diuretik dapat dibagi menjadi 2
golongan besar yaitu (1) penghambat mekanisme transport elektrolit di dalam
tubuli ginjal, (2) diuretik osmotik (Nafrialdi, 2007).
2.1.2 Farmakologi
Farmakologi furosemid merupakan Diuretik kuat terutama bekerja dengan
cara menghambat reabsorbsi elektrolit di Ansa Henle asenden bagian epitel tebal.
Pada pemberiannya secara IV obat ini cenderung meningkatkan aliran darah ginjal
tanpa disertai peningkatan filtrasi glomerulus. Perubahan hemodinamik ginjal
mengakibatkan menurunya reabsorbsi ciran dan elektrolit di tubuli proksimal serta

3
meningkatnya efek awal diuretik. Peningkatan aliran darah ginjal ini relatif hanya
berlangsung sebentar, dengan berkurangnya cairan ekstraseluler akibat diuresis,
maka aliran darah ke ginjal menurun dan hal ini akan mengakibatkan
meningkatnmya reabsorbsi cairan dan elektrolit di tubuli proksimal (Nafrialdi,
2012).
Furosemida mempunyai daya hambat enzim karbonikanhidrase. Karena
keduanya merupakan derivate sulfonamid. Dieuretik kuat juga menyebabkan
meningkatnya ekskresi K+ dan kadar asam urat plasma. Deuretik kuat mudah
diserap melalui saluran cerna, dengan derajat yang agak berbeda-beda.
Bioavailabilitas furosemid 65% sedangkan bumenid hampir 100%. obat golongan
ini terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi di
glomerulus tetapi cepat sekali diekskresi melalui sistem transport asam organic di
tubuli proksimal (Nafrialdi, 2012).
2.2 Absorbsi
Umumnya, agar suatu obat dapat mengeluarkan efek biologisnya, obat
tersebut harus larut dan ditransportasikan oleh cairan tubuh, menembus batas
lapisan (membran) biologis, membebaskan distribusinya secara luas ke daerah-
daerah yang tidak diinginkan, mengalami serangan metabolik, mempenetrasi ke
tempat-tempat kerjanya dalam konsentrasi yang memadai, dan berinteraksi secara
spesifik, menyebabkan perubahan-perubahan fungsi sel (Ansel,2005).
Sejumlah obat terikat dengan protein darah , terutama albumin dan hanya
sebagian kecil dari obat yang diberikan bisa terdapat pada lokasi sebenarnya
diluar sistem sirkulasi pada suatu waktu tertentu (Ansel, 2005).
Perpindahan obat dari suatu kompartemen ke kompartemen liannya secara
matematim berhubungan dengan konstanta laju spesifik yang menggambarkan
perpindahan khusus tertentu. Umumnya, laju perpindahan obat dari suatu
kompartemen ke kompartemen lainnya sebanding dengan konsentrasi obat dalam
kompartemen tersebut. Makin besar konsentrasinya, makin besar pula jumlah obat
yang dipindahkan (Ansel, 2005).
Karena sifat lipoid dari membran sel, membran tersebut sangat permeable
terhadap zat yang larut dalam lemak. Laju difusi dari suatu obat melewati
membran tidak hanya tergantung pada konsentrasi tetapi juga pada besar relatif
afinitasnya untuk lemak dan menolak air. Makin besar afinitasnya untuk lemak

4
maka makin cepat laju penetrasinya ke dalam memberan yang kaya lemak.
Karena sel- sel biologis juga dipermeasi oleh air dan zat yang tidak larut dalam
lemak, diperkirakan membran tersebut juga mengandung pori-pori yang berisi air
atau saluran yang dapat menyebabkan lewatnya tipe zat ini (Ansel, 2005).
Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui
rangkaian proses. Proses tersebut meliputi disintegrasi produk obat diikuti
pelepasan obat, pelarutan obat dalam media “aqueous”, absorpsi melewati
membran sel menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat,
pelarutan, dan absorpsi, kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh
tahapan yang paling lambat di atas. Salah satu temuan menunjukkan bahwa
beberapa sifat fisikokimia molekul mempunyai pengaruh terhadap laju lintas obat
lewat membran sel. Faktor utama adalah kelarutan molekul obat dalam lipid
(Shargel, 1988).
Tahap yang paling lambat dalam suatu rangkaian proses kinetic disebut
tahap penentu kecepatan (rate limiting step). Kecuali untuk produk-produk
“sustained-release” atau “prolonged-action” desintegrasi obat yang berbentuk
padat pada umumnya lebih cepat daripada pelarutan dan absorpsi obat.untuk obat-
obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan seringkali
merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya
efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Tetapi sebaiknya, untuk
obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju pelarutannya cepat
sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat membrane merupakan tahap paling
lambat atau merupakan tahap penentu kecepatan (Shargel, 1988).
Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat
tersebut harus melewati berbagai membran sel. Terdapat beberapa teori mengenai
struktur yang pasti dari membran sel, termasuk model unit membran dan model
mosaik cair (dinamik). Pada umunya, membran sel mempunyai struktur
lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid semipermeabel. Berbagai
penelitian telah dilakukan menggunakan obat dengan berbeda struktur dan sifat
fisikokimia dan dengan bermacam-macam membran sel (Shargel, 1988).
Sifat fisikokimia lain yang mempengaruhi perjalanan suatu obat lewat
suatu membran sel adalah ukuran molekul. Molekul yang sangat kecil (seperti
urea) dan ion – ion kecil (seperti ion Na+, K+, dan Li+) bergerak melewati

5
membran secara cepat, seolah – olah membran ion mempunyai pori, sebaliknya,
makromolekul yang sangat besar ( seperti protein ) tidak melewati membran sel
atau melewati namun dalam jumlah sangat kecil. Obat- obat yang terikat kuat
dengan protein bersifat sebagai makromolekul dan tidak melewati membran sel.
Fenomena ini itu sebagai makromolekul kecil yang sering terjadi apabila obat
terikat dengan protein (Shargel, 1988).
Transpor aktif adalah proses transmembran yang diperantarai oleh pembawa
(carrier) yang memainkan peran penting dalam sekresi ginjal dan bilier dari
berbagai obat dan metabolit. Transpor aktif ditandai dengan perwatakan adanya
fakta bahwa obat dipindahkan melawan perbedaan konsentrasi, misal dari daerah
dengan konsentrasi obat rendah ke daerah konsentrasi tinggi. Oleh karena itu,
proses ini memerlukan sistem yang memerlukan energi. Molekul pembawa bisa
sangat selektif terhadap molekul obat. Oleh karena itu, obat-obat yang
mempengaruhi struktur serupa dapat berebut pembawa pada tempat absorpsi
(Shargel, 1988).
Difusi yang difasilitasi adalah difusi yang dipermudah merupakan sistem
transpor yang diperantarai pembawa, berbeda dengan transpor aktif, obat bergerak
oleh karena perbedaan konsentrasi.Oleh karena itu, sistem ini tidak memerlukan
masukan energi. Namun karena sistem ini diperantarai pembawa, sistem dapat
jenuh dan secara struktur selektif bagi obat tertentu dan memperlihatkan kinetika
persaingan bagi obat dengan struktur serupa (Shargel, 1988).
Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian
proses. Proses tersebut meliputi disintegrasi produk obat diikuti pelepasan obat,
pelarutan obat dalam media “aqueous”, absorpsi melewati membran sel menuju
sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat, pelarutan, dan absorpsi,
kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh tahapan yang paling
lambat di atas. Salah satu temuan menunjukkan bahwa beberapa sifat fisikokimia
molekul mempunyai pengaruh terhadap laju lintas obat lewat membran sel. Faktor
utama adalah kelarutan molekul obat dalam lipid (Shargel,1988).
Sesudah obat didistribusikan dalam tubuh maka konsentrasinya akan
ditentukan oleh parameter farmakokinetikanya. Walaupun kita kontrol atau
perlambat pelepasannya dari sediaan tetapi kalau tidak memperhatikan parameter
farmakokinetikanya bisa terjadi kadar obat di bawah MEC sehingga tidak

6
memberikan kemanjuran. Biofarmasi dan farmakokinetika menjadi dasar utama
dalam pekerjaan pengembangan produk baru. Suatu produk baru yang akan
dikeluarkan oleh suatu industri haruslah diyakini kemanjurannya, sehingga perlu
dilakukan uji kemanjuran. Ukuran partikel obat dan formulasi obat juga
mempunyai efek yang sangat berarti terhadap absorpsi. Ada beberapa uji produk
yang dianggap memberikan gambaran terhadap kemanjuran sediaan tersebut yaitu
uji secara in vitro, in situ dan in vivo (Sjuib, 2002).
Uji farmakokinetika yang betul-betul memberikan jaminan. Tetapi untuk
melakukan ujifarmakokinetika suatu produk baru dari obat lama adalah terlalu
Pemilihan panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif
adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk
memilih panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva
hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku
pada konsentrasi tertentu. Ada beberapa alasan mengapa harus menggunakan
panjang gelombang maksimal, yaitu:
- Pada panjang gelombang maksimal, kepekaan juga masimal karena pada
panjang gelombang maksimal sebuah perubahan absorbansi untuk setiap
satuan konsentrasi adalah yang paling besar.
- Disekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datra dan
pada kondisi tersebut hukum lambert-beer akan terpenuhi.
- Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh
pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan
panjang gelombang maksimal (Rohman, 2007).
Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum
ultraviolet dan cahaya tampak terdiri dari suatu sistem optik dengan kemampuan
menghasilkan cahaya monokromatik dalam jangkauan 200 nm hingga 800 nm dan
suatu alat yang sesuai untuk menetapkan serapan. Kedua sel yang digunakan
untuk larutan yang diperiksa dan larutan pembanding harus mempunyai
karakteristik spektrum yang sama. Bila digunakan instrumen berkas ganda dengan
perekam,sel yang berisi pelarut ditempatkan pada jalur berkas (Ditjen POM,
1995). Aspek kualitatif dan kuantitatif spektrofotometri UV. Spectra UV dapat
digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus dapat digunakan untuk analisis
kuantitatif (Shargel, 1988).

7
1. Aspek kualitatif
Data spektra UV secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk identifikasi
kualitatif obat atau metabolitnya. akan tetapi jika digabung dengan cara lain
seperti spektrometri infra merah, resonansi magnet inti, dan spektroskop massa,
maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi/analisis kualitatif suatu senyawa
tersebut. Dari spectra yang diperoleh dapat dilihat, misalnya :
 Serapan (absorbansi) berubah atau tidak karena perubahan pH. Jika berubah,
bagaimana perubahannya apakah dari batokromik ke hipsokromik dan
sebaliknya atau dari hipokromik ke hiperkromik dan sebagainya.
 Obat-obat yang netral misalnya kafein, kloramfenikol, atau obat-obat yang
berisi auksukrom yang tidak terkonjugasi seperti aenfetamin, siklizin dan
pensiklidin.
1. Aspek kuantitatif
Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan
(larutan serap) dan intensitas sinar radiasi yang ditentukan diukur besarnya
(Rohman, 2007).
Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses transmembran bagi
umumnya obat-obat. Tenaga pendorong untuk difusi pasif ini adalah perbedaan
konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel. Oleh karena obat didistribusi
secara cepat ke dalam suatu volume yang besar sesudah masuk dalam darah,
konsentrasi obat di dalam darah menjadi sangat rendah dibandingkan terhadap
konsentrasi obat di tempat pemakaian. Menurut hukum difusi fick, terdapat
beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi laju difusi pasif obat. Sebagai
contoh, derajat kelarutan obat dalam lemak akan mempengaruhi laju absorpsi
obat, koefisien partisi yang menyatakan partisi obat dalam minyak-air, luas
permukaan membran, tebal membran, koefisien difusi ataupun afinitas obat
terhadap komponen jaringan (Shargel, 1988).
2.3 Usus Halus
Usus halus panjangnya 6 m dan terdiri dari duodenum, jejunum, dan
ileum. Area permukaan dalam yang luas sepanjang usus halus membantu absorbsi
produk-produk pencernaan. Usus halus menggantung dari dinding posterior
abdomen ditahan oleh mesenterium yang mengandung pembuluh darah
mesenterika posterior, pembuluh limfe, dan saraf otonom. Mesenterium memiliki

8
panjang sekitar 15 cm dan berjalan dari fleksura duodenojejunalis sampai sendi
sakroiliaka dekstra. Batas distalnya memiliki panjang yang jelas sama dengan
panjang usus. Duodenum merupakan bagian teratas usus halus. Panjangnya
sekitar 25 cm dan berliku-liku disekitar kaput pankreas. Fungsi utamanya adalah
absorbsi produk-produk pencernaan. Tidak ada perbedaan yang tajam antara
jejunum dan ileum; namun demikian, ciri-ciri tertentu membantu membedakan
keduanya. Selain duodenum, dua perlima proksimal usus halus merupakan
jejunum, sedangkan tiga perlima distal sisanya merupakan ileum (Faiz, 2004).
Half-Life ditentukan dengan memplot kurva konsentrasi / serum dan
waktu komputasi waktu yang dibutuhkan untuk konsentrasi serum menurun
sebesar satu setengah setelah absorpsi tersebut, post distribusi fase grafik (Bauer,
2008).
Mukosa lambung mempunyai satu lapis epitel silinder yang berlekuk-
lekuk (foveolae gastricae), tempat bermuaranya kelenjar lambung yang spesifik.
Kelenjar pada daerah kardia dan pilorus hanya memproduksi lendir, sedangkan
kelenjar pada daerah korpus dan fundus memproduksi lendir, asam klorida dan
enzim proteolitik. Karena itu pada kelenjar korpus dan fundus ditemukan 3 jenis
sel,
- Sel yang memproduksi lendir yaitu sel mukus (mucos neck cell)
- Sel yang menghasilkan asam klorida yaitu sel parietal
-Sel yang menghasilkan enzim proteolitik yaitu sel epitel mukosa (Tanu, 1991).
Otot dinding lambung terdiri tas tiga lapisan serabut otot polos, yang
tersusun memanjang, melintang dan miring keatas. Karena rancangannya yang
sedemikian itu, otot ini mampu menyesuaikan diri dengan volume lambung sesuai
dengan isinya, juga memungkinkan pencampuran makanan serta meneruskannya
ke saluran cerna berikutnya (Tanu, 1991).
Motilitas dan pengosongan lambung Dalam keadaan kosong, lambung
akan merupakan suatu tabung otot yang berkontraksi dan dinding bagian
dalamnya berdekatan letaknya satu sama lain. Jika makanan masuk, otot polos
akan berelaksasi dan dinding lambung akan kendur tanpa disertai dengan naiknya
tekanan intraluminal. Pencampuran makanan yang dimakan yang kemudian
menjadi khimus (makanan halus) terjadi dengan kontraksi peristaltik dan jalan
keluar lambung ada dalam keadaan tertutup (Tanu, 1991).

9
Usus halus Di usus halus proses pencernaan akan dilanjutkan dan pecahan
makanan dengan berat molekul rendah sebagian besar akan diabsorpsi. Usus halus
dibagi atas tiga bagian :
 Duodenum (usus duabelas jari)
 Jejunum (usus kosong)
 Ileum (ususbengkok)
Duodenum mempunyai bentuk mirip tapal kuda, pada bagian cekungmya
terpasang kelenjar pankreas, pada bagian menaik bermuara ductus pancreaticus
(saluran kelenjar pankreas) dan ductus choledochus (saluran empedu) yang
mempunyai bagian akhir menyatu (Tanu, 1991).
Pada ujung duodenum terdapat jejunum sepanjang sekitar 1,2 m dan
dilanjutkan dengan ileum sepanjang kira-kira 1,8 m. Kumpulan jejunum dan
ileum terpasang pada mesenterium. Keistimewaan dari mukosa usus halus adalah
perluasan permukaan usus halus dengan lipatan, vili, dan mikrovili. Lipatan ini
paling banyak di duodenum dan jejunum dan dapat mencapai 8 mm, dan
membentuk lekukan submukosa. Disini terdapat vili berbentuk jari setinggi 1 mm,
yang epitelnya umumnya terdiri atas enterosit (sel enterosit), mikrovili yang
merupakan kaki protoplasma berlumen yang tersusun berdekatan. Permukaan
yang melapisi lumen dengan demikian akan diperluas sekitar 600 kali, pada usus
halus keseluruhan luasnya adalah 200 m2 (Tanu, 1991).
Disamping mukosa, usus halus terdiri atas lapisan otot melingkar dan
memanjang dan serosa yaitu bagian viseral peritonium. Pada dinding usus halus
terdapat pula pleksus saraf vegetatif, yaitu plexus submucosus yang mempersarafi
mukosa dan pleksus myentericus yang mempersarafi ototnya. Pada kerja motorik
usus halus dibedakan atas gerakan mencampur dan gelombang peristaltik dorong.
Gerakan pencampuran intensif khimus dengan getah pankreas, empedu, dan sekret
dari kelenjar usus halus, sedangkan gerakan peristaltik mendorong adonan
makanan. Gerakan ini muncul dengan adanya relaksasi dinding usus halus dan
dikendalikan saraf melalui plexus myentericus (Tanu, 1991).
Spektrofotometri serapan adalah pengukuran serapan radiasi
elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit, mendekati
monokromatik, yang diserap zat. Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran
panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diab-

10
sorbsi oleh sampel (Rohman, 2007).
Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan
intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar
ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan
elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi UV-
Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam
larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit
informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini sangat berguna
untuk pengukuran secara kuantitatif. Sinar ultraviolet berada pada panjang
gelombang 200-400 nm, sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang
400-800 nm (Dachriyanus, 2004).
Panjang gelombang (λ) adalah jarak antara satu lembah dan satu puncak,
sedangkan frekuensi adalah kecepatan cahaya dibagi dengan panjang gelombang
(λ). Bilangan gelombang adalah (v) adalah satu satuan per panjang gelombang.
(Dachriyanus, 2004).
Kebanyakan penerapan spektrofotometri UV-Vis pada senyawa organik
didasarkan n-π* ataupun π-π* karena spektrofotometri UV-Vis memerlukan
hadirnya gugus kromofor dalam molekul itu. Transisi ini terjadi dalam daerah
spektrum (sekitar 200 ke 700 nm) yang nyaman untuk digunakan dalam
eksperimen. Spektrofotometer UV-Vis yang komersial biasanya beroperasi dari
sekitar 175 atau 200 ke 1000 nm. Identifikasi kualitatif senyawa organik dalam
daerah ini jauh lebih terbatas daripada dalam daerah inframerah. Ini karena pita
serapan terlalu lebar dan kurang terinci. Tetapi, gugus-gugus fungsional tertentu
seperti karbonil, nitro dan sistem tergabung, benar-benar menunjukkan puncak
yang karakteristik, dan sering dapat diperoleh informasi yang berguna mengenai
ada tidaknya gugus semacam itu dalam molekul tersebut (Day dan Underwood,
1986).
Semua molekul dapat mengabsorbsi radiasi dalam daerah UV- tampak
karena mereka mengandung elektron, yang dapat dieksitasikan ke tingkat energi
yang lebih tinggi. Panjang gelombang di mana absorpsi itu terjadi, bergantung
pada berapa kuat elektron itu terikat dalam molekul itu. Elektron dalam suatu
ikatan kovalen tunggal terikat dengan kuat, dan diperlukan radiasi berenergi tinggi
atau panjang gelombang pendek, untuk eksitasinya. (Day dan Underwood, 1986).

11
pH digesta normal pada setiap bagian usus halus adalah berbeda-beda,
pada duodenum pH 5-6, jejunum pH 6,5-7 dan ileum pH 7-7,5 (Yuliansyah dkk,
2014).
Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui
rangkaian proses. Proses tersebut meliputi disintegrasi produk obat diikuti
pelepasan obat, pelarutan obat dalam media “aqueous”, absorpsi melewati
membran sel menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat,
pelarutan, dan absorpsi, kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh
tahapan yang paling lambat di atas. Salah satu temuan menunjukkan bahwa
beberapa sifat fisikokimia molekul mempunyai pengaruh terhadap laju lintas obat
lewat membran sel. Faktor utama adalah kelarutan molekul obat dalam lipid
(Shargel, 1988). Panjang gelombang (λ) adalah jarak antara satu lembah dan satu
puncak, sedangkan frekuensi adalah kecepatan cahaya dibagi dengan panjang
gelombang (λ). (Dachriyanus, 2004).
Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui
rangkaian proses. Proses tersebut meliputi disintegrasi produk obat diikuti
pelepasan obat, pelarutan obat dalam media “aqueous”, absorpsi melewati
membran sel menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat,
pelarutan, dan absorpsi, kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh
tahapan yang paling lambat di atas. Salah satu temuan menunjukkan bahwa
beberapa sifat fisikokimia molekul mempunyai pengaruh terhadap laju lintas obat
lewat membran sel. Faktor utama adalah kelarutan molekul obat dalam lipid
(Shargel, 1988).
Disamping mukosa, usus halus terdiri atas lapisan otot melingkar dan
memanjang dan serosa yaitu bagian viseral peritonium. Pada kerja motorik usus
halus dibedakan atas gerakan mencampur dan gelombang peristaltik dorong. Pada
dinding usus halus terdapat pula pleksus saraf vegetatif, yaitu plexus submucosus
yang mempersarafi mukosa dan pleksus myentericus yang mempersarafi ototnya.
Pada kerja motorik usus halus dibedakan atas gerakan mencampur dan gelombang
peristaltik dorong. Gerakan pencampuran intensif khimus dengan getah pankreas,
empedu, dan sekret dari kelenjar usus halus, sedangkan gerakan peristaltik
mendorong adonan makanan. Faktor utama adalah kelarutan molekul obat dalam
lipid (Tanu, 1991)

12
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan antara lain : benang wol, botol aquadest, gelas
beaker (Pyrex), gelas ukur (Pyrex), indikator universal, kanula, kapas, kertas
koran, labu tentukur (Iwaki Pyrex), neraca analitik (Metler Toledo), plastik hitam,
sarung tangan, satu set alat bedah, spektrofotometer UV-visibel (Shimadzu), stop
watch, tabung oksigen dan regulator, sumpit besi, tabung reaksi (Pyrex), tisu
lensa, tisu 250 sheet (Paseo), dan vial.

3.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah parasetamol baku, kloroform, natrium
hidroksida, Kalium dihidrogen fosfat, NaCl fisiologis, akuades bebas CO2,
duodenum kelinci dan es batu.

3.3 Hewan Percobaan


Hewan percobaan yang digunakan adalah Kelinci jantan (Oryctolagus
cuniculus) dengan berat badan 2,0 kg.

3.4 Prosedur
3.4.1 Pembuatan Pereaksi
3.4.1.1 Aquadest Bebas CO2
Diukur aquadest 20 L, dimasukkan aquadest ke dalam teko listrik, dipanaskan
hingga mendidih dalam keadaan tertutup, dibuka penutup ceret dan dibiarkan
mendidih selama 5 menit, dimasukkan dalam jerigen, dan didinginkan jerigen
dengan cara direndam dalam air.

3.4.1.2 Pembuatan Larutan NaCl 0,9% Fisiologis


Dilarutkan 36 gram Natrium klorida dalam air suling hingga 4000 ml.

13
3.4.1.3 Larutan NaOH 0,2 N
3.4.1.4 Ditimbang NaOH sebanyak 35,2044 gram dengan neraca analitik,
dimasukkan NaOH ke dalam labu tentukur 1 L, dilarutkan dengan
aquadest bebas CO2 secukupnya sampai larut dan dicukupkan hingga 4000
ml dengan aquadest bebas CO2.

3.4.1.5 Larutan Dapar Posfat pH 6,4


Dicampurkan 34,02 gram kalium dihidrogen fosfat 0,2 M dengan 315 ml
natrium hidroksida 0,2 N dan cukupkan dengan akuades bebas CO2 hingga 5000
ml.

3.4.1.6 Larutan Dapar Posfat pH 7,4


Ditimbang Kalium Dihidrogen Posfat sebanyak 27,216 g, dilarutkan Kalium
Dihidrogen Posfat dengan larutan NaOH 0,2 N, kemudian ditambahkan akuades
bebas CO2 sampai 5 L.

3.4.2 Pembuatan LIB I parasetamol dalam dapar fosfat pH 6,4 dan 7,4
Ditimbang seksama 500 mg parasetamol yang telah dikeringkan pada suhu
1050C selama 3 jam. Kemudian masukkan kedalam labu tentukur, ditambahkan
tetes demi tetes NaOH 0,1 N sampai serbuk larut lalu dicukupkan dengan dapar
fosfat pH 6,4 sampai garis tanda. Lakukan hal yang sama untuk dapar fosfat pH
7,4.

3.4.3 Penentuan panjang gelombang maksimum dan pembuatan kurva


kalibrasi parasetamol dalam dapar fosfat 6,4 dan 7,4
LIB I dipipet masing-masing 0,2; 0,25; 0,3; 0,35; 0,55; 0,75; 0,95 ml lalu
dimasukkan dalam labu tentukur 10 ml, dan dicukupkan dengan dapar fosfat pH
5,8 sampai garis tanda hingga diperoleh konsentrasi 10mcg/ml, 12,5mcg/ml,
15mcg/ml, 17,5mcg/ml, 27,5mcg/ml, 37,5mcg/ml, 47,5mcg/ml. Lakukan hal yang
sama untuk dapar fosfat pH 7,4 .

14
3.4.4 Pembuatan larutan parasetamol dengan konsentrasi 2 mmol
Ditimbang seksama parasetamol sebanyak 0,242 g dilarutkan dengan 800
ml dapar fosfat pH 6,4 hingga diperoleh konsentrasi 2 mM. Lakukan hal yang
sama untuk dapar fosfat pH 7,4.

3.4.5 Penentuan penembusan membrane oleh parasetamol


3.4.5.1 Pembuatan duodenum terbalik (Everted sac) kelinci
Hewan percobaan berupa kelinci jantan dipuasakan selama 20-24 jam.
Setelah kelinci tersebut dianestesi dengan kloroform, kemudian dilakukan
pembedahan pada bagian perut tetapi jangan sampai mengenai tulang dada.
Seluruh usus dikeluarkan dan dibersihkan bagian dalamnya dari kotoran dan
bagian luar dari jaringan yang mengikat, pembuluh darah halus, dan sebagainya
dengan bantuan pinset dan gunting. Kemudian usus diikat pada jarak ± 25 cm dari
pylorus (ujung lambung) dan bagian ini merupakan duodenum. Lalu usus
dikeluarrkan dan dicuci dengan NaCl dingin. Kemudian duodenum dibagi
menjadi dua bagian dan di balik menggunakan sumpit besi dimana bagian atas
digunakan untuk memeriksa laju absorpsi parasetamol dalam dapar fosfat pH 6,4
dan bagian bawah untuh pH 7,4.

3.4.5.2 Penentuan Penembusan Membran Duodenum Terbalik Kelinci


Duodenum terbalik kelinci ini lalu diikat dengan menggunakan statif dan
klem. Bagian atas dimasukkan ke dalam tabung berisi 800 ml larutan dapar fosfat
pH 6,4 yang mengandung parasetamol 2 mM. Dan bagian bawah ke dalam tabung
berisi 800 ml larutan dapar fosfat pH 7,4 yang mengandung parasetamol 2 mM.
Pada menit 5, 15, 25, 35, 45, 55, 65 dan 75 cairan serosa diambil 0,4 ml dan
diencerkan hinggan 10 ml dengan mediumnya. Ukur absorbansinya dengan
spektrofotometer UV.

15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Tabel 1. Data Absorbansi pada pH 6,4
Waktu Absorbansi
5 0,058
15 0,064
25 0,096
35 0,107
45 0,097
55 0,108
66 0,122
75 0,129

Tabel 2. Data Absorbansi pada pH 7,4


Waktu Absorbansi
0 0
5 0,014
15 0,019
25 0,048
35 0,037
45 0,045
55 0,056
65 0,056
75 0,059

16
Tabel 3. Data Kurva Kalibrasi Parasetamol dalam dapat fosfat pH 6,4
No Konsentrasi (x) Absorbansi (y) xy X2 Y2
1 0 0,049 0 0 0,002401
2 4 0,971 3,88 16 0,94284
3 5 0,318 1,59 25 0,101124
4 6 0,394 2,36 36 0,155236
5 7 0,425 2,97 49 0,180625
6 8 0,454 3,63 64 0,206116
7 9 0,536 4,82 81 0,287296
8 10 0,580 5,80 100 0,336400
∑x = 49 ∑y = 3,727 ∑xy = 25,06 ∑x2 = 371 ∑y2 =2,21
x = 6,125 y = 0,4658 xy = 3,1336 x2 = 46,375 y2 = 0,276

Tabel 4. Parasetamol dalam dapar pospat pH 6,4


No t A C FP C x FP Cx FP Pe Obat %
(800) terurai komulatif
1 5 0,058 -6,77 25 169,38 135506,33 169,38 135675,71 2,7%
2 15 0,064 -6,58 25 164,38 131708,86 334,003 132042,86 2,6%
3 25 0,096 -5,57 25 139,31 111455,70 473,322 111929,02 2,2 %
4 35 0,107 -5,22 25 130,61 104493,67 603,939 105097,609 2,1%
5 45 0,097 -5,54 25 138,52 110822,78 742,459 111565,239 2,2%
6 55 0,108 -5,93 25 129,82 103860,70 872,279 104733,03 2,0%
7 65 0,122 -4,75 25 118,75 95000,00 991,02 95991,02 1,9%
8 75 0,129 -4,52 24 113,20 90569,62 1104,23 91673,85 1,8%

17
Tabel 5. Parasetamol dalam dapar pospat pH 7,4
No t A C FP C x FP C x FP Pe Obat %
(800) terurai komulatif
1 0 0 0,6840 25 17,1005 13680,43 17,1005 13697,53 0,20%
2 5 0,014 0,4326 25 10,8168 8653,50 27,9173 8681,41 0,17%
3 15 0,019 0,3429 25 8,5727 6858,16 36,4900 6894,65 0,13%
4 25 0,048 0,1777 25 4,4434 3554,75 40,9330 3595,68 0,07%
5 35 0,037 0,0197 25 0,4937 394,97 41,4200 436,40 0,08%
6 45 0,045 0,1248 25 3,0969 2477,558 44,5200 2522,08 0,05%
7 55 0,056 0,3213 25 8,0341 6427,28 52,5500 6479,83 0,12%
8 65 0,056 0,3213 25 8,0341 6427,28 60,5900 6487,87 0,13%
9 75 0,059 0,3752 25 9,3806 7504,48 69,9700 7574,46 0,15%

Tabel 6. Konsentrasi sisa obat Parasetamol


No Waktu Dalam dapar pospat pH 6,4 Dalam dapar pospat pH 7,4
1 0 8,87 2,68
2 5 8,77 2,43
3 15 8,58 2,34
4 25 7,57 1,82
5 35 7,22 2,01
6 45 7,54 1,87
7 55 7,93 1,67
8 65 6,75 1,67
9 75 6,52 1,62

4.2. Perhitungan
(Terlampir)

18
4.3. Grafik
(Terlampir)

4.4 Pembahasan
Berdasarkan percobaan yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh pH
terhadap absorpsi Parasetamol pada duodenum terbalik kelinci, diberikan
perlakuan dengan variasi pH yaitu 6,4 dan 7,4.
Berdasarkan percobaan, dapat dilihat bahwa obat (Parasetamol) yang
diabsorpsi pada duodenum terbalik dengan medium dapar posfat pH 6,4 lebih
banyak dibandingkan dengan pada pH 7,4. Artinya obat lebih banyak diabsorpsi
pada segmen usus bagian atas karena struktur duodenum bagian atas lebih banyak
memiliki vili sehingga penyerapan yang terjadi lebih banyak.
Pada setiap daerah tertentu, perjalanan lintas membrane sangat berbeda
pada setiap daerah saluran pencernaan, pH saluran cerna bervariasi antara 1-3,5
untuk lambung, 5-6 untuk duodenum, 6-7 untuk jejunum dan 7-8 untuk ileum.
Karakteristik anatomi dan fisiologi usus (dengan makrovilli dan mikrovillinya)
lebih menguntungkan untuk penyerapan obat, seperti halnya juga penyerapan
makanan. Pentingnya permukaan penyerapan terutama karena banyaknya lipatan-
lipatan mukosa usus yang berupa valvula conniventes atau lipatan Kerckring,
yang terutama banyak terdapat di daerah duodenum dan jejunum (Aiache, 1993).
Pada ujung duodenum terdapat jejunum sepanjang sekitar 1,2 m dan
dilanjutkan dengan ileum sepanjang kira-kira 1,8 m. Kumpulan jejunum dan
ileum terpasang pada mesenterium. Keistimewaan dari mukosa usus halus adalah
perluasan permukaan usus halus dengan lipatan, vili, dan mikrovili. Lipatan ini
paling banyak di duodenum dan jejunum dan dapat mencapai 8 mm, dan
membentuk lekukan submukosa. Disini terdapat vili berbentuk jari setinggi 1 mm,
yang epitelnya umumnya terdiri atas enterosit (sel enterosit), mikrovili yang
merupakan kaki protoplasma berlumen yang tersusun berdekatan. Permukaan
yang melapisi lumen dengan demikian akan diperluas sekitar 600 kali, pada usus
halus keseluruhan luasnya adalah 200 m2 (Tanu, 1991).

19
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
- Pengaruh pH terhadap absorpsi Parasetamol pada duodenum terbalik kelinci
adalah Parasetamol lebih banyak di absorpsi pada duodenum dengan medium
dapar posfat pH 7,4 dibandingkan dengan medium dapar posfat pada pH 6,4.
Konsentrasi sisa Parasetamol dalam dapar pospat pH 6,4 pada menit ke 0, 5,
15, 25, 35, 45, 55, 65, dan 75 yaitu 8,87; 8,77; 8,58; 7,57; 7,22; 7,54; 7,93;
6,75; dan 6,52. Konsentrasi sisa parasetamol dalam dapar pospat pH 7,4 pada
menit ke 0, 5, 15, 25, 35, 45, 55, 65, dan 75 yaitu 2,68; 2,43; 2,34; 1,82; 2,01;
1,87; 1,67; 1,67; dan 1,62. Semakin kecil konsentrasi obat yang tersisa,
semakin banyak obat yang diabsorpsi.
- Parasetamol yang diabsorpsi pada segmen bawah duodenum lebih banyak
yaitu2,68; 2,43; 2,34; 1,82; 2,01; 1,87; 1,67; 1,67; dan 1,62 dibandingkan
dengan absorpsi Parasetamol pada segmen atas duodenum 8,87; 8,77; 8,58;
7,57; 7,22; 7,54; dan 7,93

5.2 Saran
- Pada percobaan berikutnya, sebaiknya digunakan bahan aktif lain, seperti
sulfadiazin atau ibuprofen
- Pada percobaan selanjutnya, sebaiknya menggunakan hewan percobaan lain,
seperti mencit, tikus, dll.
- Pada penelitian selanjutnya terhadap tablet parasetamol generik menggunakan
konsentrasi tablet parasetamol generik yang lebih rendah dari 0,001 M dan
memakai KCKT sebagai alat penentuan kadar.

20
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (2000). Farmasetika. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.


Halaman 58-59.

Bennet, P.N dan Morris, J.B. (2008). Clinical Pharmacology. Edisi Kesepuluh.
London : Churchill Livingstone. Halaman 203-204, 481-482.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Ke-empat. Jakarta: Departemen


Kesehatan R.I. Halaman 400, 765, 1127, 1143, 1185

DiPiro, J. T., et al. (2005). Concepts In Clinical Pharmacokinetics. Fourth


Edition. USA:American Society of Health-System Pharmacists, Inc.
Halaman 7-10.

Faiz, O. Dan David M. (2004). At a Glance Series Anatomi. Jakarta: Penerbit


Erlangga. Halaman 35-36.

Neal, M. J. (2006). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta:


Penerbit Erlangga. Halaman 12-13.

Shargel, L., et al. (2004). Applied BiopharmaceuticsAnd Pharmacokinetics. Fifth


Edition. Wilson: Eon Labs, Inc. Halaman 167-174; 181-186

Sumardjo, D. (2006). Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa


Kedokteran Dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Halaman 21, 362-366

Tjay, H. T. (2007). Obat-Obat Penting. Edisi Keempat. Jakarta: P.T Elex Media
Komputindo. Halaman 24-25, 144

Yuliansyah, M.F. (2015). Pengaruh Penambahan Sari Belimbing Wuluh


(Averrhoa bilimbi L.) Sebagai Acidifier Dalam Pakan Terhadap Kualitas
Internal Telur Ayam Petelur. Jurnal Nutrisi Ternak Vol. 1, No. 1 : 19-26

21
Lampiran 1. Flowsheet
1. Pembuatan pereaksi
1.1 Larutan NaCl 0,9% fisiologis

Natrium Klorida

← Ditimbang sebanyak 0,9 gram


← Dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml

Larutan NaCl 0,9% fisiologis

1.2 Larutan NaOH 0,2 N

Natrium Hidroksida
← Ditimbang sebanyak 8,001 gram
← Dilarutkan dalam air suling bebas CO2 hingga 1000 ml

Larutan NaOH 0,2 N

1.3 Larutan Kalium dihidrogen fosfat 0,2 M

Kalium Dihidrogen Fosfat


← Ditimbang sebanyak 27,22 gram
← Dilarutkan dalam air suling dalam labu tentukur 1000 ml

Larutan Kalium dihidrogen fosfat 0,2 M

1.4 Larutan dapar fosfat pH 6,4

Kalium Dihidrogen Fosfat 0,2 M


←Diukur sebanyak 34,02 gram
← Dicampurkan dengan 315 ml NaOH 0,2N
← Dicukupkan dengan dengan aquadest bebas CO2 hingga
5000 ml

Larutan Dapar Fosfat pH 6,4

22
1.5 Larutan dapar fosfat pH 7,4
Kalium dihidrogen fosfat 0,2 M
←Diukur sebanyak 34,02 gram
← Dicampurkan dengan NaOH 0,2N
← Dicukupkan dengan dengan aquadest bebas CO2 hingga
5000 ml

Larutan dapar fosfat pH 7,4

2. Pembuatan LIB I Parasetamol


2.1 Dalam Dapar Fosfat Ph 6,4

Parasetamol

←Ditimbang seksama sebanyak 25 mg


← Dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml
← Ditambahkan tetes demi tetes NaOH 0,1N sampai serbuk
larut
←Dicukupkan dengan dapar fosfat pH 6,4 sampai garis tanda

LIB I Parasetamol pH 6,4

2.2 Dalam dapar fosfat pH 7,4

Parasetamol

←Ditimbang seksama sebanyak 25 mg


← Dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml
← Ditambahkan tetes demi tetes NaOH 0,1N sampai serbuk
larut
←Dicukupkan dengan dapar fosfat pH 7,4 sampai garis tanda

LIB I Parasetamol

pH 7,4

23
3. Penentuan panjang gelombang maksimum dan pembuatan kurva
kalibrasi Parasetamol dalam dapar fosfat pH 6,8 dan 7,4

3.1 Dalam Dapar Fosfat pH 6,4

LIB I

←Dipipet masing-masing 0,2; 0,25; 0,3; 0,35; 0,55; 0,75;


0,95 ml
←Dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml
←Dicukupkan dengan dapar fosfat pH 6,4 sampai garis tanda
LIB II Parasetamol pH 6,4

3.2 Dalam Dapar Fosfat pH 7,4

LIB I

←Dipipet masing-masing 0,2; 0,25; 0,3; 0,35; 0,55; 0,75;


0,95 ml
←Dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml
←Dicukupkan dengan dapar fosfat pH 7,4 sampai garis tanda

LIB II Parasetamol pH 7,4

4. Pembuatan Larutan Parasetamol Dengan Konsentrasi 2 Mmol/L


4.1 Dalam Dapar Fosfat pH 6,4

Parasetamol

←Ditimbang seksama 242 mg


←Dilarutkan dengan 800 ml dapar fosfat pH 6,4 hingga
diperoleh konsentrasi 2 mmol/L
Larutan Parasetamol 2 mmo

24
4.2 Dalam Dapar Fosfat pH 7,4

Parasetamol
← Ditimbang seksama 242 mg
← Dilarutkan dengan 800 ml dapar fosfat pH 7,4 hingga
diperoleh konsentrasi 2 mmol/L

Larutan Parasetamol 2 mmol/L

5. Penentuan Penembusan Membran Oleh Parasetamol


5.1 Pembuatan Duodenum Terbalik (Everted Sac) Kelinci

Kelinci jantan
←Dipuasakan selama 20-24 jam
←Dianestesi
←Dilakukan pembedahan pada bagian perut, jangan sampai
mengenai tulang dada
←Diikat usus pada jarak ±25 cm dari pylorus
←Dikeluarkan usus halus, dibersihkan bagian dalam dari
kotoran dan bagian luar dari jaringan yang mengikat
pembuluh darah halus dengan pinset dan gunting
←Dicuci dengan NaCl fisiologis dingin
←Dibagi dua duodenum dan dibalik menggunakan sumpit
besi

Duodenum terbalik

25
5.2 Penentuan penembusan membran duodenum terbalik kelinci

Duodenum terbalik
←Diikat dengan menggunakan benang wol
←Dimasukkan bagian atas ke dalam tabung berisi 800 ml
larutan dapar fosfat pH 6,4 yang mengandung bahan obat
furosemida 2 mmol
←Dimasukkan bagian bawah ke dalam tabung berisi 800 ml
larutan dapar fosfat pH 7,4 yang mengandung bahan obat
furosemida 2 mmol
←Diambil cairan serosa sebanyak 0,4 ml pada menit ke 5,
15, 25, 35, 45, 55, 65 dan 75
←Diencerkan hingga 10 ml dengan mediumnya
←Diukur absorbansi dengan spektrofotometer UV  = 276,5
nm
Absorbansi

26
Lampiran 2. Gambar Alat dan Bahan

Gambar 1. Pengenceran Furosemida Gambar 2. Larutan Furosemida 2 mmol

Gambar 3. Spatula dan Kertas Perkamen Gambar 4. Pengujian Absorpsi


Furosemida pada Duodenum
terbalik

Gambar 5. Spuit dan Regulator

27

Anda mungkin juga menyukai